You are on page 1of 25

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Selama beberapa tahun terakhir kecenderungan terjadinya kekerasan seksual pada anak semakin meningkat jumlahnya. Peningkatan jumlah kasus yang terlaporkan dan dilaporkan meningkat secara akumulatif hingga 100 kasus setiap tahunnya antara tahun 2004 ke tahun 2007. Secara umum yang dimaksud dengan kekerasan seksual pada anak adalah keterlibatan seorang anak dalam segala bentuk aktivitas seksual yang terjadi sebelum anak mencapai batasan umur tertentu yang ditetapkan oleh hukum negara yang bersangkutan dimana orang dewasa atau anak lain yang usianya lebih tua atau orang yang dianggap memiliki pengetahuan lebih dari anak memanfaatkannya untuk kesenangan seksual atau aktivitas seksual. Di Indonesia UU Perlindungan Anak memberi batasan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun), termasuk anak yang masih dalam kandungan.1 Kejahatan seksual didefinisikan sebagai perilaku motivasi seksual dengan paksaan yang melanggar privasi walaupun terdapat perlawanan. Selanjutnya, segala motivasi perilaku seksual yang dilakukan pada anak di bawah umur atau pada seseorang dengan retardasi mental termasuk dalam lingkup terminologi kejahatan seksual.2 Anak-anak dan perempuan merupakan kelompok yang paling rentan menjadi korban tindak kejahatan ini. Menurut Ceci dan Friedman dalam penelitiannya pada tahun 2000 yang dikutip oleh London et al, walaupun kekerasan seksual pada anak (Child Sexual Abuse/ CSA) merupakan masalah sosial yang besar di Amerika, namun jumlah korban kekerasan seksual pada anak-anak tidak diketahui dengan pasti karena keterbatasan data.3 Keterbatasan data ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, estimasi insidensi kekerasan seksual pada anak ini terutama hanya berdasarkan pada laporan yang diterima dan divalidasi oleh Komisi Perlindungan Anak. Oleh karena itu hal ini tidak dapat menggambarkan jumlah kasus lain yang tidak terlapor. Alasan kedua adalah kesulitan akurasi diagnosis CSA yang disebabkan oleh keterbatasan bukti pemeriksaan fisik atau karena banyaknya kasus-kasus yang meragukan serta akibat ketiadaan standar baku spesifik mengenai gejala psikologi terhadap kekerasan seksual itu sendiri. Karena

keterbatasan bukti medis dan psikologis, maka keterangan yang diberikan korban dapat menjadi bukti utama bagi kasus tersebut.3 Di Indonesia sendiri kasus-kasus kejahatan seksual yang diantaranya ialah perkosaan dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini meningkat. Di Jakarta angka perkosaan pada tahun 2002 sebesar 20,22%.4 Data tahun 2008 yang diperoleh salah satu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Jakarta menunjukkan adanya peningkatan kasus kekerasan atau kejahatan seksual terhadap anak sebanyak dua kali lipat sebesar 35 kasus dari tahun sebelumnya yang mencapai 16 kasus. Hal yang memprihatikan adalah untuk kasus jenis perkosaan dan percabulan, tersangkanya masih berusia anak-anak 10 hingga 17 tahun.1 Dalam pembuktian secara Kedokteran Forensik pada setiap kasus kejahatan seksual sebenarnya terbatas di dalam upaya pembuktian ada/tidak adanya tanda-tanda, yaitu tanda kekerasan, tanda pergumulan, atau tanda persetubuhan, di samping itu perlu juga pembuktian terhadap perkiraan umur. Pada pembuktian tersebut bantuan dokter sangat diperlukan namun harus disadari bahwa kemampuan dokter di dalam rangka membantu mengungkap kasus kejahatan seksual sangat terbatas sekali sehingga tidak mungkin dokter dapat membantu mengungkap adanya paksaan dan ancaman kekerasan mengingat kedua hal itu tidak meninggalkan bukti-bukti medik. Dokter hanya diminta bantuannya untuk melakukan pemeriksaan terhadap korban dan barang bukti medik tindak perkosaan, sehingga dalam pemeriksaan tersebut dokter diharap bisa memperjelas kasus tindak pidana.4 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah peranan dokter pada pemeriksaan korban kejahatan seksual?

