You are on page 1of 15

Hukum pidana Islam

HUKUM PIDANA UMUM DAN HUKUM PIDANA ISLAM DI


ACEH

Di Susun

ASMADI SYAM INDRA JAYA KUSUMA ALI AKBAR

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SYIAH KUALA TAHUN 2012

BAB I PENDAHULUAN
Dalam pembentukan hukum perlu diindahkan ketentuan yaitu harus memenuhi nilai filosofisnya yang berintikan rasa keadilan dan kebenaran, nilai sosiologis sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku di masyarakat dan nilai yuridis yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundanundangan yang berlaku. Hukum Islam adalah hukum yang bersifat universal karena ia merupakan bagian dari agama Islam yang universal sifatnya berlaku bagi orang Islam dimanapun ia berada, apapun nasionalitasnya. Istilah Hukum Islam merupakan istilah khas Indonesia sebagai terjemahan al-fiqh alIslamy atau dalam konteks tertentu al-Syariah al-Islamiy. Istilah ini Dalam literatur Barat terkenal Islamic Law yang secara harfiah dapat disebut hukum Islam. Dalam penjelasan terhadap kata Islamic Law sering ditemukan defenisi ; Keseluruhan kitab Allah yang mengatur kehidupan setiap muslim dalam segala aspeknya. Dari definisi tersebut terlihat bahwa hukum Islam itu mendekat kepada arti syariat Islam. Dalam al-Quran maupun alSunnah istilah al-hukm al-Islam tidak dijumpai. Yang digunakan adalah al-Syariah yang dalam penjabarannya kemudian lahir istilah Fiqhi . Hukum Nasional adalah hukum yang berlaku bagi bangsa tertentu bagi bangsa tertentu disuatu Negara nasional,atau dengan kata lain , Hukum Nasional adalah Hukum yang berlaku secara Nasional di Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Hukum Nasional, Menurut Daud Ali adalah :hukum yang berlaku disatu bangsa ,disatu negara nasional tertentu. Dalam kasus Indonesia, hukum nasional adalah hukum yang dibangun oleh bangsa Indonesia, setelah Indonesia merdeka , dan berlaku bagi penduduk Indonesia, terutama bagi warganegara Republik Indonesia sebagai pengganti hukum kolonial.

Dalam sejarah panjang perkembangan dan keberadaan Indonesia baik sebagai komunitas maupun sebagai negara, hukum sebagai tatanan yang tumbuh dalam masyarakat turut mendapingi proses historis bangsa Indonesia dengan melewati berbagai proses pertumbuhan mulai dari awal kedatangan Islam sampai sekarang ini , hukum Islam menjadi faktor penting dalam menentukan dalam setiap pertimbangan politik untuk mengambil kebijaksanaan penyelenggaraan negara . Di Aceh sejak pemberlakuan UU No.11 tahun 2006 tentang pemerintah Aceh. Bedasarkan pasal 16 ayat 2 untuk melaksanakan syariat islam yaitu : a. penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antarumat beragama; b. penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam; c. penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syariat Islam; d. peran ulama dalam penetapan kebijakan Aceh; dan e. penyelenggaraan dan pengelolaan ibadah haji sesuai dengan peraturan perundangundangan.1 Bedasarkan isi pasal diatas berarti hukum islam memiliki peranan penting dalam

pembentukan hukum nasional khususnya di Aceh yang di berikan wewenang khusus untuk melaksanakan syariat islam. Dan yang menjadi permasalahan sekarang adalah sejauh mana syariat islam itu bisa diterapkan serta sejauh mana masyarakat tersebut bisa menerimanya dalam kehidupan sehari hari.

UU NO.11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian hukum pidana umum dan hukum pidana islam Pengertian hukum pidana secara tradisional adalah Hukum yang memuat peraturanperaturan yang mengandung keharusan dan larangan terhadap pelanggarnya yang diancam dengan hukuman berupa siksa badan.

