You are on page 1of 7

B.

LANDASAN NORMATIF INTERVENSI PEMERINTAH DALAM BIDANG PERBURUAN/KETENAGAKERJAAN Secara normatif, UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh pekerjaan (Pasal 27 ayat 2). Hal ini dipertegas kembali dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (hasil amandemen kedua) Bab XA tentang hak Asasi Manusia (Pasal 38-28J). Pasal 28 D mengamatkan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja . selanjutnya dalam Pasal 28 I ayat (4) menegaskan bahwa perlindungan (protection), pemajuan (furttherance), penegakan (enforcement), dan pemenuhan (fulfilment) hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah . Sebelumnya pemerintah telah menetapkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Pasal 38 ayat (2) menyebutkan setiap orang berhat dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhal pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil. Sedangkan, dalam Pasal 71 mengatur mengenai tanggung jawab pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakan, dan memajukan hak asasi manusia baik yang diatur dalam undang-undang, maupun hukum internasional. Dari landasan hukum di atas, jelaslah bahwa salah satu kewajiban konstitusional dari negara/pemerintah adalah menyediakan lapangan pekerjaan bagi warga negaranya, karena bekerja merupakan bagian dari hak asasi warga negara dalam rangka mempertahankan seksistensi kehidupannya. Dalam UUD 1945 sebelum amandemen memang tidak secara tegas menyebutkan bahwa bekerja merupakan bagian dari HAM, k 1945 terjadi perbedaan pendapat antara paham nasionalis yang menolak dimasukannya konsep Hak Asasi Manusia dalam batang tubuh UUD yang dibentuk dengan alasan bahwa negara yang dibentuk nanti tidak menganut paham individualisme, melainkan menganut falsafah kekeluargaan. Tokoh golongan ini adalah Soekarno, Supomo, Radjiman Widyodiningrat. Tapi M.Hatta yang berpandangan modern memberikan tanggapan bahwa masalahnya bukan karena kita tidak menganut falsafah individualisme, tapi hak asasi manusia itu perlu dimasukan ke dalam Undang-Undang Dasar guna mencegah kekuasaan negara menjadi absolut (Risalah Pembahasan UUD 1945, Sekretariat Negara, 1945). Setelah diadakan musyawarah, akhirnya disepakati dimasukannya konsep asasi manusia ke dalam beberapa pasal. Meskipun dalam Undang-Undang Dasar 1945 sendiri tidak dikenal istilah Hak Asasi Manusia. Pada saat amandemen kedua, MPR RI telah menegaskan perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan pertama disahkan dalam sidang tahunan MPR RI Tahun 1999. Perubahan kedua disahkan dalam sidang tahuanan MPR RI Tahun 2000. Perubahan ketiga disahkan dalam Sidang Tahunan MPR RI T ahun 2001, dan perubahan keempat disahkan dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002. Perubahan kedua Undang-Undang Dasar 1945 menyempurnakan komitmen Indonesia terhadap upaya pemajuan dan perlindungan HAM dengan mengintegrasikan ketentuan-ketentuan penting dari instrumen-instrumen internasional mengenai HAM, sebagaimana tercantum dalam BAB XA tentang Hak Asasi Manusia. Perubahan tersebut dipertahankan sampai dengan perubahan keempat Undang-Undang Dasar 1945, yang kemudian disebut dengan Undang-Udang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Ditetapkannya HAM dalam bab tersendiri dalam UUD Negara Republik Indonesia untuk menunjukan komitmen bangsa Indonesia untuk menghormati, mengakui, dan melindungi hak-hak asasi tersebut, meskipun dalam UUD sebelum diamandemen ketentuan tentang HAM sudah diatur muali dari Pasal 27 sampai dengan 34. Selain itu menurut teori hukum Tata Negara bahwa salah satu yang harus diatur dalam konstitusi adalah mengenai HAM, selain susunan ketatanegaraan dan pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan.

