You are on page 1of 66

Ketika Ikhwah Jatuh Cinta Suatu ketika, dalam majelis koordinasi seorang akhwat berkata pada mas'ul dakwahnya,

"Akhi, ana ga bisa lagi berinteraksi dengan akh fulan." Suara akhwat itu bergetar. Nyata sekali menekan perasaannya. "Pekan lalu, ikhwan tersebut membuat pengakuan yang membuat ana merasa risi dan... afwan, terus terang juga tersinggung." Sesaat kemudian suara dibalik hijab itu mengatakan, "Ia jatuh cinta pada ana." Mas'ul tersebut terkejut, tapi ditekannya getar suaranya. Ia berusaha tetap tenang. "Sabar ukhti, jangan terlalu diambil hati. Mungkin maksudnya tidak seperti yang anti bayangkan." Sang mas'ul mencoba menenangkan terutama untuk dirinya sendiri. "Afwan, ana tidak menangkap maksud lain dari perkataannya. Ikhwan itu mungkin tidak pernah berpikir dampak perkataannya. Kata-kata itu membuat ana sedikit banyak merasa gagal menjaga hijab ana, gagal menjaga komitmen dan menjadi penyebab fitnah. Padahal, ana hanya berusaha menjadi bagian dari perputaran dakwah ini." Sang akhwat kini mulai tersedak terbata. Ya sudah, Ana berharap anti tetap istiqamah dengan kenyataan ini, ana tidak ingin kehilangan tim dakwah oleh permasalahan seperti ini," mas'ul itu membuat keputusan, "ana akan ajak bicara langsung akh fulan" Beberapa Waktu berlalu, ketika akhirnya mas'ul tersebut mendatangi fulan yang bersangkutan. Sang Akh berkata, "Ana memang menyatakan hal tersebut, tapi apakah itu suatu kesalahan?" Sang mas'ul berusaha menanggapinya searif mungkin. "Ana tidak menyalahkan perasaan antum. Kita semua berhak memiliki perasaan itu. Pertanyaan ana adalah, apakah antum sudah siap ketika menyatakan perasaan itu. Apakah antum mengatakannya dengan orientasi bersih yang menjamin hak-hak saudari antum. Hak perasaan dan hak pembinaannya. Apakah antum menyampaikan kepada pembina antum untuk diseriuskan? Apakah antum sudah siap berkeluarga. Apakah antum sudah berusaha menjaga kemungkinan fitnah dari pernyataan antum, baik terhadap ikhwah lain maupun terhadap dakwah?" mas'ul tersebut membuat penekanan substansial. "Akhi bagi kita perasaan itu tidak semurah tayangan sinetron atau bacaan picisan dalam novel-novel. Bagi kita perasaan itu adalah bagian dari kemuliaan yang Allah tetapkan untuk pejuang dakwah. Perasaan itulah yang melandasi ekspansi dakwah dan jaminan kemuliaan Allah SWT. Perasaan itulah yang mengeksiskan kita dengan beban berat amanah ini. Maka Jagalah perasaan itu tetap suci dan mensucikan. Cinta Aktivis Dakwah Bagaimana ketika perasaan itu hadir. Bukankah ia datang tanpa pernah diundang dan dikehendaki? Jatuh cinta bagi aktivis dakwah bukanlah perkara sederhana. Dalam konteks dakwah, jatuh cinta adalah gerbang ekspansi pergerakan. Dalam konteks pembinaan, jatuh cinta adalah naik marhalah pembinaan. Dalam konteks keimanan, jatuh cinta adalah bukti ketundukan kepada sunnah Rosullulah saw dan jalan meraih ridho Allah SWT.

Ketika aktivis dakwah jatuh cinta, maka tuntas sudah urusan prioritas cinta. Jelas, Allah, Rosullah dan jihad fii sabilillah adalah yang utama. Jika ia ada dalam keadaan tersebut, maka berkahlah perasaannya, berkahlah cintanya dan berkahlah amal yang terwujud dalam cinta tersebut. Jika jatuh cintanya tidak dalam kerangka tersebut, maka cinta menjelma menjadi fitnah baginya, fitnah bagi ummat, dan fitnah bagi dakwah. Karenannya jatuh cinta bagi aktivis dakwah bukan perkara sederhana. Ketika Ikhwan mulai bergetar hatinya terhadap akhwat dan demikian sebaliknya. Ketika itulah cinta 'lain' muncul dalam dirinya. Cinta inilah yang akan kita bahas disini. Yaitu sebuah karunia dari kelembutan hati dan perasaan manusia. Suatu karunia Allah yang membutuhkan bingkai yang jelas. Sebab terlalu banyak pengagung cinta ini yang kemudian menjadi hamba yang tersesat. Bagi aktivis dakwah, cinta lawan jenis adalah perasaan yang lahir dari tuntutan fitrah, tidak lepas dari kerangka pembinaan dan dakwah. Suatu perasaan produktif yang dengan indah dikemukakan oleh ibunda kartini, "Akan lebih banyak lagi yang dapat saya kerjakan untuk bangsa ini, bila saya ada disamping laki-laki yang cakap, lebih banyak kata saya... daripada yang saya usahakan sebagai perempuan yg berdiri sendiri.." Cinta memiliki 2 mata pedang. Satu sisinya adalah rahmat dengan jaminan kesempurnaan agama dan disisi lainnya adalah gerbang fitnah dan kehidupan yg sengsara. Karenanya jatuh cinta membutuhkan kesiapan dan persiapan. Bagi setiap aktivis dakwah, bertanyalah dahulu kepada diri sendiri, sudah siapkah jatuh cinta? Jangan sampai kita lupa, bahwa segala sesuatu yang melingkupi diri kita, perkataan, perbuatan, maupun perasaan adalah bagian dari deklarasi nilai diri sebagai generasi dakwah. Sehingga umat selalu mendapatkan satu hal dari apapun pentas kehidupan kita, yaitu kemuliaan Islam dan kemuliaan kita karena memuliakan Islam. Deklarasi Cinta Sekarang adalah saat yang tepat bagi kita untuk mendeklarasikan cinta diatas koridor yang bersih. Jika proses dan seruan dakwah senantiasa mengusung pembenahan kepribadiaan manusia, maka layaklah kita tempatkan tema cinta dalam tempat utama. Kita sadari kerusakan prilaku generasi hari ini, sebagian besar dilandasi oleh salah tafsir tentang cinta. Terlalu banyak penyimpangan terjadi, karena cinta didewakan dan dijadikan kewajaran melakukan pelanggaran. Dan tema tayangan pun mendeklarasikan cinta yang dangkal. Hanya ada cinta untuk sebuah persaingan, sengketa. Sementara cinta untuk sebuah kemuliaan, kerja keras dan pengorbanan, serta jembatan jalan kesurga dan kemuliaan Allah, tidak pernah mendapat tempat disana. Sudah cukup banyak pentas kejujuran kita lakukan. Sudah terbilang jumlah pengakuan keutamaan kita, sebuah dakwah yang kita gagas, Sudah banyak potret keluarga yg baru dalam masyarakat yg kita tampilkan. Namun berapa banyak deklarasi cinta yang sudah kita nyatakan. Cinta masih menjadi topik 'asing' dalam dakwah kita. Wajah, warna, ekspresi dan nuansa cinta kita masih terkesan misteri. Pertanyaan sederhana, "Gimana sih, kok kamu bisa nikah sama dia, Emang kamu cinta sama dia?" dapat kita jadikan indikator miskinnya kita mengkampanyekan cinta suci dalam dakwah ini.

Pernyataan "Nikah dulu baru pacaran" masih menjadi jargon yang menyimpan pertanyaan misteri, "Bagaimana caranya, emang bisa?" Sangat sulit bagi masyarakat kita untuk mencerna dan memahami logika jargon tersebut. Terutama karena konsumsi informasi media tayangan, bacaan, diskusi dan interaksi umum, sama sekali bertolak belakang dengan jargon tersebut. Inilah salah satu alasan penting dan mendesak untuk mengkampanyekan cinta dengan wujud yang baru. Cinta yang lahir sebagai bagian dari penyempurnaan status hamba. Cinta yang diberkahi karena taat kepada sang Penguasa. Cinta yang menjaga diri dari penyimpangan, penyelewengan dan perbuatan ingkar terhadap nikmat Allah yang banyak. Cinta yang berorientasi bukan sekedar jalan berdua, makan, nonton dan seabrek romantika yang berdiri diatas pengkhianatan terhadap nikmat, rezki, dan amanah yang Allah berikan kepada kita. Kita ingin lebih dalam menjabarkan kepada masyarakan tentang cinta ini. Sehingga masyarakat tidak hanya mendapatkan hasil akhir keluarga dakwah. Biarkan mereka paham tentang perasaan seorang ikhwan terhadap akhwat, tentang perhatian seorang akhwat pada ikhwan, tentang cinta ikhwan-akhwat, tentang romantika ikhwan-akhwat dan tentang landasan kemana cinta itu bermuara. Inilah agenda topik yang harus lebih banyak dibuka dan dibentangkan. Dikenalkan kepada masyarakat berikut mekanisme yang menyertainya. Paling tidak gambaran besar yang menyeluruh dapat dinikmati oleh masyarakat, sehingga mereka bisa mengerti bagaimana proses panjang yang menghasilkan potret keluarga dakwah hari ini. Epilog Setiap kita yang mengaku putra-putri Islam, setiap kita yang berjanji dalam kafilah dakwah, setiap kita yang mengikrarkan Allahu Ghoyatuna, maka jatuh cinta dipandang sebagai jalan jihad yang menghantarkan diri kepada cita-cita tertinggi, syahid fi sabililah. Inilah perasaan yang istimewa. Perasaan yang menempatkan kita satu tahap lebih maju. Dengan perasaan ini, kita mengambil jaminan kemuliaan yang ditetapkan Rosullulah. Dengan perasaan ini kita memperluas ruang dakwah kita. Dengan perasaan ini kita naik marhalah dalam dakwah dan pembinaan. Betapa Allah sangat memuliakan perasaan cinta orang-orang beriman ini. Dengan cinta itu mereka berpadu dalam dakwah. Dengan cinta itu mereka saling tolong menolong dalam kebaikan, dengan cinta itu juga mereka menghiasi Bumi dan kehidupan di atasnya. Dengan itu semua Allah berkahi nikmat itu dengan lahirnya anak-anak shaleh yang memberatkan Bumi dengan kalimat Laa Illaha Ilallah. Inilah potret cinta yang sakinah, mawaddh, warahmah. Jadi "sudah berani jatuh cinta"?

Kisah seorang Pemeriksa Pajak Melawan Korupsi Sebagai pegawai Departemen Keuangan, saya tidak gelisah dan tidak kalangkabut akibat prinsip hidup korupsi. Ketika misalnya, tim Inspektorat Jenderal datang, BPKP datang, BPK datang, teman-teman di kantor gelisah dan belingsatan, kami tenang saja. Jadi sebenarnya hidup tanpa korupsi itu menyenangkan sekali. Hidup tidak korupsi itu sebenarnya lebih menyenangkan. Meski orang melihat kita sepertinya sengsara, tapi sebetulnya lebih menyenangkan. Keadaan itu paling tidak yang saya rasakan langsung. Saya Arif Sarjono, lahir di Jawa Timur tahun 1970, sampai dengan SMA di Mojokerto, kemudian kuliah di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) dan selesai pada 1992. Pada 17 Oktober 1992 saya menikah dan kemudian saya ditugaskan di Medan. Saya ketika itu mungkin termasuk generasi pertama yang mencoba menghilangkan dan melawan arus korupsi yang sudah sangat lazim. Waktu itu pertentangan memang sangat keras. Saya punya prinsip satu saja, karena takut pada Allah, jangan sampai ada rezeki haram menjadi daging dalam diri dan keturunan. Itu saja yang selalu ada dalam hati saya. Kalau ingat prinsip itu, saya selalu menegaskan lagi untuk mengambil jarak yang jelas dan tidak menikmati sedikit pun harta yang haram. Syukurlah, prinsip itu bisa didukung keluarga, karena isteri juga aktif dalam pengajian keislaman. Sejak awal ketika menikah, saya sampaikan kepada isteri bahwa saya pegawai negeri di Departemen Keuangan, meski imej banyak orang, pegawai Departemen Keuangan kaya, tapi sebenarnya tidak begitu. Gaji saya hanya sekian, kalau mau diajak hidup sederhana dan tanpa korupsi, ayo. Kalau tidak mau, ya sudah tidak jadi. Dari awal saya sudah berusaha menanamkan komitmen kami seperti itu. Saya juga sering ingatkan kepada isteri, bahwa kalau kita konsisten dengan jalan yang kita pilih ini, pada saat kita membutuhkan maka Allah akan selesaikan kebutuhan itu. Jadi yg penting usaha dan konsistensi kita. Saya juga suka mengulang beberapa kejadian yg kami alami selama menjalankan prinsip hidup seperti ini kepada istri. Bahwa yg penting bagi kita adalah cukup dan berkahnya, bahwa kita bisa menjalani hidup layak. Bukan berlebih seperti memiliki rumah dan mobil mewah. Menjalani prinsip seperti ini jelas banyak ujiannya. Di mata keluarga besar misalnya, orangtua saya juga sebenarnya mengikuti logika umum bahwa orang pajak pasti kaya. Sehingga mereka biasa meminta kami membantu adik-adik dan keluarga. Tapi kami berusaha menjelaskan bahwa kondisi kami berbeda dengan imej dan anggapan orang. Proses memberi pemahaman seperti ini pada keluarga sulit dan membutuhkan waktu bertahun-tahun. Sampai akhirnya pernah mereka berkunjung ke rumah saya di Medan, saat itulah mereka baru mengetahui dan melihat bagaimana kondisi keluarga saya, barulah perlahan-lahan mereka bisa memahami. Jabatan saya sampai sekarang adalah petugas verifikasi lapangan atau pemeriksa pajak. Kalau dibandingkan teman-teman seangkatan sebenarnya karir saya bisa dikatakan terhambat antara empat sampai lima tahun. Seharusnya paling tidak sudah menjabat Kepala Seksi, Eselon IV. Tapi sekarang baru Eselon V. Apalagi dahulu di masa Orde

Baru, penentangan untuk tidak menerima uang korupsi sama saja dengan karir terhambat. Karena saya dianggap tidak cocok dengan atasan, maka kondite saya di mata mereka buruk. Terutama poin ketaatannya, dianggap tidak baik dan jatuh. Banyak pelajaran yang bisa saya petik dari semua pengalaman itu. Antara lain, orangorang yang berbuat jahat akan selalu berusaha mencari kawan apa pun caranya. Cara keras, pelan, lewat bujukan atau apa pun akan mereka lakukan agar mereka mendapat dukungan. Mereka pada dasarnya tidak ingin ada orang yang bersih. Mereka tidak ingin ada orang yang tidak seperti mereka. Pengalaman di kantor yang paling berkesan ketika mereka menggunakan cara paling halus, pura-pura berteman dan bersahabat. Tapi belakangan, setelah sekian tahun barulah ketahuan, kita sudah dikhianati. Cara seperti in seperti sudah direkayasa. Misalnya, pegawai-pegawai baru didekati. Mereka dikenalkan dengan gaya hidup dan cara bekerja pegawai lama, bahwa seperti inilah gaya hidup pegawai Departemen Keuangan. Bila tidak berhasil, mereka akan pakai cara lain lagi, begitu seterusnya. Pola-pola apa saja dipakai, sampai mereka bisa merangkul orang itu menjadi teman. Saya pernah punya atasan. Dari awal ketika memperkenalkan diri, dia sangat simpatik di mata saya. Dia juga satu-satunya atasan yang mau bermain ke rumah bawahan. Saya dengan atasan itu kemudian menjadi seperti sahabat, bahkan seperti keluarga sendiri. Di akhir pekan, kami biasa memancing sama-sama atau jalan-jalan bersama keluarga. Dan ketika pulang, dia biasa juga menitipkan uang dalam amplop pada anak-anak saya. Saya sendiri menganggap pemberian itu hanya hadiah saja, berapalah hadiah yang diberikan kepada anak-anak. Tidak terlalau saya perhatikan. Apalagi dalam proses pertemanan itu kami sedikit saja berbicara tentang pekerjaan. Dan dia juga sering datang menjemput ke rumah, mangajak mancing atau ke toko buku sambil membawa anak-anak. Hingga satu saat saya mendapat surat perintah pemeriksaan sebuah perusahaan besar. Dari hasil pemeriksaan itu saya menemukan penyimpangan sangat besar dan luar biasa jumlahnya. Pada waktu itu, atasan melakukan pendekatan pada saya dengan cara paling halus. Dia mengatakan, kalau semua penyimpangan ini kita ungkapkan, maka perusahaan itu bangkrut dan banyak pegawai yang di-PHK. Karena itu, dia menganggap efek pembuktian penyimpangan itu justru menyebabkan masyarakat rugi. Sementara dari sisi pandang saya, betapa tidak adilnyakalau tidak mengungkap temuan itu. Karena sebelumnya ada yang melakukan penyimpangan dan kami ungkapkan. Berarti ada pembedaan. Jadwal penagihannya pun sama seperti perusahaan lain. Karena dirasa sulit mempengaruhi sikap saya, kemudian dia memakai logika lain lagi. Apakah tidak sebaiknya kalau temuan itu diturunkan dan dirundingkan dengan klien, agar bisa membayar pajak dan negara untung, karena ada uang yang masuk negara. Logika seperti ini juga tidak bisa saya terima. Waktu itu, saya satu-satunyaanggota tim yang menolak dan meminta agar temuan itu tetap diungkap apa adanya. Meski saya juga sadar, kalau saya tidak menandatangani hasil laporan itu pun, laporan itu akan tetap sah. Tapi saya merasa teman-teman itu sangat ingin semua sepakat dan sama seperti mereka. Mereka ingin semua sepakat dan sama seperti mereka. Paling tidak menerima. Ketika sudah mentok semuanya, saya dipanggil oleh atasan dan disidang di depan kepala kantor.

Dan ini yang amat berkesan sampai sekarang, bahwa upaya mereka untuk menjadikan orang lain tidak bersih memang direncanakan. Di forum itu, secara terang-terangan atasan yang sudah lama bersahabatdan seperti keluarga sendiri dengan saya itu mengatakan, "Sudahlah, Dik Arif tidak usah munafik." Saya katakan, "Tidak munafik bagaimana Pak? Selama ini saya insya Allah konsisten untuk tidak melakukan korupsi." Kemudian ia sampaikan terus terang bahwa uang yang selama kurang lebih dua tahun ia berikan pada anak saya adalah uang dari klien. Ketika mendengar itu, saya sangat terpukul, apalagi merasakan sahabat itu ternyata berkhianat. Karena terus terang saya belum pernah mempunyai teman sangat dekat seperti itu, kacuali yang memang sudah sama-sama punya prinsip untuk menolak uang suap. Bukan karena saya tidak mau bergaul, tapi karena kami tahu persis bahwa mereka perlahan-lahan menggiring ke arah yang mereka mau. Ketika merasa terpukul dan tidak bisa membalas dengan kata-kata apa pun, saya pulang. Saya menangis dan menceritakan masalah itu pada isteri saya di rumah. Ketika mendengar cerita saya itu, isteri langsung sujud syukur. Ia lalu mengatakan, "Alhamdulillah. Selama ini uang itu tidak pernah saya pakai," katanya. Ternyata di luar pengatahuan saya, alhamdulillah, amplop-amplo itu tidak digunakan sedikit pun oleh isteri saya untuk keperluan apa pun. Jadi amplop-amplop itu disimpan di sebuah tempat, meski ia sama sekali tidak tahu apa status uang itu. Amplopamplop itu semuanya masih utuh. Termasuk tulisannya masih utuh, tidak ada yang dibuka. Jumlahnya berapa saya juga tidak tahu. Yang jelas, bukan lagi puluhan juta. Karena sudah masuk hitungan dua tahun dan diberikan hampir setiap pekan. Saya menjadi bersemangat kembali. Saya ambil semua amplop itu dan saya bawa ke kantor. Saya minta bertemu dengan kepala kantor dan kepala seksi. Dalam forum itu, saya lempar semua amplop itu di hadapan atasan saya hingga bertaburan di lantai. Saya katakan, "Makan uang itu, satu rupiah pun saya tidak pernah gunakan uang itu. Mulai saat ini, saya tidak pernah percaya satu pun perkataan kalian." Mereka tidak bisa bicara apa pun karena fakta obyektif, saya tidak pernah memakai uang yang mereka tuduhkan. Tapi esok harinya, saya langsung dimutasi antar seksi. Awalnya saya diauditor, lantas saya diletakkan di arsip, meski tetap menjadi petugas lapangan pemeriksa pajak. Itu berjalan sampai sekarang. Ketika melawan arus yang kuat, tentu saja da saat tarik-menarik dalam hati dan konflik batin. Apalagi keluarga saya hidup dalam kondisi terbatas. Tapi alhamdulillah, sampai sekarang saya tidak tergoda untuk menggunakan uang yang tidak jelas. Ada pengalaman lain yang masih saya ingat sampai sekarang. Ketika saya mengalami kondisi yang begitu mendesak. Misalnya, ketika anak kedua lahir. Saat itu persis ketika saya membayar kontrak rumah dan tabungan saya habis. Sampai detik-detik terakhir harus membayar uang rumah sakit untuk membawa isteri dan bayi kami ke rumah, saya tidak punya uang serupiah pun. Saya mau bcara dengan pihak rumah sakit dan terus terang bahwa insya Allah pekan depan akan saya bayar, tapi saya tidak bisa ngomong juga. Akhirnya saya keluar sebentar ke masjid untuk sholat dhuha. Begitu pulang dari sholat dhuha, tiba-tiba saja saya ketemu

teman lama di rumah sakit itu. Sebelumnya kami lama sekali tidak pernah jumpa. Dia dapat cerita dari teman bahwa isteri saya melahirkan, maka dia sempatkan datang ke rumah sakit. Wallahu a'lam apakah dia sudah diceritakan kondisi saya atau bagaimana, tetapi ketika ingin menyampaikan kondisi saya pada pihak rumah sakit, saya malah ditunjukkan kwitansi seluruh biaya perawatan isteri yang sudah lunas. Alhamdulillah. Ada lagi peristiwa hampir sama, ketika anak saya operasi mata karena ada lipoma yang harus diangkat. Awalnya, saya pakai jasa askes. Tapi karena pelayanan pengguna Askes tampaknya apa adanya, dan saya kasihan karena anak saya baru berumur empat tahun, saya tidak pakai Askes lagi. Saya ke Rumah Sakit yang agak bagus sehingga pelayanannya juga agak bagus. Itu saya lakukan sambil tetap berfikir, nanti uangnya pinjam dari mana? Ketika anak harus pulang, saya belum juga punya uang. Dan saya paling susah sekali menyampaikan ingin pinjam uang. Alhamdulillah, ternyata Allah cukupkan kebutuhan itu pada detik terakhir. Ketika sedang membereskan pakaian di rumah sakit, tiba-tiba Allah pertemukan saya dengan seseorang yang sudah lama tidak bertemu. Ia bertanya bagaimana kabar, dan saya ceritakan anak saya sedang dioperasi. Dia katakan, "Kenapa tidak bilang-bilang?" Saya sampaikan karena tidak sempat saja. Setelah teman itu pulang, ketika ingin menyampaikan penundaan pembayaran, ternyata kwitansinya juga sudah dilunasi oleh teman itu. Alhamdulillah. Saya berusaha tidak terjatuh ke dalam korupsi, meski masih ada tekanan keluarga besar, di luar keluarga inti saya. Karena ada teman yang tadinya baik tidak memakan korupsi, tapi jatuh karena tekanan keluarga. Keluarganya minta bantuan, karena takut dibilang pelit, mereka terpaksa pinjam sana sini. Ketika harus bayar, akhirnya mereka terjerat korupsi juga. Karena banyak yang seperti itu, dan saya tidak mau terjebak begitu, saya berusaha dari awal tidak demikian. Saya berusaha cari usaha lain, dengan mengajar dan sebagainya. Isteri saya juga bekerja sebagai guru. Di lingkungan kerja, pendekatan yang saya lakukan biasanya lebih banyak dengan bercanda. Sedangkan pendekatan serius, sebenarnya mereka sudah puas dengan pendekatan itu, tapi tidak berubah. Dengan pendekatan bercanda, misalnya ketika datang tim pemeriksa dari BPK, BPKP, atau Irjen. Mereka gelisah sana-sini kumpulkan uang untuk menyuap pemeriksa. Jadi mereka dapat suap lalu menyuap lagi. Seperti rantai makanan. Siapa memakan siapa. Uang yang mereka kumpulkan juga habis untuk dipakai menyuap lagi. Mereka selalu takut ini takut itu. Paling sering saya hanya mengatakan dengan bercanda, "Uang setan ya dimakan hantu." Dari percakapan seperti itu ada juga yang mulai berubah, kemudian berdialog dan akhirnya berhenti sama sekali. Harta mereka jual dan diberikan kepada masyarakat. Tapi yang seperti itu tidak banyak. Sedikit sekali orang yang bisa merubah gaya hidup yang semula mewah lalu tiba-tiba miskin. Itu sulit sekali. Ada juga diantara teman-teman yang beranggapan, dirinya tidak pernah memeras dan tidak memakan uang korupsi secara langsung. Tapi hanya menerima uang dari atasan.

Mereka beralasan toh tidak meminta dan atasan itu hanya memberi. Mereka mengatakan tidak perlu bertanya uang itu dari mana. Padahal sebenarnya, dari ukuran gaji kami tahu persis bahwa atasan kami tidak akan pernah bisa memberikan uang sebesar itu. Atasan yang memberikan itu berlapis-lapis. Kalau atasan langsung biasanya memberi uang hari Jum'at atau akhir pekan. Istilahnya kurang lebih uang Jum'atan. Atasan yang berikutnya lagi pada momen berikutnya memberi juga. Kalau atasan yang lebih tinggi lagi biasanya memberi menjelang lebaran dan sebagainya. Kalau dihitung-hitung sebenarnya lebih besar uang dari atasan dibanding gaji bulanan. Orang-orang yang menerima uang seperti ini yang sulit berubah. Mereka termasuk rajin sholat, puasa sunnah dan membaca Al-Qur'an. Tetapi mereka sulit berubah. Ternyata hidup dengan korupsi memang membuat sengsara. Di antara teman-teman yang korupsi, ada juga yang akhirnya dipecat, ada yang melarikan diri karena dikejar-kejar polisi, ada yang isterinya selingkuh dan lain-lain. Meski secara ekonomi mereka sangat mapan, bukan hanya sekadar mapan. Yang sangat dramatis, saya ingat teman sebangku saya saat kuliah di STAN.Awalnya dia sama-sama ikut kajian keislaman di kampus. Tapi ketika keluarganya mulai sering minta bantuan, adiknya kuliah, pengobatan keluarga dan lainnya, dia tidak bisa berterus terang tidak punya uang. Akhirnya ia mencoba hutang sana-sini. Dia pun terjebak dan merasa sudah terlanjur jatuh, akhirnya dia betul-betul sama dengan teman-teman di kantor. Bahkan sampai sholat ditinggalkan. Terakhir, dia ditangkap polisi ketika sedang mengkonsumsi narkoba. Isterinya pun selingkuh. Teman itu sekarang dipecat dan dipenjara. Saya berharap akan makin banyak orang yang melakukan jihad untuk hidup yang bersih. Kita harus bisa menjadi pelopor dan teladan di mana saja. Kiatnya hanya satu, terus menerus menumbuhkan rasa takutmenggunakan dan memakan uang haram. Jangan sampai daging kita ini tumbuh dari hasil rejeki yang haram. Saya berharap, mudahmudahan Allah tetap memberikan pada kami keistiqomahan (matanya berkaca-kaca)

Lelaki Paling Sederhana Saya tak akan menyebut namanya dalam tulisan ini, satu alasannya tentu saja untuk menjaganya tetap rendah hati dan sesederhana kesederhanaannya saat ini. Lelaki ini sudah menjadi sahabat saya sejak belasan tahun lalu saat kami sama-sama dipersatukan dalam wadah organisasi pelajar islam. Hingga detik ini, sejak belasan tahun itu pula ada yang tak berubah dari dirinya, yakni kesederhanaan yang erat melekat dalam kesehariannya. Ada banyak kisah kebersamaan dengannya. Medio tahun 2000, beberapa bulan setelah saya menikah, isteri saya bercerita tentang sahabat perempuannya yang juga berkeinginan mengakhiri fase kesendiriannya dan berharap dipertemukan dengan seorang pangeran yang kan mengukirkan nama indahnya di atas prasasti cinta berbingkai pernikahan. Terbetiklah nama sahabat saya itu untuk dipertemukan dengan sahabat isteri saya. Lelaki ini bukanlah pangeran, ia tidak akan membawa sekuntum bunga yang kan disematkan ke hati yang merindu biru itu. Lelaki ini hanya punya satu cinta, bukan cinta yang sederhana, melainkan cintanya kepada kesederhanaan. Hari yang ditentukan pun tiba, saya menjemput lelaki ini di kawasan Menteng untuk beranjak ke Bogor. Layaknya seorang lelaki yang hendak dipertemukan dengan gadis, pakaian perlente, sisiran rambut klimis mengkilap ditambah empat-lima semprotan pewangi di sudut-sudut tertentu tubuh semestinya dilakukan. Tidak dengan lelaki ini, bersandal jepit, kaos oblong dari gantungan di balik pintu, mandi ala kadarnya dan tak sempat ber-shampoo, berangkatlah ia. Sodoran pakaian lebih rapih dari tangan ini ditolaknya halus, "gadis itu akan menikah dengan saya, bukan dengan baju kamu". Mengalahlah saya. Pertemuan di selasar sebuah masjid di Bogor pun begitu menegangkan, saya menangkap kerut tajam di alis gadis yang hendak diperkenalkan dengan lelaki sederhana sahabat saya. Mencoba menebak gurat wajahnya yang terlihat tak nyaman dengan penampilan lelaki yang ia mencoba menautkan hati padanya. Akankah? Malam setelah pagi yang menegangkan itu, saya beranikan diri bertanya kepada isteri saya perihal komentar, pikiran, tanggapan, penilaian dan juga perasaan sahabatnya terhadap sahabat saya. "Aneh," cuma itu pernyataan yang keluar dari mulutnya menjelang kami berpisah sebelum siang. Kurang dari tiga bulan lalu, perempuan sahabat isteri saya itu baru saja melahirkan anak kedua dari suami yang empat tahun lalu dianggapnya aneh. Ya, lelaki sederhana itu menjadi Ayah dari putri kedua perempuan yang sejak saya mengenalnya, ternyata tak kalah sederhananya. Kalaulah ada perempuan yang bahagia menikah dengan lelaki sederhana, ialah perempuan sederhana. Jika saya menganggap sahabat saya itu lelaki paling sederhana yang pernah saya kenal, tentulah isterinya adalah perempuan paling sederhana yang saya kenal. *** Disaat beberapa sahabat lain berkali-kali mengganti telepon selularnya, lelaki ini tak pernah iri dan tetap setia dengan yang digenggamnya bertahun-tahun lalu. Sudah pasti

Anda tak akan pernah menemukan telepon selularnya di barisan barang bekas sekali pun. Ia lebih sering mengganti nomor selularnya lantaran teramat sering hangus tak terisi ulang. Jangan pernah tertipu dengan senyum manisnya yang sering menyembunyikan beribu gundah di hatinya, tentang Ayahnya yang sakit-sakitan, kecemasan akan ibunya yang masih saja berjualan nasi uduk di usia senjanya, tentang penghasilannya yang sudah habis di pekan pertama. Kemampuannya mengubah sedih menjadi aura ketenangan di wajah dan sikapnya seolah menjelaskan kepada siapa pun yang mengenalnya dengan sebuah kalimat, "tenang, semua bisa diatasi". Saat SMA dahulu, kami sering tertipu dengan senyum dan ketenangannya. Jika tak kami desak untuk bercerita, tak kan pernah tahu kami bahwa begitu cemasnya ia akan sebuah harapan untuk bisa menyelesaikan sekolahnya. Pantaslah jika sang ibu membasahi pipinya dengan air mata bangga saat lelaki sederhana itu menyandang gelar sarjana di tangannya. Kalau Anda bertanya siapa lelaki paling sederhana yang pernah saya kenal, saya akan memperkenalkan Anda kepadanya. Saya bangga menjadi sahabatnya, ia sahabat sekaligus guru saya.

JODOH Apa jadinya ketika sepasang suami istri berbudi menjodohkan masing-masing sahabat mereka yang belum pernah saling mengenal, memiliki karakter berlawanan serta kultur yang begitu berbeda? Mereka akan menjadi pasangan yang hebat! kata sang istri. Sambil mempromosikan gadis berjilbab sahabatnya. Sangat menarik dan akan saling melengkapi! tutur si suami sambil dengan semangat menceritakan tentang jaka yang saleh, sahabatnya. Jika Allah mengizinkan, mereka akan menjadi pasangan yang cocok! Gadis dan jaka sama-sama kuliah di UI, namun berbeda fakultas. Mereka sama-sama aktif dalam kegiatan kerohanian Islam. Dua kali pasangan suami istri sahabat mereka itu mencoba mempertemukan jaka dan gadis dalam satu forum. Namun saat Jaka datang, si gadis tiba-tiba berhalangan. Ketika gadis hadir, si jaka yang tak bisa. Akhirnya sepasang suami istri tersebut mencoba mengatur pertemuan ketiga sambil memberikan data orang yang ingin mereka perkenalkan masing-masing pada jaka dan si gadis--- secara sendiri-sendiri. Di kamar kos-nya gadis melihat data-data si jaka dan fotonya. Ini yang mau diperkenalkan itudan diharap oleh sahabatnya bisa menjadi pasangan hidup abadi si gadis? Priyayi Solo? Bagaimana cara berbicara yang dianggap santun oleh orang Solo? Si gadis geleng-geleng kepala. Jangankan menjadi istri, bisa-bisa dia kabur melihat gaya bicaraku Dalam kamar kos yang lain, di seberang gang kober, jaka tertegun. Sudah lumayan sering aku mendengar kiprah gadis itu di kampus dan majalah. Tapi apa tak salah? Si kelahiran Medan ini punya penyakit begitu banyak? Jantung, pernah gegar otak, paru-paru, kelenjar getah bening? Waduh, bagaimana bila si penyakitan ini kelak menjadi istrinya? Tapi prestasinya lumayanrekomendasi dari sahabatku bukan sembarangan. Tak dinyana, sebelum sempat diadakan taaruf, dalam salah satu forum di universitas, jaka dan gadis bertemu. Apa yang terjadi dalam diskusi pagi itu? Sebuah perdebatan yang panjang. Cara pandang yang begitu berbeda. Dan tiba-tiba pagi di UI menjadi tak cerah. Pria yang membosankan dan keras kepala, pikir si gadis. Dasar keras hati! Belum ada perempuan yang berbicara menentangku seperti gadis ini! Pikir si jaka. Lelaki seperti ini yang ingin diperkenalkan padaku? Si gadis nyengir. Dia akan kapok denganku dan segera melupakan langkah lanjut perkenalan kami Si jaka tak kalah gerah. Perempuan seperti ini? Aku selalu berpikir perempuan adalah kelembutan, kematangan, kepatuhan, pikir si jaka. Tapi ini?

Sepanjang forum kata-kata berseliweran dalam ruangan itu, terutama dari mulut gadis dan jaka tersebut. Forum tersebut bukan tak penting, sebab mereka dan semua teman yang hadir pada saat itu tengah membicarakan suksesi kepemimpinan mahasiswa di universitas mereka. Menurut saya tidak bisa seperti itu! Mengapa tidak? Menurut saya yang demikian yang paling mungkin! Tidak bisa! Karena. Bisa! Karena." Setelah perundingan yang melelahkan, akhirnya dicapai kesepakatan. Sebuah kesepakatan yang didapat dengan catatan. Ini mungkin pertama dan terakhir kali kami bertemu dan berbicang, pikir si gadis. Dia pasti kapok dan tak ingin mengenalku lebih dalam. Tapi tak apa, setidaknya aku tak berpura-pura membuat ia terkesan. Jaka resah. Gadis seperti ini? Entahlah. Keras kepala, penyakitan pula! Apa harus diteruskan? Tak pernah ada perkenalan yang direncanakan lagi setelah itu. Kelihatannya mereka memang tak cocok dan mungkin akan saling melupakan. Namun tak lama kemudian, pada suatu pagi, seseorang datang ke tempat gadis dan berkata: Saya sudah istikharah dan kamu selalu muncul. Bersediakah? (lupakan ia penyakitan, ia baik untuk menjadi istriku. Allah menunjukkannya!) Gadis tak mengerti. Dia diam. Apa yang dilihat lelaki muda itu dari dirinya? Tak cantik. Tak kaya. Tak terlalu cerdas. Sangat biasa. Pernah bertengkar pada pertemuan pertama pula. Apa? Apa yang dilihat lelaki itu? Pilihan yang tak lazim Gadis pun memilih istikharah sebelum menjawab. Sesuatu yang menakjubkan dan tak terduga muncul! Seperti ada yang membimbing ketika si gadis berkata Ya. Sebulan kemudian, jaka melamar gadis. Dan hanya diperlukan waktu sebulan lagi sebelum kemudian jaka dan gadis menikah! Sungguh akhir yang tak terduga! Sebuah pernikahan berlangsung sederhana namun meriah, di Jakarta. Banyak sekali saudara dan sahabat yang hadir. Mereka bertanya-tanya, bagaimana dua pasangan ini bisa bertemu? Pada malam pertama gadis dan jaka berbicara hingga dinihari, shalat malam dan tilawah bersama. Jadi bagaimana sampai bisa kamu punya penyakit sebanyak itu? tanya jaka pada istrinya tiba-tiba.

Apa, Mas? Penyakit? Maaf, penyakit apa ya? Jantung, gegar otak, paru-paru, kelenjar getah bening, . Apa? gadis bingung.

gadis

balik

bertanya.

CINTA LAKI-LAKI BIASA MENJELANG hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya. "Kenapa?" tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi. Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu. Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon lima belas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yang barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata! Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap. Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka. "Kamu pasti bercanda!" Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania! "Nania serius!" tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya. "Tidak ada yang lucu," suara Papa tegas, "Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!" Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan. "Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan?" Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, "maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?"

Mas baca di datamu. Data yang diberikan oleh sahabat kita itu! Tapi Mas sudah ikhlas kok menerima dengan segala kelebihan dan kekurangan. Semoga kamu juga begitu ya. Gadis ternganga. "Penyakit?" Mas, aku nggak punya penyakit seperti itu. Paling-paling cuma mag, gadis nyengir lagi. Jaka terkejut sekali. Tak lama wajahnya berseri-seri. Alhamdulillah (ia ingat, ia sudah mengambil resiko untuk memilih gadis yang keras kepala itu, meski ia penyakitan, meski orangtuanya sangat keberatan dengan ragam penyakit calon menantu mereka). Mata jaka berkaca. Allah Maha Besar! Allah Maha Besar! Malam itu si gadis menyempatkan diri mengirim pesan via pager pada sahabat perempuan yang sangat disayanginya: Mbak sayang, datanya ketuker ya? Or salah tulis soal penyakit? Hebat dia masih maju terus! Aku tahu dia memang bukan lelaki biasa! Bulan bahkan sudah tidur sejak tadi. Tapi jaka dan gadis seperti tak ingin memejamkan mata. Mereka tak berhenti menatap satu sama lain; sebuah pesona yang lama dinanti, hadir dari lintasan misteri, menerpa hati dan wajah mereka. Menyala. Ini cinta? Atau belum lagi sampai pada cinta? Apapun itu, mereka percaya, kebaikan menumbuhkan cinta; keindahan yang tangguh. Dan pacaran sesudah menikah? Hmm mungkin itu kenikmatan berlimpah berikutnya :) Subuh pun hadir membasuh kembali wajah mereka. Suara adzan terdengar menggetarkan. Jaka dan gadis sadar, telah mereka genggam anugerah tak terkata itu: bertemu dengan pasangan jiwa yang sudah dituliskan Illahi. Kini telah lebih dari sepuluh tahun, cinta menemukan dan menempuh jalannya. Semoga abadi!

Nania terkesima. "Kenapa?" Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik. Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus! Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur. Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau! Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan. "Nania Cuma mau Rafli," sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak. Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah. "Tapi kenapa?" Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa. Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya. "Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!" Cukup! Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini? Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia. Mereka akhirnya menikah. *** Setahun pernikahan. Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu

juga

menjelaskan

kelebihan-kelebihan

Rafli

agar

tampak

di

mata

mereka.

Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia. "Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania." Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan. Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya. "Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu!" "Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar!" "Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!" Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli. Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen. Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak! Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan? Rafli juga pintar! Tidak sepintarmu, Nania. Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan. Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu. Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma. "Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu." Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak. Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. "Tak apa," kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang."

Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik. "Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya?" Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah. Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia! Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting. Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak! Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama. Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik. Cantik ya? dan kaya! Tak imbang! Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari. Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis. *** Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya. "Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!" Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil. Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.

Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali. "Baru pembukaan satu." "Belum ada perubahan, Bu." "Sudah bertambah sedikit," kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan. "Sekarang pembukaan satu lebih sedikit." Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi. Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset. "Masih pembukaan dua, Pak!" Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya. "Bang?" Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan. "Dokter?" "Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar. Mungkin? Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu? Bagaimana jika terlambat? Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal. Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakanteriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri. Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.

Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat. "Pendarahan hebat." Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis. Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka. Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker. Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania. Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah boleh membawanya pulang. Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli. Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan. Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra. Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya. "Nania, bangun, Cinta?" Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik. Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,

"Nania, bangun, Cinta?" Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli. Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan. Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama. Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya. Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh. Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi. Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta. Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh? Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli. Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun. Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.