Menurut : Prof. Dr. Moeljatno, SH. menguraikan berdasarkan dari pengertian istilah hukum pidana bahwa Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

1. Menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut; 2. Menentukan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan; 3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilakasanakan apabila orang yang disangkakan telah melanggar larangan tersebut

Hukum pidana Islam merupakan terjemahan dari kata fiqh jinayah. Fiqh jinayah adalah segala ketentuan hukum nengenai tindak pidana atau perbuatan criminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil hukum yang terperinci dari Alquran dan hadis (Dede Rosyada, 1992: 86). Tindakan kriminal adalah tindakan kejahatan yang mengganggu ketenteraman umum serta tindakan melawan peraturan perundang-undangan. Hukum Pidana Islam merupakan syariat Allah yang

mengandung kemaslahatan dalam kehidupan manusia di dunia dan akhirat.2 Kata jarimah mengandung arti perbuatan buruk, jelek, atau dosa. Jadi pengertian jarimah secara harfiyah sama halnya dengan pengertian jinayah. Adapun pengertian jarimah segala tindakan yang diharamkan syari'at. Allah ta'ala mencegah terjadinya tindak kriminal dengan menjatuhkan hudud (hukum syar'i), atau ta'zir (sanksi disiplin) kepada pelakunya.

Dari kedua pengertian diatas bahwa jinayah itu lebih luas maknanya dari jarimah. Jinayah merupakan keseluruhan aturan hukum yang berkenaan dengan perbuatan yang diharamkan atau dilarang(siapa,perbuatan apa serta, berpa sanksi yang dijatuhkan), sedangkan jarimah lebih di spesifikkan keperbuatan pidananya seperti pembunuhan , perzinaan khamar ,maisir dan lain lain.

B. Keistimewaan Aceh dalam membentuk qanun syariat

Pasal 18 B ayat (1) UUD RI 1945 disebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. karena kata khusus tersebut dimungkinkan digunakan untuk

membentuk suatu pemerintahan daerah dengan otonomi khusus seperti di Aceh dan Papua. seperti telah dijelaskan diatas penerapan syariat juga didukung dengan di undangkannya Undang undang No. 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh, sehingga

Penerapan syariat Islam di aceh di bentuk didalam peraturan daerah (qanun) yang ditetapkan oleh Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Masukan substansi Syariat Islam sebagai bahan pembuatan Qanun (perda) berasal dari Majelis

Permusyawaratan Ulama (MPU),

sebagai badan normatif yang memiliki kedudukan

Ali zainudin. 2007. Hukum pidana islam. Jakarta : sinar grafika hal-1

sebagai mitra sejajar dengan Pemerintahan Aceh.Adapun tugas MPU adalah memberikan masukan, pertimbangan, bimbingan dan nasihat serta saran-saran dalam mengeluarkan kebijakan daerah dari aspek Syariat Islam, baik kepada Pemerintahan Aceh maupun kepada masyarakat.

Perda syariah (qanun) ini sangat berbeda dengan peraturan-peraturan lainnya, selain proses pembuatannya yang mengikutsertakan ulama-ulama agama, dasar pembentukannya juga berbeda. Hukum-hukum yang umum (kulliyah) yang menjadi nas-nas hukum di dalam Syariat Islam itu adalah sebagai qawaid ammah (aturan umum) untuk menyusun UU Islam. Atas dasar qawaid ammah inilah Syariat Islam berjalan dengan memberikan mandat yang sepenuhnya kepada Uli al-Amr (Raja atau Pemerintah) untuk melaksanakan hukum-hukum tersebut dengan mengikuti saluran dasar dan nas-nas yang telah ditentukan di dalam Syariat Islam melalui al-Quran dan Sunnah yang menjadi sumber utama

pembentukan hukum.

C. Hukum Pidana Islam di Aceh

Sampai sekarang ini belum ada qanun khusus yang mengatur tentang hukum pidana Islam di Aceh, tetapi hukum pidana Islam itu masih tersebar pada qanun-qanun yang ada seperti :

1. Qanun Nomor 11 Tahun 2002, tentang Pelaksanaan syari`at Islam bidang aqidah, ibadah, dan syi`ar Islam, 2. Qanun Nomor 12 Tahun 2003, tentang Minuman khamar dan sejenisnya, 3. Qanun Nomor 13 Tahun 2003, tentang Maisir (perjudian), 4. Qanun Nomor 14 Tahun 2003, tentang Khalwat (Mesum), 5. Qanun Nomor 7 Tahun 2004, tentang Pengelolaan zakat.

Keseluruhan hukum pidana Islam yang dimuat pada kelima macam qanun tersebut di atas dapat dikelompokkan kepada dua macam, yaitu;

1. Hudud (Hukum pidana yang sudah jelas bentuk dan ukurannya)

Mengingat hudud ini telah jelas hukumannya, baik bentuk maupun ukurannya maka maka hakim tidak punya kebebasan lagi untuk menemukan hukum lain, dalam kesempatan ini hakim hanya memiliki kesempatan berijtihad untuk menetapkan apakah tindak pidana itu benar telah dilakukan, atau pun tidak, bila ini telah jelas dilakukan maka hakim tinggal mengambil hukuman yang telah tersedia untuk itu.