C. LANDASAN TEORITIS INTERVENSI PEMERINTAH DALAM BIDANG PERBURUHAN/KETENAGAKERJAAN Pembukaan UUD 1945 alinea keempat menetapkan tujuan Negara Republik Indonesia yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, perdamian abadi, dan keadilan sosial. Dari ketentuan ini setidaknya ada empat tujuan bernegara, yakni: 1. 2. 3. 4. Protection function, negara melindungi seluruh tumpah darah Indonesia; Walfare function, negara wajib mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat; Aducational function, negara mwmiliki kewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa; Peacefulness function, wajib menciptakan perdamaian dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, baik ke dalam maupun ke luar.

Sehubungan dengan tujuan bernegara bangsa Indonesia, sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 tersebut, para pakar menyebutkan bahwa tujuan negara seperti itu mencerminkan tipe negara hukum kesejahteraan (Walfare State). Teori negara hukum kesejahteraan merupakan perpaduan antara konsep neagara hukum dan negara kesejahteraan. Negara hukum (rechtsstaat) ialah negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaannya dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan dibawah kekuasaan hukum. Sedangkan konsep negara kesejahteraan adalah negara atu pemerintah tidak semata-mata sebagai penjaga keamanan atau ketertiban masyarakat, tetapi pemikul utama tanggung jawab mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum dan sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Negara Hukum kesejahteraan lahir sebagai reaksi terhadap gagalnya konsep negara hukum Liberal klasik dan negara hukum Sosialisis. Negara hukum liberal klasik lahir dari sejarah negara hukum di Prancis yang sejak revolusi 4 juli 1789. Pada masa sebelumnya yang berperan dalam kehidupan kenegaraan bersama raja hanya kaum bangsawan dan para pendeta saja, maka sejak saat itu kaum borjuis mulai memegang peranan dalam kehidupan bernegara. Semakin lama peran kaum borjuis semakin besar, terutama ketika raja memerlukan dana untuk membiayai peperangan. Raja memerlukan dana yang cukup besar dari kaum borjuis akibatnya, peranan kaum borjuis dalam mengatur negara menjadi semakin besar. Oleh karena itu, konsep negara hukum hasil pemikiran kaum borjuis ini dikenal dengan konsep negara hukum Liberal (Ahary, 1995:19). Tipe negara hukum liberal ini menghendaki agar negara berstatus pasif. Artinya, rakyat harus tunduk pada peraturan-peraturan negara. Penguasa bertindak sesuai dengan hukum. Di sini, kaum liberal menghendaki agar antara para penguasa dan dikuasai ada persetujuan dalam bentuk hukum.