1.3 Tujuan Penulisan Untuk mengetahui peranan dokter pada pemeriksaan korban kejahatan seksual 1.4 Manfaat Penulisan 1.4.1. Dapat menambah pengetahuan penulis mengenai kasus kejahatan seksual

1.4.2. Dapat menambah informasi dan sebagai sumber referensi pembelajaran di bidang ilmu kedokteran forensik.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1

Prosedur Medikolegal Dalam tugas sehari-hari, selain melakukan pemeriksaan diagnostik, memberi pengobatan dan perawatan kepada pasien, dokter juga mempunyai tugas melakukan pemeriksaan medik untuk tujuan membantu penegak hukum, baik untuk korban hidup maupun korban mati.6 Menurut KUHAP pasal 133 ayat (1), yang berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli adalah penyidik. Sesuai dengan pasal 1 butir 28 KUHAP, pengertian mengenai keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Keterangan Ahli ini akan dijadikan sebagai alat bukti yang sah di depan sidang pengadilan berdasarkan pasal 184 KUHAP.6 Permintaan Keterangan ahli oleh penyidik harus dilakukan secara tertulis yang secara tegas telah diatur dalam KUHAP pasal 133 ayat (2). Pada korban yang masih hidup, sebaiknya diantar oleh petugas kepolisian guna pemastian identitas. Surat permintaan keterangan ahli tersebut ditujukan kepada instansi kesehatan atau instansi khusus untuk itu, bukan kepada individu dokter yang bekerja di dalam instansi tersebut.6 Sementara penyidik memenuhi wewenang mereka dalam mengirimkan surat permintaan keterangan ahli, maka dokter yang dalam hal ini berperan sebagai pihak yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter ahli lainnya, wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan. Hal ini telah diatur dalam KUHP pasal 179 ayat (1) dan (2).4 Di dalam upaya pembuktian secara kedokteran forensik, faktor keterbatasan di dalam ilmu kedokteran itu sendiri dapat sangat berperan, demikian halnya dengan faktor waktu serta faktor keaslian dari barang bukti (korban), maupun faktor-faktor dari si pelaku kejahatan seksual itu sendiri. Dengan demikian upaya pembuktian secara kedokteran forensik pada setiap kasus kejahatan seksual sebenarnya terbatas di dalam upaya pembuktian ada tidaknya tanda-tanda persetubuhan, ada tidaknya tanda-tanda kekerasan, perkiraan umur.4 2.2 Definisi
4

Kejahatan seksual merupakan perilaku motivasi seksual dengan paksaan yang melanggar privasi walaupun terdapat perlawanan. Selanjutnya, segala motivasi perilaku seksual yang dilakukan pada anak di bawah umur atau pada seseorang dengan retardasi mental termasuk dalam lingkup terminologi kejahatan seksual.2 Anak dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.6 2.3 Klasifikasi Terdapat dua macam bentuk kekerasan seksual, yaitu ringan dan berat. Macam-macam kekerasan seksual ringan:7

pelecehan seksual gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan tulisan/gambar ekspresi wajah, gerakan tubuh perbuatan menyita perhatian seksual tak dikehendaki korban, melecehkan dan atau menghina korban. Melakukan repitisi kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan seksual berat. Macam-macam kekerasan seksual berat :7

Pelecehan, kontak fisik: raba, sentuh organ seksual, cium paksa, rangkul, perbuatan yang rasa jijik, terteror, terhina Pemaksaan hubungan seksual Hubungan seksual dgn cara tidak disukai, merendahkan dan atau menyakitkan Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain, pelacuran tertentu. Hubungan seksual memanfaatkan posisi ketergantungan / lemahnya korban. Tindakan seksual + kekerasan fisik, dengan atau tanpa bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka, atau cedera.

2.4

Pemeriksaan Aspek Medikolegal pada Korban

Kejahatan Seksual Seyogyanya sebelum melakukan pemeriksaan terhadap korban perkosaan, dokter perlu memperhatikan ada tidaknya permintaan Surat Permintaan Visum (SPV) dari polisi dan keterangan mengenai kejadiannya, adanya persetujuan secara tertulis dari korban atau orang tua/wali korban yang menyatakan tidak keberatan untuk diperiksa seorang dokter, adanya perawat wanita atau polisi wanita yang mendampingi dokter selama melakukan pemeriksaan.4 Pemeriksaan secara medis pada korban kejahatan seksual, baik pada anakanak maupun dewasa pada dasarnya sama dengan pada pasien lain, yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang : 1. Anamnesis :

Umur Status perkawinan Haid : siklus dan hari pertama haid terakhir Penyakit kelamin dan kandungan Penyakit lain seperti ayan dan lain-lain Riwayat persetubuhan sebelumnya, waktu persetubuhan terakhir dan penggunaan kondom

Waktu kejadian Tempat kejadian Ada tidaknya perlawanan korban Apakah korban pingsan Ada tidaknya penetrasi Ada tidaknya ejakulasi

2. Periksa pakaian :
6

Robekan lama / baru / memanjang / melintang Kancing putus Bercak darah, sperma, lumpur dll. Pakaian dalam rapih atau tidak Benda-benda yang menempel sebagai trace evidence

3. Pemeriksaan badan : Umum :


Rambut atau wajah rapi atau kusut. Emosi tenang atau gelisah Tanda bekas pingsan, alkohol, narkotik. Ambil contoh darah Tanda kekerasan : Mulut, leher, pergelangan tangan, lengan, paha Trace evidence yang menempel pada tubuh Perkembangan seks sekunder Tinggi dan berat badan Pemeriksaan rutin lainnya