Sejalan dengan ketentuan hudud seperti dikemukakan di atas, ternyata Daerah NAD baru menetapkan satu kasus hudud saja, yaitu tentang mengkonsumsi khamar (minuman keras) dan sejenisnya, dengan sanksi hukuman cambuk sebanyak 40 kali. Hal ini bukanlah atas dasar hasil pemikiran Pemerintah NAD dalam menetapkan hukumannya berupa hukum cambuk sebanyak empat puluh kali, tetapi berupa ketentuan Tuhan yang harus diikuti, karena penentuan hukuman seperti ini telah tegas tercantum di dalam nas syari`at. Dengan demikian Pemerintah NAD tinggal mengambil, menetapkan, dan melaksanakannya saja.

Hal ini sejalan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari Anas bin Malik RA., Bahwa seseorang yang telah meminum khamar dibawa ke depan Rasul SAW., maka Rasul SAW. Mencambuknya dengan dua buah cambuk sebanyak empat puluh kali. Hal seperti ini diikuti oleh Abu Bakar

Direncanakan bahwa kasus kedua menyangkut hudud ini adalah tindak pidana pencurian dengan sanksi hukuman potong tangan. Sampai sekarang, hal ini belum diterapkan, karena untuk tindak pidana pencurian ini belum ada aturannya. Diperkirakan dalam masa dekat (tahun 2006) ini Perda/ Qanun tentang pencurian akan lahir, sekarang masih bersifat

Ranperda, naskah akademiknya telah selesai, namun belum sampai ke tangan MPU dan Dinas Syari`at, dan jelas belum disidangkan oleh DPRA. Dengan demikian kasus pencurian ini belum termasuk kasus yang sudah diterapkan sekarang ini di Aceh.

2. Ta`zir (Hukuman yang diberi kebebasan bagi hakim untuk menentukannya)

Mengingat adanya kebebasan hakim untuk menentukan hukuman dalam kasus ta`zir ini maka kesempatan hakim berijtihad untuk menentukan apa hukuman yang akan ditetapkan bagi pelakunya, dan bagaimana cara pelaksanaannya sangat besar. Dengan demikian, kejelian hakim untuk menentukan hukum yang akurat dalam hal ini sangat diperlukan.

Sejalan dengan hal ini, DPRA telah mencoba mengkonkritkan hukum ta`zir pada kelima kasus seperti dikemukakan di atas sehingga pada saat hakim hendak memutuskan perkara, hakim tersebut telah memiliki aturan yang jelas untuk diberlakukan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat bahwa hukum ta`zir tersebut telah dijabarkan ke dalam lima bentuk, sebagai berikut;

a). Hukum Cambuk;

Contoh, Hukuman cambuk maksimal 12 kali, minimal 6 kali bagi pelaku judi (maisir)

b). Hukum Denda;

Contoh, Hukuman denda maksimal membayar Rp 35.000.000,- minimal Rp 15.000.000,bagi orang yang a). Menyelenggarakan dan atau memberikan fasilitas kepada orang yang akan melakukan perjudian (maisir)., b). Menjadi pelindung perbuatan perjudian., c). Memberi izin usaha penyelenggaraan perjudian.

c). Hukum Penjara;

Contoh, Hukuman kurungan maksimal 6 bulan, minimal 2 bulan bagi yang memberikan fasilitas dan atau melindungi orang melakukan perbuatan khalwat (mesum).

d). Hukuman Administratif;

Contoh, Dicabut izin usahanya bagi perusahaan pengangkutan yang tidak memberi kesempatan dan fasilitas kepada pengguna jasa untuk shalat fardhu.

e). Hukuman Kumulasi dari hal tersebut di atas;

Contoh, Menggabung hukuman cambuk dengan hukuman denda

6). Hukuman Berpilih dari hal tersebut di atas;

Contoh, Memilih hukuman denda dengan meninggalkan hukuman cambuk.