10

Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik. "Baik banget suaminya!" "Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!" "Nania beruntung!" "Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya." "Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!" Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama. Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa? Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi? Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan. Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya. Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania

Ketika Mas Gagah Pergi Mas gagah berubah! Ya, sudah beberapa bulan belakangan ini Masku, sekaligus saudara kandungku satusatunya itu benar-benar berubah ! Mas Gagah Perwira Pratama, masih kuliah di Teknik Sipil UI semester tujuh. Ia seorang kakak yang sangat baik, cerdas, periang dan tentu saja... ganteng! Mas Gagah juga sudah mampu membiayai kuliahnnya sendiri dari hasil mengajar privat untuk anak-anak SMA. Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di antara kami. Ia selalu mengajakku kemana ia pergi. Ia yang menolong di saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan membujuk di saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang sekolah dan mengajariku mengaji. Pendek kata, ia selalu melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan berarti banyak untukku. Saat memasuki usia dewasa kami jadi makin dekat. Kalau ada saja sedikit waktu kosong, maka kami akan menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film atau konser musik atau sekedar bercanda bersama teman-teman. Mas Gagah yang humoris itu akan membuat lelucon-lelucon santai hingga aku dan teman-temanku tertawa terbahak-bahak. Dengan sedan putihnya ia berkeliling mengantar teman-temanku pulang usai kami latihan teater. Kadang kami mampir dan makan dulu di restoran, atau bergembira ria di Dufan, Ancol. Tak ada yang tak menyukai Mas Gagah. Jangankan keluarga atau tetangga, nenek-kakek, orang tua dan adik kakak teman-temanku menyukai sosoknya ! "Kakak kamu itu keren, cute, macho dan humoris. Masih kosong nggak sih ?" "Git, gara-gara kamu bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang orang serumahku sering membanding-bandingkan teman cowokku sama Mas Gagah lho ! Gila, berabe khan ?" "Gimana ya Git, agar Mas Gagah suka padaku ?" Dan masih banyak lontaran-lontaran senada yang mampir ke kupingku. Aku cuma mesam-mesem. Bangga. Pernah kutanyakan pada Mas Gagah mengapa ia belum punya pacar. Apa jawabnya ? "Mas belum minat tuh ! Kan lagi konsentrasi kuliah. Lagian kalau Mas pacaran..., banyak anggaran. Banyak juga yang patah hati ! He...he...he.." kata Mas Gagah pura-pura serius. Mas Gagah dalam pandanganku adalah sosok ideal. Ia serba segalanya. Ia punya rancangan masa depan, tapi tak takut menikmati hidup. Ia moderat tapi tak pernah meninggalkan sholat ! Itulah Mas Gagah! Tetapi seperti yang telah kukatakan, entah mengapa beberapa bulan belakangan ini ia berubah ! Drastis ! Dan aku seolah tak mengenal dirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Gagah yang kubanggakan kini entah kemana...

11

--=oOo=-"Mas Gagah ! Mas Gagaaaaaahhh!" teriakku kesal sambil mengetuk pintu kamar Mas Gagah keras-keras. Tak ada jawaban. Padahal kata mama Mas Gagah ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan pintu kamar Mas Gagah. Tulisan berbahasa arab gundul. Tak bisa kubaca. Tapi aku bisa membaca artinya : Jangan masuk sebelum memberi salam! "Assalaamulaikuuum!" seruku. Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut Mas Gagah. "Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh. Ada apa Gita ? Kok teriak-teriak seperti itu ?" tanyanya. "Matiin kasetnya !" kataku sewot. "Lho emang kenapa ?" "Gita kesel bin sebel dengerin kasetnya Mas Gagah ! Memangnya kita orang Arab... , masangnya kok lagu-lagu Arab gitu!" aku cemberut. "Ini nasyid. Bukan sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, Gita !" "Bodo !" "Lho, kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas. Boleh dong Mas melakukan hal-hal yang Mas sukai dan Mas anggap baik di kamar sendiri," kata Mas Gagah sabar. "Kemarin waktu Mas pasang di ruang tamu, Gita ngambek..., mama bingung. Jadinya ya, di pasang di kamar." "Tapi kuping Gita terganggu Mas! Lagi asyik dengerin kaset Air Supply yang baru..., eh tiba-tiba terdengar suara aneh dari kamar Mas!" "Mas kan pasang kasetnya pelan-pelan..." "Pokoknya kedengaran!" "Ya, wis. Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bagus, lho !" "Ndak, pokoknya Gita nggak mau denger!" aku ngloyor pergi sambil membanting pintu kamar Mas Gagah. Heran. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik Mas Gagah jadi begitu. Kemana kaset-kaset Scorpion, Wham!, Elton John, Queen, Bon Jovi, Dewa, Jamrood atau Giginya ? "Wah, ini nggak seperti itu, Gita ! Dengerin Scorpion atau si Eric Clapton itu belum tentu mendatangkan manfaat, apalagi pahala. Lain lah ya dengan senandung nasyid Islami. Gita mau denger ? Ambil aja di kamar. Mas punya banyak kok !" begitu kata Mas Gagah. Oalaa ! --=oOo=--

Sebenarnya perubahan Mas Gagah nggak cuma itu. Banyak. Terlalu banyak malah! Meski aku cuma adik kecilnya yang baru kelas dua SMA, aku cukup jeli mengamati perubahan-perubahan itu. Walau bingung untuk mencernanya. Di satu sisi kuakui Mas Gagah tambah alim. Sholat tepat waktu, berjamaah di Masjid, ngomongnya soal agama terus. Kalau aku iseng mengintip di lubang kunci, ia pasti lagi ngaji atau baca buku Islam. Dan kalau aku mampir di kamarnya, ia dengan senang hati menguraikan isi buku yang dibacanya, atau malah menceramahiku. Ujung-ujungnya, "Ayo dong Gita, lebih feminin. Kalau kamu pakai rok atau baju panjang, Mas rela deh pecahin celengan buat beliin kamu rok atau baju panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba Dik manis, ngapain sih rambut ditrondolin gitu !" Uh. Padahal dulu Mas Gagah oke-oke saja melihat penampilanku yang tomboy. Dia tahu aku cuma punya dua rok! Ya rok seragam sekolah itu saja! Mas Gagah juga nggak pernah keberatan kalau aku meminjam kaos atau kemejanya. Ia sendiri dulu sering memanggilku Gito, bukan Gita ! Eh, sekarang pakai manggil Dik Manis segala! Hal lain yang nyebelin, penampilan Mas Gagah jadi aneh. Sering juga mama menegurnya. "Penampilanmu kok sekarang lain, Gah ? Lain gimana, Ma ?" "Ya, nggak semodis dulu. Nggak dandy lagi. Biasanya kamu yang paling sibuk dengan penampilan kamu yang kayak cover boy itu..." Mas Gagah cuma senyum. "Suka begini, Ma. Bersih, rapi meski sederhana. Kelihatannya juga lebih santun." Ya, dalam penglihatanku Mas Gagah jadi lebih kuno dengan kemeja lengan panjang atau baju koko yang dipadu dengan celana panjang semi baggy-nya. "Jadi mirip Pak Gino," komentarku menyamakannya dengan sopir kami. "Untung saja masih lebih ganteng." Mas Gagah cuma terawa. Mengacak-acak rambutku dan berlalu. Mas Gagah lebih pendiam ? Itu juga sangat kurasakan. Sekarang Mas Gagah nggak kocak seperti dulu. Kayaknya dia juga males banget ngobrol lama atau becanda sama perempuan. Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, peragawati sebelah rumah, kebingungan. Dan...yang paling gawat, Mas Gagah emoh salaman sama perempuan!! Kupikir apa sih maunya Mas Gagah? "Sok kece banget sih Mas? Masak nggak mau salaman sama Tresye? Dia tuh cewek paling beken di Sanggar Gita tahu?" tegurku suatu hari. "Jangan gitu dong. Sama aja nggak menghargai orang !" "Justru karena Mas menghargai dia makanya Mas begitu," dalihnya, lagi-lagi dengan nada amat sabar. "Gita lihat khan orang Sunda salaman? Santun meski nggak sentuhan. Itu yang lebih benar!"

12

Huh. Nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu..., sekarang bawa-bawa orang Sunda. Apa hubungannya ? Mas Gagah membawa sebuah buku dan menyorongkannya padaku. "Baca!" Kubaca keras-keras. "Dari Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demi Allah. Rasulullah saw tidak pernah berjabat tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya. Hadits Bukhari Muslim!" Si Mas tersenyum. "Tapi Kyai Anwar mau salaman sama mama. Haji Kari, Haji Toto, Ustadz Ali...," kataku. "Bukankah Rasulullah uswatun hasanah? Teladan terbaik?" kata Mas Gagah sambil mengusap kepalaku. "Coba untuk mengeti ya, Dik Manis !?" Dik manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku ngeloyor pergi dari kamar Mas Gagah dengan mangkel. Menurutku Mas Gagah terlalu fanatik ! Aku jadi khawatir. Apa dia lagi nuntut ilmu putih? Ah, aku juga takut kalau dia terbawa oleh orang-orang sok agamis tapi ngawur. Namun..., akhirnya aku nggak berani menduga demikian. Masku itu orangnya cerdas sekali! Jenius malah! Umurnya baru dua puluh satu tahun tapi sudah tingkat empat di FTUI! Dan aku yakin mata batinnya jernih dan tajam. Hanya..., yaaa akhir-akhir ini ia berubah. Itu saja. Kutarik napas dalam-dalam. --=oOo=-"Mau kemana, Git!?" "Nonton sama teman-teman." Kataku sambil mengenakan sepatu. "Habis Mas Gagah kalau diajak nonton sekarang kebanyakan nolaknya! "Ikut Mas aja, yuk!" "Kemana? Ke tempat yang waktu itu lagi? Ogah! Gita kayak orang bego di sana!" Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu yang lalu Mas Gagah mengajakku ke rumah temannya. Ada pengajian. Terus pernah juga aku diajak menghadiri tabligh akbar di suatu tempat. Bayangin, berapa kali aku dilihatin sama cewek-cewek lain yang kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya, aku kesana memakai kemeja lengan pendek, jeans belel dan ransel kumalku. Belum lagi rambut trondol yang nggak bisa aku sembunyiin. Sebenarnya Mas Gagah menyuruhku memakai baju panjang dan kerudung yang biasa mama pakai ngaji. Aku nolak sambil ngancam nggak mau ikut. "Assalaamualaikum!" terdengar suara beberapa lelaki. Mas Gagah menjawab salam itu. Tak lama kulihat Mas Gagah dan teman-temannya di ruang tamu. Aku sudah hafal dengan teman-teman si Mas ini. Masuk, lewat, nunduknunduk, nggak ngelirik aku..., persis kelakuannya Mas Gagah. "Lewat aja nih, Mas? Gita nggak dikenalin?" tanyaku iseng.

Dulu nggak ada deh teman Mas Gagah yang tak akrab denganku. Tapi sekarang, Mas Gagah nggak memperkenalkan mereka padaku. Padahal teman-temannya lumayan handsome! Mas Gagah menempelkan telunjuknya di bibir. "Ssssttt !" Seperti biasa, aku bisa menebak kegiatan mereka. Pasti ngomongin soal-soal ke-Islaman, diskusi, belajar baca Al-Quran atau bahasa Arab..., yaaa begitu deh!! --=oOo=-"Subhanallah, berarti kakak kamu ikhwan dong!" seru Tika setengah histeris mendengar ceritaku. Teman akrabku ini memang sudah sebulan ini berjilbab rapi. Memusiumkan semua jeans dan baju-baju you can see-nya. "Ikhwan?" ulangku. "Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?" suaraku yang keras membuat beberapa makhluk di kantin sekolah melirik kami. "Huss! Untuk laki-laki ikhwan, untuk perempuan akhwat. Artinya saudara. Biasa dipakai untuk menyapa saudara seiman kita," ujar Tika sambil menghirup es kelapa mudanya. "Kamu tahu Hendra atau Isa, kan? Aktivis Rohis kita itu contoh ikhwan paling nyata di sekolah ini." Aku manggut-manggut. Lagak Isa dan Hendra memang mirip Mas Gagah. "Udah deh, Git. Nggak usah bingung. Banyak baca buku Islam. Ngaji! Insya Allah kamu akan tahu meyeluruh tentang dien kita. Orang-orang seperti Hendra, Isa, atau Mas Gagah bukanlah orang-orang yang eror. Mereka hanya berusaha mengamalkan Islam dengan baik dan benar. Kitanya saja yang mungkin belum mengerti dan sering salah paham." Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Tika, sobat dekatku yang dulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku menjelma begitu dewasa. "Eh, kapan main ke rumahku? Mama udah kangen tuh! Aku ingin kita tetap dekat, Gita..., meski kita kini punya pandangan yang berbeda," ujar Tika tiba-tiba. "Tik, aku kehilangan kamu. Aku juga kehilangan Mas Gagah...," kataku jujur. "Selama ini aku pura-pura cuek tak peduli. Aku sedih..." Tika menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup angin. "Aku senang kamu mau membicarakan hal ini denganku. Nginap di rumah, yuk. Biar kita bisa cerita banyak. Sekalian kukenalkan pada Mbak Ana." "Mbak Ana ?" "Sepupuku yang kuliah di Amerika! Lucu deh, pulang dari Amrik malah pakai jilbab! Itulah hidayah!" "Hidayah ?" "Nginap, ya ! Kita ngobrol sampai malam sama Mbak Ana!" --=oOo=--

13

"Assalaamualaikum, Mas Ikhwan..., eh Mas Gagah !" tegurku ramah. "Eh adik Mas Gagah! Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!" kata Mas Gagah pura-pura marah, usai menjawab salamku. "Dari rumah Tika, teman sekolah," jawabku pendek. "Lagi ngapain, Mas?" tanyaku sambil mengintari kamarnya. Kuamati beberapa poster, kaligrafi, ganbar-gambar pejuang Palestina, Kashmir dan Bosnia. Puisi-puisi sufistik yang tertempel rapi di dinding kamar. Lalu dua rak koleksi buku ke-Islaman.. "Cuman lagi baca !" "Buku apa ?" "Tumben kamu pengin tahu?" "Tunjukin dong, Mas...buku apa sih?" desakku. "Eit..., Eiiit !" Mas Gagah berusaha menyembunyikan bukunya. Kugelitik kakinya, dia tertawa dan menyerah. "Nih!" serunya memperlihatkan buku yang sedang dibacanya dengan wajah setengah memerah. "Nah yaaaa!" aku tertawa. Mas Gagah juga. Akhirnya kami bersama-sama membaca buku Memilih Jodoh dan Tata Cara Meminang dalam Islam itu. "Maaaas..." "Apa Dik manis ?" "Gita akhwat bukan sih ?" "Memangnya kenapa ?" "Gita akhwat apa bukan ? Ayo jawab...," tanyaku manja. Mas Gagah tertawa. Sore itu dengan sabar dan panjang lebar, ia berbicara kepadaku. Tentang Allah, Rasulullah. Tentang ajaran Islam yang diabaikan dan tak dipahami ummatnya. Tentang kaum Muslimin di dunia yang selalu jadi sasaran fitnah serta pembantaian dan tentang hal-hal lainnya. Dan untuk petamakalinya setelah sekian lama, aku merasa kembali menemukan Mas Gagahku yang dulu. Mas Gagah dengan semangat terus berbicara. Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil menitikkan air mata. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya!! "Mas kok nangis?" "Mas sedih karena Allah, Rasul dan Al Islam kini sering dianggap remeh. Sedih karena ummat yang banyak meninggalkan Al-Quran dan Sunnah, juga berpecah belah. Sedih karena saat Mas bersenang-senang dan bisa beribadah dengan tenang, saudara-saudara seiman di Belahan bumi lainnya sedang digorok lehernya, mengais-ngais makanan di jalan, dan tidur beratap langit..."

Sesaat kami terdiam. Ah, Masku yang gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli... "Kok...tumben Gita mau dengerin Mas ngomong?" tanya Mas Gagah tiba-tiba. "Gita capek marahan sama Mas Gagah !" Ujarku sekenanya. "Emangnya Gita ngerti yang Mas katakan?" "Tenang aja, Gita nyambung kok!" kataku jujur. Ya, Mbak Ana juga pernah menerangkan hal demikian. Aku ngerti deh meski nggak mendalam. Malam itu aku tidur ditemani tumpukan buku-buku Islam milik Mas Gagah. Kayaknya aku dapat hidayah! --=oOo=-Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Gagah mulai dekat lagi sepeti dulu. Meski aktifitas yang kami lakukan berbeda dengan yang dahulu. Kini tiap Minggu kami ke Sunda Kelapa atau Wali Songo, mendengarkan ceramah umum. Atau ke tempat-tempat tabligh Akbar digelar. Kadang cuma aku dan Mas Gagah, kadang-kadang bila sedikit kupaksa Mama Papa juga ikut. "Masa sekali aja nggak bisa, Pa, tiap minggu rutin ngunjungin relasi ini itu. Kebutuhan rohaninya kapan?" tegurku. Biasanya papa hanya mencubit pipiku sambil menyahut, "Iya deh, iya!" Pernah juga Mas Gagah mengajakku ke acara pernikahan temannya. Aku sempat bingung juga. Soalnya pengantinnya nggak bersanding tapi terpisah! Tempat acaranya juga gitu. Dipisah antara lelaki dan perempuan. Terus bersama souvenir, para tamu dibagikan risalah nikah juga. Di sana ada dalil-dalil mengapa walimah mereka dilaksanakan seperti itu. Dalam perjalanan pulang, baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana hakikat acara pernikahan dalam Islam. Acara itu tak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan kemubaziran, harus Islami dan semacamnya. Ia juga wanti-wanti agar aku tak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek! Aku nyengir kuda. Tampaknya Mas Gagah mulai senang pergi denganku. Soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai baju yang sopan, pakai rok panjang, ketawa nggak cekakaan. "Nyoba pakai jilbab, Git !" pinta Mas Gagah suatu ketika. "Lho, rambut Gita kan udah nggak trondol! Lagian belum mau deh jreng!" Mas Gagah tersenyum. "Gita lebih anggun kalau pakai jilbab dan lebih dicintai Allah. Kayak Mama". Memang sudah beberapa hari ini mama berjilbab. Gara-garanya dinasehatin terus sama si Mas, di beliin buku-buku tentang wanita, juga dikomporin sama teman-teman pengajian beliau.

14

"Gita mau, tapi nggak sekarang...," kataku. Aku memikirkan bagaimana dengan seabreg aktifitasku kini, prospek masa depan (ceila) dan semacamnya. "Itu bukan halangan." Ujar Mas Gagah seolah mengerti jalan pikiranku. Aku menggelengkan kepala. Heran, Mama yang wanita karier itu kok cepat sekali terpengaruh sama Mas Gagah! "Ini hidayah, Gita!" kata Mama. Papa yang duduk di samping beliau senyum-senyum. "Hidayah? Perasaan Gita duluan deh yang dapat hidayah baru Mama! Gita pakai rok aja udah hidayah!" "Lho?" Mas Gagah bengong. --=oOo=-Dengan penuh kebanggaan, kutatap lekat wajah Mas Gagah. Gimana nggak bangga? Dalam acara Studi Tentang Islam yang diadakan FTUI untuk umum ini, Mas Gagah menjadi salah satu pembicaranya! Aku yang berada di antara ratusan peserta ini rasarasanya ingin berteriak, "Hei, itu kan Mas Gagah-ku !" Mas Gagah tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi yang dibawakannya menarik dan retorikanya luar biasa! Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga. Mas Gagah fasih mengeluarkan ayat-ayat Al-Quran dan Hadits Rasul. Menjawab semua pertanyaan dengan baik dan tuntas. Aku sempat bingung lho, kok Mas Gagah bisa sih? Bahkan materi yang disampaikannya jauh lebih bagus daripada yamh dibawakan oleh kyai-kyai kondang atau ustadz tenar yang biasa kudengar! Pada kesempatan itu juga Mas Gagah berbicara tentang muslimah masa kini dan tantangannya dalam era globalisasi. "Betapa Islam yang jelas-jelas mengangkat harkat dan martabat wanita, dituduh mengekang wanita hanya karena mensyariatkan jilbab. Jilbab sebagai busana taqwa, sebagai identitas muslimah, diragukan bahkan oleh para muslimah kita, oleh orang Islam sendiri," kata Mas Gagah. Mas Gagah terus bicara. Tiap katanya kucatat di hati ini. --=oOo=-Lusa ulang tahunku. Dan hari ini sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Tika. Minta diajarkan memakai jilbab yang rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Ana senang dan berulang kali mengucap hamdalah. Aku mau ngasih kejutan buat Mas Gagah! Mama bisa dikompakin. Nanti sore aku akan mengejutkan Mas Gagah. Aku akan datang ke kamarnya memakai jilbab putihku. Kemudian mengajaknya jalan-jalan untuk persiapan tasyakuran ultah ketujuh belasku. Kubayangkan ia akan terkejut gembira, memelukku. Apalagi aku ingin Mas Gagah yang memberikan ceramah pada acara tasyakuran yang insya Allah mengundang teman-teman dan anak-anak panti yatim piatu dekat rumah kami.

"Mas Ikhwan!! Mas Gagaaaaah! Maaasss! Assalaamualaikum!" kuketuk pintu kamar Mas Gagah dengan riang. "Mas Gagah belum pulang," kata Mama. "Yaaaaa, kemana sih, Ma??!" keluhku. "Kan diundang ceramah di Bogor. Katanya langsung berangkat dari kampus..." "Jangan-jangan nginep, Ma. Biasanya malam minggu kan suka nginep di rumah temannya, atau di Masjid." "Insya Allah nggak. Kan Mas Gagah inget ada janji sama Gita hari ini," hibur mama menepis gelisahku. Kugaruk-garuk kepalaku yang tak gatal. Entah mengapa aku kangen sekali dengan Mas Gagah. "Eh, jilbab Gita mencong-mencong tuh !" Mama tertawa. Tanganku sibuk merapikan jilbab yang kupakai. Tersenyum pada Mama. --=oOo=-Sudah lepas Isya. Mas Gagah belum pulang juga. "Mungkin dalam perjalanan. Bogor kan lumayan jauh..." hibur Mama lagi. Tetapi detik demi detik, menit demi menit berlalu. Sampai jam sepuluh malam, Mas Gagah belum pulang juga. "Nginap barangkali, Ma?" duga Papa. Mama menggeleng. "Kalau mau nginap Gagah selalu bilang, Pa!" Aku menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih itu belum juga kulepaskan. Aku berharap Mas Gagah segera pulang dan melihatku memakainya. "Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinggg !!" Telpon berdering. Papa mengangkat telepon. "Halo, ya betul. Apa? Gagah???" "Ada apa , Pa?" tanya Mama cemas. "Gagah..., kecelakaan..., Rumah Sakit Islam...," suara Papa lemah. "Mas Gagaaaaaahhh!!!" Air mataku tumpah. Tubuhku lemas. Tak lama kami sudah dalam perjalanan menuju Cempaka Putih. Aku dan Mama menangis berangkulan. Jilbab kami basah. --=oOo=-Dari luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas Gagah terbaring lemah. Tangan, kaki, kepalanya penuh perban. Informasi yang kudengar, sebuah truk menghantam mobil yang dikendarai Mas Gagah. Dua teman Mas Gagah tewas seketika, sedang kondisi Mas Gagah kritis.

15

Dokter melarang kami untuk masuk ke dalam ruangan. "Tapi saya Gita, adiknya, Dok! Mas Gagah pasti mau lihat saya pakai jilbab iniii!" kataku emosi pada dokter dan suster di depanku. Mama dengan lebih tenang merangkulku, "Sabar, Sayang..., sabar." Di pojok ruangan papa tampak serius berbicara dengan dokter yang khusus menangani Mas Gagah. Wajah mereka suram. "Suster, Mas Gagah akan hidup terus kan, suster? Dokter? Ma?" tanyaku. "Papa, Mas Gagah bisa ceramah pada syukuran Gita kan?" air mataku terus mengalir. Tapi tak ada yang menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan dinding putih rumah sakit. Dan dari kamar kaca kulihat tubuh yang biasa gagah enerjik itu bahkan tak bergerak! "Mas Gagah, sembuh ya, Mas..., Mas...Gagah..., Gita udah jadi adik Mas yang manis. Mas...Gagah...," bisikku. Tiga jam kemudian kami masih berada di rumah sakit.. Sekitar ruang ICU kini telah sepi. Tinggal kami dan seorang bapak paruh baya yang menunggui anaknya yang juga dalam kondisi kritis. Aku berdoa dan terus berdoa. Ya Allah, selamatkan Mas Gagah..., Gita, Mama dan Papa butuh Mas Gagah..., umat juga." Tak lama dokter Joko yang menangani Mas Gagah menghampiri kami. "Ia sudah sadar dan memanggil nama ibu, bapak, dan Gi..." "Gita.." suaraku serak menahan tangis. "Pergunakan waktu yang ada untuk mendampinginya seperti permintaannya. Sukar baginya untuk bertahan. Maafkan saya..., lukanya terlalu parah," perkataan terakhir dokter Joko mengguncang perasaan, menghempaskan harapanku! "Mas..., ini Gita, Mas...," sapaku berbisik. Tubuh Mas Gagah bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkan sesuatu. Kudekatkan wajahku kepadanya. "Gita sudah pakai.. jilbab," lirihku. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan pada tangannya. Tubuh Mas Gagah bergerak lagi. "Dzikir..., Mas, suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat wajah Mas Gagah yang separuhnya tertutup perban. Wajah itu begitu tenang... "Gi...ta..." Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali! "Gita di sini, Mas..." Perlahan kelopak matamya terbuka. Aku tersenyum. "Gita... udah pakai... jilbab...," kutahan isakku.

Memandangku lembut, Mas Gagah tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti hamdalah. "Jangan ngomong apa-apa dulu, Mas...," ujarku pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untuk mengatakan sesuatu. Mama dan Papa memberi isyarat untuk gantian. Ruang ICU memang tak bisa dimasuki beramai-ramai. Dengan sedih aku keluar. Ya Allah..., sesaat kulihat Mas Gagah tersenyum. Tulus sekali! Tak lama aku bisa menemui Mas Gagah lagi. Dokter mengatakan Mas Gagah tampaknya menginginkan kami semua berkumpul. Kian lama kurasakan tubuh Mas Gagah semakin pucat. Tapi sebentar-sebentar masih tampak bergerak. Tampaknya ia juga masih bisa mendengar apa yang kami katakan meski hanya bisa membalasnya dengan senyuman dan isyarat mata. Kuusap setitik lagi airmata yang jatuh. "Sebut nama Allah banyak-banyak..., Mas," kataku sambil menggenggam tangannya. Aku sudah pasrah pada Allah. Aku sangat menginginkan Mas Gagah terus hidup. Tapi sebagai insan beriman, seperti juga yang diajarkan Mas Gagah, aku pasrah pada ketentuan Allah. Allah tentu tahu apa yang terbaik bagi Mas Gagah. "Laa...ilaaha...illa...llah..., Muham...mad...Ra...sul...Al...lah...," suara Mas Gagah pelan, namun tak terlalu pelan untuk kami dengar. Mas Gagah telah kembali pada Allah. Tenang sekali. Seulas senyum menghiasi wajahnya. Aku memeluk tubuh yang terbujur kaku dan dingin itu kuat-kuat. Mama dan Papa juga. Isak kami bersahutan walau kami rela dia pergi. Selamat jalan, Mas Gagah ! Epilog Buat ukhti manis Gita Ayu Pratiwi, Semoga memperoleh umur yang berkah Dan jadilah muslimah sejati Agar Allah selalu besertamu. Sun Sayang, Mas Ikhwan, eh Mas Gagah ! Kubaca berulang kali kartu ucapan Mas Gagah. Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku. Gamis dan jilbab hijau muda, manis sekali. Akh, ternyata Mas Gagah telah mempersiapkan kado untuk hari ulang tahunku. Aku tersenyum miris. Kupandangi kamar Mas Gagah yang kini lengang. Aku rindu panggilan dik manis, Aku rindu suara nasyid. Rindu diskusi-diskusi di kamar ini. Rindu suara merdu Mas Gagah melantunkan kalam Ilahi yang selamanya tiada kudengar lagi. Hanya wajah para Mujahid di dinding kamar yang menatapku. Puisi-puisi sufistik yang seolah bergema di ruang ini...

16

Setitik air mataku jatuh lagi. "Mas, Gita akhwat bukan sih?" "Ya, Insya Allah akhwat!" "Yang bener? "Iya, dik manis!" "Kalau ikhwan itu harus ada jenggotnya, ya?!" "Kok nanya gitu?" "Lha, Mas Gagah ada jenggotnya! "Ganteng kan?" "Uuu! Eh, Mas, kita kudu jihad, ya? Jihad itu apa sih?" "Ya always dong ! Jihad itu... Setetes, dua tetes, air mataku kian menganak sungai. Kumatikan lampu. Kututup pintu kamarnya pelan-pelan. Selamat jalan, Mas Ikhwan ! Selamat jalan, Mas Gagah

CATATAN HARIAN GITA Kini tahun 2004 bulan September, Genap sudah usiaku yang ke 20. Walaupun milad kali ini tanpa kehadiran mas Gagahku, yach.. kakakku yang dulu seorang ikhwan sejati. Semenjak ditinggal pergi mas Gagah pulang ke Rahmattullah, kini aku semakin mantap dengan keislamanku. Aku pelajari terus tentang keislamanku, mulai dari menghadiri acara pengajian-pengajian, dan juga kubaca buku-buku tentang keislaman termasuk koleksi buku peninggalan mas Gagah, aku lahap juga. Aku ingin membahagiakan keinginan terakhir mas Gagah, walaupun kini sudah tiada. Mas, aku hanya bisa ber doa untukmu, akan aku pegang teguh keinginan mu yang terakhir, menjadi akhwat sejati. Sudah satu tahun lamanya, kini aku telah menempati rumah baru. Karena bapak ditugaskan dari kantornya pindah kerja ke Bandung, yach aku dan ibu terpaksa deh ikut bersama bapak, Dan kasihan bapak sudah tua, sering sakit-sakitan, Aku nggak tega meninggalkan beliau sendirian disini. Di kota ini pula aku kuliah, selain orangnya ramahramah, dan bagus juga untuk mendalami keislamanku. Di kota ini aku pun tidak sendirian lagi, kini kesedihan dan kesendirianku, aku habiskan dengan berbagi bersama temanku yang sudah aku anggap sebagai kakakku, dia orangnya baik, pemikirannya brilian, dan tentunya selalu membimbingku karena wawasan keislamannya yang luas. Mungkin termasuk salah satu figurku untuk saat ini. Orangnya sebagus namanya, "Ayyesha Yahya" aku selalu memanggilnya mbak Ayesh. Di lantai sebelah timur masjid SALMAN ITB, aku dan bersama temanku yang lainnya membikin khalaqah kecil, pengajian rutin setiap hari Kamis bada ashar sehabis kuliahku. Seperti biasanya mbak Ayesh lah yang selalu memberikan materinya, kumenyimaknya dengan serius setiap kata-kata yang dikuarkan mbak Ayesh. Tentang tata cara bagaimana sosok muslimah di kehidupan sehari-harinya, gaya bahasanya yang lugas dan jelas sehingga membekas diingatanku. Aku jadi ingat pada mas Gagahku melakukan hal yang sama, ketika berbicara di hadapan semua jemaah yang diadakan FTUI dahulu. kini mas Gagahku hidup kembali, menjelma pada sosok mbak Ayesh. Sedang asyiknya berdiskusi bersama teman lainnya, dan juga mbak Ayesh sebagai nara sumbernya. Lalu HPku berdering di dalam tas, lalu kuraih dan kuaktifkan. "Asslammualaykum.."tanyaku, "Waalaykumsalam.. " dengan gugup sekali mamahku menjawab. Ada apa mah..? Mamah kenapa?" Akupun penasaran dengan sikapnya. "Pulanglah segera kerumah ..nak, bapakmu ..bapakmu ..kena musibah, terjatuh dari tangga.." "Innalillahi Wainnaillahi roojiuun, baiklah mah ..Gita akan segera pulang."

17

Nggak berfikir panjang sesudah pamitan aku langsung pulang, dengan perasaan yang tidak menentu. Setelah dirumah, langsung aku peluk mamahku. Mana bapak mah? Aku tanya sambil mengusap sisa-sisa air mataku. Tenanglah Gita! Bapak berada di kamar sedang dirawat. Kami berdua terhening duduk di sofa, sambil menunggu hasil pemeriksaan. Tidak lama kemudian keheninganku terpecahkan dengan keluarnya Dr. Budiman. Lalu kami beranjak dan menghampirinya. "Gimana hasilnya Dok?" tanya mamah! "Pak Iman.. sudah tidak terselamatkan lagi, saya sudah berusaha semampu saya Bu! Maafkan saya." Ketika mendengarkan penuturan Dr. Budiman, langsung aku tidak sadarkan diri. "Sudahlah Gita! Jangan di tangisi terus, ikhlaskan kepergian bapakmu." Suara Tika sahabatku dulu, tangannya sambil mengelus-eluskan punggungku. Mbak Ayyesh dan mbak Ana mendampingi mamahku, menyasikan acara pemakaman bapak sampai selesai. Kini bapak di makamkan dekat makamnya Almarhum mas Gagah di Kalibata Jakarta. Ya Allah aku ikhlas dengan kepergian mas Gagah dan bapakku ke hadirat-Mu, semoga diterima iman dan Islamnya. Aamiin.

Pinangan Hana semakin menundukkan kepala. Bulir-bulir keringat dingin membasahi pelipis dan telapak tangannya. Dia tak pernah menyangka akan mendapatkan tawaran ini dari orangtua asuhnya. Apa Mas Irfan kurang tampan? Kurang gagah? goda Pak Cipto sembari tersenyum lembut. Pipi Hana bersemu merah. Sekelebat bayangan Irfan, putra tunggal orang tua asuhnya itu melintas. Dokter muda tampan dengan bergudang prestasi. Keshalihannya tak diragukan lagi. Hana mendesah gelisah. Cepat ditepis bayangan itu seraya beristighfar. Bagaimana, Nduk? Hanya kamu yang kami harapkan. Bapak dan Ibu tak pernah ragu memilihmu untuk mendampingi Irfan. Insya Allah, akan lahir mujahid-mujahid sejati dari pernikahan kalian, suara Bu Cipto yang biasanya lembut dan sejuk itu, kini menjelma halilintar di telinga Hana. Kepalanya mendadak pening. Mendampingi Irfan? Hana tak pernah ragu sedikitpun dengan keshalihan Irfan. Toh, Hana mengenal Irfan bukan sehari dua hari. Bahkan sudah bertahun-tahun sejak keluarga Cipto mengangkatnya anak asuh. Selisih usia mereka lima tahun. Tapibukankah Irfan sudah beristri? Tegakah dia menjadi madu Mbak Tantri? Mbak Tantri yang lembut, baik dan sangat ia hormati sekaligus sayangi. Ibu tidak bermaksud merendahkanmu dengan tawaran ini, Nduk. Maafkan Ibu kalau tawaran ini melukai perasaanmu Ah, emeh, bukan begitu Bu... hanya Ibu tahu, menjadi istri kedua bukan keputusan yang main-main. Pikirkanlah tawaran ini masak-masak sebelum mengambil keputusan. Ambillah waktu berapa saja untuk berpikir dan memohon petunjuk Allah. Apapun keputusanmu, kami akan menerima dengan lapang dada. Insya Allah Pak Cipto menambahkan. Bu Cipto mengangguk-angguk. Hana masih terdiam. Gagu. Sepoi angin senja kota Malang yang dingin tak mampu menahan keringat yang mengucur deras membasahi jilbabnya. Dadanya sesak. Ada beban yang tiba-tiba menggumpal memenuhi ruang batinnya. Insya Allah, akan saya pikirkan Pak, Bu. Saya mohon pamit dulu, tadi ndak pamit Emak mau pulang sore. Assalamualaikum ucap Hana seraya meninggalkan ruang samping keluarga Cipto yang asri. Waalaikumsalam, hati-hati di jalan ya, Nduk jawab Pak dan Bu Cipto hampir bersamaan. Kebanggaan akan Hana meluapi wajah pasangan tua itu. Mereka tersenyum sambil menatap punggung Hana yang menghilang di balik pintu depan. Sesampai di rumah, Hana serta merta memeluk Emak yang menyulam di samping jendela. Kebiasaan yang selalu dilakukan Hana ketika hatinya gundah. Tangan Emak mengelus kepalanya lembut. Hana semakin tenggelam dalam kemanjaan. Seperti bocah

18

kecil yang lama tak berjumpa dengan ibunya. Bagi Hana, elusan tangan Emak adalah pengobar semangat yang selalu dirindukannya kala letih. Hana menatap wajah renta Emaknya dalam-dalam. Kerut di kedua pipinya kian melorot di makan usia. Namun keikhlasan dan ketulusan yang memancar dari matanya tak pernah pudar. Sejak Apak tiada setahun yang lalu, Emak berjualan di pasar. Dua adiknya, Amah dan Didin kadang membantu Emak di sela sekolahnya. Emak tak pernah mengijinkan sekolah mereka terganggu. Untung Amah dan Didin selalu mendapatkan beasiswa dari sekolah. Hana sendiri lebih sering berada di rumah keluarga Cipto sejak diangkat anak asuh. Ana apa se? tanya Emak ketika anak gadisnya tak kunjung bicara dan hanya menatap. Hana diam. Perlahan tangan Emak diraih dan di cium lembut. Air mata yang berdesakan disudut matanya meleleh kini. Maafkan aku, Mak Emak mengeryitkan dahi. Tak mengerti. Ana apa se, Nduk? ulang Emak sambil meletakkan kain sulamannya. Hana tergugu dalam tangisnya. Dia merasa sangat berdosa di hadapan wanita tercinta ini. Apa kata Emak nanti saat dia berterus terang tentang tawaran keluarga Cipto. Sedih? Marah? Kecewa? Atau.ah, entahlah. Hana tahu, masih banyak yang harus dia lakukan untuk Emak dan dua adiknya. Mereka sangat membutuhkan Hana. Hana ingin menyelesaikan kuliahnya yang kini menginjak tahun ketiga itu lebih cepat dan bekerja untuk membiayai adik-adiknya. Namun tawaran itu? Keluarga Cipto juga tak mungkin diabaikan begitu saja. Mereka teramat baik untuk di kecewakan. Kekeluarga Cipto, Mak ucap Hana terbata. Wajahnya berlinang air mata. Ohitu Emak tersenyum. Emak sudah di ajak bicara sama Bapak Ibumu tentang tawaran itu kok, Nduk. Bahkan Den Irfan sama istrinya juga sudah meminta sama Emak. Hah?! Mbak Tantri? Lantas? Hana tercekat. Tak menyangka Emak sudah lebih dulu tahu tentang tawaran itu. Emak bilang pada mereka, bahwa tawaran ini sepenuhnya kamu yang memutuskan. Emak hanya merestui saja apa yang menjadi keputusanmu. Asal keputusan itu melibatkan Allah. Emak tak marah, kecewa atau sedih? kejar Hana. Ndukndukkoen niku ngomong apa se? Apa alasan Emak marah sama kamu? Toh, niat mereka baik. Jadi Emak suka aku jadi istri kedua? Hana menggigil mengucapkan kata istri kedua. Jujur saja, Hana merasa belum siap melakukan itu. Menjadi madu buat Mbak Tantri, istri pertama Mas Irfan.

Bukan masalah suka atau tak suka. Lebih baik memohonlah pada Allah, isthikarahlah. Hanya Allah yang Maha Mengetahui . Hana mengangguk. Di seka air matanya. Perlahan dia beranjak meninggalkan Emak. Kepalanya serasa makin berat. Nduk, Emak baru tahu kalau Den Irfan itu gagah dan baik sekali. Seandainya Emak yang di tawari, hm, Emak pasti mau, he he he goda Emak sambil tertawa halus. Sambil menuang air putih ke gelas, Hana merengut. Emak ada-ada saja, pikirnya. Tapi dalam hati kecilnya, Hana tak mengingkari kata-kata Emak tentang Irfan. Mendadak Hana tersipu malu. Kalau kamu tersipu, berarti benar kan kata Emak tentang Den Irfan? goda Emak lagi. Ih, Emak kok ngono se? Hana semakin merengut. Dilangkahkah kakinya menuju kamar. Emak tertawa berderai. *** Gerimis datang sehabis subuh. Udara di sekitar perkebunan apel semakin menggigilkan, membuat orang-orang enggan beranjak dari balik selimut tebalnya. Semalaman Hana tak memejamkan mata. Sudah seminggu sejak tawaran itu, Hana terserang insomnia dadakan. Beban berat bergelayut di kepalanya. Dia sengaja tak ke rumah keluarga Cipto sebelum membawa jawaban. Tok! Tok! Tok! Assalamualaikum sebuah suara seolah bersaing dengan hujan yang menderas. Hana melipat mukena dan sarungnya, menyambar jilbab lalu beranjak membuka pintu. Siapa sepagi ini sudah bertamu? Batinnya bertanya-tanya. Pintu terbuka dan Hana terpaku melihat siapa yang datang bertamu. Seorang wanita dengan jilbab lebar sedang tersenyum lembut. Wajah teduhnya yang pucat tampak basah oleh hujan. Mbak Tantri? Eh, em, Wawaalaikumussalam jawab Hana gugup. Ehm! Boleh masuk Dik ? goda Tantri melihat Hana terbengong-bengong. Walahkon niku yak apa se Na, ada tamu kok di biarkan saja saut Emak yang tibatiba sudah berada di sampingnya. Hana tersipu. Entah mengapa, menatap wajah teduh Tantri lidahnya mendadak kelu. Melukai hatinyakah tawaran itu? Hati Hana tambah gelisah. Keluarga Cipto sebenarnya sudah mengatakan kerelaan Tantri untuk di madu, namun tetap saja hati Hana tak enak. Kok pagi sekali Ning Tantri? Ada apa? tanya Emak setelah mempersilakan Tantri duduk. Iya Mak, maaf kalau pagi-pagi sudah mengganggu. Takutnya kalau siang, Emak sama Dik Hana pergi. Saya ingin bicara sama Dik Hana.