Genitalia : Pada pemeriksaan fisik anak, temuan tidak spesifik yaitu temuan yang mungkin sebagai akibat dari seksual abuse, tergantung pada jarak saat pemeriksaan dan saat abuse, tetapi mungkin juga akibat sebab lain atau merupakan varian yang normal. Eritema (kemerahan) vestibulum atau jaringan sekitar anus(dapat akibat zat iritan, infeksi atau iritan) Adesi labia ( mungkin akibat iritasi atau rabaan)
Friabilitas (retak) daerah posterior fourchette (akibat iritasi, infeksi atau karena

traksi labia mayor pada pemeriksaan)


7

Penebalan selaput dara (mungkin akibat estrogen, terlipatnya tepi selaput, bengkak karena infeksi ataun trauma) Kulit genital semu (mungkin jumbai kulit atau kulit bukan genital mungkin condyloma acuminata yang didapat bukan dari seksual) Fisura ani (biasanya akibat konstipasi atau iritasi perianal) Pendataran lipat anus (akibat relaksasi sfingter eksterna) Pelebaran anus dengan adanya tinja (refleks normal)
Kongesti vena atau pooling vena (biasanya akibat posisi anak, juga ditemuka pada

konstipasi)
Perdarahan pervaginam (mungkin berasal dari sumber lain, seperti uretra, atau

mungkin akibat infeksi vagina, benda asing atau trauma yang aksidental). Temuan pada anak yang telah memiliki riwayat abuse, mungkin ada abuse, tetapi tidak cukup data yang menunujukkan bahwa abuse adalah satu-satunya penyebab.

Riwayat sangat krusial dalam menentukan makna keseluruhannya :7

Pelebaran anus (notch atau cleft) selaput dara di daerah posterior, mencapai dekat dasar (sering merupakan artefak pada posisi pemeriksaan tertentu, tetapi bila konsisten pada beberapa posisi, maka mungkin akibat kekerasan tumpul atau penetrasi sebelumnya)

Lecet akut, laserasi atau memar labia, jaringan sekitar selaput dara atau perineum (mungkin akibat trauma aksidental, keadaan dermatologis seperti lichen sclerosus atau hemangioma)

Jejak gigitan atau hisapan di genitalia atau paha bagian dalam Jaringan parut atau laserasi baru daerah posterior fourchette tanpa mengenai selaput dara (dapat akibat trauma aksidental) Jaringan parut perianal (jarang, mungkin akibat keadaan medis lain seperti chrons disease atau akibat tindakan medis sebelumnya)

Pemeriksaan ekstra genital


Pemeriksaan terhadap pakaian dan benda-benda yang melekat pada tubuh Deskripsikan luka Pemeriksaan rongga mulut pada kasus oral sex Scrapping pada kulit yang memiliki noda sperma Pemeriksaan kuku jari korban untuk mencari material dari tubuh pelaku Pemeriksaan anal

4.

Mendeskripsikan mengenai adanya robekan, iregularitas, keadaan fissura. Apabila terjadi hubungan seksual secara anal, maka dapat terjadi perlukaan pada anus.

5.

Pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan seperti:


Pemeriksaan darah Pemeriksaan cairan mani (semen) Pemeriksaan kehamilan Pemeriksaan VDRL Pemerikaan serologis Hepatitis Pemeriksaan Gonorrhea Pemeriksaan HIV Pemeriksaan rambut, air liur, dan pemeriksaan pria tersangka

Terdapat beberapa hal penting yang harus ditentukan dan dievaluasi pada korban kejahatan seksual, yaitu5: 1. Menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan Persetubuhan adalah suatu peristiwa dimana alat kelamin laki-laki masuk ke dalam alat kelamin perempuan, sebagian atau seluruhnya dan dengan atau tanpa
9

