You are on page 1of 9

EMPAT PILAR PEMBANGUNAN PENDIDIKAN Kita telah cukup lama mengenal istilah Tiga Pilar Pembangunan Pendidikan.

Oleh karena itu, setidaknya istilah tersebut telah kita kenal dan gunakan selama lebih dari lima tahun, dan dengan demikian telah sekian lama menjadi bahan pidato para pejabat dalam periode tersebut. Ketiga pilar itu adalah: (1) pemerataan dan peningkatan akses pendidikan, (2) peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing, serta (3) peningkataan manajemen pendidikan, akuntabilitas, dan citra publik.1 Mulai masa kerja Mendiknas yang baru Bapak Mohammad Noeh ini pada akhir tahun 2009 ini, kini telah lahir istilah baru yang mulai beliau perkenalkan, antara lain melalui media advertorial Depdiknas, yakni Empat Pilar (Pembangunan) Pendidikan. Tulisan singkat ini akan menjelaskan tentang Empat Pilar (Pembangunan) Pendidikan itu, apa pentingnya pilar-pilar tersebut, dan apa kaitannya dengan istilah tiga pilar yang sebelumnya, serta bagaimana kemungkinan melaksanakan dan menerapkan keempat pilar tersebut dalam pembanguan pendidikan di Indonesia. Empat pilar pendidikan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Pilar pertama adalah availability atau ketersediaan. Yang dimaksudkan ketersediaan ini adalah ketersediaan layanan pendidikan yang memadai sesuai dengan standar, baik standar pelayanan minimal (SPM) ataupun standar nasional pendidikan (SNP) yang telah ditetapkan. Salah satu keunikan negara kita Indonesia kesadaran akan keanekaragamannya. Itulah sebabnya sejak awal berdirinya, negara ini telah memiliki motto Bhinneka Tunggal Ika yang artinya berbeda itu, satu itu yang secara bebas diterjemahkan Meskipun berbeda-beda, kita tetap satu juga. Perbedaan itu memang ada di segala sendi kehidupan kita, termasuk dalam bidang pendidikan. Dari segi layanan pendidikan, Indonesia ini memiliki keberagaman layanan yang sangat luar biasa. Ada lembaga pendidikan atau sekolah yang lengkap sarana dan prasarananya. Ada pula lembaga pendidikan yang disebut dengan sebutan yang kurang sedap didengar telinga, yaitu kandang kambing. Ketika tulisan ini sedang diselesaikan, diinformasikan satu berita tragis
1

Renstra Depdiknas 2005 2009.

di televisi ada seorang siswa SD yang terkena robohan pagar sekolahnya. Ini menunjukkan bahwa bukan layanan prima yang diperoleh dari sekolah, tetapi justru bencana yang bisa membawa maut. Itulah sebabnya pilar ketersediaan layanan pendidikan ini haruslah dalam koridor ketersediaan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Dengan makna demikian, pilar ketersediaan ini memiliki pengertian yang sedikit berbeda dengan pemerataan dan peningkatan akses pendidikan. Pilar ketersediaan lebih bermakna kualitatif, sementara pilar pemerataan dan peningkatan akses pendidikan lebih bernuansa kuantitatif. Pilar ini sangat penting untuk memenuhi hak-hak dasar setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas, termasuk untuk daerah terdepan dan terpencil di negeri ini. Selain itu, ketersediaan juga memiliki makna tersedia dalam kualitas yang memadai, dalam arti bukan ruang kelas yang rusak, dan alapagi dengan gedung sekolah yang roboh. Itulah sebabnya ukuran ketersediaan lebih bersifat kualitatif dibandingkan dengan ukuran pemerataan dan peningkatan akses pendidikan. Untuk pilar pemerataan dan peningkatan akses pendidikan, pemerintah harus harus dapat menyediakan layanan pendidikan secara merata untuk semua warga negara di negeri ini. Untuk ini, pemerintah telah membangun banyak sekali ruang kelas baru (RKB) dan unit sekolah baru (USB) untuk memenuhi kebutuhan tempat belajar anak-anak kita. Sayangnya kebijakan pengadaan RKB dan USB tersebut kurang memperhatikan aspek kualitasnya, sehingga terjadilah ruang kelas yang rusak dan gedung sekolah yang roboh. Ukuran untuk mengetahui pemerataan dan akses pendidikan ini biasanya dikenal dengan APK (angka partisipasi kasar) atau berapa jumlah semua anak yang sudah memperoleh pendidikan dibandingkan dengan jumlah penduduk di suatu daerah. Standar APK yang digunakan untuk menentukan apakah kualtias layanan pendidikan di daerah itu sudah cukup atau belum adalah APK 85%. Jika angka ini sudah tercapai, maka itu berarti pemerintah sudah dapat memberikan layananan pendidikan yang tinggi untuk warga negaranya. Artinya, pilar ketersediaan fasilitas pendidikan di kawasan itu juga sudah memadai. Secara nasional, Indonesia telah berhasil mencapai ketuntasan pelaksanaan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9