Kaum borjuis dalam hal ini menginginkan agar hak-hak dan kebebasan pri adi masing-masing tidak diganggu, mereka tidak ingin dirugikan. Yang mereka inginkan adalah penyelenggaraan perekonomian atau kesejahteraan diserahkan kepada mereka. Negara tidak boleh turut campur dalam perekonomian tersebut. Jadi fungsi negara dalam Negara Hukum Libera hanya menjaga tata tertib dan keamanan, karena itu disebut juga negara hukum penjaga malam (Nachtwachter Staat) (Azhary, Ibid: 55). Penyelenggaraan perekonomian/penguasaan atas sumber daya alam negara liberalis klasik berdasarkan prinsip persaingan bebas yang berasakan laissez-faire di mana peranan negara sangat dibatasi (minimal government intervene). Negara tidak boleh mencampuri urusan dan kegiatan ekonomi masyarakat. Secara berat sebelah, kemerdekaanlah yang dipuja-puja, kebebasan berkompetisi (free compotition) secara perorangan terutama di lapangan ekonomi dipandangnya paling baik sesuai dengan ajaran Adam Smith. Dalam negara hukum klasik, selain jaminan pemilikan individu, juga dijamin kebebasan bersaing dan melakukan perjanjian/kontrak (freedom of contract). Akibat kemerdekaan bersaing dalam hubungannya dengan kebebasan berserikat dan berkontrak, menimbulkan kelompokkelompok usaha raksasa yang memonopoli penguasaan penggunaan sumber daya alam, akhirnya membunuh kemerdekaan bersaing itu sendiri. Terjadilah hal yang tragis; kemerdekaan membunuh kemerdekaan (Mustaming Daeng Matutu, 1972:9). Meskipun demikian, tidak berarti kegiatan ekonomi hanya bagi warga negara yang menguasai sumber daya ekonomi, melainkan juga terbagi pada setiap warga negara. Akan tetapi, interaksi antara warga negara yang menguasai sumber daya alam (kapitalis) dengan warga negara yang tidak menguasai sumber daya alam (buruh) terdapat ketimpangan, sebab bagi warga negara (buruh) yang hanya mengandalkan tenaga kerja tidak memiliki bargaining position. Kondisi yang demikian didukung oleh corak hukum yang mencerminkan aturan-aturan yang menjamin dan memperkuat posisi kegiatan ekonomi kapitalisme. Masyarakat kapitalis semakin hari semakin kuat, senaliknya masyarakat buruh (masyarakat kebanyakan) semakin lemah dan tidak berdaya. Dengan demikian, negara hukum klasik mengagung-agungkan kebebasan (freedom) dan keadilan (equity), tetapi tidak dapat menciptakan kesejahteraan bagi semua warga negara. Bahkan sebaliknya, justru menimbulkan penderitaan dan penyengsaraan rakyat banyak. Inilah sebagian bukti keburukan dan kekurangan dari tipe negara liberalis atau negara hukum klasik. Sedangkan negara hukum sosialis merupakan konsep yang dianut oleh negara-negara komunis/sosialis. Konsep negara hukum sosialis berbeda dengan konsep Barat, karena dalam socialist legality hukum ditempatkan di bawah sosialisme. Hukum adalah sebagai alat untuk mencapai sosialisme. hak perseorangan dapat disalurkan kepada prinsip-prinsip sosialisme, meskipun hak tersebut patut mendapat perlindungan . Dalam kaitannya dengan penguasaan terhadap sumber daya, menurut konsep sosialis terutama aliraqn sosialis ilmiah yang dipelopori oleh Karl Marx, keburukan-keburukan sosial ekonomi yang timbul dalam sistem kapitalisme, berakar pada dibenarkannya hak milik perorannngan atas sumber daya alam dan diberikannya kebebasan berusaha tanpa batas bagi pengusaha perseorangan untuk mengejar kepentingan pribadi (M. Tahir Azhary. 1992:91).

