You are on page 1of 7

# PELANGI #

Setiap tahun di awal bulan Syawal, pagi hari setelah shalat Ied di lapangan, penduduk desa Sukadana berkumpul di gedung serba guna, yang mereka bangun secara swadaya, untuk bermaaf-maafan di hari lebaran. Merupakan adat bagi masyarakat desa ini, sejak dari tetuatetua mereka dulu. Dan memang gedung serbaguna ini selalu mereka lewati setelah shalat Ied di lapangan. Ramai.. Senyum, rona bahagia, jabat tangan, hangat. Tapi tahun ini, mereka dikejutkan oleh kabar dari Madin yang tergopoh menyampaikan nya dengan wajah pucat pasi. Tiba-tiba langit menghitam, mendung menggelayut muram. Dia datang! Dia datang!!, katanya histeris. Dia siapa?, tanya Zainal. Kalau bicara yang jelas. Dia siapa?, lanjut Fandi tidak sabar. Hardi! Hampir seluruh orang yang ada di gedung serbaguna itu berjengit, ketakutan. Kengerian seakan melekat satu-satu ke wajah mereka. Mendengar nama itu seperti suatu sihir jahat yang harus mereka hindari, harus!! Track record Hardi yang tiba-tiba seperti rol film yang diputar di ingatan mereka, menggetarkan. Dia tidak hanya preman kampung, mabuk, narkoba, asusila,keonaran,semua hal yang mengerikan seperti parasit menempel di tubuhnya. Edan! Suatu hari ketika Zainal dan sebagian masyarakat Sukadana yang sudah muak dengan kelakuaanya, menyiapkan pentungan, clurit, parang, atau apa saja yang menurut mereka pantas, sebagai persiapan menghadapi kalau Hardi mengamuk. Namun, Hardi menghilang, justru pada hari H yang telah mereka rencanakan, tak seorang pun tahu. Dan kini tiba-tiba dia dikabarkan kelihatan dan mungkin datang ke Sukadana, entah untuk keperluan apa. Yang pasti, dia tidak mungkin bertujuan mengunjungi keluarganya

disini. Karena sejak peristiwa hilangnya Hardi, keluarganya juga memilih untuk menghilang ke kampung lain, mungkin malu, mungkin risih, tidak ada yang tahu. Kau yakin dia Hardi? Meski hanya sekilas, tapi aku sangat yakin dia lah orangnya, tidak ada keraguan! Kapan kau melihatnya?Di mana dia sekarang? Aku tadi melihatnya di lapangan. Hanya sekilas, karena aku ketakutan dan langsung kesini. Jangan-jangan dia nanti kemari?, terlihat jelas rona ketakutan di wajah Madin, lagi. Yakin? Yakin! Oke pas kalau begitu. Sudah lama kita menunggunya kembali, kini dia malah datang sendiri! Ketegangan menyeruak di gedung itu, banyak diantara mereka yang menyingkir secara diamdiam. Mungkin memberi tahu keluarga dirumah, yang belum datang ke gedung serba guna, agar hati-hati. Atau tidak usah ke gedung serbaguna dulu, nanti bisa terjadi apa-apa disana! Rintik hujan mulai turun, perlahan, namun pasti. Basah. *** Apa yang dilaporkan Madin ternyata benar. Belum lagi Zainal dan beberapa penduduk desa menyiapkan senjata, terlihat sesosok manusia dari kejauhan, berjalan mendekati gedung serbaguna. Hardi! Ya dia orangnya, tidak ada keraguan. Walaupun badan orang yang disangka Hardi tersebut tak segagah dulu, bahkan bisa dibilang kurus. Rambutnya juga tidak dibiarkan panjang seperti dulu. Assalamualaikum!, sapa Hardi agak keras, di depan gedung. Berdiri. Titik-titik air yang berlomba turun dari langit membasahi rambutnya. Mau apa kau kemari ha!! gertak Zainal, penuh dendam. Keluargamu sudah minggat semua!, sambung Fandi, penuh tekanan. Saya..