19

Deg! Jantung Hana rasanya berhenti berdetak. Dua tangannya yang sedari tadi meremasremas ujung jilbab kian gemetar. Hana tak kuasa menatap senyum Tantri yang terus mengembang. Dia tak ingin menjadi madu yang akan melukakan hati bening di hadapannya. Oh, monggo Ning, monggo. Oh ya, Ning Tantri mau Emak bikinkan teh hangat? Tak usah repot Mak, temani Hana disini saja. Saya juga butuh kehadiran Emak dalam pembicaraan ini, ujar Tantri seraya meraih tangan Emak untuk kembali duduk. Dik Hana, Emak, kedatangan saya kesini Tantri memulai pembicaraan. Senyumnya masih mengembang. Namun wajahnya kian memucat. Mata itu menjadi redup, seperti lampu kehabisan minyak. Ada bongkahan kaca yang siap meleleh di sudut-sudutnya. Inikah luka? Hana menggigit bibirnya. Saya memang menyetujui Mas Irfan menikah lagi. Tapi entah mengapa, tiba-tiba saya gundah luar biasa ketika Bapak dan Ibu benar-benar menawarkan rencana ini pada Dik Hana. Saya. Bongkahan kaca di mata Tantri meleleh kini. Menciptakan alur-alur sungai kecil yang kian menderas. Hana memejamkan mata. Ada perih menyelinapi relung hatinya. Ketakutannya menjelma nyata. Tawaran itu melukai Tantri. Maafkan saya Dik Hana. Sebenarnya saya malu dengan diri saya sendiri . Saya ini mandul, bahkan sebentar lagi rahim saya diangkat karena kanker, tapi masih saja egois. Saya belum bisa ikhlas merelakan satu sisi hati Mas Irfan diisi oleh yang lain. Padahal seharusnya, dengan keadaan saya ini, saya bisa memberikan yang terbaik untuk Islam meski hanya dengan merelakan di madu. Agar potensi dakwah Mas Irfan tak sia-sia dan keturunannya tak terputus. Tapi kenyataannya? Huuuhuuuu suara Tantri diantara tangisnya. Hana masih diam. Namun selebihnya keputusan ditangan Adik, untuk menerima atau menolak. Saya akan mencoba mengatasi perasaan saya Tapi Mbak, Hana tak akan melukai hati Mbak dengan memiliki Mas Irfan. Dan Hana tak akan menerima tawaran itu tanpa keikhlasan Mbak Tantri, potong Hana setelah mengumpulkan sekian banyak keberanian untuk bicara. Maafkan saya, Dik. Tolong jangan bilang ke Mas Irfan tentang keresahan saya ini. Saya malu. Biarkan saya berusaha mengatasi perasaan saya perlahan-lahan. Insya Allah bisa. Hana terpekur. Tangis Tantri sedikit reda. Hanya sedu sedannya yang masih terdengar. Emak mengambilkan teh hangat. Beberapa saat ketiganya tenggelam dalam dialog hatinya masing-masing. Hujan menjelang reda ketika Tantri berpamitan. Meninggalkan nyeri dalam dada Emak dan Hana. Beban di kepala Hana terasa kian berat. *** Minggu demi minggu berlalu. Hana belum juga memberikan tanggapan atas tawaran keluarga Cipto. Hatinya kian gundah. Sejak kedatangan Tantri di rumahnya pagi itu, Hana belum pernah sekalipun bertandang ke rumah keluarga Cipto. Kakinya terasa berat untuk dilangkahkan kesana. Sebenarnya, tak kurang-kurangnya Hana minta masukan tentang masalah ini pada orang-orang terdekatnya. Beberapa kali dia berdiskusi dengan

teman-teman kampusnya, teman-teman pengajian juga gurunya pengajiannya. Namun sampai detik ini belum juga ia menemukan jawaban yang tepat. Istikharahnya juga belum membuatnya mantab. Untuk menerima atau menolak. Seperti menelan biji simalakama. Ditelan Tantri mati, tak ditelan Bapak-Ibu asuhnya yang mati. Belum tidur, Nduk? Hana tergeragap. Emak menyentuh pundaknya lembut. Hana hanya menjawab dengan gelengan. Diliriknya jam dinding. 12.30 malam. Hm, berarti sudah tiga jam paper yang dikerjakannya tak juga selesai. Konsentrasinya benar-benar terpecah. Nilai kuisnya saja kemarin jeblok. Duh! Jangan terlalu dipikirkan, lihat badanmu jadi kurus. Ikut kata hatimu saja. Insya Allah keluarga Cipto akan menerima apapun keputusanmu. Daripada malah seperti menghindar begini, kata Emak sambil duduk di hadapan Hana. Kedua adiknya sudah terlelap. Hana mencoba untuk tersenyum tapi yang terbentuk justru bukan senyuman. Bulir-bulir airmata berdesakan disudut matanya. Menangis. Ah, kenapa aku jadi cengeng begini? Pikir Hana kesal pada dirinya sendiri. Sejak tawaran itu dilontarkan padanya, Hana jadi sering menangis. Dulu ketika harus membantu Emak berjualan di pasar, tidak makan dua hari karena tak ada yang di makan, Hana tak pernah mengeluh apalagi menangis. Tapi masalah ini, benar-benar terasa membebaninya. Allah tak akan memberi cobaan diluar batas kemampuan kita, Nduk. Bersabarlah, pertolongan Allah itu dekat Tok! Tok! Tok! Suara ketukan menghentikan kata-kata Emak. Mereka berpaling kearah pintu. Hana kembali melirik jam dinding. Siapa jam segini bertamu? Malingkah? Mereka terdiam beberapa saat. Ketakutan. Assalamualaikum sebuah suara kini mengiringi ketukan. Hana mengeryit. Sepertinya dia familiar dengan suara itu. Emak juga memberikan isyarat pada Hana demikian. Setelah mengumpulkan keberanian, mereka beranjak membukakan pintu. Seseorang berdiri di depan pintu dengan wajah kuyu. Kegelisahan tergambar jelas di matanya. Dokter Irfan. Ada apa malam-malam begini datang bertamu? Jantung Hana berloncatan kesana-kemari. Assalamualaikum Waalaikum salam jawab Emak dan Hana bersamaan setelah sesaat terbengongbengong dengan tamunya. Silakan masuk, Dokter. Ada apa kok tumben malam-malam? Emak mempersilakan tamunya masuk. Hana mengikuti di belakang Emak. Maaf Emak dan Dik Hana, malam-malam bertamu. Ada kabar yang ingin saya sampaikan. Tentang Dik Tantri

20

Deg! Jantung Hana semakin keras berlompatan. Ada apa dengan Mbak Tantri? Kenapa Ning Tantri, Den ? Sebenarnya sudah seminggu ini Dik Tantri opname di rumah sakit Opname? Kenapa Mbak Tantri Mas? potong Hana tak sabar. Kekhawatiran membayang di wajahnya. Karena sakit Dik Tantri semakin hari semakin parah, tadi siang operasi pengangkatan rahim di jalankan. Tapi operasi itu kurang berjalan mulus. Menjelang maghrib Dik Tantri menghadap Rabb-Nya. suara Dokter Irfan basah. Innalillahi wa inna illaihi rojiun Hana memegang tangan Emak erat. Seluruh kepiluan serasa mengaliri darahnya. Selain mengabarkan hal tersebut, saya menyampaikan surat wasiat yang ditulis Dik Tantri buat Dik Hana. Maaf, saya mohon pamit dulu. Ada beberapa keluarga yang mesti dikabari. Assalamualaikum Waaalaikumsalam Hana dan Emak mengantar Dokter Irfan sampai mobilnya hilang di kegelapan malam. Diam-diam Hana terisak. Seribu jarum menghujami ulu hatinya mendengar kepulangan Tantri menghadap Rabb-Nya. Tangannya masih gemetar ketika membuka surat wasiat dari Tantri. Tulisan rapi Tantri menyembul dari balik lipatan. assalamu alaikum, Dik Hana yang di cintai Allah, Ketika surat ini sampai di tanganmu, mungkin Mbak telah pergi jauh. Pergi ke tempat yang indah. Insya Allah. Sepulang dari rumah Dik Hana sekian waktu yang lalu, tak henti-hentinya Mbak merenung. Di ujung renungan panjang itu, mbak merasa sangat malu. Betapa egoisnya Mbak? Betapa tak tahu dirinya? Namun, bagaimanapun Mbak hanya manusia biasa yang tak luput dari kekurangan, bukan malaikat. Untuk itu Dik Hana, melalui surat ini, Mbak ingin menebus rasa malu Mbak di hadapan Allah, Mbak bermaksud meminangmu untuk mendampingi Mas Irfan. Insya Allah, Mas Irfan laki-laki yang shalih. Mbak percaya dengan pernikahan kalian, potensi dakwah Mas Irfan tak sia-sia dan akan lahir mujahid-mujahid sejati penerus perjuangan. Insya Allah. Mohon dipikirkan dengan hati yang bening pinangan kedua ini ya Dik, maafkan kalau surat ini kurang berkenan di hati adik. Wassalam, Tantri Hana melipat surat perlahan. Emak menggenggam tangannya erat. Wajah teduh Tantri melintas-lintas. Seolah sedang berlarian ditaman-taman yang indah mewangi. Diantara desir angin malam kota Malang yang dingin, Hana merasa tangan-tangan perkasa Allah mengangkat beban di kepalanya

Ingin Cepat Kaya? Buruan Menikah! Pernikahan itu pasti indah, nyaman, dan menyenangkan. Itu garansi dari Allah Azza wa Jalla, sebagaimana tertuang dalam firmanNya yang suci (Q.S 30:21). Apabila ada ungkapan Pernikahan tidak selamanya indah, pasti ada eror yang dilakukan oleh para pelaku pernikahan. Entah itu berupa pelanggaran atas rambu-rambu yang telah ditetapkan dalam proses pencapaiannya. Ataupun sikap manusia yang makin tidak apresiatif terhadap kewajiban universal dari Pencipta alam semesta ini. Islam memandang, pernikahan bukan saja sebagai satu-satunya institusi yang sah, tempat pelepasan hajat birahi manusia terhadap lawan jenisnya. Tapi yang tak kalah penting adalah, pernikahan sanggup memberikan jaminan proteksi pada sebuah masyarakat dari ancaman kehancuran moral dan sosial. Itulah sebabnya, Islam selalu mendorong dan memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia untuk segera melaksanakan kewajiban suci itu. Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak menikah dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki serta hamba-hamba sahayamu yang wanita. Jika mereka miskin, Allah akan membuat mereka kaya dengan karuniaNya. Dan Allah Maha Luas pemberianNya lagi Maha Mengetahui, (Q.S 13:38) Dalam haditsnya, Rasulullah SAW juga menekankan para pemuda untuk bersegera menikah. Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kalian telah mampu menikah, maka segeralah menikah. Karena sesungguhnya menikah itu lebih menjaga kemaluan dan memelihara pandangan mata. Barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa menjadi benteng (dari gejolak birahi) (HR Bukhari). Dari sini makin jelas, kemana orientasi perintah menikah itu sesungguhnya. Tujuan pembentukan institusi-institusi pernikahan (keluarga) tak lain adalah, agar terpancang sendi-sendi masyarakat yang kokoh. Sebab keluarga merupakan elemen dasar penopang bangunan sebuah masyarakat. Dengan kata lain, masyarakat akan kuat dan kokoh apabila ditopang sendi-sendi yang juga kokoh. Dan kekokohan itu tidak mungkin tercapai kecuali lewat penumbuhan institusi-institusi keluarga yang bersih. Pasal kewajiban menikah adalah merupakan sunah Nabi SAW yang harus ditaati setiap Muslim, tidak akan kita bahas lebih jauh di sini. Begitupun soal pernikahan merupakan aktualisasi keimanan atau aqidah seseorang terhadap Tuhannya, juga tidak akan kita perpanjang dalam tulisan ini. Sehingga dia menjadi alasan mendasar Islam, kenapa pernikahan hanya sah jika dilakukan oleh pasangan manusia yang memiliki aqidah, manhaj (konsep) hidup, serta tujuan hidup yang sama. Yakni mencari keridhoan Allah Azza wa Jalla. Ada sisi krusial lain dari pernikahan yang akan kita bahas lebih jauh. Yakni pernikahan dan kaitannya dengan peradaban manusia. Pasal ini yang mungkin jarang dicermati oleh kebanyakan masyarakat, termasuk masyarakat Islam. Bahwa ada korelasi kuat antara keberadaan institusi pernikahan dengan potret masyarakat yang akan muncul (seperti telah disinggung sebelumnya), adalah tidak bisa kita pungkiri.

21

Sebab indikasinya gampang sekali dilihat dan dirasakan. Masyarakat yang menghargai pernikahan, pasti mereka merupakan masyarakat yang beradab. Demikian sebaliknya. Maka tatkala kita telusuri, apa penyebab masyarakat Barat menjadi masyarakat yang tumbuh liar tanpa nilai-nilai etika, moral, dan agama. Itu sangat mudah kita pahami. Lantaran mereka adalah masyarakat yang tidak memahami makna sakral pernikahan. Hasrat seksual menurut mereka, bisa mereka lampiaskan kepada siapa saja, di mana saja, dan kapan saja. Sehingga tak ada kaitan antara kehormatan dan kesucian seseorang dengan pernikahan. Dari sinilah awal munculnya masyarakat Barat yang tidak beradab. Mereka menjadi masyarakat pemuja syahwat, menawarkan budaya buka-bukaan aurat alias telanjang, memamerkan secara vulgar budaya hidup seatap tanpa menikah antara laki-laki dan wanita. Maka kasus-kasus perceraian kian tidak terhitung jumlahnya. Ribuan anak-anak lahir tanpa jelas nasabnya (garis keturunannya). Setelah besar, generasi tanpa bapak itu pun membentuk komunitas anak-anak jalanan yang selalu menimbulkan problem bagi masyarakat mereka sendiri. Dari situlah siklus budaya nista bermula. Ironisnya, dalam masyarakat Islam pun mulai muncul sikap yang kurang apresiatif terhadap perintah menikah. Jika tidak sampai dikatakan enggan menikah, setidaknya ada gejala masyarakat Islam mulai bersikap mengulur-ulur waktu pernikahan. Padahal ini sangat berbahaya. Boleh jadi gaya hidup hedonis Barat yang sangat intens disuguhkan lewat bacaan dan filem-filem, telah menyebabkan perubahan pola pemikiran masyarakat Islam. Khususnya dalam menyikapi perintah menikah. Inilah barangkali yang menyebabkan pasangan muda-mudi dalam masyarakat kita, lebih senang berlama-lama pacaran ketimbang memikirkan untuk serius membangun rumah tangga. Kalaupun di sana-sini marak acara-acara pesta pernikahan, itu mungkin tak lebih hanya sebuah basa-basi kultural. Semuanya terlepas dari ikatan nilai-nilai religius yang sakral. Sehingga kita sering menyaksikan pesta-pesta pernikahan, tak lebih hanya sebagai ajang pamer kemewahan dan bahkan pamer kemaksiatan. Sebab boleh jadi, sebelum pesta itu berlangsung mereka sudah menjalani praktek-praktek layaknya kehidupan suami-isteri. Astaghfirullah! Kenapa Islam menggesa para pemuda untuk menikah, semakin jelas kita pahami. Bahwa di tengah maraknya budaya hedonisme yang menjangkiti dunia, sudah barang tentu institusi-institusi pernikahan kian dibutuhkan keberadaannya. Namun tentu saja bukan hanya memperbanyak lembaga-lembaga Robbani itu saja yang kita perhatikan. Tapi yang lebih penting adalah, bagaimana rambu-rambu suci untuk mencapainya, bisa tetap kita jaga. Sehingga banyaknya lembaga-lembaga pernikahan berbanding lurus dengan tumbuh suburnya budaya kesadaran masyarakat untuk memelihara kesucian diri. Dari keluargakeluarga yang bersih inilah, kelak akan lahir generasi yang kokoh. Jika ini yang terjadi, dapat dipastikan janji Allah, bahwa masyarakat bisa makmur (kaya) dan kuat lewat jalur pernikahan, akan terbukti. Karena itu makin tertutup alasan bagi para pemuda-pemudi untuk tidak segera menikah, jika mereka nyata-nyata telah sanggup melaksanakannya. Dengan kata lain, sikap menunda-nunda untuk segera menikah di kalangan muda-mudi, memang sangat aneh.

Aku heran dengan orang yang tidak mau mencari kekayaan dengan cara menikah. Padahal Allah berfirman; Jika mereka miskin, maka Allah akan membuat mereka kaya dengan KeutamaanNya, kata Umar bin Khattab r.a. Ayo, tunggu apa lagi? Jangan tunda-tunda pernikahan!

22

Missed Calls Sekali lagi hp-ku berbunyi. Itu pasti dari suamiku. Pada awalnya aku merasa kesal. Karena dia selalu mematikannya sebelum sempat aku menjawab. Tahu nggak sih dia kalo aku kangen. Setiap aku lagi sibuk dengan si kecil atau lagi masak di dapur, pasti dia menelpon dan... mematikannya lagi. Selalu begitu. Padahal kan aku capek larilari ngambil hp yang kutinggal di kamar, lagi dicharge. Pesannya sebelum berangkat aku nggak boleh nelpon dia, nanti roaming, mahal. Iya sih, aku nggak mungkin sebentar kalo ngomong sama dia, apalagi kalo lagi kangen. Aku bilang pake telpon rumah aja, katanya, inlok murah kan jam 8 ke atas." Loh emangnya ngga tau apa dia kalo paling-paling jam segitu aku paling lagi capek. "Apa kamu tega bangunin aku yang lagi istirahat? Dia jawab, "Ya enggak lah, apalagi aku nggak ada biasanya kan aku yang mijetin." Mau sms? Tapi katanya, Aku bakalan sibuk, sayang... takut nggak sempat baca dan bales. Emang! Dia paling males bales sms. Kemarin aja karena aku kangen banget iseng-iseng aku sms dia, "aku kangen nih honey". Dan dia cuma nulis, "sama". Udah?! Cuma empat huruf itu?! Nggak ada titik nggak ada koma?! Aku bales aja lagi, rugi tau bayar 300 rupiah cuma buat ngirim 4 huruf doang!! Eee dia bales, ooooooooooyyyyyyyyyyaaaaaaaaaa?????. Huh, benci deh... tapi rindu... Hari ini aku mogok ah. Nggak akan aku hampiri hp-ku walaupun berbunyi, kalau perlu aku bikin silent. Nggak akan aku cek siapa yang nelfon. Pokoknya aku kesel. Dan bener. Hp-ku menunjukkan adanya telfon masuk kemudian mati. Sekali lagi ada yang masuk kemudian mati lagi. Dan begitu seterusnya hingga dari pagi tadi sampai malam ini aku lihat di layar hp-ku 20 missed calls. Dalam hati aku nggak mau cek ah siapa yang nelfon. Good night, aku mau tidur. Besoknya dia pulang. Dari terakhir aku lihat hp-ku sampe pagi ini, missed call-nya nambah jadi 30. Dan benar, semuanya dari suamiku. Udah 4 hari, aku kangen berat nih. Tapi aku mau sok cool. Namun apa daya wajahnya yang ganteng dan tampak ceria bertemu denganku membuat aku luluh. Terima missed call-ku nggak? katanya. Langsung aku jadi inget dan kesel. Niat nelfon gak sih?. Suamiku mengetahui gelagatku yang mulai mau ngambek. Tapi... dasar suamiku! Bijaksana! Dan romantis! Sini sayang, aku kasih tau sesuatu katanya. Aku duduk di sebelahnya dengan cemberut namun ia malah merangkulku. Dia bertanya berapa kali dia missed call aku. Aku jawab dengan ketus lebih dari 20 sehari, total 4 hari 100 missed calls. Tapi dia malah tersenyum dan menyandarkan kepalaku di bahunya. Kamu tau nggak, sayang? Sebenernya aku pingin lebih dari 100 kali sehari missed call kamu. Aku jadi bingung dibuatnya. Udah tau aku kesel dengan semua missed call-nya, lebih dari 20 lagi sehari, malah mo nambah jadi 100. Maksud kamu apa missed call missed call aku? kataku sebel tapi bingung.

Yaaa aku cuma pingin kamu tau, kalo aku masih bisa mencet hp, berarti aku masih hidup dan sehat. Dan... supaya kamu tau... kalo aku kangen juga sama kamu... Hi hi hi akhirnya dia ngomong juga.Kalo kangen tuh nelfon. sahutku tetap sok cool tapi hepi. Ya itu aku nelfon. Missed call lagi. katanya santai. Aku pikir-pikir, kok aku jadi nggak nyambung ya apa yang dia bicarain. Tapi dari pada dibilang telmi alias telat mikir aku suruh aja dia ruang makan, sudah aku sediakan hidangan untuknya. Saat aku sedang di dapur membuat minuman, tiba-tiba hp-ku berbunyi di kantong dasterku. Aku menoleh dan melihat suamiku sedang tersenyum. Aku cek layar hpku. 1 missed call, Suamiku yang Ganteng. Aku baca sekali lagi... missed call. Dan aku baru mengerti. Aku missed call balik dia. Dan dia tersenyum. Missed call... bukan panggilan tak terjawab tetapi telefon kerinduan... 100 missed calls... berarti... kerinduannya untukku... 100 kali lipat

23

Dan Kita Pun Akan Menjadi Tua Hidup bagaikan garis lurus Tak pernah kembali ke masa yang lalu Hidup bukan bulatan bola Yang tiada ujung dan tiada pangkal... Syair lagu diatas, sering kita dengar dari lantunannya Bimbo, liriknya mengingatkan kita akan sebuah akhir. Kehidupan ini tidak akan berlangsung abadi, hingga suatu saat kita akan menaiki tangga usia, semakin lama usia kita bertambah, semakin berkuranglah sisa umur kita dan andai Tuhan belum memanggil kita di usia muda maka kitapun akan menjadi tua. Melihat garis-garis di wajah sosok yang kita cintai ibu dan ayah kita, ketika kulitnya mulai keriput, rambut hitamnya mulai memutih dan kesehatannya kian menyusut, kita diingatkan oleh-Nya bahwa kitapun sama, suatu saat nanti akan menjadi tua, renta dan butuh begitu banyak pertolongan, kasih sayang serta perhatian dari anak-anak kita. Dan sekaranglah saatnya bagi kita untuk memainkan peran sebagai seorang anak, memelihara dan menyayangi ayah dan ibu kita. Dahulu sembilan bulan kita dalam rahim ibu, kita menyusahkannya, duduk ia tak enak, berbaring tak nyaman. Tapi ibu sabar menanti hari-hari kelahiran kita. Tiba kita di dunia, ibu tersenyum bahagia mendapatkan kita sebagai anugerah dari Tuhan-Nya, disusuinya, dimanjakannya dan dibesarkannya kita dengan penuh kasih sayang. Diajarkannya kita berbagai ilmu dan sebuah kenikmatan yang luar biasa bagi kita diajarkan untuk mengenal Allah sebagai Tuhan kita. Dengan sabar ibu mengajak kita pergi ke pengajian dan ayah selalu mengajak kita shalat berjamaah. Menginjak remaja, kita semakin menyusahkannya, biaya sekolah yang kian besar serta kenakalan-kenakalan yang sering kita lakukan tak jarang membuat hati ibu terluka. Sikap kita yang kasar, egois dan selalu merasa benar terkadang membuatnya menangis, tapi ibu tetap sabar. Dibimbingnya kita untuk memperbaiki sikap dan tingkah laku kita, ibu selalu menanamkan cinta kepada Allah Rabb Tuhan yang maha kasih dan sayang. Berbahagialah bagi yang masih mempunyai ibu juga ayah, karena masih mempunyai kesempatan untuk memelihara dan menyayangi mereka. Dan saat kita menginjak dewasa, ketika ayah yang dulu kekar sekarang sering terbaring sakit, dan ketika ibu yang dulu selalu melayani kita makan sekarang sering terbaring lemah, inilah saat-saat yang baik bagi kita untuk memuliakan mereka, melayani, memelihara dan memberikan perhatian kepada mereka. Inilah kesempatan kita untuk menjadi anak yang shaleh buat mereka bahagia di ujung usianya, dan buat mereka bangga dengan kita. Ingatkah, dahulu ketika kebetulan kita terbangun dari tidur, terlihat ibu sedang Tahajjud tak henti-hentinya berdo'a untuk kita, agar menjadi anak yang shaleh dan tercapai semua cita. Jenguklah ibu dan ayah kita selagi bisa, sebelum semuanya berakhir menjadi kenangan, bawakan oleh-oleh yang disukainya. Sebab jika mereka telah tiada maka tak akan ada lagi yang menunggu kita pulang, tak ada lagi menyiapkan kita sarapan, yang ada hanyalah rumah yang akan menjadi kenangan. "Muliakanlah Orang tua kita karena kitapun akan menjadi tua" (untuk ibu di rumah dan ayah yang telah tiada, Ananda)

Meja Kayu Suatu ketika, ada seorang kakek yang harus tinggal dengan anaknya. Selain itu, tinggal pula menantu, dan anak mereka yang berusia 6 tahun. Tangan orangtua ini begitu rapuh, dan sering bergerak tak menentu. Penglihatannya buram, dan cara berjalannya pun ringkih. Keluarga itu biasa makan bersama di ruang makan. Namun, sang orangtua yang pikun ini sering mengacaukan segalanya. Tangannya yang bergetar dan mata yang rabun, membuatnya susah untuk menyantap makanan. Sendok dan garpu kerap jatuh ke bawah. Saat si kakek meraih gelas, segera saja susu itu tumpah membasahi taplak. Anak dan menantunya pun menjadi gusar. Mereka merasa direpotkan dengan semua ini. "Kita harus lakukan sesuatu, " ujar sang suami. "Aku sudah bosan membereskan semuanya untuk pak tua ini." Lalu, kedua suami-istri ini pun membuatkan sebuah meja kecil di sudut ruangan. Di sana, sang kakek akan duduk untuk makan sendirian, saat semuanya menyantap makanan. Karena sering memecahkan piring, keduanya juga memberikan mangkuk kayu untuk si kakek. Sering, saat keluarga itu sibuk dengan makan malam mereka, terdengar isak sedih dari sudut ruangan. Ada airmata yang tampak mengalir dari gurat keriput si kakek. Namun, kata yang keluar dari suami-istri ini selalu omelan agar ia tak menjatuhkan makanan lagi. Anak mereka yang berusia 6 tahun memandangi semua dalam diam. Suatu malam, sebelum tidur, sang ayah memperhatikan anaknya yang sedang memainkan mainan kayu. Dengan lembut ditanyalah anak itu. "Kamu sedang membuat apa?". Anaknya menjawab, "Aku sedang membuat meja kayu buat ayah dan ibu untuk makan saatku besar nanti. Nanti, akan kuletakkan di sudut itu, dekat tempat kakek biasa makan." Anak itu tersenyum dan melanjutkan pekerjaannya. Jawaban itu membuat kedua orang tuanya begitu sedih dan terpukul. Mereka tak mampu berkata-kata lagi. Lalu, air mata pun mulai bergulir dari kedua pipi mereka. Walau tak ada kata-kata yang terucap, kedua orangtua ini mengerti, ada sesuatu yang harus diperbaiki. Malam itu, mereka menuntun tangan si kakek untuk kembali makan bersama di meja makan. Tak ada lagi omelan yang keluar saat ada piring yang jatuh, makanan yang tumpah atau taplak yang ternoda. Kini, mereka bisa makan bersama lagi di meja utama. Teman, anak-anak adalah persepsi dari kita. Mata mereka akan selalu mengamati, telinga mereka akan selalu menyimak, dan pikiran mereka akan selalu mencerna setiap hal yang kita lakukan. Mereka adalah peniru. Jika mereka melihat kita memperlakukan orang lain dengan sopan, hal itu pula yang akan dilakukan oleh mereka saat dewasa kelak. Orangtua yang bijak, akan selalu menyadari, setiap "bangunan jiwa" yang disusun, adalah pondasi yang kekal buat masa depan anak-anak. Mari, susunlah bangunan itu dengan bijak. Untuk anak-anak kita, untuk masa depan kita, untuk semuanya. Sebab, untuk merekalah kita akan selalu belajar, bahwa berbuat baik pada orang lain, adalah sama halnya dengan tabungan masa depan

24

Sandal Jepit Isteriku Selera makanku mendadak punah. Hanya ada rasa kesal dan jengkel yang memenuhi kepala ini. Duh... betapa tidak gemas, dalam keadaan lapar memuncak seperti ini makanan yang tersedia tak ada yang memuaskan lidah. Sayur sop ini rasanya manis bak kolak pisang, sedang perkedelnya asin nggak ketulungan. "Ummi... Ummi, kapan kau dapat memasak dengan benar...? Selalu saja, kalau tak keasinan... kemanisan, kalau tak keaseman... ya kepedesan!" Ya, aku tak bisa menahan emosi untuk tak menggerutu. "Sabar bi..., rasulullah juga sabar terhadap masakan Aisyah dan Khodijah. Katanya mau kayak Rasul...? " ucap isteriku kalem. "Iya... tapi abi kan manusia biasa. Abi belum bisa sabar seperti Rasul. Abi tak tahan kalau makan terus menerus seperti ini...!" Jawabku dengan nada tinggi. Mendengar ucapanku yang bernada emosi, kulihat isteriku menundukkan kepala dalam-dalam. Kalau sudah begitu, aku yakin pasti air matanya sudah merebak. Sepekan sudah aku ke luar kota. Dan tentu, ketika pulang benak ini penuh dengan jumput?jumput harapan untuk menemukan 'baiti jannati' di rumahku. Namun apa yang terjadi...? Ternyata kenyataan tak sesuai dengan apa yang kuimpikan. Sesampainya di rumah, kepalaku malah mumet tujuh keliling. Bayangkan saja, rumah kontrakanku tak ubahnya laksana kapal burak (pecah). Pakaian bersih yang belum disetrika menggunung di sana sini. Piring-piring kotor berpesta pora di dapur, dan cucian... ouw... beremberember. Ditambah lagi aroma bau busuknya yang menyengat, karena berhari-hari direndam dengan detergen tapi tak juga dicuci. Melihat keadaan seperti ini aku cuma bisa beristigfar sambil mengurut dada. "Ummi...ummi, bagaimana abi tak selalu kesal kalau keadaan terus menerus begini...?" ucapku sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Ummi... isteri sholihat itu tak hanya pandai ngisi pengajian, tapi dia juga harus pandai dalam mengatur tetek bengek urusan rumah tangga. Harus bisa masak, nyetrika, nyuci, jahit baju, beresin rumah...?" Belum sempat kata-kataku habis sudah terdengar ledakan tangis isteriku yang kelihatan begitu pilu. "Ah...wanita gampang sekali untuk menangis...," batinku berkata dalam hati. "Sudah diam Mi, tak boleh cengeng. Katanya mau jadi isteri shalihat...? Isteri shalihat itu tidak cengeng," bujukku hati-hati setelah melihat air matanya menganak sungai dipipinya. "Gimana nggak nangis! Baru juga pulang sudah ngomel-ngomel terus. Rumah ini berantakan karena memang ummi tak bisa mengerjakan apa-apa. Jangankan untuk kerja untuk jalan saja susah. Ummi kan muntah-muntah terus, ini badan rasanya tak bertenaga sama sekali," ucap isteriku diselingi isak tangis. "Abi nggak ngerasain sih bagaimana maboknya orang yang hamil muda..." Ucap isteriku lagi, sementara air matanya kulihat tetap merebak. "Bi..., siang nanti antar Ummi ngaji ya...?" pinta isteriku. "Aduh, Mi... abi kan sibuk sekali hari ini. Berangkat sendiri saja ya?" ucapku. "Ya sudah, kalau abi sibuk, Ummi

naik bis umum saja, mudah-mudahan nggak pingsan di jalan," jawab isteriku. "Lho, kok bilang gitu...?" "Iya, dalam kondisi muntah-muntah seperti ini kepala Ummi gampang pusing kalau mencium bau bensin. Apalagi ditambah berdesak? Desakan dalam dengan suasana panas menyengat. Tapi mudah-mudahan sih nggak kenapa-kenapa," ucap isteriku lagi. "Ya sudah, kalau begitu naik bajaj saja," jawabku ringan. Pertemuan hari ini ternyata diundur pekan depan. Kesempatan waktu luang ini kugunakan untuk menjemput isteriku. Entah kenapa hati ini tiba-tiba saja menjadi rindu padanya. Motorku sudah sampai di tempat isteriku mengaji. Di depan pintu kulihat masih banyak sepatu berjajar, ini pertanda acara belum selesai. Kuperhatikan sepatu yang berjumlah delapan pasang itu satu persatu. Ah, semuanya indah-indah dan kelihatan harganya begitu mahal. "Wanita, memang suka yang indah-indah, sampai bentuk sepatu pun lucu-lucu," aku membathin sendiri. Mataku tiba-tiba terantuk pandang pada sebuah sendal jepit yang diapit sepasang sepatu indah. Dug! Hati ini menjadi luruh. "Oh....bukankah ini sandal jepit isteriku?" Tanya hatiku. Lalu segera kuambil sandal jepit kumal yang tertindih sepatu indah itu. Tes! Air mataku jatuh tanpa terasa. Perih nian rasanya hati ini, kenapa baru sekarang sadar bahwa aku tak pernah memperhatikan isteriku. Sampai-sampai kemana ia pergi harus bersandal jepit kumal. Sementara temantemannnya bersepatu bagus. "Maafkan aku Maryam," pinta hatiku. "Krek...," suara pintu terdengar dibuka. Aku terlonjak, lantas menyelinap ke tembok samping. Kulihat dua ukhti berjalan melintas sambil menggendong bocah mungil yang berjilbab indah dan cerah, secerah warna baju dan jilbab umminya. Beberapa menit setelah kepergian dua ukhti itu, kembali melintas ukhti-ukhti yang lain. Namun, belum juga kutemukan Maryamku. Aku menghitung sudah delapan orang keluar dari rumah itu, tapi isteriku belum juga keluar. Penantianku berakhir ketika sesosok tubuh berbaya gelap dan berjilbab hitam melintas. "Ini dia mujahidahku!" pekik hatiku. Ia beda dengan yang lain, ia begitu bersahaja. Kalau yang lain memakai baju berbunga cerah indah, ia hanya memakai baju warna gelap yang sudah lusuh pula warnanya. Diam-diam hatiku kembali dirayapi perasaan berdosa karena selama ini kurang memperhatikan isteri. Ya, aku baru sadar, bahwa semenjak menikah belum pernah membelikan sepotong baju pun untuknya. Aku terlalu sibuk memperhatikan kekurangan-kekurangan isteriku, padahal di balik semua itu begitu banyak kelebihanmu, wahai Maryamku. Aku benarbenar menjadi malu pada Allah dan Rasul-Nya. Selama ini aku terlalu sibuk mengurus orang lain, sedang isteriku tak pernah kuurusi. Padahal Rasul telah berkata: "Yang terbaik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya." Sedang aku..? Ah, kenapa pula aku lupa bahwa Allah menyuruh para suami agar menggauli isterinya dengan baik. Sedang aku...? terlalu sering ngomel dan menuntut isteri dengan sesuatu yang ia tak dapat melakukannya. Aku benar-benar merasa menjadi suami terdzalim!!!

25

"Maryam...!" panggilku, ketika tubuh berabaya gelap itu melintas. Tubuh itu lantas berbalik ke arahku, pandangan matanya menunjukkan ketidakpercayaan atas kehadiranku di tempat ini. Namun, kemudian terlihat perlahan bibirnya mengembangkan senyum. Senyum bahagia. "Abi...!" bisiknya pelan dan girang. Sungguh, aku baru melihat isteriku segirang ini. "Ah, kenapa tidak dari dulu kulakukan menjemput isteri?" sesal hatiku. Esoknya aku membeli sepasang sepatu untuk isteriku. Ketika tahu hal itu, senyum bahagia kembali mengembang dari bibirnya. "Alhamdulillah, jazakallahu...,"ucapnya dengan suara tulus. Ah, Maryam, lagi-lagi hatiku terenyuh melihat polahmu. Lagi-lagi sesal menyerbu hatiku. Kenapa baru sekarang aku bisa bersyukur memperoleh isteri zuhud dan 'iffah sepertimu? Kenapa baru sekarang pula kutahu betapa nikmatnya menyaksikan matamu yang berbinar-binar karena perhatianku...?

Surat Ayah Kepada Anaknya Sepucuk surat dari seorang ayah Aku tuliskan surat ini atas nama rindu yang besarnya hanya Allah yang tahu. Sebelum kulanjutkan, bacalah surat ini sebagai surat seorang ayah kepada anaknya yang sesungguhnya bukan miliknya, melainkan milik Tuhannya. Nak, menjadi ayah itu indah dan mulia. Besar kecemasanku menanti kelahiranmu dulu belum hilang hingga saat ini. Kecemasan yang indah karena ia didasari sebuah cinta. Sebuah cinta yang telah terasakan bahkan ketika yang dicintai belum sekalipun kutemui. Nak, menjadi ayah itu mulia. Bacalah sejarah Nabi-Nabi dan Rasul dan temukanlah betapa nasehat yang terbaik itu dicatat dari dialog seorang ayah dengan anak-anaknya. Meskipun demikian, ketahuilah Nak, menjadi ayah itu berat dan sulit. Tapi kuakui, betapa sepanjang masa kehadiranmu di sisiku, aku seperti menemui keberadaanku, makna keberadaanmu, dan makna tugas kebapakanku terhadapmu. Sepanjang masa keberadaanmu adalah salah satu masa terindah dan paling aku banggakan di depan siapapun. Bahkan dihadapan Tuhan, ketika aku duduk berduaan berhadapan dengan Nya, hingga saat usia senja ini. Nak, saat pertama engkau hadir, kucium dan kupeluk engkau sebagai buah cintaku dan ibumu. Sebagai bukti, bahwa aku dan ibumu tak lagi terpisahkan oleh apapun jua. Tapi seiring waktu, ketika engkau suatu kali telah mampu berkata: "TIDAK", timbul kesadaranku siapa engkau sesungguhnya. Engkau bukan milikku, atau milik ibumu Nak. Engkau lahir bukan karena cintaku dan cinta ibumu. Engkau adalah milik Tuhan. Tak ada hakku menuntut pengabdian darimu. Karena pengabdianmu semata-mata seharusnya hanya untuk Tuhan. Nak, sedih, pedih dan terhempaskan rasanya menyadari siapa sebenarnya aku dan siapa engkau. Dan dalam waktu panjang di malam-malam sepi,kusesali kesalahanku itu sepenuh -penuh air mata dihadapan Tuhan. Syukurlah, penyesalan itu mencerahkanku. Sejak saat itu Nak, satu-satunya usahaku adalah mendekatkanmu kepada pemilikmu yang sebenarnya. Membuatmu senantiasa erusaha memenuhi keinginan pemilikmu. Melakukan segala sesuatu karena Nya, bukan karena kau dan ibumu. Tugasku bukan membuatmu dikagumi orang lain, tapi agar engkau dikagumi dan dicintai Tuhan. Inilah usaha terberatku Nak, karena artinya aku harus lebih dulu memberi contoh kepadamu dekat dengan Tuhan. Keinginanku harus lebih dulu sesuai dengan keinginan Tuhan. Agar perjalananmu mendekati Nya tak lagi terlalu sulit. Kemudian, kitapun memulai perjalanan itu berdua, tak pernah engkau kuhindarkan dari kerikil tajam dan lumpur hitam. Aku cuma menggenggam jemarimu dan merapatkan jiwa kita satu sama lain. Agar dapat kau rasakan perjalanan rohaniah yang sebenarnya. Saat engkau mengeluh letih berjalan, kukuatkan engkau karena kita memang tak boleh berhenti. Perjalanan mengenal Tuhan tak kenal letih dan berhenti.

26

Nak. Berhenti berarti mati, inilah kata-kataku tiap kali memeluk dan menghapus air matamu, ketika engkau hampir putus asa. Akhirnya Nak, kalau nanti, ketika semua manusia dikumpulkan di hadapan Tuhan, dan kudapati jarakku amat jauh dari Nya, aku akan ikhlas. Karena seperti itulah aku di dunia. Tapi, kalau boleh aku berharap, aku ingin saat itu aku melihatmu dekat dengan Tuhan. Aku akan bangga Nak, karena itulah bukti bahwa semua titipan bisa kita kembalikan kepada pemiliknya. Dari ayah yang senantiasa merindukanmu.