Tahun, dengan APK lebih dari 85%. Sudah tentu angka ini lebih bersifat kuantitatif, karena hanya menghitung jumlah anak yang sudah dapat menikmati pendidikan. Perhitungan ini sama sekali tidak melihat apakah fasilitas pendidikan yang digunakan mencukupi atau bahkan mamadai kualitasnya. Sebagaimana kita ketahui, banyak ruang kelas yang digambarkan sebagai kandang kambing. Bahkan, masih kita dengar adanya sekolah yang roboh, bukan hanya di kawasan pedesaan, tetapi juga di kawasan perkotaan. Tentu saja, ini menyangkut ketersediaan fasilitas sekolah. Dari aspek ini, meskipun angka partisipasinya (APK) sudah memenuhi, dari aspek kesersediaan sama sekali belum tercapai, karena banyak anak-anak yang bersekolah di tempat-tempat darurat sebagai akibat dari ruang kelas yang rusak atau malah gedung sekolahnya yang roboh. Dalam hal ini pilar ketersediaan pendidikan dinilai lebih penting dibandingkan dengan angka partisipasi atau pilar pemerataan dan akses pendidikan. Berikut tabel perkembangan persentase ruang kelas milik menurut kondisi dan jenjang pendidikan dari tahun ajaran 2003/2004 sampai dengan 2009-2010.2

Tabel 1 PERSENTASE RUANG KELAS MILIK MENURUT KONDISI DAN JENJANG PENDIDIKAN TAHUN 2003/2004 Jenjang Rusak Rusak No Baik % % % Jumlah Pendidikan Ringan Berat 1 TK 63.544 62,59 29.672 29,23 8.301 8,18 101.517 2 SD 390.536 44,19 290.566 32,88 202.607 22,93 883.709 3 SMP 164.147 84,10 22.212 11,38 8.819 4,52 195.178 4 SMA 79.288 94,88 3.086 3,69 1.195 1,43 83.569 5 SMK 49.599 93,12 2.930 5,50 734 1,38 53.263 Dari data di atas, presentase yang paling mencolok tentunya pada kerusakan berat ruang kelas pada jenjang pendidikan SD dimana mencapai 22,93%, apabila dijumlahkan dengan kondisi rusak ringan hasilnya melebihi kondisi ruang kelas yang baik. Pada jenjang lainnya kerusakan-kerusakan masih belum terlalu parah walaupun tidak sedikit jumlahnya.

http://www.psp.kemdiknas.go.id Ikhtisar Data Pendidikan Nasional Departemen Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Statistik Pendidikan, diaskes pada 26 Juni 2011

Tabel 2 PERSENTASE RUANG KELAS MILIK MENURUT KONDISI DAN JENJANG PENDIDIKAN TAHUN 2004/2005 Jenjang Rusak Rusak No Baik % % % Jumlah Pendidikan Ringan Berat 1 TK 65.786 68,30 22.574 23,44 7.957 8,26 96.317 2 SD 391.117 43,97 271.589 30,54 226.721 25,49 889.427 3 SMP 160.619 80,87 28.301 14,25 9.704 4,89 198.624 4 SMA 75.542 89,26 6.679 7,89 2.409 2,85 84.630 5 SMK 49.010 90,94 3.676 6,82 1.204 2,23 53.890 Kondisi ruang kelas untuk semua jenjang dengan kondisi rusak berat meningkat dari kondisi tahun ajaran 2003/2004. Yang lebih parah masih di tempati jenjang SD, kerusakan meningkat dari 22,94% menjadi 25,49%. Tetapi terjadi pertambahan jumlah ruang kelas di jenjang SD yang awalnya 883.709 menjadi 889.427 kelas. Tabel 3 PERSENTASE RUANG KELAS MILIK MENURUT KONDISI DAN JENJANG PENDIDIKAN TAHUN 2005/2006 Jenjang Rusak Rusak No Baik % % % Jumlah Pendidikan Ringan Berat 1 TK 59.210 63,58 25.433 27,31 8.491 9,12 93.134 2 SD 436.375 43,94 301.370 30,34 255.421 25,72 993.166 3 SMP 164.217 80,94 28.830 14,21 9.847 4,85 202.894 4 SMA 84.138 89,66 7.130 7,60 2.572 2,74 93.840 5 SMK 52.004 91,78 3.697 6,52 963 1,70 56.664 Beranjak ke tahun ajaran 2005/2006. Pada jenjang pendidikan TK dan SD terjadi pertambahan kerusakan tingkat berat, sedangkan pada jenjang lainnya kerusakan cenderung sama. Hal ini menunjukkan ketidak cekatannya pemerintah untuk segera membenahi fasilitas yang rusak. Di sisi lain terjadi pertambahan jumlah ruang kelas yang ada dari tahun sebelumnya untuk sebagian besar jenjang pendidikan. Sinyal positifnya terjadi pertambahan persentase ruang kelas dengan kondisi baik di jenjang SMP, SMA, dan SMK.

