You are on page 1of 171

INTEGRASI PASAR KARET ALAM INDONESIA DAN DUNIA

SKRIPSI

Oleh : ALFREDO ZEBUA A 14105509

PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

RINGKASAN ALFREDO ZEBUA. Integrasi Pasar Karet Alam Indonesia Dan Dunia. (Dibawah Bimbingan SUHARNO). Indonesia memiliki perkebunan karet rakyat yang terbesar di dunia sebesar 3,3 juta hektar (ha) yang terdiri dari 84 persen milik rakyat, dan 16 persen perusahaan besar, sedangkan untuk volume produksi Indonesia termasuk yang terbesar kedua di dunia setelah Thailand. Volume ekspor karet alam Indonesia saat ini mencapai 90 persen dari total produksinya dan memiliki kecenderungan perkembangan. Gambaran ini menunjukkan bahwa sub sektor karet alam, memiliki arti penting, karena melibatkan sebagian besar warga masyarakat petani. Sedikit perubahan yang merugikan sub sektor ini, berakibat langsung pada penurunan derajat kesejahteraan masyarakat petani. Sebaliknya, perbaikan sub sektor ini akan mampu menjadi faktor penghela perbaikan sebagian besar nasib rakyat Indonesia. Salah satu fakta penting yang menuntut pencermatan adalah kenyataan bahwa di pasar domestik dan internasional harga karet alam cenderung berfluktuasi. Perkembangan harga karet alam di internasional yang tampaknya diikuti oleh pola perkembangan harga karet di Indonesia dapat memberikan indikasi bahwa adanya integrasi spasial antara pasar karet alam Indonesia dan internasional. Fluktuasi bisa menyebabkan instabilitas, dan karenanya patut dicari penyebab dan pemecahannya. Salah satu informasi penting yang bisa membantu persoalan fluktuasi adalah informasi tentang integrasi pasar. Khususnya yang terkait dengan harga karet alam, keterkaitan harga domestik dan harga dunia patut dicermati, agar bisa memberi antisipasi yang benar terhadap upaya perbaikan nasib petani. Selain itu, perbedaan lokasi geografis pasar karet alam antara pasar Indonesia dan internasional memungkinkan adanya perbedaan/selisih harga karet alam pada tiap negara. Pengaruh dari transmisi harga, kecepatan informasi dan biaya transportasi di pasar dunia semestinya berdampak pada keseimbangan harga karet alam di Indonesia. Pertanyaannya adalah bagaimana perkembangan keragaman dan korelasi harga di Indonesia dan dunia, apakah hukum satu harga (the law of one price) berlaku antara pasar karet alam Indonesia dengan pasar lainnya dan bagaimana hubungan kausalitas harga antar masing-masing pasar serta pengaruh nilai tukar Rupiah dan harga karet sintetik terhadap harga ekspor karet alam Indonesia? Penelitian ini bertujuan: (1) Mendeskripsikan perkembangan, keragaman dan korelasi harga karet karet alam Indonesia dengan negara produsen dan konsumen utama karet alam dunia, (2) Menganalisis integrasi pasar antara pasar karet alam Indonesia dengan negara produsen dan konsumen utama karet alam dunia, dan (3) Menganalisis hubungan kausalitas harga antar masing-masing pasar serta pengaruh nilai tukar Rupiah dan harga karet sintetik terhadap harga ekspor karet alam Indonesia Pendeskripsian perkembangan harga di masing-masing pasar menggunakan analisis keragaman, sedangkan hubungan keterkaitan antar pasar digunakan analisis korelasi berpasangan. Pengungkapan keberadaan integrasi pasar karet alam menggunakan konsep kointegrasi berdasarkan metodologi Johansen berbasis

VAR. Hubungan kausalitas antar seri harga karet RSS dan TSR20 digunakan Granger Causality Test berbasis pada VEC (Vector Error Correction). Untuk melihat pengaruh nilai tukar Rupiah dan harga karet sintetik dunia, digunakan analisis Impulse Response Function (IRF) dan Forecast Error Variance Decomposition (FEDV). Data yang digunakan adalah seri harga karet RSS bulanan dari tahun 1990 2007 di delapan pasar yakni: Indonesia, Thailand (Bangkok) , Singapura, Malaysia (Kuala Lumpur), USA (New York), India (Kottayam), Inggris (London) dan Jepang (Tokyo), sedangkan untuk jenis karet TSR20 menggunakan 6 seri harga yakni: Indonesia, Thailand (Bangkok), Malaysia (Kuala Lumpur), USA (New York), India (Kottayam). Untuk beberapa analisis digunakan data yang telah dikonversi Rupiah, dengan tujuan sebagai pembandingan hasil yang diperoleh. Temuan empirik utama pada studi ini adalah tidak berlakunya the law of one price pada keseluruhan pasar RSS dan TSR20 baik untuk data orisinal maupun pada data yang telah terkonversi Rupiah atau dengan kata lain pasar spasial karet alam tidak terintegrasi penuh. Implikasinya adalah pasar untuk komoditi ini tidak dapat diperlakukan sebagai pasar agregat/tunggal dan perkembangan harga di pasar lainnya belum tentu berdampak sama pada harga karet di Indonesia. Hal ini di sebabkan karena hubungan jangka panjang pasar karet RSS yang dapat dibentuk hanya sebanyak dua persamaan dari delapan variabel harga yang digunakan, sedangkan untuk pasar karet TSR20 sebanyak tiga persamaan dari enam variabel. Perkembangan harga dimasing-masing pasar selain dipengaruhi oleh faktor permintaan dan penawaran karet alam juga dipengaruhi oleh kekuatan dari nilai tukar pada masing-masing pasar. Implikasinya adalah kekuatan nilai tukar dapat memberikan tren yang berbeda-beda pada seri harga karet alam. Keragaman harga untuk jenis karet RSS terbesar terjadi di pasar Kottayam (India), sedangkan yang terendah terjadi di pasar London (Inggris). Untuk karet jenis TSR20 keragaman terbesar terjadi di pasar Bangkok (Thailand) sedangkan keragaman terkecil terjadi di pasar London. Sementara itu, korelasi harga antara seri harga baik jenis RSS dan TSR20 menunjukkan hubungan yang kuat diantara masing-masing pasar. Hubungan kausalitas antar harga karet RSS pada jangka pendek lebih banyak dipengaruhi oleh pasar Singapura dan Malaysia, sedangkan untuk karet TSR20 lebih banyak dipengaruhi oleh pasar New York, sehingga pasar Singapura dapat dijadikan sebagai acuan harga karet RSS dan pasar New York sebagai acuan harga karet TSR20. Pengaruh dari guncangan harga karet sintetik terhadap harga karet RSS dan TSR20 pada jangka pendeknya memberikan dampak yang positif terhadap harga ekspor karet RSS di Indonesia. sedangkan dampak guncangan nilai tukar Rupiah negatif. Sumber keragaman harga karet alam Indonesia memiliki cerminan bahwa harga ekspor karet RSS dan TSR20 dipengaruhi oleh keragamannya sendiri, sedangkan pengaruh dari harga karet sintetik dunia dan nilai tukar Rupiah hanya memberikan kontribusi pengaruh berkisar antara 0 12 persen. Harga karet sintetik dunia memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap keragaman harga karet RSS di Indonesia jika dibandingkan dengan nilai tukar Rupiah sebaliknya, untuk harga karet TSR20, nilai tukar Rupiah memberikan pengaruh yang besar daripada harga karet sintetik dunia.

iii

INTEGRASI PASAR KARET ALAM INDONESIA DAN DUNIA

Oleh Alfredo Zebua A 14105509

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Kelulusan Untuk Memperoleh Gelar SARJANA PERTANIAN Pada Fakultas Pertanian-Institut Pertanian Bogor

PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Judul Skripsi : Integrasi Pasar Karet Alam Indonesia Dan Dunia Nama : Alfredo Zebua NRP : A14105509 Program Studi : Ektensi Manajemen Agribisnis

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Suharno, M.Adev NIP 131 649 403

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP 131 124 019

Tanggal kelulusan : 12 Juli 2008

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI BERJUDUL INTEGRASI PASAR KARET ALAM INNDONESIA DAN DUNIA BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA TULIS ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH

Bogor, Juli 2008

Alfredo Zebua
NRP A14105509

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Gunungsitoli, Nias (Sumatera Utara) pada tanggal 4 Oktober 1984 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara, dari pasangan Tasta Zebua dan Agustina Tilung. Pada tahun 2005 menyelesaikan pendidikan Diploma III pada program studi Tekonologi Informasi Kelautan, Jurusan Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan - Institut Pertanian Bogor dan di tahun yang sama melanjutkan pada Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Pertanian, Fakultas Pertanian-IPB. Selama menempuh kuliah di Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, penulis pernah bekerja di PT. Prudential dan di PT. AWAS Advertising serta pernah ikut dalam pendampingan proyek pelatihan perikanan kerjasama FAO dan IPB di Nias.

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas kemuliaan, kasih dan perlindungan Nya kepada saya sehingga skripsi yang berjudul Integrasi Pasar Karet Alam dan Dunia dapat diselesaikan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian terhadap data sekunder yang diperoleh dari beberapa sumber dan digunakan untuk menganalisis keberadaan integrasi terhadap pasar karet alam di Indonesia dan dunia, sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan dalam penetapan kebijakan yang berkaitan dengan karet alam Indonesia dan referensi bagi pelaku pasar karet alam Indonesia dan penelitian berikutnya. Saya telah berusaha melakukan yang terbaik untuk menyusun skripsi ini, dilain pihak saya menyadari masih terdapat kelemahan-kelemahan pada skripsi ini sehingga diharapkan saran dan kritik yang bersifat positif untuk kesempurnaan dari skripsi ini. Skripsi ini diharapkan dapat berguna bagi pihak-pihak yang memerlukannya.

Bogor,

Juli 2008

Alfredo Zebua
NRP A14105509

UCAPAN TERIMA KASIH


Selama proses pembuatan skripsi ini, penulis menerima bimbingan, masukan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Suharno, M.Adev atas kesabaran dan waktu yang diluangkan dalam memotivasi, membimbing dan mengarahkan penulis sampai tahap

penyelesaian skripsi ini. 2. Mr. No Dock Moung (IRSG), Mr. K.G Sreenivasan (Rubber Board of India), Dr. Suharto Honggokusumo, MSc (Direktur Eksekutif GAPKINDO) , Ahmad Baharuddin (Staf GAPKINDO) dan Ibu Widi (LRPI) yang membantu penulis untuk mendapatkan data. 3. Bapa, Mama dan Abang-abangku yang memberikan dukungan moral dan materil kepada penulis. 4. Dr. Ir. Nunung, MS dan Dra. Yusalina, MS sebagai penguji pada sidang atas saran dan masukannya yang luar biasa kepada penulis. 5. Teman-teman kosan di Perwira 10 yang tetap menemani dan membantu penulis dalam proses penulisan. 6. Sahabat-sahabatku: Septi, Ipeb, Mury, David, Eli, Diana dan teman-teman seperjuangan angkatan XIII di Ekstensi serta pihak-pihak lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .......................................................................................... DAFTAR TABEL .................................................................................. DAFTAR GAMBAR.............................................................................. DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... I PENDAHULUAN 1.1 1.2 1.3 1.4 Latar Belakang ........................................................................... Perumusan Masalah.................................................................... Tujuan Penelitian ....................................................................... Kegunaan Penelitian...................................................................

x xiii xiv xv

1 5 8 9

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Profil Karet Alam Indonesia ....................................................... 2.1.1 Sejarah Karet Alam Dunia dan Indonesia ........................ 2.1.2 Sentra dan Produksi Karet Alam Indonesia...................... 2.1.3 Jenis Olahan dan Mutu Karet Alam Indonesia................. 2.1.4 Standar Mutu Ekspor Karet Alam Indonesia ................... 2.2 Karakteristik Karet Sintesis ......................................................... 2.3 Kerjasama Antara Negara Produsen Karet Alam ........................ 2.4 Penelitian Terdahulu................................................................... 10 10 11 14 16 16 17 21

III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ...................................................... 3.1.1 Teori Pembentukan Harga Pasar ..................................... 3.1.2 Teori Perdagangan dan Pembentukan Harga Pasar Internasional.......................................................... 3.1.3 Integrasi Pasar ................................................................ 3.1.4 Integrasi Pasar Spasial .................................................... 3.1.5 Integrasi Pasar Vertikal................................................... 3.1.6 Ukuran Keragaman ......................................................... 3.1.7 Analisis Korelasi............................................................. 3.1.8 Metode Analisis Integrasi Pasar Spasial .......................... 3.1.8.1 Kointegrasi........................................................ 3.1.8.2 Sifat-sifat Seri Data Stasioner dan Uji Unit Root .................................................... 3.1.8.3 Vector Autoregression (VAR) dan Uji Kointegrasi berbasis VAR ........................... 3.1.9 Granger Causality Test................................................... 28 28 29 32 34 40 41 42 44 45 48 52 57

3.1.10 Impulse Response Function (IRF) ................................... 3.1.11 Variance Decomposition (VD)........................................ 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ...............................................

58 59 60

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................... 4.2 Jenis dan Sumber Data ............................................................... 4.3 Metode Analisis ......................................................................... 4.3.1 Analisis Keragaman Harga.............................................. 4.3.2 Analisi Korelasi .............................................................. 4.3.3 Uji Unit Root .................................................................. 4.3.4 Penentuan Lag (ordo) Optimal Model VAR .................... 4.3.5 Uji Kointegrasi .............................................................. 4.3.6 Estimasi VECM.............................................................. 4.3.7 Granger Causality Test................................................... 4.3.8 Impulse Response Function (IRF) ................................... 4.3.7 Variance Decomposition (VD)........................................ 66 66 67 67 68 68 69 70 71 72 73 73

V GAMBARAN UMUM EKONOMI KARET ALAM DUNIA 5.1 Gambaran Umum Produk Berbahan Dasar Karet........................ 5.2 Produsen dan Konsumen Karet Alam ......................................... 75 79

VI INTEGRASI SPASIAL PASAR KARET ALAM 6.1 Perkembangan Harga Karet RSS dan TSR20.............................. 6.1.1 Perkembangan Harga Karet RSS di Indonesia dan Internasional............................................................. 6.1.2 Perkembangan Harga Karet TSR20 di Indonesia dan Dunia ....................................................................... 6.2 Keragaman Harga Karet RSS dan TSR20 ................................... 6.3 Korelasi Antar Harga Karet RSS dan TSR20.............................. 6.4 Integrasi Spasial Pasar Karet Alam RSS dan TSR20................... 6.4.1 Integrasi Spasial Pasar Karet RSS ................................... 6.4.2 Integrasi Spasial Pasar Karet TSR20 ............................... 6.4.3 Implikasi Integrasi Spasial Pasar Karet RSS dan TSR20 .................................................................... 6.5 Hubungan Kausalitas Antar Harga Pasar Karet RSS dan TSR20 ................................................................................. 6.6 Pengaruh Nilai Tukar Rupiah dan Harga Karet Sintetik Terhadap Harga Ekspor Karet Indonesia..................................... 83 83 86 88 90 93 93 103 110 111 114

xi

VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan ................................................................................ 7.2 Saran .......................................................................................... DAFTAR PUSTAKA............................................................................. DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... 120 122 124 127

xii

DAFTAR TABEL Teks

Nomor

Halaman 12 13 16 75 77 77 78 78 81 86 89 91 92 94 96 98 102 104 105 106 109 112 114 118 119

1. Pertumbuhan Luas Areal Karet di Indonesia (1967-2003)............... 2. Produksi dan Luasan Perkebunan Karet di Indonesia Berdasarkan Propinsi (Tahun 2005).................................................................... 3. Standar Karet Alam Indonesia........................................................ 4. Distribusi Global Penggunaan Karet Alam Berdasarkan Sektor ...... 5. Proyeksi Total Permintaan Ban Traktor 2005 2035...................... 6. Proyeksi Produksi Sepeda Motor (dalam ribu)................................ 7. Proyeksi Permintaan Ban Sepeda Motor (dalam ribu)..................... 8. Proyeksi Konsumsi Sepatu 2005-2035 (ribu pasang) ...................... 9. Produksi Karet Alam di Negara Produsen Utama (000 Ton)........... 10. Perbandingan Parameter TSR20 .................................................... 11. Keragaman Harga Karet RSS dan TSR20 (1990-2007)................... 12. Matriks Korelasi Harga Karet RSS ................................................. 13. Matriks Korelasi Harga Karet TSR20............................................. 14. Uji Unit Root Seri Harga Karet RSS .............................................. 15. Analisis VAR Pada Seri Harga Karet RSS ..................................... 16. Uji Kointegrasi untuk Sistem Persamaan Integrasi Spasial Pasar Karet RSS................................................................. 17. Estimasi VECM Seri Harga Karet RSS ........................................... 18. Uji Unit Root Seri Harga Karet TSR20 .......................................... 19. Analisis VAR Pada Seri Harga Karet TSR20.................................. 20. Uji Kointegrasi untuk Sistem Persamaan Integrasi Spasial Pasar Karet TSR20............................................................. 21. Estimasi VECM Seri Harga Karet TSR20 ...................................... 22. Uji Kausalitas Harga Karet RSS ..................................................... 23. Uji Kausalitas Harga Karet TSR20................................................. 24. Sumber Keragaman Harga Karet RSS Indonesia Terhadap Pengaruh Varibel Lainnya .............................................. 25. Sumber Keragaman Harga Karet TSR20 Indonesia Terhadap Pengaruh Varibel Lainnya ..............................................

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Teks

Halaman 3 4 15 31 38 39 61 65 80 82 83 85 87 88 116 117

1. Perkembangan Volume Ekspor Indonesia ke Negara Tujuan Utama ................................................................................ 2. Perkembangan Harga Rill Karet Alam di Pasar Internasional, Indonesia dan Thailand (1969 - 2003) ............................................ 3. Pohon Industri Karet ...................................................................... 4. Harga Komoditif Relatif Ekuilibrilium Setelah Perdagangan .......... 5. Kurva Supply dan Demand Pasar Potensial Surplus dan Pasar Potensial Defisit.................................................................... 6. Kurva Excess Supply (Pasar X) dan Excess Demand (Pasar Y) Dalam Hubungan Perdagangan ...................................................... 7. Faktor-Faktor Fundamental yang Mempengaruhi Harga Karet Alam .......................................................................... 8. Kerangka Pemikiran Operasional ................................................... 9. Produksi, Konsumsi, Total Stock dan Ekses/Defisit Karet alam Dunia ........................................................................... 10. Perkembangan Konsumsi Karet Alam di Negara Konsumen Utama Di Dunia ............................................................................. 11. Perkembangan Harga Karet RSS (Kg), Tahun 1990 2007......................................................................... 12. Perkembangan Harga Karet RSS (Kg) Tahun 1990 2007 (Konversi Rupiah).......................................................................... 13. Perkembangan Harga Karet TSR20 (Kg), Tahun 1990 2007......................................................................... 14. Perkembangan Harga Karet TSR20 (Kg) Tahun 1990 2007 (Konversi Rupiah).......................................................................... 15. Respon Harga Karet RSS Terhadap GuncanganHarga Karet RSS Indonesia, Nilai Tukar Rupiah dan Harga Karet Sintetik......... 16. Respon Harga Karet TSR20 Terhadap Guncangan Harga Karet TSR20 Indonesia, Nilai Tukar Rupiah dan Harga Karet Sintetik.....

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor

Teks

Halaman 127 128 129 130 131 132 133

1. Keterangan Notasi Variabel............................................................ 2. Grafik Perkembangan Harga Karet RSS (Konversi Rupiah) ........... 3. Grafik Perkembangan Harga Karet TSR20 (Konversi Rupiah) ....... 4. Pemilihan Lag Optimal Seri Harga Karet RSS ............................... 5. Estimasi VAR dengan Lag 2 Seri Harga Karet RSS........................ 6. Normalisasi Persamaan Kointegrasi Karet RSS ................................ 7. Hasil Output Estimasi VECM Seri Harga Karet RSS...................... 8. Hasil pengujian unit root, estimasi VAR, uji kointegrasi, persamaan kointegrasi dan estimasi VECM seri harga karet RSS yang telah terkoversi Rupiah .................................................. 9. Pemilihan Lag Optimal Seri Harga Karet TSR20 ............................. 10. Estimasi VAR dengan Lag 2 Seri Harga Karet TSR20 ................... 11. Normalisasi Persamaan Kointegrasi Karet TSR20 .......................... 12. Hasil Output Estimasi VECM Seri Harga Karet TSR20.................. 13. Hasil pengujian unit root, estimasi VAR, uji kointegrasi, persamaan kointegrasi dan estimasi VECM seri harga karet TSR20 yang telah terkoversi Rupiah .............................................. 14. Uji Granger Causality Seri Harga Karet RSS Berbasis VECM...... 15. Uji Granger Causality Seri Harga Karet TSR20 Berbasis VECM.. 16. Pemilihan Lag Optimal Seri Harga Karet RSS dan TSR20 Indonesia Harga Karet Sintetik Dunia dan Nilai Tukar Rupiah ....... 17. Hasil Analisis IRF Terhadap Respon Harga Karet RSS Indonesia................................................................................ 18. Hasil Analisis IRF Terhadap Respon Harga Karet TSR20 Indonesia............................................................................ 19. Hasil Analisis FEDV Terhadap Respon Harga Karet RSS Indonesia................................................................................ 20. Hasil Analisis IRF Terhadap Respon Harga Karet TSR20 Indonesia............................................................................

136 139 140 141 142

144 147 149 151 152 153 154 155

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Karet alam di Indonesia merupakan salah satu komoditi penting perkebunan disamping kelapa, sawit, kakao dan teh, baik sebagai sumber pendapatan devisa, kesempatan kerja dan pendorong pertumbuhan ekonomi sentra-sentra baru di wilayah sekitar perkebunan karet maupun pelestarian lingkungan dan sumberdaya hayati. Hal ini ditunjukkan oleh jumlah petani yang terlibat dalam usaha karet alam mencakup 1,907 juta kepala keluarga, sehingga banyak penduduk menggantungkan hidup dari tanaman ini (Dirjen Perkebunan, 2006). Indonesia memiliki perkebunan karet rakyat yang terbesar di dunia sebesar 3,3 juta hektar (ha) yang terdiri dari 84 persen milik rakyat, dan 16 persen perusahaan besar. Total produksi pada tahun 2005 adalah 2.27 juta ton, kedua yang tertinggi di dunia setelah Thailand. Pada tahun 2015 dan 2020 diproyeksikan Indonesia menghasilkan 3.5 juta ton 3.8 juta ton karet alam (Indonesian Rubber Research Institute / IRRI , 2006). Karet terbagi atas dua jenis yakni karet alam dan karet sintesis. Adapun kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh karet alam dibanding dengan karet sintesis adalah: 1) memiliki daya elastis/daya lenting yang sempurna, 2). memiliki plastisitas yang baik sehingga pengolahannya semakin mudah, 3). mempunyai daya aus yang tinggi dan tidak mudah panas, 4). memiliki daya tahan yang tinggi terhadap keretakan (Budiman,1974).

Ekspor karet alam Indonesia selama 20 tahun terakhir menunjukkan adanya peningkatan dari 1.0 juta ton pada tahun 1985 menjadi 1.3 juta ton pada tahun 1995 dan 2.0 juta ton pada tahun 2005. Kenaikan nilai ekspor karet tersebut lebih banyak didorong oleh faktor harga dibandingkan kenaikan volume. Kenaikan harga karet dunia terutama disebabkan oleh meningkatnya permintaan sejalan dengan pesatnya pertumbuhan industri otomotif dunia (BI, 2007). Pendapatan devisa dari komoditi ini pada semester pertama tahun 2006 mencapai US$ 2.0 milyar sedangkan pada triwulan pertama tahun 2007 terjadi peningkatan ekspor karet alam yang mencapai USD1,03 miliar atau tumbuh 9,9 persen yang volume ekspornya mencapai 581 ribu ton dengan pertumbuhan sebesar 2,2 persen (BI, 2007). Pada akhir tahun 2007, nilai total ekspor karet alam mencapai USD 4,9 miliar, sedangkan peningkatan ekspor karet terbesar terjadi pada Februari 2008 sebesar 144,4 juta dollar AS.1 Penting dan strategisnya komoditi karet alam ini tidak hanya dirasakan oleh negara-negara produsen karet alam, seperti Indonesia, Vietnam, India, Thailand dan Malaysia, tetapi juga dirasakan oleh negara-negara konsumen maupun pengimpor. Negara-negara konsumen mempunyai kepentingan yang kuat akan kesinambungan pasokan karet alam sebagai bahan baku industri strategis, seperti industri ban otomotif, industri peralatan militer, industri sarana medis (sarung tangan, kondom) dan lain-lain. Disatu pihak, negara-negara produsen menginginkan harga yang tinggi, namun di lain pihak negara-negara konsumen menginginkan harga yang rendah. Oleh karena itu, keseimbangan antara produksi karet alam (yang dipasok oleh negara-negara produsen) dengan konsumsi (untuk kebutuhan industri di negara-negara konsumen), sangat menentukan terciptanya
1

Kompas Nilai Ekspor CPO Turun: Produk Karet Jadi Penolong Kinerja Ekspor (2 April 2008)

harga yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak (negara produsen dan negara konsumen). Perkembangan volume ekspor karet alam Indonesia di beberapa negara tujuan menunjukkan kecenderungan kenaikan volume (Gambar 1). Negara-negara pengimpor utama karet alam tersebut adalah Amerika Serikat, Jepang, China, Singapura, Jerman dan Perancis. Amerika Serikat merupakan negara pengimpor terbesar dengan volume impor pada tahun 2006 mencapai 590,946 ribu ton. Memperhatikan data volume ekspor karet alam ke beberapa negara konsumen utama Indonesia, terlihat bahwa di kawasan Asia, Jepang dan Cina menunjukkan laju kenaikan jumlah ekspor yang lebih tinggi dengan volume impor sebesar 357, 539 ribu ton dan 337,222 ribu ton pada tahun 2006.

800

Volum Ekspor (Ribu Metrik Ton) e

700 600 500 400 300 200 100 0 2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

Tahun
Amerika Serikat Singapura Japan Jerman China Perancis

Gambar 1 Perkembangan Volume Ekspor Indonesia ke Negara Tujuan Utama


Sumber : BPS, 2007 (diolah)

Pada Gambar 2, ditunjukkan bahwa pergerakan ketiga kurva harga karet alam memiliki pergerakan yang sama dari tahun 1969 sampai dengan tahun 1988, namun pada tahun berikutnya pola dari masing-masing kurva harga tersebut

menunjukkan tren yang berbeda. Pada tahun 1989 harga riil karet alam Thailand mengalami kenaikan yang ekstrim sebesar US$ 636.3/ton, dimana pada tahun 1989 sebesar US$ 531/ton menjadi US$ 1168/ton. Harga ini hampir menyamai harga dipasar internasional, sedangkan harga riil ekspor karet alam Indonesia tetap mengikuti tren harga di pasar internasional. Di pasar domestik dan internasional harga karet alam cenderung berfluktuasi. Puncak harga riil karet alam terjadi pada tahun 1995 dengan harga riil di pasar internasional sebesar US$ 1.815/ton, US$ 1.483,33/ton untuk harga riil ekspor Indonesia, dan US$ 1788/ton di Thailand (Gambar 2). Perkembangan harga karet alam Indonesia dan Thailand tampaknya bergantung kepada harga internasional yang dicerminkan dari pola Gambar 2 yang mengikuti

perkembangan harga riil internasional, namun yang menjadi pertanyaannya adalah: apakah benar terjadi/ada integrasi pasar karet Indonesia dan internasional seperti yang ditunjukkan oleh kurva harga pada Gambar 2.

2000 1800 1600

Harga (US$/Ton)

1400 1200 1000 800 600 400 200 0


1969 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003

Tahun
Harga Rill Internasional Harga Rill Ekspor Indonesia Harga Rill Ekspor Thailand

Gambar 2 Perkembangan Harga Rill Karet Alam di Pasar Internasional, Indonesia dan Thailand (1969 - 2003)
Sumber : IRSG beberapa terbitan (1969-2003)

Memperhatikan komposisi kepemilikan karet alam di Indonesia yang didominasi oleh rakyat/petani, berfluktuasinya harga dan upaya pemerintah dalam merevitalisasi sektor perkebunan, jika pasar konsumen (akhir atau antara) karet alam tidak terintegrasi dengan pasar produsen, maka ketimpangan antara harga yang dibayarkan oleh negara konsumen dengan negara produsen (khususnya petani) akan semakin besar. Mengingat besarnya peranan perdagangan karet alam bagi perekonomian nasional dan prospek karet alam yang akan datang sebagai negara pemasok permintaan karet alam dunia, maka penting untuk mengetahui keberadaan integrasi pasar antara pasar Indonesia dengan pasar-pasar utama tujuan Indonesia dan negara produsen karet alam utama lainnya di dunia.

1.2 Perumusan Masalah Gambaran dalam uraian terdahulu menunjukkan bahwa sub sektor karet alam, memiliki arti penting, karena melibatkan sebagian besar warga masyarakat petani. Sedikit perubahan yang merugikan sub sektor ini, berakibat langsung pada penurunan derajat kesejahteraan masyarakat petani. Sebaliknya, perbaikan sub sektor ini akan mampu menjadi faktor penghela perbaikan sebagian besar nasib rakyat Indonesia. Salah satu fakta penting yang menuntut pencermatan adalah kenyataan bahwa di pasar domestik dan internasional harga karet alam cenderung berfluktuasi. Perkembangan harga karet alam di internasional yang tampaknya diikuti oleh pola perkembangan harga karet di Indonesia dapat memberikan indikasi bahwa adanya integrasi spasial antara pasar karet alam Indonesia dan internasional. Harga komoditi pertanian sangat rentan terhadap berbagai resiko, seperti fluktuasi nilai tukar mata uang, harga bahan bakar/transportasi, pertumbuhan

ekonomi, biaya produksi, pasokan/produk substitusi, pola iklim. Hal ini dapat tercermin pada penurunan harga karet alam yang mulai terjadi sejak krisis moneter bulan juli 1997, dimana pada saat itu nilai mata uang negara-negara produsen karet alam (seperti Thailand, Malaysia, Indonesia) terdepresiasi dengan nilai mata uang US dollar. Pada mulanya, masyarakat perkaretan Indonesia memperoleh keuntungan yang cukup besar sampai 10 kali lipat (300-400 persen). Hal ini akibatkan oleh terdepresiasinya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika sehingga harga nominal yang diterima petani meningkat. Namun, karena peningkatan produksi pada masing-masing negara produsen utama karet alam akibat nilai jual yang meningkat menyebabkan ekspor karet alam dari Indonesia dan negara produsen lainnya melebihi kapasitas penyerapan konsumsi karet alam dunia sehingga hal ini mengakibatkan harga karet alam yang jatuh. Akibatnya, terjadi penurunan harga yang merugikan petani karet Indonesia. Ekspor karet alam Indonesia menjangkau banyak negara tujuan diberbagai belahan dunia yang terpisah secara geografis. Namun, jika diamati berdasarkan kuantitas ekspor ke negara tujuan, Indonesia terkonsentrasi hanya pada beberapa negara tertentu saja. Negara-negara ini merupakan importir utama dan juga negara yang melakukan perdagangan secara kontinu. Pergerakan harga karet alam antara negara-negara yang menjadi produsen dan konsumen karet alam utama dunia dapat menjadi stimulus aktif antara pasar yang melakukan perdagangan. Lokasi geografis antara pasar Indonesia dan internasional memungkinkan perbedaan/selisih harga karet alam pada tiap negara. Pengaruh dari transmisi harga, kecepatan informasi dan biaya transportasi di pasar dunia semestinya

berdampak pada keseimbangan harga karet alam di Indonesia. Batas-batas geografis lokasi pasar karet alam akan menjadi sangat penting dalam mengukur permintaan dan penawaran, pembentukan harga dan struktur kompetisi yang terjadi antar masing-masing negara. Hal ini disebabkan karena jauh dekatnya suatu lokasi pasar terhadap pasar lainnya akan menimbulkan biaya transfer yang berbeda ditiap pasar sehingga akan berdampak pada harga yang diterima oleh konsumen maupun harga yang ditawarkan oleh produsen. Selain itu, karet alam yang diekspor oleh Indonesia sebesar 90 persen dari total produksinya merupakan produk bahan baku, sehingga permintaan dunia atas produk ini akan bergantung terhadap permintaan industri berbahan dasar karet alam. Sementara itu, perkembangan industri berbahan dasar karet alam akan sangat bergantung terhadap permintaan atas produk jadi berbahan dasar karet alam, dengan demikian gejolak permintaan dunia atas produk jadi berbahan dasar karet alam semestinya berdampak terhadap volume dan harga ekspor karet alam Indonesia. Implikasinya adalah kekuatan Indonesia dalam penetapan harga di pasar internasional menjadi lemah karena tidak hanya ditentukan oleh harga ditingkat konsumen industri tapi juga ditentukan oleh harga dikonsumen akhir produk jadi yang berbahan dasar karet alam. Fluktuasi harga bisa menyebabkan instabilitas, dan karenanya patut dicari penyebab dan pemecahannya. Salah satu informasi penting yang bisa membantu persoalan fluktuasi adalah informasi tentang integrasi pasar. Khususnya yang terkait dengan harga karet alam, keterkaitan harga domestik dan harga dunia patut dicermati, agar bisa memberi antisipasi yang benar terhadap upaya perbaikan nasib petani.

Informasi harga dan kemungkinan substitusi produk antar pasar selalu berpengaruh terhadap perilaku penjual dan pembeli. Transmisi dan pemanfaatan informasi diantara berbagai pasar dapat mengakibatkan harga dari komoditas tertentu bergerak secara bersamaan di berbagai pasar tersebut. Kondisi ini menunjukkan keberadaan integrasi pasar yang merupakan salah satu indikator penting efisiensi sistem pemasaran (Heytens, 1986 dalam Adiyoga et al, 2006). Penelurusan keberadaan integrasi pasar karet alam di Indonesia dengan internasional tentunya akan memberikan gambaran mengenai dampak

perkembangan harga yang diterima oleh petani di Indonesia, karena apabila pasar karet alam Indonesia tidak terintegrasi dengan pasar internasional, maka perkembangan harga di pasar internasional (kenaikan/penurunan harga) belum tentu berdampak nyata terhadap petani karet alam di Indonesia. Dengan demikian, pengukuran integrasi pasar karet alam di Indonesia dan Internasional dapat memberikan informasi penting menyangkut cara kerja pasar yang dapat berguna untuk memperbaiki kebijakan liberalisasi pasar, memantau pergerakan harga, melakukan peramalan harga dan memperbaiki kebijakan investasi infrastruktur pemasaran karet alam untuk kepentingan kesejahteraan petani karet alam di Indonesia. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, maka beberapa yang menjadi pertanyaan pada penelitian ini, dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah perkembangan, keragaman dan korelasi harga karet alam Indonesia dengan negara produsen dan konsumen utama karet alam dunia? 2. Bagaimanakah integrasi pasar antara pasar karet alam Indonesia dengan pasar lainnya?

3. Bagaimanakah hubungan kausalitas harga antar masing-masing pasar serta pengaruh nilai tukar Rupiah dan harga karet sintetik terhadap harga ekspor karet alam Indonesia?

1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan perkembangan, keragaman dan korelasi harga karet alam Indonesia dengan negara produsen dan konsumen utama karet alam dunia. 2. Menganalisis integrasi pasar antara pasar karet alam Indonesia dengan negara produsen dan konsumen utama karet alam dunia. 3. Menganalisis hubungan kausalitas harga antar masing-masing pasar serta pengaruh nilai tukar Rupiah dan harga karet sintetik terhadap harga ekspor karet alam Indonesia.

1.4 Kegunaan Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan pergerakan harga di dunia bagi eksportir karet alam di Indonesia, sehingga dapat menentukan volume dari karet alam yang diproduksi maupun di ekspor untuk mencegah kerugian secara finansial akibat kelebihan supply yang akan mengakibatkan penurunan harga. Selain itu, hasil dari kajian ini dapat digunakan acuan harga pasar internasional, peramalan harga, pengambilan kebijakan pertanian, penggalangan kerjasama internasional serta referensi bagi penelitian lebih lanjut mengenai evaluasi dampak dari perubahan maupun perkembangan harga karet alam diberbagai negara terhadap pendapatan petani karet alam di Indonesia.

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Profil Karet Alam Indonesia. 2.1.1 Sejarah Karet Alam Dunia dan Indonesia Karet alam pertama kali ditemukan sebagai tanaman liar di pedalaman Amerika oleh Michele de Cuneo pada tahun 1943. Beberapa tahun kemudian, para pendatang dari Eropa mempublikasikan temuan ini dan mulai dikembangkan untuk barang keperluan sehari-hari. Karet dimanfaatkan sebagai bahan pembuat pakaian tahan air, pelindung barang-barang lain terhadap air, botol karet, karet penghapus serta barang lainnya. Penemuan tehnik vulkanisir karet oleh Charles GoodYear membuat karet menjadi barang yang sangat diminati orang untuk dibuat aneka barang. Penemuan ban dari karet membuat industri di Eropa berkembang pesat. Temuan-temuan baru yang menyangkut pengetahuan fisika, kimia dan bidang botani karet juga turut menambah nilai karet untuk kepentingan manusia yang berlanjut ke

pengembangan industri dengan bahan dasar karet. Karet alam yang berada di Indonesia saat ini pertama kali diperkenalkan oleh Belanda yang dirintis pertama kali oleh H. A. Wickham yang dibawa dari pedalaman Amerika Selatan pada tahun 1943 dan ini merupakan cikal bakal dari tanaman karet di kawasan Asia tenggara. Tanaman karet pertama kali di tanam di Kebun Raya Bogor dengan tujuan untuk menjadi koleksi, namun selanjutnya dikembangkan menjadi tanaman perkebunan dan tersebar dibeberapa daerah. Perkebunan karet mulai diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1864 oleh Hofland di daerah Pamanukan dan Ciasem Jawa Barat. Perkembangan perkebunan karet pada masa penjajahan Belanda didukung oleh penawaran

penanaman modal oleh pemerintahan Netherland Indies kepada investor luar (Inggris, Belgia dan Amerika) menjadikan Indonesia saat ini memiliki perkebunan karet alam terluas di dunia. Sejarah karet alam di Indonesia pernah mengalami kejayaan pada tahun 1937. Pada masa itu produksinya mencapai 650.000 ton. Namun, produksinya terus menurun akibat penurunan harga karet dan pecahnya Perang Dunia II. Indonesia kembali menguasai pasaran karet alam pasca Perang Dunia II. Kebutuhan karet alam dunia saat itu sebagian besar dipasok oleh Indonesia. Selain pengelolaan yang kurang baik dan situasi politik yang kurang stabil, produksi perkebunan karet Indonesia berhasil dikalahkan oleh Malaysia pada tahun 19591960. Pada periode 1980-an hingga sekarang, produksi karet alam Indonesia termasuk kedua yang terbesar di dunia. Namun, masalah yang selalu tampak didunia perkaretan Indonesia adalah fluktuasi harga di pasar internasional dan pasar dalam negeri yang tentunya akan berdampak pada kesejahteraan petani karet. (Penebar Swadaya, 1998)

2.1.2 Sentra dan Produksi Karet Alam Indonesia Indonesia merupakan produsen karet alam terbesar kedua di dunia setelah Thailand dengan produksi rata-rata 2,2 juta ton setiap tahunnya atau 26 persen dari total produksi karet alam dunia. Produksi karet Thailand mencapai 2,8 juta ton per tahun (33%), sedangkan Malaysia dengan produksi sebesar 1,1 juta ton per tahun atau 13 persen dari total dunia merupakan produsen terbesar ketiga di dunia. Dari sisi negara konsumen utama karet alam dunia, hampir separuh produksi karet alam dunia dikonsumsi oleh tiga negara utama, masing-masing Cina dengan daya

11

serap pasar sekitar 22 persen, diikuti AS sebesar 16 persen, dan Jepang 10 persen (BI, 2007). Selama lebih dari 35 tahun (1967-2003), areal perkebunan karet di Indonesia meningkat sekitar 1,2 persen per tahun. Namun, pertumbuhan ini hanya terjadi pada areal karet rakyat (+ 1,5% per tahun), sedangkan pada perkebunan besar negara dan swasta cenderung menurun (Tabel 1). Dengan luasan sekitar 3,3 juta ha pada tahun 2003, mayoritas (85%) perkebunan karet di Indonesia adalah perkebunan rakyat, yang menjadi tumpuan mata pencaharian lebih dari 15 juta jiwa. Dari keseluruhan areal perkebunan rakyat tersebut, sebagian besar (91%) dikembangkan secara swadaya murni, dan sebagian kecil lainnya yaitu sekitar 288.039 ha (9 %) dibangun melalui proyek PIR, PRPTE, UPP Berbantuan, Partial, dan Swadaya Berbantuan.