BERAWAL DARI JILBAB Sore itu, Anti mendapatkan satu pesan singkat dari nomor yang asing baginya. Isinya cukup membuat dirinya menjadi sedikit penasaran. Namun tak lama kemudian Anti baru sadar. Ya, beberapa jam yang lalu setelah menyelesaikan pekerjaannya, dia memanfaatkan waktu yang tersisa untuk chatting. Namun chatting kali ini beda, Anti chatting di situs yang berlatar belakang Islam. Dunia yang baru ia dalami setelah beberapa bulan terakhir ini ia memakai jilbab. Kebetulan waktu itu Anti hanya chat berdua saja. Di awal perbincangan mereka saling memperkenalkan nama asli masing masing. Tak lama kemudian teman chat Anti menyebutkan nama aslinya. Oohh. Namanya Rizal bisik Anti. Anti pun menyebutkan nama aslinya. Sebentar mereka ngobrol, namun Rizal langsung minta nomor telpon Anti. Tanpa pikir panjang, Anti memberikannya. Ya, maklumlah Anti adalah orang yang mudah bergaul dan senang bila mempunyai banyak teman. Apalagi temannya yang satu ini sepertinya mengerti banyak hal tentang Islam. Dengan begitu Anti bisa belajar banyak dari Rizal yang Insya ALLAH mau membimbing Anti menapaki dunia yang begitu indah..dunia Islam. Tapi sayang Anti tidak mendapatkan nomor telpon Rizal. Tiba tiba ia menghilang entah ditelan apa. Namun pesan singkat yang baru ia terima tidak menyebutkan nama. Anti hanya bisa menebak nebak dalam hati. Waktu itu bulan Ramadhan, ketika sahur tiba tiba hp Anti berdering. Ah..nomor itu lagi gumamnya. Namun ia tetap menjawabnya dengan harapan rasa penasarannya selama ini tertuntaskan. Hallo.. Assalamualaikum.. sambut Anti. Waalaikumsalam hayoo, udah sahur belum ??? kata orang misterius itu. Orang itu memutuskan hubungan telponnya. Lagilagi.. rasa penasaran Anti semakin menjadi jadi. Ya maklumlah Anti tidak suka dengan kemisteriusan. Hilang sudah kesabaran Anti, akhirnya ia memutuskan untuk mengirim SMS kepada orang itu dengan maksud menanyakan siapa dia sebenarnya. Sebelumnya Anti sudah menduga kalau orang itu adalah Rizal. Ternyata dugaan Anti benar. Dia adalah Rizal, sebuah nama yang baru beberapa hari ini ia kenal. Setelah hari itu, SMS-an pun berlanjut. Kali ini pesan singkat yang dikirim Rizal untuk Anti masih biasa biasa saja hanya menanyakan kabar Anti dan tidak ada yang istimewa. Hingga pada suatu malam Rizal kembali menelpon Anti. Di sanalah mereka melanjutkan perkenalan dan pertanyaan yang selama ini tertunda. Suara Rizal terdenganr begitu dewasa. Kata kata yang terucap begitu bermakna. Dari beberapa pertanyaan yang diajukan Rizal, ada satu pertanyaan yang membuat Anti terperangah. Yaitu tentang jilbab. Suatu benda yang baru beberapa bulan terakhir ini menutupi rambutnya yang indah itu. Anti, sebelumnya aku minta maaf kalau pertanyaanku ini agak lancang. Hmm apakah kamu berjilbab ? tanya Rizal dengan nada hati hati. Alhamdulillah, beberapa bulan ini aku memang sudah memakainya. Tapi aku juga masih perlu bimbingan. Banyak hal yang belum aku ketahui tentang Islam. jawab Anti.

27

Syukurlah jangan khawatir insya ALLAH aku akan membantu kamu, ya.. kita sama sama masih belajar kok sambut Rizal dengan semangat. Dalam hati Anti, Rizal sudah mendapatkan suatu tempat. Akhirnya Anti sudah mendapatkan orang yang selama ini ia cari. Orang yang akan membimbingnya menapaki Islam. Tanpa Anti minta, Rizal sudah bersedia membantunya. Namun pertanyaan Rizal tentang jilbab tidak hanya sampai di situ. Ia menanyakan alasan Anti memakai jilbab. Kalau boleh aku tahu, apa alasan yang membuat kamu memutuskan untuk berjilbab?. Tanya Rizal. Hhmm aku memakai jilbab tentunya karena ini memang suatu kewajiban yang terlambat aku sadaritapi disamping itu ada suatu alasan yang mendorongku untuk berjilbab. Aku melihat sahabatku menikah, ia seorang akhwat yang begitu menjaga kehormatan dirinya dengan berjilbab sampai akhirnya ada seseorang yang datang melamarnya. jawab Anti malu malu. Pertanyaan Rizal tentang jilbab, membuat Anti bertanya balik Hhhmm kalau boleh aku tahu, kenapa sih kamu menanyakan aku sudah berjilbab atau belum? Memangnya ada apa dengan jilbab? tanya Anti polos. Ditanya Anti seperti itu, Rizal sebenarnya punya kesempatan untuk mengutarakan keinginan hatinya. Tidak ada yang salah dengan jilbab. Dan alasan kamu untuk berjilbab, aku pikir wajar saja dan itu hak kamu. Aku malah ingin punya istri yang berjilbab. Wanita akan tampak lebih cantik dan anggun dengan jilbab di kepalanya. Akan terjagalah kehormatan wanita itu. Itulah alasanku menanyakan itu ke kamu jawabnya panjang. Hati Anti sedikit berdebar mendengar pernyataan Rizal. Namun entahlah niat apa yang tersembunyi di balik pertanyaan pertanyaan itu. Dari obrolan panjang itu, Anti baru mengetahui kalau ternyata Rizal juga kuliah sambil bekerja sama seperti dirinya. Rizal kuliah di salah satu PTS di Jakarta jurusan Teknik Elektro. Tebakan Anti tentang Rizal hampir semua benar. Namun untuk yang satu ini, Anti salah. Anti mengira usia Rizal diatas dirinya. Ternyata usia Rizal di bawah Anti dua tahun. Namun meski demikian, tidak memutuskan tali persahabatan yang sedang dirajutnya bersama Rizal. Bahkan setelah Anti tahu kalau Rizal dipanggil Abang oleh adiknya, ia jadi ikut ikutan memanggilnya Abang --sapaan yang seharusnya ditujukan untuk orang yang usianya lebih tua, namun tidak begitu dengan Anti. Menurut Anti, walaupun dari segi usia ia lebih muda darinya namun cara berpikir dan berbicara Rizal sangatlah dewasa. Wawasannya begitu luas, mungkin karena ia suka membaca buku. Sama seperti Anti yang juga suka membaca buku. Hanya bedanya, kalau Anti lebih suka baca novel, puisi, atau cerpen apalagi yang bertemakan islami. Mungkin karena pembawaan sifatnya yang agak melankolis. Sedangkan Rizal, ia suka baca buku apa saja yang menurutnya bagus untuk ia baca. Untuk kali pertama obrolan mereka lewat telepon berakhir sampai di situ. Obrolan yang cukup panjang, Anti jadi lebih mengenal Rizal. Setelah hari itu, hari hari Anti jadi lebih

indah. Pesan singkat yang Rizal kirim untuk Anti, membuatnya semakin dekat bukan hanya pada Rizal tetapi juga pada Penciptanya. Bagaimana tidak pesan singkat yang selalu mengingatkan Anti bukan hanya pada pengirimnya, perlahan lahan membuat Anti berubah. Ia jadi semakin rajin shalat. Tidak hanya shalat lima waktu saja yang selama ini memang ia rasakan masih suka bolong bolong, tetapi juga shalat sunah pada malam hari bahkan ia mulai belajar mengaji. Ajaib sungguh ajaib, begitu cepat Anti berubah. Padahal Anti belum pernah melihat Rizal. Entahlah Anti sendiri bingung melihat perubahan yang dialaminya. Dalam kegelisahannya, ia hanya bisa berdoa kepada ALLAH agar diberikan petunjuk oleh-Nya. Ya Rabb. Engkaulah Maha pemilik hati manusia Engkaulah Maha pembolak balik hati manusia Hanya pada-Mu lah hamba serahkan ini semua Jika Engkau mengizinkan Temukanlah hamba dengan seseorang yang juga berjalan menuju arah-Mu Yang bisa mengingatkan hamba akan diri-Mu Yang bisa membukakan hati dan mata hamba akan kebesaran-Mu Yang bisa membimbing hamba berjalan menuju surga-Mu Semoga Engkau berkenan Ya AllahAmiiiin. Doa itulah yang selalu ia panjatkan disetiap akhir shalatnya. Hari yang dinAnti telah tiba. Hari Raya Idul Fitri. Seperti biasa kita saling bermaaf maafan. Begitu juga dengan Anti dan Rizal, mereka tak lupa saling meminta maaf yang diwakili dengan pesan singkat ucapan selamat dan permintaan maaf dari keduanya. Hari lebaran mereka lewati dengan kesibukan masing masing, maklum keluarga Rizal adalah keluarga besar jadi dua hari pertama lebaran dilewatinya bersama keluarga dirumah. Hingga pada suatu hari, Rizal mengajak Anti untuk bertemu di suatu tempat yaitu di toko buku, tempat yang paling mereka sukai. Sebenarnya Anti takut kalau Rizal mengajaknya bertemu. Anti takut setelah ia bertemu dengan Rizal, Rizal akan berubah sikapnya pada Anti. Kekhawatiran Anti cukup dapat dimengerti, ia khawatir akan kehilangan Rizal pembimbingnya selama ini. Namun akhirnya Anti menyanggupi ajakan Rizal. Anti menyerahkan itu semua pada-Nya, Dialah yang berkuasa atas segala hal. Untuk kali pertamanya mereka bertemu. Setibanya Anti di toko buku itu, ternyata Rizal sudah sampai lebih dulu. Tiba tiba hp Anti berdering, ternyata Rizal menghubungi Anti. Assalamualaikum,.. Anti kamu dimana??? terdengar suara Rizal Waalaikumsalam, aku udah di depan nih.. jawab Anti Oh, ya udah aku ke depan deh, Hhhmm.. kamu pake baju apa ya??? tanya Rizal lagi Aku pakai baju coklat muda dan jilbab coklat motif kembang kembang.. Anti menjelaskan. Setelah mendengar penjelasan dari Anti, Rizal langsung memutuskan telponnya. Anti hanya bisa menunggu Rizal. Tidak lama kemudian Hp Anti berdering lagi, Rizal menelpon lagi memastikan kalau yang ia lihat itu adalah Anti. Anti kalau aku tidak salah, aku dibelakang kamu kata Rizal Rizal langsung memutuskan telponnya. Anti dengan hati yang berdebar debar menoleh kebelakang. Subhanallah, diam diam hati Anti berdzikir untuk menghilangkan rasa gugupnya. Rizal yang Anti lihat saat itu, sama sekali tidak mencerminkan seorang

28

pria berusia 20 tahun. Ia tampak begitu dewasa dan berwibawa dengan dandanan seperti itu ditambah lagi dengan kacamata yang bertengger dimatanya. Rizal menyambut Anti dengan senyuman. Anti pun membalas senyuman Rizal dengan malu malu sambil menundukkan pandangan. Mereka berdua berjalan seiring dengan tetap menjaga jarak. Tanpa Anti sadari, ternyata warna baju yang mereka pakai sama. Coklat muda. Eh, kita ngga janjian khan pake bajunya???? kata Rizal. Anti hanya tersenyum malu. Kok bisa ya begitu bisik hatinya. Tak banyak kata yang mengalir dari perbincangan mereka berdua. Untuk beberapa saat mereka berpisah. Rizal menuju rak buku Islam sedangkan Anti menuju rak novel kesukaannya. Anti mengira ngira apa yang Rizal pikirkan tentang dirinya. Cukup lama mereka berpisah. Akhirnya mereka bertemu lagi setelah mendapatkan buku yang mereka cari. Rizal meminta buku yang Anti pilih. Ia bermaksud membelikannya untuk Anti sebagai hadiah pertemuan. Dan Anti tidak bisa menolaknya. Saat itu jam sudah menunjukkan pukul 16.00, Rizal mengajak Anti untuk shalat Ashar. Setelah selesai shalat Ashar, mereka berdua pulang. Karena mereka searah jadi pulang bersama sampai di simpangan Pal, mereka berpisah karena arah mereka bertolak belakang. Tak lupa Rizal mengucapkan terima kasih pada Anti karena mau menemaninya ke toko buku. Sepanjang perjalanan pulang, Anti tersenyum dalam hati. Begitu bahagianya ia dipertemukan dengan Rizal. Rizal begitu menjaga keislamannya. Dan Anti merasa aman dan bahagia di dekatnya. Namun Anti menyerahkan ini semua pada-Nya, biarlah Dia yang memutuskan. Masih asyik dengan lamunannya, tiba tiba hp Anti berdering. Ternyata hanya SMS. Ya, Rizal mengirim SMS pada Anti. Kali ini, isinya cukup membuat Anti terkejut. \Ass, sudah sampai mana??, hati hati ya dindaku sayang begitu isinya. Membacanya, membuat Anti tersenyum. Rizal memanggil Anti dengan sebutan dinda. Sebutan untuk seorang kekasih. Ya Rabb..lindungilah hamba-Mu ini, Berilah hamba petunjuk, Begitulah doa nya dalam hati. Anti tidak langsung membalas SMS dari Rizal. Sesampainya Anti dirumah, pas waktu shalat maghrib tiba. Anti istirahat sejenak untuk melepaskan lelah. Hp Anti berdering lagi, seperti biasa Rizal selalu mengingatkan Anti untuk shalat. Untuk kali keduanya, Rizal memanggil Anti dinda.. Ass, udah shalat maghrib belum??, jangan lupa untuk menyelipkan namaku di sela sela doamu dindaku sayang Rizal Isi pesan singkat itu. Setelah selesai membaca pesan singkat yang indah itu, Anti bergegas shalat maghrib. Anti tidak lupa pesan Rizal untuk menyelipkan namanya disetiap doa Anti. Tanpa diminta pun Anti selalu menyebutkan nama Rizal di setiap doanya. Entahlah Anti belum juga ingin membalasnya. Mungkin ia masih terhanyut dalam rasa bahagianya. Sampai sampai ia bingung harus bilang apa untuk membalasnya. Seperti biasa Anti selalu memanfaatkan waktu sepertiga malamnya untuk berdoa. Ia ingin mengungkapkan segala perasaan yang dialaminya, kebingungan dan kegundahan yang melanda hatinya pada Penciptanya. Perjalanan kisah mereka tidak selalu berjalan mulus. Keesokan harinya Anti terkena musibah. Ia mengalami kecopetan di sebuah angkutan ketika pulang kuliah yang

mengakibatkan Hp nya raib. Anti bingung karena nomor Rizal belum sempat ia hafal. Anti memang paling tidak suka kalau disuruh menghafal nomor telepon. Sesampainya Anti dirumah, ia langsung menuju pesawat telpon. Anti hanya ingat kepalanya saja 0855 selebihnya ia mencoba menekan secara acak meskipun sebenarnya ia tidak yakin berhasil. Dan ternyata memang tidak berhasil. Anti kehilangan Rizal, ia kehilangan pengingat shalatnya, pembimbing dirinya. Ia kehilangan pesan singkat yang indah itu yang belum sempat ia balas. Entahlah apa yang ada di pikiran Rizal saat ini, mungkin ia akan mencap Anti sebagai wanita yang angkuh dan sombong karena sampai saat ini SMS darinya belum juga dibalas. Ya Allah.. seandainya Rizal tahu apa yang sedang Anti alami sekarangBegitulah doanya dalam hati. Hampir tiga bulan mereka kehilangan kontak. Hingga pada suatu hari, Anti begitu ingin pergi ke toko buku tempat dulu mereka untuk kali pertama bertemu. Namun kali ini bukan itu niat Anti. Memang nama Rizal masih tersimpan baik baik didalam hatinya. Entahlah sepertinya ada sesuatu yang mendorong Anti untuk melangkah pergi ke tempat itu. Sesampainya di tempat itu, seperti biasa Anti langsung menuju rak novel. Anti teringat pertemuan empat bulan yang lalu dengan Rizal. Namun ia berusaha untuk tidak larut dalam kesedihannya. Kesedihan kehilangan Rizal. Terlalu asyiknya ia berjalan menuju kasir sambil membaca, ia menabrak seorang pria berkacamata yang juga sedang membaca. Buku mereka berjatuhan. Anti yang merasa bersalah berinisiatif meminta maaf lebih dulu sambil mengambilkan buku milik orang itu. Belum sempat Anti melihat wajah orang itu, namun pria berkacamata itu memanggil namanya. Anti..?? kata orang itu dengan penuh tanda tanya. Kontan saja Anti terkejut, karena sepengetahuannya ia belum pernah menyebut namanya. Perlahan Anti menegakkan pandangan, matanya tepat menuju mata pria berkacamata itu. Wajah yang ada di hadapannya, begitu jelas tergambar dalam ingatan Anti. Ya.. wajah itu mengingatkan Anti pada seseorang. Lama juga mereka saling menatap. Hingga tanpa sadar Anti menyebutkan sebuah nama. Rizal????? sebut Anti. Tak lama kemudian mereka tersadar dari lamunannya masing masing. Anti langsung kembali menundukkan pandangannya malu malu. Diam diam hartinya berdzikir, Astagfirullah Ya Rabb, ampuni hamba-Mu ini yang telah melakukan dosa. Ya.. Rabb Engkau mempertemukan kembali hamba dengan dia.. Ini adalah kehendak-Mu Ya Allah. Rizal memulai percakapan diantara mereka. Anti.. apa kabar, kemana saja kamu??? SMS dari ku tak pernah kau balas?? Apa kamu marah padaku??? tanya Rizal dengan nada penasaran. Anti sudah menduga, kalau Rizal berpikir seperti itu tentang dirinya. Dan menanyakan tentang SMS yang tak pernnah dibalasnya itu. Dengan perlahan lahan Anti menjawab semua pertanyaan Rizal dan menjelaskan apa yang terjadi dengan dirinya waktu itu. Abang ri, alhamdulillah kabarku baik. Bukan maksudku tidak mau membalas SMS dari abang, hanya saja belum sempat aku membalas dan menghafal nomor hp abang ri, hpku hilang dicopet. Aku sudah berusaha mengingatnya, sayangnya aku hanya ingat kepalanya saja 0855. Begitu ceritanya. Anti pikir, Anti telah kehilangan Abang ri jawab Anti.

29

Innalillahi tapi kamu ngga apa apa khan ??? Tanya Rizal penuh kekhawatiran. Alhamdulillah, aku ngga apa apa Mungkin ini ujian dari-Nya Anti menjelaskan. SyukurlahDan ternyata Allah telah mempertemukan kita lagi ditempat yang sama, meskipun tanpa komunikasi tanpa janjian terlebih dahulu kata Rizal dengan semangat. Untuk kali keduanya Rizal menghadiahkan buku itu untuk Anti, kali ini dengan alasan sebagai hadiah untuk dindaku sayang katanya. Untuk kali keduanya juga Anti tidak bisa menolak pemberian dari Rizal. Anti menerimanya dengan malu malu. Setelah acara ditoko buku selesai, Rizal mengajak Anti makan di sebuah resto yang ada di dalam kompleks toko buku itu. Sambil makan Rizal menanyakan suatu hal yang pribadi pada Anti. Rizal menanyakan tentang tipe calon suami yang Anti cari. Entahlah mengapa tiba tiba ia menanyakan itu pada Anti. Anti tetap menjawab sejujurnya tanpa ada prasangka apa apa pada Rizal. Tipe suami yang aku cari adalah yang bisa membimbingku menuju jalan-Nya, yang bisa membawaku menuju surga-Nya, yang bisa menjadi imam baik dalam shalatku maupun dalam kehidupan berumah tangga nantinya, yang mampu bertanggung jawab dunia dan akhirat. Hhhmmm pokoknya yang sholeh jawab Anti dengan semangat. Merasa dirinya terlalu banyak bicara, Anti langsung meminta maaf. Aduhhmaaf ya kalau bicaraku terlalu banyak. Mungkin aku agak berlebihan.. kata Anti. Rizal tidak berpikir seperti itu, malah ia senang mendengar Anti berbicara. Oh.. ngga kok, malah aku senang mendengar kalau kamu bicara, lucu kayak nenek nenek.. ledek Rizal pada Anti. Diledek Rizal seperti itu, Anti langsung merubah mimik mukanya. Melihat perubahan mimik muka Anti, Rizal langsung minta maaf khawatir Anti marah. Uupss.. maaf deh becanda kok, jangan marah ya dindaku, Ngga kok, aku pikir wajar wajar saja kalau seseorang itu memiliki sebuah impian sebuah harapan. Namun masalahnya tidak ada manusia yang diciptakan sempurna. Sebaik-baiknya manusia, pasti ia pernah melakukan kesalahan. Apa kamu mau menerima segala kekuarangan dan kelebihan yang ada pada dirinya kata Rizal serius. Anti tidak mau kalah. Tentu saja, aku akan terima dia dengan segala kekurangan dan kelebihan yang dia punya. Dan Insya Allah, aku akan setia mendampinginya dalam suka dan duka. Aku akan tetap menyayanginya jawab Anti. Rizal begitu serius memperhatikan cara Anti mengungkapkan pendapatnya. Mungkin dalam hati Rizal tertawa geli. Karena Anti kalau sudah bicara serius, tanpa ia sadari, kata kata puitisnya keluar. Ya..maklumlah Anti itu pemilik sifat melankolis. Dan Rizal tahu itu. Kerap juga ia meledek Anti. Setelah selesai makan, Rizal mengajak Anti shalat Maghrib karena waktu sudah menunjukkan pukul 18.15. Kali ini Rizal mengajaknya shalat berjamaah meskipun dengan menggunakan hijab. Anti kaget sekaligus senang, Rizal menjadi imam dan Anti menjadi mamum. Karena moment itulah yang selalu ia tunggu tunggu. Memang kebetulan di mushalla itu baru mereka berdua yang shalat. Selesai berdoa, tanpa Anti duga Rizal mengungkapkan perasaannya pada Anti. Dengan selembar kain sebagai hijab diantara mereka berdua,

Rizal mengutarakan keinginannya untuk melamar Anti. Di keheningan suasana, suara Rizal terdengar begitu indah dibalik hijab yang memisahkan mereka berdua. Anti mendengarkan dengan penuh cemas. Assalamualaikum, dindaabang ri mau bilang sesuatu. Tapi dinda jangan marah ya. Begitu katanya. Waalaikumsalam, bilang apa abang ri, bilang aja Insya Allah Anti ngga marah suara Anti terdengar lembut di balik hijab. Sungguh maha suci Allah yang telah menganugerahkan rasa cinta kepada manusia. Rasa cinta itu begitu suci dan murni. Tidak sepantasnya kita menodainya. Kehadiran rasa cinta itu di dalam hati abang ri, membuat abang ri bingung dan takut. Abang ri takut rasa cinta itu ternoda. Oleh karena itu abang ri akan membawa cinta ini ke jalan yang di ridhoi-Nya. Sejak pertama kita bertemu dan kali ini atas kehendak Allah kita dipertemukan kembali, sebenarnya abang ri mempunyai perasaan lebih pada dinda. Alhamdulillah abang ri sudah minta petunjuk-Nya. Dan semua itu mengarah pada dirimu dinda. Setelah proses perkenalan yang kita lalui bersama, abang ri berniat melamar dinda. Sekarang terserah pada diri dinda Dinda boleh shalat istikharah lebih dulu mohon petunjuk-Nya. Apapun itu keputusannya, abang ri akan terima dengan ikhlas. Sekarang sudah malam sebaiknya kita pulang yuk.., nanti dinda dicariin sama orang rumah kata Rizal perlahan namun pasti. Anti benar benar terkejut. Tanpa ia sadari, air mata menetes di pipi Anti. Anti menangis karena bahagia. Setelah itu Anti tidak mampu berkata kata lagi. Ia hanya menangis. Rizal yang melihat Anti menangis khawatir. Ia khawatir kalau ada kata kata yang menyakiti hati dindanya. Dinda.. kenapa kamu menangis, maafkan aku kalau ada kata kataku yang menyakiti hatimu tanya Rizal dengan penuh kekhawatiran. Mendengar Rizal berkata seperti itu, Anti langsung menjelaskan alasan ia menangis. Abang ri, Anti menangis bukan karena ada kata kata abang ri yang menyakiti hati Anti. Anti menangis karena bahagia, doa-doa yang selalu Anti panjatkan disetiap shalat Anti akhirnya dikabulkan oleh-Nya. Anti bahagia karena akhirnya Allah telah mengirimkan seseorang untuk menjadi pendamping hidup Anti dan itu adalah Abang ri. Dan Anti menangis karena ingat Almarhumah ibu. Seandainya beliau masih ada, pasti ikut merasakan kebahagiaan yang Anti rasakan sekarang. Ya Rabb.. terimalah ia disisi-Mu kata Anti sambil terisak menangis. Mendengar Anti berdoa, Rizal mengamiinkan. Amiiinn., Ya sudah sekarang kita pulang yuk, hari sudah malam ajak Rizal. Anti menolak diantar pulang oleh Rizal. Karena rumah mereka sama jauh dan Anti tidak mau merepotkan abangnya. Sebelum mereka berpisah tidak lupa Rizal menanyakan nomor telpon rumah Anti dan alamat e-mailnya agar bisa tetap berkomunikasi. Sesampainya dirumah, kira kira pukul 20.30 Rizal telpon untuk memastikan kalau Anti sudah sampai dirumah dengan selamat. Keesokan harinya ditempat ia bekerja, Anti mengecek e-mail yang masuk dan ternyata ada e-mail dari Rizal. Isinya tentang rencana

30

kedatangan

dirinya

bersama

keluarga

untuk

silahtuhrahmi

tiga

bulan

lagi.

JAGA DERMAGAMU DIK Dik, jangan gegabah seperti itu, pikirkan dulu masak-masak dampaknya kelak. Sayang jika kau nodai apa yang sudah dengan susah payah kau bangun dan bina selama ini. Bersabarlah, saatnya pasti akan tiba. Saat yang telah diputuskan Allah sejak kau dalam rahim ibumu. Pada hari yang dijanjikan itu, pasti akan bersua jua dirimu dengannya. Adik sudah cukup lelah bersabar, kak. Sampai kapan adik harus menunggu? Sementara detik demi detik terus berpacu, adik sudah tidak muda lagi sekarang Semua wanita memiliki fitrah yang sama, ingin segera membina sebuah keluarga. Tapi jodoh itu kan Allah yang mengatur. Kau tidak sendiri, dik! Masih banyak saudarisaudarimu yang usianya jauh lebih tua darimu juga belum diperkenankan Allah untuk memikul amanah itu. Kau sendiri tahu kan berapa umur kakak ketika menikah... Ya, kalau pada akhirnya happy ending seperti kakak...Kak, semua saudara seperjuangan juga sudah angkat tangan membantu mempertemukan adik dengan laki-laki pilihan itu, terus apa nggak boleh kalau kemudian adik berusaha sendiri? Adikku sayang, bukan berarti kau tidak boleh mencari sendiri. Tapi kecenderungan rasa kita pada seseorang biasanya akan membutakan mata hati kita karena semua yang ada pada si dia akan terlihat begitu indah tanpa cela. Cukuplah kakak yang mengalaminya. Ingat, dik, sesal itu selalu datang diakhir cerita Tapi laki-laki dari kantor pusat itu orang baik, kak! Dia rajin sholat, santun dan ikut pengajian rutin. Menurut teman-temanku sih begitu... Teman-temanmu yang mana? Teman-teman kantor yang kau bilang biasa dugem di kafe-kafe sampai pagi? Sudah berapa kali kakak bilang jauhi mereka! Dan laki-laki itu, apakah bisa disebut laki-laki baik kalau dia tak pernah absen mengirim puisi-puisi sentimentil untukmu? Jangan-jangan dia juga biasa mengirim puisi-puisi itu ke perempuan-perempuan lain. Atau gara-gara dia selalu mengirim sms untuk mengingatkanmu sholat, lalu kau anggap dia itu laki-laki baik? Ironisnya, mengapa dia tidak mengirim sms yang sama kepada teman-temanmu yang lain supaya mereka juga ingat sholat... Ah, pasti kakak mau bilang bahwa dia bukan laki-laki yang tepat untuk adik, kan? Kak, yang namanya laki-laki sholeh itu jauuuuh...jauh di ujung laut sana. Kalaupun dia mau berlabuh, pasti akan memilih dermaga yang bagus. Dermaga yang cantik, pintar, kaya, tinggi, putih bersih, dst...dst! Kalau seperti aku dengan tampang cuma nilai enam, IQ standar, pegawai biasa dan kulit sawo kematangan sih nggak bakal masuk hitungan. Waiting listnya kepanjangan, kak! Ya, berusaha dong menjadi dermaga yang bagus. Dermaga yang bagus kan nggak selalu dengan kriteria seperti itu. Perbaiki dermagamu dengan mempercantik akhlak, memperbanyak ibadah, meningkatkan potensi diri, dengan izin Allah pasti akan ada yang berlabuh juga.

Tiga bulan sudah Anti lalui dengan harap harap cemas. Hingga tiba hari itu, keluarga Rizal datang. Dari perbincangan antara orang tua kedua belah pihak, akhirnya di putuskan hari pernikahan mereka yang insya Allah akan diadakan sekitar tiga bulan lagi. Waktu yang cukup singkat untuk mempersiapkan sebuah pernikahan. Tak henti henti Anti berdzikir dalam hati. Ia amat bersyukur mendapatkan seorang Rizal. Rizal adalah pria seorang sholeh. Insya Allah. Meskipun mereka sama sama masih kuliah namun itu bukanlah penghalang bagi mereka untuk melaksanakan ibadah yang sangat mulia ini. Dan meskipun perbedaan usia mereka yang dua tahun itu, tidak menghalangi niat Rizal untuk memperistri Anti. Atas kehendak-Nya lah semua ini terjadi. Hingga tiba hari itu, hari pernikahan mereka berdua. Mereka begitu tampak bahagia. Semoga kehidupa baru yang akan mereka jalani, selalu mendapat berkah dan rahmat dari-Nya.

31

Kakak nggak ngerti sih. Siapa sih yang nggak mau berjodoh dengan laki-laki pilihan yang punya tujuan hidup sama dengan kita. Laki-laki sholeh, yang akan membimbing istri dan anak-anak ke surga...Kalaulah pada akhirnya adik berjodoh dengan laki-laki yang biasa-biasa saja, bukan sesuatu yang nggak mungkin kan kalau adik yang justru membimbing dia ke arah sana? Dik, kakak sangat mengerti kegundahan hatimu, karena kakak pernah mengalami masamasa usia krisis sepertimu. Dalam keputus-asaan, kakak mencoba mencari si dia dengan cara kakak sendiri, tabrak sana sini. Kakak pun dulu mempunyai prinsip yang sama denganmu, bertekat akan bimbing si dia menjadi laki-laki yang sholeh. Mencari-cari waktu agar sering bersama, mengenalkan si dia lebih jauh dengan Islam. Meski tak pernah dijamah, tapi itu namanya sudah berdua-duaan, berkhalwat! Toh, semua berakhir mengecewakan, si dia tak seperti yang kakak harapkan. Mudahnya berpaling ke perempuan lain, karena dengan kakak banyak yang tak bolehnya. Begitu seterusnya, beberapa bahkan ada yang sudah ikut pengajian rutin sebelum kenal dengan kakak. Mereka sempat membuat hari-hari kakak begitu berbunga-bunga, sekaligus menderita! Karena semua bunga itu semu, dan tak akan pernah menjadi buah. Kakak merasa lelah, capek! Ternyata apa yang kakak harapkan dengan melanggar takdir itu pun tak pernah membuahkan hasil. Kakak telah mencoreng muka sendiri, hina rasanya dimata Allah, dan malu dengan teman-teman seperjuangan. Tapi Allah Maha Pemurah dan Penyayang, Allah mengirimkan seorang laki-laki pilihanNya, seorang yang begitu baik untuk kakak. Ketahuilah dik, rasa bersalah itu tidak pernah hilang, meski si Abang ikhlas dan mau mengerti dengan story kakak sebelum menikah dengannya. Lalu adik harus bagaimana mengisi hari-hari sendiri, kak? Hampa rasanya, ilmu-ilmu yang adik terima tentang membina rumah tangga sakinah, tentang mendidik dan membina anak, semua itu hanya tinggal sebuah teori indah dalam khayal. Mubazir, karena nggak jelas kapan akan dipraktekkan. Bagaimana jika sampai akhir hayat adik ditakdirkan tetap sendiri, karena laki-laki pilihan itu tak kunjung datang? Adikku sayang, percayalah pada takdir Allah dan bersabarlah. Mungkin Allah belum mengabulkan doa-doamu karena belum kau panjatkan dengan segenap kepasrahan, belum kau lepas keangkuhanmu karena kau berusaha menerjang ketetapanNya yang berlaku bagimu. Mungkin juga belum kau tinggalkan segala hal yang mendekati kemaksiatan. Itulah yang menjauhkan terkabulnya doa-doa kita,dik. Ketahuilah jika Allah memang berkehendak, jodoh adik bisa datang tanpa disangka dan diduga. Akan tetapi jika kehendak Allah sebaliknya, Insya Allah, itulah hal terbaik yang ditetapkan Allah bagi dirimu. Mungkin, Allah berkehendak memperjodohkan adik dengan bidadarinya di surga kelak *** Saya terima nikahnya Muthmainnah binti Syaiful dengan mas kawin.... Alhamdulillah,ya Allah... Kak, hari yang dijanjikan itu akhirnya datang juga. Laki-laki pilihan itu kini mengikat janji untuk berlabuh di dermagaku...

Subhanallah! Biarkan bulir-bulir bahagia itu luruh di matamu,dik. Kakak bangga, kesabaran adik pada akhirnya berbuah kebahagiaan. Kesucian dermagamu telah kau jaga dengan baik, dan hanya kau peruntukkan bagi laki-laki sholeh yang mulai saat ini akan menemanimu menempuh bahtera kehidupan, dunia akhirat. Barokallah, semoga Allah memberkatimu dan memberikan berkah atas kamu serta menyatukan kalian berdua dalam kebaikan, adikku sayang...

32

ALLOH SIAPKAN AKU BILA ENGKAU INGIN BERTEMU Pernahkah Anda melihat seseorang menjelang sakaratul maut? Berapakali Anda melihat mereka yang terbelalak ketakutan, yang kesakitan atau yang hanya seperti hendak tidur? Aku punya seorang teman dekat di SMU I Binjai bernama Wati. Ia dara berjilbab yang sangat cantik, supel, berbudi, senang menolong orang lain dan selalu menjadi juara kelas. Maka seperti mendengat petir disiang hari, saat kudengar ia yang sudah sekian lama tak masuk sekolah ternyata mengidap kanker rahim. Bahkan sudah menyebar hingga stadium empat!! Sekolah kami berduka. Para aktivis rohis amat sedih. Wati adalah motor segala kegiatan dakwah. Ide-idenya segar. Ia selalu punya terobosan baru. Ia bisa mendekati dan disukai siapapun. Sungguh, kami tak memiliki Wati yang lain. Maka betapa pedih menatapnya hari itu. Ia tergolek lemah di ranjang. Badannya menjadi amat kurus. Wajahnya pasi. Setelah sakit berbulan-bulan, hari ini ia tak mampu lagi mengenali kami! "Wati sudah sebulan ini tak bisa bangun," kata ibunya sambil mengusap air matanya. Namun kami berbelalak, saat baru saja ibunya selesai bicara, perlahan Wati berusaha untuk bangun. Kami semua tercengang saat ia berdiri dan berjalan melintasi kami seraya berkata dengan suara nyaris tak terdengar, "Aku mau berwudhu dan shalat Dhuha." Serentak kami semua berebutan membimbingnya ke kamar mandi. Setelah itu ibunya memakaikannya mukena dan sarung. Sementara ayahnya kembali membaringkannya di tempat tidur karena ia terlalu lemah untuk shalat sambil berdiri. Hening. Tak seorang pun yang bersuara saat ia melakukan shalat Dhuha. Selesai shalat, saat ibunya akan membukakan mukena, ia melarang dengan halus. Lalu lama sekali dipandanginya wajah ibu, ayah dan adik-adiknya satu persatu bergantian. Dari mulutnya terus menerus terdengar asma Allah. Kami yang menyaksikan tak kuat lagi menahan tangis. Tiba-tiba Wati tersenyum. Ia memandang kami, teman-temannya, dengan penuh sayang. Lalu kembali memandang wajah ayah, ibu dan adik-adiknya bergantian. Kini kulihat butiran bening menetes dari sudut matanya. Lalu susah payah ia mengangkat kedua tangannya dan mendekapkannya di dada. Dengan tersenyum ia menutup kedua matanya sambil mengucapkan dua kalimat syahadat dengan sangat lancar. Innalillaahi wa inna ilaihi rooji'uun. Ia telah pergi untuk selamanya. Bagai melayang aku menyaksikan semua. Dadaku berdebar, lututku gemetar. Subhanallah, ia telah kembali dengan sangat sempurna dalam usia yang baru 18 tahun. Tiba-tiba, antara ilusi dan kenyataan, aku mencium wewangian. Tubuhku bergidik. Aku menangis terisak-isak. Allah, siapkah aku bila Engkau ingin bertemu?

DOA YANG SELALU DIKABULKAN Pagi itu, 3 Mei 1998, dari Jakarta, saya diundang mengisi seminar di IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung. Saya duduk di bangku kedua dari depan sambil menunggu kedatangan pembicara lain, Mimin Aminah, yang belum saya kenal. Jam sembilan tepat, panitia menghampiri saya dan memperkenalkan ia yang baru saja tiba. Saya segera berdiri menyambut senyumnya yang lebih dulu merekah. Ia seorang yang bertubuh besar, ramah, dalam balutan gamis biru dan jilbab putih yang cukup panjang. Kami berjabat tangan erat, dan saat itu tegas dalam pandangan saya dua kruk (tongkat penyangga yang dikenakannya) serta sepasang kaki lemah dan kecil yang ditutupi kaos kaki putih. Sesaat batin saya hening, lalu melafazkan kalimat takbir dan tasbih. Saat acara seminar dimulai, saya mendapat giliran pertama. Saya bahagia karena para peserta tampak antusias. Begitu juga ketika giliran Mimin tiba. Semua memperhatikan de-ngan seksama apa yang disampaikannya. Kata-kata yang dikemukakannya indah dengan retorika yang menarik. Wawasannya luas, pengamatannya akurat. Saya tengah memandang wajah dengan pipi merah jambu itu saat Mimin berkata dengan nada datar. Saya diuji Allah dengan cacat kaki ini seumur hidup saya. Ia tersenyum. Saya lahir dalam keadaan seperti ini. Mungkin banyak orang akan pesimis menghadapi keadaan yang demikian, tetapi sejak kecil saya telah memohon sesuatu pada Allah. Saya berdoa agar saat orang lain melihat saya, tak ada yang diingat dan disebutnya kecuali Allah, Ia terdiam sesaat dan kembali tersenyum. Ya, agar mereka ingat Allah saat menatap saya. Itu saja. Dulu tak ada orang yang menyangka bahwa ia akan bisa kuliah. Saya kuliah di Fakultas Psikologi, katanya seraya menambahkan bahwa teman-teman pria dan wanita di Universitas Islam Bandungtempat kuliahnya itusenantiasa bergantian membantunya menaiki tangga bila kuliah diadakan di lantai dua atau tiga. Bahkan mereka hafal jam datang serta jam mata kuliah yang diikutinya. Di antara mereka ada yang membawakan sebelah tongkat saya, ada yang memapah, ada juga yang menunggu di atas, kenangnya. Dan civitas academica yang lain? Menurut Mimin ia sering mendengar orang menyebutnyebut nama Allah saat menatapnya. Mereka berkata: Ya Allah, bisa juga ya dia kuliah, senyumnya mengembang lagi. Saya bahagia karena mereka menyebut nama Allah. Bahkan ketika saya berhasil menamatkan kuliah, keluarga, kerabat atau teman kembali memuji Allah. Alhamdulillah, Allah memang Maha Besar. Begitu kata mereka. Muslimah bersahaja kelahiran tahun 1966 ini juga berkata bahwa ia tak pernah bermimpi akan ada lelaki yang mau mempersuntingnya. Kita tahu, terkadang orang normal pun susah mendapatkan jodoh, apalagi seorang yang cacat seperti saya. Ya tawakal saja. Makanya semua geger, ketika tahun 1993 ada seorang lelaki yang saleh, mapan dan normal melamarnya. Dan lagi-lagi saat walimah, saya dengar banyak orang menyebutnyebut nama Allah dengan takjub. Allah itu maha kuasa, ya. Maha adil! Masya Allah, Alhamdulillah, dan sebagainya, ujarnya penuh syukur. Saya memandang Mimin dalam. Menyelami batinnya dengan mata mengembun.

33

Lalu saat saya hamil, hampir semua yang bertemu saya, bahkan orang yang tak mengenal saya, menatap takjub seraya lagi-lagi mengagungkan asma Allah. Ketika saya hamil besar, banyak orang menyarankan agar saya tidak ke bidan, melainkan ke dokter untuk operasi. Bagaimana pun saat seorang ibu melahirkan otot-otot panggul dan kaki sangat berperan. Namun saya pasrah. Saya merasa tak ada masalah dan yakin bila Allah berkehendak semua akan menjadi mudah. Dan Alhamdulillah, saya melahirkan lancar dibantu bidan, pipi Mimin memerah kembali. Semua orang melihat saya dan mereka mengingat Allah. Allahu Akbar, Allah memang Maha Adil, kata mereka berulang-ulang. Hening. Ia terdiam agak lama. Mata saya basah, menyelami batin Mimin. Tiba-tiba saya merasa syukur saya teramat dangkal dibandingkan nikmatNya selama ini. Rasa malu menyergap seluruh keberadaan saya. Saya belum apa-apa. Yang selama ini telah saya lakukan bukanlah apa-apa. Astaghfirullah. Tiba-tiba saya ingin segera turun dari tempat saya duduk sebagai pembicara sekarang, dan pertamakalinya selama hidup saya, saya menahan airmata di atas podium. Bisakah orang ingat pada Allah saat memandang saya, seperti saat mereka memandang Mimin? Saat seminar usai dan Mimin dibantu turun dari panggung, pandangan saya masih kabur. Juga saat seorang (dari dua) anaknya menghambur ke pelukannya. Wajah teduh Mimin tersenyum bahagia, sementara telapak tangan kanannya berusaha membelai kepala si anak. Tiba-tiba saya seperti melihat anak saya, yang selalu bisa saya gendong kapan saya suka. Ya, Allah betapa banyak kenikmatan yang Kau berikan padaku. Ketika Mimin pamit seraya merangkul saya dengan erat dan berkata betapa dia mencintai saya karena Allah, seperti ada suara menggema di seluruh rongga jiwa saya. Subhanallah, Maha besar Engkau ya Robbi, yang telah memberi pelajaran pada saya dari pertemukan dengan hambaMu ini. Kekalkanlah persaudaraan kami di Sabilillah. Selamanya. Amin. Mimin benar. Memandangnya, saya pun ingat padaNya. Dan cinta saya pada Sang Pencipta, yang menjadikan saya sebagaimana adanya, semakin mengkristal.