terjadinya pancaran air mani, sehingga besarnya zakar dengan ketegangannya, sampai seberapa jauh zakar masuk, keadaan selaput dara serta posisi persetubuhan mempengaruhi hasil pemeriksaan. Derajat penetrasi dapat dibagi dua, yaitu penetrasi minimal atau sebagian dan penetrasi seluruhnya atau total. Penetrasi minimal adalah menggesekkan penis di antara labia pada vulva tanpa memasukkan penis ke dalam vagina, adanya luka lecet, hiperemi, atau memar pada vulva dapat ditemukan pada penetrasi yang minimal. Sedangkan penetrasi total adalah menggesekkan penis dengan memasukkan penis ke dalam vagina. Hal yang dapat ditemukan pada penetrasi total antara lain robekan pada selaput dara, tanda penyembuhan luka berupa jaringan parut yang halus di sepanjang dinding vagina, pada anak yang prepubertas dapat mengalami trauma genital yang berat yang memerlukan tindakan surgical repair, serta ditemukannya ejakulat yang mengandung spermatzoa bila disertai dengan ejakulasi.13,14 Tidak terdapatnya robekan pada hymen, tidak dapat dipastikan bahwa pada wanita tidak terjadi penetrasi, sebaliknya adanya robekan pada hymen hanya merupakan pertanda adanya sesuatu benda (penis atau benda lain), yang masuk ke dalam vagina. Apabila pada persetubuhan tersebut disertai dengan ejakulasi dan ejakulat tersebut mengandung sperma, maka adanya sperma di dalam liang vagina merupakan tanda pasti adanya persetubuhan. Apabila ejakulat tidak mengandung sperma maka pembuktian adanya persetubuhan dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan terhadap ejakulat tersebut. Komponen yang terdapat di dalam ejakulat dan dapat diperiksa adalah enzym asam fosfatase, kholin dan spermin. Ketiganya bila dibandingkan dengan sperma, nilai untuk pembuktian lebih rendah oleh karena ketiga komponen tersebut tidak spesifik. Walaupun demikian enzym fosfatase masih dapat diandalkan, oleh karena kadar asam fosfatase yang normalnya juga terdapat dalam vagina, kadarnya jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan asam fosfatase yang berasal dari kelenjar prostat. Tanda tidak langsung adanya persetubuhan yaitu terjadinya kehamilan dan penyakit menular seksual. Namun apabila kedua tanda tersebut tidak ada, kemungkinan bahwa telah terjadi persetubuhan juga tidak dapat disingkirkan.

10

Dengan demikian, apabila pada kejahatan seksual yang disertai dengan persetubuhan itu tidak sampai berakhir dengan ejakulasi, dengan sendirinya pembuktian adanya persetubuhan secara kedokteran forensik tidak mungkin dapat dilakukan secara pasti. Sebagai konsekuensinya dokter tidak dapat secara pasti pula menentukan bahwa pada wanita tidak terjadi persetubuhan. Maksimal dokter harus mengatakan bahwa pada diri wanita yang diperiksa itu tidak ditemukan tanda-tanda persetubuhan, yang mencakup dua kemungkinan: pertama, memang tidak ada persetubuhan, dan kedua, persetubuhan ada tetapi tanda-tandanya tidak dapat ditemukan. Apabila persetubuhan telah dapat dibuktikan secara pasti, maka perkiraan saat terjadinya persetubuhan harus pula ditentukan. Hal ini menyangkut masalah alibi yang sangat penting di dalam proses penyidikan. Sperma di dalam liang vagina masih dapat bergerak dalam waktu 4-5 jam post coital. Sperma masih dapat ditemukan tidak bergerak sampai sekitar 24-36 jam post-coital pada korban yang hidup. Perkiraan saat terjadinya persetubuhan juga dapat ditentukan dari proses penyembuhan selaput dara yang robek, yang pada umumnya penyembuhan akan dicapai dalam waktu 7-10 hari post-coital.9

11

Tabel 1. Hasil pemeriksaan yang diharapkan pada korban kejahatan seksual Penyebab Penetrasi zakar Hasil pemeriksaaan yang diharapkan Robekan pada selaput dara 2. Luka-luka pada bibir kemaluan Pancaran air mani (ejakulasi) dan dinding vagina 1. Sperma di dalam vagina
2.

Asam

fostase,

kholin

dan

sperma di dalam vagina Penyakit kelamin 3.Kehamilan 1.G.O. (kencing nanah) 2.Lues (sifilis) Tabel 2. Tanda-tanda Persetubuhan.15 Selaput Dara Utuh Lubang sebesar ujung jari Sperma Dalam pintu liang vagina Kesan Tanda-tanda ejakulasi di pintu, tapi tidak terdapat masuknya alat kelamin pria. Tidak dapat dikatakan telah terjadi persetubuhan Tidak terdapat tandatanda persetubuhan Tidak terdapat tandatanda persetubuhan yang baru (3-6 hari terakhir) Terdapat tanda-tanda persetubuhan yang baru Terdapat tanda-tanda persetubuhan yang baru Robekan disebabkan oleh masuknya kelamin pria dalam ereksi atau benda tumpul yang menyerupai. Tidak ada sperma belum menyingkirkan telah terjadi persetubuhan Persetubuhan pernah terjadi pada waktu yang Dalam liang vagina lampau Terdapat tanda-tanda persetubuhan baru
12

