You are on page 1of 4

BAB III PEMBAHASAN

Industrialisasi dalam pembangunan Indonesia telah berkembang pesat disemua sektor, baik yang formal maupun yang informal. Perkembangan tersebut bukan saja menyajikan kesejahteraan bagi kehidupan bangsa, namun juga menyajikan dampak yang merugikan terhadap kesehatan pekerja. Ancaman tersebut berasal dari ketidak seimbangan interaksi antara kapasitas kerja, beban kerja dan beban tambahan yang dialami oleh pekerja tersebut. Dan selama ini, perlindungan terhadap kesehatan pekerja di sektor informal itu belum mendapat perhatian sebagaimana inestinya, padahal pekerjaan mereka menyajikan berbagai resiko yang dapat merugikan kesehatannya. Dalam industri mebel sektor informal, salah satu komponen yang dapat merugikan kesehatan pekerja adalah debu kayu yang dihasilkan dalam proses pengolahan kayu menjadi mebel. Selama ini telah banyak dilaporkan bahwa berbagai jenis kayu yang digunakan dalam industri itu, mempunyai subtansi kimia yang bersifat patologis terhadap kesehatan manusia. Dalam studi kepustakaan disebutkan bahwa berbagai jenis debu bila terhirup masuk kedalam saluran pernapasan, dapat menimbulkan kelainan yang menurunkan kapasitas maksimal paru. Karena itu penelitian ini dilakukan untuk melihat efek pemaparan debu kayu terhadap kapasitas maksimal paru. Berbagai faktor yang dapat mempengaruhi kapasitas paru sehingga berbeda antara seorang pekerja dengan pekerja yang lain. Faktor tersebut adalah jenis kelamin, umur, lama pemaparan debu, kelainan dada dan penyakit infeksi paru menahun. Juga diukur cuaca dan konsentrasi debu kayu lingkungan kerja. Debu tersebut sangat kecil ukuran partikelnya dan berpotensi menimbulkan asma terutama bagi pekerja di area produksi (pembelahan, pemotongan, amplas dan lainnya). Atau pada furniture kantor, meja komputer dan kabinet TV. Pada dasarnya, produksi 13

14

papan buatan menggunakan lem yang dibuat dari resin Formaldehyde untuk merekatkan partikel kayu dan debu menjadi lembaran papan. Bahan Kimia Formaldehyde dikenal bisa menyebabkan iritasi mata, hidung, tenggorokan dan bahkan paru-paru walaupun hanya pada level kontak yang rendah. Menurut IARC (International Agency for Research on Cancer), sebuah sub organisasi dari WHO (World health Organization) menemukan bahwa debu kayu merupakan 'carcinogen' (penyebab kanker) dan Formaldehyde juga disebutkan adanya kemungkinan yang sama pada level carcinogen 3, yang berarti memiliki potensi untuk menjadi penyebab kanker, sehingga pada pemakaiannya harus diberikan pengganti apabila memungkinkan atau mengurangi pemakaiannya sekecil mungkin. Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan, alat kerja, bahan, proses maupun lingkungan kerja, sehingga disebutkan penyakit ini bersifat artifisial atau ditimbulkan oleh manusia itu sendiri. Salah satu contoh kasus asma yang dialami oleh seorang pekerja disebuah pabrik pengolahan kayu yang memiliki gejala gejala berupa gejala batuk, sesak nafas dan rasa berat di dada. Disamping gejala asma itu, yang lebih sering pekerja akan mengalami gejala gangguan hidung dan pernafasan di tempat kerja. Gejala biasanya bertambah parah selama jam kerja dan menjadi membaik ketika pasien kembali ke rumah. Biasanya gejala memburuk pada akhir minggu dan akan sangat membaik selama masa cuti atau libur. Ada beberapa penyebab terjadi kecelakaan kerja mulai dari kelelahan bekerja, lalai dan tenaga kerja baru yang tak berpengalaman dalam mengoperasikan alat. Peralatan yang sudah tua di perusahaan kayu, juga menjadi penyebabnya. Karyawan / pekerja pabrik pengolahan kayu tersebut diduga mengalami penyakit asma akibat kerja yang ditimbulkan oleh penghirupan melalui saluran pernafasan (inhalasi) agenagen sensitisasi atau iritan yang terdapat dalang lingkungan pabrik tersebut. Zat yang dapat merangsang hiper-reaksi dari bronchus sehingga mengakibatkan sesak nafas pada kasus ini diduga adalah debu kayu yang diolah di pabrik tersebut.