KABAR BUAT MARIA Hampir setiap hari lelaki buta dan anaknya yang berjualan es mambo itu melewati rumah keluarga Maria. Si anak yang baru berusia sekitar tujuh tahun itu, menuntun bapaknya melangkah tertatih-tatih sambil berteriak, Es! Es mambo! Es-nya, eeeesss!! Biasanya tak lama kemudian, dengan langkah tergopoh-gopoh Maria akan keluar dan memanggil mereka. Maria akan membeli paling tidak sepuluh es mambo. Mengajak lelaki buta dan anaknya untuk mampir beristirahat sejenak di rumah kontrakan keluarganya yang sederhana, juga menyuguhi mereka makanan dan minuman. Maria sangat menaruh perhatian pada mereka, seperti juga dengan segala kesederhanaan, Maria memperhatikan siapa pun yang kekurangan dan papa di sekitarnya. Saya akan menyekolahkan anak Bapak , boleh? tanya Maria suatu hari. Lelaki buta itu mengangguk-angguk. Anaknya meloncat-loncat gembira. Biar nanti saya yang mengurus semuanya. Apakah di tempat Bapak ada SD Negeri yang bagus? Ada, kata Bapak itu. Tetapi, saya tak mau menyusahkan Ibu. Biar nanti istri saya saja yang mengurus. Kebetulan istri saya berjualan es di depan sekolahan dekat rumah. Maria berpikir sejenak. Saya tak keberatan untuk mendaftarkan. Tapi, bu, bila istri saya yang mendaftarkan, lebih baik, karena para guru sudah mengenal istri saya. Maria tersenyum. Tak lama ia masuk ke dalam kamar, dan keluar dengan sebuah amplop di tangan. Mudah-mudahan uang ini cukup untuk mendaftar, membeli seragam dan perlengkapan sekolah. Datanglah tiap awal bulan. Saya akan memberikan uang bayaran sekolah pada Bapak. Begitulah. Selama beberapa waktu, secara teratur lelaki buta dan anaknya datang mengambil uang sumbangan dari Maria. Sementara Maria terus memberi pengertian pada tiga anaknya yang juga baru usia SD, untuk mau hidup lebih sederhana lagi, mengingat sebagian jatah belanja, Maria berikan pada mereka. Enam bulan berlalu, sampai tiba-tiba datang si anak dengan seorang perempuan ke rumah Maria. Perempuan itu mengaku sebagai istri dari lelaki buta itu. Ia tampak murung sekali, lalu tangisnya tumpah saat bertemu Maria. Juga tangis anak lelaki buta itu. Suami saya kecelakaan! Ia sudah meninggal, bu!! Maria terpaku beberapa saat. Innalillaahi wa inna ilaihi roojiuun, ujar Maria pelan. Apakah sudah dikubur? Air bening mengalir dari kedua pipi wanita yang baik hati ini. Belum, bu. Mayatnya masih di rumah sakit. Saya tidak punya uang untuk mengambilnya. Sayajuga nggak punya uang untuk membeli kafan, apalagi menguburkannya, saya pusing, bu! kata perempuan itu miris.

34

Maria mengusap airmatanya, menepuk-nepuk bahu perempuan itu dan mencoba meneguhkannya. Saya akan bantu kamu. Ayo kita ke rumah sakit! Tidak usah, bu. Ibu tidak usah ke sana. Mayatnya hancur, bu! Hampir tak bisa dikenali! Saya saja tidak kuat melihatnya! Biar paman saya saja yang ngurusin!Permpuan itu terus menangis. Saya mengharapkan dibantu uang sama ibu, katanya pada akhirnya. Airmata Maria bergulir lagi. Disebutnya nama Allah berkali-kali. Kasihan kamu dan anak-anak. Tetapi tabah ya. Ini cobaan dari Allah. Kamu tak akan pernah tahu balasan dari ketabahanmu sampai suatu saat. Maria membuka dompetnya. Lalu entah berapa banyak, Maria memberikan semua isinya dan istri lelaki buta itu berulangkali mengucapkan terimakasih. Lalu bersama anaknya tergesa pergi. Maria sangat sedih. Tetapi sejak dulu ia memang selalu saja tak tega. Ia ingin ikut ke rumah sakit dan membantu penyelenggaraan jenazah, namun rasa ibanya yang terlalu besar membuatnya tak mampu. Maria tak pernah tahu kebenaran itu, sampai sebulan kemudian. Tetangga sebelah rumahnya bercerita, Sungguh, Maria! Demi Allah, saya melihat lelaki itu dan anaknya. Sudah tiga kali ini! Mereka berboncengan sepeda, jualan es. Tidak mungkin saya salah lihat! Maria cuma terdiam. Saya lihat lelaki itu selalu beserta anaknya. Mereka menipumu, Maria! Anak itu tidak disekolahkan! Maria masih terdiam. Lelaki itu belum mati! Ia juga tidak buta! Ia bisa melihat saya dan membonceng anaknya naik sepeda! Kasihan, kamu benar-benar ditipu! Maaf, kabar buruk ini harus saya sampaikan! Maria menghela napas. Senyum khas-nya kembali tampak. Jadi dia belum meninggal? Berarti anaknya tidak menjadi anak yatim? Ternyata dia juga tidak buta. Artinya, ia bisa melakukan lebih banyak hal untuk keluarganya. Termasuk untuk menyekolahkan anaknya, Maria manggut-manggut. Saya pikir ini adalah kabar terbaik yang saya dengar hari ini!

NIKMAT YANG TAK HABIS UNTUK DISYUKURI Tahukah Anda apa yang membanggakan saya dari seorang Kinan Nasanti? Setiap orang merasa aman mempercayakan rahasia mereka padanya! Begitu banyak teman (bahkan yang baru mengenalnya) menjadikannya tempat curhat. Saya sudah cerita semua masalah saya pada Kinan, Mbak, kata Vita. Aku ceritakan saja semua pada Mbak Kinan, tutur Dian. Aku sampai nangis lho curhat ke Kinan, kali ini Wida. Mbak Kinan, aku mau ceritaaaa. Nan, ada waktu nggak untuk dengar ceritaku? tanya Ika. Dan apa yang dilakukan Kinan? Ia mendengar dengan telinga dan hati sekaligus. Ia tidak semata menunjukkan simpati, tapi empati. Ia berusaha mencari solusi atau memberi nasehat yang berarti. Lebih dari itu, komitmen. Insya Allah kita hadapi bersama, ya. Saya akan bantu. Semoga Allah memberi kekuatan. Tapi tahukah Anda siapa Kinan sebenarnya? Ia hanya seorang muslimah biasa dengan tubuh yang sangat mungil (serupa anak saya yang menjelang kelas II SD). Hari-harinya adalah cobaan. Ayahnya sudah meninggal. Sang ibu sakit-sakitan. Ia masih harus menghadapi seorang kakak yang tidak stabil secara mental serta seorang adik yang sakit jiwa! Belum lagi masalah lainnya. Dan ia menghadapi semua dengan ketabahan luar biasa. Bagaimana bisa? Pikir saya. Allah, Mbak. Allah tempat bersandar yang sejati. Ia pasti tak akan membiarkan hambaNya. Ia tak akan membiarkan saya, Mbak, katanya suatu ketika. Di tengah dera cobaan, ia bisa lulus kuliah dari Universitas Indonesia dengan nilai baik. Ia mengajar di sebuah pesantren dan dicintai begitu banyak muridnya. Ia masih sempat bekerja di sebuah penerbitan, menulis untuk beberapa majalah dan antologi cerpen bersama, membina majelis taklim, menjadi pengurus organisasi Forum Lingkar Pena dan aktif dalam berbagai kegiatan Partai Keadilan di wilayahnya. Tidak hanya itu. Hari-hari belakangan ini ia sibuk memikirkan teman-temannya yang belum menikah pada usia menjelang atau lebih dari 30 tahun. Dan mencoba mencarikan untuk mereka lelaki muslim yang baik. Tidak memikirkan diri sendiri. Tidak rendah diri karena tubuh mungilnya. Hanya kerendahan hati. Tak ada duka karena derita. Hanya mata yang berbinar dan senyum, saat bertemu kami. Tahukah Anda kalimat yang sering ia ucapkan kala bersama kami? Maha Besar Allah yang memberi saya kenikmatan yang tak habis untuk disyukuri.

35

TIDAK BU BARANG ITU BUKAN MILIK SAYA Meli tak menyangka akan begini jadinya. Ia terus berlari dan berlari, menghindari kerumunan dan amukan massa di sekitar Jakarta Barat. Dari kejauhan terlihat jilatan api dari beberapa gedung dan sisa asap pembakaran mobil. Massa yang beringas yang entah datang dari mana bersorak sorai. Kemudian terdengar suara-suara sumbang penuh hasutan: Cari Cina! Cari Cina! Beberapa mata mulai memandangnya. Meli bergidik. Beberapa mata mulai merasa menemukan sasaran. Meli menatap ke depan. Lengang, tak ada satu kendaraan pun yang bisa membawanya pergi dari tempat itu. Cemasnya menjadi-jadi. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Berlari sekuat-kuatnya? Masuk ke rumah penduduk? Mereka telah menutup pintu rapat-rapat tanpa berani membukanya, setidaknya saat ini. Lalu? Matanya mulai nanar. Tiba-tiba di antara bayangan kepulan asap, tampak seorang lelaki tua lusuh dengan sebuah sepeda kusam tua, menghampirinya. Ibu Cina ,ya! Ibu mau kemana? Cepat naik ke sepeda saya, bu! Cepat!! Ojek sepeda ya, pak? Bapak dengan baju tambalan di sana sini itu mengangguk pelan. Tanpa berpikir panjang, Meli segera naik ke atas sepeda tersebut. Si Lelaki tua mengayuh sepedanya kuat-kuat disertai peluh bercucuran yang membasahi bagian punggung bajunya, meninggalkan massa yang berpesta dalam amukan dan beberapa pasang mata liar yang urung mengejar mereka. Sampai di belakang Glodok Plaza, Meli melihat banyak orang mengambil barang dari dalam toko-toko di sekitar sana. Dengan wajah puas orang-orang itu mengangkuti televisi, radio, komputer, kulkas sampai mesin cuci dan lain sebagainya. Meli tak mengerti. Mungkinkah barang-barang itu diberikan oleh pemiliknya agar toko tersebut tak dibakar? Atau massa yang menjarahnya? Beberapa tentara tampak berjaga-jaga, namun tak melarang siapa pun yang ingin mengambil barang. Di sudut yang sepi, Meli menyuruh bapak tua itu berhenti. Ada apa, bu? Pak, mendingan bapak ikut ambil barang-barang itu dulu. Biar sepedanya saya yang jagain. Itu orang-orang pada ngambil. Ambil dulu, pak! ujar Meli. Hatinya tergetar melihat kemiskinan dan perjuangan lelaki tua ini untuk menghidupi keluarganya. Ya, apa salahnya ia menunggu sebentar dan menjaga sepeda ini sementara bapak itu mengangkuti barang yang bisa dia bawa pulang. Di luar dugaan, bapak tua itu menggeleng dan tersenyum getir. Tidak, bu. Barang itu bukan milik saya. Bukan barang halal. Saya muslim, bu. Meli tercengang beberapa saat. Benar-benar terenyuh. Orang tak mampu seperti ini, ternyata punya prinsip hidup yang sangat mulia.

Saat sampai di tujuan, bapak itu hanya meminta ongkos tiga ribu rupiah, jumlah yang tak berbeda dengan bila tak ada kerusuhan. Meli memberinya empat ribu, dan bapak tua itu meninggalkannya dengan riang. Terimakasih, bu. Meli menatap lelaki tua itu hingga menjadi titik di kejauhan. Ia telah mendapat satu pelajaran yang luar biasa. Bukan dari siapa-siapa. Hanya dari seorang miskin, seorang muslim, seorang yang berbeda keyakinan dengan dirinya. Dan dengan bangga, Meli menceritakannya pada saya.

36

UNTUK ADIK-ADIK SAYA DI RUMAH Waktu itu tahun 1987. Saya berkesempatan mewakili sekolah dalam Temu Diskusi Pelajar SLTA se Jakarta Bogor Tangerang dan Bekasi, untuk membahas masalah narkotika dan penanggulangannya. Diskusi dibagi dalam beberapa kelompok. Tiap kelompok berisi sepuluh pelajar. Saya beruntung bisa berada dalam kelompok diskusi yang hebat. Rekan-rekan diskusi saya semua sangat periang, humoris tapi juga 'berisi.' Bukan hal aneh, sebab kebanyakan dari mereka peraih ranking I di sekolah masing-masing. Setelah salat Dzuhur, kami makan siang. Paket nasi, lauk, sayur dan buah ditaruh dalam dus. Kami diminta makan siang bersama kelompok diskusi masing-masing. Saya melihat Toto (bukan nama sebenarnya) dari sbuah SMU di Jakarta Timur, ketua kelompok diskusi kami, tidak makan. "Mengapa tidak makan, To? Kamu nggak lapar?" Dia tersenyum. "Makasih." "Kamu puasa, ya?' tebak saya. Ia mengangguk. "Hari Rabu begini?" Ia mengangguk lagi. "Jatah saya dibawa pulang." Semua asyik makan dan tak lagi mempedulikan Toto. "Wah, saya kenyang nih, nasinya kebanyakan...," suara seorang teman lelaki kami. "Ya, gue juga nggak habis nih!" timpal yang lain. Sari dari SMA 1, yang duduk di samping saya juga tak menghabiskan makannya. Lalu tiba-tiba saya juga merasa sangat kenyang. Selesai makan kami menaruh kardus sisa makanan di kolong meja masing-masing dan bersiap-siap mengikuti ceramah di ruang utama. Karena notes saya ketinggalan, setengah berlari saya pun kembali ke ruang diskusi ditemani Sari. Saya hampir tak percaya dengan apa yang kami lihat di ruang diskusi. Tak ada siapa pun. Hanya Toto yang sedang melongok meja kami masing-masing dan mengeluarkan kardus sisa makanan kami semua. Saya menatapnya tak mengerti. Dan sebelum saya bertanya, Toto tersenyum, setengah menunduk. "Untuk adik-adik di rumah, ...mereka pasti gembira...." Saya tak sanggup berkata sepatah pun. Sari menggigit bibirnya sendiri. Sesuatu yang pedih merembesi relung-relung batin kami. Hanya mata ini yang semakin berkaca-kaca.

AKU HANYA INGIN SHOLAT Salim, nama anak itu. Rumahnya di dekat masjid. Hampir setiap hari ia selalu bermain di halaman masjid yang memang lumayan luas. Sebenarnya umurnya jauh lebih tua dariku, mungkin saat ini sudah menginjak 25 tahun, namun ia tidak tumbuh layaknya pemuda normal. Kelainan mental yang dideritanya sejak bayi membuatnya masih seperti anak kecil. Malangnya, nama Salim sering dipakai ibu-ibu untuk menakuti anak-anaknya yang bandel. Padahal sampai saat ini tak pernah ada seorangpun yang disakitinya. Setiap pagi Salim membantu Jidan, pemuda penjaga masjid, untuk memunguti daun-daun yang gugur di halaman, tak jarang pula ia ikut membuang sampah itu ketempat pembuangan di samping masjid. Seperti dua orang sahabat, Jidan selalu bahagia dibantu olehnya, meski tak banyak yang bisa ia kerjakan. Ketika selesai dengan tugas mereka, Jidan menghidangkan teh panas dan beberapa gorengan untuk sarapan mereka berdua. Tak ada kata malu, jijik atau apalah dalam hati Jidan ketika sarapan bersamanya. Dengan tulus Jidan menyayanginya, tanpa melihat keadaan fisik Salim. "Dia makhluk Allah, Wi. Dan bukan keinginannya untuk berada dalam kondisi itu." katanya suatu hari ketika kutanya tentang sikapnya yang agak "berbeda" dengan orang lain Saat hari beranjak siang, Jidan bersiap-siap ke kampus, sementara Salim telah pulang karena dipanggil ibunya untuk mandi. Selesai mandi, ia pun kembali datang ke masjid, mendapati Jidan tidak ada, tampak kecewa dari raut wajahnya. Dan dia pun kembali bermain dengan kesunyiannya di teras masjid. Adakalanya dia diusir oleh jamaah, mereka tak ingin masjid kotor, karena Salim tidak menggunakan sandal. Jika itu terjadi, Jidan pun memanggilnya agar ia masuk lewat belakang saja. "Aku heran, mengapa orang harus mengusir Salim dari teras masjid ini, toh dia hanya duduk di situ, tidak menginjakkan kakinya ke masjid." katanya suatu hari padaku usai seseorang mengusir Salim. Jidan, mereka takut Salim masuk dengan kaki yang kotor." kataku. "Wi, ini rumah Allah, setiap manusia berhak untuk memasukinya, tak peduli apakah itu kita atau Salim, masjid ini takkan pernah kotor dihadapan Allah, karena dimasuki oleh orang yang membersihkannya, tapi justru kan terkotori dengan sikap kita yang mencemooh makhluk ciptaanNya, lagi pula kita tak pernah tau, apakah kita lebih baik dihadapan Allah ketimbang Salim 'kan??? Mungkin kita malah jauh lebih hina." katanya padaku. Ya, aku rasa dia benar, mungkin dalam sebulan aku hanya sekali memunguti sampahsampah di halaman masjid ini, ketika ada kerja bakti remaja masjid, tapi Salim....... Ya Allah maafkanlah aku yang tak pernah menghargainya, maafkan aku Salim.

37

*** "Bunda, Wia pergi dulu ya!!!" kataku seraya mencium tangan bunda. "Mau kemana, Wi?" tanya bunda. Wia mau ke masjid, ada beberapa ketikan yang belum Wia selesaikan untuk Buletin mmat." jawabku. "Tapi pulangnya jangan terlalu malam ya, Wi." sahut bunda. "Iya bunda, lagipula kan ada mas Raffi, nanti kita pulang bareng deh." kataku engingatkan bunda kalau disana juga ada kakakku. "Iya, tapi bilang juga sama mas mu, pulangnya jangan malam-malam, besokkan masih arus kuliah." timpal bunda. "Iya, bunda sayang, udah ya bunda, assalamu'alaikum." ucapku sambil ke luar rumah menuju mesjid. Wa'alaikumussalam." jawab bunda pelan. *** "Uh, bahannya masih kurang akurat, nih." kataku seraya menyodorkan beberapa kertas ulasan berita pada Fatimah. "Apanya yang kurang akurat dek?" mas Raffi mulai sebel padaku, yang dari tadi sewot dengan berita-berita yang ia sodorkan. "Iya dong, masa' jumlah korban, dan kerugian yang diakibatkan penyerangan sepihak AS terhadap Fallujah nggak ada." protesku. Ya ampun dek, namanya juga nyari berita di internet, iya gitulah keadaannya......". kakakku balas menjawab. "Iya Wi, apalagi media penyiaran 'kan didominasi sama AS dan Yahudi, nggak bisa lagi, yari yang bener-bener akurat, sekarang hanya gimana kita bisa menginformasikan apa yang terjadi di Fallujah kepada jamaah di sini." timpal Jidan. "Iya deh, kalau emang gitu." kataku menyerah, Fatimah dan beberapa teman redaktur lainnya hanya tersenyum melihatku yang masih agak sewot. Akhwat yang satu ini emang terkenal tenang, nggak seperti aku yang suka nyerocos. "Yup, akhirnya selesai juga, tinggal diterbitkan dan semuanya beres." ujarku. Mas Raffi, Jidan dan Fatimah senyum-senyum melihat tingkahku. Dasar!!! paling cepet marahnya, eh paling cepet juga senengnya." ujar mas Raffi seraya memencet hidungku. "Biarin." jawabku sekenanya. Udah yuk, kita pulang sekarang." ajak Fatimah.

"Iya, besok Wia ada ulangan, yuk mas." kutarik tangan mas Raffi keluar dari sekretariat remaja masjid. Kami bersama-sama berjalan di teras masjid yang beberapa lampunya telah dipadamkan oleh Jidan, ia pun ikut mengantar kami pulang sampai ke pintu depan. "Eh, tumben ya! Udah malam begini masih ada yang shalat." ujar Yesi sambil menunjuk ke dalam masjid. "Mana, Yes?" ucapku. Eh iya." sambung mas Raffi. Dalam keremangan cahaya kulihat sosok gempal sedang berdiri tegak dengan tangan yang dilipat kedepan. Tapi Yesi benar, tumben ada orang yang masih shalat malam-malam begini, kulirik jam tangan ku, 09.50 malam. Penasaran kami memperhatikannya, apalagi gerakan shalatnya terlihat aneh dimataku, dan...??? Ow ow... semua terperangah, hanya Jidan yang tersenyum tipis. Subhanallah... Itu kan Salim. Semua terpesona melihatnya. Ada getaran aneh yang memasuki relung hati kami. Terlintas betapa egoisnya kami yang selama ini menganggap ibadah dan Islam hanya milik orang yang sehat jasmani dan rohani. Malam ini telah Allah tunjukkan bahwa Salim juga salah satu pemegang panji perjuangan Islam, paling tidak dia salah seorang yang telah menegakkan tiang agama. Tak terasa dia pun selesai dan kaget mendapati kami sedang memperhatikannya. Dia tersenyum, mulai menggerakkan bibir dan tangannya, menunjuk ke arah tempat wudhu, entah apa artinya. "Katanya, kakiku tidak kotor, aku sudah mecucinya dan berwudhu, aku hanya ingin shalat." ujar Jidan menterjemahkan. Dia mengangguk dan tersenyum. "Iya, kamu boleh shalat kok, kapan aja." ujar Chika menahan haru. Ya Allah... Aku menangis, terasa sesak dadaku mengingat keegoisanku dan semua orang padanya. Bukankah dia hanya ingin shalat??? Dan bukankah dia juga bagian dari kita disini??? Oh Salim, teruslah shalat, dan teruslah tegakkan tiang agama ini, karena orang yang normal belum tentu melakukannya. Benar kata Jidan, kita belum tentu lebih baik darinya. Malam itu kami semua pulang dengan berjuta perasaan, ada haru, ada malu, dan pasti ada rasa syukur, karena Allah memberikan kami Salim yang senantiasa dapat memotivasi kami untuk lebih baik dihadapan sang Khalik. Alhamdulillah... Untuk saudara yang telah mengajarkanku betapa aku harus bersyukur.

38

LIR-ILIR LANGIT di timur belum tampak bercahaya, namun gema shubuh sudah selesai dikumandangkan muadzin di semua penjuru Bumi Tanjung Kasih. Eyang masih duduk di mimbar mushala rumah kami. Satu demi satu penghuni rumah salam sungkem padanya. Eyang manggut-manggut dengan wajah sumringah, walau kedua matanya sudah lamur untuk bisa melihat jelas siapa yang ada di depannya. Hari ini semua anak cucunya sudah berkumpul di rumah teduhnya. Aku jadi ingat saat aku masih jadi Zahra kecil, yang selama tujuh tahun hidup bersama Eyang di desa ini. Eyang paling suka menyanyikan gending ilir-ilir, yang didendangkannya saat sore menjelang maghrib, di beranda rumah sambil menatap hijaunya sawah dan liuk dedaun nyiur bersama bebatang padi. Gending itu, bahkan, sempat membuat aku bosan dan penasaran, "Mengapa harus ilir-ilir yang menjadi favoritnya? Mengapa tidak dandang gulo atau mocopat saja yang lebih seru, tentang sengketa jati diri kompeni dan kaum pribumi?" "Cah angon, cah angon pene'no blimbing kuwi," begitu ia bersenandung. "Kenapa harus pohon blimbing, Yang? Pohon durian saja, buahnya lebih enak!" Karena blimbing itu bergigir lima, yang artinya beragama, cah ayu." "Emang blimbing punya agama? Agama apa Yang?" Bukan blimbingnya yang punya agama, tapi yang manjatnya, Zahra!" Eyang tersenyum menatapku. Tampak giginya yang mulai tanggal satu persatu. Tapi, Eyang tetap tampak gagah di mataku. Walau usia telah mengantarnya ke pintu renta. "Agama kita itu dibangun di atas lima rukun. Maksudnya, kita yang meyakini rukunnya harus bisa menghidupkan yang lima itu. Artinya, kita harus bisa bergigir lima seperti blimbing." "Lunyu-lunyu pene'no kanggo mbasuh dodo tiro" Tangan lembutnya membelai rambut panjangku. Senyumnya tak pernah lepas, dan itu yang membuatku nyaman, hingga selalu ingin dekat dengannya. "Buat mencuci diri kita yang kotor karena dosa. Kalau blimbing bisa menghilangkan noda di baju, maka lima rukun agama bisa membersihkan dosa di diri kita." Caranya?" "Caranya dengan beribadah yang betul, untuk tahu ibadah yang betul kita mesti rajin mengaji." Mengaji itu kan membosankan, bikin ngantuk." "Memanjat pohon blimbing juga susah, itu sebabnya mesti dicoba terus menerus, sampai bisa." "Kalau tidak mau mengaji?"

"Ya tidak akan tahu cara beribadah yang betul" "Memangnya kenapa kalau kita tidak tahu caranya ibadah?" "Manusia itu tempatnya salah dan lupa, Zahra! Kalau tidak dicuci dengan ibadah akan semakin lekat nodanya." "Kalau tetap tidak mau mengaji?" Kalau kamu tidak mau belajar mengaji, nanti kamu tidak bisa main-main di taman surga, karena surga hanya boleh dimasuki oleh orang yang sudah bersih dari noda." Aku malas mengaji, karena Mas Iyashu dan Mbak Syakira bilang kalau salah dan susah menghafal Al-Qur'an, pasti tangannya dapat sabetan rotan dari Pak De Ja'far. Tapi Pak De Ja'far bilang, surga itu tempat terindah bagi anak-anak yang shaleh. Aku sering tertawa sendiri jika ingat hal itu, betapa sempitnya cara berpikirku. Tapi aku suka, karena ternyata aku punya juga pengalaman konyol seperti itu. "Aku ngajinya diajari Eyang aja. Kalau banyak yang salah, harus banyak dimaafkan!" Eyang kembali tertawa lepas. Kali ini dia sambil mengacak rambutku. Ditariknya aku ke pangkuannya. Dipeluknya erat sekali. Aku merasakan sesuatu yang hangat di antara terpaan angin yang mulai dingin karena sore segera berganti senja. "Coba lihat di sana, Zahra! Itu bundamu sedang mengaji Al-Qur'an. Ayo, belajar sama bunda!" "Nggak mau ah, habisnya aku harus selalu pake kerudung, kayak Bunda." Itu tandanya bundamu pandai menjaga auratnya, dan Allah menjanjikan surga untuk semua wanita ikhlas yang menutup auratnya, termasuk kamu." Aku masih menyimpan senyum bunda saat itu. Senyumnya menarikku untuk hadir di pangkuannya. Bunda pernah menghadiahiku kerudung jumputan berwarna hijau lembut untukku belajar mengaji. "Cantik!", sanjungnya. Walau dengan sedikit takut aku mulai belajar mempelajari lembar demi lembar Al-Qur'an kecil, sebelum akhirnya aku harus tetap belajar dengan Pak De Ja'far dan dapat sabetan rotan seperti nasib Mas Iyashu dan Mbak Syakira. Tapi itu sudah bertahun lalu. Sekarang, ini adalah tahun kelima di mana baru kujejakkan kembali kakiku di Bumi Tanjung Kasih, di rumah Eyang. Aku pernah bertanya usil pada Eyang saat kami melintasi sebuah pohon belimbing yang sedang berbuah lebat di kebun kami. "Yang, coba tebak apa yang dilakukan makhluk bergigir lima itu." "Bersujud!", jawabnya. Aku tersenyum kecil mendengarnya. Shaf sungkeman kini ada pada giliranku. Aku memegang erat tangan Eyang dengan kuat. Ada titik bening yang jatuh di atas tangannya, bulir air mataku. Eyang mengangkat wajah keriputnya dan mengusap pipiku. Sambil mengangguk ia memelukku. "Zahra sudah pulang, Yang! Zahra mohon maaf dan restu Eyang," bisikku terbata-bata. Membenamkan wajah haruku di bahu Eyang yang hangat.

39

Eyang mengusap lembut punggungku sambil berbisik, "Mari kita sama-sama bersujud, seperti belimbing, cah ayu!" Aku terkesiap lalu tertawa bahagia. Ternyata Eyang masih begitu hafal dengan masa kecilku. Aku membantu Eyang berdiri, memapahnya menuju masjid yang gema takbirnya sama gagahnya dengan gema takbir di hati-hati kami, "Allahu Akbar wa Lillaahi alhamd!"

BUKAN DUA KAKI Shofa masih sibuk mengaduk-aduk masakan yang ada dalam panci. Tiba-tiba ia teringat, ini sudah jam 1 lewat. Segera ia menyalakan radio kecil yang berada di atas lemari makan dekat kompor. Shofa hampir tak pernah ketinggalan acara-acara yang diisi Ustadz Hanif. Setiap jam 5 pagi, sehabis Subuh, adalah acara rutin Shofa mendengarkan kuliah Subuh di Radio Al-Quds. Shofa bahkan hafal jam berapa dan acara apa saja yang diisi oleh Ustadz Hanif. Hal ini sudah berlangsung tiga tahun lebih. Entah mengapa, Shofa merasa cocok sekali dengan ustadz yang satu ini. Kalau bicara tak pernah bertele-tele dan selalu mengena di hati. Apa saja yang dibahas pasti aktual, sesuai dengan masalah yang terjadi di sekitar. Kalau bicara tentang aqidah, Ustadz Hanif selalu tegas, tidak bisa ditawar-tawar. Tapi kalau membahas masalah ibadah, dengan sabar Ustad Hanif menjelaskan satu persatu pemecahan dari berbagai pendapat ulama. Biasanya ia merekomendasikan salah satu pemecahan yang punya dasar paling kuat. Walau begitu, ia tetap menyerahkan kepada pendengar, pendapat mana yang akan dipakai. Suatu penyelesaian yang cantik. Tidak fanatik terhadap satu pendapat tertentu. "Shofa belum pulang?" sapa Bu Arif, pengurus TPA tempat Shofa mengajar. Shofa menoleh, "Belum Bu. Masih memeriksa pekerjaan anak-anak." "Bisa mampir ke rumah? Bapak mau bicara. Katanya penting tuh!" "Sekarang Bu?" Ya, kalau Shofa sedang tidak repot." Shofa membereskan kertas-kertas yang berserakan di atas karpet masjid lalu berjalan mengikuti Bu Arif. Rumah Bu Arif tidak jauh dari masjid tempat Shofa dan beberapa orang temannya mengajar anak-anak TPA. Hanya beberapa puluh meter saja. Pak Arif dan Bu Arif adalah orang yang peduli dengan masalah keagamaan di kompleks itu. Mereka mempelopori dibukanya TPA. Pak Arif juga selalu menghimbau bapak-bapak di kompleks untuk shalat berjamaah. "Assalamu'alaikum," ucap Shofa dan Bu Arif berbarengan. "Wa'alaikum salam," jawab Pak Arif dari dalam. "Silahkan masuk nak Shofa. Bagaimana nak Shofa, keadaan TPA sekarang?" "Alhamdulillah Pak. Anak-anak semakin rajin. Jarang ada yang bolos. Mereka cepat menyerap apa yang saya ajarkan." jawab Shofa. "Bagus! Bagus! Alhamdulillah." kata Pak Arif. "Begini nak Shofa, Bapak ingin bicara dengan nak Shofa bukan mau membahas TPA. Ada hal yang lain." Pak Arif terdiam. "Begini nak Shofa.... Apakah nak Shofa sudah siap menikah?" Shofa tersenyum. "Niat sudah ada. Usia saya sudah cukup Pak. Tapi... belum ada odohnya."

40

Hmmmm....... begitu ya," Pak Arif berdehem sambil mengelus-elus jenggotnya. "Bapak punya teman baik. Dia sangat sholeh dan sedang mencari pendamping hidup. Bapak dan Ibu berasa nak Shofa cocok dengan dia." Ah Pak Arif bisa saja. Bagaimana Bapak tahu saya cocok dengan dia?" tanya Shofa tersipu. Lho... Bapak dan Ibu kan sudah lama memperhatikan nak Shofa. Nak Shofa ini gadis yang sholehah dan pandai menjaga diri. Begitu pula dengan teman Bapak ini. Dia sholeh dan berakhlak baik. Nah... kalau begini, apa bukan cocok namanya? Iya tho Bu?" jelas Pak Arif. Iya... iya!" Bu Arif manggut-manggit menimpali suaminya. "Kalau nak Shofa setuju, Bapak bisa ajak teman Bapak kesini untuk dipertemukan dengan nak Shofa," Pak Arif melanjutkan. "Bagaimana nak Shofa?" "Bapak ini kok langsung main tanya. Bapak kan belum cerita yang mau dikenalkan ini siapa, bagaimana," tukas Bu Arif. "Wah... dari tadi Bapak belum cerita ya? Teman Bapak ini masih muda. Lulusan S1 dan S2 dari Al-Azhar Kairo. Dia juga hafidz Al-Qur'an." "Hafidz Quran?" gumam Shofa dalam hati. Salah satu doa yang ia panjatkan adalah mendapatkan pasangan hidup yang hafal Al-Qur'an, karena ia sendiri sedang berusaha menjadi hafidzhoh. "Sehari-harinya dia bekerja di Lembaga Pengembangan Dakwah, mengajar di beberapa tempat, sering mengisi ceramah. Dia mengisi acara di radio Al-Quds," papar Pak Arif. "Radio Al Quds? Saya pendengar setia Radio Al-Quds lho Pak. Namanya siapa Pak, mungkin saja saya pernah mendengar," kata Shofa. Namanya Hanif Ibrahim." Deg! Jantung Shofa serasa berhenti berdetak selama sepersekian detik. Nama itu demikian dikenalnya dalam tiga tahun terakhir ini. Nama itu adalah salah satu tempat dirinya menimba ilmu tentang ke-Islaman lewat radio. Tausiyah-tausyiah melalui radio itu pula yang membuat Shofa jadi banyak berpikir, lalu berhijrah dan memutuskan untuk menjadi muslimah yang kaffah. Bu Arif menangkap adanya perubahan pada rona wajah Shofa. "Ada apa Shofa?" Saya sering mendengarkan beliau ceramah di radio." "Nah... jadi sebetulnya sudah kenal tho, walaupun cuma dari radio," Pak Arif terkekeh. "Bagaimana, kapan nak Shofa siapbertemu Hanif?" Kapan saja, terserah Bapak. Tapi saya harus cerita dulu kepada Ibu tentang masalah ini," jawab Shofa. "Oohh.... ibumu sudah tahu. Kami sudah cerita. Malah Ibumu bilang kami suruh langsung tanya saja ke nak Shofa. Ibumu setuju kok," ujar Pak Arif. Sepulangnya dari rumah kedua orang tua yang sudah dianggapnya keluarga itu, Shofa bagai tak percaya apa yang baru saja terjadi. "Benarkah Ustadz Hanif jodohku?" tanyanya

dalam hati. Walaupun belum pernah bertemu, tapi Shofa merasa telah sangat mengenal Hanif. Diam-diam sebentuk kekaguman telah bersemayam dalam hatinya. Tidak ada cara lain bagi Shofa selain mengadukan permasalahannya ini kepada Allah. Dihabiskannya malam-malam panjang di atas sajadah dengan bermunajat. ua bulan kemudian, tibalah saat pertemuan Shofa dengan Hanif. Hari itu Shofa tampak manis. Tubuhnya dibalut gamis biru dan jilbab lebar berwarna putih. Ia berjalan menuju rumah Pak Arif dengan penuh kemantapan hati, buah dari istikharahnya. "Assalamu'alaikum," Shofa mengucap salam di depan pintu. "Wa'alaikum salam. Nak Shofa ayo masuk. Pak Arif belum datang. Sedang menjemput Hanif," jawab Bu Arif. Sambil menunggu, Bu Arif memberikan wejangan bagaimana menjadi istri sholehah dengan mengutip beberapa ayat dan hadits. Shofa mendengarkan dengan takzim. Sesekali mengangguk. Tiba-tiba, pintu ruang tamu terbuka lebar. Lalu muncul sesuatu yang tak disangkasangka. Sebuah kursi roda yang berjalan tersendat karena membentur pintu, sesosok tubuh dengan satu kaki yang duduk di atas kursi roda, dan Pak Arif yang mendorong kursi roda sambil tersenyum. Shofa terhenyak, memandang tak percaya. "Inikah Ustadz Hanif?" Berbagai gejolak rasa menyergap dengan cepat. Shofa berusaha menenangkan perasaannya. Suasana hening. Shofa bagai mampu mendengar suara detak jantungnya sendiri. "Nak Shofa, ini Hanif yang Bapak ceritakan dulu," kata Pak Arif memecah kesunyian. "Assalamu'alaikum dik Shofa," kata Hanif. "Wa'alaikum salam," jawab Shofa. Ah, suaranya tidak berbeda dengan di radio. Tetap berkharisma. "Alhamdulillah, Allah mengijinkan kita untuk bertemu hari ini. Pak Arif mungkin sudah cerita, saya memang punya niat untuk melaksanakan sunnah Rasulullah yaitu menikah. Saya minta dicarikan calon oleh Pak Arif. Cuma.... memang keadaan saya seperti ini. Sebulan yang lalu saya kecelakaan. Mobil saya tabrakan dengan truk. Tangan kiri saya lumpuh dan kaki kiri harus diamputasi. Apapun yang terjadi sudah kehendak Allah. Kaki saya memang tidak bisa kembali. Tapi tangan kiri saya sedang diterapi. Kata dokter kemungkinan besar bisa pulih. Insya Allah, saya pun ingin tidak terlalu lama bergantung pada kursi roda. Kalau sudah membaik, saya akan menggunakan kruk saja." Kata-kata mengalir deras dari bibir Hanif. Shofa mengangkat wajahnya sedikit dan melihat sekilas ke arah Hanif. "Subhanallah. Wajahnya tenang sekali. Bahkan berseri-seri. Ada keikhlasan yang terpancar dari wajahnya." bathin Shofa. "Saya tidak heran jika dik Shofa tidak berkenan dengan keadaan saya. Inilah saya. Mungkin saya yang terlalu berani tetap berniat menikah dengan kekurangan fisik saya. Tapi, justru dengan kondisi ini saya sangat membutuhkan kehadiran seorang istri."

41

Shofa diam tak bergeming. Dihadapannya sekarang, duduk seorang laki-laki yang memiliki kelebihan-kelebihan yang didambakannya selama ini. Sosok seorang suami yang sempurna. Ilmu agamanya bagus, sholeh, berakhlak mulia, dan seorang hafidzh. Cita-cita Shofa adalah memiliki anak-anak yang menjadi generasi penghafal dan pengamal Al-Qur'an. Bukankah ustadz Hanif adalah sosok yang tepat? Kekurangannya hanya satu, fisiknya cacat tak sempurna. "Hanif, mungkin nak Shofa belum bisa mengambil keputusan cepat-cepat. Dia tentunya perlu menimbang-nimbang. Kita beri saja waktu, mudah-mudahan nak Shofa bisa segera memberikan jawaban. Begitu ya nak Shofa?" Pak Arif berusaha menengahi suasana senyap di antara mereka. Shofa masih saja diam tak menjawab. Sibuk berdialog dengan bathinnya. Tiba-tiba saja Shofa mengangkat wajahnya. "Saya sudah sholat istikharah sejak pertama kali Pak Arif mau mengenalkan saya dengan Ustadz Hanif. Saya punya satu pertanyaan untuk Ustadz Hanif." "Silahkan dik Shofa, saya akan coba menjawab," kata Hanif. "Untuk dapat membawa istri dan anak-anaknya ke dalam surga, apakah seorang laki-laki harus mempunyai dua kaki?" tanya Shofa. Hanif tersenyum. "Tentu saja tidak. Bukan butuh dua kaki. Yang dibutuhkan adalah landasan aqidah, ibadah dan akhlak yang lurus dan kuat. Dan juga kemampuan untuk mendidik." Shofa memandang bergantian ke arah Pak Arif, Bu Arif dan Hanif. Bibirnya membiaskan senyum yang lebar. "Saya udah mantap. Saya tidak membutuhkan suami dengan dua kaki." Alhamdulillah!" berbarengan Pak Arif, Bu Arif, dan Hanif berseru. ** Resepsi pernikahan baru saja usai. Shofa mendorong kursi roda Hanif menuju kamar pengantin. Kedua pengantin itu berwajah cerah ceria. Hanif begitu tampan dan gagah dengan jas dan kopiah hitam. Shofa tampak cantik, bergaun putih dan jilbab yang diberi rangkaian melati. Hanif meletakkan tangannya di atas kening istrinya, lalu membaca doa, "Dengan nama Allah, jauhkanlah kami dari godaan syetan dan dekatkanlah dengan apa yang Engkau rizkikan, anak-anak kepada kami." Shofa menggamit dan mencium tangan suaminya dengan takzim. "Kak Hanif, boleh Shofa mengutarakan sesuatu?" tanya Shofa. Boleh. Apa itu?" Hanif tersenyum lebar. "Shofa cinta Kak Hanif karena Allah," Shofa bicara sambil menunduk malu-malu. Kak Hanif juga cinta dik Shofa karena Allah." Hanif menyentuh dagu Shofa, mengangkat wajahnya. Mereka bertatapan. Lekat. Ada debur yang menggelora di jiwa mereka berdua.