Tabel 1 Pertumbuhan Luas Areal Karet di Indonesia (1967-2003) Area (000 ha) Pertumbuhan Deskripsi (% / Tahun) 1967 2003 1.617 (76) 2.797 (85) 1.58 Perkebunan Rakyat 223 (10) 221 (7) -0.15 Perkebunan Negara 292 (14) 272 (8) -0.15 Perkebunan Swasta 2.132 (100) 3.290 (100) 1.26 Total
Sumber : Departemen Pertanian, 2008

Areal perkebunan karet di Indonesia tersebar terutama di sepanjang pulau Sumatera, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan (93% dari luas total karet di Indonesia). Potensi peningkatan produksi karet nasional pada jangka menengah (2005- 2010) terdapat pada areal karet yang ada (exisiting) saat ini (2003) seluas 3,2 juta ha melalui upaya peremajaan dan rehabilitasi tanaman. Namun, pada jangka panjang (2010-2025) pengembangan areal perkebunan karet dapat dilakukan pada wilayah-wilayah nontradisional karet

12

terutama di kawasan Indonesia Timur yang pada umumnya merupakan daerah beriklim kering. Daerah beriklim kering ditandai oleh curah hujan berkisar 10001500 mm/thn. dengan bulan kering berkisar 4 - 7 bulan. Daerah tersebut terutama tersebar di Jawa Timur, Kalimantan Timur dan sebagian besar daerah KTI dengan luas 9 juta ha. Luas perkebunan karet di KTI saat ini adalah sekitar 17.143 ha atau hanya 0,5 persen dari luas perkebunan karet di Indonesia. Ditinjau dari segi kelas kemampuan tanah berkisar IV - VI, maka lahan tersebut sesuai untuk tanaman tahunan. Dengan memanfaatkan potensi lahan tersebut, maka dampak terhadap produksi karet nasional pada jangka panjang akan sangat nyata. Distribusi perkebunan karet alam milik rakyat berdasarkan daerah tingkat propinsi diuraikan dalam Tabel 2. Propinsi penghasil terbesar karet alam di Indonesia pada tahun 2005 terdapat pada propinsi Sumatera Selatan dengan total produksi 349 ribu ton dengan luas areal sebesar 595 ribu ha, disusul Sumatra Utara dengan total produksi sebesar 244 ribu ton dengan luas sebesar 293 ribu ha.

Tabel 2 Produksi dan Luasan Perkebunan Karet di Indonesia Berdasarkan Propinsi (Tahun 2005) Propinsi 1. Sumatra Selatan 2. Sumatra Utara 3. Riau 4. Jambi 5. Kalimantan Barat 6. Kalimantan Tengah 7. Sumatra Barat 8. Kalimantan Selatan 9. Aceh 10. Bengkulu 11. Lampung 12. Bangka-Belitung 13. Kalimantan Timur Total
Sumber : IRRI, 2006

Luasan (000 ha) 595 293 366 412 354 240 98 109 71 58 50 29 34 2.709

Produksi (000 ton) 349 244 223 205 194 164 67 57 44 32 27 19 19 1.644

% Produksi 21,4 14,9 13,5 12,5 11,8 9,9 4,2 3,5 2,6 1,9 1,6 1,1 1,1 100

13

2.1.3 Jenis Olahan dan Mutu Karet Alam Indonesia Getah karet atau lateks diperoleh secara teknis melalui penyadapan pada kulit batang karet. Penyadapan ini memerlukan tehnik yang khusus untuk mendapat volume produksi ataupun kualitas yang dihasilkan. Petani karet pada umumnya menghasilkan lateks dari hasil pengumpulan dan dijadikan berbagai bentuk yang menjadi bahan olahan karet (bokar) yang kemudian dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan milik negara maupun swasta untuk menjadi jenisjenis mutu karet yang lebih tinggi. Beberapa jenis olahan karet yang terdapat di Indonesia adalah: 1. Bahan olahan karet (bokar) yang terdiri dari lateks kebun, sheet angin, slab tipis, lump segar dan lump tanah. 2. Karet konvensional terdiri dari ribbed smoked sheet (RSS) dan berbagai jenis crepe 3. Lateks pekat 4. Karet bongkah atau block rubber 5. Karet Spesifikasi Teknis (TSR) atau crumb rubber. Barang jadi dari karet terdiri atas ribuan jenis dan dapat diklasifikasikan atas dasar penggunaan akhir (end use) atau menurut saluran pemasaran (market channel). Pengelompokan yang umum dilakukan adalah menurut penggunaan akhir yakni: (1) ban dan produk terkait serta ban dalam, (2) barang jadi karet untuk industri, (3) barang jadi karet kemiliteran, (4) alas kaki dan komponennya, (5) barang jadi karet untuk penggunaan umum dan (6) kesehatan dan farmasi. Ragam produk karet yang dihasilkan dan diekspor oleh Indonesia masih terbatas, akan tetapi umumnya masih didominasi oleh produk primer (raw material) dan produk setengah jadi. Jika dibandingkan dengan negara-negara produsen utama karet alam lainnya, seperti Thailand dan Malaysia, ragam produk

14

karet Indonesia tersebut lebih sedikit. Sebagian besar produk karet Indonesia diolah menjadi karet remah (crumb rubber) dengan kodefikasi Standard Indonesian Rubber (SIR), sedangkan lainnya diolah dalam bentuk RSS dan lateks pekat.
Alat kesehatan dan laboratorium Perlengkapan kendaraan
Pipet, Slang stetoskop, dll Ban kendaraan, pedal sepeda dan motor, ban of the road, karet kaca
Bola sepak, volley, basket, pakaian selam, dll

Lateks, sheet, bokar

Crumb Rubber

Alat olah raga

Perlengkapan pakaian

Pohon Karet Arang, Kayu gergajian, pulp

Sepatu & sandal karet, dll Air house, oil seal, rubber bushing, dll

Perlengkapan teknik industri

Kayu

Perlengkapan anak dan bayi

Balon karet, dot susu, perlak, mainan anak, dll Karpet, perlengkapan lain Kondom, pelampung, dll

Furnitur e

Perlengkapan rumah tangga

Barang lain

Gambar 3 Pohon Industri Karet


Sumber : Departemen Pertanian, 2008

Potensi nilai tambah produk karet dapat diperoleh melalui pengembangan industri hilir dan pemanfaatan kayu karet sebagai bahan baku industri kayu (Gambar 3). Terlihat bahwa cukup banyak ragam produk yang dapat dihasilkan dari lateks, utamanya non ban, sedangkan ragam produk dari kayu karet tidak sebanyak dari lateks. Namun, sampai saat ini potensi kayu karet tua belum dimanfaatkan secara optimal.

15

2.1.4 Standar Mutu Ekspor Karet Alam Indonesia Kebijakan pemerintah dalam memperbaiki kualitas serta untuk tetap mempertahankan pangsa pasar karet alam Indonesia di internasional diperbaharui secara terus menerus. Kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah yakni: a) SK Menteri Pertanian No: 701/Kpts/AP 830/10/1987 yang direvisi oleh SK Menteri Pertanian No: 350/Kpts/TP 830/5/1989 dan SK Menteri Perdagangan No. 184/14/VI/1988, tentang perbaikan perbaikan mutu lateks kebun, sheet angin, slab tipis dan lumb segar. b), SK Menperindag No. 616/Mpp/Kep/10/1999, tentang tataniaga dan standarisasi bokar yang mewajibkan bokar (crumb rubber) membeli bokar dari pedagang yang memiliki SIUP (Surat Ijin Usaha Perdagangan) dan bokar yang memenuhi standar SNI 06 2047 1998. Standar mutu karet alam Indonesia disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Standar Karet Alam Indonesia


Indikator Kadar Kotoran Maksimum Kadar Abu Maksimum Kadar Zat Atsiri Maksimum Plasticity Retention Index (PRI) Maksimum Plastisitas - Po Minimum Limit Warna (Skala Lovibod) Kode Warna Sumber: Loo, 1980 SIR 5L 0,05% 0,05% 1,00% 60 30 Hijau SIR 5 0,05% 0,05% 1,00% 60 30 Hijau SIR 10 0,10% 0,75% 1,00% 50 30 Coklat SIR 20 0,20% 1,00% 1,00% 40 30 Merah SIR 50 0,5% 1,50% 1,00% 30 30 Kuning

2.2 Karakteristik Karet Sintesis Karet sintesis terbuat dari bahan bakar minyak bumi. Karet sintesis terdiri dari dua jenis yang digunakan untuk keperluan umum dan keperluan khusus. Perbedaan antara karet sintesis kegunaan khusus dengan kegunaan umum adalah

16

kelebihannya dalam hal daya tahan terhadap minyak, oksidasi, panas dan suhu tinggi serta kedap gas. Karet sintesis untuk kegunaan umum terbagi atas beberapa tipe yakni: Strena Butadiene Rubber (SBR), Butadiene Rubber (BR), Isoprene Rubber (IR). Karet sintesis jenis SBR memiliki daya tahan aus, kalor yang ditimbulkan akibat gesekan. Butadiene Rubber (BR) memiliki daya rekat yang lebih rendah dari SBR, sedangkan Isoprene Rubber (IR) memiliki kemiripan sifat dengan karet alam. Karet sintesis untuk kegunaan khusus terbagi atas beberapa tipe, yakni: Isobutadiene Isoprene Rubber (IRR), Nytril Butadiene Rubber (NBR), Chloroprene Rubber (CR) dan Ethylene Propylene Rubber (EPR). Karet jenis IRR dikenal juga sebagai Butyl Rubber yang memiliki daya tahan kedap gas dan memiliki sedikit ikatan rangkap sehingga tahan terhadap pengaruh oksigen maupun ozon. Jenis karet NBR merupakan jenis yang paling banyak digunakan karena memiliki kandungan Akrilonitril yang menyebabkan daya tahan terhadap lemak, minyak dan bensin semakin tinggi, namun elastisitasnya semakin berkurang seiring dengan frekuensi pemakaiannya. Jenis karet CR memiliki kekhususan karena tahan terhadap pengaruh oksigen dan ozon, tahan terhadap panas bahkan nyala api. Keunggulan dari EPR adalah daya tahan terhadap sinar matahari, ozon dan pengaruh unsur cuaca lainnya, namun memiliki kelemahan daya lekat yang rendah.

2.3 Kerjasama Antara Negara Produsen Karet Alam. Perdagangan multilateral yang cenderung mengarah lebih terbuka, menawarkan peluang sekaligus tantangan dari negara-negara lain dalam meningkatkan daya saing maupun bentuk-bentuk kerjasama multilateral antar

17

negara. Kepentingan Indonesia sebagai pihak produsen karet alam terbesar kedua di dunia setelah Thailand, memberikan landasan bagi Indonesia untuk menjadi salah satu anggota dari kerjasama dunia. Organisasi Multilateral karet alam yang pertama kali dibentuk pada tahun 1979 dengan nama International Natural Rubber Organization (INRO) dengan anggota yang terdiri dari produsen antara lain Malaysia, Indonesia, Thailand, Sri Langka dan Nigeria. Tujuan didirikannya organisasi adalah tercapainya stabilisasi harga karet alam di pasar dunia dengan tidak meninggalkan prinsip mekanisme pasar. Stabilisasi harga dilakukan dengan berpedoman pada Perjanjian Karet Alam Internasional atau International Natural Rubber Agreement (INRA), yaitu melalui operasi Buffer Stock, dengan cara membeli karet alam pada saat harga internasional lebih rendah dari reference price atau menjual pada saat harga lebih tinggi dari reference price. Besarnya Reference price telah ditetapkan dalam INRA 1995, dalam mata uang Ringgit Malaysia atau Dollar Singapura. Sejak dibubarkannya INRO secara resmi pada tanggal 13 Oktober 1999, tidak ada lagi organisasi yang berfungsi sebagai stabilisator harga. Alasan dibubarkan INRO yakni karena pada saat itu INRO tidak mampu dalam mengatasi merosotnya harga. Association of Natural Rubber Producing Countries (ANRPC) yang didirikan pada tahun 1970 atas prakarsa dari ESCAP (Economic Social Commission of the Asia Pasific), suatu organisasi yang anggotanya terdiri dari negara-negara produsen karet alam, yang diharapkan dapat berfungsi sebagai pengganti sebagian dari fungsi INRO, tidak dapat berjalan sebagaimana diharapkan.

18

Bubarnya INRO, telah membawa dampak psikologis terhadap pasar, sehingga berakibat pada terus menurunnya harga karet alam di pasaran internasional. Dilatar-belakangi oleh merosotnya harga karet alam sejak krisis

moneter tahun 1997 dan dibubarkannya INRO tahun 1999 tersebut, tiga negara produsen utama karet alam yaitu Thailand, Indonesia dan Malaysia sepakat mengadakan kerjasama di bidang perdagangan karet alam (Tripartite on Rubber Cooperation among Thailand, Indonesia and Malaysia). Dalam upaya mengatasi merosotnya harga karet alam, pemerintah Thailand, Indonesia dan Malaysia telah sepakat mendirikan perusahaan patungan karet alam bernama International Rubber Consortium Limited (IRCo). Kesepakatan

pendirian perusahaan patungan IRCo ini telah tertuang dalam Memorandum of Undrstanding (MoU) yang ditanda-tangani oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI, Menteri Agriculture and Cooperatives Thailand dan Menteri Primary Industries Malaysia pada tanggal 8 Agustus 2002 di Bali. IRCo berfungsi sebagai pelengkap dari skema penyetabil harga yang lain, yaitu Supply Management Scheme (SMS) dan Agreed Export Tonnage Scheme (AETS) sebagaimana disepakati dalam Joint Ministerial Declaration (Bali Declaration) 2001, yaitu melaksanakan kegiatan strategic marketing meliputi pembelian dan penjualan karet alam. Mekanisme beroperasinya IRCo, secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Apabila harga karet alam pada suatu saat turun hingga menyentuh pada tingkat reference price yang telah disepakati, maka perlu dilaksanakannya langkahyang

19

langkah Supply Management Scheme (SMS) dan Agreed Export Tonnage Scheme (AETS)2. 2. Apabila harga karet alam terus menurun secara drastis dan mekanisme SMS maupun AETS tidak berhasil mengangkat harga karet alam pada tingkat harga yang wajar sesuai reference price, maka perlu ada tindakan yang harus dilakukan oleh Board of Directors IRCo, yang salah satu diantaranya adalah melakukan pembelian karet alam. Mekanisasi SMS dilakukan kegiatan peremajaan, diversifikasi usahatani, dan membatasi pembukaan areal tanaman baru. Sedangkan mekanisme AETS akan dilakukan melalui pembatasan ekspor oleh masing-masing negara yang mulai berlau Januari 2002, sementara SMS dilakukan pada tahun 2002 dan 2003. Harga referensi untuk skema tersebut pertama kali US cent 67/kg, kemudian dinaikkan menjadi US cent 80/kg dan US cent 110/kg. Karena mulai pertengahan tahun 2002 harga karet alam diatas US cent 110/kg maka program-program IRTC tersebut ditunda (Honggokusumo, 2004) IRCo berfungsi sebagai pelengkap dari skema penyetabil harga yang lain, yaitu SMS dan AETS sebagaimana disepakati dalam Joint Ministerial Declaration (Bali Declaration) 2001, yaitu melaksanakan kegiatan strategic marketing yang meliputi pembelian dan penjualan karet alam.

Dalam Joint Ministerial Declaration (Bali Declaration) 2001, ketiga negara telah sepakat melaksanakan pengurangan produksi sebesar 4 persen setiap tahunnya dalam jangka waktu tertentu melalui mekanisme SMS, dan melakukan pengurangan ekspor sebesar 10 persen melalui mekanisme AETS. Kebijakan AETS dan SMS mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2002

20

2.4 Penelitian Terdahulu Penelitian tentang karet yang dibahas pada bagian ini dibatasi pada beberapa penelitian bertema karet alam dan integrasi pasar. Tarigan (2001) dalam penelitiannya mengenai Identifikasi Peluang Kontrak Berjangka Karet Alam di Bursa Berjangka Komoditi Indonesia, menganalisis faktor-faktor kelayakan subjek kontrak berjangka komoditi karet alam dan harapan dari pelaku pasar berjangka. Identifikasi faktor menggunakan alat Analisis Hirarki Proses (AHP). Tarigan menyimpukan bahwa yang terpenting yang harus dipenuhi semua komoditi yang dibuat dalam subjek kontrak berjangka adalah harga komoditi tersebut harus berfluktuasi. Sementara itu, harga karet alam di pasar fisik memperlihatkan kestabilan harga, sehingga karet alam di pasar berjangka tidak memberikan insentif ekonomi bagi spekulator di bursa berjangka untuk mentransaksikan kontrak berjangka. Anggraeni (2004), meneliti perdagangan karet dengan judul Indentifikasi Dampak Penerapan AFTA Terhadap Nilai Ekspor dan Impor Harga Komoditi Karet Indonesia-ASEAN, penelitian ini menganalisis keefektifan diterapkannya area perdagangan bebas (AFTA) pada komoditi karet. Anggraeni (2004)

melakukan pendugaan dan pengujian terhadap variabel-variabel yang dianggap secara teoritis mempengaruhi nilai ekspor riil karet Indonesia ke ASEAN. Dari beberapa variabel yang ditetapkan, variabel yang mempunyai elastisitas tertinggi terhadap nilai ekspor riil karet Indonesia adalah harga rata-rata riil karet di pasar ASEAN. Maklumat (2005), meneliti karet alam dalam Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Ekspor Karet Alam Indonesia. Variabel-variabel yang

21

diduga dibentuk kedalam model simultan ke dalam model ekspor dan impor karet alam Indonesia. Variabel-variabel yang digunakan antara lain: nilai tukar rupiah, jumlah ekspor karet alam Indonesia, harga riil karet sintesis dunia, harga riil karet alam dunia dan harga ekspor karet alam Thailand. Pengujian terhadap variabelvariabel tersebut, menghasilkan variabel harga karet alam dunia sangat berpengaruh nyata terhadap harga ekspor karet alam Indonesia. Anwar (2005) melakukan penelian tentang karet alam dengan

menggunakan analisis integrasi pasar yang dituangkan kedalam disertasi dengan judul Prospek Karet Alam Indonesia : Suatu Analisis Integrasi Pasar dan Keragaan Ekspor. Penelitian yang dilakukan oleh Anwar bertujuan diantaranya untuk : 1). Mengukur integrasi pasar karet alam, baik integrasi pasar spasial maupun integrasi pasar vertikal di Indonesia, 2). Pengaruh nilai tukar dan minyak mentah terhadap ekspor karet Indonesia, harga minyak mentah terhadap permintaan karet alam, 3) Keragaan dan permintaan ekspor karet alam Indonesia (Pangsa pasar konstan/CMS dan permintaan karet alam Indonesia). Penelitian ini menggunakan alat analisis Vector Autoregression Models (VAR) dan (Vector Error Correction Model (VECM). Temuan empirik utama dari penelitian tersebut menyimpulkan bahwa pada integrasi pasar spasial, pasar karet alam RSS dan TSR tidak terintegrasi secara penuh sehingga hukum satu harga (the law of one price) tidak berlaku. Berbagai kesimpulan dan saran yang diberikan oleh penulis dapat dibaca secara lengkap pada disertasinya Penelitian mengenai integrasi pasar telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu. Irawan3 melakukan penelitian tentang integrasi beras yang bertujuan untuk memverifikasi ada-tidaknya keberadaan integrasi pasar di
3

Andi Irawan. Integrasi Pasar Beras. www.iei.or.id (akses tanggal 26 Desember 2007)

22

domestik (ditingkat propinsi dan pusat/Jakarta) dengan pasar beras internasional, sehingga dapat menjadi rujukan justifikasi empiris perlu-tidaknya memasukkan perilaku pasar beras internasional ke dalam model forecasting inflation volatile untuk mendapatkan kemampuan peramalan yang lebih baik. Penelitian ini menggunakan pendekatan model kointegrasi dan koreksi kesalahan (error correction model) dengan data time series. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menyatakan bahwa pasar beras (propinsi, pusat/Jakarta) dan pasar internasionalnya (Bangkok) menunjukkan saling terintegrasi yang berimplikasi bahwa setiap perubahan yang terjadi dalam pasar beras internasional seperti kelebihan produksi dan kegagalan panen dari negara-negara penghasil beras dunia akan berimbas pada harga pasar beras domestik. Hutabarat (2006), meneliti integrasi spasial pasar kopi di Indonesia dan dunia dengan judul Analisis Saling-Pengaruh Harga Kopi Indonesia dan Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode analisis kointegrasi. Variabel-variabel yang digunakan ke dalalam penelitian adalah harga bulanan kopi robusta olah basah dan olah kering di Jawa Timur , harga bulanan kopi robusta ditingkat produsen Indonesia, harga bulanan kopi robusta ditingkat petani lampung dan harga eceran bulanan kopi di Jepang, Amerika Serikat, Jerman, Italia serta Belanda. Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini, menyatakan bahwa harga kopi eceran di Jepang selalu lebih tinggi dari harga di negara konsumen seperti Amerika Serikat, Jerman, Italia dan Belanda serta tren perkembangannya harga cenderung meningkat positif sampai dengan tahun 1995 dan setelah itu trennya menurun. Dalam jangka panjang harga robusta bentuk olah basah di Jawa

23

Timur berkointegrasi dengan harga robusta olah kering dan asalan dengan nilai koefisien determinasi tinggi. Harga di Jawa Timur mempunyai hubungan jangka panjang yang sangat erat dengan harga tingkat petani di lampung. Industri kopi di Eropa Barat berhubungan erat dengan industri kopi di Lampung dan kurang erat dengan industri kopi di Jawa Timur. Sebaliknya, industri kopi di Amerika Serikat berhubungan erat dengan industri kopi di Jawa Timur dan industri kopi di Lampung. Adiyoga. et al (2006), meneliti integrasi pasar di Indonesia dengan judul Integrasi Pasar Kentang Di Indonesia: Analisis Korelasi Dan Kointegrasi. Alat analisis yang digunakan adalah VAR dengan menggunakan data harga harian, mingguan dan bulanan berurut-turut pada tahun 1990 kecuali untuk data harga bulanan mencakup periode 1997-1999 pada daerah Bandung, Jakarta (Pasar Induk Kramat Jati), Tanah Karo (Medan) dan Singapura (hanya untuk data bulanan). Jakarta diasumsikan sebagai pasar acuan. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis keragaan pasar kentang dan integrasi pasar kentang di Indonesia. Simpulan yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah bahwa penggunaan analisis kointegrasi terhadap data harian, mingguan dan bulanan secara konsisten mengindikasikan bahwa pasar kentang di Jakarta, Bandung, Sumatera Utara dan Singapura terintegrasi satu sama lain. Lohano dan Fatch (2006) melakukan pengujian integrasi pasar bawang di Pakistan dengan judul Testing Market Integration ini Regional Onion Market of Pakistan: Application of Error Correction Model in the Presence of Stationarity. Penelitian integrasi pasar spasial diuji dengan mengestimasi hubungan harga pasar bawang yang secara geografis terpisah pada Pakistan. Data yang digunakan

24

untuk analisis adalah harga riil ditingkat pedagang besar di empat kota yakni: Hyderabed, Lahore, Peshawar, dan Quetta. Kota-kota tersebut mewakili empat propinsi di Pakistan yaitu: Sindh, Punjab, NWFP dan Balochistan. Hasil uji unit root untuk setiap lokasi menunjukkan bahwa seri harga tersebut stasioner dan seri tersebut direpresentasikan sebagai model

autoregressive. Hubungan spasial harga dievaluasi dengan mengestimasi error correction model sesuai dengan keberadaan kestasioneritasan pada seri tersebut. Hyderabed dan Quetta merupakan propinsi utama penghasil bawang, sedangkan untuk posisi selanjutnya secara berurutan adalah Sindh dan Balochistan. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa pasar perdagangan bawang terintegrasi secara spasial yang diindikasikan dengan hubungan harga spasial yang kuat diantara masing-masing pasar. Penelitian yang telah dilakukan oleh Tarigan (2001), Anggraeni (2004), Maklumat (2005) dan Anwar (2005), masing-masing memiliki perbedaaan dalam tujuan, penggunaan metode pendugaan parameter dan data deret waktu yang dianalisisnya. Data deret waktu yang digunakan oleh peneliti terdahulu yakni menggunakan data harga karet alam agregat tanpa memperlihatkan jenis karet yang diperdagangkan. Khusus penelitian yang dilakukan oleh Anwar (2005) data series yang digunakan menggunakan harga karet alam tahunan dengan dua tipe karet alam yakni RSS1/RSS3 dan TSR20. Jika diperhatikan lebih lanjut, penelitian yang dilakukan oleh Anggraeni (2004) dan Maklumat (2005) menyimpulkan bahwa harga karet alam dunia berpengaruh nyata terhadap harga ekspor karet alam Indonesia, namun apakah benar hasil analisis yang telah

25

dilakukan dapat memberi gambaran terjadinya integrasi pasar antara Indonesia dengan pasar lainnya?. Perbedaan dari penelitian ini terletak pada tujuan, alat analisis (kecuali penelitian yang dilakukan oleh Anwar, 2005) dan variabel-variabel yang hendak dilihat dan digunakan. Perbedaan penelitian ini dengan yang dilakukan oleh Anwar (2005) terletak pada rentang waktu data series yang digunakan, dimana penelitian ini menggunakan data series bulanan sehingga perilaku dari harga lebih representatif dan tentunya akan berdampak pada hasil analisis yang dilakukan. Selain itu, penelitian ini menggambarkan hubungan kausalitas antar masingmasing seri harga dan beberapa analisis lainnya yang akan memperkuat hasil analisis. Beberapa studi tentang karet alam terdahulu kebanyakan menggunakan pendekatan model simultan, dimana didalam persamaan tersebut peubah diklasifikasikan atas peubah endogen dan peubah eksogen serta model dibangun dalam struktur kausalitas yang ketat (regresi dengan metode konvensional). Kelemahan pendekatan ini adalah peubah endogen tidak dapat dikatakan bebas dari perubahan peubah-peubah eksogen dan pengaruh waktu terhadap data series yang digunakan. Hal ini dikritik oleh Sims (1980) yang menyatakan bahwa persamaan simultan, struktural dan model persamaan diperlakukan dengan mengasumsikan beberapa variabel ditentukan terlebih dahulu ke dalam persamaan. Apabila terdapat hubungan simultan antara variabel-variabel tersebut seharusnya variabelvariabel tersebut diperlakukan dengan kedudukan yang sama dan seharusnya tidak terdapat perbedaan utama antara variabel endogen dan eksogen.

26

Oleh karena untuk mengindari hal-hal tersebut maka dalam penelitian ini digunakan pendekatan kointegrasi (cointegration), yang dapat mengestimasi hubungan jangka panjang antar peubah dan secara tidak langsung dapat digunakan untuk melihat hubungan jangka pendek. Pengujian kointegrasi dilakukan berdasarkan tehnik VAR. Pegujian korelasi antara series harga karet alam dapat menggambarkan hubungan linier antara masing-masing seri harga, sedangkan koefisien keragaman harga pada masing-masing seri menggambarkan fluktuatif seri harga terhadap rata-ratanya di setiap periode.

27

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Teori Harga Pasar Teori dasar pembentukan harga yang berlaku di pasar mengacu pada pada teori permintaan dan penawaran yang terjadi. Suatu hipotesis dasar ekonomi permintaan mengatakan bahwa semakin rendah harga suatu komoditi, semakin banyak jumlah komoditi tersebut diminta, cateris paribus, sedangkan teori dasar penawaran menyatakan bahwa untuk banyak komoditi, semakin tinggi harganya semakin besar jumlah yang ditawarkan, cateris paribus. Sehingga untuk mencapai kesepakatan dalam pertukaran komoditas, perpotongan antara kurva penawaran dan permintaan akan membentuk harga keseimbangan. Perpotongan antara kurva permintaan dan penawaran mengindikasikan bahwa harga dan total kuantitas yang ingin diperjualbelikan oleh konsumen dan produsen berada pada posisi yang sesuai. Jika kondisi pasar persaingan sempurna terjadi pada pasar maka harga pasar berlaku tidak akan dipengaruhi oleh harga lain baik dalam dimensi waktu dan tempat. Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran suatu produk tentunya akan berpengaruh terhadap pembentukan harga. Faktor dominan yang berpengaruh dalam permintaan diantara lain: 1) Harga komoditi tersebut (Px), 2) Pendapatan rata-rata rumah tangga, 3) Harga komoditi lain (subtitusi),

4) Selera, 5) Distribusi pendapatan diantara RT dan 6) Jumlah penduduk (Populasi), sedangkan faktor yang mempengaruhi penawaran suatu produk adalah 1) Harga komoditi tersebut, 2) Harga komoditi lain, 3) Biaya faktor produksi, 4) Sasaran perusahaan dan 5) Tingkat teknologi yang digunakan.

3.1.2 Teori Perdagangan dan Pembentukan Harga Pasar Internasional Teori ekonomi tentang perdagangan internasional mengemukakan pandangan pokok bahwa perdagangan membawa kesejahteraan bersama. Negara peserta perdagangan bisa memperoleh manfaat (gain from trade) yang saling menguntungkan bila dibanding dengan keadaan dimana negara masing masing memenuhi sendiri kebutuhan semua kebutuhan barang ekonominya (keadaan autarki, yaitu keadaan dimana ekonomi negara terisolasi dari negara lain). Keadaan ini dicapai melalui spesialisasi negara, yaitu suatu negara hanya memproduksi barang ekonomi dimana dia (negara itu) memiliki keunggulan. Keunggulan suatu negara atas negara lain, dijelaskan oleh banyak teori. Teoriteori ini dikembangkan di atas dua teori klasik yaitu teori keunggulan absolut (oleh Adam Smith) dan teori keunggulan komparatif (oleh David Ricardo).

Sementara untuk menjelaskan mekanisme terjadinya perdagangan terdapat model ekses pasar. Beberapa paparan di bawah ini menjelaskan pokok pokok di atas. Pembentukan harga suatu komoditas di pasar internasional erat hubungannya dengan proses perdagangan internasional yang terjadi. Menurut Adam Smith, perdagangan internasional antara dua negara didasarkan oleh keunggulan absolut (Absolut advantage). Jika sebuah negara lebih efisien daripada negara lain dalam memproduksi sebuah komoditi, namun kurang efisien dibanding negara lain dalam memproduksi komoditi lainnya, maka kedua negara tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan cara masing-masing melakukan spesialisasi dalam memproduksi komoditi yang memiliki keunggulan absolut (Salvatore, 1997).

29

Teori keunggulan absolut yang di paparkan oleh Adam Smith tidak dapat menjelaskan perdagangan dunia terutama perdagangan antara negara maju. David Ricardo dengan teori keunggulan komparatif lebih dapat menjelaskan dasar dan keuntungan dari perdagangan internasional. Hukum keunggulan komparatif menyatakan bahwa meskipun sebuah negara kurang efisien dibanding negara lain dalam memproduksi kedua komoditi, namun masih tetap terdapat dasar untuk melakukan perdagangan yang menguntungkan bagi kedua belah pihak. Kerugian absolut yang lebih kecil dalam memproduksi dan mengekspor suatu komoditi merupakan keunggulan komparatif sedangkan komoditi yang memiliki kerugian absolut yang lebih besar memiliki kerugian komparatif (Salvatore, 1997). Pembentukan harga keseimbangan di pasar internasional bergantung dengan permintaan dan penawaran di masing-masing negara yang melakukan perdagangan. Harga keseimbangan relatif yang dibentuk tidak serta merta terjadi secara langsung, namun terjadi dalam jangka waktu yang lama sesuai dengan penyesuaian dengan nilai tukar dan kesepakatan yang terjadi antara negara yang melakukan perdagangan. Gambar 4 memperlihatkan proses terciptanya harga komoditi relatif ekuilibrium dengan adanya perdagangan yang ditinjau dari analisis keseimbangan parsial. Sesuai dengan asumsi dasar perdagangan internasional yakni negara yang melakukan perdagangan terdiri dua negara dan komoditi yang diperdagangkan homogen (satu jenis) maka Gambar 4 memperlihatkan pembentukan harga

komoditi relatif ekuilibrium setelah perdagangan. Gambar 4 panel (a) memperlihatkan adanya perdagangan internasional, dimana Negara 1 akan berproduksi dan konsumsi di titik A berdasarkan harga relatif komoditi X sebesar

30

P1, sedangkan panel (b) menjelaskan Negara 2 akan berproduksi dan berkonsumsi di titik A berdasarkan harga relatif P3.

Px/Py

Px/Py

Px/Py
SX

P3 P2 P1 B

A Ekspor E SX B* SX

P3 B

A E Impor DX

A 0

DX

A*

DX

(a)

(b)
Sumber: Salvatore, 1997

x 0

(c)

Gambar 4 Harga Komoditif Relatif Ekuilibrilium Setelah Perdagangan

Ketika harga yang berlaku berada diatas P1 maka Negara 1 akan memproduksi komoditi X lebih banyak daripada tingkat permintaan produksi. Kelebihan produksi itu selajutnya akan diekspor (bagian a) ke Negara 2. Di lain pihak, jika harga yang berlaku lebih kecil daripada P3, maka Negara 2 akan mengalami peningkatan permintaan sehingga tingkatnya lebih tinggi ketimbang produksi domestiknya. Hal ini akan mendorong Negara 2 untuk mengimpor kekurangan kebutuhannya atas komoditas X dari Negara 1. Secara spesifik, panel (a) pada Gambar 4 memperlihatkan bahwa berdasarkan harga relatif P1, kuantitas komoditi X yang ditawarkan (QSx) akan sama dengan kuantitas yang diminta oleh negara 1. Pada bagian ini juga memperlihatkan bahwa berdasarkan harga relatif P2, maka akan terjadi kelebihan penawaran apabila dibandingkan dengan tingkat permintaan untuk komoditi X(QDx), dan kelebihan itu sebesar BE. Kuantitas BE itu merupakan kuantitas

31

komoditi X yang akan diekspor oleh Negara 1 pada harga relatif P2. Besaran BE akan sama dengan B*E* dalam Gambar 4 bagian (b) Gambar 4 bagian (c) menunjukkan bahwa hanya pada tingkat harga P2, maka kuantitas impor komoditi X yang diminta oleh Negara 2 akan persis sama dengan kuantitas ekspor yang ditawarkan Negara 1. Dengan demikian P2 merupakan Px/Py atau harga relatif ekuibrilium setelah berlangsungnya perdagangan diantara kedua negara tersebut. Namun, jika Px/Py lebih besar dari P2 maka akan terdapat kelebihan penawaran ekspor komoditi X dan hal ini akan menurunkan harga relatifnya atau Px/Py, sehingga pada akhirnya harga tersebut akan bergerak mendekati atau sama dengan P2. Sebaliknya jika Px/Py lebih kecil dari pada P2 maka akan tercipta kelebihan permintaan impor komoditi X yang selanjutnya akan menaikkan Px/Py sehingga lambat laun akan sama dengan P2. Setelah hubungan perdagangan berlangsung antara kedua negara tersebut, harga relatif komoditi X akan berkisar antara P1 dan P3. Teori harga keseimbangan pada perdagangan internasional yang dikemukakan oleh Salvatore (1997) menunjukkan bahwa secara teoritis harga yang terjadi antara dua negara yang melakukan perdagangan sangat bergantung pada kekuatan permintaan dan penawaran suatu negara melalui pendekatan kurva kemungkinan produksinya. Namun, dalam kenyataannya harga dapat berada di bawah harga keseimbangan maupun di atas keseimbangan.

3.1.3 Integrasi Pasar Dalam makroekonomi dan ekonomi internasional konsep yang umum dari integrasi pasar berfokus pada kemampuan dalam melakukan perdagangan (trability / tradabilitas). Transfer sinyal tradabilitas terhadap kelebihan permintaan

32

dari satu pasar ke pasar lainnya ditangkap sebagai arus fisik aktual maupun potensial. Arus perdagangan yang positif dapat mendemonstrasikan integrasi pasar spasial berdasarkan konsep tradabilitas (Barret, 2005). Riset integrasi spasial pasar tradisional mengasumsikan bahwa dua daerah dengan pasar ekonomi yang sama untuk produk yang homogen terjadi jika perbedaaan harga antara dua daerah sama persis dengan biaya transaksi yang berhubungan perdagangan (Sexton, Kling dan Carman dalam Bernal, 2003). Pada suatu keseimbangan yang kompetitif, arus perdagangan terjadi sampai laba potensi menjadi jenuh. Jika perbedaan harga kurang dari biaya-biaya transaksi, maka pasar mungkin tersegmentasi atau jika perdagangan masih terjadi juga maka perbedaan ini mengindikasi adanya strategi maksimisasi keuntungan jangka panjang atau kegagalan atas informasi jangka pendek. Pasar autarki menyediakan penjelasan alternatif untuk pasar tersegmentasi dengan kondisi keseimbangan (Spiller and Huang dalam Bernal, 2003). Menurut Simatupang dan Situmorang (1988), analisis keterkaitan dan penentu harga biasa disebut sebagai analisis integrasi pasar. Dua pasar dikatakan terintegrasi apabila perubahan harga dari salah satu pasar disalurkan ke pasar lainnya. Jika laju penyaluran semakin cepat, maka pasar semakin terintegrasi. Takayama dan Judge yang dikutip dalam Munir et al (1997) menyatakan bahwa pasar terintegrasi apabila terdapat ketergantungan harga antara suatu pasar dengan pasar lainnya. Kecepatan dan ketepatan informasi mengenai harga akan mendorong tercapainya efisiensi dalam pengambilan keputusan alokasi

sumberdaya. Sedangkan Anwar (2005) menyatakan bahwa dua pasar terpadu

33

apabila perubahan harga disuatu satu pasar dirambatkan ke pasar lain, semakin cepat perambatannya maka semakin terpadu pasarnya Dalam perdagangan internasional, Salvatore (1997) menyatakan bahwa integrasi ekonomi mengacu kepada suatu kebijakan komersial ataupun kebijakan perdagangan yang secara diskriminatif menurunkan atau menghapuskan hambatan-hambatan perdagangan hanya antar negara-negara yang saling sepakat untuk membentuk integrasi ekonomi terbatas, yang artinya bahwa berbagai bentuk hambatan perdagangan tarif maupun non-tarif sengaja diturunkan ataupun bahkan dihapuskan sama sekali. Analisis integrasi pasar dapat dibedakan menjadi dua bagian berdasarkan hubungan pasar yang dianalisis, yaitu : a) integrasi pasar spasial yang merupakan tingkat keterkaitan hubungan antara pasar regional dan pasar regional lainnya, dan b) integrasi pasar vertikal yang merupakan tingkat keterkaitan hubungan suatu lembaga pemasaran dengan lembaga pemasaran lainnya dalam suatu rantai tataniaga. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah integrasi pasar spasial, karena pasar domestik berada dilokasi yang berbeda dengan pasar dunia.

3.1.4 Integrasi Pasar Spasial Integrasi pasar dilokasi yang berbeda mengacu pada terdapatnya pergerakan serempak atau hubungan jangka panjang harga-harga yang dibatasi sebagai transmisi yang mulus atas harga serta informasi pasar melalui pasar-pasar yang berbeda lokasi (Goletti et al,. 1995). Menurut Goletti et al, (1995) dan Barret (1996), dua pasar dianggap terintegrasi apabila perubahan harga disatu pasar diwujudkan dalam respon harga yang sama pada pasar lainnya. Apabila pasar tidak terintegrasi dalam lokasi yang berjauhan atau antar waktu, menunjukkan

34

ketidak-efisienan pasar yang terjadi akibat persengkongkolan dan pemusatan pasar yang menyebabkan penetapan dan distorsi harga di pasar. Menurut Wyeth (1992) dalam Hutabarat (2006), integrasi pasar berhubungan dengan salah satu aspek kinerja pasar. Pasar bersaing sempurna mungkin saja terintegrasi, tetapi pasar yang terintegrasi mungkin saja tidak bersaing sempurna. Tingkat keefisienan antar pasar di berbagai lokasi yang berjauhan mempunyai implikasi penting dalam liberalisasi pasar dan perumusan kebijakan. Mengingat akan pentingnya masalah ini, maka sejumlah uji empiris terhadap Dalil Harga Tunggal (the low of one price/LOP) dan ukuran kesatuan dan keefisienan pasar telah banyak dilakukan (Fackler dan Goodwin, 2001). Dalil ini menyatakan bahwa pasar pada keadaan pasar bersaing, semua harga-harga dalam suatu pasar akan seragam setelah biaya tambahan terhadap kegunaan tempat, waktu dan bentuk dari suatu barang di pasar yang bersangkutan. Prinsip-prinsip yang menentukan perbedaan harga pasar spasial antar negara berlaku sama pada harga internasional, dimana tidak tersedia rintangan dari pergerakan produk antara negara-negara tersebut. Untuk berbagai komoditi pertanian, tentu saja kondisi rintangan tersebut sangat dibutuhkan dalam perdagangan bebas. Prinsip-prinsip yang mendasari perbedaan harga diantara daerah menurut Tomek dan Robinson (1972) (dengan asumsi sebuah struktur pasar kompetitif termasuk komoditi yang homogen, informasi sempurna dan tidak ada rintangan yang menggangu perdagangan) dapat diringkas sebagai berikut: a. Perbedaan harga antara tiap dua daerah yang melakukan perdagangan satu sama lain akan sama dengan biaya transfer yang dikeluarkan.