Oleh karena itu, paham maxisme memiliki suatu thesis, bahwa semua sumber daya alam harus dikuasai oleh negara untuk menjamin distribusi, sedangkan antitesisnya ialah pemilikan perorangan atas sumber daya alam dihapuskan atau dilarang dan sintesisnya ialah sumber dya alam menjadi milik bersama yang secara konkret dimiliki negara (etatisme). Oleh karena itu, pada negaranegara sosialis (komunis) yang berpaham maxisme, pemilikan individual (individual ownership) atas sumber daya alam tidak dikenal dan tidak pernah diakui secara hukum. Teori pemilikan negara atas sumber daya alam diajukan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels. Teori ini bertolak dari teori-teori ekonomi, khususnya nilai buruh (arbeidswaarde-theorie), yang diatasnya diletakan ajaran hukum dan negara. Berdasarkan teori ini, hanya dengan pemilikan negara atas sumber daya alam dapat menciptakan suatu sistem baru dalam hubungan produktif berdasarkan produksi untuk penggunaan bersama dan tidak untuk keuntungan perseorangan. Namun pemilikan negara yang pada mulanya bertujuan untuk menjamin distribusi hasil produksi sumber daya ekonomi bagi kepentingan rakyat banyak, secara berangsur-angsur dimanfaatkan oleh penguasa negara untuk mempertahankan kekuasaan dan diubah menjadi monopoli negara (state monopoly). Hal ini dimungkinkan pada tipe negara sosialis, karena corak hukumnya mencerminkan aturan-aturan yang selalu memberikan tempat pada negara atau pemerintah untuk mempengaruhi kegiatan ekonomi. Akibat dari monopoli negara atas sumber daya ekonomi, aktivitas ekonomi masyarakat tidak berkembang, sementara beban negara bertambah berat karena harus menanggung semua kebutuhan masyarakat (Ellydar Chaidir, 2007:39). Akibatnya menimbulkian penderitaan dan penyengsaraan rakyat banyak. Inilah sebagian keburkan dan kekurangan negara hukum sosialis yang berlandaskan paha Marxisme. Kekurangan-kekurangan tipe negara hukum dengan paham liberalisme-individualis dan paham Marxisme sosialisis telah menarik perhatian dan mnimbulkan reaksi yang diwujudkan dalam usaha ataupun mengganti sama sekali dengan sistem lain. Dalam usaha itu tampaklah konsep baru yang bersifat pragmatis, yang berusaha mempertahankan kebebasan dalam negara hukum sambil membenarkan negara campur tangan untuk penyelenggaraan kesejahteraan rakyat (citizen welfare) dan kesejahteraan umum (public welfare). Konsep berusaha memadukan paham liberalis-individualis dengan paham kolektivis. Paham tersebut melahirkan konsepsi tentang socio capitalis state atau new liberalism yang mengutamakan fungsi welfare. Negara tidak dipandang lagi sebagai alat kekuasaan (instrument of power) semata-mata, tetapi mulai dipandang sebagai alat pelayanan (an agency of services) (Mac Iver, 1950:4). Paham yang pragmatis ini melahirkan konsepsi negara kesejahteraan (welfare state) atau negara hukum modern atau negara hukum materiil yang pertama kali dilontarkan oleh ekonom Inggris John Maynard Keynes. Negara hukum kesejahteraan memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Dalam negara hukum kesejahteraan yang diutamakan adalah terjaminnya hak-hak asasi sosialekonomi rakyat; 2. Pertimbangan-pertimbangan efesiensi dan manajemen lebih diutamakan dibanding pembagian kekuasaan yang berorientasi politis, sehingga peranan eksekutip lebih besar daripada legislatif; 3. Hak milik tidak bersifat mutlak; 4. Negara tidak hanya menjaga ketertiban dan keamanan atau sekedar penjaga malam (Nachtwakerstaat), melainkan negara turut serta dalam usaha-usaha sosial maupun ekonomi;

5. Kaidah-kaidah hukum administrasi semakin banyak mengatur sosial ekonomi dan membebankan kewajiban tertentu kepada waraga negara; 6. Peranan hukum publik condong mendesak hukum privat, sebagai konsekuensi semakin luasnya peranan negara; 7. Lebih bersifat negara hukum materiil yang mengutamakan keadilan sosial yang materiil pula. Berdasarkan ciri-ciri diatas, jelaslah bahwa dalam konsep negar Kesejahteraan, peranan negara pada posisi yang kuat dan besar dalam menciptakan kesejahteraan umum (public welfar) dan keadilan sosial (social justice). Konsepsi negara yang demikian dalam berbagai literatur disebut dengan berbagai istilah antara lain: social service state atau agency of services (negara sebagai alat pelayanan). Dalam kajian ini aspek yang paling relevan adalah aspek sosial ekonomi dari konsep negara hukum. Kemudian hal yang esensial dari aspek ini ialah persoalan keadilan sosial dan kesejahteraan seluruh warga masyarakat. Paham keadilan sosial acapkali dibatasi pada keadilan ekonomis saja, keadilan sosial harus mencakup segala segi kehidupan bermasyarakat , berbangsa, dan bernegara. Namun harus diakui, keadilan ekonomis, merupakan faktor yang sangat menonjol dalam bentuk kewajiban negara dan pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam kaitan dengan keadilan ekonomi dan hak penguasaan negara atas sumber daya alam, dibutuhkan penciptaan dan penataan sistem penyelenggaraan ekonomi yang berpihak kepada rakyat. Penciptaan dan penataan sistem yang dimaksud dengan mengembalikan dan melaksanakan berbagai dasar yang telah ada, baik yang bersifat filosofis, ideologis, maupun konstitusional. Penataan sistem penyelenggaraan ekonomi yang berpihak kepada rakyat tidak terlepas dari fungsi negara itu sendiri dalam bidang ekonomi. Secara teoritik, Wolfgang Friedman (1971:3) mengemukakan empat fungsi negara di dalam bidang ekonomi yaitu: (1) Fungsi negara sebagai provider (penjaminan) kesejahteraan rakyat; (2) Fungsi negara sebagai regulator (pengatur) (3) Fungsi negara sebagai enterpreneur (pengusaha) atau menjalankan sektor-sektor tertentu melalui state owned corporations (BUMN) dan; (4) Fungsi negara sebagai umpire (pengawas, wasit) untuk merumuskan standar yang adil mengenai kinerja sektor ekonomi termasuk perusahaan negara (State corporatior).