"Lho kok nunduk. Kita sudah resmi suami istri. Pandang kak Hanif dong!" Hanif menggoda Shofa. Shofa memandang Hanif tersipu. Ayo kita sholat dulu," kata Hanif. Shofa bantu kak Hanif wudhu ya," Shofa langsung beranjak dari duduknya dan mendorong kursi roda kekasih jiwanya ke kamar mandi. Bersama percikan air wudhu yang menetes, Allah tebarkan rahmat dan cinta di antara kedua makhluk kecintaan-Nya. Terinspirasi dari Syekh Ahmad Yasin yang tetap berjihad dari kursi roda hingga syahidnya

42

BUN SAYA LIHAT Bun di dalam masjid. Dua hari lalu saya melayat ke rumahnya. Ayahnya meninggal. Ayah Bun adalah seorang pemuka agama. Sering berceramah di pengajian dan majelis taklim. Hampir setiap Jumat menjadi khatib, bergilir dari satu masjid ke masjid lain. Banyak orang mengagumi kepandaian Ayah Bun bicara. Hampir setiap ceramahnya dipenuhi pengunjung. Sebagian sudah menjadi pengagum tetap. Ayah Bun pandai membawakan tema-tema agama dengan cara yang segar. Tak pernah membosankan. Kebanyakan orang pun mencium tangan Ayah Bun jika bersua di jalan. Tapi, itulah. Dua hari lalu, Ayah Bun meninggal. Banyak orang kehilangan namun dalam suasana bingung, tak percaya, kecewa, sangsi, dan marah. Ayah Bun ditemukan mati dengan mulut berbusa pada sebuah malam. Tidak di rumahnya. Ia ditemukan sudah menjadi mayat, tergeletak kaku di sebuah kamar panti pijat. Ya, panti pijat. Dengan meninggalkan seorang wanita pemijat yang ketakutan dan berkeringat. Ketika saya melayat, mata Ibu Bun, dua kakak Bun, dan seorang adik Bun yang mahasiswa, masih sembab. Bengkak bekas menangis menggunduk di bagian bawah mata mereka. Bun tidak. Ia duduk diam di pojokan ruang depan. Tak di ruang keluarga, tempat jenazah Ayah Bun terbujur. Bun memang pucat tapi dengan ekspresi marah. "Terima kasih. Terima kasih," itulah kalimat yang keluar dari mulutnya ketika saya menyalaminya, menyatakan ikut berduka cita. Ketika saya ikut mendoakan Ayahnya, Bun pun menjawab, "Jangan memaksakan diri. Jangan memaksakan diri. Biar saja." Ternyata hanya kalimat-kalimat itulah yang keluar dari mulut Bun, setiap kali pelayat datang menyalaminya. Ia mengatakannya pada siapa saja. "Terima kasih. Jangan memaksakan diri. Terima kasih. Jangan memaksakan diri. Biar saja." *** SAYA LIHAT Bun di dalam masjid. Saya menjejerinya, duduk pada shaf yang sama. Bun diam Pucat. Tak bergeming. Khotbah selesai. Kami semua berdiri, memulai shalat berjamaah. Tapi Bun diam saja. Tak bergeming. Bun tetap duduk. Dalam posisi itu pulalah saya temukan Bun, ketika shalat berjamaah usai. Bun tetap duduk. Diam. Tak bergeming. Seusai shalat saya pertanyakan dan gugat ketidaksertaannya bershalat seperti jamaah lainnya. Ia bilang, "Tuhan tidak akan tertipu oleh banyaknya gerakan dan bacaan shalat kita. Bersujud dan diam hanya berbeda buat manusia. Tidak buat Tuhan. Tuhan tak bisa ditipu."

Bun adalah salah seorang teman terdekat saya. Ia dosen muda yang punya reputasi intelektual dan religius yang baik. Bun, sebetulnya hanya nama panggilan. Ia memang bundar. Tak hanya fisik. Bagi saya ia bundar nyaris dalam segalanya. Jiwanya. Matanya. Pipinya. Wajahnya. Kepalanya. Badannya. Tekadnya. Semangatnya. Barangkali nyaris semuanya. Karena itu ia dipanggil Bun. Sebagian teman dekatnya sekarang bahkan sudah lupa nama aslinya. Saya, tentu saja tidak. Bun sesekali menjadi khatib di masjid kampus. Di kali lain ia jadi pembicara diskusi, bedah buku, bahkan seminar. Bun memang pandai. Dan saleh. Kami satu angkatan. Kami nyaris senasib dan konon banyak punya kemiripan. Tentu dengan segenap kelebihan pada Bun dan kekurangan pada saya. *** SAYA LIHAT Bun menjadi khatib. Saya datang shalat Jumat terlambat, ketika bilal sudah beradzan dan khatib sudah di mimbar. Saya lihat Bun di mimbar. Wajahnya masih pucat seperti Jumat lalu. Tapi dengan baju koko putihnya, Ia terlihat jauh lebih bersih dan rapi. Inilah kali pertama Bun menjadi khatib setelah kematian tragis ayahnya. "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya hadir di sini untuk mengingatkan diri sendiri dan jamaah agar semakin bertaqwa. Dan kita masing-masing tentu punya cara sendiri-sendiri untuk meningkatkan ketaqwaan itu." Bun menghentikan khotbahnya. Wajahnya menatap ke depan. Ia terlihat tak melirik teks khotbahnya sedikit pun. Atau jangan-jangan ia berkhotbah tanpa teks seperti beberapa khotbahnya yang lain. Bun masih diam. Lima detik. Tetap diam. Tujuh detik. Tetap diam. Satu menit. Tetap diam. Saya lihat sejumlah jamaah tak sabar menunggu Bun untuk melanjutkan. Ada suara napas-napas tertahan. Beberapa jamaah di belakang malah mulai berbisik satu sama lain. Dua menit. Lima menit. Tujuh menit. Delapan menit. Bun tetap diam. Masjid menjadi lebih gaduh. Seorang petugas masjid terlihat hendak mendekat ke Bun. Kelihatannya, ia ingin memastikan apakah Bun masih akan melanjutkan khotbahnya. Petugas itu kikuk. Ia terlihat ragu. Mungkin tak tahu bagaimana caranya berbicara dengan Bun, sang khatib. Mengajak khatib bicara, apalagi menegur dan menyuruhnya turun dari mimbar, kan tak pernah diatur caranya. Tak ada presedennya. Jamaah makin gaduh. Beberapa jamaah yang mengenal reputasi Bun sebagai khatib, masih tetap tertib dan diam. Mungkin, mereka masih menunggu Bun bicara. Tapi jamaah semakin gaduh. Petugas masjid yang ragu dan kikuk itu, akhirnya duduk kembali di tempatnya. Ia kelihatan bingung. Pandangannya beralih-alih, memandangi Bun lalu mengedarkan pandang ke kelompok-kelompok jamaah yang makin gaduh. Begitu berganti-ganti.

43

Bun tetap diam dengan mata menatap ke depan. Mukanya yang pucat kelihatan semakin memerah berwarna darah. Makin berseri. Bun tetap diam. Sejumlah jamaah bahkan sudah ada yang berdiri, namun tak lama kemudian duduk lagi. Akhirnya Bun memang tetap tak mengeluarkan suara. Dua puluh menit. Bun pun nyaris tak bergerak. Ia hanya duduk di kursi khatib di menit ke-24, berdiri kembali beberapa saat kemudian, lalu diam selama enam menit sisanya. Dan tiba-tiba dengan sangat tenang dan tegas Bun mengakhiri khotbahnya. "Aqimushshalah. Tegakkanlah shalat. Wassalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh." Seusai shalat Jumat, Bun diinterogasi di ruang sekretariat masjid. Beberapa pengurus masjid tampaknya marah. Untung, sejumlah pengurus teras masjid, termasuk ketua umum, yang puritan itu, sedang tak ada, barangkali bershalat di masjid lain. Bun tetap diam. "Tuhan tak akan tertipu oleh ucapan khotbah. Banyak berbicara atau diam hanya berbeda buat jamaah. Tidak buat Tuhan. Tuhan tak bisa ditipu." Hanya ini yang keluar dari mulut Bun menjawab pertanyaan-pertanyaan gencar banyak orang. *** SAYA MENDENGAR kabar mengagetkan itu. Bun meninggal dunia! Ia meninggal di kamarnya dalam keadaan duduk dengan muka tersenyum dan wajah bersih. Jenazah Bun pun dibawa ke fakultas. Fakultas memang punya tradisi- tradisi tertentu untuk menghormati civitas akademika kampus. Salah satunya, jika salah seorang anggota civitas akademika tutup usia, jenazahnya disemayamkan di kampus. Bun tak terkecuali. Bun terbujur di aula gedung Dekanat. Wajahnya tersenyum, seolah sedang tidur nyenyak. Mukanya bersinar. Orang-orang mendengar kematian Bun dari berita mulut ke mulut. Berbondong-bondong mahasiswa, dosen, karyawan, satpam melayat ke aula gedung Dekanat. Tadinya tak ada antrean. Lalu antrean terbentuk berkelok-kelok di dalam gedung. Semua ingin melihat wajah Bun untuk yang terakhir kalinya. Antrean kemudian memanjang keluar gedung. Ke tempat parkir. Ke lorong-lorong ruang kuliah. Ke semua gedung lantai satu. Lantai dua. Lantai tiga. Lantai empat. Ke fakultas sebelah. Ke fakultas-fakultas lain. Ke semua fakultas. Ke hutan-hutan tanaman langka milik kampus. Ke pinggiran danau buatan. Ke perpustakaan universitas. Ke laboratoriumlaboratorium fakultas Teknik dan Ilmu Alam. Ke rumah sakit fakultas kedokteran. Ke kantin-kantin. Ke stasiun kampus. Ke halte-halte bus kampus. Ke lahan-lahan yang masih kosong. Ke taman- taman. Ke asrama mahasiswa. Ke asrama mahasiswi. Ke pondokan dan tempat kos di sekeliling pagar kampus. Setiap pelayat menemukan dan menyimpulkan kesan masing-masing tentang Bun. "Wajahnya bersih dan bersinar."

"Senyumnya sangat manis dan penuh keikhlasan." "Ganteng sekali, jauh lebih ganteng dibanding semasa hidup." "Semua bagian tubuhnya bundar-bundar. Tetapi indah. Luar biasa indah." Yang mengherankan semua orang, aula Dekanat semerbak wangi bau melati. Tak ada bau yang tersebar dari tubuh-tubuh pengantre yang bermandi keringat, basah kuyup, saking sesaknya. Semua orang berkesimpulan sama. Betapa nyaman berada di dekat jenazah Bun. Betapa lega, lapang dan sejuknya aula Dekanat yang sesak itu. Di depan jenazah, semua pelayat mendekatkan wajahnya ke wajah Bun. Mereka pun bisa membaca sebuah tulisan tangan di atas kain kapan, tepat di atas perut Bun. "Tuhan tak akan tertipu oleh kehidupan dan kematian. Mati dan hidup hanya berbeda buat manusia. Tidak buat Tuhan. Tuhan tak bisa ditipu." Saya sangat kenal tulisan tangan Bun. Saya pastikan, itu tulisan tangan Bun sendiri.

44

CATATAN HARIAN SEORANG AYAH Medan, 15 Juni 1975 Hari ini engkau terlahir ke dunia, anakku. Meski tidak seperti harapanku bertahun-tahun merindukan kehadiran seorang anak laki-laki, aku tetap bersyukur engkau lahir dengan selamat setelah melalui jalan divakum. Telah kupersiapkan sebuah nama untukmu; Qaulan Syadida. Aku sangat terkesan dengan janji Allah dalam surat Al Ahzab ayat tujuh puluh, maknanya perkataan yang benar. Harapanku engkau kelak menjadi seorang yang kaya iman dan memperoleh telah dijanjikan Allah dalam Al-Quran. Sungguh kelahiranmu telah mengajarkanku makna bersyukur... 1981 Tahun ini engkau memasuki sekolah dasar. Usiamu belum genap enam tahun. Tetapi engkau terus merengek minta disekolahkan seperti saudarimu. Engkau berbeda dari keempat kakakmu terdahulu. Bagaimana engkau dengan gagah tanpa ragu atau malumalu melangkah memasuki ruang kelasmu. Bahkan engkau tak minta dijemput. Saat ini aku mulai menyadari sifat keberanian yang tumbuh dalam dirimu yang tak kutemukan dalam diri saudarimu yang lain. 1987 Putriku, sungguh aku pantas bangga padamu. Tahun ini engkau ikut Cerdas Cermat tingkat nasional di TVRI. Dengan bangga aku menyaksikan engkau tampil penuh percaya diri di layar kaca dan aku pun bisa berkata pada teman-temanku; itu anakku Qaulan... Meski tidak juara pertama, aku tetap bangga padamu. Namun di balik rasa banggaku padamu selalu terbesit satu kekhawatiran akan sikapmu yang agak aneh dalam pengamatanku. Tidak seperti keempat kakakmu yang kalem dan cenderung memiliki sifat-sifat perempuan, engkau justru sangat angresif, pemberani, agak keras kepala, meski tetap santun padaku dan selalu juara kelas. Jika hari Ahad tiba, engkau lebih suka membantuku membersihkan taman, mengecat pagar, atau memegangi tangga bila aku memanjat membetulkan genteng bocor. Engkau lebih sering mendampingiku dan bertanya tentang alat-alat pertukangan ketimbang membantu ibumu memasak di dapur seperti saudarimu yang lain. Kebersamaan dan kedekatanmu denganku, membuatku sering memperlakukanmu sebagai anak lelakiku, dengan senang hati aku menjawab pertanyaan-pertanyaanmu, membekalimu dengan pengetahuan dan permainan untuk anak lelaki. Tak jarang kita berdua pergi memancing atau sekedar menaikkan layang-layang sore hari di lapangan madrasah tempat aku mengajar. Putriku, sungguh kekhawatiranku berbuah juga. Engkau menolak bersekolah di Tsanawiyah seperti saudarimu. Diam-diam tanpa sepengetahuanku engkau telah mendaftar di sebuah SMP negeri. Bukan kepalang kemarahanku. Untunglah ibumu datang membelamu, jika tidak mungkin tangan ini sudah berpindah ke pipimu yang putih mulus. Tegarnya watakmu, bahkan tak setetes airmata jatuh dari kedua matamu yang tajam menatapku. Putriku, jika aku marah padamu semata-mata karena aku khawatir engkau larut dalam pola pergaulan yang tak benar, anakku. Terlebih-lebih saat engkau menolak mengenakan jilbab seperti keempat kakakmu. Betapa sedih dan kecewa hatiku melihatmu, Nak...

1993 Tahun ini engkau menamatkan SMA-mu. Engkau tumbuh menjadi gadis cantik, periang, pemberani, dan banyak teman. Temanmu mulai dari tukang kebun sampai tukang becak, wartawan, bahkan menurut ibumu pernah anggota kopassus datang mencarimu. Putriku, disetiap bangun pagiku, aku seolah tak percaya engkau adalah putriku, putri seorang yang sering dipanggil Ustadz, putri seorang kepala madrasah, putri seorang pendiri perguruan Islam... Putriku, entah mengapa aku merasa seperti kehilanganmu. Sedih rasanya berlama-lama menatapmu dengan potongan rambut hanya berbeda beberapa senti dengan rambutku. Biar praktis dan sehat; berkali-kali itu alasan yang kau kabarkan lewat ibumu. Jika terjadi sesuatu yang tidak baik pada dirimu selama melewati usia remajamu, putriku maka akulah orang yang paling bertanggung jawab atas kesalahan itu. Aku tidak behasil mendidikmu dengan cara yang Islami. Dalam doa-doa malamku selalu ku bermohon pada Rabbul 'Izzati agar engkau dipelihara olehNya ketika lepas dari pengawasan dan pandangan mataku. Kesedihan makin bertambah tatkala diamdiam engkau ikut UMPTN dan lulus di fakultas teknik. Fakultas teknik, putriku? Ya Rabbana, aku tak sanggup membayangkan engkau menuntut ilmu berbaur dengan ratusan anak laki-laki dan bukan satupun mahrommu? Dalam silsilah keluarga kita tidak satupun anak perempuan belajar ilmu teknik, anakku. Keempat kakakmu menimba ilmu di institut agama dan ilmu keguruan. Ya, silsilah keluarga kita adalah keluarga guru, anakku. Engkau kemukakan sejumlah alasan, bahwa Islam juga butuh arsitek, butuh teknokrat, Islam bukan tentang ibadah melulu... Baiklah, aku sudah terlalu lelah menghadapimu, aku terima segala argumen dan pemikiranmu, putriku.. Dan aku akan lebih bisa menerima seandainya engkau juga mengenakan busana Muslimah saat memulai masa kuliahmu. 1995 Tahun ini tidak akan pernah kulupakan. Akan kucatat baik-baik... Engkau putriku, yang selalu kusebut namamu dalam doa-doaku, kiranya Allah SWT mendengar dan mengabulkan pintaku. Ketika engkau pulang dari kuliahmu; subhannalah! Engkau sangat cantik dengan jilbab dan baju panjangmu, aku sampai tidak mengenalimu, putriku. Engkau telah berubah, putriku. Apa sesungguhnya yang engkau dapati di luar sana. Bertahun-tahun aku mengajarkan padamu tentang kewajiban Muslimah menutup aurat, tak sekalipun engkau cela perkataanku meski tak sekalipun juga engkau indahkan anjuranku. Dua tahun di bangku kuliah, tiba-tiba engkau mengenakan busana takwa itu? Apa pula yang telah membuatmu begitu mudah menerima kebenaran ini? Putriku, setelah sekian lamanya waktu berlalu, kembali engkau mengajarkan padaku tentang hakikat dan makna bersyukur. 1997 Putriku, kini aku menulis dengan suasana yang lain. Ada begitu banyak asa tersimpan di hatiku melihat perubahan yang terjadi dalam dirimu. Engkau menjadi sangat santun, bahkan terlihat lebih dewasa dari keempat saudarimu yang kini telah berumah tangga semuanya. Kini, hanya engkau aku dan ibumu yang mendiami rumah ini. Kurasakan rumah kita seolah-olah berpendar cahaya setiap saat dilantuni tilawah panjangmu. Gemercik suara air tengah malam menjadi irama yang kuhafal dan pantas kurenungi. Putriku, jika aku pernah merasa bahagia, maka saat paling bahagia yang pernah kurasakan di dunia adalah saat ketika diam-diam aku memergokimu tengah menangis dalam sujud malammu.... Selalu kuyakinkan diriku bahwa akulah si pemilik mutiara cahaya hati itu, yaitu engkau putriku...

45

1998 Putriku, kalau saat ini aku merasa sangat bangga padamu, maka itu amat beralasan. Engkau telah lulus menjadi sarjana dengan predikat cum laude. Keharuan yang menyesak dadaku mengalahkan puluhan tanya ibumu, diantaranya; mengapa engkau tidak punya teman pendamping pria seperti kakak-kakakmu terdahulu? Engkau begitu sederhana, putriku, tanpa polesan apapun seperti lazimnya mereka yang akan berangkat wisuda, semua itu justru membuatku semakin bangga padamu. Entah darimana engkau bisa belajar begitu banyak tentang kebenaran, anakku... Jika hari ini aku meneteskan airmata saat melihatmu dilantik, itu adalah airmata kekaguman melihat kesungguhan, ketegaran, serta prinsip yang engkau pegan teguh. Dalam hal ini akupun mesti belajar darimu, putriku... 1 Agustus 1999 Putriku, bulan ini usiaku memasuki bilangan enampuluh tiga. Aku teringat Rasulullah mengakhiri masa dakwahnya di dunia pada usia yang sama. Akhirakhir ini tubuhku terasa semakin melemah. Penyakit jantung yang kuderita selama bertahun-tahun kemarin mendadak kumat, saat kudapati jawaban diluar dugaan dari keempat saudarimu. Tidak satu pun dari mereka bersedia meneruskan perguruan yang telah kubina selama puluhan tahun. Aku sangat maklum, mereka tentu mempunyai pertimbangan yang lain, yaitu para suami mereka. Sedih hatiku melihat mereka yang telah kudidik sesuai dengan keinginanku kini seolah-oleh bersekutu menjauhiku. Jika aku menulis diatas tempat tidur rumah sakit ini, itu dengan kondisi sangat lemah, putriku. Aku tak tahu pasti kapan Allah memanggilku. Putriku.... kutitipkan buku harianku ini pada ibumu agar diserahkan padamu. Aku percaya padamu... Jika aku memberikan buku ini padamu, itu karena aku ingin engkau mengetahui betapa besar cintaku padamu, mengapa dulu aku sering memarahimu.. maafkan buya, putriku... Kini hanya engkau satu-satunya harapanku...Aku percaya perguruan yang telah kubangun dengan tanganku sendiri ini padamu. Aku bercita-cita mengembangkannya menjadi sebuah pesantren. Engkau masih ingat lapangan tempat kita dulu menaikkan layangan? Itu adalah tanah warisan almarhum kakekmu. Di lapangan itulah kurencanakan berdiri bangunan asrama tempat para santri bermukim. Engkau seorang arsitek, anakku, tentu lebih memahami bangunan macam apa yang sesuai untuk kebutuhan sebuah asrama pesantren... Kuserahkan sepenuhnya kepadamu, juga untuk mengelolanya nanti. Sebab aku yakin, dari tanganmu, dari hatimu yang jernih, dari perkataan dan tindakanmu yang selalu sejalan dengan kebenaran akan terlahir sebuah fauzan'adzima, kemenangan yang besar, seperti yang telah Allah janjikan, yakinlah, putriku... Dalam diri dan jiwamu kini terhimpun beragam kapasitas keilmuan dunia dan akhirat. Kini kusadari engkau bukan saja sekedar terlahir dari rahim ibumu, tetapi juga lahir dari rahim bernama Hidayah. Semoga Allah menyertai dan memudahkan jalan yang akan engkau lalui, putriku. Amien Ya Rabbal 'Alamiin. 12 Agustus 1999 Rabbi, jika airmata ini bukan tumpah, bukan karena aku tidak mengikhlaskan buyaku Engkau panggil, tapi sebab aku belum mengenali buyaku selama ini, seutuhnya. Sebab hanya seujung kuku baktiku padanya. Rabbi, perkenankan aku menjalankan amanah Buya dengan segenap ridha-Mu. hanya Engkau.. ya Mujib...

DOA KANG SUTO Pernah saya tinggal di Perumnas Klender. Rumah itu dekat mesjid yang sibuk. Siang malam orang pada ngaji. Saya tak selalu bisa ikut. Saya sibuk ngaji yang lain. Lingkungan sesak itu saya amati. Tak cuma di mesjid. Di rumah-rumah pun setiap habis magrib saya temui kelompok orang belajar membaca Al Quran. Anak-anak, ibu-ibu dan bapak-bapak, di tiap gang giat mengaji. Ustad pun diundang. Di jalan Malaka bahkan ada kelompok serius bicara sufisme. Mereka cabang sebuah tarekat yang inti ajarannya berserah pada Tuhan. Mereka banyak zikir. Solidaritas mereka kuat. Semangat agamis, pendeknya, menyebar di mana-mana. Dua puluh tahun lebih di Jakarta, tak saya temukan corak hidup macam itu sebelumnya. Saya bertanya: gejala apa ini? Saya tidak heran Rendra dibayar dua belas juta untuk membaca sajak di Senayan. Tapi, melihat Ustad Zainuddin tiba-tiba jadi superstar pengajian (ceramahnya melibatkan panitia, stadion, puluhan ribu jemaah dan honor besar), sekali lagi saya dibuat bertanya: jawaban sosiologis apa yang harus diberikan buat menjelaskan gairah Islam, termasuk di kampus-kampus sekular kita? Benarkah ini wujud santrinisasi? Di Klender yang banyak mesjid itu saya mencoba menghayati keadaan. Sering ustad menasihati, "Hiasi dengan bacaan Quran, biar rumahmu teduh." Para "Unyil" ke mesjid, berpici dan ngaji. Pendeknya, orang seperti kemarok terhadap agama. Dalam suasana ketika tiap orang yakin tentang Tuhan, muncul Kang Suto, sopir bajaj, dengan jiwa gelisah. Sudah lama ia ingin salat. Tapi salat ada bacaan dan doanya. Dan dia tidak tahu. Dia pun menemui pak ustad untuk minta bimbingan, setapak demi setapak. Ustad Betawi itu memuji Kang Suto sebagai teladan. Karena, biarpun sudah tua, ia masih bersemangat belajar. Katanya, "Menuntut ilmu wajib hukumnya, karena amal tanpa ilmu tak diterima. Repotnya, malaikat yang mencatat amal kita cuma tahu bahasa Arab. Jadi wajib kita paham Quran agar amal kita tak sia-sia." Setelah pendahuluan yang bertele-tele, ngaji pun dimulai. Alip, ba, ta, dan seterusnya. Tapi di tingkat awal ini Kang Suto sudah keringat dingin. Digebuk pun tak bakal ia bisa menirukan pak ustad. Di Sruweng, kampungnya, 'ain itu tidak ada. Adanya cuma ngain. Pokoknya, kurang lebih, ngain. "Ain, Pak Suto," kata Ustad Bentong bin H. Sabit. "Ngain," kata Kang Suto. "Ya kaga bisa nyang begini mah," pikir ustad. Itulah hari pertama dan terakhir pertemuan mereka yang runyem itu. Tapi Kang Suto tak putus asa. Dia cari guru ngaji lain. Nah, ketemu anak PGA. Langsung Kang Suto diajarinya baca Al-Fatihah. "Al-ham-du ...," tuntun guru barunya.

46

"Al-kam-ndu ...," Kang Suto menirukan. Gurunya bilang, Salah." "Alhamdulillah ...," panjang sekalian, pikir gurunya itu. "Lha kam ndu lilah ...," Guru itu menarik napas. Dia merasa wajib meluruskan. Dia bilang, bahasa Arab tidak sembarangan. Salah bunyi lain arti. Bisa-bisa kita dosa karena mengubah arti Quran. Kang Suto takut. "Mau belajar malah cari dosa," gerutunya. Ia tahu, saya tak paham soal kitab. Tapi ia datang ke rumah, minta pandangan keagamaan saya. "Begini Kang," akhirnya saya menjawab. "Kalau ada ustad yang bisa menerima ngain, teruskan ngaji. Kalau tidak, apa boleh buat. Salat saja sebisanya. Soal diterima tidaknya, urusan Tuhan. Lagi pula bukan bunyi yang penting. Kalau Tuhan mengutamakan ain, menolak ngain, orang Sruweng masuk neraka semua, dan surga isinya cuma Arab melulu." Kang Suto mengangguk-angguk. Saya ceritakan kisah ketika Nabi Musa marah pada orang yang tak fasih berdoa. Beliau langsung ditegur Tuhan. "Biarkan, Musa. Yang penting ketulusan hati, bukan kefasihan lidahnya." "Sira guru nyong," (kau guruku) katanya, gembira. Sering kami lalu bicara agama dengan sudut pandang Jawa. Kami menggunakan sikap semeleh, berserah, pada Dia yang Mahawelas dan Asih. Dan saya pun tak berkeberatan ia zikir, "Arokmanirokim," (Yang Pemurah, Pengasih). Suatu malam, ketika Klender sudah lelap dalam tidurnya, kami shalat di teras mesjid yang sudah tutup, gelap dan sunyi. Ia membisikkan kegelisahannya pada Tuhan. "Ya Tuhan, adakah gunanya doa hamba yang tak fasih ini. Salahkah hamba, duh Gusti, yang hati-Nya luas tanpa batas..." Air matanya lalu bercucuran. Tiba-tiba dalam penglihatannya, mesjid gelap itu seperti mandi cahaya. Terang-benderang. Dan kang Suto tak mau pulang. Ia sujud, sampai pagi ...

YANG DATANG DAN PERGI Jam Dinding menunjukan pukul dua belas malam tepat. Entah kenapa tiba-tiba aku terbangun. Kutatap dalam-dalam wajah istriku yang masih lelap dalam tidurnya. Kubelai perlahan anak-anak rambut yang tergerai didahinya. Kamu cantik Ratri..., bisikku perlahan. Tanpa terasa, usia pernikahan kami sudah menginjak tahun yang ketiga, tapi kami belum juga dikaruniai anak. Ya.. Allah karuniakan kepada kami anak, seorang saja pun tak mengapa..., begitu jerit do'aku tiap malam diatas sajadah. Tapi, entahlah hikmah apa yang tersembunyi dibalik semua ini. Aku yakin, Allah menyimpan hikmah itu untuk kuketahui kelak. Ya, itu Pasti!! "Ratri.., bangun... shalat yuuk..." Kutepuk pipi istriku perlahan. Ia menggeliat. Aku tersenyum saja. Mungkin ia masih lelah, seharian mengurus tumah. Mengepel, memasak, mencuci, membersihkan rumah, masih ditambah lagi kesibukannya menulis di media cetak. Ah.. aku sayang padamu Ratri... Akhirnya, aku beranjak sendiri. Berwudhu dan kemudian tenggelam dalam shalat malamku yang panjang. Dan selalu do'a itu yang aku dahulukan. Rabbanaa lain aataitana shaalihan lanakunanna minasy syakiriin. Ya, Allah jika Engkau memberi kami anak shalih, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur. Jam dinding berdentang tiga kali. Ketika aku menghabiskan tiga rakaat terakhir witirku. Kulihat Ratri sudah ada dibelakangku dengan wajah merajuk. Kutatap wajahnya dengan geli. "Kamu kenapa? Mulutnya monyong begitu...??" godaku. Ratri semakin merajuk. Si Mas mesti begitu..., nggak bangunin Ratri..." protesnya. Aku tersenyum arif. "La Wong, kamu pulas banget tidurnya. Mana tega Mas bangunin.., tadi nulis sampai jam sebelas 'kan? Mosok baru tidur satu jam sudah disuruh bangun lagi..." "Iya deeh.., tapi nanti temani Ratri muraja'ah Qur'an yaa...," pintanya manja. Inggih, sendiko dawuh.., jawabku dengan logat Jawa yang kaku. Maklum besar di etawi! Ratri tertawa geli mendengar jawabanku. Serentak jemarinya yang mungil eraksi menggelitik pinggangku. "Ssst.., sudah ah, shalat sana, nanti keburu shubuh..., "elakku. Ratri masih tersenyum sambil mengerjapkan matanya, lucu. Sering kulihat Ratri termenung menatap ikan-ikan di aquarium kami. Matanya binar menatap kosong ikan-ikan berwarna perak itu. Ia betah diam tanpa ekspresi seperti itu. "Sssst .., Muslimah kok hobi bengong, sihh...?" bisikku persis di telinganya. Ratri tersentak kaget. Pipinya bersemu merah, malu ketahuan melamun. "Enngg....ngak kok, ini lho mas..., ikannya bertelur...," katanya perlahan.

47

"Ck... pura-pura, dari tadi Mas lihat matamu ngak berkedip, lama banget. Itu bengong namanya, Non...," kuacak kepalanya gemas. "Ikan saja bisa punya keturunan ya Mas..., kita kapan?" tanyanya lirih, hampir tak terdengar. Seketika mataku memanas. Leherku tiba-tiba tercekat. Oh, Allah... ratri tersenyum manis, lalu mengamati lenganku menuju meja makan. Tak lama kemudian ia kembali berceloteh menceritakan aktifitasnya seharian. Ah, Ratri.... Ratri... Ketika pernikahan kami menginjak tahun kedua, kami sudah memeriksakan diri secara intensif kedokter kandungan. Hasilnya, kami berdua normal! Dokter cuma menyuruh kami bersabar, berdo'a dan berusaha tentunya. Yah.., barangkali kami berdua memang sedang diuji. "Nikah lagi aja, Maaasss...," celetuk Ratri suatu kali. Aku tersentak. Keturunan memang sangat kuharapkan. Tapi membagi cintaku pada Ratri dengan wanita lain, meski itu dibolehkan dalam Islam, apa aku sanggup?? Kucubit pipi istriku perlahan. Ngak takut cemburu?" tanyaku menggodanya. Cemburu khan manusiawi Mas..., Aisyah juga cemburu pada Khadijah, tapi bukan cemburu masalahnya Mas..., kalau Mas punya istri lagi, 'khan Ratri bisa ikut membesarkan anak dari istri Mas...," tuturnya panjang lebar. Kalau dia juga tidak bisa hamil?" Ambil istri lagi..." Kalau belum punya anak juga?" Ambil lagi..." Hussss.... sembarangan!!" protesku pura-pura galak. Kudekap kepala mungilnya erat-erat. Hari ini hari ulang tahun pernikahan kami yang keempat. Umurku sudah dua puluh delapan tahun. Uban dikepalaku sudah belasan jumlahnya. Ketika menikah dulu, Ratri bilang ubanku ada enam lembar!! Dan sampai saat ini kami belum dipercaya Allah untuk menimang seorang anak. Tapi aku masih mencintai Ratri. Dan, tidak akan pernah pudar. Wajah Ratri yang oval dengan hidung yang bangir dan mulut mungilnya kelihatan merah berseri-seri. Kulihat ia membawa sebuah nampan yang tertutup menuju kearah meja makan. Lalu ia menarik lenganku manja. "Sini Mas...," ajaknya. ku menurut saja. "Happy fourth anniversary...," katanya lembut. Mataku berkaca-kaca. Perlahan kubuka nampan itu. Sebuah kue tart, romantis sekali. Dan sebuah amplop, dengan logo sebuah klinik. Keningku berkerut. Ketika tanganku bergerak hendak mengambil amplop itu, seketika Ratri merebutnya. "Makan dulu doooong....," protesnya.

Aku cuma menggeleng-gelengkan kepala, sambil tersenyum. Tak urung kuraih pisau lalu. "Bismillahirahmanirrahiim..," kupotong kue tart itu. Ratri tersenyum, ia kelihatan bahagia sekali. Kutengadahkan tanganku meminta amplop itu. Ratri menggeleng. Makan dulu..., katanya. Kugaruk-garuk kepalaku dengan gemas. Ni, anak bikin penasaran juga. Setelah selesai menyantap potongan kue yang kumakan dengan dua kali telan. Dan Ratri protes karenanya. Kurenggut amplop di tangannya. Dan Subhanallah..., Maha suci Engkau wahai Rabb sekalian alam!!! Ratri hamil!!! Masya Allah...., setelah sekian tahun!!! Seketika aku tersungkur sujud. Air mataku meleleh. Kudekap kepala Ratri eraterat. Air mataku masih mengalir, menitik membasahi kepala Ratri. Ia mendongak, jemarinya menghapus air mataku. "Mas menangis?" tanyanya retoris. Aku mengangguk. Ya, aku menangis! Tangis syukur.... "Kok, periksa ke dokter nggak bilang-bilang?" protesku. "Biarin, nanti nggak surprise ...," katanya. Tiba-tiba aku merasa bersalah. Sejak tahun ketiga pernikahan kami, aku tidak rajin mengikuti tanggal-tanggal haid dan masa subur Ratri seperti dulu. Kudekap Ratri makin erat. Sejak hari itu, kesehatan Ratri menjadi perhatian utamaku. Aku sering marah-marah kalau Ratri masih juga menulis sampai larut malam. Ya, tiba-tiba aku menjadi sangat cerewet. Sembilan bulan, lebih delapan hari. Rasanya hari itu tiba..., tadi pagi Ratri sudah mulasmulas. Katanya mulasnya dimulai dari punggung menjalar sampai kedepan. Aku ribut setengah mati. Kuraih gagang telpon. Aku menelpon seorang teman untuk membawa mobil kerumah. Ratri masih mengeluh mulas-mulas. Tiba-tiba keluar cairan, oh... air ketubanya sudah pecah. Di rumah sakit aku begitu gelisah. Bapak-ibu yang menungguiku cuma menggelenggeleng kepala. Maklum anak pertama, begitu kata ibu. Ya, Allah... entah kenapa aku tibatiba merasa ketakutan yang luar biasa. Ya Allah, selamatkan istri dan anakku..., bisikku berulang kali. "Bapak Syaiful Bahri?" seorang dokter keluar "Ya..., saya, Dokter...," sahutku cepat. Kuhampiri dokter itu. dari ruang bersalin.

"Ada sedikit kelainan, harus dioperasi... Suster, tolong bimbing Pak Syaiful untuk mengisi formulir ini..." kata dokter itu. Aku tersentak kaget! Operasi? Astaghfirullah... "Tapi..., istri saya tidak apa-apa'kan dokter??" tanyaku khawatir. Dokter itu terdiam. "Berdo'alah ...," katanya pelan. Kugigit bibirku erat-erat. Allah..., selamatkan isri dan anakku.. Kuambil wudhu dan shalat di musholla. Kuhabiskan gelisahku disana.

48

Tiba-tiba kudengar suara tangis bayi. Anakku...,: desisku perlahan. Aku seperti dituntun nuraniku. Bergegas keluar musholla. "Bapak Syaiful Bahri..." "Ya, Dokter..." "Selamat, bayinya perempuan, sehat, tiga setengah kilo, cantik seperti ibunya..." kata dokter itu. "Alhamdulilah..." desisku berulang-ulang. "Istri saya dokter?" Dokter itu terdiam. Tiba-tiba ada perasaan tidak enak menjalar disegenap hatiku. Kutatap mata dokter itu dengan tatapan penuh tanya. Tiba-tiba dokter itu menepuk bahuku perlahan, sementara kepalanya pun menggeleng perlahan pula. Mulutku terngaga seketika. "Ma'afkan .., saya sudah berusaha. Tapi Tuhan menghendaki lain...," katanya. Air mataku berloncatan tanpa bisa dibendung. Dokter itu perlahan membimbingku masuk ke ruang bersalin. Aku menurut saja tanpa rasa. Sosok tubuh ditutup kain putih terbaring. Perlahan dokter itu membuka kain penutup itu. Inalilahi wa innailayhi raji'uun... Wajah Ratri terlihat pucat. Tapi bibirnya tersenyum manis..., manis sekali. Kudekap kepala Ratri erat-erat, tangisku tak tertahankan. "Sabar... sabar... pak...," hibur dokter itu." Suster, bawa kemari anak Bapak Syaiful Bahri...," katanya lagi. Seorang bayi mungil yang masih merah disodorkan dihadapanku. Perlahan kugendong dan kutatap ia. Dadaku masih sesak karena tangis. Kutatap bayi merah itu dan Ratri berganti-ganti. Mereka begitu mirip. Matanya, hidungnya, mulutnya..., Allahu Akbar !!!. Rupanya ini hikmah itu, Ratri..., Allah memberi kesempatan padaku untuk menemanimu selama empat tahun, untuk akhirnya memanggilmu setelah ia memberikan gantinya..... Ya, Allah jangan biarkan hatiku berandai-andai, seandainya saja aku tidak mengharapkan anak, jika itu membawa kematian Ratri..., ini semua takdir-Mu, ya Rabbi.... Selamat Jalan Ratri.....................

USTADZ TARMAN "Karena-Mu ya Allah, saya akan berdakwah, mencari daerah hitam yang penuh dengan kemunafikan, tempat-tempat yang terjangkit penyakit munafik, bermalas-malas, linglung tentang hidup; tak ada nafas cinta, yang hadir hanya lamat-lamat kebencian yang semakin mendesir. Saya akan pergi ke tempat seperti itu.'' Jihad yang selalu tumbuh dalam hatinya meronta-ronta. Baginya menularkan kebajikan adalah kewajiban. Dia berkeyakinan bahwa di setiap dada insan, selalu hadir kerinduan bercengkrama dengan cahaya; cahaya yang sampai saat ini sulit ditemukan bagi sebagian orang. Dan dia dilahirkan untuk mentransfer cahaya itu; Cahaya hanya bertemu dengan cahaya. Pertemuan dengan cahaya harus dimulai dingan setitik cahaya pikirnya. "Tuhan, kuatkanlah hambamu untuk terus berjibaku dengan setan. Aku tahu hanya Engkaulah yang mampu mengendalikan nafsu ciptaanmu. Dengan kehadiranmu dalam urat nadiku dan asmamu yang menjalar dalam aortaku, aku tak kan pernah takut menganiaya kebatilan. Ya Tuhan, biarkan selaksa cahaya menetap di jiwaku, jangan pernah kau padamkam'' Niat Tarman telah lurus. Berdakwah! Doanya mengangkasa, menembus udara, meretas ke atas langit; bersemayam di muara surga. *** Tarman dengan segala kemantapannya melangkahkan kaki ke tempat itu, kampung Suka Endah. Satu langkah lagi, maka dia masuk ke tempat itu. Setelah berkomat-kamit, Tarman memberanikan diri untuk memasukinya. Dilihatnya pemandangan itu. Tak ada yang istimewa, tak ada wah disini. Tak ada beda dengan perkampungan lainnya. Kata orang-orang disini tempat iblis bersemayam, tapi saya tak melihat tanda-tandanya. Tarman berseloroh di sukmanya. Ustadz muda itu terus berjalan menyusuri sawah dan pematang, hingga dia bertemu dengan seorang tua, linggis di pundaknya. Tarman menyunggingkan senyum manisnya; tak dibalas. Tarman mengucapkan salam; tak terbalas. Tarman ingin berjabat tangan; tak dijabat. "Allah, aku tahu ini ujian untukku" kembali Tarman berseloroh, seloroh yang tak terucap. "Maaf Pak, bolehkah saya bertanya?" "Kamu telah bertanya Ustadz." Tarman agak kikuk. "Ehm, begini Pak saya....'' Pak Tua itu menyekat pembicaraannya. "Kamu seorang Ustadz yang ingin berdakwah bukan? Kamu jauh-jauh datang kesini karena banyak orang yang menyatakan bahwa di tempat ini maksiat sedang berkecamuk, dan kamu ingin memberantasnya bukan? Kamu ingin mengaplikasikan teori-teori yang kamu punya di tempat ini bukan?'' Pertanyaan yang bertubi-tubi itu sempat membuat mata Tarman tak bergeming dari kelopaknya, melotot. "Dari mana bapak tahu?'' "Saya tahu dari matamu anak muda, saya tahu dari pakaianmu, saya tahu dari gerak gerikmu. Mari kita berteduh di pohon teduh itu.'' Tarman bergegas mengikuti Pak Tua. Kemudian mereka melanjutkan pembicaraan.

