You are on page 1of 23

MENGGAGAS EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ANAK QURANI

Dec 1, '08 10:54 PM


untuk semuanya

Abastrak
Problem epistemologi pendidikan anak merupakan permasalahan urgen yang perlu
dipertegas dalam mengurai kegagalan pendidikan. Epistemologi lebih penting dari pada
sekedar ontologi ataupun aksiologi, karena epistemologi menjadi sarana memperbincangkan
bagaimana pendidikan dilakukan. Sedangkan hakekat pendidikan dan untuk apa dilakukan
telah terkonstruk secara establish melalui telaah ontologi dan aksiologi. Kenapa harus dengan
tawaran qurani? Hal ini disebabkan pendekatan epistemologi pendidikan anak secara Barat-
centris hanya memiliki kontribusi pada peningkatan rasionalitas yang tidak diimbangi
dengan kultur moralitas anak didik yang mengakibatkan dekadensi moral. Secara historis,
al-Quran telah mendata fakta interaksi pendidikan anak dari berbagai kurun sejarah masa
lampau yang dinarasikan melalui contoh teladan para nabi dan rasul beserta orang saleh.
Fakta historis pendidikan anak ini sangat relevan didekati dengan perspektif epistemologi.
Kata kunci: epistemologi, pendidikan anak, qurani.
A. Pendahuluan
Pendidikan anak bukanlah sekedar gejala sosial yang bersifat empiris, tetapi juga
bersifat filosofis, mengingat ungsur pokok manusia secara dasar terdiri dari jasmani
(fisik) dan ruhani (non fisik). Hal ini memiliki signifikansi terhadap pendidikan anak
dimana dalam prakteknya memerlukan landasan teori yang dibangun atas dasar
empirik, dengan tidak menegasikan fakta non-empirik yang dapat didekati dari kajian
filosofis, di antaranya aspek epistemologi.
Epistemologi (Nazariyat al-Marifah) merupakan suatu cabang filasafat yang
membahas tentang seluk beluk ilmu. Menurut Mulyadhi Kartanegara setidaknya
mencakup dua hal yaitu; teori dan isi ilmu, serta metodologi.[1] Hal ini berimplikasi
pada proses perolehan pengetahuan yang benar. Sebagaimana disampaikan oleh Ali
Shariati bahwa pengetahuan yang benar tidak bisa lahir kecuali dari cara berfikir yang
benar, sedangkan cara berfikir yang benar itu hanya bisa muncul dari metode berfikir
yang benar.[2]
Relefansinya, persoalan metodologi adalah sesuatu yang sangat penting. Bahkan
menurut Hasan Hanafi, metodologi menyebabkan hidup matinya filsafat dan
pemikiran.[3] Dalam kontek ini menurut Baqir Sadr, siapa yang tidak menguasai
metodologi tidak mampu mengembangkan pengetahuannya.[4]
B. Realitas pendidikan anak
Pada tataran praktis pendidikan anak dilihat sebagai bagian dari tanggung
jawab orang tua, masyarakat dan pemerintah. Dalam hal ini, dimulai dari lingkup
terkecil yaitu orang tua. Sejak kelahiran seorang anak, setiap orang tua berharap
anaknya sukses dalam kehidupannya. Pemahaman bahwa keberhasilan dan
kesuksesan anak dapat diraih dan ditentukan oleh aspek pendidikan membuat semakin
kuat keinginan orang tua untuk mensekolahkan anak.
Alasan kesibukan, keterbatasan waktu dan kemampuan orang tua terkadang
menjadi faktor mendasar untuk memasukkan anak pada lembaga pendidikan.
Ditambah kurangnya pegetahuan tentang perkembangan anak dan sumber belajar di
rumah yang tidak memadai. Adanya tuntutan lembaga pendidikan setingkat di atasnya
juga mendorong orang tua untuk mensekolahkan anak.
Begitu tinggi harapan orang tua terhadap lembaga pendidikan, lembaga
pendidikan terkadang tidak lagi mempertimbangkan faktor-faktor kejiwaan anak
didik.[5] Akibatnya anak dituntut untuk menguasai sejumlah kompetensi tertentu yang
terkadang tidak sesuai dengan kemampuan anak. Ironisnya, hal ini biasanya terjadi
tanpa disadari oleh orang tua dan penyelenggara pendidikan.
Aspek lain menunjukkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan kecanggihan
teknologi di era globalisasi dewasa ini hampir menjadikan dunia tidak ada batas antar
wilayah dan negara. Hal ini berdampak masuknya budaya dan informasi dari negara
lain ke dalam budaya lokal sangat mudah, bahkan tidak dapat dihindarkan. Baik
melalui telivisi,[6] internet maupun media lainya.
Krisis moralitas anak juga dengan mudah dapat diketahui melalui layanan
informasi, pemberitaan dan surat kabar. Krisis moral ini terlihat dari dua aspek.
Pertama: krisis moral yang dilakukan oleh anak sehingga memposisikan anak sebagai
subyek kejahatan.[7] Kedua: krisis moral terhadap anak yang dilakukan orang,
sehingga menjadikan anak sebagai obyek tindak kejahatan.[8]
Pada dimensi pelaksanaan pendidikan dasar di Indonesia oleh pemerintah, baru
saja komitmen pemerintah dinilai E dari rentangan nilai A-F mendudukkan Indonesia
pada peringkat 10 dibawah India dan di atas Nepal dari 15 negara di Asia. Indikator
yang digunakan pada penilaian tersebut adalah: kelengkapan pendidikan dasar,
kebijakan pemerintah untuk pendidikan gratis, kualitas input, kesetaraan gender dan
kesetaraan faktor pendukung pendidikan secara keseluruhan.[9]
