You are on page 1of 3

Resesi & Daerah Tertinggal

Oleh; Laode Ida, Sosiolog, Wakil Ketua DPD RI

Depresi ekonomi yang terjadi selama beberapa bulan terakhir, dalam keseharian sebenarnya
lebih banyak dirasakan oleh masyarakat yang hidup di perkotaan, terutama para kapitalis,
pemain valas, pebisnis yang berbasis ekspor, dan umumnya masyarakat yang menggantungkan
diri pada sektor industri manufaktur dan jasa.

Tidak mengherankan kalau ada di antara mereka yang mengalami kerugian besar akibat
jatuhnya nilai saham perusahaannya dan beberapa industri garmen yang terpaksa ditutup.
Bahkan industri automotif terbesar di dunia, General Motor mempertimbangkan untuk pailit,
akibat kerugian yang dideritanya antara lain akibat naiknya biaya produksi sementara daya beli
masyarakat secara signifikan menurun.

Masyarakat di pedesaan, yang mengandalkan kehidupan seharihari dari sektor


pertanian,perikanan, dan sejenisnya,relatif tak merasakan resesi perekonomian global.Apalagi
mereka yang usahanya bersifat subsisten dari masa ke masa, kehidupan mereka dalam
ruang/wilayah itu tetap saja stabil.

Kondisi ini dapat dengan mudah dipahami karena untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
(makan dan minum) cukup dengan apa adanya dari kebun, ladang, dengan mengail ikan di laut,
dan semacamnya. Semua itu pun, lantaran alami alias tak dicemari oleh bahan-bahan kimia,
insya Allah sehat adanya. Umumnya orang desa, tak perlu ke mal dulu untuk beli bahan
makanan produk industri, dan mereka juga sudah pasti tak memiliki saham di berbagai
perusahaan besar yang terkena imbas resesi ekonomi itu.

*** Persoalan baru muncul terkait dengan interaksi desa–kota dalam,setidaknya, tiga
kemungkinan.Pertama, pasar produk pertanian hasil orangorang desa yang dijual atau menjadi
kebutuhan masyarakat perkotaan, utamanya ketika daya beli masyarakat kota
rendah,pendapatan petani di desa pun menurun.

Namun kalau pada saat yang sama terjadi kenaikan harga dari hasil-hasil pertanian dan
perikanan, maka orang-orang desa justru beruntung dengan resesi ekonomi global. Kedua,
ketika terjadi rasionalisasi berbagai perusahaan industri manufaktur dan jasa, dengan
mengurangi jumlah karyawan—apalagi sampai pada penutupan perusahaan—di mana sebagian
karyawannya orangorang yang berasal dari desa, maka sudah pasti akan kembali menambah
beban sosial sebagian masyarakat desa.

Soalnya,bila pengangguran bertambah, berarti kontribusi pekerja asal desa ke keluarga mereka
pastilah akan berkurang. Ketiga, sebagian orang-orang desa tentu saja menggantungkan masa
depan generasinya terhadap aktivitas yang berbasis perkotaan, utamanya bagi mereka yang
berjuang untuk memperoleh pendidikan (ilmu pengetahuan dan teknologi). Kehidupan di
perkotaan, apalagi dengan terjadinya resesi ekonomi, sudah pasti akan berjalan bersamaan
dengan meningkatnya biaya hidup, termasuk di dalamnya biaya pendidikan.

Maka orang-orang desa, terutama yang berusaha secara subsisten, akan sulit melakukan
investasi sumber daya manusia pada anak-anak atau generasi mereka. Secara teoretis memang
semakin jauh posisi domisili masyarakat desa dengan kota, atau semakin rendah intensitas
antara masyarakat desa dengan aktivitas perekonomian yang berwatak urban-modernis, akan
semakin kecil pula efek negatifnya bagi kelompok masyarakat pedesaan itu.