49

"Ketahuilah Ustadz, disini adalah kampung yang rukun. Warga disini orangnya baikbaik, bahkan terlampau baik. Kalau tadi saya tak merespon Ustadz, bukan berarti saya sombong.'' Sambil membetulkan tempat duduknya, Pak Tua melanjutkan kata-katanya. Tarman sibuk mencatat berbagai pertanyaan di benaknya. "Warga kampung disini sudah bosan dengan pendatang yang hanya ingin memberi petuah, wejangan-wejangan dan dalil-dalil.'' "Ada yang harus saya luruskan Pak. Saya datang kesini semata-mata karena Allah, bukan ada maksud tertentu dibalik semua ini. Saya hanya ingin berbagi pengalaman dengan warga disini atas ilmu yang pernah saya dapatkan di pesantren. Lagi pula, saya yakin tidak semua warga taat beribadah bukan? Nah saya datang kesini untuk menyeru pada jalan kebenaran, jalan yang diridhoi Allah." "Ustadz, saya mengerti maksud baik saudara. Saya juga mahfum bahwa tak semua warga baik. Itulah mengapa kami masih bisa bertahan hidup." "Maksud Bapak?" "Kalau semua Ustadz datang kemari, lantas kapan kami bisa berdakwah? Dakwah tidak hanya Ustadz saja bukan? Ustadz jangan serakah seperti itu dong. Allah tidak menyukai orang-orang serakah Ustadz. Kalau Ustadz berdakwah disini, lalu kami berdakwah dimana? Kalau kami tidak berdakwah, apakah kami masih bisa hidup?'' Tarman berpikir serius. Kata-kata yang dilontarkan oleh Pak Tua begitu menyeruak ke dasar otaknya. Tiba-tiba kepalanya manggut-manggut. Masih banyak tempat lain untuk berdakwah pikirnya. "Baiklah Pak Tua saya mengerti. Semakin banyak orang-orang yang berdakwah, menyeru di jalan Allah, semakin banyak yang sadar bahwa hidup di dunia hanyalah untuk beribadah." "Syukurlah kalau Ustadz mengerti." Tarman berpamit diri. Ternyata sulit juga untuk berdakwah, pikirnya. Akhirnya Tarman pergi ke kota. Menurutnya orang-orang kota pasti banyak yang berdosa. Apalagi kalau melihat acara-acara di TV, wah sensasional. Banyak yang harus diperbaiki. Tarman naik bis. Ternyata di dalam bis, dia melihat banyak wanita yang tak memakai jilbab, anak-anak muda yang merokok dan berpakaian tak sopan. Ada hasrat untuk berdakwah. Tarman bangkit dari tempat duduknya. Tarman mengucap salam. Namun sebelum keinginannya terlaksana, ada yang menepuk bahu dari belakang. Kondektur. Lalu kondektur itu berbisik di telinganya. "Maaf Pak Ustadz, tadi sudah ada yang berdakwah disini. Kasihan penumpang, mereka sudah jemu dengan dalil-dalil. Biarkan mereka beristirahat barang sejenak. Bukankah mengganggu orang itu tidak disukai Allah?'' Lagi-lagi keinginannya tidak terlaksana. Tarman kembali duduk di kursinya. Berdakwah memang penuh tantangan. Allah pintar sekali menguji manusia.

Datanglah Tarman di kota. "Saya harus mencari tempat yang butuh cahaya.'' Celotehnya dalam kalbu. Lalu dia masuk ke kafe. "Saya yakin disini pasti membutuhkan tausiah." Tarman masuk ke tempat itu. "Masyaallah, musik apa ini, begitu mengantam-hantam jantung. Wanita-wanita dengan pakaian terbatas, hamr dimana-mana. Saya akan mencobanya. Ini dakwah pertama saya, saya harus terlihat memukau." Tarman memulai dakwahnya. Dia bicara lantang. "Assalamualaikum warahmatullah wabarokatuh. Ibu-ibu dan bapak-bapak yang dimuliakan Allah, hari ini kita berjumpa disini karena Allah, jadi beribadahlah karena Allah. Tanpa Allah kita tidak bisa berbuat apa-apa..." Tarman menggebu-gebu bicaranya. Sayang kata-kata yang bekecamuk itu tak terdengar sama sekali, terkalahkan oleh dentuman musik yang hangar bingar. Tarman lemas. Mengapa mereka tidak mendengarkan, pikirnya. Gagal lagi. Tarman keluar dari tempat itu. Tarman terus memeras otakknya. "Mengapa mereka tidak mendengarkan tausiahnya? Bukankah berdakwah bisa dimana saja? Tapi memang tempat tadi kurang kondusif. Ah Allah saya butuh pertolonganmu. Satu-satunya jalan ya mesjid! Saya akan cari mesjid terdekat disini.'' Tarman menemukan mesjid itu. Mesjid yang megah. Banyak sekali jamaah berbondong-bondong memadati mesjid itu. Lalu Tarman bertanya ke salah seorang jamaah. "Bisakah saya berdakwah di mesjid ini?" "Maksud saudara ingin mendengarkan dakwah?" "Tidak, maksud saya, saya yang menjadi ustadznya. Insyaallah saya punya ilmu yang bisa disampaikan. Saya lulusan dari pesantern di kampung Munjul." "Sekarang yang akan memberikan tausiah itu K.H. Iqbal. Beliau ustadz yang terkenal.'' "Jadi saya tak bisa berdakwah disini?'' "Mungkin di mesjid lain bisa.'' Tarman agak kecewa. Lalu dia mencari mesjid lainnya. "Sekarang K.H. Rummi beliau ustadz yang terkenal.'' "Jadi saya tak bisa berdakwah disini?" Lagi-lagi kecewa yang didapatnya. "Sekarang K.H. Ghazali beliau ustadz yang terkenal.'' Tarman Kecewa. "Sekarang K.H. Hallaj beliau ustadz yang terkenal.'' Tarman kecewa. "Sekarang K.H. Siti Jenar beliau ustadz yang terkenal.'' Tarman kecewa. Tarman tak mampu lagi membendung kekesalan. Ternyata di kota lebih parah lagi. Tarman tak bisa berdakwah. Di selasar mesjid Tarman terdiam, wajahnya kelabu. Pikirannya melesat ke kampung. Dia rindu adiknya yang tak pernah mengaji, bapaknya yang selalu berjudi, dan tetangganya yang selalu pamer kekayaan. Tarman tersenyum, wajahnya cerah kembali.

50

LOWONGAN KERJA Aku terperanjat mendengar kata-kata yang tak pernah kuduga sebelumnya, seorang gadis tamatan SMU yang sedang mencari kerja karena tak mendapatkan biaya untuk meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dia seorang gadis yang sangat biasa, dengan setelan jilbab yang juga tidak mencolok. Benar-benar seorang gadis yang biasa. "Kamu dimarahi lagi?" tanyaku. "Nggak papa kok, hanya sedikit diomelin." katanya. "Masih masalah yang sama?" kulanjutkan pertanyaanku, dia hanya tersenyum menatapku. Ya, kurasa masih masalah yang sama. Aku masih ingat ketika dia bercerita tentang apa yang dialaminya. Dia ditawari pekerjaan menjadi pegawai Negeri oleh kakak sepupunya yang mempunyai jabatan di sebuah institusi negeri. Dia di tawari karena memiliki kecerdasan yang bisa dibilang diatas rata-rata. Namun ada satu hal yang harus dia lakukan yaitu mengakui bahwa dia pernah ikut serta dalam kegiatan yang di gelar institusi itu. Hal itu terjadi karena jurusan yang diambilnya waktu SMU tidak cocok dengan jurusan yang diperlukan, dia akan mendapat dispensasi apabila pernah membantu dengan mengikuti kegiatan tersebut. Mungkin itu adalah peluang emas bagi seorang pencari kerja seperti dia. Apalagi sepupunya itu telah berjanji akan menyiapkan dokumen-dokumen sebagai bukti keterlibatannya dalam kegiatan yang dimaksud. Masalah tes, semua yakin dia bisa mengatasinya. Senangkah dia? Jawabannya tidak sama sekali... Namun situasi memaksanya untuk terus mengikuti tawaran itu, kedua orang tuanya sangat berharap dia bekerja, apalagi dalam keadaan ekonomi keluarga yang kian memburuk. Tibalah hari yang ditentukan, dimana dia akan menghadap panitia penerimaan pegawai dan akan mengakui sesuatu yang tidak pernah dilakukannya. Wajah murungnya tak dapat di sembunyikan, kedua orang tua gadis itu melihat jelas mimik wajah buah hatinya, mereka tahu ini sesuatu yang amat sulit dilakukan untuk gadis yang berakhlak seperti dia, namun di zaman sekarang siapa yang akan menghargai sebuah kejujuran? Dengan menumpang kendaraan sepupunya dia berangkat ke kantor itu. Sepanjang perjalanan dia tidak berbicara sepatah kata pun. Di dalam hati dia tak henti-hentinya menyebut nama Allah, Sang Penulis Takdir manusia. Dia yakin tidak ada satu kekuatan pun yang akan tercipta tanpa kehendak Allah. Itu yang selalu ada dalam hatinya. "Namamu Wia?" tanya seorang bapak didepannya. Dia hanya menganggukkan kepala. Tampak sekali gurat keheranan di wajah bapak itu. "Tamatan dari sebuah sekolah yang terkenal ya?" lanjutnya, gadis itu kembali tersenyum. "Dik, jurusan kamu nggak cocok dengan yang kami minta, tapi katanya kamu pernah ikut membantu kantor kita ya?" tanya bapak itu lagi. Gadis yang bernama Wia itu tampak

sangat gugup, dia pejamkan matanya sesaat, entah apa yang ada dalam pikirannya. Bapak tadi nampak penasaran dan tak sabar menunggu jawaban Wia. Sebenarnya pertanyaan itu hanyalah formalitas, namun bagi Wia adalah pertaruhan antara kejujuran dan kebohongan. Dia membuka matanya dan menjawab, "Tidak... Saya tidak pernah mengikuti kegiatan itu dan tak pernah membantu kantor ini." Bapak itu terdiam sesaat dan kembali bertanya, "Apa kamu yakin dengan apa yang kamu katakan?" "Ya, sangat yakin." Sebuah jawaban yang kontroversial, namun seorang gadis yang belum genap 19 tahun yang mengatakannya. "Kalau begitu maaf sekali Dik, kamu tidak bisa melanjutkan..." ucap bapak tadi. "Nggak papa kok Pak." jawabnya begitu riang, seraya pamit dan melangkah keluar dengan senyuman. Tak ada lagi beban yang menghimpit dadanya. "Alhamdulillah Ya Robb, Engkau menyelamatkanku dari sebuah lingkaran setan, yang apabila ku masuk kedalamnya, takkan biasa keluar lagi." Itu yang diucapkannya dalam perjalanan pulang. *** "Kok senyum Mbak? Ada yang lucu?" tanyanya membuyarkan lamunanku. "Wi, sampai saat ini orang tuamu masih kecewa ya?" "Sepertinya iya, mbak. Tapi Wi yakin kok suatu hari mereka akan mengerti. Wi tau mereka ingin yang terbaik buat Wi, namun Allah yang Mahatahu apa yang terbaik buat hambaNya, masalah rezeki itu sudah dituliskanNya dalam takdir Wi, Wi yakin yang terbaik adalah yang diridhai Allah." "Tapi pekerjaan yang ditawarkan pada kamu bukan pekerjaan yang hina lo Wi?" kataku mencoba melihat reaksinya. "Iya, itu bukan pekerjaan yang hina, namun cara Wi mendapatkannya yang hina, Mbak. Wi memilih Allah diatas segalanya. Dengan ridha Nya, Wi ingin menatap masa depan dan menjalani hidup. Itu yang Wi harapkan, meski di mata dunia Wi dianggap orang yang gagal, Wi tak ingin gagal di hadapan Allah. Do'a kan ya, Mbak. Semoga Allah memberikan jalan yang lebih baik buat Wi." Aku tatap wajah gadis dihadapanku. Gurat kebeliaan masih terukir di wajahnya, namun betapa indah hatinya. Aku berkata pada diriku sendiri, "Dunia, lihatlah apa yang kau lakukan pada gadis kecil ini, tidakkah negeri ini memerlukan orang-orang seperti dia? Mengapa justru yang menduduki kursi-kursi itu adalah anak pejabat yang terkadang tak punya aturan dalam hidupnya? Kejujuran yang dia pertahankan membuahkan kekecewaan pada orang tuanya, membuatnya kembali harus mengumpulkan koran, untuk mencari kolom "LOWONGAN KERJA".

51

"Siapa yang akan menghargai kejujuranmu?" itu pertanyaan yang selalu di lontarkan orang tuanya. "Allah dan RosulNya." jawabnya dalam hati. Dan dia pun kembali mengelilingi kota yang panas, mencari adakah yang memerlukan karyawan? *** Kejujuran adalah sesuatu yang amat berharga, sayang pada masa ini begitu banyak orang yang takut akan kejujuran. Ketika kita di hadapkan pada dua pilihan, yaitu kemegahan dunia atau berjuang di jalan Allah, adakah kita akan dengan tegas menjawab seperti Wia, "Aku memilih Allah di atas segalanya."

BAGAIMANAPUN AKU MENCINTAIMU Saat itu Senin Pagi, dan seorang pria akan pergi ke kota untuk mencari pekerjaan yang lebih layak. Sebelum berangkat, ia telah mengatakan apa yang akan ia lakukan pada istrinya. Sepanjang hari ia merasa gugup dan ragu, apakah ia dapat pekerjaan yang lebih baik lagi dari pekerjaan yang ia jalani saat ini yaitu sebagai pengayuh becak. Akhirnya, di sore hari, ia berhasil di terima kerja di sebuah pabrik elektronik dengan gaji yang cukup memadai. Suami yang gembira ini pulang ke rumah dan menemukan meja makan yang telah ditata dengan indah serta lilin menyala. Mencium aroma makanan pesta, ia menduga seseorang di pabrik elektronik tadi telah menelpon dan memberitahu istrinya. Ia menemukan istrinya di dapur, dan dengan penuh semangat menceritakan rincian dari kabar gembiranya. Mereka Berpelukan dan meloncat kegirangan. Di sebelah piringnya, ia menemukan catatan yang ditulis Selamat, Sayang! Aku tahu kau akan berhasil! Makan Malam ini untuk menunjukkan betapa aku mencintaimu. Kemudian dalam perjalanan ke dapur untuk membantu istrinya menyiapkan makanan penutup, ia melihat kartu kedua jatuh dari kantong istrinya, ia memungut dan membacanya Jangan khawatir karena tidak mendapat perkerjaan baru yang lebih layak, Bagaimanapun juga kau sebenarnya pantas mendapatkannya! Makan malam ini untuk menunjukkan betapa aku mencintaimu.

52

BERSIAP MENGHADAPI KEHILANGAN Alkisah, seorang lelaki keluar dari pekarangan rumahnya, berjalan tak tentu arah dengan rasa putus asa. Sudah cukup lama ia menganggur. Kondisi finansial keluarganya moratmarit. Sementara para tetangganya sibuk memenuhi rumah dengan barang-barang mewah, ia masih bergelut memikirkan cara memenuhi kebutuhan pokok keluarganya sandang dan pangan. Anak anaknya sudah lama tak dibelikan pakaian, istrinya sering marah-marah karena tak dapat membeli barang-barang rumah tangga yang layak. Lakilaki itu sudah tak tahan dengan kondisi ini, dan ia tidak yakin bahwa perjalanannya kali inipun akan membawa keberuntungan, yakni mendapatkan pekerjaan. Ketika laki-laki itu tengah menyusuri jalanan sepi, tiba-tiba kakinya terantuk sesuatu. Karena merasa penasaran ia membungkuk dan mengambilnya. "Uh, hanya sebuah koin kuno yang sudah penyok-penyok," gerutunya kecewa. Meskipun begitu ia membawa koin itu ke sebuah bank. "Sebaiknya koin in Bapak bawa saja ke kolektor uang kuno," kata teller itu memberi saran. Lelaki itupun mengikuti anjuran si teller, membawa koinnya ke kolektor. Beruntung sekali, si kolektor menghargai koin itu senilai 30 dollar. Begitu senangnya, lelaki tersebut mulai memikirkan apa yang akan dia lakukan dengan rejeki nomplok ini. Ketika melewati sebuah toko perkakas, dilihatnya beberapa lembar kayu sedang diobral. Dia bisa membuatkan beberapa rak untuk istrinya karena istrinya pernah berkata mereka tak punya tempat untuk menyimpan jambangan dan stoples. Sesudah membeli kayu seharga 30 dollar, dia memanggul kayu tersebut dan beranjak pulang. Di tengah perjalanan dia melewati bengkel seorang pembuat mebel. Mata pemilik bengkel sudah terlatih melihat kayu yang dipanggul lelaki itu. Kayunya indah, warnanya bagus, dan mutunya terkenal. Kebetulan pada waktu itu ada pesanan mebel. Dia menawarkan uang sejumlah 100 dollar kepada lelaki itu. Terlihat ragu-ragu di mata lakilaki itu, namun pengrajin itu meyakinkannya dan dapat menawarkannya mebel yang sudah jadi agar dipilih lelaki itu. Kebetulan di sana ada lemari yang pasti disukai istrinya. Dia menukar kayu tersebut dan meminjam sebuah gerobak untuk membawa lemari itu. Dia pun segera membawanya pulang. Di tengah perjalanan dia melewati perumahan baru. Seorang wanita yang sedang mendekorasi rumah barunya melongok keluar jendela dan melihat lelaki itu mendorong gerobak berisi lemari yang indah. Si wanita terpikat dan menawar dengan harga 200 dollar. Ketika lelaki itu nampak ragu-ragu, si wanita menaikkan tawarannya menjadi 250 dollar. Lelaki itupun setuju. Kemudian mengembalikan gerobak ke pengrajin dan beranjak pulang. Di pintu desa dia berhenti sejenak dan ingin memastikan uang yang ia terima. Ia merogoh sakunya dan menghitung lembaran bernilai 250 dollar. Pada saat itu seorang perampok keluar dari semak-semak, mengacungkan belati, merampas uang itu, lalu kabur. Istri si lelaki kebetulan melihat dan berlari mendekati suaminya seraya berkata, "Apa yang terjadi? Engkau baik saja kan? Apa yang diambil oleh perampok tadi? Lelaki itu mengangkat bahunya dan berkata, "Oh, bukan apa-apa. Hanya sebuah koin penyok yang kutemukan tadi pagi".

Memang, ada beragam cara menyikapi kehilangan. Semoga kita termasuk orang yang bijak menghadapi kehilangan dan sadar bahwa sukses hanyalah TITIPAN Allah. Benar kata orang bijak, manusia tak memiliki apa-apa kecuali pengalaman hidup. Bila Kita sadar kita tak pernah memiliki apapun, kenapa harus tenggelam dalam kepedihan yang berlebihan?

53

cERITA JAGUNG Seorang wartawan mewawancarai seorang petani untuk mengetahui rahasia dibalik buah jagungnya yang selama bertahun-tahun selalu berhasil memenangkan kontes perlombaan hasil pertanian. Petani itu mengaku ia sama sekali tidak mempunyai rahasia khusus karena ia selalu membagi-bagikan bibit jagung terbaiknya pada tetangga-tetangga disekitar perkebunannya. "Mengapa anda membagi-bagikan bibit jagung terbaik itu pada tetangga-tetangga anda? Bukankah mereka mengikuti kontes ini juga setiap tahunnya?" tanya sang wartawan. "Tak tahukah anda?," jawab petani itu. "Bahwa angin menerbangkan serbuk sari dari bunga-bunga yang masak dan menebarkannya dari satu ladang ke ladang yang lain. Bila tanaman jagung tetangga saya buruk, maka serbuk sari yang ditebarkan ke ladang saya juga buruk. Ini tentu menurunkan kualitas jagung saya. Bila saya ingin mendapatkan hasil jagung yang baik, saya harus menolong tetangga saya mendapatkan jagung yang baik pula." Begitu pula dengan hidup kita. Mereka yang ingin meraih keberhasilan harus menolong tetangganya menjadi berhasil pula. Mereka yang menginginkan hidup dengan baik harus menolong tetangganya hidup dengan baik pula. Nilai dari hidup kita diukur dari kehidupan-kehidupan yang disentuhnya. Tetapi jika kita selalu berpikiran negative dengan mempengaruhi yang lain maka kehidupan kita juga akan menjadi negative

DONGENG SHOLAT Ada seorang manusia yang bertemu dengan setan di waktu subuh. Entah bagaimana awalnya, akhirnya mereka berdua sepakat mengikat tali persahabatan. Ketika waktu subuh berakhir dan orang itu tidak mengerjakan shalat, maka setan pun sambil tersenyum bergumam, "Orang ini memang boleh menjadi sahabatku..!" Begitu juga ketika waktu Zuhur orang ini tidak mengerjakan shalat, setan tersenyum lebar sambil membatin, "Rupanya inilah bakal teman sejatiku di akhirat nanti..!" Ketika waktu ashar hampir habis tetapi temannya itu dilihatnya masih juga asik dengan kegiatannya, setan mulai terdiam...... Kemudian ketika datang waktunya magrib,temannya itu ternyata tidak shalat juga, maka setan nampak mulai gelisah, senyumnya sudah berubah menjadi kecut. Dari wajahnya nampak bahwa ia seolah-olah sedang mengingat-ngingat sesuatu. Dan akhirnya ketika dilihatnya sahabatnya itu tidak juga mengerjakan shalat Isya, maka setan itu sangat panik. Ia rupanya tidak bisa menahan diri lagi,dihampirinya sahabatnya yang manusia itu sambil berkata dengan penuh ketakutan, "Wahai sobat, aku terpaksa memutuskan persahabatan kita!" Dengan keheranan manusia ini bertanya, "Kenapa engkau ingkar janji bukankah baru tadi pagi kita berjanji akan menjadi sahabat?". "Aku takut!",jawab setan dengan suara gemetar. "Nenek moyangku saja yang dulu hanya sekali membangkang pada perintah-Nya, yaitu ketika menolak disuruh "sujud" pada Adam, telah dilaknat-Nya; apalagi engkau yang hari ini saja kusaksikan telah lima kali membangkang untuk bersujud pada-Nya (Sujud pada Allah). Tidak terbayangkan olehku bagaimana besarnya murka Allah kepadamu !", kata setan sambil beredar pergi.

54

ADA YANG MEMPERHATIAN KITA Seluruh penumpang di dalam bus merasa simpati melihat seorang wanita muda dengan tongkatnya meraba-raba menaiki tangga bus, dengan tangannya yang lain dia meraba posisi di mana sopir berada, dan membayar ongkos bus. Lalu berjalan ke dalam bus mencari-cari bangku yang kosong dengan tangannya. Setelah yakin bangku yang dirabanya kosong, dia duduk. Meletakkan tasnya di atas pangkuan, dan satu tangannya masih memegang tongkat. atu tahun sudah, Yasmin, wanita muda itu, mengalami buta. Suatu kecelakaan telah berlaku atasnya, dan menghilangkan penglihatannya untuk selama-lamanya. Dunia tiba-tiba saja menjadi gelap dan segala harapan dan cita-cita menjadi sirna. Dia adalah wanita yang penuh dengan ambisi menaklukan dunia, aktif di segala perkumpulan, baik di sekolah, rumah maupun di linkungannya. Tiba-tiba saja semuanya sirna, begitu kecelakaan itu dialaminya. Kegelapan, frustrasi, dan rendah diri tiba-tiba saja menyelimuti jiwanya. Hilang sudah masa depan yang selama ini dicita-citakan. Merasa tak berguna dan tak ada seorangpun yang sanggup menolongnya selalu membisiki hatinya. "Bagaimana ini bisa terjadi padaku?" dia menangis. Hatinya protes, diliputi kemarahan dan putus asa. Tapi, tak peduli sebanyak apa pun dia mengeluh dan menangis, sebanyak apa pun dia protes, sebanyak apapun dia berdo'a dan memohon, dia harus tahu, penglihatannya tak akan kembali. Di antara frustrasi, depresi dan putus asa, dia masih beruntung, karena mempunyai suami yang begitu penyayang dan setia, Burhan. Burhan adalah seorang prajurit TNI biasa yang bekerja sebagai security di sebuah perusahaan. Dia mencintai Yasmin dengan seluruh hatinya. Ketika mengetahui Yasmin kehilangan penglihatan, rasa cintanya tidak berkurang. Justru perhatiannya makin bertambah, ketika dilihatnya Yasmin tenggelam ke dalam jurang keputus-asaan. Burhan ingin menolong mengembalikan rasa percaya diri Yasmin, seperti ketika Yasmin belum menjadi buta. Burhan tahu, ini adalah perjuangan yang tidak gampang. Butuh extra waktu dan kesabaran yang tidak sedikit. Karena buta, Yasmin tidak bisa terus bekerja di perusahaannya. Dia berhenti dengan terhormat. Burhan mendorongnya supaya belajar huruf Braile. dengan harapan, suatu saat bisa berguna untuk masa depan. Tapi bagaimana Yasmin bisa belajar? Sedangkan untuk pergi ke mana-mana saja selalu diantar Burhan? Dunia ini begitu gelap. Tak ada kesempatan sedikitpun untuk bisa melihat jalan. Dulu, sebelum menjadi buta, dia memang biasa naik bus ke tempat kerja dan ke mana saja sendirian. Tapi kini, ketika buta, apa sanggup dia naik bus sendirian? Berjalan sendirian? Pulang-pergi sendirian? Siapa yang akan melindunginya ketika sendirian? Begitulah yang berkecamuk di dalam hati Yasmin yang putus asa.

Tapi Burhan membimbing jiwa Yasmin yang sedang frustasi dengan sabar. Dia merelakan dirinya untuk mengantar Yasmin ke sekolah, di mana Yasmin musti belajar huruf Braile. dengan sabar Burhan menuntun Yasmin menaiki bus kota menuju sekolah yang dituju. dengan susah payah dan tertatih-tatih Yasmin melangkah bersama tongkatnya. Sementara Burhan berada di sampingnya. Selesai mengantar Yasmin dia menuju tempat dinas. Begitulah, selama berhari-hari dan berminggu-minggu Burhan mengantar dan menjemput Yasmin. Lengkap dengan seragam dinas security. Tapi lama-kelamaan Burhan sadar, tak mungkin selamanya Yasmin harus diantar; pulang dan pergi. Bagaimanapun juga Yasmin harus bisa mandiri, tak mungkin selamanya mengandalkan dirinya. Sebab dia juga punya pekerjaan yang harus dijalaninya. dengan hati-hati dia mengutarakan maksudnya, supaya Yasmin tak tersinggung dan merasa dibuang. Sebab Yasmin, bagaimanapun juga masih terpukul dengan musibah yang dialaminya. Seperti yang diramalkan Burhan, Yasmin histeris mendengar itu. Dia merasa dirinya kini benar-benar telah tercampakkan. "Saya buta, tak bisa melihat!" teriak Yasmin. "Bagaimana saya bisa tahu saya ada di mana? Kamu telah benar-benar meninggalkan saya." Burhan hancur hatinya mendengar itu. Tapi dia sadar apa yang musti dilakukan. Mau tak mau Yasmin musti terima. Musti mau menjadi wanita yang mandiri. Burhan tak melepas begitu saja Yasmin. Setiap pagi, dia mengantar Yasmin menuju halte bus. Dan setelah dua minggu, Yasmin akhirnya bisa berangkat sendiri ke halte. Berjalan dengan tongkatnya. Burhan menasehatinya agar mengandalkan indera pendengarannya, di manapun dia berada. Setelah dirasanya yakin bahwa Yasmin bisa pergi sendiri, dengan tenang Burhan pergi ke tempat dinas. Sementara Yasmin merasa bersyukur bahwa selama ini dia mempunyai suami yang begitu setia dan sabar membimbingnya. Memang tak mungkin bagi Burhan untuk terus selalu menemani setiap saat ke manapun dia pergi. Tak mungkin juga selalu diantar ke tempatnya belajar, sebab Burhan juga punya pekerjaan yang harus dilakoni. Dan dia adalah wanita yang dulu, sebelum buta, tak pernah menyerah pada tantangan dan wanita yang tak bisa diam saja. Kini dia harus menjadi Yasmin yang dulu, yang tegar dan menyukai tantangan dan suka bekerja dan belajar. Hari-hari pun berlalu. Dan sudah beberapa minggu Yasmin menjalani rutinitasnya belajar, dengan mengendarai bus kota sendirian. Suatu hari, ketika dia hendak turun dari bus, sopir bus berkata, "saya sungguh iri padamu". Yasmin tidak yakin, kalau sopir itu bicara padanya. "Anda bicara pada saya?" "Ya", jawab sopir bus. "Saya benar-benar iri padamu". Yasmin kebingungan, heran dan tak habis berpikir, bagaimana bisa di dunia ini, seorang buta, wanita buta, yang berjalan terseok-seok dengan tongkatnya hanya sekedar mencari keberanian mengisi sisa hidupnya, membuat orang lain merasa iri?

55

"Apa maksud anda?" Yasmin bertanya penuh keheranan pada sopir itu. "Kamu tahu," jawab sopir bus, "Setiap pagi, sejak beberapa minggu ini, seorang lelaki muda dengan seragam militer selalu berdiri di sebrang jalan. Dia memperhatikanmu dengan harap-harap cemas ketika kamu menuruni tangga bus. Dan ketika kamu menyebrang jalan, dia perhatikan langkahmu dan bibirnya tersenyum puas begitu kamu telah melewati jalan itu. Begitu kamu masuk gedung sekolahmu, dia meniupkan ciumannya padamu, memberimu salut, dan pergi dari situ. Kamu sungguh wanita beruntung, ada yang memperhatikan dan melindungimu". Air mata bahagia mengalir di pipi Yasmin. Walaupun dia tidak melihat orang tersebut, dia yakin dan merasakan kehadiran Burhan di sana. Dia merasa begitu beruntung, sangat beruntung, bahwa Burhan telah memberinya sesuatu yang lebih berharga dari penglihatan. Sebuah pemberian yang tak perlu untuk dilihat; kasih sayang yang membawa cahaya, ketika dia berada dalam kegelapan. Kita ibarat orang buta yang diperintahkan bekerja dan berusaha Kita adalah orang buta yang diberi semangat untuk terus hidup dan bekerja Kita tak bisa melihat Tuhan dan malaikat Tapi Dia terus membimbing Dia memompa semangat kita Cemas dan khawatir dengan langkah kita Dan tersenyum puas Melihat kita berhasil melewati ujian-NYA

ADIKU ANNISA Saya ingin bercerita mengenai kisah adik saya, Nur Annisa, seorang gadis yang baru menginjak dewasa tetapi agak kasar dan suka berkelakuan seperti lelaki. Ketika usianya mencecah 17 tahun, perkembangan tingkah lakunya benar-benar membimbangkan ibu. Dia sering membawa teman-teman lelakinya pulang ke rumah. Situasi ini menyebabkan ibu tidak senang tambahan pula ibu merupakan guru Al-Quran. Bagi mengelakkan pergaulan yang terlalu bebas, ibu telah meminta adik memakai tudung. Permintaan ibu itu ditolaknya sehingga seringkali berlaku pertengkaran-pertengkaran kecil antara mereka. Pernah pada suatu masa, adik berkata dengan suara yang agak keras, "Coba mama lihat, tetangga-tetangga kita pun ada yang anaknya pakai jilbab, tapi perangainya sama seperti orang yang tak pakai jilbab. Sampai kawan-kawan ani dekat sekolah, yang pakai jilbab pun selalu pergi-pergian dengan om-om, pegang-pegang tangan. Ani ni, walaupun tak pakai jilbab, tak pernah berbuat kayak gituan!" Ibu hanya mampu mengelus dada mendengar kata-kata adik. Kadang kala saya terlihat ibu menangis di akhir malam. Dalam qiamullailnya. Terdengar lirih doanya "Ya Allah, kenalkan ani dengan hukum-hakam-Mu". Pada satu hari ada tetangga yang baru pindah berdekatan dengan rumah kami. Sebuah keluarga yang mempunyai enam orang anak yang masih kecil. Suaminya bernama Abu khoiri,(nama sebenarnya siapa, tak dapat dipastikan). Saya mengenalinya sewaktu di masjid. Setelah beberapa lama mereka tinggal berhampiran rumah kami, timbul desas desus mengenai isteri Abu Khoiri yang tidak pernah keluar rumah, hingga ada yang menggelarnya si buta, bisu dan tuli. Hal ini telah sampai ke pengetahuan adikku. Dia bertanya kepada saya, "Abang, betul kah orang yang baru pindah itu, isterinya buta, bisu dan tuli?" Lalu saya menjawab sambil cuek, "Kalau mau tahu, pergi aja ke rumahnya, tanya sendiri" Eh bener tuh adik mengambil serius kata-kata saya dan benar-benar pergi ke rumah Abu Khoiri. Sekembalinya dari rumah mereka, saya melihat perubahan yang benar-benar drastis berlaku pada wajah ani. Wajahnya yang tak pernah muram atau lesu menjadi pucat lesu, entah apa yang telah berlaku? Namun, selang dua hari kemudian, dia minta ibu buatkan jilbab. Jilbab yang jatuh ke bawah. Adikku pakai baju panjang. Lengan panjang pula tuh. Saya sendiri jadi bingung. Bingung campur syukur kepada Allah SWT kerana saya melihat perubahan yang ajaib. Ya, saya katakan ajaib kerana dia berubah seratus persen! Tiada lagi anak-anak muda atau teman-teman wanitanya yang datang ke rumah hanya untuk bercakap perkaraperkara yang tidak tentu arah. Saya lihat, dia banyak merenung, banyak baca majalah Islam (biasanya dia suka beli majalah hiburan), dan saya lihat ibadahnya pun melebihi saya sendiri. Tak ketinggalan tahajudnya, baca Qur'annya, solat sunat nya, dan yang lebih menakjubkan lagi, bila kawan-kawan saya datang, dia menundukkan pandangan. Subhanallah. Segala puji bagi Engkau wahai Allah, jerit hati saya.

56

Tidak lama kemudian, saya mendapat panggilan untuk bekerja di kalimantan, kerja di satu perusahaan minyak CALTEX. Dua bulan saya bekerja di sana, saya mendapat khabar bahawa adik sakit tenat hingga ibu memanggil saya pulang ke rumah (rumah saya di Madiun). Dalam perjalanan, saya tak henti-henti berdoa kepada Allah SWT agar adikku ani di beri kesembuhan, hanya itu yang mampu saya usahakan. Ketika saya sampai di rumah, di depan pintu sudah banyak orang, hati berdebar-debar, tak dapat ditahan. saya berlari masuk ke dalam rumah, saya lihat ibu menangis. Saya segera menghampiri ibu lantas memeluknya. Dalam isak tangisnya ibu memberitahu, "Dhi, adik bisa mengucapkan kalimat Syahadah diakhir hidupnya." Air mata ini tak dapat ditahan lagi. Setelah selesai upacara pengkebumian dan lain-lainnya, saya masuk ke bilik adikku. Saya lihat di atas mejanya terletak sebuah diari. Diari yang selalu adik tulis. Diari tempat adikku menghabiskan waktunya sebelum tidur semasa hayatnya. Kemudian diari itu saya buka sehelai demi sehelai, hingga sampai pada satu halaman yang menguak misteri dan pertanyaan yang selalu timbul di hati ini. Perubahan yang terjadi ketika adik baru pulang dari rumah Abu khoiri. Di situ tertera tanya jawab antara adik dan isteri tetangga kami itu. Butirannya seperti ini: Soal jawab (saya lihat di lembaran itu terdapat banyak bekas tetesan air mata). Annisa : (Aku heran, wajah wanita ini cerah dan bersinar seperti bidadari) Ibu, wajah ibu sangat muda dan cantik. Isteri tetanggaku : Alhamdulillah, sesungguhnya kecantikan itu datang dari lubuk hati. Annisa : Tapi ibu kan sudah punya anak enam. Tapi masih kelihatan cantik. Isteri tetanggaku : Subhanallah..sesungguhnya keindahan itu milik Allah SWT. Dan bila Allah SWT berkehendak, siapakah yang bisa menolaknya? Annisa : Ibu, selama ini ibu saya selalu menyuruh saya memakai jilbab, tapi saya selalu menolak kerana saya rasa tak ada masalah kalau saya tak pakai jilbab, asalkan saya berkelakuan baik. Saya lihat, banyak wanita yang pakai jilbab tapi kelakuannya melebihi kami yang tak pakai, sampai saya tak pernah rasa ingin pakai jilbab. Pendapat ibu bagaimana? Isteri tetanggaku: Annisa, sesungguhnya Allah SWT menjadikan seluruh tubuh wanita ini perhiasan dari ujung rambut hingga ujung kaki, segala sesuatu dari tubuh kita yang terlihat oleh bukan muhrim kita semuanya akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT nanti, jilbab adalah perlindungan untuk wanita. Annisa : Tapi yang saya lihat, banyak wanita berjilbab yang kelakuannya tak baik. Isteri tetanggaku: Jilbab hanyalah kain, tapi hakikat atau makna di sebalik jilbab itu sendiri yang harus kita pahami. Annisa : Apakah hakikat jilbab?

Isteri tetanggaku : Hakikat jilbab adalah perlindungan zahir batin, lindungi mata kamu dari memandang lelaki yang bukan muhrim kamu, lindungi lidah kamu dari mengumpat orang dan bercakap perkara yang sia sia. Senantiasalah lazimi lidah dengan zikir kepada Allah SWT, lindungi telinga kamu dari mendengar perkara yang mengundang mudharat baik untuk dirimu maupun masyarakat, lindungi hidungmu dari mencium segala yang berbau busuk, lindungi tangan-tangan kamu dari berbuat sesuatu yang tidak senonoh, lindungi kaki kamu dari melangkah menuju maksiat, lindungi fikiran kamu dari berfikir perkara yang mengundang syaitan untuk memperdayai nafsu kamu, lindungi hati kamu dari sesuatu selain Allah SWT, bila kamu sudah bisa, maka jilbab yang kamu pakai akan menyinari hati kamu. Itulah hakikat jilbab. Annisa : Ibu, sekarang saya sudah jelas tentang arti jilbab, mudah mudahan saya mampu pakai jilbab. Tapi, bagaimana saya mau melakukannya? Isteri tetanggaku: Duhai Nisa, bila kamu memakai jilbab, itulah karunia dan rahmat yang datang dari Allah SWT yang Maha Pemberi Rahmat, bila kamu mensyukuri rahmat itu, kamu akan diberi kekuatan untuk melaksanakan amalan-amalan 'jilbab' hingga mencapai kesempurnaan yang diinginkan Allah SWT. Duhai Nisa, ingatlah akan satu hari dimana seluruh manusia akan dibangkitkan. Ketika ditiup sangkakala yang kedua, pada saat rohroh manusia seperti anai-anai yang bertebaran dan dikumpulkan dalam satu padang yang tiada batas, yang tanahnya dari logam yang panas, tiada rumput maupun tumbuhan, ketika matahari didekatkan di atas kepala kita namun keadaan gelap gelita, ketika seluruh manusia ketakutan, ketika ibu tidak mempedulikan anaknya, anak tidak mempedulikan ibunya, sanak-saudara tidak kenal satu sama lain lagi, antara satu sama lain bisa menjadi musuh lantaran satu kebaikan lebih berharga dari segala sesuatu yang ada di alam ini, ketika manusia berbaris dengan barisan yang panjang dan masing masing hanya mempedulikan nasib dirinya, dan pada saat itu ada yang berpeluh kerana rasa takut yang luar biasa hingga tenggelam dirinya akibat peluh yang banyak, dan bermacam macam rupa-rupa bentuk manusia yang tergantung amalannya, ada yang melihat ketika hidupnya namun buta ketika dibangkitkan, ada yang berbentuk seperti hewan, ada yang berbentuk seperti syaitan, semuanya menangis, menangis kerana hari itu Allah SWT murka. Belum pernah Allah SWT murka sebelum dan sesudah hari itu. Hingga ribuan tahun manusia dibiarkan Allah SWT dipadang mahsyar yang panas membara hinggalah sampai ke Timbangan Mizan. Hari itulah dipanggil hari Hisab. Duhai Annisa, bila kita tidak berusaha untuk beramal pada hari ini, entah dengan apa nanti kita akan menjawab bila kita di tanya oleh Yang Maha Perkasa, Yang Maha Besar, Yang Maha Kuat, Yang Maha Agung. . . . . Allah SWT. Sampai di sini saja kisah itu saya baca karena di sini tulisannya terhenti dan saya lihat banyak tetesan ai mata yang jatuh dari pelupuk matanya. SubhanAllah Saya buka halaman berikutnya dan saya lihat tertera tulisan kecil dibawah tulisan itu "buta, tuli dan bisu. Wanita yang tidak pernah melihat lelaki selain muhrimnya, wanita yang tidak pernah mau mendengar perkara yang dapat mengundang murka Allah SWT, wanita tidak pernah berbicara ghibah dan segala sesuatu yang mengundang dosa dan sia sia" Tak tahan airmata ini pun jatuh. Semoga Allah SWT menerima adikku disisinya. Amin.