35

b. Perbedaan harga antara tiap dua daerah yang tidak melakukan perdagangan satu sama lain akan menjadi kurang dari atau sama dengan biaya transfer. Perbedaan harga antara daerah tidak dapat melebihi dari biaya transfer. Alasan untuk hal ini seharusnya sudah jelas karena jika pada saat perbedaan harga lebih besar daripada biaya transfer, para pembeli akan membeli komoditi dari pasar dengan harga yang rendah dan mengirimkannya ke pasar yang harganya lebih besar, karena itu peningkatan harga yang terlebih dahulu terjadi, selanjutnya akan berkurang. Pola dari pembelian ini akan terus menerus berlangsung sampai hal ini tidak menguntungkan lagi untuk melakukan pengiriman komoditi antara pasar, karena itu perbedaan harga antar daerah tidak lagi melebihi biaya transfer (Tomek dan Robinson, 1972). Untuk perdagangan internasional, dua pasar dengan terintegrasi spasial dapat terjadi jika harga untuk suatu komoditas yang secara terus-menerus diperdagangkan antar dua negara (ketika penyesuaian kelayakan untuk nilai tukar dan biaya-biaya transaksi) adalah sama seperti Dalil Harga Tunggal. Analisa empiris hubungan harga di pasar internasional telah banyak dikembangkan, tapi hasilnya beragam sehingga tidak mendapatkan dukungan yang kuat tentang Dalil Harga Tunggal (Officer at. al dalam Bernal, 2003). Ketertarikan terhadap " teori perdagangan modern", Miljkovic (2006) mengidentifikasi beberapa pertimbangan potensi kegagalan dari Dalil Harga Tunggal, mencakup ketidakkontinuan arus perdagangan, penetapkan harga pasar, resiko nilai tukar, dan pemisahan geografi pasar. Hubungan harga secara geografis dapat dianalisa dengan menggunakan model keseimbangan spasial (Spatial Equilibrium Model). Model ini

36

memungkinkan untuk mengestimasi net harga yang berlaku di tiap daerah dan kuantitas pertukaran komoditi ditiap daerah yang akan menjual atau membeli dari daerah lain. Model keseimbangan spasial sangat berguna dalam menganalisis hubungan harga antar daerah dan bentuk perdagangan dimana terdapat sejumlah daerah yang mengkonsumsi sekaligus berproduksi. Jika semua daerah menerima satu produsen surplus dan mengirimkannya secara tunggal ke daerah defisit, maka struktur harga dari produsen ini secara sederhana dapat ditentukan dengan mengurangi biaya transfer dari harga pasar pusat. Akan tetapi, jika masing-masing daerah memproduksi sekaligus mengkonsumsi komoditi yang diperdagangkan, maka hal yang tidak selalu dapat ditentukan yakni daerah mana yang akan menyediakan kelebihan penawaran untuk dijual kepada daerah defisit dan yang akan meminta impor. Analisa integrasi pasar spasial membagi pasar dalam dua kategori yakni: pasar yang berpotensi defisit atau kekurangan dan pasar yang berpotensi surplus atau berlebih. Seperti halnya Indonesia memiliki potensi surplus dalam hal memproduksi karet alam sedangkan pasar di negara lain berpotensi defisit atau dengan kata lain tidak memproduksi karet alam. Prinsip yang digunakan untuk mengembangkan model perdagangan antar daerah dapat digambarkan dengan bantuan diagram yang menunjukkan fungsi supply dan demand dari masingmasing pasar, untuk lebih jelasnya perhatikan Gambar 5. Gambar 5 menunjukkan apabila tidak terjadi perdagangan maka harga yang terjadi adalah Px dipasar X dan PY1 dipasar Y dimana Px < PY1. Surplus dipasar X (ESX) akan mendorong pelaku pasar dipasar tersebut menjual kelebihan

37

persediaanya kepasar lain, sedangkan pelaku pasar di pasar Y akan mendatangkan komoditi dari pasar lain untuk memenuhi kelebihan permintaan (EDY1) dipasar Y.
P P
SY P ESx SX E EDY1 Px PY2 PY1 B

Pe

x
0 DX

EDY2

DY2 DY1

Pasar X (Potensial Surplus)

Pasar Y (Potensial Defisit)

Gambar 5 Kurva Supply dan Demand Pasar Potensial Surplus dan Pasar Potensial Defisit
Sumber: Tomek dan Robinson, 1990

Kurva excess supply dan excess demand dapat berubah dengan perubahan faktor kekuatan supply dan demand pada masing-masing pasar. Apabila terjadi peningkatan permintaan akibat peningkatan populasi dipasar Y, excess demand akan bertambah dari EDY1 ke EDY2 sehingga pasar Y membutuhkan tambahan supply dari pasar X. Hubungan antara kurva excess supply dan excess demand dalam keseimbangan pasar spasial ditunjukkan oleh Gambar 6. Jika tidak ada biaya perdagangan yang maka kurva excess supply dan excess demand akan berpotongan pada titik o, dan sejumlah QE akan diperdagangkan dari pasar X ke pasar Y. Volume perdagangan akan semakin rendah dengan adanya biaya perdagangan t. Biaya perdagangan ini dapat disebabkan oleh hambatan perdagangan yang terjadi maupun biaya transportasi yang digunakan. Efek biaya perdagangan terhadap jumlah dan harga

38

keseimbangan dapat diilustrasikan dengan mengembangkan garis volume perdagangan (volume of trade line), yang digambarkan oleh garis ab. Perdagangan tidak akan terjadi jika biaya perdagangan sebesar PY1-PX dan mencapai maksimum jika tidak ada biaya transfer. Jika terdapat biaya transfer sebesar t, maka keseimbangan terjadi pada jumlah yang diperdagangkan sebesar QE1 dengan harga keseimbangan PX1 dipasar X dan PY1 di pasar Y.

P
PY2 PY1 PY2 PY1 PX2 PX1 PX

ES pasar X
o o

ED2 pasar Y ED1 pasar Y

PY2-PX a PY1-PX a

t
b b

QE1 QE QE2 QE2

QE

Gambar 6 Kurva Excess Supply (Pasar X) dan Excess Demand (Pasar Y) dalam Hubungan Perdagangan
Sumber: Tomek dan Robinson, 1990

Jika terjadi pergeseran permintaan di Pasar Y, akibat peningkatan jumlah penduduk maupun faktor-faktor lain yang mempengaruhinya maka harga di pasar Y akan terdorong naik (Y2). Pergeseran ini menyebabkan kelebihan permintaan meningkat dan menggeser kurva kelebihan permintaan ke kanan (EDY1 ke EDY2). Perubahan ini menyebabkan volume of trade line bergeser ke kanan (ab ke ab). Perdagangan tidak akan terjadi jika biaya tranfer sama dengan atau lebih besar

39

daripada PY2-PX. Jika biaya transfer tetap t maka keseimbangan akan terjadi pada jumlah perdagangan PX2 di pasar X dan PY2 di pasar Y. Penjelasan diatas

mengikhtisarkan bahwa perubahan harga disuatu pasar akibat perubahan kekuatan pasar dapat menyebabkan perubahan harga pasar lain yang melakukan perdagangan dengan pasar tersebut. Perdagangan bebas akan dapat memaksimalkan output dunia dan keuntungan bagi setiap negara yang terlibat didalamnya. Namun dalam kenyataannya hampir setiap negara masih menerapkan berbagai bentuk hambatan terhadap berlangsungnya perdagangan internasional secara bebas sehingga dapat menyebabkan perbedaan yang signifikan terhadap harga di tiap negara tersebut.

3.1.5 Integrasi Pasar Vertikal Salah satu bentuk dari integrasi pasar yakni integrasi pasar vertikal. Integrasi pasar vertikal terjadi ketika rantai pemasaran atau produksi dan pemasaran secara berturut-turut saling berhubungan. Kajian mengenai integrasi pasar vertikal penting diketahui untuk melihat tingkat keeratan hubungan antara konsumen, lembaga pemasaran, dan produsen. Jika konsumen, lembaga pemasaran, dan produsen saling berhubungan dan berinteraksi dalam penentuan harga yang terjadi dimasing-masing pasar maka dapat dikatakan bahwa pasar tersebut berlangsung secara efisien. Terjadinya perubahan permintaan akan menyebabkan perubahan harga di simpul tersebut, selanjutnya akan diteruskan kepada produsen melalui perubahan permintaan dari pedagang dan seterusnya perubahan tersebut akan dilanjutkan lagi ke pasar produsen, demikian sebaliknya. Salah satu alasan bagi pelaku pasar ritel mengintegrasikan proses penanaman sampai penjualan produk ke tingkat

40

produsen adalah untuk memastikan laju dari produk dengan spesifikasi tertentu dengan batas jangka pengiriman yang konstan. Selanjutnya, integrasi dapat mengurangi biaya pemasaran khususnya penjualan dari suatu tingkat ke tingkat lainnya. Salah satu aspek yang menarik dari integrasi pasar vertikal berdasarkan sudut pandang ekonomi adalah perubahan alami dari sistem harga. Integrasi pasar vertikal telah mengubah kedudukan formasi harga dan telah mengurangi jumlah titik/simpul dari rantai pemasaran dimana harga tersebut dibentuk. Koordinasi harga secara parsial telah digantikan dengan koordinasi administrasi (Tomek dan Robinson, 1972).

3.1.6 Ukuran Keragaman Pasar akan memeragakan fungsinya secara efisien jika memanfaatkan semua informasi yang tersedia. Dengan kata lain, jika pasar menggunakan harga yang lalu (past prices) secara tepat dalam penentuan harga pada saat ini (current price determination), maka sistem pemasaran yang berlaku dapat dikategorikan efisien (Leuthold & Hartmann, 1979 dalam Adiyoga. et. al, 2006). Dalam sistem tersebut, informasi harga dan kemungkinan substitusi produk antar pasar selalu berpengaruh terhadap perilaku penjual dan pembeli. Transmisi dan pemanfaatan informasi diantara berbagai pasar dapat mengakibatkan harga dari komoditas tertentu bergerak secara bersamaan di berbagai pasar tersebut. Kondisi ini menunjukkan keberadaan integrasi pasar yang merupakan salah satu indikator penting efisiensi sistem pemasaran (Heytens, 1986 dalam Adiyoga. et. al, 2006) Keragaman suatu populasi diartikan sebagai simpangan sebuah

pengamatan/data dari nilai tengahnya yang diperoleh dengan mengurangkan

41

pengamatan tersebut dengan nilai tengah (median). Data yang lebih besar dari nilai tengahnya akan menghasilkan simpangan yang positif, sedangkan yang lebih kecil dari nilai tengahnya akan menghasilkan simpangan yang negatif. Koefisien ragam (variasi) menunjukkan bahwa seberapa besar simpangan data tersebut dari nilai tengahnya, sehingga pada seri data harga karet alam menunjukkan seberapa besar fluktuasi harga yang terjadi seiring dengan waktu. Semakin besar ukuran ragam yang diperoleh maka dapat diindikasikan bahwa harga berfluktuatif disepanjang waktu. Keragaman dapat dituliskan kedalam persamaan:

2 =

(x
t =1

x)2 ..................................................................................... (1)

n 1

dimana: 2 xi x n

= = = =

koefisien ragam nilai data ke- i rataan nilai x jumlah sampel

3.1.7 Analisis Korelasi Dalam analisis data berpasangan (X,Y) sering terjadi ketimpangan antara analisis regresi dan korelasi. Regresi bertujuan melihat perilaku hubungan antara dua peubah Y dan X dalam bentuk persamaan garis tertentu (linier), sedangkan dalam analisis korelasi tidak diperinci peubah mana yang bebas dan tidak bebas. Aunuddin (2005). Gudjarati (2003), menyatakan bahwa regresi dan korelasi memiliki beberapa perbedaan mendasar yang cukup penting untuk dibicarakan. Dalam analisis regresi terdapat perlakuan asimetrik dari variabel tidak bebas maupun variabel penjelas. Variabel tidak bebas diasumsikan secara statistik, random atau

42

stochastic4 yang memiliki distribusi probabilitas, dengan kata lain variabel penjelas diasumsikan memiliki nilai tetap yang dibuat secara eksplisit pada definisi regresi. Dalam analisa korelasi, dua variabel diperlakukan simetrik5 tanpa perbedaan antara variabel tidak bebas dan variabel bebas Koefisien korelasi adalah koefisien yang menggambarkan tingkat keeratan hubungan linier antara dua peubah. Besaran dari hubungan korelasi tidak mempresentasikan hubungan sebab-akibat antara dua peubah atau lebih, tetapi semata-mata menggambarkan keterkaitan linier antara peubah. Koefisien korelasi dinotasikan dengan r dan nilainya berkisar antara -1 dan 1 (-1 r 1), nilai r yang mendekati 1 atau -1 menunjukkan semakin erat hubungan linier antara kedua peubah tersebut. Sedangkan nilai r yang mendekati nol menggambarkan hubungan kedua peubah tersebut tidak linier. Korelasi terbagi dua jenis yaitu korelasi Pearson dan Spearmen. Perbedaan antara kedua jenis korelasi ini yakni korelasi Pearson menggunakan dua variabel numerik (kuantitatif) sedangkan korelasi Spearman menggunakan dua variabel ordinal. Koefisien korelasi Pearson antara dua peubah dapat dituliskan kedalam persamaan:

r=

S XY
2 SX 2 SY

.................................................................................. (2)

dimana: r = koefisien korelasi antara peubah X dan Y SXY = kovarian antara X dan Y S2X = ragam Xi S2Y = ragam Yi

4 Istilah Stochastic berasal dari bahasa Yunani stokos yang berarti sebuah target atau a bulls eye yakni kemungkinan posisi dari anak panah yang terjadi ketika melemparkannya pada papan target. Istilah ini sering disebut sebagai random yang searti dengan kemungkinan (probability) 5 Posisi variabel pada persamaan sama atau setara (independent atau dependent)

43

3.1.8 Metode Analisis Integrasi Pasar Spasial Untuk meneliti integrasi pasar, beberapa metode telah banyak

dikembangkan sejalan dengan perkembangan teknologi pengolahan data dan tersedianya data deret waktu. Metode-metode ini antara lain: (1) Korelasi sepasang harga, (2) Penguraian keragaman variance docomposition, (3) Hubungan antarpasar radial (radial inter-market), (4) Analisis kointegrasi, (5) Model batas paritas (parity bound model) dan (6) Kointegrasi ambang (threshold cointegration). Pemikiran-pemikiran ini, kecuali pendekatan korelasi, menekankan tetang perlunya pengunaan pendekatan ekonometrika yang tepat untuk mengelola data deret waktu yang nonstasioner dan berkointegrasi. Integrasi pasar dalam jangka panjang mempunyai pengertian bahwa antara dua pasar terdapat hubungan yang erat dan stabil dalam jangka panjang melalui harga-harga di kedua tempat, meskipun hubungan ini dapat terganggu oleh pengaruh jangka pendek. Dengan kata lain, kalau hubungan kointegrasi pasar ada, maka perkembangan harga disuatu pasar dapat diperkirakan dari perkembangan harga di pasar yang lain yang berkointegrasi. Hal ini tentunya bertolak dengan hipotesis pasar efisien (Hutabarat, 2006) Ravallion (1986) mengembangkan model integrasi pasar untuk pasar urban (sentral) yang berhubungan dengan pasar-pasar pedesaan (lokal), dimana harga pasar sentral mempengaruhi harga pasar lokal. Akan tetapi dalam pengembangan konsep kerangka kerja dilakukan melalui semua pasangan harga (bivariate price) pada area spasial. Jika pola statistik harga diantara n pasar dimana pasar 1 adalah pasar sentral, maka model integrasi pasar tersebut adalah:

44

p1 = f1 (p2, p3,.....,pn,x1). ............................................................................ (3) p2 = f1 (pi,xi), i = 2,...,n) ............................................................................. (4) dimana, p1 adalah harga dipasar sentral, pi harga di pasar lokal, (x i = 1,....,n) adalah vektor pengaruh lainnya terhadap harga lokal. Fungsi fi (i = 1,...,n) dapat dianggap sebagai kondisi keseimbangan pasar, dengan mempertimbangkan pilihan spasial utama dan biaya penyesuaian (adjustment) yang dihadapi pedagang ketika memutuskan kemana barangnya akan dijual (Anwar, 2005)

3.1.8.1 Kointegrasi Aplikasi dari metode kointegrasi secara nyata dapat digunakan untuk menganalisis integrasi pasar, paritas daya beli (purchasing power parity / PPP), hukum satu harga dan hipotesis arbitrase yang serupa (Canjels, 2000). Untuk menjelaskan ini dipertimbangkan terlebih dahulu mengenai efek dari arbitrase sementara. Jika terdapat resiko dalam jumlah yang besar dari spekulator netral dengan biaya penyimpanan rendah, kondisi keuntungan nol berarti bahwa untuk
i ) waktu t dan harga pasar i (Pti) memenuhi E ( pti+1 pti , pti1 ,... = p t, dimana harga di

setiap pasar memperlihatkan suatu random walk procces yang merupakan kasus khas dari proses umum I(1)6. Apabila arbitrase spasial sempurna terjadi, maka kendala maupun batasan keuntungan nol bagi para spekulator diartikan Pti = Pt . Biaya transaksi, keterlambatan transaksi, pengukuran galat (error) dan penyebaran informasi yang lambat dapat menggangu persamaan dari harga-harga pada tiap titik waktu, bagaimanapun juga gangguan tersebut sementara diperlukan jika pasar terintegrasi yakni Pti - p Pt
6

= vt, dimana vt merupakan I(0). Jadi jika dua pasar i dan j

Notasi untuk data time series yang belum stasioner pada level tapi stasioner pada first difference

45

terintegrasi maka proses terjadinya harga berada pada kisaran I(1), namun perbedaan harga antara harga berada pada I(0), sehingga dapat dikatakan bahwa pti = pt j terkointegrasi dengan (1,-1) sebagai vektor kointegrasi. Jika pasar tidak terkointegrasi, maka harga masih tetap I(1) namun pti- pt j juga termasuk. Gujarati (2003), menyatakan bahwa regresi dari data time series yang nonstasioner terhadap time series lainnya dapat menghasilkan suatu spurious regression (regresi rancu)7 yang pertama kali ditemukan oleh Yule. Hal ini terjadi karena persamaan akan memiliki autokorelasi dan ragam yang tidak konstan disepanjang waktu. Persamaan regresi dari dua deret data time series dapat dirumuskan. P1t P2t = et et = P1t P2t
..............................................................................................................

(5) (6)

..............................................................................................................

dimana et merupakan deret sisaan yang juga stasioner, dan adalah parameter kointegrasi. Persamaan (5) dikatakan sebagai regresi kointegrasi sedangkan persamaan (6) digunakan untuk menguji sifat-sifat kointegrasi dari deret sisaan masingmasing variabel yang nonstasioner. Jika persamaan (6) menghasilkan sisaan yang stasioner maka dapat dikatakan bahwa persamaan tersebut terkointegrasi. Tahapan ini merupakan tahapan pertama pengujian Engel dan Granger (1987). Tahap selanjutnya dengan menggunakan hasil estimasi pertama, Engel dan Granger (1987) menyarankan penggunaan uji kointegrasi yang berbeda.Pengujian tersebut adalah (1) Cointegration Regression Durbin Watson (CDRW), (2) Dickey Fuller (DF), (3) Augmented DF (ADF), (4) Restricted Vector Autoregression
Spurious regression dapat terjadi jika dua deret data time series yang non-stasioner serta tidak memiliki korelasi sama sekali diregresikan. (baca Gujarati, 2003)
7

46

(RVAR), (5) Augmented RVAR (ARVAR), (6) Unrestricted VAR (UVAR), (7) Augmented UVAR (AUVAR). Apabila terdapat hubungan kointegrasi, maka dapat diartikan bahwa walaupun dalam jangka pendek peubah ini bergejolak satu sama lain, tetapi dalam jangka panjang mereka membentuk hubungan yang erat dalam suatu keseimbangan. Selanjutnya, menurut teori Granger hubungan kedua peubah dapat dimodifikasi menjadi model error correction model (ECM), diperkenalkan oleh Sargan yang dikutip oleh Gujarati (2003). Teorema ini disebut sebagai Granger representation theorem. Model error correction berfungsi menghubungkan perilaku jangka pendek dan jangka panjang kedua peubah dan dicatat sebagai berikut: P1t = ap2t b(P1t-1 P2t-1) + et
.........................................................................................

(7)

dimana et adalah sisaan dengan nilai tengah nol dan ragam yang konstan. Parameter a merupakan efek jangka pendek perubahan P1t terhadap P2t, sementara itu ukuran keseimbangan jangka panjang antara P1t dan P2t, serta b adalah ukuran koreksi penyesuaian P2t dalam P1t,dituliskan kedalam persamaan: P1t = P2t + vt .......................................................................................... (8) dimana (P1t - p2t) adalah sisaan dari hubungan jangka panjang yang divergen dan berhubungan dengan sisaan dari persamaan lag (8), tanda negatif b memperlihatkan penyesuaian yang dilakukan untuk mencapai keseimbangan jangka panjang. Hubungan jangka panjang dapat diduga dari persamaan (8) dan selanjutnya disubtitusikan pada persamaan (7) untuk mendapatkan penyesuaian jangka pendek.

47

Uji kointegrasi yang dilakukan oleh Engle dan Granger dua tahap awal dikritik karena pengujian tersebut mensyaratkan salah satu dari pasangan variabel harus eksogen meskipun uji ini merupakan metode yang mudah dilakukan. Beberapa kekurangan yang mendasar dari model Engel dan Granger adalah: a. Tidak memiliki prosedur sistematis untuk mengestimasi vektor kointegrasi berganda (multiple contegration) b. Prosedur estimasi Engel dan Granger terdiri dari dua tahap yang saling

berkaitan. Tahap pertama untuk menghasilkan residual et yang selanjutnya digunakan untuk estimasi regresi kedalam bentuk et = iet-1..., sehingga koefisien 1 diperoleh dengan cara mengestimasi regresi dengan menggunakan residual dari regresi lainnya. Hal ini akan mengakibatkan distribusi error yang dihasilkan ditransmisikan tahap pertama ke tahap kedua.

3.1.8.2 Sifat-sifat Seri Data Stasioner dan Uji Unit Root Stasionaritas merupakan syarat penting untuk memulai langkah estimasi model persamaan regresi. Secara umum dapat dikatakan bahwa persamaan regresi yang variabelnya tidak stasioner akan menghasilkan regresi lancung (spurious regression). Jika seri data tidak stasioner, maka rata-rata dan variasi sampelnya akan berubah bersama berjalannya waktu. Secara matematis sifat seri data yang telah stasioner dapat dituliskan sebagai berikut: Rata-rata Varian Covarian E(Yt) =

Var(Yt) = E (Yt )2 = 2 k = E [(Yt ) (Yt-k )]

48

Seri data yang nonstasioner terbagi atas dua model yakni: a. Random Walk Model (RWM) tanpa pergeseran (without drift) yang dimodelkan sebagai berikut: Yt = Yt-1 + ....................................................................................... (9)

dimana adalah error term yang stasioner dengan rata-rata nol dan varian sebesar 2 , yang secara umum dapat dituliskan: Yt = Y0 + t ................................................................................................................................... sehingga, E(Yt) = Y0 (10)

Var (Yt) = t2 Model RWM tanpa pergeseran diatas dapat pula dituliskan dalam bentuk perubahan: Yt = ........................................................................................... (11)

Kesimpulan yang dapat diperoleh dari persamaan-persamaan 9,10 dan 11 adalah apabila suatu seri suatu data yang tidak stasioner akan menjadi stasioner jika dituliskan dalam bentuk perubahan (different). b. Random Walk Model (RWM) dengan pergeseran (with drift) dapat diformulasikan secara matematis sebagai berikut: Yt = + Yt-1 + ................................................................................. (12)

dimana adalah error term yang stasioner, yang secara umum dapat dituliskan sebagai berikut: Yt = Y0 + + t ............................................................................ sehingga, E(Yt) = Y0 + t Var (Yt) = t2 (13)

49

Dari kedua persamaan 12 dan 13, dapat disimpulkan bahwa rata-rata dan varian dari seri yang terbentuk secara RWM dengan pergeseran akan berubah bersama berjalan waktu. Karena Yt terus berubah, maka seri RWM dengan pergeseran sering disebut juga sebagai stokastik trend. Akan lebih menarik jika model RWM dengan pergeseran diformulasikan dalam bentuk perubahan (different). Yt = + ....................................................................................... (14)

Karena konstan dan shock random yang stasioner, maka Yt juga stasioner sehingga dari persamaan (14) disimpulkan bahwa seri data yang terbentuk secara RWM dengan pergeseran akan menjadi stasioner jika dideferen-kan. Dalam Random Walk Model (RWM) diasumsikan bahwa koefisien autokorelasi sebesar satu (1). Sebagai contoh, dituliskan kembali persamaan model random walk tanpa pergeseran dengan sedikit modifikasi: Yt = 1Yt-1 + .................................................................................... (15)

Sesuai dengan asumsi yang dijelaskan pada alinea sebelumnya bahwa dalam RWM tanpa pergeseran nilai 1 = 1, dengan demikian dapat dikatakan bahwa RWM tanpa pergeseran mengandung suatu akar unit (unit root). Dengan kata lain, nilai koefisien 1 yakni sebesar satu (unit). Hal ini yang mendasari dilakukan pengujian unit root pada seri data yang nonstasioner. Prasyarat uji kointegrasi adalah melakukan verifikasi bahwa suatu serial harga bersifat non-stationary dan menetapkan urutan (order) integrasi peubah. Umumnya data time series ekonomi bersifat nonstasioner, sehingga akan menghasilkan sisaan yang nonstasioner juga. Maka untuk untuk menghasilkan deret sisaan yang sisaan yang stasioner diperlukan satu kali transformasi

50

(diferensiasi). Alat uji yang paling sering digunakan untuk menentukan sifat nonstationary dari suatu serial harga adalah uji unit root Augmented Dickey-Fuller (ADF) ataupun Philip-Perron (PP). Pada pengujian ini, hipotesis nul adalah data bersifat non-stationary (mengandung suatu unit root) melawan hipotesis alternatifnya yaitu data yang bersifat stationary. Secara matematis, ADF dapat diekspresikan sebagai pengujian H0 : 0= 0 melawan H1 : 0 0, dari model umum berikut ini: Yt = 0 Yt-i + I Yt-i + c + D t + t dengan t D (0, 2) ............... (16) dimana Yt adalah peubah bebas; t adalah time trend; 0, I, dan adalah koefisien regresi; adalah simpangan dan D merupakan matriks variabel nonstokastik seperti dami musiman (seasonal dummy) terhadap dan t Diferensiasi suatu peubah bersifat non-stationary biasanya dapat menghasilkan peubah yang bersifat stationary. Namun, suatu data serial waktu terkadang harus didiferensiasi beberapa kali agar menjadi stationary, walaupun diindikasikan pula bahwa prosedur tersebut dapat mengakibatkan terjadinya kehilangan informasi jangka pendek. Jika suatu data serial waktu didiferensiasi sebanyak d kali sampai menjadi stationary (mengandung d unit roots), maka data ini disebut sebagai terintegrasi dengan order d atau dikenal sebagai I(d). Peubahpeubah yang bersifat stationary dalam tingkatannya, yaitu I(0) harus dihilangkan dari analisis kointegrasi. Pada kebanyakan kasus, bukanlah suatu keharusan bahwa semua peubah memiliki order integrasi yang sama (Harris,1995 dalam Adiyoga.et al, 2006).

51

3.1.8.3 Vector Autoregression (VAR) dan Uji Kointegrasi Berbasis VAR Vector Autoregression (VAR) pertama kali diperkenalkan oleh Sims (1980) atas kritikannya terhadap model simultan maupun struktural. Variabel yang digunakan pada analisis VAR merupakan suatu variabel endogen yang artinya, bahwa variabel yang digunakan dipengaruhi oleh variabel-variabel yang ada dalam sistem persamaan (dependent). Istilah lain yang penting untuk dibicarakan adalah variabel eksogen, dimana variabel eksogen merupakan variabel dalam sistem persamaan yang dipengaruhi oleh variabel endogen dan tidak dipengaruhi sama sekali oleh sistem persamaan (independent). Analisis dalam VAR dapat dibedakan atas dua macam yakni: (1) VAR bivarian dan (2) VAR multivarian. VAR bivarian terjadi apabila hanya terdapat dua variabel sedangkan VAR multivarian terjadi apabila variabelnya lebih dari dua. Apabila variabel yang digunakan terdiri dari dua variabel, maka hubungan dalam sistem bivariat sederhana disebut struktural-VAR (SVAR) atau sistem primitif yang dituliskan sebagai berikut: yt = b10 - b12zt + 11yt-1 + 12zt-1 + yt .............................................................. zt = b20 - b21yt + 11yt-1 + 12zt-1 + zt .............................................................. atau dalam bentuk matriks: (17a) (17b)

1 b12 y t b10 11 12 yt 1 yt + ........................ (18a) b = + 21 1 z t b20 21 22 z t 1 zt


dengan asumsi bahwa: (1) yt dan zt stasioner, (2) yt dan zt adalah white noise disturbance8 dengan standar deviasi y dan z , (3) yt dan zt tidak berkorelasi. Faktor yt dan zt adalah murni merupakan inovasi (shock) pada yt dan zt. Persamaan (17a) dan (17b) dapat dituliskan kedalam bentuk aljabar matriks yaitu:
8

yakni kondisi dimana mean = 0 dan varians konstan sepanjang waktu

52

Bxt = 0 + 1xt-1 + t .................................................................................................... (18b)


dimana:

1 B= b21

b12 1

y xt = t zt
t = yt zt

0 =

b10 b20

12 1 = 11 21 22

Dengan menggunakan faktor pengali B-1 maka bentuk standar VAR dapat diperoleh sebagai berikut:

xt = A0 + A1xt-1 + t................................................................................................... (19)


dimana: A0 = B-1 0; A1 = B-1 1; dan et= B-1 t Untuk mempermudah penotasian, a10 didefenisikan sebagai elemen i dari vektor A0, aij sebagai elemen pada baris i dan kolom j dari matriks A1, dan eit sebagai elemen vektor et, maka persamaan (19) dapat dirubah menjadi bentuk VAR standar yaitu: yt = a10 + a11yt-1 + a12zt-1 + e1t ................................................................................. zt = a20 + a21yt-1 + a22zt-1 + e2t.................................................................................. (20a) (20b)

e1t dan e2t merupakan gabungan dari kedua shock yt dan zt yang dihitung sebagai berikut: e1t = (yt - b12 zt) / (1- b12 b21) ................................................................................... e2t = (zt b21 yt) / (1- b12 b21) .................................................................................. (21a) (21b)

Uji kointegrasi yang dilakukan oleh Engel dan Granger mensyaratkan salah satu dari variabel yang diuji harus eksogen. Uji kointegrasi yang dilakukan oleh Engel dan Granger biasanya dilakukan untuk sepasang (bivariate) data time series. Johansen dalam Enders (1995) mengembangkan prosedur kemungkinan

53

maksimum (maximum likehood) untuk uji kointegrasi hubungan kointegrasi variabel ganda. Pendekatan multivarian Johansen diawali dengan pendefinisian suatu vektor dari n potensial peubah endogen Zt. Zt diasumsikan sebagai suatu sistem VAR yang tidak terestriksi dan memiliki sampai k-lags:

Zt = 1 Zt-1 + + k Zt-k + Dt + + t .......................................... (22) dimana: Zt = Vektor (p x 1) yang menunjukkan pengamatan ke-t pada variabel p tingkat level i = p x p koefisien matriks (matrik parameter) = vektor (p x 1) intersep D = matriks variabel nonstokastik seperti dami musiman (seasonal dummy) terhadap dan t k = jumlah lag = (p x 1) vektor koefisien untuk variabel nonstokastik t = p x 1 vektor sebaran normal, independen dan identik dengan sebaran nilai tengah nol dan matriks ragam-peragam t t = Persamaan (22) dapat diformulasikan kembali ke dalam bentuk Vector Error Correction Model (VECM) dengan mengurangkan Zt-1 dari kedua sisi persamaan menjadi: Zt = 1 Zt-1 + .. + k-1 Zt-k+1 + Zt-k + Dt + t + t ................. (23) dimana : i = - (I - A1 -- Ai ), (i = 1, , k-1) = - (I - A1 - - Ak). Sistem persamaan yang dispesifikasi dalam persamaan (23) mengandung informasi baik penyesuaian jangka pendek dan jangka panjang terhadap perubahan Zt. Ranking , ditandai sebagai r, menentukan berapa banyak kombinasi linier Zt yang bersifat stasioner dan lambang lainnya sama seperti yang telah didefenisikannya sebelumnya. Simbol i menggambarkan dinamika jangka pendek (SR) dan adalah matriks koefisien jangka panjang (LR). Dalam kasus ini, dapat difaktorisasi, sehingga = , dimana merepresentasikan kecepatan penyesuaian terhadap

54

disekuilibrium pada (SR) dan adalah matriks dari koefisien jangka panjang dan mengandung vektor kointegrasi Jika uji kointegrasi pada hubungan keseimbangan LR dipenuhi, maka terjadi integrasi pasar jangka panjang. Akan tetapi integrasi pasar SR (Short Run) dapat juga diuji dengan menggunakan VECM. VECM memasukkan hubungan bedakala pada spesifikasi dinamik harga antar pasar dalam jangka panjang ke dalam bentuk error corection term (ECT). Model ECT dapat memperlihatkan bagaimana kecepatan perbedaan antar pasar mencapai keseimbangan. Johansen and Juselius (1990) yang dikutip dalam Adiyoga.et al (2006), menunjukkan bahwa setelah melakukan faktorisasi dan memecahkan masalah eigenvalue, maka dimungkinkan untuk menguji jumlah vektor kointegrasi yang signifikan dengan menggunakan dua uji yang berbeda. Pertama, uji penelusuran trace test, trace (r), yang merupakan suatu likelihood ratio test untuk mengetahui vektor kointegrasi r terbanyak, dengan menggunakan persamaan:

trace = T ln (1 - i )..................................................................... (24a)


dimana T adalah jumlah observasi dan trace adalah eigenvalues. Kedua, uji eigenvalue maksimal (maximum eigenvalue test, max), yang menguji relevansi kolom r+1 dalam dengan menggunakan persamaan:

max (r, r +1) = - T ln (1 - r +1 )...................................................... (24b)


Dengan mengetahui jumlah vektor kointegrasi, r, maka akan diketahui jumlah hubungan kointegrasi antara seri harga karet alam regional. Adanya kecenderungan bahwa trace test hampir selalu menerima adanya kointegrasi, maka pada kasus ini, kriteria penerimaan kointegrasi ditempuh berdasarkan hasil maximum eigenvalue test (Johansen and Juselius 1990).

55

Mengikuti rekomendasi Maddala and Kim (1998) dalam Adiyoga (2006), jumlah parameter yang diestimasi (derajat bebas) untuk pengujian maximum eigenvalue akan dikoreksi. Namun hal ini dapat dipertimbangkan kembali berdasarkan tujuan analisis yang digunakan tanpa mengikuti rekomendasi tersebut Untuk mengetahui jumlah vektor kointegrasi ada tiga kasus yang perlu dipertimbangkan yaitu: (1) Jika rank i= 0, maka tidak ada informasi jangka panjang dan VAR di dalam levelnya cocok representasi. (2) Jika rank i penuh, maka pt adalah stasioner dalam levelnya dan VAR dalam first different cocok representasi. (3) Jika rank i adalah 0 <r <p , maka pt stasioner sekalipun pt tidak stasioner dan bentuk error correction adalah cukup representasi. Menurut Brooks (2003), model VAR memiliki beberapa keunggulan dan kelemahan jika dibandingkan dengan model deret waktu tunggal (univariate) ataupun model struktur persamaan simultan. Keunggulannya diantara lain: a. Peneliti tidak memerlukan penentuan variabel manakah yang merupakan variabel endogenus ataupun exogenous karena semuanya merupakan variabel endogenous. b. VAR memperkenankan nilai dari variabel untuk bergantung lebih daripada lagnya sendiri atau kombinasi dari white noise terms, jadi VAR lebih fleksibel daripada model univariate AR, yang selanjutnya dapat ditunjukkan sebagai suatu kasus restriksi dari model VAR. Oleh karena itu, model VAR dapat menawarkan banyak struktur, mengimplikasikan bahwa VAR mampu untuk mendapatkan lebih banyak fitur dari data

56

c. Model VAR dilengkapi dengan tidak terdapatnya contemporaneous terms pada Right Hand Side (RHS) dari persamaan, sehingga memungkinkan secara sederhana untuk dapat menggunakan OLS terpisah pada tiap persamaan. d. Peramalan yang dihasilkan oleh dengan VAR seringkali lebih baik daripada model struktural tradisional. Sedangkan kelemahannya diantara lain: a. Model VAR merupakan suatu teoritis (seperti model ARMA), sehingga

penjelasan teoritis untuk mendukung spesifikasi dari model tentang hubungan antar variabel sangat sedikit. b. Penentuan panjang lag yang diperlukan membutuhkan beberapa medode.

3.1.9 Granger Causality Test Suatu peristiwa ekonomi dapat terjadi akibat dari suatu peristiwa yang telah lalu maupun akibat suatu penyebab dari peristiwa tertentu. Salah satu isu yang menarik untuk dikaji adalah mengetahui hubungan saling pengaruh antara suatu pasar dengan pasar lainnya, sehingga dapat diperoleh kesimpulan apakah suatu pasar mempengaruhi pasar yang lainnya serta bagaimana hubungan pengaruhnya. Uji kausalitas VAR/VEC merupakan generalisasi dari metode uji kausalitas Granger. Bentuk persamaannya dapat dituliskan sebagai berikut Yt =

j =1

j Yt-j +

j =1

j X t-j + et .............................................................

(25a)

Xt =

j =1

j Xt-j +

j =1

j Y t-j + et .............................................................

(25b)

57

Uji kausalitas dapat dilakukan dengan formula

Fh =

( RSS R RSSUR ) / m RSSUR /( n k )


Dimana RSS adalah Residual Sum of Squares. Subkrip R dan UR masing-

masing merujuk pada model restricted dan unrestricted. Restricted model adalah regresi antara variabel dependent dengan lagnya, sedangkan unrestricted model adalah regresi antar variabel dependent dengan variabel independent dan lagnya serta lagnya sendiri. Notasi m menunjukkan jumlah koefisien parameter dalam persamaan regresi terkendala (restricted), n adalah jumlah observasi, sedangkan k adalah jumlah koefisien parameter dalam persamaan regresi yang tak terkendala (unrestricted)

3.1.10 Impulse Response Function (IRF) Analisis Impulse Response Function (IRF) dan variance decomposition (VD) merupakan komponen dari inovasi akuntasi VAR. IRF dilakukan dengan melakukan penyerdehanaan bentuk SVAR kedalam bentuk vector moving average (VMA), yang dituliskan sebagai berikut: xt = + (i )et i ......................................................................
i =0

(26a)

atau dapat dituliskan kedalam persamaan:


yt y z = z + t i =0 11( i ) 12 ( i ) ( i ) ( i ) 22 21
i

e yt 1 e .................................... zt 1

(26b)

Impulse Response Function

Analisis Impulse Response Function (IRF) secara luas digunakan untuk menemukan hubungan dinamik antara variabel makroekonomi dalam model VAR. Impulse response mengukur profil waktu sebagai efek dari suatu shock atau

58

impulse pada nilai masa yang akan datang (yang diharapkan) dari suatu variabel. Shock (guncangan) pada suatu variabel tidak hanya berdampak langsung terhadap

variabel itu sendiri tetapi juga ditransmisikan terhadap semua variabel endogenous melalui struktur dinamik. Impulse Response Function (IRF) menemukan efek dari guncangan satu kali periode dari satu inovasi nilai masa kini dan yang akan datang pada variabel endogenous.