Utuh Lubang sebesar ujung jari Utuh Lubang sebesar dua jari

Tidak ada Tidak ada

Dalam liang vagina Robekan segar /baru Dalam liang sanggama Tidak ada

Dengan satu atau beberapa robekan lama dan dapat dilalui dengan dua jari

Tidak ada

2. Menentukan adanya tanda-tanda kekerasan Pembuktian adanya kekerasan pada tubuh wanita korban tidaklah sulit. Dalam hal ini perlu diketahui lokasi luka-luka yang sering ditemukan yaitu pada daerah mulut dan bibir, leher, puting susu, pergelangan tangan, pangkal paha serta di sekitar dan pada alat genital. Luka-luka akibat kekerasan pada kejahatan seksual biasanya berbentuk luka-luka lecet bekas kuku, gigitan serta luka memar.9 Dalam hal pembuktian adanya kekerasan bahwa tidak selamanya kekerasan itu menimbulkan bekas yang berbentuk luka. Dengan demikian tidak ditemukannya luka tidak berarti bahwa pada korban tidak terjadi kekerasan. Tindakan pembiusan dikategorikan sebagai kekerasan maka dengan sendirinya diperlukan pemeriksaan untuk menentukan ada tidaknya obat-obat atau racun yang kiranya membuat korban pingsan. Sehingga dalam setiap tindakan kejahatan seksual pemeriksaan toksikologi menjadi prosedur rutin dikerjakan.4 3. Memperkirakan umur Tujuan pemeriksaan untuk memperkirakan umur korban salah satunya mengacu pada pasal 287 KUHP bahwa barang siapa yang bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Tindak pidana ini merupakan persetubuhan dengan wanita yang menurut undang-undang belum cukup umur. Jika umur korban belum cukup 15 tahun tetapi sudah di atas 12 tahun, penuntutan baru dilakukan bila ada pengaduan dari yang bersangkutan (delik aduan).5,9 Selain itu, pentingnya memperkirakan umur korban juga didasarkan pada pasal 81 Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, bahwa: (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
13

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Perkiraan umur dapat diketahui dengan melakukan serangkaian pemeriksaan yang meliputi perkembangan fisik, ciri-ciri seks sekunder, pertumbuhan gigi, fusi atau penyatuan dari tulang-tulang khususnya tengkorak serta pemeriksaan radiologik lainnya.9 Salah satu cara memperkirakan umur pada korban kejahatan seksual adalah dengan memperhatika ciri-ciri seks sekunder. Dalam hal ini termasuk perubahan pada genitalia, payudara dan tumbuhnya rambut-rambut seksual yang pertama tumbuh hampir selalu di daerah pubis10. Sexual Maturation Rate (SMR) atau dikenal juga dengan Tanner Staging merupakan penilaian ciri seks sekunder. SMR didasarkan pada penampakan rambut pubis, perkembangan payudara dan terjadinya menarke pada perempuan. SMR stadium 1 menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan prapubertal, sedangkan stadium 2-4 menunjukkan pubertas progress. SMR stadium 5 pematangan seksual sudah sempurna. Pematangan seksual berhubungan dengan pertumbuhan liniar, perubahan berat badan dan komposisi tubuh, dan perubahan hormonal11.

14

Sexual Maturating Rate (SMR) pada Perempuan berdasarkan Tanner Stage

Gambar 1. Sexual Maturating Rate (SMR) meliputi perkembangan payudara pada perempuan12

15

Gamba 2. Sexual Maturating Rate (SMR) meliputi perubahan rambut pubis pada perempuan12. Tabel 2. Sexual Maturating Rate (SMR) pada perempuan12 Tahap SMR 1 (<10 tahun) 2
(10-11 tahun)

Rambut Pubis Preremaja Preremaja

Payudara

Jarang, kurang berpigmen, lurus, Payudara dan papilla menonjol tepi medial labia seperti bukit kecil, diameter areola bertambah Lebih gelap, mulai keriting, makin Payudara dan areola membesar, lebat tidak ada pemisahan kontur Kasar, keriting, lebat, tetapi kurang Areola dan papilla membentuk lebat dibandingkan dengan orang bukit kecil sekunder dewasa Segitiga paha peminim dewasa, Matur, putting menonjol, areola bagian dari kontur payudara keseluruhan

3
(12-14 tahun)

4
(13-15 tahun)

5 (>16 tahun)

menyebar ke permukaan medial merupakan

BAB III LAPORAN KASUS


16

3.1

Prosedur Medikolegal Korban berinisial IAWO seorang perempuan, umur kurang lebih 16 tahun,