Jika di lihat konsep negara hukum kesejahteraan diatas dalam konteks Indonesia, maka jelaslah bahwa Indonesia menganut konsep negara hukum kesejahteraan tersebut. Namun demikian tipe negara hukum kesejahteraan yang dianut di Indonesia berbeda dengan negara kesejahteraan yang dianut pada negara-negara maju. Negara kesejahteraan Indonesia dengan kepribadian bangsa Indonesia yang berdasarkan pancasila. Negara Hukum Indonesia lebih condong kepada tipe negara hukum yang rakyatnya turut serta secara aktif dalam pembangunan, bukan negara kesejahteraan yang rakyatnya pasif, sementara pemerinthnya sibuk mempersiapkan segala macam pelayanan kesejahteraan sosial.

D. INTERVENSI PEMERINTAH DAN SIFAT HUKUM PERBURUHAN/KETENAGAKERJAAN Tahap-demi tahap dari peristiwa suram bagi para buruh/pekerja tersebut dapat dilewati hingga dicetuskannya kemerdekaan pada tanggal 17 agustus 1945. Pada awal kemerdekaan, perjuangan bangsa Indonesia masih lebih banyak tertuju pada perang revolusi untuk mempertahankan kemerdekaan melawan bangsa penjajah yang ingin menjajah bangsa Indonesia kembali, sehingga produk-produk hukum sebagai pelaksanaan amanat UUD 1945, khususnya Pasal 27 (2) tentang hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan belum dapat terealisir. Ketentuan mengenai perubahan saat itu masih sepenuhnya memberlakukan hukum kolonial yakni Burjgelijik Wetboek (KUH perdata) berdasarkan ketentuan pasal II Aturan peralihan UUD 1945 yakni segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku sepanjang belum diganti dengan yang baru. Ketentuan perburuhan dalam KUH Perdata diatur dalam buku III, Bab 7A, bagian pertama mengenai ketentuan umum (Pasal 1601 a-1601c), bagian kedua tentang persetujuan perburuhan umumnya, (Pasal 1601d-1601x), bagian ketiga tentang kewajiban majikan (Pasal 1602a-1602z), bagian kempat tentang kewajiban buruh (Pasal 1603a-1603d), bagian kelima tentang tata cara berakhirnya hubungan kerja yang diterbitkan dari persetujuan (Pasal 1603e-1603w), dan ketentuan penutup (Pasal 1603x-1603z). Peratturan perubahan dalam KUH perdata bersifat liberal sesuai dengan falsafah negara yang membuatnya sehingga dalam banyak hal tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Sebagai contoh, konsepsi KUH perdata memandang pekerja sebagai barang yang apabila tidak berproduksi tidak di bayar/diupah. Hal ini disebutkan dalam pasal 1602 KUH perdata yakni tiada upah yang harus dibayar buntuk jangka waktu selama si buruh tidak melaksanakan pekerjaan. Demikian halnya dengan hak-hak lain yang sepenuhnya diserahkan kepada majikan, karena masalah perburuhan ini merupakan masalah perdataan. Jika hubungan antara buruh dengan majikan ini tetap diserahkan sepenuhnya kepada para pihak (buruh dan majikan), maka tujuan hukum perubahan untuk menciptkan keadilan sosial dibidang perburuhan akan sangat sulit trapai, karena pihak yang kuat akan selalu ingin menguasai pihak yang lemah (homo homoni lopus). Majikan sebagai pihak yang kuat secara soisial ekonomi akan selalu menekan pihak buruh yang berbeda pada posisi yang lemah/rendah. Atas dasar itulah, pemerintah secar berangsur-angsur turut serta dalam menangani masalah perubahan melalui berbagai peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan di bidang perubahan dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum terhadap hak dan kewajiban pengusaha maupun pekerja/buruh. Tujuan campur tangan pemerintah dalam bidang perburuhan ini adalah untuk mewujudkan perburuhan yang adil, karena peraturann perundang-undangan perburuhan memberikan hak-hak bagi buruh/pekerja sebagai manusia yang utuh, karena itu harus dilindungi baik menyangkut keselamatannya, kesehatannya, upah yang layak dan sebagainya. Selain itu pemerintah juga harus memperhatikan kepentingan pengusaha/majikan yakni kelangsungan perusahaan. Intervensi pemerintah dalam bidang perburuhan melalui peraturan perundang-undangan tersebut telah membawa perubahan mendasar yakni menjadikan sifat hukum perubahan menjadi