3.1.11 Variance Decomposition (VD)


Variance Decomposition menawarkan sedikit perbedaan metode untuk

menentukan sistem dinamik VAR. Variance Decomposition memberikan proporsi pergerakan variabel tidak bebas yang berlangsung terhadap guncangan variabel itu sendiri versus guncangan terhadap variabel lainnya. Variance Decomposition menentukan berapa banyak tahapan ramalan error variance dari variabel yang diberikan yang dijelaskan oleh inovasi pada tiap variabel penjelas. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa VD merupakan komponen dari SVAR maka VD juga diderivasi dari SVAR. Dengan menggunakan representasi model SVAR (asumsi bahwa model telah teridentifikasi), maka dapat dilakukan peramalan error variance pada periode tertentu. Misalkan, jika koefisien A0 dan A1 diketahui dan kondisi yang diobservasi adalah xt, maka variabilitas satu periode kedepan adalah: xt+1 = A0 + A1xt + et+1 sedangkan kondisi ekspetasi dari xt+1 adalah Etxt+1 peramalan dapat dihitung dengan rumus:
xt + n ( xt + n ) = (i )et + n 1 (i )et + n1 = (i )et + n1 ..................
i =0 i =n i =0 n 1

A0 + A1xt, sehingga kesalahan

(27)

Untuk seri individual, misalkan y pada bivariate VAR, persamaan diatas menjadi:

59

y t + n E ( yt + n ) = 11 (0 )e y (t + n ) + 11 (1)e y (t + n 1) + ....... + 11 (n 1)e y (t + n ) ....... + 12 (0)e z (t + n ) + 12 (1)e z (t + n1) + ....... + 12 (n 1)e z (t + n ) Sehingga variance dituliskan sebagai berikut:

y (n )2 = y 2 11 (0 )2 + 11 (1)2 + ..... + 11 (n 1)2

+ z 2 12 (0 )2 + 12 (1)2 + ..... + 12 (n 1)2

Selanjutnya dapat dilakukan peramalan error variance terhadap shocknya sendiri maupun shock lainnya, persamaannya pada kasus bivariate dapat dituliskan sebagai berikut:

y 2 11 (0 )2 + 11 (1)2 + ..... + 11 (n 1)2

z 2 12 (0 )2 + 12 (1)2 + ..... + 12 (n 1)2 y (n )2

y (n )

]
]

dan

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional


Secara fundamenal harga karet alam dipengaruhi oleh permintaan (konsumsi) dan penawaran (produksi) serta stock/cadangan, dan masing-masing faktor tersebut juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti yang terlihat pada Gambar 7. Ketersediaan produksi karet alam sangat bergantung dari luas area, komposisi tanaman, cuaca dan harga domestik. Harga internasional akan menjadi sangat penting bagi kelangsungan produksi karet alam Indonesia. Hal ini disebabkan karena produksi karet alam Indonesia yang dominan ditujukan untuk ekspor. Selain itu, stok dan konsumsi karet alam dunia dapat menjadi penentu harga karet alam dunia.

60

Areal Komposisi Tanaman Cuaca

Harga Minyak
Stok

Harga Relatif SR/NR

Ban (PV,CV, Oth) Pertumbuhan Ekonomi (GDP)

Produksi NR

HARGA INTL

Konsumsi NR

Harga Domestik NR

Non Ban

Gambar 7 Faktor-Faktor Fundamental Yang Mempengaruhi Harga Karet Alam


Sumber : Anwar (2005)

Untuk tujuan menghindari kerugian karena gejolak harga karet alam di dunia, pasar berjangka (future trading) karet menyediakan sarana dan mekanisme lindung nilai (hedging). Pasar berjangka karet alam yang saat ini menjadi panutan/pedoman dunia adalah Singapura (SICOM) dan Jepang (TOCOM), serta yang relatif baru di Thailand (AFET) dan China (SHFE). Sedangkan pasar fisik (physical/spot) karet alam, selain di Singapura dan Jepang juga terdapat di negara produsen seperti Malaysia dan Thailand serta di negara-negara konsumen seperti di Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang. Dari 35 mutu karet alam, 8 jenis diperdagangkan di dunia secara fisik, sedangkan pada pasar berjangka karet alam hanya tiga mutu (RSS 1, RSS 3, TSR20) (BPEN, 2003). Pasar karet alam Indonesia yang dominan ditujukan untuk ekspor terpisah secara geografis dapat menyebabkan hubungan spasial antara Indonesia dengan pasar dunia, dimana perubahan harga suatu pasar karet alam di Indonesia seharusnya dipengaruhi ataupun ditransmisikan ke pasar lainnya yang terhubung dengan pasar tersebut. Selanjutnya, harga karet alam di internasional cenderung berflutuasi, namun apakah fluktuasi harga ini diikuti dengan fluktuasi yang sama besarnya dengan yang terjadi di domestik. Hal ini yang menjadi dasar untuk

61

dilakukan penelitian yang berupaya untuk mengungkapkan apakah sebenarnya pasar karet alam Indonesia terintegrasi dengan pasar dunia, bagaimana hubungan korelasi dan keragaman harga antara masing-masing negara serta bagaimana hubungan kausalitas antar masing-masing pasar, dan pengaruh nilai tukar Rupiah dan harga karet sintetik dunia terhadap harga ekspor karet alam Indonesia. Pasar dunia yang dimaksud merujuk kepada negara-negara penghasil karet alam utama didunia dan negara-negara konsumen terbesar. Apabila data yang diperoleh belum lengkap sesuai dengan periode yang diinginkan (1990-2007), maka akan dilakukan data treatment yakni melakukan interpolasi maupun ekstrapolasi dengan analisis regresi. Penelusuran keragaman harga dan hubungan korelasi antar seri harga dilakukan dengan menggunakan analisis koefisien variasi dan korelasi antar seri harga karet alam. Pendekatan ekonometrika menjadi penting dalam menganalisis data time series, sehingga untuk melakukan pengujian kointegrasi menggunakan pendekatan VAR. Pendekatan VAR untuk uji kointegrasi telah banyak digunakan dalam menganalisis integrasi pasar spasial, seperti yang telah dilakukan Johansen dalam Enders (1995), Canjels (2000), Hai (2003), Miljkovic (2006) dan Adiyoga. et.al (2006), dengan demikian penelitian ini menggunakan pendekatan VAR yang dapat diubah menjadi VECM untuk melakukan uji kointegrasi berdasarkan metodologi Johansen. Berdasarkan tujuan yang telah disampaikan, maka untuk mempermudah pemahaman dalam kegiatan teknis yang akan dilakukan, kegiatan teknis diilustrasikan pada Gambar 8. Berawal dari masalah fluktuasi harga di

Internasional serta adanya hubungan spasial antara pasar Indonesia dan

62

Internasional, Gambar 8 menunjukkan bahwa harga karet alam di Indonesia semestinya dipengaruhi oleh harga domestik dinegara-negara lain seperti: Thailand, Singapura, Malaysia, USA, India, Inggris dan Jepang. Pemilihan

negara-negara ini karena diasumsikan bahwa negara-negara tersebut memiliki pengaruh terhadap pergerakan harga yang terjadi di pasar internasional, khususnya di Indonesia. Asumsi tersebut didukung karena negara-negara tersebut merupakan pelaku pasar utama dalam perdagangan karet alam Data time series umumnya memiliki trend dengan waktu sehingga data tersebut dapat mengandung suatu unit root atau tidak stasioner. Untuk mencegah terjadinya spurious regression, maka untuk menguji hubungan linier pada variabel-variabel perlu dilakukan unit root test, yaitu dengan menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF). Analisa integrasi pasar karet alam di Indonesia dan internasional dalam jangka panjang akan menggunakan uji kointegrasi Johansen berbasis pada VAR, dan VECM digunakan untuk melihat hubungan jangka panjang dan jangka pendeknya. Uji kointegrasi berdasarkan VAR yang dilakukan Johansen akan dapat menunjukkan berapa banyak dari seri harga yang berkointegrasi. Selanjutnya, hal yang menarik untuk dikaji adalah melihat pengaruh sebab-akibat antara harga pasar terhadap harga pasar lainnya di masing-masing negara. Pengaruh tersebut dapat dianalisis dengan menggunakan uji kausalitas Granger berbasis pada VAR/VEC. Hasil dari analisis ini dapat memberikan hubungan sebab-akibat pada jangka pendek dan jangka panjang antar seri harga karet alam yang ada.

63

Analisis IRF digunakan untuk melihat pengaruh harga rata-rata karet sintetik dan pengaruh nilai tukar rupiah terhadap harga ekspor karet alam Indonesia sebesar satu standar deviasi. Dalam peramalan variance docomposition akan diperlukan pengurutan variabel sesuai dengan tingkat korelasi antara masingmasing variabel yang digunakan. Peramalan variance docomposition bertujuan untuk melihat seberapa besar goncangan dari variabel-variabel harga lainnya terhadap harga ekspor karet alam Indonesia.

64

Fluktuasi Harga Karet Alam di Indonesia dan Dunia Perbedaaan Lokasi Geografis antar Pasar Indonesia dan Dunia

Harga Karet Alam Indonesia

Harga Karet Alam di Negara: a) Thailand b) Singapura c) Malaysia d) USA e) India g) Jepang i) Inggris

Perkembangan Harga Karet Alam Indonesia dan Dunia

Keragaman, Korelasi Harga Karet Alam Dunia dengan Indonesia

Integrasi Pasar

Metode Analisis Time Series

Uji unit root (ADF) VAR

Uji Kointegrasi

Uji Kausalitas Multivariat VAR/VEC Hubungan Kausalitas Harga Karet Alam Antar Pasar

IRF dan VD

Metodologi Johansen

VECM
Hubungan Jangka Panjang dan Jangka Pendek Harga Karet Alam
Dampak Nilai Tukar Rupiah dan Harga Karet Sintetik Dunia Terhadap Harga Ekspor Karet Alam Indonesia

Kesimpulan dan Saran Gambar 8 Kerangka Pemikiran Operasional

65

IV METODE PENELITIAN

4.1 Waktu Penelitian


Penelitian berdasarkan data sekunder yang bersumber dari laporan, jurnal, website, dan dokumen yang dipublikasikan oleh lembaga dalam dan luar negeri. Kegiatan pengumpulan data dan penelitian dilakukan dari bulan Januari hingga Juni 2008.

4.2 Jenis dan Sumber Data


Data sekunder yang dikumpulkan merupakan data deret waktu (time series) bulanan dengan periode tahun 1990-2007. Seri harga karet alam yang digunakan adalah jenis karet RSS (RSS 1 dan RSS 3) dan TSR20. Data harga yang digunakan meliputi harga karet alam di Indonesia, Thailand (Bangkok), Singapura, Malaysia (Kuala Lumpur), USA (New York), India (Kottayam), Inggris (London) dan Jepang (Tokyo). Selain harga karet alam (RSS1/RSS3 dan TSR20), penelitian ini menggunakan data harga karet sintestik yang mengacu pada nilai ekspor SBR (Strena Butadiene Rubber) di New York. Alasan dipilihnya negara-negara tersebut adalah karena merupakan produsen karet alam utama di dunia, tujuan ekspor utama Indonesia dan dunia serta menyangkut ketersediaan data yang ada. Data harga karet alam diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jendral Perkebunan, Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI), International Rubber Study Group (IRSG), Statistics & Planning Department Rubber Board Kottayam (India), Gabungan Pengusaha Karet Indonesia

(Gapkindo), penelitian terdahulu dan sumber-sumber lainnya yang relevan dengan penelitian.

4.3 Metode Analisis


Analisis yang akan dilakukan menggunakan software EViews 4.1. Data yang digunakan adalah data yang sesuai dengan mata uang dimana transaksi perdagangan dilakukan. Apabila data yang diperoleh tidak lengkap sesuai dengan rentang waktu dari tahun 1990 2007 maka akan dilakukan data treatment yakni melakukan manipulasi data dengan tehnik ekstrapolasi dan interpolasi menggunakan regresi berganda. Data awal yang diperoleh untuk beberapa alat analisis (analisis keragaman, uji unit root, kointegrasi) akan dikoversi dengan nilai tukar Rupiah dengan tujuan sebagai perbandingan hasil yang diperoleh dengan menggunakan prosedur yang sama. Selanjutnya, sesuai dengan tujuan utama penelitian yang akan dicapai, maka analisis yang digunakan adalah sebagai berikut:

4.3.1 Analisis Keragaman Harga


Untuk mengetahui keragaman harga dari data deret waktu dianalisis dengan menggunakan analisis koefisien ragam. Apabila koefisien ragam semakin besar, maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan deret harga memiliki kecenderungan fluktuatif dengan nilai tengahnya (mean). Perhitungan koefisien harga akan dilakukan pada masing-masing negara yang telah disebutkan termasuk Indonesia. Data yang digunakan dalam analisis ragam meliputi data orisinal dan data yang telah terkonversi dengan Rupiah.

67

Perhitungan koefisien ragam menggunakan persamaan :

n 1 2 merupakan koefisien ragam dari harga pada masing-masing negara dan

=
2

(x
t =1

x)2

keterangan lainnya dapat dilihat pada persamaan (1) Bab III.

4.3.2 Analisis Korelasi


Korelasi antara harga karet alam internasional dengan Indonesia menggambarkan seberapa besar keeratan hubungan linier antara harga pada negara tertentu dengan harga di Indonesia. Hal ini juga dapat mengindikasikan bahwa koefisien korelasi dari tiap pasangan harga berhubungan erat dengan jarak dari negara-negara yang saling melakukan perdagangan. Korelasi yang digunakan kedalam penelitian adalah korelasi Pearson dikarenakan data variabel yang digunakan bersifat numerik. Koefisien korelasi akan dikategorikan kedalam dua tingkat keeratan yakni r < 0,5 berkategori kurang erat dan 1 r 0,5 dikategorikan sangat erat. Koefisien korelasi diperoleh dengan menggunakan persamaan:

r=

S XY
2 2 S X SY

keterangan dalam persamaan dapat dilihat pada Bab III.

4.3.3 Uji Unit Root


Uji unit root adalah pengujian terhadap data deret waktu untuk melihat apakah data tersebut stasioner atau tidak. Kestasioneran masing-masing variabel diperlukan untuk mencegah terjadinya spurious regression. Uji unit root dapat dilakukan dengan menggunakan uji Augmented Dickey Fuller. Paket program

68

EViews 4.1 menyediakan aplikasi untuk menguji unit root dari tiap variabel. Secara matematis persamaan dituliskan sebagai berikut:

Yt = 0 Yt-i + I Yt-i + c + t + t dengan t D (0, 2)


dimana Yt merupakan first difference dari Yt, dengan asumsi bahwa data time series sebelum melakukan first difference adalah nonstasioner, namun pengujian stasioneritas yang dilakukan akan tetap dilakukan pada data awal sebelum diferensiasi. Hipotesis yang digunakan sesuai dengan telah dituliskan pada Bab III adalah: H0 : 0 = 0 (data tidak stasioner atau mengandung unit root) H1 : 0 0 (data stasioner atau tidak mengandung unit root) Kriteria ujinya adalah: jika

hit < tabel

maka terima H0, yang berarti

bahwa data tersebut tidak stasioner dan perlu dilakukan diferensiasi dimulai dari ordo 1. Aplikasi program EViews 4. 1 mengkategorikan data tersebut stasioner atau tidak dengan membandingkan nilai mutlak MacKinnon critical dengan nilai ADF-statistiknya.

4.3.4 Penentuan Lag (ordo) Optimal Model VAR


Penentuan lag optimal dari variabel yang diregresikan dalam persamaan ditujukan agar menghindari kemungkinan autokorelasi residual di dalam series harga karet alam dapat dilakukan dengan menggunakan analisis Akaike Information Creiterion (AIC) yang terdapat pada aplikasi program EViews. 4.1. Penentuan lag optimal dipilih pada saat data stasioner pada suatu lag yang memiliki nilai AIC terkecil. Secara umum persamaan AIC dapat dituliskan kedalam persamaan:

69

AIC = 2l /T + 2k/T dimana l merupakan log likelihood, T dan k adalah jumlah observasi dan jumlah variabel yang beroperasi dalam persamaan.

4.3.5 Uji Kointegrasi


Uji kointegrasi adalah pengujian terhadap kombinasi linier antara variabelvariabel yang tidak stasioner untuk menganalisis hubungan jangka panjang. Model unrestricted VAR yang akan diuji menggunakan persamaan : Zt = 1 Zt-1 + + k Zt-k + Dt + + t dimana Zt adalah Vektor (p x 1) yang menunjukkan pengamatan ke-t pada variabel p, keterangan selanjutnya dapat dilihat pada Bab III. Untuk menentukan kointegrasi yang terjadi antara variabel-variabel bebas terdapat dua uji statistik yakni trace test (trace (r)) dan maximum eigenvalue test, (max) yang dtuliskan berturut-turut kedalam persamaan

) trace = T ln (1 - i )
) max (r, r +1) = - T ln (1 - r +1 )
dimana r merupakan jumlah vektor dari vektor kointegrasi pada hipotesis null dan

i adalah estimasi nilai ke i ordo eigenvalue dari matriks . Setiap eigenvalue


saling berasosiasi dengan perbedaan vektor kointegrasi, yang nantinya akan menjadi eigenfactor. Johansen dan Juselius (1990) dalam Brooks (2002) menyediakan critical value untuk kedua uji tersebut. Jika uji statistik lebih besar dari tabel Johansen critical value maka, tolak H0 yang berarti terdapat vektor kointegrasi r antara variabel bebas. Hipotesisnya dapat dituliskan sebagai berikut

70

H0 : r = 0

versus

H1 : r = 1 H1 : r = 2 H1 : r = 3

H0: r <= 1 versus H0: r <= 2 versus

Hipotesis tersebut dapat diartikan jika H0: r = 0 tidak ditolak, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat vektor berkointegrasi dan tahapan berikutnya tidak dilanjutkan, sebaliknya jika H0: r = 0 ditolak, maka dapat diartikan bahwa terdapat satu vektor berkointegrasi dan selanjutnya uji ke hipotesis akan diteruskan sampai hipotesis H0 tidak ditolak. Nilai-nilai trace test (trace (r)) dan maximum eigenvalue test, (max) serta critical value diperoleh dari hasil pengolahan dengan menggunakan software EViews 4.1

4.3.6 Estimasi VECM


VECM merupakan model yang diturunkan dari VAR yang menggunakan prinsip pengolahan error correction model. Informasi jumlah persaman kointegrasi dan asumsi yang digunakan tersebut merupakan suatu syarat utama dalam mengestimasi VECM sehingga perlu dilakukan uji kointegrasi terlebih dahulu. Tahapan ini akan meregresikan perubahan-perubahan variabel harga pada deviasi beda kala dari harga-harga pada jangka pendek. Deviasi dari keseimbangan, sebagai refleksi oleh koefisien, akan membawa perubahanperubahan pada keseimbangan antara variabel-variabel kointegrasi. Koefisienkoefisien error correction term (ECT) adalah ukuran kecepatan penyesuaian (speed adjusment) menuju keseimbangan jangka panjang antar pasar (Enders, 1995). Kecepatan penyesuaian ditunjukkan oleh nilai absolut yang

diintepretasikan sebagai ketidakseimbangan antara harga aktual dengan tingkat

71

keseimbangan. jangka panjang. Semakin besar nilai koefisien mengindikasikan bahwa semakin cepatnya penyesuaian menuju keseimbangan jangka panjang dan sebaliknya. Gangguan perubahan harga periode sebelumnya pada beberapa pasar dalam model dapat diintepretasikan sebagai penyesuaian jangka pendek, sementara pasar ada dalam keseimbangan jangka panjang dengan pasar-pasar lainnya. Persamaan yang digunakan dapat dilihat pada Bab III bagian 3.1.8.4 beserta dengan keterangan-keterangannya

4.3.7 Granger Causality Test


Analisis hubungan kausalitas yang akan digunakan berlaku sama pada tiap seri data karet alam (RSS dan TSR20). Analisis kausalitas yang digunakan menggunakan pendekatan VAR/VEC Granger causality test multivariate. Sebagai contoh, pengujian apakah variabel X memiliki hubungan kausalitas terhadap Y dan maka persamaannya dapat dituliskan: Yt =

j =1 k

j Yt-j +

j =1 k

j X t-j + et

Xt =

j =1

j Xt-j +

j =1

j Y t-j + et

Strategi yang digunakan dalam uji kausalitas VAR sebenarnya sederhana. Jika benar X mempengaruhi/penyebab Y, maka variabel X dan lagnya akan memberikan kontribusi tambahan penjelasan terhadap variasi Yt. Demikian pula jika benar variabel Y mempengaruhi X, maka variabel Y dan lagnya akan memberikan kontribusi tambahan penjelasan terhadap variasi X. Hipotesis yang digunakan adalah H0 : j = j = 0; (Yt does not Granger Cause Xt) H1 : j j 0 (Yt Granger Cause Xt)

72

Hipotesis nul memiliki arti jika salah satu koefisien j , j bernilai atau sama dengan nol (0) maka variabel X bukan merupakan penyebab variabel Y. Sedangkan, hipotesis H1 berarti jika koefisien j , j tidak sama dengan nol (0) maka X merupakan penyebab dari Y. Demikian sebaliknya jika sisi kiri pada persamaan diatas merupakan variabel X. Uji kausalitas dilakukan dengan membandingkan nilai F-hitung dengan Ftabel. Jika F hitung melebihi F tabel maka tolak Ho, demikian sebaliknya. Cara lainnya adalah dengan cara membandingkan nilai probability dengan taraf nyata yang digunakan. Hubungan kausalitas yang dapat diperoleh terbagi atas tiga macam yakni: (a) hubungan kausalitas searah; (b) hubungan kausalitas timbal balik, dan (c) tidak ada hubungan kausalitas.

4.3.8 Impulse Response Function (IRF).


Impulse Response Function digunakan untuk melihat respon variabel dependen jika mendapat guncangan atau inovasi variabel dependen sebesar satu standar deviasi. IRF dapat mengidentifikasi suatu guncangan pada variabel endogen sehingga dapat menentukan bagaimana suatu perubahan dalam variabel mempengaruhi variabel lainnya disepanjang waktu. Pada penelitian ini IRF digunakan untuk melihat pengaruh dari guncangan nilai tukar rupiah dan harga karet sintetik terhadap harga ekspor karet alam Indonesia.

4.3.9 Variance Decomposition (VD)


Analisis variance decomposition digunakan untuk mencirikan struktur dinamis antar variabel di dalam model VAR. Pola dari VD dapat mengindikasikan sifat dari kausalitas antara variabel dalam model VAR sehingga VD menjadi

73

sangat sensitif terhadap pengurutan variabel. Pengurutan variabel ini akan dilakukan berdasarkan faktorisasi Choleski dengan catatan variabel tidak memiliki nilai prediksi/korelasi terhadap variabel lainnya diletakkan pada posisi yang paling belakang, sedangkan variabel yang memiliki korelasi terhadap variabel lainnya diletakkan berdampingan satu sama lain. Pada penelitian ini VD digunakan untuk melihat pengaruh dari guncangan nilai tukar rupiah dan harga karet sintetik terhadap harga ekspor karet alam Indonesia.

74

V GAMBARAN UMUM EKONOMI KARET ALAM DUNIA

5.1 Gambaran Umum Produk Berbahan Dasar Karet


Konsumsi karet alam dunia pada tahun 2005 melebihi kapasitas produksinya, akibatnya terjadi defisit yang besar pada tahun 2006. Konsumsi karet alam pada tahun 2005 sebesar 8,74 juta ton dan karet sintesis sebesar 11,92 juta ton. Terdapat berbagai macam produk karet dimana karet alam merupakan kompenen utama atau berperan penting terhadap performance produk, seperti ban pada industri otomotif. Kenyataannya, ban merupakan produk utama dengan konsumsi karet alam yang paling tinggi (Tabel 4). Komposisi ban dan produk terkaitnya berkisar antara 75,3 persen, produk-produk industri dan barang-barang umum sebesar 12,4 persen dan sisanya barang-barang lateks lainnya sebesar 12,3 persen.

Tabel 4 Distribusi Global Penggunaan Karet Alam Berdasarkan Sektor


Persentase

Ban dan produk terkait Truk Berat dan Bus Truk Ringan Mobil Penumpang Lainnya (Pesawat, Pertanian dan Sepeda motor) Industri dan Barang-barang Umum Sabuk, bearing, mounts, seals O-rings, ring, printing-rollers, Ban Padat, Tabung, Ban sepeda Sepatu, Barang-barang Olah raga, Barang-barang Lateks (berbasis berat kering) Sarung tangan, balon Karet busa, benang, bahan perekat, alas karpet Mainan
Sumber : IRRI (2006)

75.3 33.3 18.5 15.9 7.9 12.4

12.3

100

Proyeksi permintaan karet untuk macam produk akhir telah disesuaikan berdasarkan studi terbaru dari LCM International Ltd, Oxford-Inggris yang berkerjasama dengan Rubber Eco-Project Study dari International Rubber Study Group (IRSG). Permintaan industri ban terhadap karet dapat dipilah kedalam beberapa tipe ban, yang disebut: Kendaraan Ringan (Mobil dan SUVs) Kendaran Medium / Berat Off the Road vehicles (OTR) Kendaraan roda dua (Motor dan skuter) Ban Vulkanisir Pipa dan produk terkait

Permintaan ban untuk mobil dan SUVs (Small Utility Vehicle) terutama ditentukan oleh pendapatan perkapita sehingga permintaan yang tinggi pada suatu negara didasari oleh perdapatan yang tinggi pula. Seiring dengan perkembangan waktu dan pertumbuhan pendapatan, permintaan kendaraan pribadi akan meningkat. Permintaan ban terdiri dari dua komponen, yakni perlengkapan original (Original Equipment / OE) dan ban pengganti (Replacement Tyres / REPL) Tipe ban Off-the Road (OTR) terdiri atas tyre fixed untuk perlengkapan pertanian dan kehutanan, penggalian, pertambangan dan konstruksi, dan fasilitas pelabuhan. Traktor merupakan aplikasi dan permintaan yang paling utama dalam menyediakan alat alat di sektor pertanian. Laju perkembangan produksi traktor tercepat terjadi di India, Rusia, Brazil dan China (untuk mini traktor). Proyeksi permintaan ban traktor ditunjukkan pada Tabel 5.

76

Tabel 5 Proyeksi Total Permintaan Ban Traktor 2005 - 2035 Ban Traktor Tahun (juta unit) 2005 2015 2025 Pasar Berkembang 8,848 8,860 8,737 Pasar Potensial 10,465 11,137 12,106 Total 19,313 19,997 20,843
Sumber : IRRI (2006)

2035 8,717 13,413 22,130

Permintaan terhadap kendaraan murah untuk transportasi manusia membuat Asia Tenggara menjadi pasar sepeda motor dengan pertumbuhan yang tertinggi, terutama di Malaysia dan Thailand. Permintaan motor di Thailand meningkat secara cepat, dimana penjualan meningkat dua kali lipat antara tahun 2001 dan 2002 menjadi 2 juta unit. Dengan pertumbuhan permintaaan di Asia, jumlah sepeda motor akan naik dari 200 juta unit pada tahun 2000 menjadi 600 juta unit (tiga kali lipat) pada 2035. Proyeksi gambaran umum produksi sepeda motor ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6 Proyeksi Produksi Sepeda Motor (dalam ribu) Regional 2005 2015 Amerika Utara 189 196 Amerika Selatan 993 1465 Eropa Barat 1796 1826 Eropa Timur/Tengah 53 45 Asia, termasuk: 31282 51454 Japan 2314 2255 China 18362 32683 India 5022 8115 ASEAN 4014 6164 Total 34314 54985
Sumber : IRRI (2006)

2025 202 2019 1862 39 72724 2198 47503 11479 8626 76846

2035 209 2573 1906 33 94530 2142 62343 15034 11335 99250

Karena itu, permintaan ban sepeda motor seharusnya mencapai hampir tiga kali lipat pada 30 tahun selanjutnya. Proyeksi permintaan ban sepeda motor ditunjukkan pada Tabel 7.

77

Tabel 7 Proyeksi Permintaan Ban Sepeda Motor (dalam ribu) Ban 2005 2015 2025 68628 109971 153693 OE 154963 235062 321182 REPL Total 223590 345033 474875
Sumber : IRRI (2006)

2035 198500 413148 611648

Saat ini barang-barang industri umum yang terbuat dari karet dalam setiap kegunaannya mengharuskan untuk memiliki ketahanan terhadap pengaruh panas, minyak dan bahan kimia. Meskipun beberapa dari produk karet alam dapat disubtitusikan dengan karet sintesis seperti polychloroprene ataupun jenis karet sintesis lainnya, namun keelastisitasan karet alam merupakan pilihan utama pada otomotif, terutama jika tujuan penggunaanya adalah.sebagai isolator getaran. Pada produksi alas kaki, karet alam merupakan komponen penting untuk tapak sandal maupun sepatu. Konsumsi sepatu global mencapai 17 juta pasang pertahun. Pertumbuhan konsumsi sepatu terjadi sekitar tiga persen pertahun. Sekitar 80 persen produksi sepatu dunia diproduksi di Asia dengan produksi di Cina sendiri sebesar tujuh juta pasang pertahunnya. Konsumsi sepatu diharapkan meningkat menjadi 32 juta pasang pada tahun 2035 seiring dengan perkembangan populasi dan pendapatan (Tabel 8).

Tabel 8 Proyeksi Konsumsi Sepatu 2005-2035 (ribu pasang) 2015 2025 Regional 2005 Eropa Barat 1893 2111 2318 Eropa Timur/Tengah 985 1292 1555 Timur Tengah 776 989 1223 Afrika 836 1086 1372 Asia Pasifik 9901 13014 16231 Amerika Utara 2490 2983 3511 Amerika Latin 862 991 1107 Total 17743 22467 27319
Sumber : IRRI (2006)

2035 2507 1768 1473 1690 19330 4030 1206 32005

78

5.2 Produsen dan Konsumen Karet Alam


Menurut Burger dan Smit (2001) dalam Anwar (2005) gambaran umum tentang permintaan karet alam sangat penting, baik bagi produsen maupun konsumen. Penawaran karet alam tidak hanya bergantung pada harga (riil) lokal dan luas areal tanaman, tetapi juga pada komposisi dan umur tanaman. Permintaan karet alam tergantung pada harga relatif karet alam dan sintetik, konsumsi karet untuk ban kendaraan penumpang dan komersial serta konsumsi karet untuk barang jadi karet lainnya. Total Produksi dan konsumsi karet alam dunia (Gambar 9) dalam dua dekade terakhir mengalami peningkatan yang rendah dan stagnan, meskipun terjadi krisis ekonomi Asia pada tahun 1997. Mulai tahun 1989 2006

peningkatan terhadap produksi dan konsumsi menunjukkan tren yang positif dengan rata-rata pertumbuhan produksi sebesar empat persen dan konsumsi sebesar 3,5 persen pertahun. Total stock (cadangan) karet alam dunia terbesar yang tercatat menurut IRSG pada tahun 1999 adalah sebesar 2,540 ribu ton dan total cadangan yang dimiliki pada tahun 2006 sebesar 1916 ribu ton, sedangkan defisit yang terbesar terjadi pada tahun 2000 sebesar -629 ribu ton. Perhitungan total stok dunia dilakukan dengan penambahan antara cadangan dari pihak produsen, konsumen dan cadangan yang masih berada di pabrik-pabrik pengolahan (stock afloats). Total stock (cadangan) karet alam terbesar yang terjadi pada tahun 1999 disebabkan peningkatan harga nominal karet alam diberbagai negara produsen utama (termasuk Indonesia) akibat krisis ekonomi yang melanda oleh negara-

79

negara tersebut. Akibatnya, produksi karet alam yang meningkat drastis tidak dapat diserap oleh pasar konsumen sehingga mengakibatkan harga terdepresiasi.

10000 8000 6000

( 000 Ton)

4000 2000 0 -2000


89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05

Tahun Produksi Konsumsi Total Stock Ekses/Defisit

Gambar 9 Produksi, Konsumsi, Total Stock dan Ekses/Defisit Karet Alam Dunia
Sumber: IRSG, 1989-2006

Produksi, konsumsi, cadangan dan defisit atau surplusnya karet alam di dunia tentunya berdasarkan produksi maupun dari konsumsi dari berbagai negara. Sampai saat ini, karet alam utama diproduksi di negara-negara ASEAN. Karet alam yang paling banyak diekspor digunakan untuk kebutuhan bahan baku industri, yang berwujud dalam Karet Spesifikasi Teknis (TSR), Ribbed Smoke Sheet (RSS) dan lateks berkonsentrasi atau tipe pelengkap lainnya sebagai komoditas pasar terbuka. Singapura yang tidak memproduksi karet alam memiliki peranan penting sebagai pusat perdagangan karet alam. Negara Laos sebagai bagian dari ASEAN baru memulai penanaman karet alam sedangkan Brunei Darussalam tidak memproduksi karet alam. Produksi karet alam di negara-negara ASEAN dan negara penghasil karet alam lainnya disajikan pada Tabel 9.

80

06

Tabel 9 Produksi Karet Alam di Negara Produsen Utama (000 Ton)


Negara Thailand Indonesia Malaysia India China Vietnam Libera Brazil Sri Lanka Philippines Cambodia Nigeria Lainnya TOTAL 1995 1805 1455 1089 500 424 155 13 44 106 60 38 116 235 6040 1996 1970 1527 1083 540 430 220 30 53 113 62 39 64 309 6440 1997 2031 1505 971 580 444 212 67 61 106 66 40 65 322 6470 1998 2076 1714 886 591 450 218 75 70 96 68 39 65 472 6820 1999 2155 1599 789 620 460 262 100 87 97 65 46 58 552 6870 2000 2346 1501 928 629 445 291 105 88 88 67 42 55 179 6764 2001 2320 1607 882 632 478 313 107 88 86 71 42 45 581 7252 2002 2615 1630 890 641 527 331 109 89 91 76 43 42 277 7361 2003 2876 1792 986 708 565 364 107 94 92 84 45 38 312 8063 2004 2984 2066 1169 743 573 419 115 101 95 80 43 45 315 8748 2005 2937 2271 1126 772 510 469 111 107 104 79 45 41 310 8703 2006 3137 2637 1284 853 533 554 101 108 109 74 64 44 178 9676

Sumber : IRSG, 1995-2006

Jumlah konsumsi karet alam dunia memiliki kecenderungan meningkat. Hal ini disebabkan peningkatan akan kebutuhan produk-produk yang berbahan dasar karet alam meningkat. Tahun 1990-2000 negara Amerika mendominasi konsumsi karet alam dunia yang disusul oleh Cina. Namun, pada tahun 2001-2006 posisi Amerika sebagai negara konsumen terbesar karet alam digeser oleh Cina dengan total konsumsi pada akhir tahun 2006 mencapai 2,4 juta ton sedangkan Amerika sebesar 1,003 juta ton. Negara konsumen utama karet alam dunia lainnya adalah Jepang, India, Malaysia dan Korea yang secara berturut menduduki peringkat ketiga sampai dengan keenam. Mulai tahun 2001 Cina mengalami kenaikan jumlah konsumsi karet alam yang sangat tinggi sementara negara lainnya mengalami penurunan maupun peningkatan yang tidak terlalu signifikan. Hal ini terjadi karena perkembangan industri berbahan dasar karet alam tumbuh pesat di Cina. Perkembangan jumlah karet alam yang dikonsumsi oleh negara-negara konsumen utama di dunia disajikan pada Gambar 10.

81

3000

2500

Konsumsi (000 ton)

2000

1500

1000

500

0 1990 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Tahun China U.S.A Jepang India Malaysia Rep. of Korea

Gambar 10 Perkembangan Konsumsi Karet Alam di Negara Konsumen Utama Dunia


Sumber: IRSG, 1990-2006

82

VI INTEGRASI SPASIAL PASAR KARET ALAM

6.1 Perkembangan Harga Karet RSS dan TSR20 6.1.1 Perkembangan Harga Karet RSS di Indonesia dan Internasional
Pada pasar karet global, Singapura dan Kuala Lumpur dikenal sebagai pasar dari kawasan produsen. Sementara itu, London, New York dan Tokyo sebagai pasar kawasan konsumen. Perkembangan harga karet RSS di Indonesia dan internasional (Gambar 11) memiliki kecenderungan yang konstan dari tahun 1990-1993. Namun, dimulai awal tahun 1994 sampai tahun 1996 harga karet RSS meningkat yang kemudian menurun kembali pada awal tahun 1997 sampai pada awal tahun 2002. Pola perkembangan harga karet RSS dimasing-masing pasar menunjukkan pola yang sama, kecuali pasar Kottayam (India).

12 10 8

Harga

6 4 2 0
Jan90 Jan91 Jan92 Jan93 Jan94 Jan95 Jan96 Jan97 Jan98 Jan99 Jan00 Jan01 Jan02 Jan03 Jan04 Jan05 Jan06 Jan07

Tahun
Singapura (Sin$/Kg) Kuala Lumpur (Ringgit/Kg) Tokyo (100 Yen/Kg) Bangkok (10 Bath/Kg) New York (US$/Kg) London (/Kg) Kottayam (India) (10 Ruppes/Kg) Indonesia (US$/ Kg)

Gambar 11 Perkembangan Harga Karet RSS (Kg), Tahun 1990 2007

Puncak kenaikan karet alam RSS di masing-masing pasar terjadi pada awal tahun 1995 dan pertengahan tahun 2006 sedangkan penurunan harga karet

di masing-masing pasar mulai pertengahan tahun 1995 sampai awal 2002. Penurunan harga ini khususnya pada awal tahun 1998 disebabkan oleh krisis moneter yang dialami oleh sebagian negara di kawasan Asia Tenggara. Perkembangan positif harga karet alam yang kondusif terjadi dimulai dari awal tahun 2002 sampai sekarang. Saat ini harga karet RSS dipasar Indonesia dan dunia berkisar antara US$ 2 /kg sampai dengan US$ 2,5 /kg dan diperkirakan akan memiliki kecenderungan yang meningkat dan stabil. Secara global, harga karet RSS di pasar kawasan konsumen seperti New York, London dan Jepang relatif tinggi. Hal ini terkait dengan biaya transfer seperti margin keuntungan, biaya pengiriman, tarif impor, asuransi dan biaya uploading barang yang ditanggung oleh negara tersebut sebagai importer.

Perkembangan harga karet RSS di Indonesia sudah semestinya dipengaruhi oleh perkembangan harga karet RSS dunia dan nilai tukar Indonesia dengan negara lainnya yang melakukan perdagangan. Namun, bagaimana jika perkembangan harga karet RSS di Indonesia dan dunia dikonversi kedalam nilai tukar Rupiah terhadap masing-masing pasar? Perhatikan Gambar 12 (Lampiran 2), pola perkembangan harga karet RSS dimasing-masing negara ternyata tidak sama seperti pola perkembangan harga karet RSS pada Gambar 11. Pola perkembangan harga karet RSS di Singapura, Malaysia, Jepang, Bangkok, New York, London memiliki pola harga yang sama dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2007 sedangkan harga karet RSS di

Kottayam (India) pada tahun 1990 sampai tahun 2005 memiliki pola yang tak menentu (fluktuatif), namun pada tahun 2006-2007 mengikuti pola perkembangan harga dari negara lainnya.

84

Rp30,000

Rp25,000

Rp20,000

(Rp. 000)

Rp15,000

Rp10,000

Rp5,000

Rp0
Jan90 Jan91 Jan92 Jan93 Jan94 Jan95 Jan96 Jan97 Jan98 Jan99 Jan00 Jan01 Jan02 Jan03 Jan04 Jan05 Jan06 Jan07

Tahun Singapore Japan USA Kottayam (India) Malaysia Thailand London Indonesia

Gambar 12 Perkembangan Harga Karet RSS (Kg), Tahun 1990 2007 (Konversi Rupiah) Memperhatikan Gambar 11 dan Gambar 12, pada tahun 1995-2002, Gambar 12 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan harga karet RSS dimasingmasing negara, sebaliknya Gambar 11 pada tahun 1995-2002 menunjukkan penurunan harga karet RSS hampir di keseluruhan pasar terkecuali untuk pasar India. Peningkatan harga karet RSS di Indonesia dan pasar lainnya (Gambar 12) berdasarkan nilai tukar Rupiah yang tidak diikuti oleh pola perkembangan harga karet RSS (Gambar 11) dimasing-masing negara lainnya dapat berarti bahwa ketika terjadi kenaikan harga karet RSS di Indonesia (dalam Rupiah) belum tentu dipengaruhi oleh kenaikan harga karet RSS di pasar global, namun dapat terjadi sebagai akibat terdepresiasinya nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing lainnya (khususnya Dollar Amerika) Meskipun terdepresiasinya nilai tukar Rupiah pada tahun 1998 yang merugikan perekonomian Indonesia secara keseluruhan, namun hal ini dapat mendorong terjadinya kenaikan harga nominal karet RSS di Indonesia. Akan tetapi kenaikan harga nominal yang diterima oleh eksportir maupun petani jika

85

dibandingkan dengan harga riil dari karet RSS dan tingkat inflasi yang terjadi tidak sebanding.