Dualisme Hukum Pidana di NAD


Terjadinya kekhawatiran dualisme hukum pidana di Aceh adalah antara hukum pidana Indonesia secara umum di satu sisi, dan hukum pidana Aceh yang diatur lewat qanun-qanun sebagai implikasi dari kesempatan penerapan syari`at Islam di sisi yang lain. Aceh sebagai sebuah propinsi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki wawasan kebangsaan dan wawasan bhinneka tunggal ika yang sama dengan Daerah lain di Nusantara, dia harus berada dalam bingkai falsafah dan konstitusi Negara Pancasila dan UUD 1945, jelas tidak ada tawar menawar akan hal ini karena terkait dengan keutuhan NKRI itu sendiri. Dengan tidak mengabaikan akan hal itu, ternyata realitas telah menampakkan nuansa baru dalam memaknai dan menjabarkan arti dari NKRI itu sendiri khusus untuk Aceh, jika seluruh Daerah di Indonesia telah diberikan status Otonomi Khusus, maka Aceh telah diberikan

Otonomi yang seluas-luasnya untuk menjalankan syari`at Islam. Dengan hal ini terlihat adanya kesempatan yang besar bagi Aceh untuk mempola pembangunan Aceh ke arah yang lebih islami dibanding dengan Daerah lain di Nusantara.

Adanya peran yang besar bagi masyarakat untuk berpartisipasi membangun NAD menjadi sebuah propinsi yang berbeda dengan Daerah lain di Nusantara jelas melahirkan

eksklusifisme NAD dalam wadah negara Kesatuan Republik Indonesia. Eksklusifinsme ini sangat rentan dengan asas equality before the law (mempersamakan semua orang di bawah hukum), dan sangat subur dengan pemberian hak-hak istimewa di luar yang berlaku secara umum. Dengan kenyataan seperti ini otomatis akan melahirkan adanya dualisme hukum yang berwawasan Nasional dan bhinneka Tunggal Ika di satu sisi, serta hukum yang berwawasan lokal dan ke-Acehan pada sisi yang lain.

Dengan mengkaji latarbelakang serta sumber kedua hukum ini tentu pikiran kita akan dapat mengklasifikasi bahwa di sana ada dua macam hukum yang berbeda, dan tidak saling melingkupi, karenanya dengan menaati salah satunya kita tidak dapat dinyatakan telah melaksanakan keduanya, dan dengan melaksanakan keduanya di sana ada kemuskilan karena akan mengamalkan dua hal yang berbeda oleh seorang subjek hukum pada satu kesempatan. Dengan mempertajam pandangan ini akan lebih mengkontraskan kehadiran dualisme hukum seperti dikemukakan di NAD sekarang ini. Untuk hal ini akan diberikan penjelasan lebih rinci sebagai berikut;

Di satu sisi terpahami adanya dualisme hukum pidana di Aceh, yaitu Hukum Pidana Indonesia sebagai sesuatu yang bersifat umum seperti yang tertuang di dalam KUHP (Kitab Undang Undang Hukum Pidana) karena Aceh adalah bagian integral dari Negara kesatuan Republik Indonesia. Kemudian, Qonun (Perda) yang berdasarkan syari`at Islam dan dibuat oleh masyarakat NAD sendiri sebagai sesuatu ketentuan yang lebih khusus karena Aceh telah

diberi otonomi yang seluas-luasnya untuk menerapkan syari`at Islam berdasar UU No.18 Tahun 2001. Penempatan kedua ini sebagai sesuatu yang berhadap-hadapan tentu akan mempertajam pemaknaan terhadap dualisme hukum pidana di Aceh tersebut, bahkan dapat mengarah kepada kaburnya asas kepastian hukum, dan keadilan hukum. Jelas bahwa dualisme hukum seperti dipersepsikan ini akan menimbulkan kajian tersendiri dalam rangka mencari titik temu kebersamaan seluruh komponen bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia

D. Syariat dengan hukum adat di Aceh

Syariat Islam merupakan salah satu kerangka dasar hukum Islam. Berdasarkan sejarah, hukum adat merupakan hukum asli bangsa Indonesia yang lahir lebih dahulu dari hukum Islam di Indonesia. Pada jaman penjajahan Belanda, hukum Islam menjadi adatrecht politik yang dilakukan oleh pemerintah Belanda di Indonesia untuk menempatkan hukum Islam dibawah hukum adat, salah satunya adalah ajaran yang dibawa oleh Snouck Hurgronje mengenai teori resepsi. Dalam teori tersebut, hukum Islam telah diterima secara teori, tapi sering dilanggar secara praktek sebab dalam masyarakat, hukum Islam tidak berlaku, yang berlaku adalah hukum adat karena dalam hukum adat masuk unsurunsur hukum Islam, sedangkan pada masyarakat adat sendiri hukum Islam yang berlaku bukan lagi hukum Islam sebab sudah menjadi hukum adat. Asumsi dasarnya adalah hukum adat merupakan sistem hukum yang hidup dan diaplikasikan dalam masyarakat, sementara hukum Islam hanya sistem yang bersifat teoritis, walaupun sebagian besar masyarakat beragama. Kemudian Rasjidi menanggapi bahwa Snouck Hurgronje telah keliru, sebab dalam hukum apapun, hukum yang telah diterima oleh teori apabila terdapat faktor-faktor tertentu, maka mungkin untuk terjadinya pelanggaran di dalam prakteknya.