kewarganegaraan Indonesia, agama Hindu, datang dengan polisi bersama SPV yang bernomor Polisi B/12/II/2012/Bali/PolrestaDps/Polsek Dentim tertanggal 28 Februari 2012 ke Instalasi kedokteran Forensik Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar pada tanggal 28 Febuari 2012. Korban diantar oleh ibunya mengaku telah melakukan hubungan badan atau bersetubuh oleh laki-laki yang bukan merupakan suaminya dan diketahui merupakan teman dekat terduga sebanyak tiga kali di rumah laki-laki tersebut, terakhir pada hari Minggu, tanggal 26 Februari 2012. Korban kemudian diantar ke bagian obstetri dan ginekologi IRD RSUP Sanglah untuk dilakukan anamnesis, pemeriksaan luar dan dalam. Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 28 Febuari 2012 pukul 13.50 WITA. 3.2. Pemeriksaan Korban Dari keterangan yang diperoleh dari korban mengenai kronologis kejadiannya, diketahui bahwa korban baru kenal dengan pelaku sejak bulan Januari dan baru berpacaran sejak 1 minggu sebelum kejadian. Awalnya pada hari Sabtu, 25 Februari 2012 korban dijemput di sekolahnya dan dijanjikan akan diajari nge-DJ oleh pelaku. Kemudian korban diajak makan di daerah Renon, setelah itu ke rumah pelaku di daerah Ubung. Pelaku sempat mengajari korban bermain DJ sebentar, namun karena sudah malam korban minta untuk diantar pulang. Pada saat itu korban tidak diperbolehkan pulang dan disuruh untuk menginap saja. Korban diajak untuk berhubungan dan diancam tidak akan diantar pulang bila tidak mau. Saat itu korban mengaku berhubungan satu kali tanpa menggunakan kondom dan sperma pelaku dikeluarkan di luar vagina. Keesokannya pada hari Minggu tanggal 26 Februari 2012 korban diajak untuk kumpul-kumpul dengan teman-teman korban sampai sore, kemudian latihan DJ sampai malam. Korban tetap tidak diperbolehkan pulang dan mereka kembali berhubungan badan sebanyak dua kali, dikatakan tanpa paksaan. Pada hari Senin sore pelaku mengantarkan korban sampai ke MCD Sanur dan dari sana korban pulang ke rumag dengan naik taksi. Di rumah korban mengaku telah melakukan hubungan badan dengan teman lelakinya. Ibunya lantas mengajak korban ke praktek dokter spesialis kebidanan dan kandungan. Disana korban
17

diberikan obat postinor. Keesokan harinya pada hari Selasa ibu korban melaporkan kejadian tersebut ke kantor polisi dan dilakukan visum. Pada anamnesis korban mengaku belum menikah. Korban menarche saat berumur 12 tahun dengan siklus yang teratur (28 hari), lamanya menstruasi kurang lebih 5-7 hari. Korban mengaku hari pertama haid terakhir tanggal 5 Febuari 2012. Korban mengaku adanya riwayat koitus sebelumnya, terakhir sekitar satu tahun sebelum pemeriksaan, dengan laki-laki yang tidak dikenal. Korban mengaku saat itu diperkosa, namun tidak dilaporkan ke polisi. Selain itu korban juga membantah adanya riwayat pengobatan, operasi maupun penyalahgunaan obat dan alkohol. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, GCS E4V5M6, tekanan darah 120/80 mmHg, Nadi 84 x/menit, frekwensi pernafasan 20x/menit, suhu aksila 36,5C. Keadaan umum baik, sikap tenang dan cukup membantu dalam pemeriksan. Korban datang menggunakan pakaian yang berbeda dengan pakaian saat kejadian. Pada pemeriksaan ciri seksual sekunder berdasarkan TANNER STAGE didapatkan hasil: Buah dada termasuk stadium B4, dimana areola dan papilla membentuk bukit kecil sekunder (usia 13-15 tahun). Rambut pubis termasuk stadium Pu4, rambut berpigmen kasar, keriting, lebat, tetapi kurang lebat dibandingkan dengan orang dewasa (13-15 tahun). Pemeriksaan status generalis. didapatkan: Mata, hidung, mulut dan telinga dalam batas normal. Thorax: o Inspeksi: bentuk dada simetris, tidak nampak adanya jejas, luka maupun tanda-tanda kekerasan fisik lainnya o Palpasi: Tidak nampak massa, nyeri tekan (-) o Perkusi: Sonor pada seluruh lapang paru. Nyeri ketok (-) Abdomen: o Inspeksi: bentuk normal, tidak nampak adanya jejas, luka maupun tandatanda kekerasan fisik lainnya o Palpasi: Tidak nampak massa, nyeri tekan (-)
18

o Perkusi: Timpani. Ekstremitas: akral hangat, tidak ada edema pada ke-4 ekstrimitas Pemeriksaan luka: Tidak ditemukan luka-luka pada anggota tubuh bagian lain. Pada pemeriksaan genitalia didapatkan luka lecet pada fourchette posterior. Didapatkan robekan pada hymen lama pada arah jam 2 dan jam 10, ditemukan pula robekan baru pada arah jam 7 yang tampak kemerahan. Tidak terdapat perdarahan aktif/darah kering/granulasi. Pada pemeriksaan bimanual tidak didapatkan kelainan, tinggi fundus uteri tak teraba. Pada pemeriksaan rektal tidak ditemukan adanya luka garukan, robekan otot, bengkak, maupun noda feses pada bokong. Sfingter ani dalam kondisi intak dan tonus otot normal Pada korban dilakukan pemeriksaan swab vagina dengan hasil spermatozoa negatif. Selain itu dilakukan pula tes kehamilan dengan alat uji cepat dengan bahan air kencing dan didapatkan hasil negatif. Setelah dilakukan pemeriksaan, korban tidak diberikan terapi oleh dokter spesialis kandungan. Korban dipulangkan dalam keadaan baik.