6.1.2 Perkembangan Harga Karet TSR20 di Indonesia dan Dunia


Karet alam jenis TSR20 yang diproduksi masing-masing negara produsen memiliki penamaan dan standar yang berbeda (Tabel 10). Meskipun penamaannya berbeda namun untuk kesamaan jenis di tingkat dipasar global menggunakan nama TSR20.

Tabel 10 Perbandingan Parameter TSR20 Indonesia Parameter Unit a


SIR20 Dirt / Kotoran (max) Kadar Abu (max) Nitrogen (max) Volatile Matter (max) Po (min) PRI index (min) Mooney Viscosity (ML, 1+4, 100C) Ket:
a

Malaysia
SMR20
b

Thailand
STR20
c

India
ISNR20d 0.20 1.5 0.6 0.8 30 40 -

% wt % wt % wt % wt

0.2 1 0.6 0.8 30 50 -

0.16 1 0.6 0.8 30 40 -

0.16 0.8 0.6 0.8 30 40

Standard Indonesia Rubber Standard Malaysia Rubber c Standard Thailand Rubber d India Standard Natural Rubber
b

Sumber: www.suzirubber.com (akses 28 Maret 2008)

Pola perkembangan harga karet TSR20 (Gambar 13) di beberapa pasar menyerupai pola perkembangan harga karet RSS (Gambar 11), namun yang membedakannya adalah tingkat harga TSR20 lebih rendah dibandingkan dengan harga karet RSS. Penyebab dari perbedaan harga TSR20 dan RSS terkait dengan biaya pemrosesan RSS yang lebih mahal dibandingkan dengan TSR20, karena karet RSS berbentuk lembaran-lembaran (sheet) sedangkan TSR20 berbentuk bandela (bale). Pola perkembangan harga yang sama pada RSS dan TSR20 karena

86

kedua jenis karet alam ini menunjukkan produk yang saling bersubtitusi dalam penggunaannya terutama pada industri otomotif.

12 10 8 Harga 6 4 2 0
Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07

Tahun Kuala Lumpur (Ringgit/Kg) London (/Kg) Kottayam (India) (10 Ruppes/Kg) Bangkok (10 Bath/Kg) New York (US$/Kg) Indonesia (US$/ Kg)

Gambar 13 Perkembangan Harga Karet TSR20 (Kg), Tahun 1990 2007 Perkembangan harga karet TSR20 (Gambar 14 dan Lampiran 3) berdasarkan nilai tukar Rupiah juga menunjukkan pola yang sama dengan Gambar 12, dimana pada saat terdepresiasinya Rupiah pada tahun 1998 maka terjadi peningkatan tajam harga karet alam di Indonesia dan internasional. Kesimpulan yang sama juga berlaku bagi harga karet TSR20, yakni ketika terjadi kenaikan harga karet TSR20 di Indonesia belum tentu dipengaruhi oleh kenaikan harga karet TSR20 di pasar global, namun dapat terjadi sebagai akibat terdepresiasinya nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing lainnya (khususnya Dollar Amerika).

87

30,000 25,000

Harga (Rp. 000)

20,000 15,000 10,000 5,000 0


Jan90 Jan91 Jan92 Jan93 Jan94 Jan95 Jan96 Jan97 Jan98 Jan99 Jan00 Jan01 Jan02 Jan03 Jan04 Jan05 Jan06 Jan07

Tahun SMR20 STR20 TSR20 UK (CiF) TSR20 US (CiF) ISNR20 SIR20

Gambar 14 Perkembangan Harga Karet TSR20 (Kg) Tahun 1990 2007 (Konversi Rupiah) Anwar (2005) menyatakan bahwa perkembangan harga karet TSR20 sangat goyang (volatile) terutama dinegara-negara produsen dan terdapat siklus siklikal dengan pola 4 8 tahunan sekali, namun berdasarkan pola pada Gambar 13, hal tersebut tidak terbukti. Hal ini dapat disebabkan karena Anwar (2005) menggunakan data harga rata-rata tahunan sedangkan data yang digunakan pada penelitian ini adalah harga rata-rata bulanan.

6.2 Keragaman Harga Karet RSS dan TSR20


Harga karet alam, seperti juga harga komoditas pertanian lainnya, sangat mudah berubah karena penawaran dan permintaan yang bervariasi dari waktu ke waktu. Tabel 11 menunjukkan rataan dan keragaman dari harga RSS dan TSR20 dimasing-masing pasar berdasarkan seri harga orisinil dan seri harga yang telah terkonversi dengan nilai tukar Rupiah. Koefisien variasi (KV) yang diperoleh dari seri harga orisinal, diubah terlebih dahulu kedalam bentuk logaritma natural (ln). Hal ini dilakukan dengan tujuan agar koefisien variansnya dapat memberikan

88

hasil yang lebih mudah dalam pengintepretasiannya terhadap variasi dari tiap seri harga dan juga sebagai pembanding antar pasar.

Tabel 11 Keragaman Harga Karet RSS dan TSR20 (1990-2007)


Data Orisinil Pasar Karet Alam Indonesia (US$) New York (US$) Kuala Lumpur (Ringgit) London () Kottayam (Ruppes) Bangkok (Bath) Tokyo (Yen) Singapura (Sin$) Data Terkonversi Rupiah Pasar Karet Alam Indonesia New York Kuala Lumpur London Kottayam (India) Bangkok Tokyo Singapura RSS Rata-rata (Rp/Kg) 6,305 8,029 6,964 7,206 7,472 6,015 7,049 6,972 TSR20 Rata-rata (Rp/Kg) 6,047 7,274 6,470 7,038 6,431 5,756 RSS Rata-rata 1.031 1.298 3.629 0.689 45.814 32.813 129.782 1.800 KV 0.142 0.128 0.177 0.109 0.197 0.164 0.135 0.134 TSR20 Rata-rata 0.986 1.177 3.388 0.673 39.450 34.715 KV 0.157 0.146 0.182 0.113 0.206 0.264

KV 0.638 0.662 0.702 0.668 0.663 0.643 0.715 0.696

KV 0.660 0.672 0.693 0.668 0.654 0.752

Ket: Huruf yang dicetak tebal merupakan koefisien varians tertinggi Huruf yang dicetak tebal dan miring merupakan koefisien varians tertendah

Variasi harga menggunakan data orisinal harga karet alam menunjukkan bahwa keragaman harga terbesar terjadi di pasar Kottayam untuk karet jenis RSS dan di pasar Bangkok untuk jenis karet TSR20, yakni sebesar 0,20 dan 0,26. Tingkat keragaman harga terendah secara konsisten untuk kedua jenis karet (RSS dan TSR20) terjadi di pasar London. Koefisien variasi harga karet RSS dan TSR20 berdasarkan nilai tukar Rupiah menunjukkan bahwa Jepang dan Bangkok cenderung berfluktuatif sepanjang waktu yang ditunjukkan oleh KV sebesar 0,715 dan 0,752, sedangkan keragaman harga terendah terjadi di Indonesia dan India.

89

Meskipun Thailand merupakan produsen utama didunia, besaran KV untuk jenis TSR20 baik pada data orisinil dan data terkonversi Rupiah menunjukkan ketidakstabilan harga. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa harga karet alam yang terjadi di pasar Bangkok cenderung dipengaruhi oleh harga di pasar lainnya. Berdasarkan nilai tukar Rupiah, Tabel 11 juga menunjukkan bahwa harga rata-rata karet alam jenis RSS berkisar antara Rp 6.000 sampai Rp 8.000 per kg sedangkan untuk jenis TSR20 berkisar antara Rp 5.000 - Rp 7.300 per kg. Harga rata-rata karet RSS dan TSR20 terendah terjadi di pasar Bangkok (Rp 6.014,13 dan Rp 5.756,25 per kg), sedangkan untuk rata-rata harga yang tertinggi terjadi di pasar New York sebesar Rp 8.028,61 untuk RSS dan Rp 7.273,55 per kg untuk TSR20. Hal ini dapat menjelaskan bahwa di pasar Bangkok harga yang terjadi merupakan harga yang terendah dari keseluruhan pasar berdasarkan nilai tukar Rupiah disebabkan negara ini merupakan produsen utama dunia untuk kedua jenis karet alam ini, sedangkan Amerika Serikat (New York) merupakan konsumen kedua dunia setelah China.

6.3 Korelasi Antar Harga Karet RSS dan TSR20.


Koefisien korelasi antar sepasang harga dapat digunakan sebagai indikasi awal terjadinya hubungan jangka panjang antara kedua seri harga. Hal ini disebabkan karena kedua variabel yang digunakan diperlakuan secara simetrik dari variabel tidak bebas maupun variabel penjelas. Korelasi harga karet RSS pada Tabel 12 antar masing-masing pasar menunjukkan bahwa terjadi hubungan korelasi yang sangat erat antar pasar yang diindikasikan oleh besaran koefisien korelasi yang bernilai 0,6 0,99. Korelasi maksimum diantara delapan seri harga karet RSS terjadi di pasar Singapura dan

90

New York dengan koefisien korelasi sebesar 0,978 sedangkan korelasi terendah terjadi antara pasar Indonesia dengan Kottayam dengan koefisien korelasi sebesar 0,661. Koefisien korelasi terbanyak yang memiliki hubungan sangat erat dengan antar pasar karet RSS yang ditandai dengan jumlah koefisien korelasi tertinggi terjadi di New York sedangkan koefisien korelasi terendah secara konsisten terjadi di pasar India, sehingga harga karet RSS di New York dapat dijadikan sebagai harga acuan bagi pelaku pasar karet RSS.

Tabel 12 Matriks Korelasi Harga Karet RSS


Pasar Karet Alam LINDO LTHAI LMAL LIND LSIN LJPN LUK LUSA LINDO 1 0.819 0.832 0.661 0.932 0.907 0.916 0.968 LTHAI 0.819 1 0.977 0.901 0.876 0.838 0.791 0.858 LMAL 0.832 0.977 1 0.869 0.923 0.884 0.827 0.894 LIND 0.661 0.901 0.869 1 0.706 0.692 0.666 0.710 LSIN 0.932 0.876 0.923 0.706 1 0.972 0.923 0.978 LJPN 0.907 0.838 0.884 0.692 0.972 1 0.891 0.955 LUK 0.916 0.791 0.827 0.666 0.923 0.891 1 0.954 LUSA 0.968 0.858 0.894 0.710 0.978 0.955 0.954 1

Ket: Huruf yang dicetak tebal merupakan koefisien korelasi tertinggi Huruf yang dicetak tebal dan miring merupakan koefisien korelasi terendah

Sama seperti korelasi harga karet jenis RSS, korelasi harga TSR20 (Tabel 13) diantara masing-masing pasar juga menunjukkan hubungan yang sangat erat. Hal ini diindikasikan dengan besaran koefisien yang bernilai 0,73 0,98. Korelasi maksimum diatara enam seri harga karet TSR20 terjadi di pasar New York dan Indonesia dengan koefisien korelasi sebesar 0,978, sedangkan besaran koefisien minimum terjadi antar pasar Kottayam dengan London dengan koefisien korelasi sebesar 0,738. Koefisien korelasi yang memiliki hubungan sangat erat dengan masing-masing pasar karet TSR20 yang ditandai dengan jumlah koefisien korelasi tertinggi terjadi di New York dan Bangkok sedangkan koefisien korelasi terendah terjadi di pasar Bangkok dan London.

91

Hubungan korelasi yang menarik untuk dikaji adalah hubungan korelasi harga TSR20 di pasar Bangkok dengan pasar lainnya, dimana semakin jauh jarak pasar lainnya terhadap pasar Bangkok menunjukkan semakin rendahnya koefisien korelasi yang terjadi dan demikian sebaliknya. Namun, pernyataan ini kurang konsisten, karena jika diperhatikan lebih lanjut koefisien korelasi antar Indonesia (0,738) dengan Bangkok lebih kecil dari koefisien korelasi antara Bangkok dengan New York dan London, yang dalam kenyataannya jarak antara pasar New York dan London lebih jauh dari pasar Indonesia. Implikasi dari hal ini adalah bahwa koefisien korelasi bukan indikator yang pasti/tegas untuk pengkajian keberadaan hubungan integrasi pasar, sehingga alternatif pengujian keberadaan integrasi pasar dilakukan dengan menggunakan metode kointegrasi. Tabel 13 Matriks Korelasi Harga Karet TSR20
Pasar Karet Alam LSIR20 LSTR20 LSMR20 LISNR20 LTSR20_UK LSIR20 1 0.869 0.744 0.948 0.738 LSTR20 1 0.929 0.894 0.766 0.738 LSMR20 0.869 0.929 1 0.879 0.858 LISNR20 0.744 0.894 0.879 1 0.713 LTSR20_UK 0.948 0.766 0.858 0.713 1 LTSR20_US 0.979 0.905 0.747 0.968 0.767 Ket: Huruf yang dicetak tebal merupakan koefisien korelasi tertinggi Huruf yang dicetak tebal dan miring merupakan koefisien korelasi terendah LTSR20_US 0.979 0.767 0.905 0.747 0.968 1

Argumen lain yang menyatakan bahwa koefisien korelasi tidak dapat dijadikan sebagai tolok ukur dalam pengukuran integrasi pasar adalah: (1) tidak ada ukuran seberapa besar koefisien korelasi yang dapat mengindikasikan terjadinya suatu integrasi pasar, (2) koefisien korelasi umumnya dilakukan berpasangan (dua variabel), namun bagaimana jika variabel yang digunakan dalam analisis terdiri dari tiga atau lebih variabel? tentunya hal ini akan sangat bergantung dari sistem persamaan yang terlebih dahulu ditentukan.

92

6.4 Integrasi Spasial Pasar Karet Alam RSS dan TSR20 6.4.1 Integrasi Spasial Pasar Karet RSS
Tahap pertama dari analisis empiris integrasi empiris pasar spasial adalah menentukan ordo atau derajat integrasi dari series harga yang telah dilogaritmakan (dalam bentuk ln). Pengujian dengan menggunakan Augmented Dickey-Fuller (ADF) sebaiknya menggunakan asumsi model dengan konstanta dan dengan ataupun tanpa tren. Ordo lag yang digunakan secara otomatis dipilih berdasarkan Akaike Info Criterion (AIC) pada pengolahan EViews 4.1. Pengujian seri harga menggunakan konstanta dan dengan/tanpa tren. (intercept dan trend) menunjukkan kaitannya dengan jenis-jenis data yang nonstasioner (Random Walk Model / RWM). Pengujian menggunakan asumsi adanya konstanta tanpa tren menunjukkan test RWM with drift (dengan pergeseran), sedangkan pengujian dengan menggunakan asumsi adanya konstanta dengan tren menunjukkan test RWM dengan tren determinitisnya. Hal ini berhubungan dengan seri harga yang memiliki karakteristik trend yang stokastik dan trend yang determinitis. Perbedaan dari kedua tren itu tergantung pada kondisi apakah tren tersebut predictable atau tidak. Jika tren itu predictable maka tren itu disebut tren determinitis, jika tren itu tidak predictable maka tren itu disebut tren yang stokastik. Jika tidak menggunakan asumsi kedua diatas maka menunjukkan test RWM without drift (tanpa pergeseran). Pengujian unit root (akar unit) dilakukan pada level data seri dan pada first difference. Hasil ringkasan uji ADF terhadap seri harga pada tahap level dan first difference disajikan pada Tabel 14. Hipotesis nul berarti terdapat unit root (non stasioner) sedangkan kebalikan dari hipotesis tersebut berarti tidak terdapat

93

unit root (stasioner). Kondisi diterima atau tidaknya hipotesis nul berdasarkan nilai mutlak MacKinnon (1996) dengan ADF-statistik (lihat dalam Bab Metode Penelitian). Perlu diperhatikan bahwa tiap uji unit root yang dilakukan dengan konstanta dan dengan/tanpa tren pada seri harga level dan first difference akan menghasilkan nilai mutlak MacKinnon (1996) yang berbeda sesuai dengan taraf nyata yang digunakan sehingga pengujian terhadap hipotesis nul lebih diperhatikan lagi.

Tabel 14 Uji Unit Root Seri Harga Karet RSS


Pasar Karet Alam Variabel Pada Level Variabel Pada First difference Jumlah Laga ADF Testb Jumlah Laga ADF Testb Konstanta tanpa Tren 2 -0.466 1 -9.457 ** 1 -0.744 1 -8.622 ** 1 -0.465 0 -11.763 ** 9 -0.230 8 -7.283 ** 8 -0.761 0 -11.573 ** 0 -1.004 0 -14.159 ** 2 -0.997 1 -10.779 ** 4 -0.345 3 -7.047 ** Konstanta dengan Tren 2 -0.880 1 -9.536 ** 1 -2.055 1 -8.641 ** 1 -1.711 0 -11.794 ** 3 -2.003 8 -7.285 ** 8 -1.365 7 -4.528 ** 0 -1.620 0 -14.205 ** 2 -1.381 1 -10.798 ** 4 -0.852 3 -7.148 **

LINDO LTHAI LMAL LIND LSIN LJPN LUK LUSA LINDO LTHAI LMAL LIND LSIN LJPN LUK LUSA

a) Jumlah Lag optimal dipilih berdasarkan nilai AIC (Akaike Info Criterion) minimum b) Test ADF dibandingkan dengan nilai mutlak tabel MacKinnon (1996), ** adalah tolak hipotesis nul (adanya unit root) pada taraf nyata 1persen

Hasil uji ADF seri harga karet RSS pada level

, menunjukkan hipotesis

nul pada taraf nyata 1 persen dan 5 persen dengan menggunakan konstanta tanpa tren maupun menggunakan konstanta dengan tren hipotesis nul tidak dapat ditolak, yang berarti terdapat unit root pada seri harga tersebut. Pengujian unit root pada seri harga first difference menggunakan konstanta dan dengan/tanpa
9

Pengujian pada data awal setelah dilogaritmakan (ln)

94

tren menunjukkan hipotesis nul ditolak pada taraf nyata 1 persen dan 5 persen yang berarti seri harga terintegrasi pada ordo satu, yang dilambangkan dengan I (1) atau CI (1) (cointegrated in order one) (lihat Engel and Granger (1987); Gudjarati (2003); Brooks (2002)). Dengan demikian pengujian integrasi pasar karet RSS menggunakan prosedur Johansen sebaiknya menggunakan model dengan asumsi konstanta dengan tren yang ditunjukkan oleh pola grafik (Gambar11) seri harga karet RSS pada level yang menunjukkan kecenderungan peningkatan. Perlu diperhatikan bahwa dalam menggunakan prosedur Johansen untuk menguji seberapa banyak dari vektor seri harga yang berkointegrasi, data yang digunakan adalah data pada level bukan data yang telah dideferensiasikan. Setelah tahapan pertama dilakukan, maka tahap selanjutnya adalah pemilihan tingkat lag optimum VAR yang akan digunakan untuk menentukan berapa banyak vektor seri harga yang terintegrasi. Pemilihan lag optimum seri harga karet RSS (Lampiran 4) menggunakan nilai AIC minimum pada analisis VAR menghasilkan tingkat lag optimal pada lag dua. Berdasarkan hasil dari pemilihan tingkat lag optimal, maka hasil estimasi VAR dengan tingkat lag 2 disajikan pada Lampiran 5. Hasil ringkasan analisis VAR (Tabel 15 ) dengan lag 2 menunjukkan bahwa perubahan harga karet alam RSS di keseluruhan pasar berhubungan kuat dengan perubahan harga mereka sendiri pada periode-periode sebelumnya. Hal ini diindikasikan dengan singnifikansi dari koefisien tiap persamaan pada taraf nyata 1 persen dan 5 persen. Hasil estimasi VAR juga menunjukkan bahwa perubahan harga di pasar Kuala Lumpur dan Singapura memberikan dampak/pengaruh yang nyata terhadap

95

harga yang terjadi di beberapa pasar lainnya. Pernyataan ini didukung oleh jumlah koefisien yang nyata secara statistik dari harga pada periode sebelumnya yang mempengaruhi pasar lainnya di kedua pasar tersebut. Tabel 15 Analisis VAR Pada Seri Harga Karet RSS
LINDO LINDO(-1) 0.456 [ 6.475]* LINDO(-2) 0.160 [ 2.561]** LTHAI(-1) -0.202 [-2.046]*** LMAL(-1) 1.034 [ 15.773]* LTHAI(-2) -0.161 [-2.625]** 0.474 [ 2.446]** LMAL(-2) 0.049 [ 2.025]** LIND(-2) 0.489 [ 4.164]* LSIN(-2) -0.407 [-3.444]* LJPN(-1) 1.013 [ 4.999]* -0.840 [-4.116]* 0.405 [ 2.276]** LIND(-1) 0.924 [ 13.02]* -0.185 [-2.611]* LSIN(-1) 1.723 [ 8.333]* -0.648 [-3.114]* 1.142 [ 3.854]** -0.835 [-2.798]* 0.645 [ 5.975]* LJPN(-2) -0.205 [-2.188]** LUK(-2) -0.206 [-2.152]** 0.885 [ 7.975]* 0.132 [ 1.672]*** LUSA(-1) LUSA(-2) C R2 F-statistic 0.983 707.048 0.346 [ 2.104]** 0.994 2097.385 0.984 753.819 0.958 277.690 0.978 549.682 1.352 [ 3.253]* 0.955 262.007 0.636 [ 1.886]*** 0.963 324.966 0.985 802.294 0.944 [ 5.897]* 0.975 [ 4.055]* -0.819 [-3.384]* 0.727 [ 4.338]* -0.581 [-3.443]* 0.382 [ 2.111]** -0.375 [-1.898]*** -0.501 [-1.769]*** 0.490 [ 1.883]*** -0.525 [-2.285]** 0.517 [ 2.450]** 0.269 [ 1.831]*** LTHAI LMAL LIND LSIN LJPN LUK LUSA

LUK(-1)

Ket :

Hasil analisis VAR berdasarkan satu lag (AIC minimum) [..] merupakan t-statistik; *, **, *** penolakan hipotesis pada taraf nyata 1, 5 dan 10 persen

96

Di Indonesia sendiri, harga karet RSS secara nyata hanya dipengaruhi oleh harga pada periode sebelumnya dan perubahan harga di Bangkok, sedangkan pengaruh perubahan harga di Indonesia sendiri terhadap harga di pasar lainnya secara statistik tidak berpengaruh. Hal yang hampir serupa juga dialami oleh Bangkok, yakni harga karet RSS hanya dipengaruhi oleh harga pada periode sebelumnya dan perubahan harga di Singapura dan India. Berdasarkan tujuan utama penelitian, setelah tahapan pertama dan kedua selesai maka dapat dilanjutkan dengan penentuan rank dan mengestimasi berapa banyak vektor kointegrasi pada seri harga karet RSS dengan menggunakan uji kointegasi Johansen. Uji statistik dan estimasi jumlah vektor kointegrasi disajikan pada Tabel 16. Panel A pada Tabel 16 menunjukkan uji trace terhadap pengujian hipotesis nul yakni tidak terdapatnya vektor kointegrasi (r = 0) melawan alternatifnya yaitu terdapatnya satu vektor kointegrasi (r = 1) pada taraf 1 persen dan 5 persen ditolak. Hal ini disebabkan karena nilai uji statistik yang diperoleh (195.74) lebih besar dari nilai kritis pada taraf nyata 99 persen (168,36) dan 95 persen (156). Pengujian hipotesis selanjutnya tidak dapat ditolak pada r = 2, sehingga persamaan kointegrasi adalah sebanyak dua persamaan. Panel B pada Tabel 16 menunjukkan uji maximal eigenvalue terhadap pengujian hipotesis nul yakni tidak terdapatnya vektor kointegrasi (r = 0) melawan alternatifnya yakni terdapatnya satu vektor kointegrasi (r = 1) pada taraf 1 persen dan 5 persen ditolak. Hal ini ditandai dengan nilai uji statistik yang diperoleh (59.84) lebih besar dari nilai kritis pada taraf nyata 99 persen (57.69) dan 95 persen (51.42). Pengujian hipotesis selanjutnya tidak dapat ditolak pada r = 1, sehingga persamaan kointegrasi adalah sebanyak satu persamaan.

97

Dengan demikian, hasil penelusuran trace menunjukkan bahwa terdapat hubungan jangka panjang antar pasar karet RSS untuk taraf nyata 1 persen dan 5 persen sebanyak dua (r = 2) persamaan, sedangkan berdasarkan uji max untuk taraf nyata 1 persen dan 5 persen sebanyak satu persamaan (r = 1). Meskipun dari kedua uji menghasilkan jumlah persamaan kointegrasi yang berbeda, namun untuk memproses lebih lanjut maka analisis vektor kointegrasi jangka panjang dapat dibentuk sebanyak 2 sistem persamaan, yaitu pada pasar Indonesia dan Bangkok. Argumentasi dari pemilihan ini adalah bahwa kedua pasar tersebut merupakan negara penting sebagai produsen karet alam utama dunia.

Tabel 16 Uji Kointegrasi untuk Sistem Persamaan Integrasi Spasial Pasar Karet RSS Panel A. Uji vektor kointegrasi berdasarkan uji trace
Hypothesized No. of CE(s) None ** At most 1 ** At most 2 At most 3 At most 4 At most 5 At most 6 At most 7 Hypothesized No. of CE(s) None ** At most 1 At most 2 At most 3 At most 4 At most 5 At most 6 At most 7 0.24 0.18 0.16 0.12 0.07 0.03 0.03 0.00 Eigenvalue 0.24 0.18 0.16 0.12 0.07 0.03 0.03 0.00 Trace Statistic 195.74 135.90 92.39 56.04 29.75 15.15 7.92 0.98 Max-Eigen Statistic 59.84 43.51 36.34 26.30 14.60 7.24 6.93 0.98 5 Percent Critical Value 156.00 124.24 94.15 68.52 47.21 29.68 15.41 3.76 5 Percent Critical Value 51.42 45.28 39.37 33.46 27.07 20.97 14.07 3.76 1 Percent Critical Value 168.36 133.57 103.18 76.07 54.46 35.65 20.04 6.65 1 Percent Critical Value 57.69 51.57 45.10 38.77 32.24 25.52 18.63 6.65

Panel B. Uji kointegrasi berdasarkan uji maximal eigenvalue


Eigenvalue

*(**) Notasi penolakan hipotesis pada taraf nyata 5 persen (1 persen) Uji Trace mengindikasikan 2 persamaan kointegrasi pada taraf nyata 5dan 1persen Uji Max-eigenvalue mengindikasikan 1 persamaan kointegrasi pada taraf nyata 5 dan 1 persen

98

Sistem persamaan vektor kointegrasi hanya dapat diidentifikasikan jika dilakukan restriksi dalam normalisasi koefisien kointegrasi (). Untuk mengidentifikasikannya digunakan prosedur Johansen yang diimplementasikan pada EViews 4.1. Hasil output estimasi kofisien kointegrasi yang telah dinormalisasi disajikan pada Lampiran 6. Persamaan hubungan jangka panjang untuk kedua pasar karet RSS dapat dituliskan kedalam persamaan:

LINDO = + 0.154 LMAL - 0.175 LIND + 0.017 LSIN - 0.124 LJPN - 0.050 LUK + 1.224 LUSA

(1)

[1.308]
[-7.872]*

[-2.879]*
ts

[-0.076]ts
ts

[1.024] ts
ts

[ 0.484]

ts

[-6.994]*

LTHAI = + 0.985 LMAL - 0.086 LIND + 0.280 LSIN - 0.069 LJPN - 0.310 LUK - 0.721LUSA
[-1.328] [-1.174] [-0.535] [-2.845]* [ 3.870]*

(2)

Ket: [....] merupakan t-value; *, = signifikan pada taraf nyata 1persen ts = tidak signifikan

Berdasarkan persamaan (1) dan (2) dapat dijelaskan bahwa perubahan harga karet RSS di Kuala Lumpur dan Singapura berdampak positif (kenaikan harga) bagi harga karet RSS di pasar Indonesia dan Bangkok, sedangkan di India, Tokyo dan London memberikan dampak yang negatif (penurunan harga). Pasar New York tampaknya memberikan dampak yang saling bertolak belakang dari kedua persamaan diatas, dimana pada persamaan LR di Indonesia (1) memberikan dampak yang positif sedangkan di Bangkok memberikan dampak yang negatif. Hal ini ditandai oleh nilai positif dan negatif dari koefisien kointegrasi di kedua pasar tersebut pada masing-masing persamaan. Intepretasi koefisien persamaan LR (1) harga karet RSS di Indonesia adalah jika terjadi kenaikan harga sebesar 1 persen di Kuala Lumpur, Singapura dan New York dapat menyebabkan harga ekspor karet Indonesia meningkat sebesar 0,154; 0,017; 1,224 persen, sedangkan kenaikan harga di Kottayam (India), Tokyo dan London dapat menyebabkan penurunan harga karet RSS di

99

Indonesia sebesar 0,175; 0,124; 0,050 persen (karena koefisiennya bertanda negatif). Jika kenaikan harga terjadi secara serempak sebesar satu persen dari masing-masing pasar pada persamaan kointegrasi pasar RSS di Indonesia cateris paribus, maka secara keseluruhan dapat menyebabkan kenaikan harga di Indonesia sebesar 1, 046 persen. Persamaan LR(2) di Bangkok menunjukkan dampak kenaikan harga di Kuala Lumpur dan Singapura memberikan dampak yang positif (sebesar 0,985 dan 0,280 persen) sedangkan pasar lainnya memberikan dampak yang negatif (0,086; 0,069, 0,310; 0,721 persen). Jika kenaikan harga terjadi kenaikan secara bersamaan sebesar satu persen dari masing-masing pasar pada persamaan LR (2) Bangkok cateris paribus, maka secara keseluruhan dapat menyebabkan kenaikan harga di Bangkok sebesar 0,079 persen. Persamaan diatas juga dapat diintepretasikan sebagai elastisitas antar harga karena data yang digunakan telah diubah kedalam bentuk logaritma (ln). Secara logika rasional, kenaikan harga di antara pihak konsumen dan produsen dapat menjadi stimulus positif terhadap kenaikan harga yang diterima oleh produsen setelah dikurangi oleh biaya transfer, namun kadang kala ketidakakuratan maupun kecepatan informasi serta kedekatan lokasi pasar konsumen dengan pasar produsen dapat menyebabkan hubungan tersebut menjadi tidak searah. Namun masih belum ditemukan adanya teori pendukung dari pernyataan diatas. Persamaan keseimbangan jangka panjang yang telah diperoleh dapat dispesifikasikan kedalam bentuk VECM. Hal ini dilakukan karena pada persamaan jangka panjang masih terdapat deviasi dari hubungan dinamis jangka

100

pendek. Koefisien-koefisien Error Correction Term dalam VECM merupakan adalah ukuran penyesuaian (speed of adjustment) menuju hubungan

keseimbangan jangka panjangnya. Kecepatan ini ditandai dengan nilai absolut dari ECT, yang diintepretasikan sebagai ketidakseimbangan harga aktual dengan tingkat keseimbangan LR. Semakin besar koefisiennya mengindikasikan cepatnya penyesuaian menuju keseimbangan LR dan sebaliknya. Regresi ECM dapat diterima apabila nilai koefisien dari ECT signifikan dan tidak boleh lebih besar dari 1 (dapat positif maupun negatif). Tabel 17 (Lampiran 7) menunjukkan koefisien ECT yang dilambangkan dengan CointEq1dan CointEq2 pada kedua persamaan jangka panjang. Koefisien ECT pada kolom dan baris pertama yang bernilai sebesar -0.339 berarti bahwa sekitar 33,9 persen ketidakseimbangannya dikoreksi oleh perubahan harga di Indonesia tiap bulannya menuju ke keseimbangannya jangka panjangnya dan demikian juga untuk kolom dan baris seterusnya. Perubahan harga pada kolom D(LINDO)...D(LUSA) dengan lajur D(LINDO(-1))...D(LUSA(-2)) merupakan besaran perubahan harga pada periode harga sebelumnya terhadap perubahan harga berjalan dalam jangka pendek. Perubahan harga RSS di keseluruhan pasar tidak hanya dipengaruhi oleh hubungan keseimbangan jangka panjangnya sendiri namun, juga dipengaruhi

oleh harga-harga sebelumnya di masing-masing pasar meskipun jumlah koefisien yang signifikan tidak sebanyak jumlah koefisiennya pada persamaan

101

Tabel 17 Estimasi VECM Seri Harga Karet RSS


Error Correction: CointEq1 CointEq2 D(LINDO(-1)) D(LINDO(-2)) D(LTHAI(-1)) D(LTHAI(-2)) D(LMAL(-1)) D(LMAL(-2)) D(LIND(-1)) D(LIND(-2)) D(LSIN(-1)) D(LSIN(-2)) D(LJPN(-1)) D(LJPN(-2)) D(LUK(-1)) D(LUK(-2)) D(LUSA(-1)) D(LUSA(-2)) C D(LINDO) -0.339 [-5.698]* -0.087 [-1.477] -0.191 [-2.674] * -0.044 [-0.687] 0.332 [ 2.690] * 0.081 [ 0.796] 0.031 [ 0.178] 0.038 [ 0.223] 0.031 [ 0.823] 0.041 [ 1.085] 0.051 [ 0.254] -0.131 [-0.646] -0.026 [-0.388] -0.022 [-0.327] -0.017 [-0.192] 0.044 [ 0.499] -0.065 [-0.362] -0.108 [-0.600] 0.004 [ 0.955] D(LTHAI) -0.007 [-0.184] -0.081 [-2.203]** 0.033 [ 0.748] 0.003 [ 0.082] 0.153 [ 1.985] ** -0.036 [-0.564] 0.077 [ 0.719] 0.194 [ 1.826] *** 0.019 [ 0.807] 0.039 [ 1.668] *** 0.404 [ 3.253] * -0.081 [-0.637] 0.004 [ 0.089] -0.013 [-0.311] -0.038 [-0.695] -0.113 [-2.027] -0.014 [-0.122] 0.015 [ 0.132] 0.002 [ 0.999] D(LMAL) -0.050 [-0.792] 0.034 [ 0.547] 0.097 [ 1.283] -0.006 [-0.086] 0.025 [ 0.193] -0.079 [-0.725] -0.369 [-2.016] ** 0.328 [ 1.818] *** 0.011 [ 0.284] 0.048 [ 1.207] 0.852 [ 4.037] * -0.385 [-1.792] *** -0.006 [-0.084] 0.102 [ 1.434] -0.152 [-1.633] -0.002 [-0.025] -0.052 [-0.269] -0.218 [-1.143] 0.005 [ 1.380] D(LIND) -0.320 [-2.851] 0.242 [ 2.174]** 0.130 [ 0.965] 0.167 [ 1.401] -0.464 [-1.993] -0.230 [-1.188] -0.166 [-0.509] -0.204 [-0.636] 0.103 [ 1.441] -0.122 [-1.721] 0.404 [ 1.077] -0.002 [-0.004] 0.141 [ 1.101] 0.016 [ 0.130] -0.159 [-0.963] 0.412 [ 2.453] -0.038 [-0.111] -0.183 [-0.540] 0.010 [ 1.373] D(LSIN) -0.069 [-1.090] -0.029 [-0.459] 0.162 [ 2.131]** -0.007 [-0.106] 0.048 [ 0.362] -0.180 [-1.644] -0.340 [-1.848] *** 0.397 [ 2.193] ** 0.017 [ 0.422] 0.045 [ 1.122] 0.587 [ 2.769] * -0.524 [-2.431] ** 0.026 [ 0.358] 0.141 [ 1.974] ** -0.156 [-1.674] * -0.038 [-0.396] 0.004 [ 0.020] -0.178 [-0.930] 0.004 [ 0.959] D(LJPN) -0.171 [-1.806]*** -0.023 [-0.244] 0.056 [ 0.495] -0.104 [-1.030] -0.049 [-0.251] -0.028 [-0.173] -0.511 [-1.861] 0.273 [ 1.010] 0.011 [ 0.188] 0.072 [ 1.200] 0.944 [ 2.978] * -0.225 [-0.698] -0.222 [-2.050] ** 0.069 [ 0.647] 0.003 [ 0.023] -0.026 [-0.179] -0.140 [-0.487] -0.496 [-1.729]*** 0.006 [ 1.046] D(LUK) -0.115 [-1.519] 0.023 [ 0.308] 0.197 [ 2.176] * -0.007 [-0.085] -0.029 [-0.183] -0.246 [-1.892] *** -0.498 [-2.275] ** 0.275 [ 1.276] -0.028 [-0.584] 0.071 [ 1.483] 0.840 [ 3.332] * -0.199 [-0.777] -0.042 [-0.489] 0.067 [ 0.791] 0.007 [ 0.065] -0.195 [-1.724] *** -0.104 [-0.452] -0.121 [-0.531] 0.005 [ 1.055] D(LUSA) -0.010 [-0.201] -0.107 [-2.074]** 0.075 [ 1.206] -0.018 [-0.330] 0.055 [ 0.507] -0.012 [-0.139] -0.259 [-1.722]*** 0.214 [ 1.448] -0.002 [-0.070] 0.032 [ 0.968] 0.537 [ 3.098]* -0.335 [-1.899]*** 0.000 [-0.000] 0.116 [ 1.977]** -0.123 [-1.615] 0.022 [ 0.280] 0.096 [ 0.611] -0.263 [-1.678]** 0.004 [ 1.277]

Ket:CointEq1... CointEq3 = ECT= Error Correction Term, D = Operator Diffrensiasi pertama, (-1), (-2) = lag 1 dan lag 2 [...] adalah t-statistik, *, ** dan *** adalah hipotesis nul ditolak pada taraf nyata 1, 5 dan 10 persen

Perlu

ditekankan

bahwa

persamaan

kointegrasi

yang

diperoleh

menggunakan data seri harga RSS dengan mata uang dimasing-masing negara (kecuali Indonesia) sesuai dengan data yang diperoleh. Apabila seri harga tersebut

102

dikonversi kedalam Rupiah sesuai dengan periodenya maka hasil yang diperoleh akan berbeda dengan hasil yang ditampilkan sebelumnya. Hasil pengujian unit root, estimasi VAR, uji kointegrasi, persamaan kointegrasi dan estimasi VECM menggunakan data yang telah terkoversi Rupiah disajikan pada Lampiran 8. Berdasarkan hasil dari Lampiran 8 dapat disimpulkan bahwa setiap perlakuan yang berbeda terhadap seri harga melalui prosedur pengolahan yang sama dapat menyebabkan hasil dan kesimpulan yang berbeda pula.

6.4.2 Integrasi Spasial Pasar Karet TSR20


Hasil ringkasan pengujian unit root terhadap seri harga karet TSR20 menggunakan konstanta dan dengan/tanpa tren (intercept dan trend) dengan ADF disajikan pada Tabel 18. Hasil pengujian ADF terhadap level seri harga dengan menggunakan asumsi konstanta tanpa tren dan konstanta dengan tren menunjukkan bahwa seri harga karet TSR20 di setiap pasar adalah nonstasioner secara alami Uji unit root pada seri harga first difference baik yang menggunakan konstanta tanpa tren dan konstanta dengan tren menunjukkan penolakan hipotesis nul, yakni tidak terdapat unit root baik pada taraf nyata 1 persen dan 5 persen, sehingga semua seri harga terintegrasi pada ordo satu I(1). Dengan demikian, analisis integrasi pasar spasial karet TSR20 sebaiknya mengunakan model dengan konstanta dengan tren karena pola perkembangan yang ditunjukkan Gambar 13 menunjukkan kecenderungan peningkatan.