15

Penyakit Paru Akibat Pekerjaan terjadi akibat terhirupnya atau terinhalasinya partikel, kabut, uap atau gas yang berbahaya pada saat seseorang sedang bekerja. Lokasi tersangkutnya zat tersebut pada saluran pernafasan atau paru-paru dan jenis penyakit paru yang terjadi, tergantung kepada ukuran dan jenis partikel yang terhirup. Partikel yang lebih besar mungkin akan terperangkap di dalam hidung atau saluran pernafasan yang besar, tetapi partikel yang sangat kecil bisa sampai ke paru-paru. Di dalam paru-paru, beberapa partikel dicerna dan bisa diserap ke dalam aliran darah. Partikel yang lebih padat yang tidak dapat dicerna akan dikeluarkan oleh sistem pertahanan tubuh (Saffira, 2009). Secara klinis asma akibat kerja sama dengan asma yang bukan karena kerja. Beberapa penelitian menemukan bahwa lamanya paparan setelah gejala timbul dan beratnya asma saat diagnosa ditegakkan sangat menentukan prognosis. Asma Akibat Kerja (AAK) ditandai dengan obstruksi saluran napas yang variabel dan bronkus hiperesponsif yang disebabkan oleh inflamasi bronkial akut dan kronis. Hal tersebut bermula dari inhalasi debu, uap, gas yang diproduksi atau digunakan karyawan atau secara tidak sengaja ditemukan dalam lingkungan kerja. Gejala klinik hiper-reaksi bronchus dan asma kimia identik dengan asma bukan akibat kerja, ditandai dengan sesak nafas, mengi atau berbunyi ngik ngik saat bernafas, serta gangguan fungsi paru tipe obstruktif. Reaksi hipersensitivitas lambat mulai beberapa jam setelah paparan pertama, seringkali setelah jam kerja atau di malam hari, dan pemulihan memerlukan waktu lebih dari 24 jam. Sedangkan serangan asma yang ditimbulkan oleh iritasi biasanya timbul selama atau segera setelah paparan. Beberapa iritan menginduksi efek setelah suatu masa laten beberapa jam. Meskpiun pada kebanyakan individu gejala-gejala asma berhenti jika tidak ada paparan lebih lanjut, tetapi pada sebagian kasus dapat terjadi asma yang memanjang meskipun sudah tidak ada kontak dengan agen tertentu. Kasus yang demikian perlu dicurigai adanya kontak lingkungan yang berkelanjutan dengan suatu agen, atau reaksi silang dengan alergen non-okupasional lainnya.

16

Solusi Kasus Penyakit Akibat Kerja 1. Bila telah terjadi asma akibat kerja, maka pemindahan ke luar lingkungan kerja merupakan hal penting. Apabila karena sesuatu hal tidak bisa dipindahkan maka harus dilakukan upaya pencegahan dan pemantauan penurunan fungsi paru. 2. Evaluasi fungsi paru secara berkala pada pekerja yang sudah menderita asma akibat kerja diperlukan untuk mencegah kecacatan. Klinis asma akan menetap sampai beberapa tahun meskipun pekerja tersebut sudah keluar dari lingkungan kerjanya. 3. Pengobatan medikamentosa pada pasien asma akibat kerja sama seperti asma bronkial pada umumnya. 4. Teofilin, merupakan bronkodilator dan dapat menekan neutrophil chemotactic factor . Efektifitas kedua fungsi di atas tergantung dari kadar serum teofilin. 5. Agonis beta, merupakan bronkodilator yang paling baik untuk pengobatan asma akibat kerja dibandingkan dengan antagonis kolinergik (ipratropium bromid). 6. Kombinasi agonis beta dengan ipratropium bromid memperbaiki fungsi paru lebih baik dibanding hanya beta agonist saja. 7. Kortikosteroid, dari berbagai penelitian diketahui dapat mencegah

bronkokonstriksi yang disebabkan oleh provokasi bronkus menggunakan alergen. Selain itu juga akan memperbaiki fungsi paru, menurunkan eksaserbasi dan hiperesponsivitas saluran nafas dan pada akhirnya akan memperbaiki kualitas hidup.

You might also like