ganda yakni sifat frivat dan publik. Sifat privat melekat pada prinsip dasar adanya hubungan keerja yang ditandai dengan adanya perjanjian kerja antara buruh/pekerja dengan pengusaha/majikan. Sedangkan sifat publik dari hukum perubahan dapat dilihat dari : 1. Adanya sanksi pidana, sanksi administratif bagi pelanggar ketentuan di bidang perburuhan/ketenagakerjaan. 2. Ikut campur tangan pemerintah dalam menetapkan besarnya standar upah (Upah Minimum). Kehadiran Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan telah memberikan nuansa baru dalam khasanah hukum perubahan/ketenagakerjaan yakni: 1. Mensejajarkan istilah buruh/pekerja, istilah majikan diganti menjadi pengusaha dan pemberi kerja; istilah ini sudah lama diupayakan untuk diubah agar lebih sesuai dengan Hubungan Industrial Pancasila. 2. Menggantikan istilah perjanjian perburuhan labour agrement)/kesepakatan Kerja Bersama (KKB) dengan istilah Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang berupaya digani dengan alasan bahwa perejanjian perubahan berasal dari negara liberal yang sering kali dalam pembuatannya menimbulkan benturan kepentingan antara pihak buruh dengan majikan. 3. Sesuai dengan perkembangan zaman memberikan kesetaraan antara pekerja pra dan wanita, khususnya untuk bekerja pada malam hari. Bagi buruh/pekerja wanita berdsarkan undangundang ini tdak lagi dilarang untuk bekerja pada malamatasan kegiatan usaha, pembekuan hari. Pengusaha diberikan rambu-rambu yang harus ditaati mengenai hal ini. 4. Memberikan sanks;i yang memadai serta menggunakan batasan minimum dan maksimum, sehingga lebih menjamin kepastian hukum dalam penegakannya. 5. Mengatur mengenai sanksi administratif mulai dari teguran, peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan keghiatan usaha, pembatalan persetujuan, Pembatalan pendaftaran, penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi, dan pencabutan izin. Pada peraturan perundang-undangan sebelumnya sanksi ini tidak diatur.

You might also like