103

Tabel 18 Uji Unit Root Seri Harga Karet TSR20


Pasar Karet Alam Variabel Pada Level Variabel Pada difference 1 a b a b Jumlah Lag ADF Test Jumlah Lag ADF Test Konstanta tanpa Tren 3 -0.787 2 -6.726 ** 1 -1.083 0 -11.109 ** 4 -0.220 3 -7.965 ** 11 -0.398 10 -4.858 ** 1 -1.147 0 -10.832 ** 4 -0.465 3 -7.107 ** Konstanta dengan Tren 3 -1.193 0 -13.172 ** 1 -2.181 0 -11.083 ** 4 -1.348 3 -8.030 ** 11 -1.466 10 -4.887 ** 1 -1.540 0 -10.852 ** 4 -0.972 3 -7.212 **

LSIR20 LSTR20 LSMR20 LISNR20 LTSR20_UK LTSR20_US LSIR20 LSTR20 LSMR20 LISNR20 LTSR20_UK LTSR20_US

a) Jumlah Lag optimal dipilih berdasarkan nilai AIC (Akaike Information Criterion) minimum b) Test ADF dibandingkan dengan nilai mutlak tabel MacKinnon (1996), ** dan * adalah tolak hipotesis nul (adanya unit root) pada taraf nyata 1 dan 5 persen

Langkah kedua, yakni penentuan tingkat lag optimal berdasarkan hasil perhitungan nilai AIC minimum pada seri harga karet TSR20 (Lampiran 9) mengindikasikan tingkat lag optimal pada lag 2. Dengan demikian, hasil output analisis VAR pada karet alam TSR20 dengan tingkat lag 2 disajikan pada Lampiran 10. Hasil ringkasan analisis VAR pada Tabel 19 menunjukkan bahwa perubahan harga karet alam RSS di masing-masing pasar hanya berhubungan kuat dengan perubahan harga mereka sendiri pada lag pertama dan sebagian pada lag kedua, sedangkan perubahan harga di pasar lainnya secara statistik tidak banyak yang signifikan. Tabel 19 juga menunjukkan bahwa harga periode sebelumnya di pasar New York memberikan pengaruh di pasar-pasar lainnya seperti Indonesia, Kuala Lumpur dan London yang ditandai dengan signifikansi dari koefisien pada tiap persamaan VAR.

104

Tabel 19 Analisis VAR Pada Seri Harga Karet TSR20


LSIR20(-1) LSIR20(-2) LSTR20(-1) LSTR20(-2) LSMR20(-1) LSMR20(-2) LISNR20(-1) LISNR20(-2) LTSR20_UK(-1) LTSR20_UK(-2) LTSR20_US(-1) LTSR20_US(-2) C R-squared F-statistic 0.355 [ 3.237] * 0.362 [ 3.040] * -0.415 [-5.238] * 0.990 1632.256 0.499 [ 2.995] ** -0.388 [-2.143] * 0.438 [ 2.186]** 0.950 319.477 0.307 [ 2.048]** -0.286 [-1.758]*** 1.188 [ 7.918]* -0.298 [-1.827]*** 0.284 [ 1.875] *** 0.935 [ 13.37]* -0.135 [-1.926]*** 1.118 [ 7.778]* 0.850 [ 7.204]* 1.022 [ 8.830]* -0.364 [-1.787]*** 0.398 [ 2.021]** LSIR20 0.271 [ 3.912]* LSTR20 LSMR20 LISNR20 LTSR20_UK LTSR20_US

0.987 1289.281

0.980 811.514

0.974 621.834

0.980 806.258

Ket : Hasil analisis VAR berdasarkan satu lag (AIC minimum) [..] merupakan t-statistik; *, **, *** penolakan hipotesis pada taraf nyata 1, 5 dan 10 persen

Hasil uji kointegrasi terhadap seri harga karet TSR20 berdasarkan uji trace dan max disajikan pada Tabel 20. Panel A pada Tabel 20 menunjukkan uji trace terhadap pengujian hipotesis nul yakni tidak terdapatnya vektor kointegrasi (r = 0) melawan alternatifnya yaitu terdapatnya satu vektor kointegrasi (r = 1) pada taraf nyata 1 persen dan 5 persen ditolak. Hal ini disebabkan karena nilai uji statistik yang diperoleh (173,534) lebih besar dari nilai kritis pada taraf nyata 99 persen (168,36) dan 95 persen (156). Pengujian hipotesis selanjutnya tidak dapat ditolak pada r = 2, sehingga persamaan kointegrasi maksimum berdasarkan uji trace adalah sebanyak dua persamaan.

105

Panel B pada Tabel 20 menunjukkan uji maximal eigenvalue terhadap pengujian hipotesis nul yakni tidak terdapatnya vektor kointegrasi (r = 0) melawan alternatifnya yaitu terdapatnya satu vektor kointegrasi (r = 1) pada taraf nyata 1 persen dan 5 persen, ditolak. Hal ini diindikasikan karena nilai uji statistik yang diperoleh (93,33) lebih besar dari nilai 99 persen (45,10) dan 95 persen (39,37). Pengujian hipotesis selanjutnya tidak dapat ditolak pada r = 3, persamaan kointegrasi maksimum berdasarkan uji maximal eigenvalue adalah sebanyak tiga persamaan.

Tabel 20 Uji Kointegrasi untuk Sistem Persamaan Integrasi Spasial Pasar Karet TSR20
Panel A. Uji Kointegrasi Berdasarkan Uji Trace Hypothesized No. of CE(s) None ** At most 1 ** At most 2 At most 3 At most 4 At most 5 Eigenvalue 0.35 0.15 0.13 0.05 0.02 0.00 Trace Statistic 173.53 80.20 45.59 14.96 4.59 0.43 5 Percent Critical Value 94.15 68.52 47.21 29.68 15.41 3.76 1 Percent Critical Value 103.18 76.07 54.46 35.65 20.04 6.65

Panel B. Uji kointegrasi berdasarkan uji maximal eigenvalue Hypothesized No. of CE(s) None ** At most 1 * At most 2 * At most 3 At most 4 At most 5 Eigenvalue 0.35 0.15 0.13 0.05 0.02 0.00 Max-Eigen Statistic 93.33 34.61 30.63 10.37 4.16 0.43 5 Percent Critical Value 39.37 33.46 27.07 20.97 14.07 3.76 1 Percent Critical Value 45.10 38.77 32.24 25.52 18.63 6.65

*(**) Notasi penolakan hipotesis pada taraf nyata 5 persen (1 persen) Uji Trace mengindikasikan 2 persamaan kointegrasi pada taraf nyata 5 dan 1 persen Uji Max-eigenvalue mengindikasikan 3 dan 1 persamaan kointegrasi pada taraf nyata 5 dan 1persen

Dengan demikian, hasil penelusuran trace menunjukkan bahwa terdapat hubungan jangka panjang antar pasar karet TSR20 untuk taraf nyata 1 persen dan 5 persen sebanyak dua (r = 2) persamaan, sedangkan berdasarkan uji max untuk

106

taraf nyata 1 persen sebanyak satu persamaan (r = 1) dan pada taraf nyata 5 persen sebanyak tiga persamaan (r = 3). Kasus yang sama pada uji kointegrasi seri harga karet RSS juga terjadi pada seri harga karet RTSR20 dimana dari kedua uji statistik menghasilkan jumlah persamaan kointegrasi yang berbeda. Untuk persamaan kointegrasi seri harga TSR20 maka dipilih persamaan kointegrasi yang terbanyak yakni tiga (r = 3) persamaan kointegrasi. Sistem persamaan kointegrasi dapat dibentuk pada pasar Indonesia, Bangkok dan Kuala lumpur. Hasil output estimasi kofisien kointegrasi yang telah dinormalisasi disajikan pada Lampiran 11, dengan demikian persamaan hubungan jangka panjang untuk ketiga pasar karet TSR20 dapat dituliskan kedalam persamaan:
LINDO = -0.021 LISNR20 + 0.164 LTSR20_UK + 0.945 LTSR20_US [-9.42143]* [-8.87648] * [ 1.44456]ts LTHAI = + 1.238 LISNR20 + 0.988 LTSR20_UK - 0.998 LTSR20_US [-3.15294] * [-2.12427] ** [ 2.23491] ** LMAL = + 0.645 LISNR20 - 0.575 LTSR20_UK + 0.844 LTSR20_US [-19.7521] * [ 2.32704]** [-3.55718]* Ket: [....] merupakan t-value; *,** = signifikan pada taraf nyata 1 dan 5 persen ts = tidak signifikan (3)

(4)

(5)

Tanda koefisien (positif/negatif) pada tiap persamaan kointegrasi (3), (4) dan (5) menunjukkan bahwa perubahan harga pada pasar Kottayam, London dan New York memberikan dampak yang bervariatif. Jika dibandingkan dengan signifikansi koefisien pada persamaan kointegrasi pada seri harga karet RSS, koefisien persamaan kointegrasi seri harga TSR20 yang signifikan ternyata lebih banyak. Implikasi dari hal ini adalah persamaan kointegrasi seri harga TSR20 lebih baik jika dibandingkan dengan persamaan kointegrasi seri harga RSS Persamaan LR (3) harga karet TSR20 di Indonesia menggambarkan jika terjadi kenaikan harga sebesar 1 persen di London dan New York dapat

107

menyebabkan harga ekspor karet Indonesia meningkat sebesar 0.164, dan 0.945 persen, sedangkan kenaikan harga di Kottayam menyebabkan penurunan harga karet RSS di Indonesia sebesar 0.021 persen. Jika kenaikan harga terjadi secara serempak sebesar satu persen dari masing-masing pasar pada persamaan kointegrasi pasar TSR20 di Indonesia cateris paribus, maka secara keseluruhan dapat menyebabkan kenaikan harga di Indonesia sebesar 1,088 persen. Persamaan LR(4) di Bangkok menunjukkan dampak kenaikan harga di Kottayam dan London memberikan dampak yang positif (sebesar 1,238 dan 0,988 persen) sedangkan kenaikan harga di pasar New York memberikan dampak yang negatif yakni penurunan harga sebesar 0,998 persen. Jika kenaikan harga terjadi secara bersamaan sebesar satu persen dari masing-masing pasar di persamaan LR (4) Bangkok cateris paribus, maka secara keseluruhan dapat menyebabkan kenaikan harga di Bangkok sebesar 1,228 persen. Persamaan LR(5) di pasar Kuala Lumpur menunjukkan dampak kenaikan harga di Kottayam dan New York memberikan dampak yang positif (sebesar 0.645 dan 0.844 persen) sedangkan kenaikan harga di pasar London memberikan dampak yang negatif yakni penurunan harga sebesar 0.575 persen. Jika kenaikan harga terjadi secara bersamaan sebesar satu persen dari masing-masing pasar di persamaan LR (5) Kuala Lumpur cateris paribus, maka secara keseluruhan dapat menyebabkan kenaikan harga di Bangkok sebesar 0,914 persen. Selanjutnya, Tabel 21 (Lampiran 12) menyajikan hasil ringkasan analisis VECM, koeifisien ECT yang dilambangkan dengan CointEq1.... CointEq3

menggambarkan kecepatan penyesuaian yang dikoreksi per periode menuju kesimbangan jangka panjangnya yang telah di normalkan. Pada Tabel 21,

108

koefisien-koefisien yang signifikan ternyata berjumlah sedikit jika dibandingkan dengan pasar karet RSS. Hal ini dapat menyimpulkan bahwa dinamika perubahan harga di pasar karet TSR20 pada jangka pendek di keseluruhan pasar tidak terlalu berpengaruh nyata terhadap keseimbangan jangka panjangnya. Tabel 21 Estimasi VECM Seri Harga Karet TSR20
Error Correction: CointEq1 D(LSIR20) -0.697 D(LSTR20) 0.045 [ 0.407] -0.027 [-0.815] 0.028 [ 0.453] -0.023 [-0.276] 0.049 [ 0.674] 0.063 [ 0.536] 0.068 [ 0.593] -0.089 [-0.788] 0.067 [ 0.612] 0.044 [ 1.075] 0.011 [ 0.263] 0.278 D(LSMR20) -0.207 D(LISNR20) 0.321 D(LTSR20_UK) -0.048 [-0.463] 0.054 D(LTSR20_US) -0.077 [-0.733] -0.023 [-0.728] 0.071 [ 1.225] -0.064 [-0.800] -0.012 [-0.167] -0.046 [-0.408] 0.129 [ 1.178] -0.108 [-1.0034] -0.020 [-0.190] 0.037 [ 0.964] 0.006 [ 0.146] 0.119 [ 0.822] 0.061 [ 0.419] 0.216 [ 1.150] -0.236 [-1.375] 0.004 [ 1.069]

[-9.201]*
CointEq2 CointEq3 D(LSIR20(-1)) D(LSIR20(-2)) D(LSTR20(-1)) D(LSTR20(-2)) D(LSMR20(-1)) D(LSMR20(-2)) D(LISNR20(-1)) 0.011 [ 0.458] -0.049 [-1.163] -0.033 [-0.574] -0.069 [-1.357] 0.068 [ 0.840] 0.066 [ 0.840] -0.059 [-0.762] 0.081 [ 1.066] 0.040 [ 1.437] D(LISNR20(-2)) D(LTSR20_UK(-1)) D(LTSR20_UK(-2)) D(LTSR20_US(-1)) D(LTSR20_US(-2)) C 0.001 [ 0.028] 0.035 [ 0.337] 0.060 [ 0.570] -0.339

[-1.810]***
0.056 [ 1.611] -0.122

[ 1.685]***
0.037 [ 0.629] 0.248

[ 1.694]***
-0.051 [-0.870] -0.068 [-0.849] 0.015 [ 0.217] -0.089 [-0.802] -0.013 [-0.118] -0.014 [-0.132] 0.057 [ 0.546] 0.029 [ 0.761] 0.022 [ 0.579] 0.204 [ 1.415] 0.164 [ 1.134] 0.175 [ 0.935] -0.302

[-1.914]***
0.074 [ 0.850] 0.012 [ 0.160] 0.011 [ 0.093] 0.150 [ 1.256] 0.023 [ 0.198] -0.131 [-1.145] 0.034 [ 0.802] 0.009 [ 0.215] 0.099 [ 0.623] 0.082 [ 0.521] 0.121 [ 0.591] -0.403

[ 2.338]**
-0.232 [-1.598] -0.096 [-0.759] -0.430

[-2.120]**
-0.325 [-1.640] -0.060 [-0.305] -0.097 [-0.510] 0.113 [ 1.614] -0.026 [-0.372] 0.170 [ 0.646] 0.609

[ 1.833]***
0.041 [ 0.272] 0.188 [ 0.956] -0.252 [-1.402] 0.007 [ 1.624]

[ 2.314]
0.560 [ 1.641] 0.154 [ 0.493] 0.009 [ 1.275]

[-2.500]**
-0.129 [-1.041] 0.006

[-2.149]**
0.005 [ 1.222]

[-1.767]***
0.004 [ 0.930]

[ 1.913]***

Ket:CointEq1... CointEq3 = ECT= Error Correction Term, D = Operator Diffrensiasi pertama, (-1), (-2) = lag 1 dan lag 2 [...] adalah t-statistik; *, ** dan ** * adalah hipotesis nul ditolak pada taraf nyata 1, 5 dan 10 persen

109

Pengujian unit root, estimasi VAR, kointegrasi, persamaan kointegrasi dan estimasi VECM terhadap seri harga karet TSR20 yang telah dikonversi dengan Rupiah juga dilakukan. Hasil pengujian unit root, estimasi VAR, kointegrasi, persamaan kointegrasi dan estimasi VECM menggunakan data yang telah terkoversi Rupiah disajikan pada Lampiran 13. Jika diperhatikan hasil yang diperoleh (Lampiran 13) menggunakan prosedur pengolahan yang sama, diperoleh hasil yang sangat berbeda jika menggunakan data yang tidak terkonversi. Hal ini konsisten dengan pernyataan yang telah disampaikan sebelumnya bahwa perlakuan yang berbeda terhadap seri harga melalui prosedur pengolahan yang sama dapat menyebabkan hasil dan kesimpulan yang berbeda pula.

6.5 Implikasi Integrasi Spasial Pasar Karet RSS dan TSR20


Berdasarkan hasil analisis integrasi pasar, dapat diketahui bahwa pasar karet alam di Indonesia (RSS dan TSR20) dan pasar lainnya tidak terintegrasi secara penuh. Artinya, apabila terjadi perkembangan (kenaikan/penurunan) harga di pasar lainnya tidak akan memberikan dampak yang sama terhadap perkembangan harga di Indonesia. Sebagai contoh, apabila terjadi kenaikan harga karet alam sebesar 10 persen dari harga sebelumnya di pasar New York, maka trasmisi harga dari pasar New York terhadap kenaikan harga karet alam di Indonesia belum tentu sebesar 10 persen. Namun, dapat dipastikan bahwa perkembangan harga karet alam di pasar lain akan selalu memberikan pengaruh terhadap perkembangan harga di Indonesia sendiri maupun di pasar lainnya. Konsekuesi ketidak-integrasian penuh pasar karet RSS dan TSR20 di Indonesia adalah kenaikan maupun penurunan harga karet di internasional tidak selalu berdampak penuh terhadap penghasilan petani karet di Indonesia. Sehingga

110

penentuan maupun peramalan harga karet menjadi sulit dilakukan. Oleh karena itu, pemerintah dalam mengakomodasikan kebijakan-kebijakan tentang karet alam di Indonesia perlu memperhatikan segmentasi pasar karet alam dan acuan harga karet yang tepat dalam meramalkan permintaan dan penawaran karet alam di Indonesia dan internasional demi kepentingan petani karet di Indonesia.

6.6 Hubungan Kausalitas Antar Harga Pasar Karet RSS dan TSR20
Pada analisis VECM pasar karet RSS dan TSR20 telah menjelaskan dampak dinamika dari perubahan harga yang terjadi di masing-masing pasar. Hal ini ditandai dengan signifikansi dari koefisien-koefisien jangka pendeknya dan besaran nilai koefisien ECT pada keseimbangan jangka panjangnya. Dalam berbagai literatur empirik relevan lainnya, yang menjadi pertanyaan umum apakah perkembangan harga disuatu pasar tertentu dapat sebagai penyebab perkembangan harga di pasar lainnya. Untuk menjawab pertanyaan ini dan mempertegas dinamika dari perilaku harga karet RSS dan TSR20 pada jangka pendeknya dapat menggunakan analisis Granger Causality. Uji ini sangat berguna dalam pengukuran kemampuan meramalkan dari model times series. Suatu time series Yt Granger cause time series Xt jika nilai Xt pada saat ini dan masa lalunya dapat lebih baik memprediksi nilai Yt . Hasil uji kausalitas antar harga karet RSS antar pasar disajikan pada Lampiran 14, sedangkan Tabel 22 menunjukkan ringkasan hubungan kausalitas antara masingmasing pasar karet RSS berdasarkan estimasi VEC. Hipotesis nul (Yt does not Granger Cause Xt) ditolak, berarti bahwa harga dipasar Yt tidak menyebabkan harga dipasar Xt, sebaliknya jika hipotesis nul diterima maka berarti Yt menyebabkan harga dipasar Xt.

111

Notasi 0 pada Tabel 22 berarti bahwa terjadi penerimaan hipotesis nul, sedangkan notasi 1 menandakan penolakan terhadap hipotesis nul. Sebagai contoh, nilai pada baris pertama dan kolom kedua ([0,1]) yakni antara pasar Indonesia dan bangkok, menunjukkan angka pertama pada sel tersebut yakni [0,..] berarti bahwa pengujian hubungan kausalitas dari pasar Indonesia (Xt) ke pasar Bangkok (Yt), hipotesis nul diterima. Implikasinya adalah perkembangan harga di pasar Bangkok tidak disebabkan oleh perkembangan harga di Indonesia. Selanjutnya, angka kedua yakni [..,1] berarti bahwa pengujian dari pasar Bangkok (Xt) ke pasar Indonesia (Yt), hipotesis nul ditolak. Implikasinya adalah perkembangan harga di pasar Indonesia disebabkan oleh perkembangan harga dari pasar Bangkok. Intepretasi yang serupa juga berlaku bagi pasar lainnya pada tiap sel yang terdapat pada Tabel 22.

Tabel 22 Uji Kausalitas Harga Karet RSS


D(LINDO) D(LINDO) D(LTHAI) D(LMAL) D(LIND) D(LSIN) D(LJPN) D(LUK) D(LUSA)

[0,0] D(LTHAI) [1,0] [0,0] D(LMAL) [0,0] [0,0] [0,0] D(LIND) [0,0] [0,0] [0,0] [0,0] D(LSIN) [0,0] [1,0] [1,1] [0,0] [1,0] D(LJPN) [0,0] [0,0] [0,0] [0,0] [0,1] [0,0] D(LUK) [0,0] [0,0] [0,1] [1,0] [0,1] [0,0] [0,0] D(LUSA) [0,0] [0,0] [0,0] [0,0] [0,1] [0,0] [0,0] Ket: angka 0 berarti hipotesis nul diterima; angka 1 berarti hipotesis nul ditolak [0,0] = tidak ada hubungan kausalitas dari variabel pada baris dan kolom atau sebaliknya [0,1] = ada hubungan kausalitas searah dari variabel pada kolom ke variabel pada baris [1,0] = ada hubungan kausalitas searah dari variabel pada baris ke variabel pada kolom [1,1] = ada hubungan kausalitas timbal balik dari variabel pada kolom maupun pada baris

[0,1]

[0,0] [0,0]

[0,0] [0,0] [0,0]

[0,0] [0,1] [1,1] [0,0]

[0,0] [0,0] [0,0] [0,0] [1,0]

[0,0] [0,0] [1,0] [0,1] [1,0] [0,0]

Hubungan kausalitas seri harga karet RSS yang diperoleh menunjukkan bahwa pada jangka pendek perubahan harga di pasar Singapura dapat menyebabkan perubahan harga di pasar lainnya seperti: Bangkok, Malaysia,

Tokyo, London dan New York sedangkan pasar yang dapat mempengaruhi

112

perkembangan harga di Singapura hanya di pasar Kuala Lumpur. Hal ini juga di dukung oleh jumlah signifikansi koefisien di tingkatan lag 1 dan 2 pada analisis VECM pada seri harga karet RSS. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sentral pasar dunia yang dapat memberikan pengaruh perubahan harga karet RSS di keseluruhan pasar yakni pasar Singapura dan dinamika dari perubahan harga pasar karet RSS di Singapura akan banyak direspon oleh pasar lainnya Hubungan pengaruh kausalitas yang terjadi antara pasar Singapura dan Kuala Lumpur merupakan hubungan timbal balik. Hal ini dapat mencirikan bahwa semakin dekat lokasi antar pasar, maka memiliki kecenderungan hubungan saling pengaruh harga. Pasar yang dominan dipengaruhi oleh perubahan harga di pasar lainnya adalah pasar London. Di Indonesia, pengaruh harga searah hanya berasal dari pasar Bangkok, sedangkan pasar Bangkok hanya dipengaruhi oleh pasar perubahan harga di Singapura. Hasil pengolahan uji Granger causality antar masing-masing pasar TSR20 disajikan pada Lampiran 15. Ringkasan hasil pengolahan pengujian hubungan seri harga TSR20 pada jangka pendek (Tabel 23) antar masing-masing pasar menunjukkan bahwa hanya terdapat tiga hubungan kausalitas harga yang searah, sedangkan sisanya tidak mempunyai hubungan kausalitas sama sekali. Ketiga hubungan ini adalah hubungan kausalitas dari pasar New York ke Indonesia dan Bangkok dan dari Bangkok ke pasar Kottayam. Untuk pasar karet TSR20, New York dapat dijadikan sebagai pasar acuan atau referensi dari pergerakan harga. Hubungan kausalitas pada karet TSR20 jika dicermati lebih lanjut sejalan dengan jumlah koefisien yang signifikan dari estimasi pada VECM pada seri harga karet TSR20. Dinamika dari harga karet TSR20 secara keseluruhan

113

tampaknya kurang dipengaruhi oleh perubahan harga di pasar lainnya, sehingga kemungkinan besar pengaruh harga yang terjadi antar pasar disebabkan oleh kekuatan dari permintaan dan penawaran dunia.

Tabel 23 Uji Kausalitas Harga Karet TSR20


D(LSIR20) D(LSTR20) D(LSMR20) D(LISNR20) D(LTSR20_UK) D(LTSR20_US)

D(LSIR20) D(LSTR20) D(LSMR20) D(LISNR20) D(LTSR20_UK) D(LTSR20_US)

[0,0] [0,0] [0,0] [0,0] [0,0] [1,0] [0,0] [0,1] [0,0] [1,0]

[0,0] [0,0] [0,0] [0,0] [0,0]

[0,0] [1,0] [0,0] [0,0] [0,0]

[0,0] [0,0] [0,0] [0,0] [0,0]

[0,1] [0,0] [0,1] [0,0] [0,0]

Ket: angka 0 berarti hipotesis nul diterima; angka 1 berarti hipotesis nul ditolak [0,0] = tidak ada hubungan kausalitas dari variabel pada baris dan kolom atau sebaliknya [0,1] = ada hubungan kausalitas searah dari variabel pada kolom ke variabel pada baris [1,0] = ada hubungan kausalitas searah dari variabel pada baris ke variabel pada kolom [1,1] = ada hubungan kausalitas timbal balik dari variabel pada kolom maupun pada baris

6.7 Pengaruh Nilai Tukar Rupiah dan Harga Karet Sintetik Terhadap Harga Ekspor Karet Indonesia.
Pada pembahasan sebelumnya, telah dijelaskan bahwa nilai tukar Rupiah dan harga di pasar lainnya dapat memberikan dampak langsung terhadap nilai harga ekspor karet di Indonesia, namun hubungan ini belum mampu memberikan gambaran berapa lama efek ini akan berlangsung dan bagaimana perilaku harga ini di masa yang akan datang. Impulse respones function dan variance decomposition menelusuri respons dari variabel dependent terhadap guncangan variabel independent sebesar satu standar deviasi. Sebagai produk komplementer maupun subtitusi dari karet alam, karet sintetik juga semestinya mempunyai peranan dalam pembentukan harga karet alam dunia maupun Indonesia sehingga pada analisis IRF dan VD akan menggunakan harga karet sintetik dunia dan nilai tukar Rupiah.

114

Perlu diperhatikan bahwa analisa IRF dan VD berbeda dengan analisis sebelumnya, dimana pada analisis ini hanya terfokus terhadap guncangan dari nilai tukar Rupiah dan harga karet sinstetik dunia terhadap harga karet di Indonesia sementara pengaruh lainnya dianggap konstan (cateris paribus). IRF dan VD dilakukan dengan horizon waktu 30 periode kedepan (30 bulan). IRF dan VD yang dilakukan merujuk terhadap persamaan VAR yang telah dibentuk berdasarkan variabel yang digunakan. Variabel harga karet RSS dan TSR20 di Indonesia menjadi variabel dependent atau sebagai penerima respons guncangan sebesar satu standar deviasi dari variabel independent (nilai tukar rupiah dan harga karet sintetik dunia). Pemilihan lag optimal berdasarkan AIC minimum untuk sistem persamaan VAR harga karet RSS di Indonesia adalah sebesar 11, sedangkan untuk sistem persamaan VAR harga karet TSR20 bernilai 10 (Lampiran 16). Gambar 15 dan 16 menunjukkan hasil respons guncangan harga karet sintetik dan nilai tukar Rupiah terhadap seri harga karet RSS dan TSR20, sedangkan hasilnya dalam bentuk tabel disajikan pada Lampiran 17 dan 18. Guncangan sebesar satu standar deviasi pada harga karet RSS (Gambar 15) dapat menyebabkan peningkatan harga domestik sampai pada satu tahun pertama sebesar 8, 20 persen, kemudian menurun secara perlahan-lahan sampai pada periode ke-30 . Guncangan nilai tukar rupiah sebesar satu standar deviasi pada semester pertama dapat menyebabkan penurunan harga ekspor karet RSS Indonesia sebesar 1,91 persen yang selanjutnya berflukuatif pada semester kedua dan ketiga yang kemudian secara perlahan-lahan naik menuju ke titik stabilnya. Respon harga karet RSS domestik terhadap guncangan harga karet sintetik pada

115

semester pertama menunjukkan kenaikan terhadap karet RSS di Indonesia sebesar 2,49 persen dan kemudian akan menurun secara perlahan-lahan menuju ke titik stabilnya.

R e s p o n s e o f L IN D O t o C h o l e s k y O n e S . D . In n o v a t i o n s .10 .08 .06 .04 .02 .00 -.02 -.04 5 10 L IN D O 15 S B R 20 25 X_ R AT E 30

Gambar 15 Respon Harga Karet RSS Terhadap Guncangan Harga Karet RSS Indonesia, Nilai Tukar Rupiah dan Harga Karet Sintetik Guncangan sebesar satu standar deviasi pada harga karet TSR20 (Gambar 16) tampaknya memberikan dampak yang positif (kenaikan harga) pada harga karet TSR20 di Indonesia, meskipun pola dampak guncangan sampai pada 16 periode kedepan membentuk siklus yang sama yang selanjutnya dampak ini akan akan perlahan-lahan menurun pada jangka panjangnya. Guncangan nilai tukar Rupiah sebesar satu standar deviasi pada jangka pendek akan menurunkan harga karet TSR20 sampai pada besaran 4,15 persen pada periode yang kesembilan dan kemudian naik kembali menuju ke titikstabilnya dalam jangka waktu yang cukup lama. Respon Harga Karet TSR20 domestik terhadap guncangan harga karet sintetik tampaknya tidak memberikan dampak yang besar bagi perubahan harga karet TSR20 di Indonesia, karena pergerakan harga berada di sepanjang di titik stabilnya

116

R e s p o n s e o f L S IR 2 0 t o C h o l e s k y O n e S . D . In n o v a t i o n s .08 .06 .04 .02 .00 -.02 -.04 -.06 5 10 L S IR 2 0 15 S B R 20 25 X _ R AT E 30

Gambar 16 Respon Harga Karet TSR20 Terhadap Guncangan Harga Karet TSR20 Indonesia, Nilai Tukar Rupiah Dan Harga Karet Sintetik Berdasarkan hasil IRF terhadap harga karet RSS dan TSR20, secara umum dapat dikatakan guncangan harga karet domestik sebesar satu standar deviasi dapat mengakibatkan perubahan harga yang positif dan memiliki kecenderungan dampak yang permanen serta stabil pada jangka panjang, sedangkan guncangan nilai tukar Rupiah selalu berdampak negatif sejak kurva pada kedua gambar berada di bawah titik stabilnya dan cenderung mengarah ketitikstabilnya meskipun dalam waktu yang lama. Guncangan harga karet sintetik sedikit berbeda dengan guncangan yang terjadi dari kedua variabel tersebut dimana guncangan ini dalam jangka pendeknya berfluktuatif disekitar titik stabilnya. Pada analisis IRF, guncangan yang terjadi belum menunjukkan darimana sumber keragaman guncangan ini, analisis VD akan menjelaskan variabilitas atau dekomposisi pengaruh variabel-variabel lainnya dalam suatu sistem terhadap satu variabel lainnya yang akan ditinjau. Variabilitas ini tentunya dapat digunakan untuk meramalkan variansi dari suatu variabel terhadap variabel lainnya yang

117

disebut dengan metode forecast error variance decomposition (FEDV) dan tentunya total dari variansi variabel bernilai 100 persen. Hasil output untuk kedua seri harga disajikan pada Lampiran 19 dan 20. Hasil ringkasan FEDV pada 30 periode kedepan terhadap harga karet RSS Indonesia (Tabel 24) menunjukkan bahwa sumber keragaman terbesar berasal dari harga karet RSS Indonesia sendiri sebesar 99 96 persen berturut-turut dari periode kedua sampai keempat, namun pada periode kelima sampai pada periode ke- 30 menunjukkan kestabilan pengaruh keragaman sebesar 92 93 persen. Harga karet sintetik dunia dan nilai tukar Rupiah hanya mampu memberikan pengaruh keragaman terhadap harga karet RSS Indonesia sebesar 1 - 5 dan 1 2 persen dari periode pertama sampai pada periode ke-15 yang selanjutnya sampai periode ke-30 menunjukkan kenaikan pengaruh yang berkisar antara 3-4 persen.

Tabel 24 Sumber Keragaman Harga Karet RSS Indonesia Terhadap Pengaruh Variabel Lainnya
Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 15 20 25 30 S.E. 0.067965 0.091492 0.114938 0.13437 0.154336 0.173266 0.189164 0.203095 0.217677 0.23113 0.299555 0.350952 0.388243 0.413608 LINDO 100 99.38525 97.87227 96.43148 93.88537 92.59072 92.09102 92.45998 92.90408 93.07297 93.08729 93.15832 93.43478 93.61991 SBR 0 0.194558 1.314575 2.71233 4.65406 5.032543 5.705261 5.468651 5.166116 4.95821 4.041536 3.615155 3.51193 3.58599 X_RATE 0 0.420197 0.813153 0.856186 1.460566 2.376738 2.203719 2.071372 1.929804 1.968815 2.871174 3.226527 3.053294 2.794095

Hasil ringkasan FEDV pada 30 periode kedepan terhadap harga karet TSR20 Indonesia (Tabel 25) menunjukkan bahwa sumber keragaman terbesar berasal dari harga karet TSR20 Indonesia sendiri sebesar 99 90 persen berturut-

118

turut dari periode kedua sampai kesepuluh, namun pada periode kesebelas sampai pada periode ke- 30 menunjukkan kestabilan pengaruh keragaman sebesar 87 88 persen. Harga karet sintetik dunia menunjukkan pengaruh yang relatif kecil yakni sebesar 0,1 0,2 persen yang berfluktuatif disepanjang periode, sedangkan nilai tukar Rupiah memberikan pengaruh keragaman yang berkencenderungan meningkat.

Tabel 25 Sumber Keragaman Harga Karet TSR20 Indonesia Terhadap Pengaruh Variabel Lainnya
Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 15 20 25 30 S.E. 0.057059 0.086085 0.112622 0.137945 0.158975 0.177837 0.191706 0.2047 0.219406 0.233744 0.298985 0.346995 0.383336 0.410935 LSIR20 100 99.00683 98.57672 98.1158 97.78804 96.46107 96.50643 95.22818 92.26497 90.35717 87.35132 87.08386 87.46587 88.15646 SBR 0 0.232044 0.223902 0.313201 0.257505 0.213125 0.240203 0.314839 0.274087 0.257487 0.170238 0.148768 0.132754 0.124847 X_RATE 0 0.761122 1.199373 1.571003 1.954455 3.325806 3.253368 4.45698 7.460939 9.385347 12.47844 12.76738 12.40137 11.71869

Hasil FEDV terhadap harga karet RSS dan TSR20 memberikan cerminan bahwa harga karet alam Indonesia cenderung dipengaruhi oleh keragamannya sendiri, sedangkan pengaruh dari harga karet sintetik dunia dan nilai tukar Rupiah hanya memberikan kontribusi pengaruh berkisar antara 0 10 persen. Harga karet sintetik dunia memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap keragaman harga karet RSS di Indonesia jika dibandingkan dengan nilai tukar Rupiah, sebaliknya untuk harga karet TSR20, nilai tukar Rupiah memberikan pengaruh yang besar daripada harga karet sintetik dunia

119

VII KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan, maka beberapa kesimpulan yang diperoleh adalah sebagai berikut: 1. Perkembangan harga karet RSS dan TSR20 di Indonesia maupun pasar

lainnya (Bangkok, Singapura, Kuala Lumpur, New York, Kottayam, London dan Jepang) memiliki kecenderungan peningkatan. Selain faktor permintaan dan penawaran karet alam yang mempengaruhi harga karet alam, kekuatan dari nilai tukar pada masing-masing negara dapat memberikan tren harga yang berbeda-beda. 2. Harga rata-rata karet alam jenis RSS lebih tinggi dibandingkan dengan harga rata-rata TSR20. Keragaman harga karet RSS dan TSR20 untuk data yang tidak terkonversi terbesar terjadi di pasar Kottayam dan Bangkok, sedangkan keragaman yang terkecil terjadi di London. Untuk data yang terkonversi, keragaman RSS dan TSR20 terbesar terjadi di pasar Tokyo dan Bangkok sedangkan keragaman terendah terjadi di Indonesia dan India. 3. Korelasi antar masing-masing harga karet RSS dan TSR20 menunjukkan hubungan keterkaitan yang sangat erat antar masing-masing pasar. 4. Integrasi pasar spasial terhadap harga karet RSS dan TSR20 menunjukkan bahwa pasar karet alam tidak terintegrasi secara penuh atau hukum satu harga (the low of one price/LOP) tidak berlaku. Implikasinya adalah pasar untuk komoditi ini tidak dapat diperlakukan sebagai pasar agregat/tunggal dan perkembangan harga di pasar lainnya belum tentu berdampak sama pada harga

karet di Indonesia. Hal ini disebabkan karena hubungan jangka panjang pasar karet RSS yang dapat dibentuk hanya sebanyak dua persamaan dari delapan variabel harga yang digunakan, sedangkan untuk pasar karet TSR20 sebanyak tiga persamaan dari enam variabel. Pada jangka panjang, pengaruh perubahan harga (kenaikan/penurunan) karet RSS dan TSR20 di pasar konsumen (Singapura, New York, London, India dan Jepang) tidak memberikan dampak yang begitu besar bagi perubahan di pasar produsen (Indonesia, Bangkok dan Malaysia). 5. Hubungan kausalitas antar harga karet RSS lebih banyak dipengaruhi oleh pasar Singapura dan Malaysia, sedangkan untuk karet TSR20 lebih banyak dipengaruhi oleh pasar New York. Oleh karena itu, harga karet RSS di pasar Singapura dan Kuala Lumpur baik pada jangka pendek dan panjang dapat dijadikan sebagai acuan harga karet RSS dunia sedangkan untuk jenis karet TSR20 yakni di New York 6. Pengaruh dari guncangan harga karet sintetik terhadap harga karet RSS dan TSR20 pada jangka pendeknya memberikan dampak yang positif terhadap harga ekspor karet RSS di Indonesia. sedangkan dampak guncangan nilai tukar Rupiah negatif. Sumber keragaman harga karet alam Indonesia memiliki cerminan bahwa harga ekspor karet RSS dan TSR20 dipengaruhi oleh keragamannya sendiri, sedangkan pengaruh dari harga karet sintetik dunia dan nilai tukar Rupiah hanya memberikan kontribusi pengaruh berkisar antara 0 12 persen. Harga karet sintetik dunia memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap keragaman harga karet RSS di Indonesia jika dibandingkan dengan

121

nilai tukar Rupiah, sebaliknya untuk harga karet TSR20, nilai tukar Rupiah memberikan pengaruh yang besar daripada harga karet sintetik dunia

7.2 Saran
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang dikemukakan, maka dapat disampaikan saran bagi pemerintah maupun untuk penelitian lanjutan. Saran bagi pemerintah sebagai pengambil kebijakan sebagai berikut: 1. Ketersediaan dan keterbukaan terhadap data harga, volume produksi dan berbagai data yang berhubungan dengan karet alam hendaknya dipenuhi dan dapat diakses oleh publik tanpa syarat tertentu sehingga arus informasi dapat memberikan gambaran yang jelas tentang kondisi pasar karet alam di Indonesia maupun di pasar Internasional. 2. Pemerintah (Khususnya BI) sebaiknya menjaga nilai tukar Rupiah dalam posisi yang stabil, sehingga dapat memberikan harga yang wajar dan kontinuitas usaha karet alam yang digarap oleh pihak swasta maupun petani karet karena guncangan nilai tukar Rupiah dapat memberikan damapak yang negatif bagi harga ekspor karet Indonesia. 3. Pemberlakukan kuota ekspor karet alam dapat dilakukan jika produksi karet alam domestik dan dunia berlebihan dengan tujuan untuk menstabilkan maupun meningkatkan harga di pasar internasional. 4. Kerjasama multilateral karet alam diantara negara produsen utama lainnya seharusnya diperkuat lagi, sehingga Indonesia sebagai negara produsen kedua terbesar dapat sebagai penentu harga (price maker) di pasar internasional dan bukan sebagai price taker, namun dengan mempertimbangkan aspek persaingan sehat di antara masing-masing pasar.

122

Saran untuk penelitian lanjutan adalah sebagai berikut: 1. Penelitian ini mengungkapkan keberadaan integrasi pasar spasial karet alam dengan menggunakan data seri harga pasar dimasing-masing pasar, sebaiknya dilakukan juga dengan menggunakan data biaya transaksi, volume perdagangan dan kuota volume perdagangan. Selain itu, perlu dilakukan penelitian pembandingan keberadaan integrasi pasar antar pasar fisik dengan pasar berjangka karet alam. 2. Untuk data yang sama, dapat dilakukan analisis pengaruh harga karet alam di antara pasar lainnya terhadap harga karet alam Indonesia dengan menggunakan IRF dan FEDV pada model dinamik VAR, karena penelitian ini hanya menggunakan pengaruh dari nilai tukar Rupiah dan harga karet sintetik dunia. Selanjutnya, penelitian dapat dikembangkan dengan melakukan peramalan harga menggunakan alat analisis yang berbeda sebagai

pembanding. 3. Penelitian ini hanya berfokus terhadap integrasi pasar spasial antar Indonesia dan pasar lainnya, sebaiknya penelitian lainnya dapat memfokuskan permasalahan terhadap dampak perkembangan industri otomotif pada negara Amerika, India, Jepang dan China serta negara dengan industri otomotif skala besar terhadap keseimbangan harga karet alam dunia.