Tabel 4 PERSENTASE RUANG KELAS MILIK MENURUT KONDISI DAN JENJANG PENDIDIKAN TAHUN 2006/2007 Jenjang Rusak Rusak No Baik % % % Jumlah Pendidikan Ringan Berat 1 TK 59.844 64,89 24.326 26,38 8.055 8,73 92.225 2 SD 442.521 48,18 252.286 27,47 223.686 24,35 918.492 3 SMP 185.621 79,66 33.027 14,17 14.354 6,16 233.002 4 SMA 87.198 87,74 9.067 9,12 3.119 3,14 99.384 5 SMK 54.200 90,24 4.570 7,61 1.292 2,15 60.062 Pada tahun ajaran ini, pembenahan mulai dilakukan, terbukti penurunan persentase kondisi kelas rusak berat, tetapi kendalanya terletak pada jenjang SD dimana persentase ruang kelas dengan kondisi baik masih dibawah 50%. Tabel 5 PERSENTASE RUANG KELAS MILIK MENURUT KONDISI DAN JENJANG PENDIDIKAN TAHUN 2007/2008 Jenjang Rusak Rusak No Baik % % % Jumlah Pendidikan Ringan Berat 1 TK 70.675 64,67 28.801 26,35 9.814 8,98 109.290 2 SD 454.270 52,06 217.413 24,91 200.969 23,03 872.652 3 SMP 195.036 79,89 34.886 14,29 14.194 5,81 244.116 4 SMA 94. 151 89,56 7.687 7,31 3.286 3,13 105.124 5 SMK 57.973 90,47 4.765 7,44 1.340 2,09 64.078 Kemajuan terjadi pada tahun ajaran 2007/2008, dimana ruang kelas dengan kondisi baik meningkat di semua jenjang sekolah. Tabel 6 PERSENTASE RUANG KELAS MILIK MENURUT KONDISI DAN JENJANG PENDIDIKAN TAHUN 2008/2009 Jenjang Rusak Rusak No Baik % % % Jumlah Pendidikan Ringan Berat 1 TK 67.858 64,57 27.860 26,51 9.370 8,91 105.088 2 SD 491.882 55,16 214.213 24,02 185.585 20,81 891.680 3 SMP 203.523 79,85 35.638 13,98 15.694 6,15 254.855 4 SMA 95.710 88,37 9.052 8,35 3.543 3,27 108.305 5 SMK 65.152 89,60 5.617 7,72 1.944 2,67 72.713

Pada tahun ajaran 2008/2009, persentase ruang kelas cenderung sama pada tahun sebelumnya. Peningkatan yang lumayan signifikan terjadi pada jenjang SD, dengan adanya selisih sekitar 3% pada pertambahan kondisi kelas baik dan penurunan kondisi kelas rusak berat. Selain itu terjadi peningkatan kuantitas ruang kelas di berbagai jenjang. Tabel 7 PERSENTASE RUANG KELAS MILIK MENURUT KONDISI DAN JENJANG PENDIDIKAN TAHUN 2009/2010 Jenjang Rusak Rusak No Baik % % % Jumlah Pendidikan Ringan Berat 1 TK 94.017 75,26 14.073 11,26 16.833 13,47 124.923 2 SD 542.443 60,91 188.426 13,30 159.572 17,92 890.441 3 SMP 207.993 82,68 30.853 12,26 12.722 5,05 251.568 4 SMA 99.722 88,34 9.159 8,11 3.995 3,53 112.876 5 SMK 70.306 89,94 5.847 7,48 2.015 2,57 78.168 Peningkatan yang terus beranjak naik yaitu pada jenjang SD, ruang kelas dengan kondisi rusak berat sempat menanjak drastis di tahun 2003/2004 ke tahun 2004/2005 dari 22,93% ke 25,49% perlahan-lahan turun hingga tahun 2009-2010 menjadi 17,92%. Di jenjang pendidikan lainnya sebagian besar tingkat presentasenya cenderung sama dengan tahun sebelumnya.