Hukum adat yang tumbuh dalam masyarakat, menurut Hazairin, terbentuk oleh keseluruhan norma kesusilaan yang sanksinya dapat dipaksakan. Norma awal yang tumbuh adalah norma kesusilaan perorangan berupa Jaiz atau kebolehan yang dalam setiap kebolehan tidak terdapat sanksi. Setelah terjadi penilaian oleh masyarakat, jaiz berubah menjadi sunnah apabila dinilai baik sehingga dianjurkan untuk dilakukan, tetapi menjadi makruh apabila dinilai buruk sehinggar dianjurkan untuk tidak dilakukan. Setelah ditambahkan sanksi yang memaksa, maka sunnah berubah kedudukan menjadi wajib yaitu keharusan untuk dilakukan, sedangkan makruh berubah kedudukan menjadi haram yaitu larangan yang tidak boleh dilakukan. Pada tahap inilah kemudian norma kesusilaan telah menjadi norma hukum.

Dalam hubungannya, para ahli etnologi, antropologi, dan hukum adat menyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki kedudukan keagamaan.

Hal itu disebabkan bahwa hukum Islam mempengaruhi hukum adat. Hukum adat didasari atas prinsip magis religius yang merupakan pengaruh langsung dari agama, contohnya mengenai aliran animisme dan dinamisme yang dianut oleh bangsa Indonesia.

Menurut A Johns, ia meyakini bahwa doktrin Islam telah memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan kerajaan. Hal ini benar khususnya di Aceh dan Malaka selama masa-masa awal Islam Asia Tenggara. Ilmuan lain yang mengikuti pandangan tersebut berpendapat walau kekuatan adat lokal telah termanifestasikan dalam masyarakat Indonesia, namun hukum Islam juga efektif pada level komunal dan berhasil memodifikasikan beberapa praktek hukum, terutama dalam bidang-bidang dalam keluarga dan nilai nilai sosial. Inilah yang menjadi dasar syariat Islam sebagai manivestasi dari hukum Islam mampu diberlakukan dalam pranata sosial masyarakat

Aceh dalam hakikatnya merupakan propinsi di Indonesia yang juga tunduk pada hukum nasional Indonesia.

BAB III PENUTUP

Kesimpulan
Pidana Islam adalah bagian dari Hukum Islam, merupakan salah satu dari kerangka dasar agama dan ajaran Islam yang mengatur hubungan publik dalam bentuk norma Ilahi.

Hukum Islam telah berbaur dengan hukum adat yang merupakan akar peraturan bangsa Indonesia dan mampu mempengaruhi praktek hukum di Indonesia, terutama dalam bidang keluarga dan sosial. Sejarah memainkan peranan yang penting, yaitu Samudera Pasai di Aceh yang merupakan tempat singgah agama Islam pertama di Indonesia, mampu membuat doktrin Islam mempengaruhi kerajaan. Syariat Islam tersebut kemudian diterima oleh masyarakat Aceh pada saat itu, sebab tidak bertentangan dengan nilai-nilai hukum adat mereka. Perpaduan hukum tersebut kemudian mengakar secara turun temurun sehingga menjadi kesatuan yang tidak terpisahkan. meskipun secara konstitusional syariat Islam sah menjadi hukum positif Aceh, pada prakteknya hukum positif tersebut tidak seluruhnya berasal dari syariat Islam.

DAFTAR PUSTAKA Ali zainudin. 2007. Hukum pidana islam. Jakarta : sinar grafika Sumber: http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/presenting/2148024-pengertian-hukumpidana-islam/#ixzz1oumvNpkv Sumber: http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/2035166-pengertian-hukum-pidana-

menurut-para/#ixzz1ousULUtK

You might also like