123

DAFTAR PUSTAKA

Adiyoga, W. K. O Fuglie dan R. Suherman, 2006. Integrasi Pasar Kentang Di Indonesia: Analisis Korelasi Dan Kointegrasi. Jurnal Informatika Pertanian Volume 15, 2006. Jakarta Angraeni, P. 2004 Indentifikasi Dampak Penerapan AFTA Terhadap Nilai Ekspor dan Impor Harga Komoditi Karet Indonesia-ASEAN. Skripsi. Jurusan Ilmuilmu Sosial Ekonomi-Pertanian Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Anwar, C. 2005. Prospek Karet Alam Indonesia : Suatu Analisis Integrasi Pasar dan Keragaan Ekspor. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Sekolah Pasca Sarjana. Bogor Aunuddin, 2005. Rancangan dan Analisis Data. IPBPress. Bogor Barret, C. B. 2005. Spasial Market Integration. Cornell University. London Bernal, L. P., Dawn.D. T., Maria. L. L. 2003. An Empirical Analysis of Market Integration and Effeciency for U.S. Fresh Tomato Markets. Journal of Agricultural and Resources Economics 28(3): 435-450. Western Agricultural Economics Association. Colorado. Bank Indonesia (BI), 2007. Laporan Neraca Pembayaran Indonesia. BI. Jakarta Brooks, C. 2002. Introductory Economics for Finance. Cambridge University Press. Cambridge-UK. Budiman, S. 1974. Jenis-jenis Karet Alam dan Karet Sintesis. Kursus Teknologi Karet. Balai Penelitian Perkebunan Bogor. Bogor. Canjels, E. 2002. Measuring Market Integration. http://homepage.newschool.edu/ ~canjels/market.pdf ( 14 Januari 2008) Direktorat Jendral Perkebunan. 2006. Statistik Perkebunan 2003 2005. Depatemen Pertanian Enders, W. 1995. Applied Economic Time Series: John Wiley & Sons, Inc. New York Engle, R. F. dan C. W. Granger. 1987. Cointegration And Error Correction: Representation, estimation, and testing. Jurnal Econometrica, 55: 251-276.

Fackler, P. L dan B.K. Goodwin. 2001. Spatial Market Integration, G. Rausser and B. Gardner (Eds). Handbook of Agricultural. Elsevier Publishing. Amsterdam. Goletti, F dan Nicholas. M.2000. Rice Market Liberalization and Proverty in Vietnam. International Food Policy Research Institute. Washington, D.C. Gujarati, D. N. 2003. Basic Econometrics. Fourth Edition-International Edition. McGraw Hill, New York Hutabarat, B. 2006 Analisis Saling-Pengaruh Harga Kopi Indonesia dan Dunia. Jurnal Agro Ekonomi, Volume 32 No.1, Mei 2006 : 1-20 Honggokusumo, S. 2004. The Indonesian Rubber Production and Its Industry: Present Status and Futures Outlook. International Rubber Conference, Chiangmai, Thailand, 8 9 April 2004. Hai, Luu.T.D. 2003. Rice Market in the Mekong River Delta, Vietnam: A Market Integration Analysis - CAS Discussion Paper No. 40. Vietnam Indonesian Rubber Research Institute (IRRI). 2006. Priority Integration Sector SpecialistRubber Based Products (Pss Rubber-Based), The ASEAN Secretariat UNDP Partnership Project 2006. Bogor Research Center for Rubber Technology. Bogor IRSG, 1990-2007. Rubber Statistical Bulletin, International Rubber Study Group. London. Kohls, R.L dan J. N. Uhl. 1998. Marketing of Agricultural Products. Fifth Edition. New York Loo, T. G. 1980. Tuntunan Praktis Mengelola Karet Alam. Penerbit Kintta. Jakarta Lohano. D. H dan Fatch.M.M. 2006. Testing Market Integration in Regional Onion Market of Pakistan: Application of Error Correction Model in the Presence of Stationarity. Sindh Agriculture University Tando Jam Pakistan. International Research Journal of Finance and Economics. EuroJournal Publishing, Inc. www.eurojournal.com/finance.htm Miljkovic, D. 2006. U. S. and Canadian Livestock Prices: Market Integration and Trade Dependence. Proceedings of the NCCC-134 Conference on Applied Commodity Price Analysis, Forecasting, and Market Risk Management. St. Louis, MO. http://www.farmdoc.uiuc.edu/nccc134 (04 Januari 2008). Munir, A; S. Sureshwaran; H.M.G Selassie; J.C.O Nyankori. 1997. An Analysis of Market Integration for Selected Vegetables in Indonesia. Jurnal

125

Maklumat, I. 2005. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Ekspor Karet Alam Indonesia. Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi-Pertanian Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ravallion, M. 1986. Testing Market Integration. Amer. J. Agr. Econ., 68(1): 102109 Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional. Erlangga. Jakarta Simatupang, P dan J. Situmorang. 1988. Integrasi Pasar dan Keterkaitan harga Karet Indonesia dengan Singapura. Jurnal Agro Ekonomi, Oktober 1988, Vol 7, No. 2: 12-29. Pusat Studi Ekonomi Bogor. Bogor. Sims, C .A 1980. Macroeconomics and Reality. Jurnal Econometrica, Volume 48, Issue 1 (Jan.,1980), 1- 48. Tomek, W.G dan K.L. Robinson 1972. Agricultural Product Prices. Cornell Univ. Press. New York. Tarigan, S. 2001. Identifikasi Peluang Kontrak Berjangka Karet Alam di Bursa Berjangka Komoditi Indonesia. Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial EkonomiPertanian Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. _________Fokus Pembangunan Perkebunan Tahun 2007 (akses tanggal 23 Desember 2007) www.ditjenbun.deptan.go.id.

126

LAMPIRAN

Lampiran 1. Keterangan Notasi Variabel Data Orisinil


LINDO (lindo) LTHAI (lthai) LMAL (lmal) LIND (lind) LSIN (lsin) LJPN (ljpn) LUK (luk) LUSA (lusa) LSIR20 (lsir20) LSTR20 (lstr20)) LSMR20 (lsmr20) LISNR20 (lisnr20) = Harga Karet RSS di Indonesia = Harga Karet RSS di Bangkok (Thailand) = Harga Karet RSS di Kuala Lumpur (Malaysia) = Harga Karet RSS di Singapura = Harga Karet RSS di Kottayam (India) = Harga Karet RSS di Tokyo (Jepang) = Harga Karet RSS di London (UK) = Harga Karet RSS di New York (US) = Harga Karet TSR20 di Indonesia = Harga Karet TSR20 di Bangkok (Thailand) = Harga Karet TSR20 di Kuala Lumpur (Malaysia) = Harga Karet TSR20 di Kottayam (India)

LTSR20_UK (ltsr20_uk) = Harga Karet TSR20 di London (UK) LTSR20_US (ltsr20_us) SBR (sbr) X_Rate (x_rate) = Harga Karet TSR20 di New York (US) = Harga Karet Sintetik dunia = Nilai Tukar Rupiah

Data Terkonversi Rupiah


HKA_INDO (hka_indo) HKA_THAI (hka_thai ) HKA_MAL (hka_mal ) HKA_SIN (hka_sin) HKA_IN (hka_in) HKA_JPN (hka_jpn ) HKA_UK (hka_uk ) HKA_US (hka_us ) SIR20 (sir20 ) STR20 (str20 ) SMR20 (smr20) ISNR20 (isnr20 ) TSR20_UK (tsr20_uk ) TSR20_US (tsr20_us ) = = = = = = = = = = = = = = Harga Karet RSS di Indonesia Harga Karet RSS di Bangkok (Thailand) Harga Karet RSS di Kuala Lumpur (Malaysia) Harga Karet RSS di Singapura Harga Karet RSS di Kottayam (India) Harga Karet RSS di Tokyo (Jepang) Harga Karet RSS di London (UK) Harga Karet RSS di New York (USA) Harga Karet TSR20 di Indonesia Harga Karet TSR20 di Bangkok (Thailand) Harga Karet TSR20 di Kuala Lumpur (Malaysia) Harga Karet TSR20 di Kottayam (India) Harga Karet TSR20 di London (UK) Harga Karet TSR20 di New York (USA)

127

Lampiran 2. Grafik Perkembangan Harga Karet RSS (Konversi Rupiah)


Indonesia
25,000
25,000

Bangkok (Thailand)

Harga (Rp. 000/Ton)

Harga (Rp. 000/Ton)

20,000

20,000

15,000

15,000

10,000

10,000

5,000

5,000

0
Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07

0
Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07

Tahun

Tahun

Kuala Lumpur (Malaysia)


30,000 25,000 20,000 15,000 10,000 5,000 0
Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07

Kottayam (India)
30,000 25,000 20,000 15,000 10,000 5,000 0
Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07

Harga (Rp. 000/Ton)

Tahun

Harga (Rp. 000/Ton)

Tahun

Singapura
30,000 25,000 20,000 15,000 10,000 5,000 0 Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07

Tokyo (Japan)
30,000 25,000 20,000 15,000 10,000 5,000 0
Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07

Harga (Rp. 000/Ton)

Tahun

Harga (Rp. 000/Ton)

Tahun

London
30,000

New York
30,000

Harga (Rp. 000/Ton)

Harga (Rp. 000/Ton)

25,000 20,000 15,000 10,000 5,000 0


Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07

25,000 20,000 15,000 10,000 5,000 0


Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07

Tahun

Tahun

128

Lampiran 3. Grafik Perkembangan Harga Karet TSR20 (Konversi Rupiah)

Indonesia
25,000
25,000

Bangkok (Thailand)

Harga (Rp. 000/Ton)

Harga (Rp. 000/Ton)

20,000

20,000

15,000

15,000

10,000

10,000

5,000

5,000

0
Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07

0
Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07

Tahun

Tahun

Kuala Lumpur (Malaysia)


25,000
25,000

Kottayam (India)

Harga (Rp. 000/Ton)

Harga (Rp. 000/Ton)

20,000

20,000

15,000

15,000

10,000

10,000

5,000

5,000

0
Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07

0
Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07

Tahun

Tahun

London
25,000

New York
30,000 25,000 20,000 15,000 10,000 5,000 0
Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07

Harga (Rp. 000/Ton)

15,000

10,000

5,000

0
Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan- Jan90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07

Harga (Rp. 000/Ton)

20,000

Tahun

Tahun

129

Lampiran 4. Pemilihan Lag Optimal Seri Harga Karet RSS


VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: LINDO LTHAI LMAL LIND LSIN LJPN LUK LUSA Exogenous variables: C Date: 06/12/07 Time: 05:00 Sample: 1990:01 2007:12 Included observations: 204 Lag 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 LogL 1213.063 2872.087 2961.665 2995.827 3041.627 3079.645 3125.603 3176.016 3218.486 3264.256 3317.881 3373.803 3418.595 LR NA 3171.665 164.2255* 59.95055 76.78238 60.75494 69.83814 72.65446 57.87523 58.78326 64.66498 63.04943 46.98788 FPE 1.02E-15 1.65E-22 1.29E-22* 1.74E-22 2.11E-22 2.78E-22 3.42E-22 4.09E-22 5.38E-22 6.97E-22 8.57E-22 1.06E-21 1.51E-21 AIC -11.81434 -27.45184 -27.70260* -27.41006 -27.23163 -26.97691 -26.80003 -26.66683 -26.45574 -26.27702 -26.17530 -26.09611 -25.90779 SC -11.68422 -26.28074* -25.49052 -24.15701 -22.93760 -21.64190 -20.42403 -19.24985 -17.99779 -16.77809 -15.63539 -14.51522 -13.28593 HQ -11.76170 -26.97810* -26.80777 -26.09414 -25.49462 -24.81880 -24.22082 -23.66653 -23.03435 -22.43453 -21.91172 -21.41143 -20.80202

* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion

130

Lampiran 5. Estimasi VAR dengan Lag 2 Seri Harga Karet RSS


Vector Autoregression Estimates Date: 06/12/07 Time: 01:24 Sample(adjusted): 1990:03 2007:12 Included observations: 214 after adjusting endpoints Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] LINDO LTHAI LMAL LINDO(-1) 0.455784 0.016041 0.038354 (0.07038) (0.04392) (0.07580) [ 6.47597] [ 0.36527] [ 0.50599] LINDO(-2) 0.159519 -0.056019 -0.071284 (0.06228) (0.03886) (0.06708) [ 2.56118] [-1.44143] [-1.06268] LTHAI(-1) 0.167722 1.033828 -0.002200 (0.10501) (0.06553) (0.11310) [ 1.59714] [ 15.7773] [-0.01945] LTHAI(-2) -0.201526 -0.161319 0.049229 (0.09848) (0.06145) (0.10606) [-2.04641] [-2.62529] [ 0.46416] LMAL(-1) 0.060890 0.085913 0.473518 (0.17971) (0.11213) (0.19354) [ 0.33883] [ 0.76617] [ 2.44656] LMAL(-2) -0.052580 -0.045553 0.404615 (0.16506) (0.10300) (0.17777) [-0.31855] [-0.44227] [ 2.27600] LIND(-1) -0.013752 0.048736 0.032640 (0.03855) (0.02406) (0.04152) [-0.35670] [ 2.02587] [ 0.78608] LIND(-2) -0.001596 0.000273 -0.000391 (0.03861) (0.02409) (0.04158) [-0.04134] [ 0.01134] [-0.00941] LSIN(-1) 0.181539 0.488865 1.013040 (0.18814) (0.11739) (0.20262) [ 0.96493] [ 4.16434] [ 4.99963] LSIN(-2) -0.074525 -0.407052 -0.839597 (0.18940) (0.11818) (0.20398) [-0.39348] [-3.44436] [-4.11608] LJPN(-1) -0.037339 -0.018824 -0.060567 (0.06849) (0.04274) (0.07377) [-0.54516] [-0.44045] [-0.82107] LJPN(-2) 0.021684 -0.025087 -0.022157 (0.06879) (0.04292) (0.07408) [ 0.31524] [-0.58450] [-0.29909] LUK(-1) -0.005582 -0.048255 -0.204749 (0.08688) (0.05421) (0.09357) [-0.06425] [-0.89013] [-2.18820] LUK(-2) 0.015035 0.023999 0.143132 (0.08828) (0.05508) (0.09508) [ 0.17031] [ 0.43568] [ 1.50546] LUSA(-1) 0.236279 0.017756 0.019414 (0.17964) (0.11209) (0.19347) [ 1.31529] [ 0.15841] [ 0.10035] LUSA(-2) 0.120066 0.047172 0.020694 (0.17658) (0.11018) (0.19017) [ 0.67997] [ 0.42813] [ 0.10882] C -0.113388 0.346490 0.185791 (0.26387) (0.16465) (0.28419) [-0.42971] [ 2.10438] [ 0.65375] R-squared 0.982884 0.994164 0.983929 Adj. R-squared 0.981494 0.993690 0.982624 Sum sq. resids 0.523471 0.203814 0.607190 S.E. equation 0.051548 0.032165 0.055517 F-statistic 707.0480 2097.385 753.8194 Log likelihood 339.7650 440.6954 323.8904 Akaike AIC -3.016495 -3.959770 -2.868135 Schwarz SC -2.749104 -3.692379 -2.600744 Mean dependent 6.866365 10.31343 8.101762 S.D. dependent 0.378928 0.404915 0.421164 Determinant Residual Covariance 5.95E-23 Log Likelihood (d.f. adjusted) 3046.595 Akaike Information Criteria -27.20182 Schwarz Criteria -25.06270

LIND -0.165698 (0.12943) [-1.28023] 0.093231 (0.11454) [ 0.81398] -0.113402 (0.19312) [-0.58722] 0.382366 (0.18110) [ 2.11139] -0.044579 (0.33047) [-0.13489] 0.159263 (0.30355) [ 0.52467] 0.923713 (0.07090) [ 13.0285] -0.185389 (0.07100) [-2.61126] 0.119578 (0.34598) [ 0.34563] -0.521002 (0.34829) [-1.49587] 0.168119 (0.12595) [ 1.33476] -0.069778 (0.12649) [-0.55163] -0.131528 (0.15977) [-0.82324] 0.248941 (0.16234) [ 1.53345] 0.233008 (0.33035) [ 0.70533] -0.092606 (0.32472) [-0.28519] -0.343205 (0.48526) [-0.70727] 0.957543 0.954095 1.770271 0.094795 277.6901 209.3954 -1.798088 -1.530697 10.63640 0.442444

LSIN 0.094490 (0.07735) [ 1.22152] -0.094728 (0.06845) [-1.38382] -0.071046 (0.11542) [-0.61555] 0.030772 (0.10823) [ 0.28431] -0.374992 (0.19751) [-1.89858] 0.407400 (0.18142) [ 2.24563] 0.038333 (0.04237) [ 0.90463] -0.025818 (0.04243) [-0.60846] 1.723150 (0.20678) [ 8.33339] -0.648327 (0.20816) [-3.11454] -0.027283 (0.07528) [-0.36244] -0.039267 (0.07560) [-0.51940] -0.205578 (0.09549) [-2.15291] 0.158874 (0.09702) [ 1.63746] 0.058424 (0.19744) [ 0.29591] -0.043727 (0.19407) [-0.22531] 0.446478 (0.29002) [ 1.53948] 0.978091 0.976312 0.632340 0.056656 549.6823 319.5477 -2.827549 -2.560158 7.424990 0.368111

LJPN -0.050549 (0.11085) [-0.45600] -0.004882 (0.09810) [-0.04977] -0.193267 (0.16540) [-1.16846] 0.159504 (0.15511) [ 1.02833] -0.500798 (0.28305) [-1.76929] 0.489628 (0.25999) [ 1.88327] 0.028728 (0.06073) [ 0.47309] -0.008722 (0.06081) [-0.14344] 1.142319 (0.29633) [ 3.85492] -0.834935 (0.29831) [-2.79886] 0.644624 (0.10788) [ 5.97543] 0.063979 (0.10834) [ 0.59053] -0.077766 (0.13684) [-0.56829] -0.037716 (0.13904) [-0.27126] 0.011742 (0.28295) [ 0.04150] 0.148114 (0.27812) [ 0.53255] 1.352326 (0.41562) [ 3.25376] 0.955116 0.951471 1.298648 0.081192 262.0067 242.5450 -2.107897 -1.840506 11.70214 0.368562

LUK 0.097985 (0.08992) [ 1.08964] -0.109705 (0.07958) [-1.37857] -0.113157 (0.13417) [-0.84336] 0.079246 (0.12582) [ 0.62982] -0.524666 (0.22961) [-2.28504] 0.516824 (0.21090) [ 2.45056] -0.004136 (0.04926) [-0.08396] 0.018289 (0.04933) [ 0.37077] 0.974929 (0.24038) [ 4.05580] -0.818938 (0.24199) [-3.38420] -0.110483 (0.08751) [-1.26250] -0.004011 (0.08789) [-0.04564] 0.885363 (0.11101) [ 7.97584] -0.036654 (0.11279) [-0.32497] 0.058937 (0.22952) [ 0.25678] 0.064042 (0.22561) [ 0.28386] 0.636133 (0.33715) [ 1.88680] 0.963495 0.960530 0.854558 0.065862 324.9655 287.3239 -2.526392 -2.259001 6.481000 0.331514

LUSA 0.078098 (0.06272) [ 1.24518] -0.030199 (0.05550) [-0.54408] -0.098084 (0.09358) [-1.04809] 0.037526 (0.08776) [ 0.42761] -0.225942 (0.16015) [-1.41084] 0.269419 (0.14710) [ 1.83156] 0.015096 (0.03436) [ 0.43939] -0.001714 (0.03440) [-0.04981] 0.727414 (0.16766) [ 4.33865] -0.581182 (0.16878) [-3.44339] -0.025082 (0.06104) [-0.41093] -0.010807 (0.06130) [-0.17630] -0.124555 (0.07742) [-1.60874] 0.131548 (0.07867) [ 1.67216] 0.944104 (0.16009) [ 5.89740] -0.111654 (0.15736) [-0.70956] 0.283997 (0.23515) [ 1.20771] 0.984885 0.983658 0.415721 0.045938 802.2938 364.4248 -3.246961 -2.979570 7.102679 0.359345

131

Lampiran 6. Normalisasi Persamaan Kointegrasi Karet RSS


2 Cointegrating Equation(s): Log likelihood 3089.407 Normalized cointegrating coefficients (std.err. in parentheses) LINDO LTHAI LMAL LIND LSIN LJPN 1.000000 0.000000 -0.153819 0.174852 -0.017105 0.123513 (0.11722) (0.06056) (0.22359) (0.12029) 0.000000 1.000000 -0.985253 -0.085923 -0.280395 -0.068758 (0.12483) (0.06449) (0.23810) (0.12810) Adjustment coefficients (std.err. in parentheses) D(LINDO) -0.339084 -0.087050 (0.05935) (0.05877) D(LTHAI) -0.006872 -0.081196 (0.03711) (0.03675) D(LMAL) -0.050154 0.034320 (0.06309) (0.06247) D(LIND) -0.320222 0.241845 (0.11201) (0.11092) D(LSIN) -0.069276 -0.028918 (0.06334) (0.06272) D(LJPN) -0.171459 -0.023015 (0.09467) (0.09375) D(LUK) -0.114750 0.023094 (0.07531) (0.07457) D(LUSA) -0.010438 -0.106627 (0.05176) (0.05126)

LUK 0.049621 (0.10208) -0.310122 (0.10870)

LUSA -1.224185 (0.17456) 0.721392 (0.18590)

132

Lampiran 7. Hasil Output Estimasi VECM Seri Harga Karet RSS


Vector Error Correction Estimates Date: 06/14/07 Time: 07:01 Sample(adjusted): 1990:04 2007:12 Included observations: 213 after adjusting endpoints Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]
Cointegrating LINDO(-1) CointEq1 1.000000 CointEq2 0.000000

LTHAI(-1) LMAL(-1)

0.000000 -0.144790 (0.11704) [-1.23711] 0.171502 (0.06046) [ 2.83645] -0.037699 (0.22324) [-0.16887] 0.130462 (0.12011) [ 1.08624] 0.051717 (0.10192) [ 0.50744] -1.219253 (0.17429) [-6.99541] -0.452163 (0.54830) [-0.82466]

1.000000 -0.998450 (0.12467) [-8.00883] -0.080973 (0.06440) [-1.25724] -0.250571 (0.23779) [-1.05374] -0.078912 (0.12793) [-0.61681] -0.313291 (0.10856) [-2.88585] 0.714474 (0.18565) [ 3.84840] -1.623365 (0.58405) [-2.77952] D(LMAL)
-0.059246 (0.06326) [-0.93655]

LIND(-1)

LSIN(-1)

LJPN(-1)

LUK(-1)

LUSA(-1)

Error Correction:
CointEq1

D(LINDO) D(LTHAI)
-0.339137 (0.05930) [-5.71898] -0.010467 (0.03718) [-0.28155]

D(LIND)
-0.327067 (0.11215) [-2.91625]

D(LSIN)
-0.074204 (0.06337) [-1.17093]

D(LJPN)
-0.180693 (0.09469) [-1.90832]

D(LUK)
-0.121539 (0.07534) [-1.61319]

D(LUSA)
-0.017320 (0.05194) [-0.33348]

CointEq2

-0.087115 (0.05862) [-1.48618] -0.190854 (0.07107) [-2.68542] -0.043927 (0.06300) [-0.69726]

-0.076852 (0.03675) [-2.09133] 0.036439 (0.04456) [ 0.81783] 0.005749 (0.03950) [ 0.14557]

0.044938 (0.06253) [ 0.71864] 0.104846 (0.07582) [ 1.38289] -5.94E-05 (0.06721) [-0.00088]

0.249097 (0.11086) [ 2.24695] 0.136148 (0.13441) [ 1.01290] 0.172560 (0.11915) [ 1.44828]

-0.023142 (0.06264) [-0.36943] 0.166419 (0.07595) [ 2.19115] -0.003864 (0.06732) [-0.05740]

-0.012207 (0.09359) [-0.13042] 0.063858 (0.11348) [ 0.56272] -0.098589 (0.10059) [-0.98009]

0.030956 (0.07447) [ 0.41568] 0.202622 (0.09029) [ 2.24401] -0.002572 (0.08004) [-0.03213]

-0.098398 (0.05134) [-1.91663] 0.080867 (0.06225) [ 1.29914] -0.013602 (0.05518) [-0.24652]

D(LINDO(-1))

D(LINDO(-2))

133

Lampiran 7 (lanjutan).
D(LTHAI(-1)) 0.330679 (0.12314) [ 2.68536] 0.080318 (0.10215) [ 0.78625] 0.028035 (0.17099) [ 0.16395] 0.035302 (0.16861) [ 0.20937] 0.030255 (0.03758) [ 0.80499] 0.039913 (0.03731) [ 1.06983] 0.051957 (0.19750) [ 0.26307] -0.127575 (0.20060) [-0.63598] -0.025535 (0.06774) [-0.37694] -0.021222 (0.06683) [-0.31755] -0.016844 (0.08731) [-0.19293] 0.044732 (0.08869) [ 0.50439] -0.066059 (0.18025) [-0.36648] -0.108185 (0.17919) [-0.60375] 0.153847 (0.07720) [ 1.99284] -0.035796 (0.06404) [-0.55894] 0.087536 (0.10720) [ 0.81657] 0.202120 (0.10571) [ 1.91211] 0.021371 (0.02356) [ 0.90701] 0.041135 (0.02339) [ 1.75872] 0.397061 (0.12382) [ 3.20687] -0.090696 (0.12576) [-0.72120] 0.003696 (0.04247) [ 0.08704] -0.013594 (0.04190) [-0.32446] -0.037027 (0.05473) [-0.67648] -0.111718 (0.05560) [-2.00936] -0.013936 (0.11300) [-0.12332] 0.013723 (0.11234) [ 0.12216] 0.025303 (0.13137) [ 0.19261] -0.079529 (0.10898) [-0.72978] -0.346795 (0.18241) [-1.90115] 0.346177 (0.17987) [ 1.92458] 0.015810 (0.04009) [ 0.39432] 0.051898 (0.03980) [ 1.30399] 0.834954 (0.21069) [ 3.96298] -0.407723 (0.21399) [-1.90532] -0.004707 (0.07227) [-0.06514] 0.102084 (0.07130) [ 1.43184] -0.149262 (0.09314) [-1.60261] 0.000710 (0.09461) [ 0.00750] -0.052427 (0.19229) [-0.27265] -0.221461 (0.19116) [-1.15854] -0.461840 (0.23289) [-1.98304] -0.227974 (0.19320) [-1.17998] -0.138217 (0.32340) [-0.42739] -0.181051 (0.31889) [-0.56775] 0.106545 (0.07108) [ 1.49888] -0.119270 (0.07056) [-1.69033] 0.375652 (0.37353) [ 1.00569] -0.033693 (0.37938) [-0.08881] 0.144952 (0.12812) [ 1.13136] 0.017956 (0.12640) [ 0.14206] -0.156261 (0.16512) [-0.94634] 0.415306 (0.16773) [ 2.47605] -0.035467 (0.34091) [-0.10404] -0.184143 (0.33890) [-0.54336] 0.048187 (0.13160) [ 0.36618] -0.179500 (0.10917) [-1.64426] -0.326316 (0.18273) [-1.78574] 0.408252 (0.18019) [ 2.26570] 0.019705 (0.04017) [ 0.49060] 0.047228 (0.03987) [ 1.18456] 0.576350 (0.21106) [ 2.73075] -0.538252 (0.21437) [-2.51087] 0.026665 (0.07240) [ 0.36833] 0.140968 (0.07142) [ 1.97377] -0.154897 (0.09330) [-1.66018] -0.035963 (0.09477) [-0.37946] 0.003859 (0.19263) [ 0.02004] -0.179869 (0.19149) [-0.93930] -0.050879 (0.19662) [-0.25876] -0.030105 (0.16311) [-0.18457] -0.492524 (0.27303) [-1.80391] 0.288616 (0.26923) [ 1.07202] 0.015106 (0.06001) [ 0.25172] 0.075100 (0.05957) [ 1.26068] 0.929644 (0.31535) [ 2.94795] -0.243705 (0.32030) [-0.76087] -0.220605 (0.10817) [-2.03946] 0.069339 (0.10671) [ 0.64977] 0.005998 (0.13940) [ 0.04302] -0.022335 (0.14161) [-0.15772] -0.142170 (0.28781) [-0.49397] -0.499298 (0.28612) [-1.74509] -0.028926 (0.15645) [-0.18489] -0.246382 (0.12979) [-1.89837] -0.480923 (0.21725) [-2.21372] 0.288373 (0.21422) [ 1.34615] -0.025013 (0.04775) [-0.52382] 0.073218 (0.04740) [ 1.54470] 0.826388 (0.25092) [ 3.29342] -0.216534 (0.25486) [-0.84963] -0.040820 (0.08607) [-0.47428] 0.067442 (0.08491) [ 0.79428] 0.009337 (0.11092) [ 0.08418] -0.192091 (0.11267) [-1.70483] -0.104256 (0.22901) [-0.45525] -0.123521 (0.22766) [-0.54257] 0.055358 (0.10785) [ 0.51328] -0.012253 (0.08947) [-0.13695] -0.240660 (0.14976) [-1.60693] 0.229305 (0.14768) [ 1.55275] 0.001664 (0.03292) [ 0.05055] 0.035172 (0.03268) [ 1.07639] 0.523967 (0.17298) [ 3.02911] -0.352883 (0.17569) [-2.00856] 8.66E-05 (0.05933) [ 0.00146] 0.114771 (0.05853) [ 1.96075] -0.121383 (0.07647) [-1.58740] 0.023759 (0.07767) [ 0.30588] 0.095986 (0.15787) [ 0.60800] -0.265223 (0.15694) [-1.68996]

D(LTHAI(-2))

D(LMAL(-1))

D(LMAL(-2))

D(LIND(-1))

D(LIND(-2))

D(LSIN(-1))

D(LSIN(-2))

D(LJPN(-1))

D(LJPN(-2))

D(LUK(-1))

D(LUK(-2))

D(LUSA(-1))

D(LUSA(-2))

134

Lampiran 7 (lanjutan).
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent 0.451278 0.403441 0.527080 0.051990 9.433608 336.9467 -2.994805 -2.710752 0.004668 0.067312 0.575778 0.538794 0.207157 0.032594 15.56850 436.4043 -3.928679 -3.644626 0.005855 0.047994
7.20E-23 3087.233 3012.008 -26.76064 -24.20416

0.185373 0.114354 0.599829 0.055462 2.610191 323.1770 -2.865512 -2.581459 0.006053 0.058934

0.139244 0.064204 1.885332 0.098328 1.855588 201.2116 -1.720297 -1.436244 0.006630 0.101645

0.166636 0.093984 0.601945 0.055560 2.293610 322.8019 -2.861990 -2.577937 0.003895 0.058370

0.124556 0.048236 1.343817 0.083014 1.632011 237.2715 -2.058887 -1.774834 0.003917 0.085092

0.166659 0.094008 0.850788 0.066053 2.293986 285.9533 -2.515994 -2.231941 0.004048 0.069395

0.246856 0.181197 0.404320 0.045535 3.759683 365.1846 -3.259949 -2.975896 0.004656 0.050322

Determinant Residual Log Likelihood Log Likelihood (d.f. adjusted) Akaike Information Criteria Schwarz Criteria

135

Lampiran 8. Hasil pengujian unit root, estimasi VAR, uji kointegrasi, persamaan kointegrasi dan estimasi VECM seri harga karet RSS yang telah terkoversi Rupiah A. Uji Unit Root
Pasar Karet Alam
Indonesia Bangkok Kuala Lumpur Singapura Kottayam (India) Japan London New York Indonesia Bangkok Kuala Lumpur Singapura Kottayam (India) Japan London New York

Variabel Pada Level Variabel Pada first difference Jumlah Laga ADF Testb Jumlah Laga ADF Testb Konstanta tanpa Tren 10 -0.199 12 -5.449** 9 -0.221 8 -5.540** 2 -0.396 1 -11.032** 9 -0.225 8 -5.312** 3 -0.238 2 -11.342** 2 -0.684 1 -12.060** 9 -0.238 12 -5.452** 2 -0.394 12 -5.432** Konstanta dengan Tren
11 9 9 9 3 8 10 8 -3.915* -3.477** -3.827* -3.850* -2.805 -4.580** -4.749** -4.767** 12 8 1 8 2 1 12 12 -5.468** -5.552** -11.020** -5.329** -11.340** -12.032** -5.462** -5.441**

a) Jumlah Lag optimal dipilih berdasarkan nilai AIC (Akaike Info Criterion) minimum b) Test ADF dibandingkan dengan nilai mutlak tabel MacKinnon (1996), ** dan * adalah tolak hipotesis nol (adanya unit root) pada taraf nyata 1% dan 5%

B. Estimasi VAR
HKA INDO(-1) HKA_INDO HKA_THAI HKA_MAL HKA_SIN HKA_IN HKA_JPN HKA_UK -0.4235 [-2.37569] -0.4003 [-2.54865] HKA_US -0.3519 [-2.40678] 0.5647 [ 2.38546] 0.528 [ 2.39562] 0.0815 [ 2.33348] 0.538 [ 5.50013] 0.3849 [ 3.00348] -0.3531 [-2.36809] -0.3094 [-2.01918] 0.5722 [ 2.96223] 0.8161 [ 3.63138] 1.3221 [ 5.72410] 0.866 [ 19.6233] 0.4502 [ 3.72667] 0.5872 [ 5.54026] -0.2077 [-2.10464] 0.8937 [ 5.59204] -0.171 [-1.97773] -0.2254 [-2.24034] -0.218 [-2.10814] HKA THAI(-1) HKA MAL(-1) HKA SIN(-1) HKA IN(-1) HKA JPN(-1) HKA UK(-1) HKA US(-1)

Ket :

Hasil analisis VAR berdasarkan satu lag (AIC dan SC minimum) [..] merupakan t-statistik dan signifikan pada taraf nyata 5%

136

Lampiran 8 (lanjutan). C. Uji Kointegrasi untuk Sistem Persamaan Integrasi Spasial Pasar Karet RSS
Hypothesized No. of CE(s) None ** At most 1 ** At most 2 ** At most 3 ** At most 4 ** At most 5 * At most 6 At most 7 Hypothesized No. of CE(s) None ** At most 1 ** At most 2 ** At most 3 ** At most 4 At most 5 * At most 6 At most 7 0.288429 0.269925 0.193125 0.181116 0.118245 0.09621 0.044656 0.000845 Eigenvalue Trace Statistic 287.3625 214.5426 147.2164 101.2949 58.5349 31.60493 9.957153 0.180813 Max-Eigen Statistic 72.81992 67.32618 45.92146 42.76003 26.92997 21.64778 9.77634 0.180813 5 Percent Critical Value 51.42 45.28 39.37 33.46 27.07 20.97 14.07 3.76 5 Percent Critical Value 156 124.24 94.15 68.52 47.21 29.68 15.41 3.76 1 Percent Critical Value 57.69 51.57 45.1 38.77 32.24 25.52 18.63 6.65 1 Percent Critical Value 168.36 133.57 103.18 76.07 54.46 35.65 20.04 6.65

0.288429 0.269925 0.193125 0.181116 0.118245 0.09621 0.044656 0.000845

Eigenvalue

*(**) Notasi penolakan hipotesis pada taraf nyata 5% (1%) Uji Trace mengindikasikan 6 dan 5 persamaan kointegrasi pada taraf nyata 5% dan 1% Uji Max-eigenvalue mengindikasikan 4 persamaan kointegrasi pada taraf nyata 5% dan 1%

D. Sistem Persamaan Hubungan Jangka Panjang Pasar Karet RSS


HKA_INDO = 0.647 HKA_SIN - 0.736 HKA_JPN + 0.256 HKA_UK + 0.824 HKA_US [2.718]** [-3.896]** [1.312]ts [3.577]** HKA_THAI = 0.972 HKA_SIN - 0.546 HKA_JPN - 0.096 HKA_UK + 0.653 HKA_US [6.847]** [-4.841]** [-0.825]ts [4.747]** HKA_MAL = 0.833 HKA_SIN + 0.025 HKA_JPN - 0.089 HKA_UK + 0.239 HKA_US [12.889]** [0.483]ts [-1.669]ts [3.822]** HKA_IN = 0.472 HKA_SIN - 3.052 HKA_JPN - 0.655 HKA_UK + 4.323 HKA_US [0.786]ts [-6.395]** [-1.328]ts [7.426]** (1)

(2)

(3)

(4)

Ket: [....] merupakan t-value; ** = signifikan pada taraf nyata 1% ts = tidak signifikan

137

Lampiran 8 (lanjutan). D. Estimasi VECM Persamaan Integrasi Pasar Spasial Karet RSS
Error Correction: CointEq1 D(HKA_INDO) D(HKA_THAI) D(HKA_MAL) D(HKA_IN) D(HKA_SIN) -0.285 0.153 0.181 -0.010 0.173 [ 1.56887] [ 1.60180] [-0.07077] [ 1.49277] [-2.49096]** -0.017 -0.683 -0.381 0.120 -0.383 CointEq2 [-0.09764] [ 0.56047] [-4.47878]** [-2.15108]** [-2.10692]** -0.272 0.147 -0.287 0.650 0.238 CointEq3 [-0.94178] [ 0.59447] [-1.00417] [ 0.81115] [ 1.87173]* 0.047 0.048 0.007 -0.165 -0.001 CointEq4 [ 1.57903] [ 0.22346] [-4.62530]** [-0.04919] [ 1.89006]* -0.158 -0.007 0.029 -0.109 0.073 D(HKA_INDO(-1)) [-1.42956] [-0.07536] [ 0.26982] [-0.82202] [ 0.65322] 0.393 0.176 0.086 -0.146 0.063 D(HKA_THAI(-1)) [ 1.12146] [ 0.46935] [-0.65808] [ 0.33838] [ 2.13178]** 0.188 -0.118 -0.423 -0.467 -0.437 D(HKA_MAL(-1)) [ 0.66937] [-0.49110] [-1.52343] [-1.38416] [-1.53399] 0.119 0.110 0.130 0.224 0.165 D(HKA_IN(-1)) [ 1.86999]* [ 2.02772]** [ 2.06026]** [ 2.92916]** [ 2.55586]** 0.023 0.107 0.581 0.702 0.489 D(HKA_SIN(-1)) [ 0.07562] [ 0.41254] [ 1.57865] [ 1.92699]* [ 1.91743]* -0.007 0.094 0.075 0.215 0.055 D(HKA_JPN(-1)) [-0.06113] [ 0.96348] [ 0.66850] [ 1.56668] [ 0.47326] -0.396 -0.148 -0.263 -0.312 -0.297 D(HKA_UK(-1)) [-1.11520] [-2.54744]** [-1.71164]* [-1.67269]* [-1.88302]* 0.002 -0.028 -0.032 -0.135 0.061 D(HKA_US(-1)) [ 0.00572] [-0.12102] [-0.11909] [-0.41545] [ 0.22077] 0.010 0.010 0.011 0.011 0.011 C [ 1.47577] [ 1.67637]* [ 1.89829]* [ 1.73467]* [ 1.72338]* CointEq1... CointEq4 = ECT= Error Correction Term,D = Operator Diffrensiasi pertama, (-1) = lag 1 [...] adalah t-statistik, serta ** dan * adalah hipotesis nol ditolak pada tingkat nyata 1% dan 5% D(HKA_JPN) 0.054 [ 0.39223] -0.402 [-1.87468]* 0.486 [ 1.40325] -0.077 [-2.15714]** 0.159 [ 1.20318] -0.081 [-0.36743] -0.539 [-1.60207] 0.165 [ 2.16381]** 0.973 [ 2.66338]** -0.098 [-0.71299] -0.257 [-1.37810] -0.150 [-0.46065] 0.011 [ 1.44591] D(HKA_UK) 0.265 [ 2.17959]** -0.557 [-2.93048]** 0.119 [ 0.38629] -0.013 [-0.40150] 0.027 [ 0.23001] 0.144 [ 0.73338] -0.450 [-1.50811] 0.149 [ 2.20163]** 0.571 [ 1.76467]* 0.100 [ 0.82067] -0.274 [-1.66011]* -0.104 [-0.36063] 0.011 [ 1.65198] D(HKA_US) 0.186 [ 1.66919]* -0.421 [-2.40755]** 0.084 [ 0.29581] 0.029 [ 0.98265] 0.009 [ 0.08327] 0.064 [ 0.35805] -0.299 [-1.09135] 0.145 [ 2.32277]** 0.593 [ 1.99362]** -0.005 [-0.04839] -0.326 [-2.14579]** -0.058 [-0.21847] 0.011 [ 1.81769]*