Ini bukan desa mu lagi, pergi kau sekarang juga! Jangan kotori lagi desa kami! Atau kami akan menghajarmu! Saya.... Cepat minggat dari sini! Sebelum tetesan keringatmu kembali mengotori! Cuihh! Zainal terbakar, ada sesuatu dalam ingatannya yang membuat dendam kembali kesumat. Baiklah, kalau mau menghajar saya silahkan. Sahut Hardi Eee....nantang rupanya bocah ini! Zainal maju, siap memukul dengan seluruh kekuatan. Tapi dia kalah cepat, Fandi di belakangnya menyeruak ke depan, memukulkan bonggol kayu yang sudah dia genggam. Hardi tidak dapat mengelak, atau malah sengaja diam, pasrah. Bonggol kayu itu mengenai wajah Hardi, darah mengucur dari mulutnya. Merah muda, bercampur dengan tetesan hujan yang mulai menderas. Tak mau kehilangan kesempatan, Zainal maju menendang perut preman kampung yang sedang tergelepar di tanah yang basah. Tidak makan waktu lama sampai hampir seluruh warga desa yang ada di gedung itu turut menyumbang tendangan dan pukulan ke seluruh bagian tubuh Hardi. Erangan, dari satu orang, wajah-wajah beringas yang tiba-tiba hadir, peluh, hujan jadi satu. Mencekam suasana halaman gedung yang sejatinya penuh dengan senyum dan salam, musnah. Stop! Stop!! tiba-tiba terdengar teriakan keras, ternyata Ustadh Zulkifli. Ini Hari Raya. Tidak layak kalian mengotori kesucian Idul Fitri dengan tindakan nista seperti ini! Tapi pak Ustad, dia telah... Apapun dosanya, tidak pantas kalian menghakimi sendiri seperti ini. Kalau memang bersalah, ya laporkan saja ke polisi, ada hukum berlaku yang akan dia hadapi! Tapi dia benar-benar brengsek, Pak Ustad! Sudah lama kami menantikan saat-saat seperti ini! Zainal menyahut, lantang. Saya tahu! tajam Ustad Zulkifli menjawab. Aku sudah tahu semuanya mengenai dia,

Hardi! Zainal dan yang lainnya menciut, mencair. Memang mereka tidak ada yang berani mebantah apa saja yang diperintah dan di katakan oleh Ustad Zulkifli, karena memang Ustad itulah yang selama ini menggembleng mereka sehingga menjadi pemberani seperti sekarang, rohani dan jasmani. Hujan semakin deras. Basah. *** Hardi menggeliat bangun dari tanah tempatnya dikeroyok tadi, mengusap mulutnya yang berdarah, tapi sama sekali tidak ada ketakutan didalam matanya. Mohon maaf, Pak Ustad! kata Hardi, lebih mirip erangan. Tapi saya tidak keberatan dipukuli oleh mereka. Saya mohon, biarkanlah mereka menghajar saya, sampai puas. Asal setelah itu saya diijinkan untuk memohon maaf kepada mereka. Tidak! Ustad Zulkifli menjawab tegas. Semuanya harus jelas terlebih dahulu! Tidak ada satupun hukum yang membenarkan pengeroyokan seperti tadi! Saya memang telah menyakiti hati mereka, Pak Ustad. Bukan hanya sehari tapi bertahuntahun lamanya. Dulu saya sewenang-wenang kepada mereka. Maka sepantasnyalah kalau kini mereka menghajar saya. Biarlah, Pak Ustad. Hardi menerangkan,bahwa selama ini dia mengaji di Kediri, dan gurunya pernah berkata : Seluruh dosa-dosamu akan dimaafkan oleh Tuhan, setelah orang-orang yang pernah kamu dzalimi mau memaafkanmu. Ustad Zulkifli manggut-manggut mafhum. Baiklah, sekarang siapa yang dulu merasa pernah disakiti atau didzalimi Hardi, silahkan maju kedepan! ujarnya. Tak ada reaksi, semua bergeming, hening. Ayo, ini waktu yang telah kalian semua tunggu-tunggu bukan? Bahkan kalian tidak perlu bersusah-susah membalasnya! Siapa saja yang dulu merasa pernah dipukul atau ditendang Hardi silahkan maju membalas memukul dan menendangnya. Tegas Pak Ustad sekali lagi, pandangannya tajam menyapu Zainal dan kawan-kawan. Zainal yang sepertinya paling menyimpan dendam kepada Hardi, langsung maju kedepan.

Bughhh...bughhh! Suara tendangan Zainal di perut Hardi, lalu disusul oleh Fandi pada bagian kaki. Lalu tidak ada yang maju setelah mereka berdua, semua terdiam diantara rintik air hujan. Siapa lagi? tanya Pak Ustad. Tak ada jawaban. Bahkan setelah Pak Ustad menyuruh,memerintah setengah memaksa kepada kerumunan masyarakat di hadapannya. Setelah sekian lama terdiam, Hardi tertatih berjalan menghadap Pak Ustad Zulkifli. Saya menyesal teman-teman semua tidak ada yang memukuli saya lagi, Pak Ustad. Padahal saya sangat yakin tidak hanya kedua orang tadi yang pernah saya dzalimi. Tapi, saya ada satu permintaan lagi, Pak Ustad. Apa itu? Katakan saja Lalu hening sejenak, semua seperti berlomba untuk mengisi oksigen sebanyak-banyaknya kedalam paru-paru mereka. Agar Zainab, adik dari mas Zainal berkenan mencambuk saya 100 kali, atas perbuatan yang telah saya lakukan kepadanya. Pak Ustad terdiam, semua terdiam. Zainal yang memang selama ini geram, penuh dendam kepada Hardi, yang pernah memperkosa Zainab,adik perempuan satu-satunya, seperti tersengat. Antara marah, dendam dan terharu. Lalu hening kembali, semua bergeming, diam. Termasuk Pak Ustad Zulkifli dan juga Zainal. Melihat hal itu Hardi berkata lagi, tegas. Saya mohon, perkenankan dik Zainab mencambuk saya 100 kali. Karena hanya dengan itu hutang saya di dunia akan terbalas, saya kira Pak Ustad lebih mengerti hal tersebut! Gemuruh petir tiba-tiba bersahut-sahutan. *** Setelah perdebatan alot, akhirnya Zainal pulang untuk menjemput adik perempuan satusatunya, Zainab, yang sejak pemerkosaan terhadap dirinya kala itu,nyaris tidak pernah keluar rumah. Entah, karena dia malu, atau ada sebab lain, mungkin. Sudah berbagai macam cara