19

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Prosedur Medikolegal Pada kasus ini, permintaan surat Keterangan Ahli berupa surat permintaan visum korban kejahatan seksual telah dikirimkan oleh penyidik kepada instansi kesehatan, dalam hal ini Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar, dimana prosedur tersebut telah sesuai dengan wewenang penyidik serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, menjadi kewajiban dokter untuk melakukan pemeriksaan terhadap korban sesuai dengan keperluan penyidikan. Dalam hal ini dokter ahli kandungan dan kebidanan serta dokter ahli kedokteran kehakiman dapat secara bersama-sama untuk melakukan pemeriksaan terhadap korban. Selanjutnya dokter ahli kedokteran kehakiman wajib membuat surat Keterangan Ahli berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan terhadap korban. Surat Keterangan Ahli berupa Visum et Repertum ini yang nantinya akan berfungsi sebagai alat bukti yang sah sesuai dengan KUHAP pasal 184 ayat (1). 4.2 Tanda Persetubuhan Persetubuhan adalah perpaduan antara dua alat kelamin yang berlainan jenis guna memenuhi kebutuhan biologis yaitu kebutuhan seksual. Perpaduan tersebut tidak harus sedemikian rupa sehingga seluruh penis masuk ke dalam vagina. Penetrasi yang paling ringan yaitu masuknya ujung penis di antara kedua labium mayora sudah dapat dikategorikan sebagai senggama, baik diakhiri atau tidak diakhiri dengan orgasme atau ejakulasi. Robekan selaput dara hanya akan menunjukkan adanya benda (padat atau kenyal) yang masuk, dengan demikian bukan merupakan tanda pasti dari adanya persetubuhan. Derajat penetrasi dapat dibagi dua, yaitu penetrasi minimal atau sebagian dan penetrasi seluruhnya atau total. Penetrasi minimal adalah menggesekkan penis di antara labia pada vulva tanpa memasukkan penis ke dalam vagina, adanya luka lecet, hiperemi, atau memar pada vulva dapat ditemukan pada penetrasi yang minimal. Sedangkan penetrasi total adalah menggesekkan penis dengan memasukkan penis ke dalam vagina. Hal yang dapat ditemukan pada penetrasi total antara lain robekan pada selaput dara, tanda
20

penyembuhan luka berupa jaringan parut halus di sepanjang dinding vagina, pada anak yang prepubertas dapat mengalami trauma genital yang berat yang memerlukan tindakan surgical repair, serta ditemukannya ejakulat yang mengandung spermatozoa bila disertai dengan ejakulasi. Dari pemeriksaan ditemukan adanya robekan selaput dara lama yang sudah menyembuh pada arah jam 2 dan 10 serta robekan selaput dara baru pada arah jam 7 yang masih tampak kemerahan. Selain itu juga ditemukan laserasi pada fourcette posterior. Ini dapat menunjukkan adanya penetrasi total akibat benda tumpul yang lama dan baru terjadi, yang tidak memastikan adanya persetubuhan. Namun hal ini sesuai dengan keterangan korban bahwa pernah terjadi persetubuhan kurang lebih 1 tahun yang lalu serta 2 dan 3 hari sebelum pemeriksaan. Meskipun tanda pasti dari persetubuhan adalah adanya pancaran air mani atau ejakulasi pada pemeriksaan, namun perlu ditekankan bahwa tidak didapatkan adanya sel mani tidak boleh diartikan bahwa pada korban tidak terjadi persetubuhan. Dari pemeriksaan vaginal swab korban, tidak ditemukan adanya sel-sel sperma. Tanda tidak langsung adanya persetubuhan antara lain kehamilan dan terjadinya penyakit kelamin. Pada korban telah dilakukan tes kehamilan, dimana hasilnya negatif. Hal tersebut belum memastikan bahwa tidak terjadi konsepsi, karena alat uji cepat tersebut baru menunjukkan hasil yang positif 7 hari setelah konsepsi, sedangkan tes dilakukan 3 hari setelah persetubuhan. Kalaupun hasilnya tetap negatif dan tidak terjadi kehamilan, kemungkinan adanya persetubuhan belum dapat disingkirkan. Dari pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya tanda-tanda penyakit kelamin, namun hal ini juga tidak dapat menyingkirkan kemungkinan bahwa telah terjadi persetubuhan.
4.3 Tanda Kekerasan

Yang dimaksud dengan kekerasan adalah tindakan pelaku yang bersifat fisik dan dilakukan dalam rangka memaksa korban agar dapat disetubuhi. Kekerasan tersebut dimaksud untuk menimbulkan ketakutan atau untuk melemahkan daya lawan korban. Pada pemeriksaan dicari tanda-tanda bekas kekerasan pada tubuh korban terutama pada daerah mulut dan bibir, leher, puting susu, pergelangan tangan,