Pilar kedua, affordability atau keterjangkauan. Pilar ini menitikberatkan kepada prinsip pemenuhan hak dan keadilan untuk memperoleh pendidikan bagi semua warga negara tanpa terkecuali, khususnya untuk daerah-daerah terdepan dan terpencil.3 Keterjangkauan ini juga termasuk faktor kenyamanan dalam pemberian layanan pendidikan bagi peserta didik. Sebagai contoh, layanan minimal untuk peserta didik SD maksimal 3 km antara perumahan dengan sekolah, dan 6 km untuk siswa SMP. Selain jarak maksimal antara sekolah dengan pemukiman permanen, pilar keterjangkauan ini juga perlu memperhatikan kondisi

Tilaar, H.A.R. 1992. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

geografis dan kemampuan sosial ekonomi masyarakat diharapkan juga dapat menjadi perhatian para pemangku kepentingan dan pengambil keputusan. Pilar ketiga, quality atau kualitas pendidikan. Pilar peningkatan kualitas pendidikan merupakan pilar yang penting. Pilar peningkatan kualitas pendidikan merupakan kesinambungan yang tak terpisahkan dengan pilar pemerataan dan peningkatan akses pendidikan. Setelah keberhasilan program penuntasan wajib belajar 9 tahun sebagai wujud keberhasilan pilar pemerataan dan peningkatan akses pendidikan, pilar peningkatan mutu pendidikan kini harus menjadikan perhatian utama kita, bukan saja dari output dan outcome tetapi yang lebih penting adalah input dan proses pendidikan yang terjadi di dalam ruang kelas, maupun yang terjadi di lingkungan kerjanya (black box theory). Dari aspek masukan kasar atau raw input, faktor prestasi peserta didik harus mendapatkan perhatian program dan kegiatan. Pemberian beasiswa bagi peserta didik yang berprestasi dan berasal dari keluarga kurang mampu harus menjadi program yang penting. Program ini memiliki dampak secara langsung maupun langsung yang memberikan motivasi bagi peserta didik yang lain untuk meningkatkan mutu hasil belajarnya. Dari aspek masukan instrumental atau instrumental input, proses pengadaan buku teks, pengadaan media dan alat bantu mengajar akan memiliki dampak yang besar bagi upaya peningkatan hasil belajar siswa, dan pada gilirannya akan berdampak kepada upaya peningkatan mutu pendidikan secara keseluruhan. Dari aspek proses, pengembangan metode pengajaran dan pembelajaran oleh para guru harus mendapatkan perhatian utama. Dalam kaitan ini, program peningkatan kemampuan kepala sekolah dan pengawas sekolah harus menjadi program pendukung dalam pengembangan metode pengajaran dan pembelajaran tersebut, selain masih tetap mempertahankan program-program peningkatan fasilitas pendidikan untuk meningkatkan proses pengajaran dan pembelajaran, misalnya pengadaan perpustakaan sekolah, laboratorium sains dan bahasa, dan pengadaan media dan alat bantu pembelajaran. Dimana setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang

teratur

dan

berkelanjutan.4 Dari

aspek proses juga,

program

pengayaan

pembelajaran (enrichment) dan pembelajaran praktik perlu banyak mendapatkan perhatian. Penggunaan metode mengajar bervariasi dan penggunaan media dan alat bantu pembelajaran harus mendapatkan perhatian dari para pemangku kepentingan pendidikan. Pilar keempat, assurance atau penjaminan mutu pendidikan. Penjaminan mutu pendidikan adalah kegiatan sistemik dan terpadu oleh satuan atau program pendidikan, penyelenggara satuan atau program pendidikan, pemerintah daerah, Pemerintah, dan masyarakat untuk menaikkan tingkat kecerdasan kehidupan bangsa melalui pendidikan.5 Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) merupakan lembaga formal yang dibentuk dengan tanggung jawab utama untuk meningkatkan penjaminan mutu pendidikan. Jaminan mutu pendidikan harus lebih banyak dilakukan dengan berbagai studi dan evaluasi tentang faktor-faktor apa yang besar pengaruhnya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Sebagai contoh, pemetaan kompetensi guru melalui uji kompetensi. Pemetaan ini akan menghasilkan data yang amat diperlukan untuk melakukan pelatihan yang diperlukan untuk meningkatkan kompetensi guru. Hasil kajian dan evaluasi tersebut harus dikomunikasikan kepada semua pihak yang terkait. Inilah bentuk akuntabilitas yang sesungguhnya yang harus dilakukan oleh semua pihak, dan itulah satu bentuk jaminan mutu pendidikan yang harus dipertanggungjawabkan secara transparan kepada publik.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 63 Tahun 2009 Tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan

DAFTAR PUSTAKA Hamalik, O. 1994. Media Pendidikan, cetakan ke-7. Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti. Suparlan. 2009. Empat Pilar Pembangunan Pendidikan. Tersedia pada http://www.suparlan.com/pages/posts/empat-pilar-pembangunan-pendidikan264.php?p=30. Diaskes Pada 22 Juni 2011 Tilaar, H.A.R. 1992. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

You might also like