dikerahkan oleh Zainal, agar sang adik mau sedikit melihat dunia luar. Nihil, tak satupun cara yang dia lakukan berhasil. Zainal tidak habis pikir, pusing dibuatnya. Hal ini semakin membuat amarahnya kepada Hardi semakin menggumpal. Zainab menolak untuk keluar. Bukan karena hujan yang semakin deras,namun ada ketakutan jelas terpancar diwajahnya, entah kepada siapa.Tapi setelah sedikit dipaksa Zainal akhirnya dia menurut kepada kakaknya. Ketegangan luar biasa menyelimuti suasana di desa Sukadana, dan masih diiringi tetesan hujan. Terutama di halaman gedung serbaguna yang seolah berubah menjadi arena pertandingan. Penduduk yang makin lama memenuhi halaman gedung, berkumpul di salah satu titik. Tempat dimana Hardi, Pak Ustad, Zainal dan Zainab berada. Hari raya kali ini, 1 Syawal 1430 H, sepertinya akan menjadi lebaran yang tidak akan pernah dilupakan bagi warga desa Sukadana. Karena hari ini, dimana seharusnya semua orang bersenang-senang dan menghiasi wajah dengan senyum, mungkin akan berubah menjadi arena penyiksaan, di halaman gedung serbaguna yang semakin basah. Air hujan dan darah. Zainab, yang dengan terpaksa memegang cambuk, memukulkan ujung cambuk ke punggung Hardi, 12 kali. Ya hanya 12 kali kekuatan yang dia miliki untuk sanggup memukulkan benda itu ke punggung orang dihadapannya. Setelah itu dia ambruk dan menangis meraung-raung,lalu berlari pulang. Mencari perlindungan. Hardi memohon kepada Zainal untuk meneruskan cambukan ke 13 sampai 100 yang belum dituntaskan adik perempuannya. Tapi, di luar dugaan, hanya 25 cambukan yang sanggup dilakukan Zainal. Hanya 25! Mengingat betapa dendamnya kepada orang, yang sekarang malah pasrah dihadapannya, ini. Entah kenapa, Zainal merasa tak sanggup dan merasakan kepedihan yang sama. Dia membuang cambuknya dan menitikkan air mata. Berusaha menyembunyikannya dibalik hujan, mungkin. Hening kembali. Benar-benar bercampur aduk perasaan masing-masing warga yang berada disana. Dan hujan masih turun. Hardi terbangun, berdiri. Memohon kepada Pak Ustad untuk melanjutkan kekurangan hukuman yang harus dia terima. Setengah memaksa. Akhirnya dengan keberatan Pak Ustad pun meluluskan permintaan Hardi. Lunas sudah!

Dengan agak tertatih, sempoyongan, Hardi menatap dengan lesu kepada Zainal. Maaf mas Zainal, ujar Hardi pelan. Bukan maksud saya menghina mas Zainal dan keluarga. Tapi kalau Dik Zainab tidak keberatan, saya ingin melamarnya untuk menjadi istri saya! Terdengar gumaman tidak jelas dari warga yang berada disana. Kaget pasti. Dan kali ini, entah kenapa Zainal benar-benar menangis. Sudah berkali-kali dia berusaha menjodohkan adik perempuannya. Hanya lelaki yang telah menyentuhku, yang akan menjadi suamiku! raung Zainab tiap kali dia membicarakan perjodohan. Tapi dia telah memperkosamu! Merusak kehormatanmu! Mempermalukan keluarga kita, Zainab! sanggah Zainal. Tanpa diperkosa pun, aku memang ingin menikah dengan Mas Hardi, aku mencintainya! sahut Zainab, waktu itu. Tanpa kuasa menahan badai perasaanya, Zainal merengkuh Hardi. Membopongnya untuk dibawa pulang.... kerumahnya, mengobati luka-luka, fisik dan batin. Gumaman kembali memenuhi halaman gedung serbaguna Sukadana. Antara kaget, heran dan takjub. Ternyata pelangi muncul setelah hujan puas membasahi mereka, Alhamdulillah! (Surabaya, 2012)

Indana Lazulfa Novia d/a Perumdos ITS Jl. Hidrodinamika IV T/72 Surabaya, 60111 No.Rek : 05870 -1000-551-53-8 a.n Indana Lazulfa Novia

You might also like