21

pangkal paha serta di sekitar dan pada alat genital, berupa goresan, garukan, gigitan, luka lecet, maupun luka memar. Tidak adanya luka, tidak mengartikan bahwa tidak terjadi tindakan kekerasan. Kekerasan bisa terjadi dengan cara pemberian zat-zat yang dapat melemahkan daya korban sesuai Pasal 89 KUHP yang berbunyi : Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. Selanjutnya Pasal 285 KUHP yang berbunyi: Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Serta Pasal 286 KUHP yang berbunyi: Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Pada kasus ini korban mengaku tidak mengalami kekerasan selama kejadian, hal ini didukung oleh hasil pemeriksaan yang tidak menunjukkan adanya tanda-tanda kekerasan fisik pada tubuh korban. Korban juga mengaku tidak ada diberikan suatu zat yang melemahkan seperti obat maupun minuman. 4.4 Perkiraan Umur Umur korban juga merupakan hal yang harus diperhatikan. Pada kasus ini, umur korban didapatkan dari pengakuan korban sendiri yaitu 16 tahun. Selain itu, dari prosedur pemeriksaan perkiraan umur melalui Tanner Stage, didapatkan sesuai dengan klasifikasi Tanner 4, dimana ciri perkembangan seksual sekundernya sesuai dengan usia 13-15 tahun, yang memperkuat keterangan dari korban. Dari keterangan dan pemeriksaan fisik yang dilakukan, maka korban masih tergolong anak-anak dibawah umur yaitu di bawah umur 18 tahun sesuai Pasal 1 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.

22

BAB V PENUTUP

5.1. Simpulan Peranan seorang dokter dalam pengumpulan bukti salama pemeriksaan medis forensik memiliki hubungan langsung dengan keberhasilan penuntutan kasus. Selain itu, seorang dokter dituntut untuk dapat menetukan adanya tanda-tanda persetubuhan, adanya tanda-tanda kekerasan, serta memperkirakan umur korban berdasarkan keilmuan yang dimilikinya. 5.2. Saran 1. Bagi instansi kesehatan, khususnya rumah sakit agar lebih meningkatkan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana pemeriksaan penunjang, khususnya bagi korban kejahatan seksual, sehingga diharapkan dapat semakin membantu lancarnya proses peradilan. 2. Pada kasus kejahatan seksual pada anak, sebaiknya pemeriksaan toksikologi dilakukan secara rutin.

23

DAFTAR PUSTAKA
1.

Mira, Doni. 2010. Kekerasan Seksual Pada Anak. Newsletter PULIH Volume 15 p1-8.

2. Kar, Hakan et al. 2010. Sexual Assault in Childhood and Adolescence; a Survey

Study. European Journal of Social Sciences Volume 13, No. 4 pg549-55.


3.

London et al. 2005. Disclosure of Child Sexual Abuse. Psychology, Public Policy, and Law 2005, Vol. 11, No. 1, 194226

4. Kusuma, S.E dan Yudianto, A. 2007.Kejahatan Seksual. Dalam: Ilmu Kedokteran

Forensik dan Medikolegal. Surabaya: Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Universitas Airlangga Surabaya
5.

Budiyanto, A,dkk. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik.. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p1-5

6. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak.
7. Syaulia, et al. 2008. Kejahatan Seksual, Romans Forensic Ed 20. Available from

http://www.scribd.com/doc/54671022/48 (Accessed: March, 3 2012).


8. Saanin, S. Aspek-Aspek Fisik/ Medis Serta Peran Pusat Krisis dan Trauma dalam

Penanganan Korban Tindak Kekerasan. Available from: www. angelfire.com (Accessed: March, 3 2012. Last update: January, 2007)
9. Idries, AM. 1997. Kejahatan Seksual. Dalam: Idries, AM, Pedoman Ilmu Kedokteran

Forensik. Jakarta: Bina Rupa Aksara. p 216-27


10. Narendra et al, 2002. Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Jakarta : Ikatan Dokter

Anak Indonesia.
11. Stang, J., Story, M., 2005. Pubertal Growth and Development. Available from: http://

www.epi.umn.edu/let/pubs/img/adol_ch1.pdf. (Accesed: 2012, March 3).


12. Behrman, RE., Kliegman, RM., Arvin AM., 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson ed

15. Jakarta: EGC.


13. Wells, David et al. 2006. Paediatric Forensic Medicine, Centre for learning and

Teaching Support Monash University Churcill-Australia.p 188-203


14. Jean Edwards. 2007. Medical Examinations of Sexual Assault Victims: Forensic use

and Relevance. Available from: http://www.judcom.nsw.gov.au/ publications/ benchbks/sexual_assault(Accesed: 2012, March 13).
24

15. Syaiful Saanin. 2008. Aspek-Aspek Fisik / Medis Serta Peran Pusat Krisis Dan

Trauma

Dalam

Penanganan

Korban

Tindak

Kekerasan.

Available

from:

www.angelfire.com/nc/neurosurgery/kekerasan.html(Accesed: 2012, March 13).

25

You might also like