Tepatnya, semakin jauh tingkat keterpencilan suatu wilayah dan masyarakatnya (sebagai salah
satu indikator daerah tertinggal), maka efek negatif depresi ekonomi kian tak terasakan secara
langsung dalam keseharian. Kendati demikian, apa yang dijelaskan di atas lebih merupakan
telaah sosiologi ”kota-desa” ketimbang kajian ekonomi pembangunan. Padahal berbicara
tentang daerah tertinggal,kecuali memang harus memahami betul fondasi sosio-kulturalnya,
juga tak bisa dilepaskan dengan kondisi dunia saat ini.

Hampir semua wilayah, pemerintahan dan masyarakat, sudah masuk dalam perangkap sistem
ekonomi dunia yang interdependency dengan posisi negara maju yang kapitalistik pada posisi
pusat alias strata teratas yang menimbulkan rangsangan semua negara yang terbelakang untuk
mengikuti jejaknya–kendati terkadang ahistoris.

Maka, dalam konteks inilah daerah-daerah tertinggal, apalagi yang tergolong terpencil seperti
umumnya terjadi di luar Jawa, merupakan wilayah yang secara fisik dan sosial berada pada
stratifikasi terbawah alias terpinggirkan secara mutlak.

*** Terminologi daerah tertinggal, pada tataran teoretis, sebenarnya mengikuti arus pemikiran
paradigma modernisasi yang melihat realita negara-negara di dunia secara berjenjang
berdasarkan tingkat kemajuan pembangunan fisik-material.

Di Indonesia, ada Jakarta sebagai pusat kemajuan, atau Pulau Jawa pada umumnya yang jauh
lebih maju pembangunan fisiknya dibanding daerahdaerah di luar Jawa. Parameternya pun
kemudian dibuat untuk memastikan apakah suatu daerah tergolong tertinggal, sehingga
Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) mendapatkan 199 kabupaten di
Indonesia ini yang dianggap tertinggal. (data yang umumnya terdapat di kawasan timur
Indonesia ini sudah pastilah akan bertambah jumlahnya, karena secara administratif sebagian
di antaranya sudah dimekarkan menjadi beberapa kabupaten).

Pemerintah Indonesia memang memiliki kemauan politik untuk menjadikan daerah-daerah


tertinggal itu bisa lebih berakselerasi.Kebijakan ini, dalam teori sosiologi, memang memiliki
basis paradigmatis, yakni perlunya intervensi negara (state intervention) untuk menangani
suatu daerah atau masyarakat untuk mengarah pada kondisi yang lebih baik.

Di sinilah muncul problem yang kemungkinan akan demikian signifikan bagi daerahdaerah
tertinggal dengan adanya depresi ekonomi sekarang ini. Mengapa? Pertama, pembangunan
daerah tertinggal (mengatasi masalah yang terjadi dan atau mengembangkan potensi yang ada)
haruslah didukung kuat oleh anggaran negara yang memadai.Persoalannya,ketika terjadi krisis
ekonomi global, di mana secara langsung berpengaruh pada anggaran negara, maka sulit untuk
memperoleh kepastian adanya alokasi anggaran yang besar khusus untuk daerah-daerah
tertinggal.

Kedua, pembangunan daerah tertinggal memerlukan dukungan dari kalangan pemodal dari
dalam maupun luar negeri. Seperti sudah disinggung di awal tulisan ini, justru para pelaku dari
pihak swasta nasional dan internasional itulah yang mengalami kerugian besar dengan
terjadinya krisis ekonomi global sekarang ini.
Kondisi seperti itulah tampaknya yang akan menjadikan daerah tertinggal hanya sekadar isu
politik pemerintah, termasuk dalam menghadapi Pemilu 2009 nanti, apalagi ditambah dengan
ketidakjelasan kebijakan dan otoritas Kementerian Negara Pembangunan Daerah tertinggal
yang ada sekarang ini.

Dimuat di Seputer Indonesia 4 Desember 2008

You might also like