138

Lampiran 9. Pemilihan Lag Optimal Seri Harga Karet TSR20


VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: LSIR20 LSTR20 LSMR20 LISNR20 LTSR20_UK LTSR20_US Exogenous variables: C Date: 06/12/07 Time: 06:32 Sample: 1990:01 2007:12 Included observations: 204 Lag 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 LogL 644.1487 2028.094 2066.919 2089.360 2121.740 2134.653 2151.498 2192.577 2208.359 2230.599 2256.355 2286.142 2302.190 LR NA 2672.914 72.70263 40.70166 56.82395 21.90014 27.57992 64.84102* 23.98157 32.48792 36.10878 40.00881 20.61090 FPE 7.73E-11 1.41E-16 1.37E-16* 1.57E-16 1.63E-16 2.06E-16 2.51E-16 2.43E-16 3.01E-16 3.54E-16 4.03E-16 4.45E-16 5.68E-16 AIC -6.256360 -19.47151 -19.49921* -19.36628 -19.33079 -19.10444 -18.91665 -18.96644 -18.76822 -18.63332 -18.53289 -18.47198 -18.27638 SC -6.158768 -18.78837* -18.23052 -17.51203 -16.89100 -16.07909 -15.30575 -14.77000 -13.98623 -13.26577 -12.57979 -11.93334 -11.15218 HQ -6.216882 -19.19517* -18.98600 -18.61620 -18.34385 -17.88063 -17.45597 -17.26891 -16.83382 -16.46205 -16.12475 -15.82698 -15.39451

* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion

139

Lampiran 10. Estimasi VAR dengan Lag 2 Seri Harga Karet TSR20
Vector Autoregression Estimates Date: 06/12/07 Time: 06:27 Sample(adjusted): 1990:03 2007:12 Included observations: 214 after adjusting endpoints Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] LSIR20 LSIR20(-1) 0.270873 (0.06923) [ 3.91283] 0.015968 (0.05050) [ 0.31621] 0.089497 (0.08057) [ 1.11082] -0.089425 (0.07794) [-1.14730] -0.105937 (0.07775) [-1.36252] 0.070339 (0.07583) [ 0.92756] 0.039713 (0.02767) [ 1.43548] -0.038013 (0.02779) [-1.36790] 0.116905 (0.10529) [ 1.11032] -0.035153 (0.10495) [-0.33496] 0.355104 (0.10968) [ 3.23777] 0.362422 (0.11921) [ 3.04029] -0.414574 (0.07914) [-5.23844] 0.989842 0.989236 0.341667 0.041229 1632.256 385.4161 -3.480524 -3.276049 6.813973 0.397388 LSTR20 0.057254 (0.09940) [ 0.57602] 0.046712 (0.07251) [ 0.64426] 1.021515 (0.11568) [ 8.83057] -0.070882 (0.11191) [-0.63338] -0.047841 (0.11163) [-0.42855] 0.118428 (0.10888) [ 1.08770] 0.054295 (0.03972) [ 1.36689] -0.047046 (0.03990) [-1.17909] 0.283549 (0.15117) [ 1.87565] -0.239569 (0.15068) [-1.58988] 0.094134 (0.15747) [ 0.59778] -0.276495 (0.17116) [-1.61546] 0.157182 (0.11363) [ 1.38328] 0.987175 0.986409 0.704350 0.059197 1289.281 308.0080 -2.757084 -2.552609 10.33105 0.507778 8.45E-17 2138.139 -19.25364 -18.02678 LSMR20 -0.014201 (0.10511) [-0.13511] 0.019282 (0.07667) [ 0.25149] 0.044249 (0.12232) [ 0.36173] 0.017365 (0.11834) [ 0.14674] 0.850461 (0.11805) [ 7.20443] 0.033164 (0.11513) [ 0.28805] 0.031076 (0.04200) [ 0.73985] -0.026470 (0.04219) [-0.62737] -0.007425 (0.15986) [-0.04645] -0.081753 (0.15934) [-0.51307] 0.498751 (0.16652) [ 2.99519] -0.388005 (0.18099) [-2.14381] 0.020669 (0.12016) [ 0.17202] 0.979777 0.978570 0.787598 0.062597 811.5135 296.0547 -2.645371 -2.440896 8.031813 0.427602 LISNR20 -0.021154 (0.17502) [-0.12087] 0.121666 (0.12767) [ 0.95295] -0.364070 (0.20370) [-1.78731] 0.398378 (0.19706) [ 2.02159] 0.166886 (0.19657) [ 0.84897] 0.038068 (0.19172) [ 0.19856] 0.935388 (0.06994) [ 13.3732] -0.135360 (0.07026) [-1.92659] 0.309038 (0.26620) [ 1.16093] -0.200244 (0.26534) [-0.75468] 0.087454 (0.27729) [ 0.31539] -0.333639 (0.30139) [-1.10702] 0.437552 (0.20009) [ 2.18679] 0.950182 0.947208 2.183980 0.104238 319.4769 186.9237 -1.625455 -1.420980 10.47744 0.453673 LTSR20_UK -0.070222 (0.09455) [-0.74272] 0.090065 (0.06897) [ 1.30589] -0.041170 (0.11004) [-0.37415] 0.070382 (0.10645) [ 0.66117] -0.067764 (0.10619) [-0.63815] 0.075885 (0.10357) [ 0.73271] -0.002969 (0.03778) [-0.07858] -0.032847 (0.03795) [-0.86544] 1.118490 (0.14380) [ 7.77814] -0.185104 (0.14333) [-1.29142] 0.306910 (0.14979) [ 2.04893] -0.286233 (0.16281) [-1.75811] 0.161542 (0.10809) [ 1.49456] 0.973770 0.972204 0.637306 0.056309 621.8336 318.7106 -2.857108 -2.652633 6.455445 0.337743 LTSR20_US -0.091135 (0.09469) [-0.96243] 0.081868 (0.06907) [ 1.18522] -0.052857 (0.11021) [-0.47962] 0.031504 (0.10661) [ 0.29549] -0.048802 (0.10635) [-0.45887] 0.141219 (0.10373) [ 1.36144] 0.013847 (0.03784) [ 0.36592] -0.034031 (0.03801) [-0.89528] 0.180341 (0.14402) [ 1.25219] -0.107186 (0.14355) [-0.74666] 1.187907 (0.15002) [ 7.91833] -0.297938 (0.16306) [-1.82720] 0.054507 (0.10825) [ 0.50352] 0.979648 0.978433 0.639265 0.056395 806.2584 318.3823 -2.854040 -2.649565 6.995498 0.384012

LSIR20(-2)

LSTR20(-1)

LSTR20(-2)

LSMR20(-1)

LSMR20(-2)

LISNR20(-1)

LISNR20(-2)

LTSR20_UK(-1)

LTSR20_UK(-2)

LTSR20_US(-1)

LTSR20_US(-2)

R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent

Determinant Residual Covariance Log Likelihood (d.f. adjusted) Akaike Information Criteria Schwarz Criteria

140

Lampiran 11. Normalisasi Persamaan Kointegrasi Karet TSR20


3 Cointegrating Equation(s): Log likelihood 2184.74 LTSR20_UK -0.16354 -0.05161 -0.98763 -0.46258 0.574717 -0.25586 LTSR20_US -0.94544 -0.04762 0.998413 -0.42689 -0.84416 -0.23612 Normalized cointegrating coefficients (std.err. in parentheses) LSIR20 LSTR20 LSMR20 LISNR20 1 0 0 0.021173 -0.01458 0 1 0 -1.23782 -0.13072 0 0 1 -0.645049 -0.0723 Adjustment coefficients (std.err. in parentheses) D(LSIR20) -0.69747 0.010621 -0.07542 -0.02303 D(LSTR20) 0.044784 -0.02734 -0.10928 -0.03337 D(LSMR20) -0.20728 0.056347 -0.11393 -0.03479 D(LISNR20) 0.321103 0.036615 -0.18953 -0.05788 D(LTSR20_UK) -0.04847 0.054103 -0.10403 -0.03177 D(LTSR20_US) -0.07682 -0.02329 -0.10419 -0.03182

-0.049101 -0.04197 0.027706 -0.06082 -0.121987 -0.06341 0.247884 -0.10549 -0.05066 -0.0579 0.071433 -0.05799

141

Lampiran 12. Hasil Output Estimasi VECM Seri Harga Karet TSR20
Vector Error Correction Estimates Date: 06/12/07 Time: 05:07 Sample(adjusted): 1990:04 2007:12 Included observations: 213 after adjusting endpoints Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating Eq: LSIR20(-1) LSTR20(-1) LSMR20(-1) LISNR20(-1) CointEq1 1.000000 0.000000 0.000000 0.021173 (0.01466) [ 1.44456] -0.163535 (0.05187) [-3.15294] -0.945435 (0.04786) [-19.7521] 0.633493 D(LSIR20) -0.697470 (0.07580) [-9.20153] 0.010621 (0.02315) [ 0.45888] -0.049101 (0.04219) [-1.16391] -0.033192 (0.05773) [-0.57498] -0.068611 (0.05052) [-1.35798] 0.067802 (0.08070) [ 0.84021] 0.066387 (0.07895) [ 0.84091] -0.059142 (0.07760) [-0.76216] 0.080697 (0.07563) [ 1.06694] 0.040196 (0.02796) [ 1.43738] 0.000809 (0.02790) [ 0.02899] CointEq2 0.000000 1.000000 0.000000 -1.237820 (0.13138) [-9.42143] -0.987626 (0.46492) [-2.12427] 0.998413 (0.42905) [ 2.32704] 2.029571 D(LSTR20) 0.044784 (0.10983) [ 0.40774] -0.027344 (0.03354) [-0.81529] 0.027706 (0.06113) [ 0.45324] -0.023162 (0.08365) [-0.27691] 0.049400 (0.07321) [ 0.67477] 0.062691 (0.11693) [ 0.53615] 0.067895 (0.11439) [ 0.59352] -0.088662 (0.11244) [-0.78854] 0.067079 (0.10959) [ 0.61208] 0.043590 (0.04052) [ 1.07575] 0.010639 (0.04042) [ 0.26320] CointEq3 0.000000 0.000000 1.000000 -0.645049 (0.07267) [-8.87648] 0.574717 (0.25715) [ 2.23491] -0.844158 (0.23731) [-3.55718] 0.922026 D(LSMR20) -0.207283 (0.11451) [-1.81021] 0.056347 (0.03497) [ 1.61148] -0.121987 (0.06373) [-1.91414] 0.074178 (0.08721) [ 0.85060] 0.012212 (0.07633) [ 0.16000] 0.011419 (0.12190) [ 0.09367] 0.149819 (0.11926) [ 1.25621] 0.023267 (0.11722) [ 0.19848] -0.130888 (0.11426) [-1.14555] 0.033886 (0.04225) [ 0.80213] 0.009102 (0.04214) [ 0.21597] D(LISNR20) 0.321103 (0.19049) [ 1.68565] 0.036615 (0.05817) [ 0.62947] 0.247884 (0.10602) [ 2.33810] -0.231950 (0.14508) [-1.59883] -0.096406 (0.12697) [-0.75926] -0.429994 (0.20280) [-2.12030] -0.325429 (0.19840) [-1.64024] -0.059593 (0.19501) [-0.30559] -0.097043 (0.19008) [-0.51055] 0.113431 (0.07028) [ 1.61403] -0.026146 (0.07011) [-0.37292] D(LTSR20_UK) -0.048474 (0.10456) [-0.46359] 0.054103 (0.03193) [ 1.69448] -0.050660 (0.05819) [-0.87055] -0.067684 (0.07963) [-0.84997] 0.015171 (0.06970) [ 0.21768] -0.089355 (0.11132) [-0.80271] -0.012864 (0.10890) [-0.11812] -0.014153 (0.10704) [-0.13222] 0.057020 (0.10433) [ 0.54653] 0.029368 (0.03858) [ 0.76130] 0.022309 (0.03848) [ 0.57969] D(LTSR20_US) -0.076817 (0.10472) [-0.73357] -0.023286 (0.03198) [-0.72821] 0.071433 (0.05828) [ 1.22568] -0.063812 (0.07975) [-0.80015] -0.011666 (0.06980) [-0.16713] -0.045572 (0.11148) [-0.40878] 0.128562 (0.10907) [ 1.17875] -0.107559 (0.10720) [-1.00334] -0.019878 (0.10449) [-0.19024] 0.037243 (0.03863) [ 0.96402] 0.005652 (0.03854) [ 0.14665]

LTSR20_UK(-1)

LTSR20_US(-1)

C Error Correction: CointEq1

CointEq2

CointEq3

D(LSIR20(-1))

D(LSIR20(-2))

D(LSTR20(-1))

D(LSTR20(-2))

D(LSMR20(-1))

D(LSMR20(-2))

D(LISNR20(-1))

D(LISNR20(-2))

142

Lampiran 12 (lanjutan).
D(LTSR20_UK(-1)) 0.035350 (0.10467) [ 0.33771] 0.059706 (0.10465) [ 0.57054] -0.339473 (0.13574) [-2.50097] -0.129176 (0.12399) [-1.04184] 0.005555 (0.00290) [ 1.91391] 0.599782 0.569309 0.331176 0.041001 19.68214 386.4373 -3.478285 -3.225793 0.004920 0.062476 0.278101 (0.15167) [ 1.83357] 0.041286 (0.15163) [ 0.27228] 0.188095 (0.19668) [ 0.95635] -0.251885 (0.17966) [-1.40203] 0.006830 (0.00421) [ 1.62400] 0.149426 0.084662 0.695329 0.059410 2.307223 307.4426 -2.736550 -2.484059 0.009265 0.062097 0.098640 (0.15813) [ 0.62380] 0.082444 (0.15809) [ 0.52151] 0.121244 (0.20505) [ 0.59129] -0.402626 (0.18730) [-2.14958] 0.005358 (0.00438) [ 1.22214] 0.176590 0.113894 0.755782 0.061939 2.816597 298.5640 -2.653183 -2.400691 0.006283 0.065799 0.169973 (0.26306) [ 0.64614] 0.608620 (0.26299) [ 2.31423] 0.559862 (0.34112) [ 1.64124] 0.153856 (0.31160) [ 0.49377] 0.009302 (0.00729) [ 1.27538] 0.192533 0.131050 2.091623 0.103041 3.131511 190.1531 -1.635240 -1.382749 0.006697 0.110538 0.204392 (0.14439) [ 1.41554] 0.163811 (0.14435) [ 1.13478] 0.175255 (0.18724) [ 0.93599] -0.302280 (0.17103) [-1.76737] 0.003723 (0.00400) [ 0.93000] 0.135798 0.069995 0.630181 0.056559 2.063725 317.9199 -2.834929 -2.582438 0.003957 0.058649 0.118928 (0.14461) [ 0.82242] 0.060682 (0.14457) [ 0.41974] 0.215675 (0.18752) [ 1.15014] -0.235584 (0.17129) [-1.37536] 0.004289 (0.00401) [ 1.06965] 0.116045 0.048739 0.632066 0.056643 1.724132 317.6018 -2.831942 -2.579450 0.004783 0.058076

D(LTSR20_UK(-2))

D(LTSR20_US(-1))

D(LTSR20_US(-2))

R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent

Determinant Residual Covariance Log Likelihood Log Likelihood (d.f. adjusted) Akaike Information Criteria Schwarz Criteria

7.93E-17 2184.740 2134.842 -18.97504 -17.17604

143

Lampiran 13. Hasil pengujian unit root, estimasi VAR, uji kointegrasi, persamaan kointegrasi dan estimasi VECM seri harga karet TSR20 yang telah terkoversi Rupiah A. Uji Unit Root
VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: SIR20 STR20 SMR20 ISNR20 TSR20_UK TSR20_US Exogenous variables: C Date: 01/04/04 Time: 17:02 Sample: 1990:01 2007:12 Included observations: 208 Lag LogL LR FPE AIC 0 992.1841 NA 3.07E-12 -9.48254 -18.38828* 1 1954.381 1859.631 4.16E-16* 2 1989.146 65.18455 4.22E-16 -18.3764 3 2010.614 39.01264 4.86E-16 -18.2367 4 2041.298 53.99215 5.13E-16 -18.1856 5 2063.412 37.63644 5.90E-16 -18.052 6 2088.157 40.68692 6.64E-16 -17.9438 7 2139.147 80.89672* 5.83E-16 -18.088 8 2165.74 40.65708 6.49E-16 -17.9975 * indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion

SC -9.38626 -17.71436* -17.1248 -16.4074 -15.7787 -15.0675 -14.3816 -13.9481 -13.28

HQ -9.44361 -18.11578* -17.8703 -17.497 -17.2123 -16.8453 -16.5035 -16.414 -16.09

B. Estimasi VAR
SIR20(-1) SIR20 STR20 SMR20 ISNR20 TSR20_UK TSR20_US 0.659989 [ 8.17897] 1.01107 [ 13.3745] 0.685476 [ 6.44237] 0.859629 [ 21.7344] 0.715274 [ 3.23491] 0.717683 [ 3.01048] STR20(-1) SMR20(-1) ISNR20(-1) TSR20_UK(-1) TSR20_US(-1)

Ket :

Hasil analisis VAR berdasarkan satu lag (AIC dan SC minimum) [..] merupakan t-statistik dan signifikan pada taraf nyata 1% dan 5%

144

Lampiran 13 (lanjutan). C. Uji Kointegrasi untuk Sistem Persamaan Integrasi Spasial Pasar Karet TSR20
Hypothesized No. of CE(s) None ** At most 1 ** At most 2 ** At most 3 ** At most 4 At most 5 Hypothesized No. of CE(s) None ** At most 1 ** At most 2 * At most 3 ** At most 4 At most 5 Eigenvalue 0.286998 0.194968 0.138550 0.113160 0.063594 0.002805 Trace Statistic 191.0783 118.6884 72.27739 40.36174 14.66225 0.601109 Max-Eigen Statistic 72.38990 46.41099 31.91565 25.69949 14.06114 0.601109 5 Percent Critical Value 94.15 68.52 47.21 29.68 15.41 3.76 5 Percent Critical Value 39.37 33.46 27.07 20.97 14.07 3.76 1 Percent Critical Value 103.18 76.07 54.46 35.65 20.04 6.65 1 Percent Critical Value 45.10 38.77 32.24 25.52 18.63 6.65

Eigenvalue 0.286998 0.194968 0.138550 0.113160 0.063594 0.002805

*(**) Notasi penolakan hipotesis pada taraf nyata 5% (1%) Uji Trace mengindikasikan 4 persamaan kointegrasi pada taraf nyata 5% dan 1% Uji Max-eigenvalue mengindikasikan 4 dan 2 persamaan kointegrasi pada taraf nyata 5% dan 1%

D. Sistem Persamaan Hubungan Jangka Panjang Pasar Karet TSR20


SIR20 STR20 = 0.929TSR20_UK + 0.067 TSR20_US [-0.183]ts [2.523]** = -42.352 TSR20_UK + 43.240 TSR20_US [-6.491]** [6.650]** = 24.110 TSR20_UK - 23.007 TSR20_US [6.538]** [-6.260]ts = - 79.879TSR20_UK + 80.567TSR20_US [-6.626]** [-6.706]** (5) (6)

SMR20

(7)

ISNR20

(8)

Ket: [....] merupakan t-value; ** = signifikan pada taraf nyata 1% dan 5% ts = tidak signifikan

145

Lampiran 13 (lanjutan). D. Estimasi VECM Persamaan Integrasi Pasar Spasial Karet TSR20
Error Correction: CointEq1 CointEq2 CointEq3 CointEq4 D(SIR20(-1)) D(STR20(-1)) D(SMR20(-1)) D(ISNR20(-1)) D(TSR20_UK(-1)) D(TSR20_US(-1)) C D(SIR20)
-0.416

D(STR20)
0.083 [ 0.79472] -0.005 [-0.06669] -0.005 [-0.04016] 0.000 [ 0.00535] 0.055 [ 0.45390] 0.012 [ 0.05093] -0.224 [-1.22513] 0.105 [ 1.53650] 0.320 [ 1.02823] -0.028 [-0.09043] 0.010 [ 1.40701]

D(SMR20)
0.117 [ 1.21551] -0.031 [-0.44396] -0.177 [-1.55974] -0.034 [-1.07515] -0.015 [-0.13023] -0.177 [-0.79431] -0.134 [-0.79604] 0.102 [ 1.61378] 0.345 [ 1.20022] 0.183 [ 0.64492] 0.009 [ 1.43998]

D(ISNR20)
0.085 [ 0.70499] 0.282

D(TSR20_UK)
0.039 [ 0.41400] 0.089 [ 1.27988] 0.088 [ 0.79421] -0.024 [-0.76379] 0.025 [ 0.22535] 0.004 [ 0.01618] -0.187 [-1.13892] 0.086 [ 1.39883] 0.072 [ 0.25450] 0.155 [ 0.56101] 0.011

D(TSR20_US)
0.040 [ 0.41009] 0.089 [ 1.24962] 0.113 [ 0.99817] -0.011 [-0.34153] 0.063 [ 0.55757] -0.071 [-0.31914] -0.266 [-1.57868] 0.099 [ 1.56678] 0.288 [ 1.00054] 0.070 [ 0.24775] 0.010 [ 1.56648]

[-4.62230] **
0.069 [ 1.04798] 0.129 [ 1.21999] -0.003 [-0.08604] 0.193

[ 3.17087]**
0.017 [ 0.11681] -0.148

[-3.70046]**
0.044 [ 0.31154] -0.275 [-0.98519] -0.133 [-0.62992] 0.189

[ 1.85160]**
0.100 [ 0.48384] -0.253 [-1.61491] 0.127

[ 2.15070]**
0.357 [ 1.33375] -0.372 [-1.40946] 0.011

[ 2.38295]**
0.490 [ 1.35757] -0.230 [-0.64843] 0.010 [ 1.19845]

[ 1.78513]*

[ 1.66702]*

CointEq1... CointEq4 = ECT= Error Correction Term,D = Operator Diffrensiasi pertama, (-1) = lag 1

[...] adalah t-statistik, serta ** dan * adalah hipotesis nol ditolak pada tingkat nyata 1% dan 5%

146

Lampiran 14. Uji Granger Causality Seri Harga Karet RSS Berbasis VECM
VEC Pairwise Granger Causality/Block Exogeneity Wald Tests Date: 06/12/07 Time: 12:31 Sample: 1990:01 2007:12 Included observations: 213 Dependent variable: D(LINDO) Exclude D(LTHAI) D(LMAL) D(LIND) D(LSIN) D(LJPN) D(LUK) D(LUSA) All Chi-sq 8.377340 0.067322 1.889855 0.551170 0.199986 0.277012 0.487791 13.63030 df 2 2 2 2 2 2 2 14 Prob. 0.0152 0.9669 0.3887 0.7591 0.9048 0.8707 0.7836 0.4776

Dependent variable: D(LTHAI) Exclude D(LINDO) D(LMAL) D(LIND) D(LSIN) D(LJPN) D(LUK) D(LUSA) All Chi-sq 0.679705 4.171627 4.097702 12.01595 0.131604 4.762619 0.030924 89.62972 df 2 2 2 2 2 2 2 14 Prob. 0.7119 0.1242 0.1289 0.0025 0.9363 0.0924 0.9847 0.0000

Dependent variable: D(LMAL) Exclude D(LINDO) D(LTHAI) D(LIND) D(LSIN) D(LJPN) D(LUK) D(LUSA) All Chi-sq 2.101692 0.545844 1.916218 22.76506 2.201583 2.585279 1.401265 34.41880 df 2 2 2 2 2 2 2 14 Prob. 0.3496 0.7612 0.3836 0.0000 0.3326 0.2745 0.4963 0.0018

Dependent variable: D(LIND) Exclude D(LINDO) D(LTHAI) D(LMAL) D(LSIN) D(LJPN) D(LUK) D(LUSA) All Chi-sq 2.465899 5.893257 0.481037 1.086004 1.291864 6.674321 0.303365 18.92818 df 2 2 2 2 2 2 2 14 Prob. 0.2914 0.0525 0.7862 0.5810 0.5242 0.0355 0.8593 0.1677

147

Lampiran 14 (lanjutan).
Dependent variable: D(LSIN) Exclude D(LINDO) D(LTHAI) D(LMAL) D(LIND) D(LJPN) D(LUK) D(LUSA) All Chi-sq 5.360799 2.740176 8.767418 1.710773 3.900212 3.030166 0.884236 25.47259 df 2 2 2 2 2 2 2 14 Prob. 0.0685 0.2541 0.0125 0.4251 0.1423 0.2198 0.6427 0.0302

Dependent variable: D(LJPN) Exclude D(LINDO) D(LTHAI) D(LMAL) D(LIND) D(LSIN) D(LUK) D(LUSA) All Chi-sq 1.766105 0.112536 4.617251 1.691363 10.40465 0.025755 3.247235 24.68239 df 2 2 2 2 2 2 2 14 Prob. 0.4135 0.9453 0.0994 0.4293 0.0055 0.9872 0.1972 0.0378

Dependent variable: D(LUK) Exclude D(LINDO) D(LTHAI) D(LMAL) D(LIND) D(LSIN) D(LJPN) D(LUSA) All Chi-sq 5.580521 3.756177 7.042173 2.581454 12.98498 1.073050 0.489282 23.89366 df 2 2 2 2 2 2 2 14 Prob. 0.0614 0.1529 0.0296 0.2751 0.0015 0.5848 0.7830 0.0472

Dependent variable: D(LUSA) Exclude D(LINDO) D(LTHAI) D(LMAL) D(LIND) D(LSIN) D(LJPN) D(LUK) All Chi-sq 2.131679 0.270257 5.267439 1.170306 15.89489 4.038070 2.548983 24.91272 df 2 2 2 2 2 2 2 14 Prob. 0.3444 0.8736 0.0718 0.5570 0.0004 0.1328 0.2796 0.0354

148

Lampiran 15. Uji Granger Causality Seri Harga Karet TSR20 Berbasis VECM
VEC Pairwise Granger Causality/Block Exogeneity Wald Tests Date: 06/12/07 Time: 12:33 Sample: 1990:01 2007:12 Included observations: 213 Dependent variable: D(LSIR20) Exclude D(LSTR20) D(LSMR20) D(LISNR20) D(LTSR20_UK) D(LTSR20_US) All Chi-sq 1.559507 1.814208 2.071695 0.440477 6.315069 27.36221 df 2 2 2 2 2 10 Prob. 0.4585 0.4037 0.3549 0.8023 0.0425 0.0023

Dependent variable: D(LSTR20) Exclude D(LSIR20) D(LSMR20) D(LISNR20) D(LTSR20_UK) D(LTSR20_US) All Chi-sq 0.577177 1.052726 1.191845 3.438477 4.187364 14.81560 df 2 2 2 2 2 10 Prob. 0.7493 0.5907 0.5511 0.1792 0.1232 0.1389

Dependent variable: D(LSMR20) Exclude D(LSIR20) D(LSTR20) D(LISNR20) D(LTSR20_UK) D(LTSR20_US) All Chi-sq 0.728685 1.623244 0.668521 0.662633 6.471617 12.85800 df 2 2 2 2 2 10 Prob. 0.6947 0.4441 0.7159 0.7180 0.0393 0.2317

Dependent variable: D(LISNR20) Exclude D(LSIR20) D(LSTR20) D(LSMR20) D(LTSR20_UK) D(LTSR20_US) All Chi-sq 2.911454 7.908879 0.337899 5.780217 2.695262 15.86610 df 2 2 2 2 2 10 Prob. 0.2332 0.0192 0.8446 0.0556 0.2599 0.1035

149

Lampiran 15 (lanjutan).
Dependent variable: D(LTSR20_UK) Exclude D(LSIR20) D(LSTR20) D(LSMR20) D(LISNR20) D(LTSR20_US) All Chi-sq 0.817233 0.682124 0.325108 0.856347 5.664525 df 2 2 2 2 2 Prob. 0.6646 0.7110 0.8500 0.6517 0.0589 0.6083

8.209910 10

Dependent variable: D(LTSR20_US) Exclude D(LSIR20) D(LSTR20) D(LSMR20) D(LISNR20) D(LTSR20_UK) All Chi-sq 0.647345 1.479108 1.024979 0.935304 0.854186 df 2 2 2 2 2 Prob. 0.7235 0.4773 0.5990 0.6265 0.6524 0.8895

5.024799 10

150

Lampiran 16. Pemilihan Lag Optimal Seri Harga Karet RSS dan TSR20 Indonesia Harga Karet Sintetik Dunia dan Nilai Tukar Rupiah A. Harga Karet RSS Indonesia
VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: LINDO SBR X_RATE Exogenous variables: C Date: 06/13/07 Time: 02:44 Sample: 1990:01 2007:12 Included observations: 204 Lag 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 LogL -113.4380 721.1961 734.3474 744.2246 751.8832 759.7342 770.7828 776.2605 779.8101 791.6999 804.3048 817.8648 823.7911 LR NA 1636.537 25.40000 18.78615 14.34095 14.47062 20.03904 9.773888 6.229221 20.51577 21.37899 22.59988* 9.702955 FPE 0.000629 1.92E-07 1.84E-07 1.83E-07 1.85E-07 1.87E-07 1.84E-07 1.90E-07 2.01E-07 1.96E-07 1.89E-07 1.81E-07* 1.87E-07 AIC 1.141549 -6.952903 -6.993602 -7.002202 -6.989051 -6.977787 -6.997870 -6.963338 -6.909903 -6.938234 -6.973577 -7.018282* -6.988148 SC 1.190345 -6.757719* -6.652031 -6.514243 -6.354704 -6.197052 -6.070749 -5.889828 -5.690006 -5.571950 -5.460905 -5.359222 -5.182701 HQ 1.161288 -6.873948* -6.855430 -6.804814 -6.732446 -6.661965 -6.622833 -6.529084 -6.416432 -6.385547 -6.361674 -6.347162 -6.257812

* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion

B. Harga Karet TSR20 Indonesia


VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: LSIR20 SBR X_RATE Exogenous variables: C Date: 06/13/07 Time: 02:45 Sample: 1990:01 2007:12 Included observations: 204 Lag 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 LogL -129.3851 732.3109 752.4319 760.2743 772.5039 776.7107 783.5032 792.3733 806.2604 822.8726 835.5474 841.7293 846.8638 LR NA 1689.600 38.86120 14.91583 22.90061 7.753683 12.31978 15.82700 24.37046 28.66429 21.49746* 10.30306 8.406486 FPE 0.000735 1.72E-07 1.54E-07 1.56E-07 1.51E-07 1.59E-07 1.62E-07 1.63E-07 1.55E-07 1.44E-07 1.39E-07* 1.44E-07 1.50E-07 AIC 1.297893 -7.061872 -7.170901 -7.159552 -7.191215 -7.144222 -7.122581 -7.121307 -7.169219 -7.243849 -7.279877* -7.252248 -7.214351 SC 1.346689 -6.866688* -6.829330 -6.671593 -6.556868 -6.363488 -6.195459 -6.047797 -5.949322 -5.877565 -5.767204 -5.593188 -5.408903 HQ 1.317632 -6.982916 -7.032729* -6.962163 -6.934610 -6.828401 -6.747543 -6.687053 -6.675749 -6.691162 -6.667973 -6.581128 -6.484014

* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion

151

Lampiran 17. Hasil Analisis IRF Terhadap Respon Harga Karet RSS Indonesia
Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 LINDO 0.067965 (0.00336) 0.060829 (0.00597) 0.067900 (0.00778) 0.066943 (0.00937) 0.070371 (0.01088) 0.073713 (0.01235) 0.071807 (0.01365) 0.072003 (0.01469) 0.076706 (0.01564) 0.075495 (0.01655) 0.085463 (0.01756) 0.082008 (0.01854) 0.081967 (0.01956) 0.079731 (0.02050) 0.081883 (0.02133) 0.084036 (0.02217) 0.079450 (0.02298) 0.078739 (0.02373) 0.077419 (0.02439) 0.075114 (0.02504) 0.076530 (0.02565) 0.072929 (0.02622) 0.073158 (0.02677) 0.070748 (0.02731) 0.067554 (0.02784) 0.066952 (0.02836) 0.063731 (0.02884) 0.061985 (0.02935) 0.060364 (0.02984) 0.057359 (0.03035) SBR 0.000000 (0.00000) 0.004036 (0.00519) 0.012545 (0.00701) 0.017778 (0.00870) 0.024877 (0.01023) 0.020056 (0.01154) 0.023037 (0.01264) 0.014634 (0.01351) 0.013864 (0.01442) 0.014172 (0.01536) 0.013143 (0.01625) 0.015419 (0.01702) 0.013541 (0.01781) 0.013998 (0.01839) 0.013714 (0.01870) 0.011386 (0.01896) 0.014012 (0.01920) 0.012722 (0.01912) 0.013050 (0.01917) 0.012960 (0.01914) 0.011914 (0.01908) 0.013410 (0.01893) 0.012418 (0.01864) 0.013000 (0.01839) 0.013999 (0.01811) 0.013175 (0.01782) 0.013616 (0.01754) 0.012643 (0.01714) 0.012618 (0.01681) 0.012764 (0.01646) X_RATE 0.000000 (0.00000) -0.005931 (0.00498) -0.008500 (0.00651) -0.006868 (0.00827) -0.013904 (0.00968) -0.019121 (0.01116) -0.008662 (0.01247) -0.008114 (0.01364) -0.007747 (0.01468) -0.011720 (0.01577) -0.017101 (0.01675) -0.016082 (0.01751) -0.019588 (0.01810) -0.018400 (0.01859) -0.015853 (0.01898) -0.017531 (0.01929) -0.017672 (0.01942) -0.017586 (0.01937) -0.016398 (0.01945) -0.014136 (0.01933) -0.013526 (0.01929) -0.011556 (0.01931) -0.010687 (0.01928) -0.010186 (0.01925) -0.009687 (0.01922) -0.008220 (0.01920) -0.006435 (0.01921) -0.005505 (0.01919) -0.004676 (0.01921) -0.004054 (0.01926)

Cholesky Ordering: LINDO SBR X_RATE Standard Errors: Analytic

152

Lampiran 18. Hasil Analisis IRF Terhadap Respon Harga Karet TSR20 Indonesia
Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 LSIR20 0.057059 (0.00281) 0.063885 (0.00529) 0.071876 (0.00731) 0.078532 (0.00919) 0.077741 (0.01095) 0.076109 (0.01246) 0.070433 (0.01362) 0.066597 (0.01457) 0.067179 (0.01553) 0.070370 (0.01645) 0.069747 (0.01725) 0.074902 (0.01793) 0.078173 (0.01860) 0.077518 (0.01930) 0.078246 (0.01995) 0.078389 (0.02054) 0.075251 (0.02118) 0.071979 (0.02179) 0.070260 (0.02233) 0.069595 (0.02284) 0.070209 (0.02333) 0.068801 (0.02384) 0.068445 (0.02432) 0.068749 (0.02475) 0.067827 (0.02520) 0.066093 (0.02564) 0.065268 (0.02610) 0.063978 (0.02659) 0.062510 (0.02709) 0.060915 (0.02763) SBR 0.000000 (0.00000) 0.004147 (0.00434) 0.003347 (0.00644) 0.005586 (0.00834) 0.002341 (0.01016) 0.001524 (0.01154) -0.004569 (0.01256) -0.006607 (0.01343) 0.000140 (0.01438) 0.002956 (0.01515) -0.002956 (0.01558) 0.000374 (0.01602) -0.000402 (0.01641) -0.001322 (0.01679) 0.000845 (0.01699) -0.002324 (0.01706) 0.000811 (0.01715) 0.000542 (0.01712) -0.004009 (0.01692) -0.002126 (0.01664) -0.001220 (0.01624) -0.002271 (0.01589) -0.001216 (0.01551) -0.002134 (0.01512) -0.001810 (0.01470) -0.001434 (0.01435) -0.002694 (0.01388) -0.001846 (0.01346) -0.000877 (0.01315) -0.001503 (0.01287) X_RATE 0.000000 (0.00000) -0.007510 (0.00422) -0.009784 (0.00639) -0.012117 (0.00835) -0.013964 (0.01022) -0.023619 (0.01184) -0.011993 (0.01321) -0.025921 (0.01427) -0.041522 (0.01533) -0.039194 (0.01639) -0.038103 (0.01728) -0.032693 (0.01791) -0.032314 (0.01837) -0.038855 (0.01889) -0.030860 (0.01931) -0.029883 (0.01955) -0.032027 (0.01985) -0.028904 (0.02015) -0.027193 (0.02022) -0.026911 (0.02029) -0.025494 (0.02037) -0.026387 (0.02051) -0.023826 (0.02059) -0.021895 (0.02058) -0.021389 (0.02070) -0.019514 (0.02083) -0.017659 (0.02092) -0.018077 (0.02108) -0.017118 (0.02128) -0.015914 (0.02149)

Cholesky Ordering: LSIR20 SBR X_RATE Standard Errors: Analytic

153

Lampiran 19. Hasil Analisis FEDV terhadap Respon harga karet RSS Indonesia
Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 S.E. 0.067965 0.091492 0.114938 0.134370 0.154336 0.173266 0.189164 0.203095 0.217677 0.231130 0.247367 0.261557 0.275132 0.287383 0.299555 0.311821 0.322573 0.332753 0.342282 0.350952 0.359651 0.367397 0.374968 0.381942 0.388243 0.394280 0.399681 0.404694 0.409392 0.413608 LINDO 100.0000 99.38525 97.87227 96.43148 93.88537 92.59072 92.09102 92.45998 92.90408 93.07297 93.19221 93.18529 93.09209 93.02135 93.08729 93.17102 93.12986 93.11830 93.12128 93.15832 93.23411 93.28425 93.36180 93.41501 93.43478 93.47914 93.51222 93.55584 93.59486 93.61991 SBR 0.000000 0.194558 1.314575 2.712330 4.654060 5.032543 5.705261 5.468651 5.166116 4.958210 4.611003 4.471775 4.283602 4.163408 4.041536 3.863163 3.798613 3.715922 3.657243 3.615155 3.552122 3.537142 3.505418 3.494439 3.511930 3.516882 3.538520 3.549006 3.563012 3.585990 X_RATE 0.000000 0.420197 0.813153 0.856186 1.460566 2.376738 2.203719 2.071372 1.929804 1.968815 2.196782 2.342936 2.624311 2.815247 2.871174 2.965812 3.071528 3.165779 3.221476 3.226527 3.213772 3.178606 3.132778 3.090556 3.053294 3.003982 2.949261 2.895152 2.842128 2.794095

Cholesky Ordering: LINDO SBR X_RATE

154

Lampiran 20. Hasil Analisis IRF terhadap Respon harga karet TSR20 Indonesia
Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 S.E. 0.057059 0.086085 0.112622 0.137945 0.158975 0.177837 0.191706 0.204700 0.219406 0.233744 0.246903 0.260078 0.273489 0.286908 0.298985 0.310540 0.321130 0.330365 0.338870 0.346995 0.354945 0.362521 0.369696 0.376677 0.383336 0.389484 0.395318 0.400874 0.406080 0.410935 LSIR20 100.0000 99.00683 98.57672 98.11580 97.78804 96.46107 96.50643 95.22818 92.26497 90.35717 88.96183 88.47141 88.17800 87.42189 87.35132 87.34354 87.16918 87.11077 87.09172 87.08386 87.13893 87.13707 87.21510 87.34351 87.46587 87.60606 87.76503 87.89633 88.02655 88.15646 SBR 0.000000 0.232044 0.223902 0.313201 0.257505 0.213125 0.240203 0.314839 0.274087 0.257487 0.245101 0.221105 0.200169 0.184004 0.170238 0.163404 0.153443 0.145253 0.152052 0.148768 0.143360 0.141355 0.137003 0.135181 0.132754 0.129951 0.130788 0.129310 0.126481 0.124847 X_RATE 0.000000 0.761122 1.199373 1.571003 1.954455 3.325806 3.253368 4.456980 7.460939 9.385347 10.79307 11.30749 11.62183 12.39411 12.47844 12.49306 12.67738 12.74398 12.75623 12.76738 12.71771 12.72158 12.64790 12.52131 12.40137 12.26399 12.10418 11.97436 11.84697 11.71869

Cholesky Ordering: LSIR20 SBR X_RATE

155

You might also like