57

BAPAK INI SUATU AIB Aku biasa begadang sampai pagi bersama teman-temanku untuk beramain-main dan bersenda gurau. Aku tinggalkan isteriku dalam kesendirian dan kesusahannya yang hanya Allah yang mengetahuinya. Isteriku yang setia tak mampu lagi menasehatiku yang sudah tak mempan lagi diberi nasehat. Pada suatu malam, aku baru pulang dari begadang, jarum jam menunjukkan pukul 03.00 pagi, aku lihat isteri dan puteri kecilku terlelap tidur. Lalu aku masuk ke kamar sebelah untuk menghabiskan sisa-sisa malam dengan melihat film-film porno melalui video, waktu itu, waktu dimana Allah azza wajalla turun dan berkata: "Adakah orang yang berdoa sehingga aku mengabulkannya? Adakah orang yang meminta ampun sehingga aku mengampuninya? Adakah orang yang meminta kepadaku sehingga aku memberinya". Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan kulihat puteriku yang belum genap berusia 5 tahun. Dia melihatku dan berkata: "Bapak, ini suatu aib bagimu! Takutlah kepada Allah", dan mengulanginya tiga kali kemudian menutup pintu dan pergi. Aku terkejut lalu aku matikan video. Aku duduk termenung dan kata-katanya terngiangngiang ditelingaku dan hampir membinasakanku, lalu aku keluar mengikutinya tapi dia sudah kembali lagi ketempat tidurnya. Aku seperti gila, tidak tahu apa yang baru saja menimpaku waktu itu. Tak lama kemudian terdengar suara adzan dari masjid dekat rumah yang memecah kegelapan malam, menyeru untuk shalat subuh. Aku berwudlu lalu pergi kemasjid. Aku tidak bersemangat untuk shalat, hanya saja karena kata-kata puteriku membuatku gelisah. Shalat dimulai, imam bertakbir dan membaca beberapa ayat Al-Qur'an. Ketika dia bersujud, akupun bersujud dibelakangnya dan meletakkan dahiku di atas tanah sampai aku menangis keras tanpa kuketahui sebabnya. Inilah sujud pertama kali kulakukan kepada Allah azza wajalla sejak tujuh tahun yang lalu. Tangisan itu adalah pembuka kebaikan bagiku, tangisan itu telah mengeluarkan apa yang ada dalam hatiku berupa kekafiran, kemunafikan dan kerusakan. Aku merasakan butirbutir keimanan mulai meresap kedalam jiwaku. Setelah shalat aku pergi bekerja. Ketika bertemu dengan temanku, dia heran melihatku datang cepat padahal biasanya selalu terlambat akibat begadang sepanjang malam. Ketika dia menanyakan penyebabnya, aku menceritakan apa yang kualami tadi malam. Kemudian dia berkata: "Bersyukurlah kepada Allah yang telah menggerakkan anak kecil itu sehingga menyadarkanmu dari kelalaianmu sebelum datang kematianmu." Setelah tiba waktu dzuhur, aku merasa cukup lelah karena belum tidur sejak malam. Lalu aku minta kepada temanku untuk menggantikan tugasku, dan aku pulang ke rumah untuk beristirahat. Aku ingin cepat-cepat melihat puteriku yang menjadi sebab hidayahku dan kembaliku kepada Allah.

Aku masuk kerumah dan disambut oleh isteriku sambil menangis, lalu aku bertanya, "Ada apa denganmu, isteriku?", jawaban yang keluar darinya laksana halilintar. "Puterimu telah meninggal dunia". Aku tak bisa mengendalikan diri dan menangis. Setelah jiwaku tenang, aku sadar bahwa apa yang menimpaku semata-mata ujian dari Allah azza wajalla untuk menguji imanku. Aku bersyukur kepada Allah azza wajalla. Aku mengangkat gagang dan menghubungi temanku. Aku memintanya datang untuk membantuku. Temanku datang dan membawa puteriku, memandikannya dan mengafaninya lalu kami menshalatkannya dan membawanya kepemakaman, temanku berkata: "Tidak ada yang pantas memasukkannya ke liang kubur kecuali engkau", lalu aku mengangkatnya dengan berlinang air mata dan meletakkannya di liang kubur. Aku tidak mengubur puteriku, tapi mengubur cahaya yang telah menerangi jalan hidupku. Aku bermohon kepada Allah SWT agar menjadikannya penghalang bagiku dari api neraka dan memberi balasan kebaikan kepada isteriku yang penyabar.

58

HADIAH CINTA SEORANG IBU "Bisa saya melihat bayi saya?" pinta seorang ibu yang baru melahirkan penuh kebahagiaan. Ketika gendongan itu berpindah ke tangannya dan ia membuka selimut yang membungkus wajah bayi lelaki yang mungil itu, ibu itu menahan nafasnya. Dokter yang menungguinya segera berbalik memandang ke arah luar jendela rumah sakit. Bayi itu dilahirkan tanpa kedua belah telinga! Waktu membuktikan bahwa pendengaran bayi yang kini telah tumbuh menjadi seorang anak itu bekerja dengan sempurna. Hanya penampilannya saja yang tampak aneh dan buruk. Suatu hari anak lelaki itu bergegas pulang ke rumah dan membenamkan wajahnya di pelukan sang ibu yang menangis. Ia tahu hidup anak lelakinya penuh dengan kekecewaan dan tragedi. Anak lelaki itu terisak-isak berkata, "Seorang anak laki-laki besar mengejekku. Katanya, aku ini makhluk aneh." Anak lelaki itu tumbuh dewasa. Ia cukup tampan dengan cacatnya. Ia pun disukai temanteman sekolahnya. Ia juga mengembangkan bakatnya di bidang musik dan menulis. Ia ingin sekali menjadi ketua kelas. Ibunya mengingatkan, "Bukankah nantinya kau akan bergaul dengan remaja-remaja lain?" Namun dalam hati ibu merasa kasihan dengannya. Suatu hari ayah anak lelaki itu bertemu dengan seorang dokter yang bisa mencangkokkan telinga untuknya. "Saya percaya saya bisa memindahkan sepasang telinga untuknya. Tetapi harus ada seseorang yang bersedia mendonorkan telinganya," kata dokter. Kemudian, orangtua anak lelaki itu mulai mencari siapa yang mau mengorbankan telinga dan mendonorkannya pada mereka. Beberapa bulan sudah berlalu. Dan tibalah saatnya mereka memanggil anak lelakinya, "Nak, seseorang yang tak ingin dikenal telah bersedia mendonorkan telinganya padamu. Kami harus segera mengirimmu ke rumah sakit untuk dilakukan operasi. Namun, semua ini sangatlah rahasia," kata sang ayah. Operasi berjalan dengan sukses. Seorang lelaki baru pun lahirlah. Bakat musiknya yang hebat itu berubah menjadi kejeniusan. Ia pun menerima banyak penghargaan dari sekolahnya. Beberapa waktu kemudian ia pun menikah dan bekerja sebagai seorang diplomat. Ia menemui ayahnya, "Yah, aku harus mengetahui siapa yang telah bersedia mengorbankan ini semua padaku. Ia telah berbuat sesuatu yang besar namun aku sama sekali belum membalas kebaikannya." Ayahnya menjawab, "Ayah yakin kau takkan bisa membalas kebaikan hati orang yang telah memberikan telinga itu." Setelah terdiam sesaat ayahnya melanjutkan, "Sesuai dengan perjanjian, belum saatnya bagimu untuk mengetahui semua rahasia ini." Tahun berganti tahun. Kedua orangtua lelaki itu tetap menyimpan rahasia. Hingga suatu hari tibalah saat yang menyedihkan bagi keluarga itu. Di hari itu ayah dan anak lelaki itu

berdiri di tepi peti jenazah ibunya yang baru saja meninggal. Dengan perlahan dan lembut, sang ayah membelai rambut jenazah ibu yang terbujur kaku itu, lalu menyibaknya sehingga tampaklah.... bahwa sang ibu tidak memiliki telinga. "Ibumu pernah berkata bahwa ia senang sekali bisa memanjangkan rambutnya," bisik sang ayah. 'Dan tak seorang pun menyadari bahwa ia telah kehilangan sedikit kecantikannya bukan?' Kecantikan yang sejati tidak terletak pada penampilan tubuh namun di dalam hati. Harta karun yang hakiki tidak terletak pada apa yang bisa terlihat, namun pada apa yang tidak dapat terlihat. Cinta yang sejati tidak terletak pada apa yang telah dikerjakan dan diketahui, namun pada apa yang telah dikerjakan namun tidak diketahui.

59

JANGAN BENCI AKU MAMA *SEBUAH KISAH IRONIS DI IRLANDIA UTARA YANG TELAH DITERJEMAHKAN KE DALAM BAHASA INDONESIA SEBAGAI BAHAN RENUNGAN BAGI WANITA KHUSUSNYA BAGI WANITA KARIR YANG SERING MENINGGALKAN ANAK-ANAKNYA. Oh, Tuhan, ijinkan aku menceritakan hal ini..., sebelum ajal menjemputku... 20 tahun yang lalu saya melahirkan seorang anak laki-laki, wajahnya lumayan tampan namun terlihat agak bodoh... Sam, suamiku, memberinya nama Eric. Semakin lama semakin nampak jelas bahwa anak ini memang agak terbelakang. Saya berniat memberikannya kepada orang lain saja untuk dijadikan budak atau pelayan. Namun Sam mencegah niat buruk itu. Akhirnya terpaksa saya membesarkannya juga. Ditahun kedua setelah Eric dilahirkan sayapun melahirkan kembali seorang anak perempuan yang cantik mungil. Saya menamainya Angelica. Saya sangat menyayangi Angelica, demikian juga Sam. Seringkali kami mengajaknya pergi ke taman hiburan dan membelikannya pakaian anak-anak yang indah-indah... Namun tidak demikian halnya dengan Eric. Ia hanya memiliki beberapa stel pakaian butut. Sam berniat membelikannya, namun saya selalu melarangnya dengan dalih penghematan uang keluarga. Sam selalu menuruti perkataan saya. Saat usia Angelica 2 tahun Sam meninggal dunia. Eric sudah berumur 4 tahun kala itu. Keluarga kami menjadi semakin miskin dengan hutang yang semakin menumpuk. Akhirnya saya mengambil tindakan yang akan membuat saya menyesal seumur hidup. Saya pergi meninggalkan kampung kelahiran saya beserta Angelica, Eric yang sedang tertidur lelap saya tinggalkan begitu saja. Kemudian saya tinggal di sebuah gubuk setelah rumah kami laku terjual untuk membayar hutang. Setahun..., 2 tahun..., 5 tahun..., 10 tahun... telah berlalu sejak kejadian itu. Saya telah menikah kembali dengan Brad, seorang pria dewasa. Usia Pernikahan kami telah menginjak tahun kelima. Berkat Brad, sifat-sifat buruk saya yang semula pemarah, egois, dan tinggi hati, berubah sedikit demi sedikit menjadi lebih sabar dan penyayang. Angelica telah berumur 12 tahun dan kami menyekolahkan dia di asrama putri sekolah perawatan. Tidak ada lagi yang ingat tentang Eric dan tidak ada lagi yang mengingatnya. Sampai suatu malam... Malam dimana saya bermimpi tentang seorang anak... Wajahnya agak tampan namun tampak pucat sekali... Ia melihat ke arah saya. Sambil tersenyum ia berkata, "Tante, Tante kenal mama saya? Saya lindu cekali pada mommy!" Setelah berkata demikian ia mulai beranjak pergi, namun saya menahannya, "Tunggu..., sepertinya saya mengenalmu. Siapa namamu anak manis?" "Nama saya Elic, Tante." "Eric...? Eric... Ya Tuhan! Kau benar-benar Eric???" Saya langsung tersentak dan bangun. Rasa bersalah, sesal dan berbagai perasaan aneh lainnya menerpa diri saya saat itu juga. Tiba-tiba terlintas kembali kisah ironis yang terjadi dulu seperti sebuah film yang diputar dikepala saya. Baru sekarang saya menyadari betapa jahatnya perbuatan saya dulu. Rasanya seperti mau mati saja saat itu. Ya, saya harus mati..., mati..., mati... Ketika

tinggal se-inchi jarak pisau yang akan saya goreskan ke pergelangan tangan, tiba-tiba bayangan Eric melintas kembali di pikiran saya. Ya Eric, mommy akan menjemputmu Eric... Sore itu saya memarkir mobil Civic biru saya disamping sebuah gubuk, dan Brad dengan pandangan heran menatap saya dari samping. "Mary, apa yang sebenarnya terjadi?" "Oh, Brad, kau pasti akan membenciku setelah saya menceritakan hal yang telah saya lakukan dulu," tapi aku akan menceritakannya juga dengan terisak-isak... Ternyata Tuhan sungguh baik kepada saya. Ia telah memberikan suami yang begitu baik dan penuh pengertian. Setelah tangis saya reda, saya keluar dari mobil diikuti oleh Brad dari belakang. Mata saya menatap lekat pada gubuk yang terbentang dua meter dari hadapan saya. Saya mulai teringat betapa gubuk itu pernah saya tinggali beberapa bulan lamanya dan Eric... Eric... Saya meninggalkan Eric di sana 10 tahun yang lalu. Dengan perasaan sedih saya berlari menghampiri gubuk tersebut dan membuka pintu yang terbuat dari bambu itu... Gelap sekali... Tidak terlihat sesuatu apapun juga! Perlahan mata saya mulai terbiasa dengan kegelapan dalam ruangan kecil itu. Namun saya tidak menemukan siapapun juga di dalamnya. Hanya ada sepotong kain butut tergeletak di lantai tanah. Saya mengambil seraya mengamatinya dengan seksama... Mata mulai berkaca-kaca, saya mengenali potongan kain tersebut sebagai bekas baju butut yang dulu dikenakan Eric sehariharinya... Beberapa saat kemudian, dengan perasaan yang sulit dilukiskan, sayapun keluar dari ruangan itu... Air mata saya mengalir dengan deras. Saat itu saya hanya diam saja. Sesaat kemudian saya dan Brad mulai menaiki mobil untuk meninggalkan tempat tersebut. Namun, saya melihat seseorang di belakang mobil kami. Saya sempat kaget sebab suasana saat itu gelap sekali. Kemudian terlihatlah wajah orang itu yang demikian kotor. Ternyata ia seorang wanita tua. Kembali saya tersentak kaget manakala ia tiba-tiba menegur saya dengan suaranya yang parau, "Heii...! Siapa kamu?! Mau apa kau kemari?!" Dengan memberanikan diri, sayapun bertanya, "Ibu, apa ibu kenal dengan seorang anak bernama Eric yang dulu tinggal di sini?" Ia menjawab, "Kalau kamu ibunya, kamu sungguh perempuan terkutuk!! Tahukah kamu, 10 tahun yang lalu sejak kamu meninggalkannya di sini, Eric terus menunggu ibunya dan memanggil, 'Mommy..., mommy!' Karena tidak tega, saya terkadang memberinya makan dan mengajaknya tinggal bersama saya. Walaupun saya orang miskin dan hanya bekerja sebagai pemulung sampah, namun saya tidak akan meninggalkan anak saya seperti itu! Tiga bulan yang lalu Eric meninggalkan secarik kertas ini. Ia belajar menulis setiap hari selama bertahun-tahun hanya untuk menulis ini untukmu..." Sayapun membaca tulisan di kertas itu... "Mommy, mengapa Mommy tidak pernah kembali lagi...? Mommy marah sama Eric, ya? Mom, biarlah Eric yang pergi saja, tapi Mommy harus berjanji kalau Mommy tidak akan marah lagi sama Eric. Bye, Mom..." Saya menjerit histeris membaca surat itu. "Bu, tolong katakan...Katakan di mana ia sekarang? Saya berjanji akan meyayanginya sekarang! Saya tidak akan meninggalkannya lagi, Bu! Tolong katakan...!!!" Brad memeluk tubuh saya yang bergetar keras.

60

"Nyonya, semua sudah terlambat (dengan nada lembut). Sehari sebelum nyonya datang, Eric telah meninggal dunia. Ia meninggal di belakang gubuk ini. Tubuhnya sangat kurus, ia sangat lemah. Hanya demi menunggumu ia rela bertahan di belakang gubuk ini tanpa ia berani masuk ke dalamnya. Ia takut apabila Mommy-nya datang, Mommy-nya akan pergi lagi bila melihatnya ada di dalam sana... Ia hanya berharap dapat melihat Mommynya dari belakang gubuk ini... Meskipun hujan deras, dengan kondisinya yang lemah ia terus bersikeras menunggu Nyonya di sana. Nyonya, dosa anda tidak terampuni!" Saya kemudian pingsan dan tidak ingat apa-apa lagi.

Doa Dan Kesombongan Sebuah kapal karam di tengah laut karena terjangan badai dan ombak hebat. Hanya dua orang lelaki yang bisa menyelamatkan diri dan berenang ke sebuah pulau kecil yang gersang. Dua orang yang selamat itu tak tahu apa yang harus dilakukan. Namun, mereka berdua yakin bahwa tidak ada yang dapat dilakukan kecuali berdoa kepada Tuhan. Untuk mengetahui doa siapakah yang paling dikabulkan, mereka sepakat untuk membagi pulau kecil itu menjadi dua wilayah. Dan mereka tinggal sendiri-sendiri berseberangan di sisi-sisi pulau tersebut. Doa pertama yang dipanjatkan adalah memohon agar diturunkan makanan. Esok harinya, lelaki ke satu melihat sebuah pohon penuh dengan buah-buahan tumbuh di sisi tempat tinggalnya. Sedangkan di daerah tempat tinggal lelaki yang lainnya tetap kosong. Seminggu kemudian, lelaki yang ke satu merasa kesepian dan memutuskan untuk berdoa agar diberikan seorang istri. Keesokan harinya, ada kapal yang karam dan satu-satunya penumpang yang selamat adalah seorang wanita yang berenang dan terdampar di sisi tempat lelaki ke satu itu tinggal. Sedangkan di sisi tempat tinggal lelaki ke dua tetap saja tidak ada apa-apanya. Segera saja, lelaki ke satu ini berdoa memohon rumah, pakaian, dan makanan. Keesokan harinya, seperti keajaiban saja, semua yang diminta hadir untuknya. Sedangkan lelaki yang kedua tetap saja tidak mendapatkan apa-apa. Akhirnya, lelaki ke satu ini berdoa meminta kapal agar ia dan istrinya dapat meninggalkan pulau itu. Pagi harinya mereka menemukan sebuah kapal tertambat di sisi pantainya. Segera saja lelaki ke satu dan istrinya naik ke atas kapal dan siap-siap untuk berlayar meninggalkan pulau itu. Ia pun memutuskan untuk meninggalkan lelaki ke dua yang tinggal di sisi lain pulau. Menurutnya, memang lelaki kedua itu tidak pantas menerima pemberian Tuhan karena doa-doanya tak terkabulkan. Begitu kapal siap berangkat, lelaki ke satu ini mendengar suara dari langit menggema, "Hai, mengapa engkau meninggalkan rekanmu yang ada di sisi lain pulau ini?" "Berkahku hanyalah milikku sendiri, karena hanya doakulah yang dikabulkan," jawab lelaki ke satu ini. "Doa lelaki temanku itu tak satupun dikabulkan. Maka, ia tak pantas mendapatkan apaapa." "Kau salah!" suara itu membentak membahana. "Tahukah kau bahwa rekanmu itu hanya memiliki satu doa. terkabulkan. Bila tidak, maka kau takkan mendapatkan apa-apa." "Katakan padaku," tanya lelaki ke satu itu. "Doa macam apa yang ia panjatkan sehingga aku harus merasa berhutang atas semua ini padanya?" "Ia berdoa agar semua doamu dikabulkan!" Dan, semua doanya

61

Garam dan Telaga Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu pagi, datanglah seorang anak muda yang sedang dirundung banyak masalah. Langkahnya gontai dan air muka yang ruwet. Tamu itu, memang tampak seperti orang yang tak bahagia. Tanpa membuang waktu, orang itu menceritakan semua masalahnya. Pak Tua yang bijak, hanya mendengarkannya dengan seksama. Ia lalu mengambil segenggam garam, dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu kedalam gelas, lalu diaduknya perlahan. "Coba, minum ini, dan katakan bagaimana rasanya..", ujar Pak tua itu. "Pahit..Pahit sekali", jawab sang tamu, sambil meludah kesamping. Pak Tua itu, sedikit tersenyum. Ia, lalu mengajak tamunya ini, untuk berjalan ke tepi telaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga yang tenang itu. Pak Tua itu, lalu kembali menaburkan segenggam garam, Ke dalam telaga itu. Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang mengaduk-aduk dan tercipta riak air, mengusik ketenangan telaga itu. "Coba, ambil air dari telaga ini, dan minumlah. Saat tamu itu selesai mereguk air itu, Pak Tua berkata lagi, "Bagaimana rasanya?". "Segar.", sahut tamunya. "Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?", tanya Pak Tua lagi. "Tidak", jawab si anak muda. Dengan bijak, Pak Tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu. "Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya Segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama. "Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu, akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu." Pak Tua itu lalu kembali memberikan nasehat. "Hatimu, adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah Laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan." Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka sama-sama belajar hari itu. Dan Pak Tua, si orang bijak itu, kembali menyimpan "segenggam garam", untuk anakmuda yang lain, yang sering datang padanya membawa keresahan jiwa.

LAMPU MERAH Dari kejauhan, lampu lalu-lintas di perempatan itu masih menyala hijau. Jack segera menekan pedal gas kendaraannya. Ia tak mau terlambat. Kebetulan jalan di depannya agaklenggang. Lampu berganti kuning. Hati Jack berdebar berharap semoga ia bisa melewatinya segera. Tiga meter menjelang garis jalan, lampu merah menyala. Jack bimbang, haruskah ia berhenti atau terus saja. "Ah, aku tak punya kesempatan untuk menginjak rem mendadak," pikirnya sambil terus melaju. Prit! Di seberang jalan seorang polisi melambaikan tangan memintanya berhenti. Jack menepikan kendaraan agak menjauh sambil mengumpat dalam hati. Dari kaca spion ia melihat siapa polisi itu. Wajahnya tak terlalu asing. Hey, itu khan Bob, teman mainnya semasa SMA dulu. Hati Jack agak lega. Ia melompat keluar sambil membuka kedua lengannya. "Hai, Bob. Senang sekali ketemu kamu lagi!" "Hai, Jack." Tanpa senyum. "Duh, sepertinya saya kena tilang nih? Saya memang agak buru-buru. Istri saya sedang menunggu di rumah." "Oh ya?" Tampaknya Bob agak ragu. Nah, bagus kalau begitu. "Bob, hari ini istriku ulang tahun. Ia dan anak-anak sudah menyiapkan segala sesuatunya. Tentu aku tidak boleh terlambat, dong." "Saya mengerti. Tapi, sebenarnya kami sering Memperhatikanmu melintasi lampu merah di persimpangan ini." O-o, sepertinya tidak sesuai dengan harapan. Jack harus ganti strategi. "Jadi, kamu hendak menilangku? Sungguh, tadi aku tidak melewati lampu merah. Sewaktu aku lewat lampu kuning masih menyala." Aha, terkadang berdusta sedikit bisa memperlancar keadaan". "Ayo dong Jack. Kami melihatnya dengan jelas. Tolong keluarkan SIMmu." Dengan ketus Jack menyerahkan SIM lalu masuk ke dalam kendaraan dan menutup kaca jendelanya. Sementara Bob menulis sesuatu di buku tilangnya. Beberapa saat kemudian Bob mengetuk kaca jendela. Dibukanya kaca jendela itu sedikit. Tanpa berkata-kata Bob kembali ke posnya. Jack mengambil surat tilang yang diselipkan Bob di sela-sela kaca jendela. Tapi, hei apa ini. Ternyata SIMnya dikembalikan bersama sebuah nota. Kenapa ia tidak menilangku. Lalu nota ini apa? Semacam guyonan atau apa? Buru-buru Jack membuka dan membaca nota yang berisi tulisan tangan Bob. "Halo Jack, Tahukah kamu Jack, aku dulu mempunyai seorang anak perempuan. Sayang, Ia sudah meninggal tertabrak pengemudi yang ngebut menerobos lampu merah. Pengemudi itu dihukum penjara selama 3 bulan. Begitu Bebas ia bisa bertemu dan memeluk ketiga anaknya lagi. Sedangkan anak kami satu-satunya sudah tiada. Kami masih terus berusaha dan berharap agar Tuhan berkenan mengkaruniai seorang anak agar dapat kami peluk. Ribuan kali kami mencoba memaafkan pengemudi itu. Betapa sulitnya. Begitu juga kali ini. Maafkan aku Jack. Doakan agar permohonan kami terkabulkan. Berhati-hatilah. Bob" Jack terhenyak. Ia segera keluar dari kendaraan mencari Bob. Namun, Bob sudah meninggalkan pos jaganya entah kemana. Sepanjang jalan pulang ia mengemudi perlahan dengan hati tak tentu sambil berharap kesalahannya dimaafkan. Tak selamanya

62

pengertian kita harus sama dengan pengertian orang lain. Bisa Jadi suka kita tak lebih dari duka rekan kita. Hidup ini sangat berharga, jalanilah dengan penuh hati-hati

Keluarga Semut Pukul 22.30 WIB, huh ... lelahnya aku seharian menyelesaikan pekerjaan kantor yang tak habis-habisnya. Kurebahkan tubuhku di lantai depan televisi, sementara kubiarkan TV menyala untuk tetap menjaga agar aku tidak terlelap. Suhu yang sedikit panas memaksaku membuka kemeja dan membiarkan kulitku bersentuhan dengan sejuknya lantai. "aaauww ... brengsek!" gumamku Segera kutepis sesuatu yang menggigit lenganku hingga ia terjatuh di lantai, ternyata seekor semut hitam. "Kurang ajar! Apa ia tidak mengerti kepalaku begitu penat dan tubuhku ini seperti mau hancur? Apa ia juga tidak tahu kalau aku sedang beristirahat?" pikirku seraya kembali merebahkan tubuhku. Tapi, belum sampai seluruh tubuh ini jatuh menempel lantai, "addduuhhh!" Lagi-lagi semut kecil itu menggigitku. Kali ini punggungku yang digigitnya dan gigitannya pun lebih sakit. "heeeh, berani sekali makhluk kecil ini," gerutuku kesal. Ingin rasanya kulayangkan tapak tangan ini untuk membuatnya mati tak berkutik 'mejret' di lantai. Namun sebelum tanganku melayang, ia justru sudah mengacung-acungkan kepalan tangannya seperti menantangku bertinju. Kuturunkan kembali tanganku yang sudah berancang-ancang dengan jurus 'tepokan maut', kuurungkan niatku untuk menghajarnya karena kulihat mulutnya yang komat-kamit seolah mengatakan sesuatu kepadaku. Awalnya aku tidak mengerti apa yang diucapkannya, tapi lama kelamaan aku seperti memahami apa yang diucapkannya. "Hey makhluk besar, anda menghalangi jalan saya! Apa anda tidak lihat saya sedang membawa makanan ini untuk keluarga saya di rumah ..." Rupanya ia begitu marah karena aku menghambat perjalanannya, lebih-lebih sewaktu punggungku menindihnya sehingga ia harus terpaksa menggigitku. Akhirnya kupersilahkan ia melanjutkan perjalanannya setelah sebelumnya aku meminta maaf kepadanya. Susah payah ia membawa sisa-sisa roti bekas sarapanku pagi tadi yang belum sempat kubersihkan dari meja makan. Kadang oleng ke kanan kadang ke kiri, sesekali ia berhenti meletakkan barang bawaannya sekedar mengumpulkan tenaganya sembari membasuh peluhnya yang mulai membasahi tubuh hitamnya. Kuikuti terus kemana ia pergi. Ingin tahu aku di pojok mana ia tinggal dari bagian rumahku ini. Ingin kutawarkan bantuan untuk membantunya membawakan makanan itu ke rumahnya, tapi aku yakin ia pasti menolaknya. Berhentilah ia di sebuah sudut di samping lemari es sebelah dapur. Di depan sebuah lubang kecil yang menganga, ia letakkan bawaannya itu dan kulihat seolah ia sedang memanggil-manggil semut-semut di dalam lubang itu. Satu, dua, tiga .... empat dan .... lima semut-semut yang tubuhnya lebih kecil dari semut yang membawa makanan itu berlarian keluar rumah menyambut dengan sukaria makanan yang dibawa semut pertama itu. Dan, eh ... satu lagi semut yang besarnya sama dengan pembawa roti keluar dari lubang. Dengan senyumnya yang manis

63

ia mendekati si pembawa roti, menciumnya, memeluknya dan membasuh keringat yang sudah membasahi seluruh tubuh semut pembawa makanan itu. Hmmm ... menurutku, si pembawa roti itu adalah kepala keluarga dari semut-semut yang berada di dalam lubang tersebut. Kelima semut-semut yang lebih kecil adalah anakanaknya sementara satu semut lagi adalah istri si pembawa roti, itu terlihat dari perutnya yang agak buncit. "Mungkin ia sedang mengandung anak ke enamnya" pikirku. Semut suami yang sabar, ikhlas berjuang, gigih mencari nafkah dan penuh kasih sayang. Semut istri tawadhu' dan qonaah menerima apa adanya dengan penuh senyum setiap rizki yang dibawa oleh sang suami, juga ibu yang selalu memberikan pengertian dan mengajarkan anak-anak mereka dalam mensyukuri nikmat Tuhannya. Dan, anak-anak semut itu, subhanallah ... mereka begitu pandai berterima kasih dan menghargai pemberian ayah mereka meski sedikit. Sungguh suami yang dibanggakan, sungguh istri yang membanggakan dan sungguh anak-anak yang membuat ayah ibunya bangga. Astaghfirullah ..., tiba-tiba tubuhku menggigil, lemas seperti tiada daya dan brukkk .... aku tersungkur. Kuciumi jalan-jalan yang pernah dilalui semut-semut itu hingga menetes beberapa titik air mataku. Teringat semua di mataku ribuan wajah semut-semut yang pernah aku hajar 'mejret' hingga mati berkalang lantai ketika mereka mencuri makananku. Padahal, mereka hanya mengambil sisa-sisa makanan, padahal yang mereka ambil juga merupakan hak mereka atas rizki yang aku terima. Air mataku makin deras mengalir membasahi pipi, semakin terbayang tangisan-tangisan anak-anak dan istri semut-semut itu yang tengah menanti ayah dan suami mereka, namun yang mereka dapatkan bukan makanan melainkan justru seonggok jenazah. Ya, Allah ... keluarga semut itu telah mengajarkan kepadaku tentang perjuangan hidup, tentang kesabaran, tentang harga diri yang harus dipertahankan ketika terusik, tentang bagaimana mencintai keluarga dan dicintai mereka. Mereka ajari aku caranya mensyukuri nikmat Tuhan, tentang bagaimana perlunya ikhlas, sabar, tawadhu' dan qonaah dalam hidup. Hari-hari selanjutnya, ketika hendak merebahkan tubuh di lantai di bagian manapun rumahku aku selalu memperhatikan apakah aku menghambat dan menghalangi langkah atau jalan makhluk lainnya untuk mendapatkan rizki. Ingin rasanya aku hantarkan sepotong makanan setiap tiga kali sehari ke lubang-lubang tempat tinggal semut-semut itu. Tapi kupikir, lebih baik aku memberinya jalan atau bahkan mempermudahnya agar ia dapat memperoleh dengan keringatnya sendiri rizki tersebut, karena itu jauh lebih baik bagi mereka. Wallahu a'lam bishshowab Tit.. tiit I luv u

Tell Her Now that U love Her

Setiap pagi aku menerima SMS bernada seperti itu. Atau terkadang berupa gambar yang melambangkan cinta. Bukan siapa-siapa, karena wanita yang rajin tak pernah absen mengirimiku ungkapan cinta itu tak lain adalah istriku sendiri. Kemarin kuberitahu dia bahwa tindakannya itu memalukan, untuk sebuah keluarga yang sudah memiliki dua anak, tidak usahlah cinta-cinta-an seperti halnya orang pacaran atau pengantin baru. Tapi ia tidak menggubrisnya, bahkan ia semakin sering dengan menambah rutinitas itu pada setiap sorenya. Enam setengah bulan lalu, malah dia melakukan satu seremoni yang bagiku hanyalah buang-buang uang saja dan tak selayaknya ia melakukan itu. Malam itu sesampainya aku di rumah, kudapati rumahku hanya diterangi oleh lampu yang remang-remang. Rupanya istriku mengganti lampu ruangan makan kami, agar terkesan lebih romantis, katanya. Sementara dua anakku sudah terlelap menikmati mimpinya, kulihat beberapa batang lilin menyala diatas meja makan yang diatasnya sudah tersedia hidangan penuh selera yang menjadi kesukaanku. Dengan gaun malamnya, ia terlihat begitu cantik. Aku baru ingat, hari itu adalah ulang tahun ketiga pernikahan kami. Bahkan satu bulan sebelumnya, ia mengajakku keluar bersama anak-anak. Kami makan di sebuah restoran yang cukup bagus. Ia yang membayar semuanya, katanya. Pikirku, dari mana ia mendapatkan uang, toh ia tak bekerja. Akhirnya kuketahui itu uang yang ia sisihkan dari jatah bulanan yang kuberikan. Hanya saja bagiku, sekedar merayakan ulang tahunku tidak perlu repot-repot dan mahal seperti ini. Cukup dengan membeli makanan di pasar dan dimakan bersama-sama, selesai, yang penting kita bersyukur kepada-Nya bahwa kita masih diberikan kekuatan dan kesabaran dalam mengemban amanah-Nya sampai usia kita bertambah hari itu. Yang kuheran, malam sebelumnya tepat pukul 00.01 WIB ketika detik pertama pada tanggal kelahiranku, sebuah kecupan hangat mendarat di keningku. Kubuka perlahan mataku dan kudapatkan senyumannya yang manis. Malam itu ia menghadiahiku sebuah jam tangan yang didalam bungkus kadonya terdapat sebuah kartu ucapan bertuliskan: Take My Heart In Your Arm . O ya, sekedar memberitahu, handphone yang kupakai sekarang ini adalah handphone hadiah darinya pada saat ulangtahun pernikahanku enam setengah bulan yang lalu itu. Aku sempat menolaknya, karena handphone-ku sebelumnya juga masih bagus. Dengan sedikit senyum ia menghulurkan sebungkus kado cantik itu. Didalamnya, kutemukan kembali sebuah kartu bertuliskan sebuah pesan (harap) singkat: Keep In Touch, Please . Lucunya, aku lupa bertanya, bagaimana cara ia mendapatkan barang semahal itu. Ah mungkin karena aku sedang terkagum-kagum saja kepada istriku itu, yang membuat aku lupa. SMS terakhir yang aku terima pagi ini, masih sama isinya. Namun entah kenapa hari ini aku menitikkan air mata. Kuperhatikan kembali rangkaian kata-kata dalam pesan itu, padahal setiap hari aku membacanya. I-L-U-V-U kuperhatikan satu persatu huruf yang terangkai singkat itu, namun titik air dari mataku semakin bertambah. Aku jadi teringat

64

dengan handphone hadiah darinya, teringat dengan makan malam istimewa nan romantis saat ulang tahun pernikahanku enam setengah bulan yang lalu, jam tangan hadiah darinya saat ulangtahunku, semua perhatian, cinta dan kasih sayangnya kepadaku. Ooh Tiba-tiba mataku menatap lingkaran merah di satu tanggal pada kalender mejaku. Disitu tertulis, Ultah istriku. Ya Allah aku hampir saja melupakannya kalau besok adalah hari ulang tahunnya. Sementara hari sudah sore, aku bingung harus menyiapkan hadiah apa untuknya, padahal uangku sudah habis, tak mungkinlah jika aku meminta kepadanya untuk membeli hadiah untuknya, jelas nggak surprise. Akhirnya, aku nekat menelepon beberapa teman dan karibku, atau siapapun yang bisa kupinjam uangnya. Aku ingin memberinya sesuatu. Namun, apa daya, tak satupun dari mereka bisa meminjamkannya karena memang selain mendadak, bukan tanggal yang tepat bagi siapapun untuk meminjam uang di tanggal tua. Aku lemas, hari sudah terlalu malam bagiku untuk mengetuk pintu orang kesekian untuk kupinjami uangnya. Lagipula toko-toko mulai tutup, kalaupun aku mendapatkan uangnya, sudah terlambat untuk membeli sesuatu. Langkahku gontai, aku malu jika pulang tak membawa apa-apa. Aku menyesal, rupanya kesibukan dan sifat egoisku yang selama ini menutupi semua perhatian dan cinta yang diberikannya, hingga tak sekalipun aku membalasnya. Sambil berjalan, lalu terbetik sebuah ide kecil dibenakku Aku pulang, kudapati rumahku sudah sepi, istri dan kedua anakku sudah terlelap. Aku tak ingin membangunkan mereka. Belum juga mataku merapat karena masih membayangkan betapa menyesalnya aku yang telah mengabaikan perhatian dan kasih sayangnya selama ini, bahkan tak sepatah kata terima kasih pun aku ucapkan untuk semua cintanya itu. Satu jam kemudian, istriku terbangun untuk menunaikan sholat malamnya. Biasanya ia membangunkan aku (atau sebaliknya jika aku bangun terlebih dulu) untuk sholat bersama. Namun ia tak segera, karena kuyakin matanya langsung menatap setangkai bunga mawar merah yang kuletakkan disamping bantal tidurnya. Sementara aku masih berpura-pura terlelap, namun mataku sesekali menangkap senyuman di bibirnya ketika ia membaca kertas kecil yang kuikatkan ditangkai bunga itu, Maafkan abang dik, yang telah melupakan perhatian dan cinta adik. Bunga ini memang tidak akan mampu membalas semua yang telah adik berikan with luv Saudaraku, berapapun usia pernikahan anda, tetaplah perbaharui cinta berdua dengan senantiasa memberikan perhatian dan kasih sayang. Sehingga kelak, cita-cita berdua sampai di surga-Nya bukanlah sekedar impian. Dengan cinta dan perhatian yang tulus kepada pasangan anda, segala cobaan, ujian seberat apapun akan mampu diatasi bersama, selamanya, tanpa harus berakhir dengan tangis dan penyesalan. Sehingga juga dengan itu, waktu yang anda punya tak habis terpakai untuk menyelesaikan semua persoalan, dan anda bisa lebih memfokuskan harap dan doa semoga Allah tersenyum juga mencurahkan cinta-Nya karena kasih dan sayang setiap hamba kepada pasangannya.

"Nilai sebuah Status" "Huuu..uuura!" Teriakan gembira dari seorang Ibu yang menerima telegram dari anaknya yang telah ber-tahun2 menghilang. Apalagi ia adalah anak satu2nya.Maklumlah anak tsb pergi ditugaskan perang ke Vietnam pada 4 th yang lampau dan sejak 3 tahun yang terakhir, orang tuanya tidak pernah menerima kabarlagi dari putera tunggalnya tsb. Sehingga diduga bahwa anaknya gugur dimedan perang. Anda bisa membayangkan betapa bahagianya perasaan Ibu tsb. Dalam telegram tsb tercantum bahwa anaknya akan pulang besok.Esok harinya telah disiapkan segalanya untuk menyambut kedatangan putera tunggal kesayangannya, bahkan pada malam harinya akan diadakan pesta khusus untuk dia, dimana seluruh anggota keluarga maupun rekan2 bisnis dari suaminya diundang semua. Maklumlah suaminya adalah Direktur Bank Besar yang terkenal diseluruh ibukota. Siang harinya si Ibu menerima telepon dari anaknya yang sudah berada di airport. Si Anak: "Bu bolehkah saya membawa kawan baik saya?" Ibu: "Oh sudah tentu, rumah kita cuma besar dan kamarpun cukup banyak, bawa saja, jangan segan2 bawalah!" Si Anak: "Tetapi kawan saya adalah seorang cacad, karena korban perang di Vietnam?" Ibu: "..oooh tidak jadi masalah, bolehkah saya tahu, bagian mana yang cacad? " - nada suaranya sudah agak menurun Si Anak: "Ia kehilangan tangan kanan dan kedua kakinya!" Si Ibu dengan nada agak terpaksa, karena si Ibu tidak mau mengecewakan anaknya: "Asal hanya untuk beberapa hari saja, saya kira tidak jadi masalah?"si Anak: ".tetapi masih ada satu hal lagi yang harus saya ceritakan sama Ibu, kawan saya itu wajahnya juga turut rusak begitu juga kulitnya, karena sebagian besar hangus terbakar, maklumlah pada saat ia mau menolong kawannya ia menginjak ranjau, sehingga bukan tangan dan kakinya saja yang hancur melainkan seluruh wajah dan tubuhnya turut terbakar!" Si Ibu dengan nada kecewa dan kesal: "Na.ak lain kali saja kawanmu itu diundang kerumah kita, untuk sementara suruh saja ia tinggal di hotel, kalau perlu biar saya yang bayar nanti biaya penginapannya!" Si Anak: ".tetap ia adalah kawan baik saya Bu, saya tidak ingin pisah dari dia!" Si Ibu: "Cobalah renungkan olehmu nak, ayah kamu adalah seorang konglomerat yang ternama dan kita sering kedatangan tamu para pejabat tinggi maupun orang2 penting yang berkunjung kerumah kita, apalagi nanti malam kita akan mengadakan perjamuan malam bahkan akan dihadiri oleh seorang menteri, apa kata mereka apabila mereka nanti melihat tubuh yang cacad dan wajah yang rusak. Bagaimana pandangan umum dan bagaimana lingkungan bisa menerima kita nanti? Apakah tidak akan menurunkan martabat kita bahkan jangan2 nanti bisa merusak citra binis usaha dari ayahmu nanti." Tanpa ada jawaban lebih lanjut dari anaknya telepon diputuskan dan ditutup.

With Love

Orang tua dari kedua anak tsb maupun para tamu menunggu hingga jauh malam ternyata anak tsb tidak pulang, ibunya mengira anaknya marah, karena tersinggung, disebabkan temannya tidak boleh datang berkunjung kerumah mereka.

65

Jam tiga subuh pagi, mereka mendapat telepon dari rumah sakit, agar mereka segera datang kesana, karena harus mengidetifitaskan mayat dari orang yang bunuh diri. Mayat dari seorang pemuda bekas tentara Vietnam, yang telah kehilangan tangan dan kedua kakinya dan wajahnyapun telah rusak karena kebakar. Tadinya mereka mengira bahwa itu adalah tubuh dari teman anaknya,tetapi kenyataannya pemuda tsb adalah anaknya sendiri! Untuk membela nama dan status akhirnya mereka kehilangan putera tunggalnya! Kita akan menilai bahwa orang tua dari anak tsb kejam dan hanya mementingkan nama dan status mereka saja, tetapi bagaimana dengan diri kita sendiri? Apakah kita lain dari mereka? Apakah Anda masih tetap mau berkawan anak2 jalanan dengan orang cacad?.yang bukan karena cacad tubuh saja? tetapi cacad mental atau cacad status atau cacad nama atau...cacad latar belakang kehidupannya? Apakah Anda masih tetap mau berkawan dengan orang yang jatuh miskin? yang kena penyakit AIDS? yang bekas pelacur? yang tidak punya rumah lagi? yang pemabuk? yang pencandu? yang berlainan agama? Renungkanlah jawabannya hanya Anda pribadi dan Sang Pencipta saja yang mengetahunya?!

66

You might also like