Permasalahan lain pada tingkat pendidikan formal, pendidikan semestinya
menyediakan lingkungan yang kondusif untuk memberdayakan siswa belajar, bukan
sekedar tempat untuk mentransfer ilmu dari guru kepada murid. Artinya pendidikan
merupakan masyarakat belajar, yang menjadikan semua proses, dan komponen
lingkungan menjadi sumber belajar. Murid semestinya dilibatkan aktif mencari dan
membentuk dirinya sendiri, bukan semata-mata disiapkan orang lain. Dengan dimikian
pendidikan merupakan pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia. Pada
kenyataannya, pendidik adalah totalitas subyek dan peserta didik sebagai fokus obyek
pendidikan. Hal ini jelas mengakibatkan pamasungan kreativitas murid. Namun, untuk
mengubah secara drastis sistem pendidikan yang sudah berjalan puluhan tahun itu
bukan pekerjaan mudah.
Pada aspek kurikulum yang sarat muatan tampaknya tidak hanya menyulitkan
murid, tetapi juga bagi sebagian guru. Guru memberi banyak materi dan tugas kepada
murid, karena tuntutan harus menyelesaikan kurikulum. Belum lagi tugas-tugas
administratif guru, seperti membuat program satuan pengajaran, rencana pengajaran,
program semester dan program tahunan, dan sebagainya.
Berbagai fenomena ini secara langsung maupun tidak, mulai dari problem
tanggung jawab pendidikan anak di lingkungan rumah tangga, fakta empirik moralitas
anak sampai pada pendidikan formal di sekolah, mengindikasikan adanya krisis
pendidikan anak. Ditambah pengaruh negatif globalisasi dan kecanggihan teknologi
akibat moderenisasi, semakin mengkonsdisikan kehidupan anak dalam kekhawatiran
dekadensi moral.
Berbagai usaha telah dilakukan untuk mengatasi permasalah pendidikan
tersebut, namun belum memberikan jalan keluar yang cukup berarti. Usaha itu di
antaranya terdapat dua kecenderungan, yang secara mendasar ingin mengubah cara
pandang tentang pengelolaan pendidikan melalui sekolah/ madrasah. Kecenderungan
pertama disebut dengan gerakan sekolah-sekolah sukses, bertujuan menemukan
manajemen sekolah yang unggul. Sedangkan gerakan kedua terfokus pada inovasi dan
pengembangan strategi pembelajaran.
Pada lokus pertama, misalnya gerakan yang dilakukan di lingkungan Depag
menyangkut status madrasah. Menurut Husni Rahim pembenahan madrasah harus
diawali dengan tekad untuk mewujudkan madrasah sebagai sekolah unggulan yang
mampu memadukan kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan iman dan
taqwa. Nilai plus madrasah terletak pada pendidikan keimanan yang menekankan
kepekaan hati dan ketajaman akal. [10]
Dalam sistem pendidikan nasional, lembaga madrasah diakui dalam jalur
pendidikan sekolah. Hal ini berarti menghapus kesenjangan antara lembaga
pendidikan sekolah dengan lembaga pendidikan madrasah sebagaimana terjadi pada
masa lalu. Dengan demikian madrasah menggunakan kurikulum yang sama dengan
sekolah.
Transformasi lembaga pendidikan Islam tersebut membuka peluang untuk
menemukan penyelenggaraan pendidikan unggulan. Riilnya terjadi trend baru dalam
mengelola madrasah/sekolah dengan spesifikasi sekolah model, unggulan, favorit,
plus, percontohan dan sebagainya, sehingga dapat menarik peserta didik lebih banyak
lagi.
Model seperti di atas dalam level pendidikan dasar dapat dijumpai di kota-kota
tertentu. Misalnya MIN I dan SDI Sabilillah di Malang, SD Ciputra, SD Al-Hikmah dan
SD Bina Insan Mulia di Surabaya, SD Al-Azhar di Jakarta. Bahkan pendidikan pra-
sekolahpun banyak dijumpai dengan model dan standar tersebut, misalnya di wilayah
kota Malang terdapat TK Harapan Bunda, TK Anak Sholeh, TK Al-Kautsar. Di
lingkungan Surabaya seperti Kelompok Bermain dan Taman Kanak-Kanak (KBTK) Ya
Bunayya Hidayatullah, TK Al-Hikmah, dan TK Pembina.
Kecenderungan pengembangan pada lokus kedua terlihat dalam aspek inovasi
strategi pendidikan. Dalam hal ini contoh inovasi yang dilakukan oleh Depdiknas dan
Depag selama beberapa dekade terakhir, seperti Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), Guru
Pamong, Sekolah Persiapan Pembangunan, Sekolah kecil, Sistem Pengajaran Modul,
Sistem Belajar jarak jauh. Bahkan inovasi yang terakhir diterapkan adalah model
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang dalam proses KBM-nya didukung oleh
penerapan Contectual Teaching & Learning (CTL), Quantum Learning, dan Active Learning.
Namun model-model inovasi seperti ini banyak yang tidak bertahan lama dan hilang,
tenggelam begitu saja.
Problematika pendidikan anak dengan solusi yang sudah dilakukan pada lokus-
lokus tersebut, masih menyisakan kemungkinan untuk mencari solusi lainya. Yaitu dari
aspek bangunan keilmuan pendidikan anak. Hal ini dimaksudkan dengan cara
mengkritisi kembali masalah pendidikan anak, dengan menggali, menafsirkan,
mengembangkan dan memeperbaharui konsep-konsep yang telah ada. Upaya ini
dilakukan untuk mengurangi berbagai stereotype pendidikan anak, agar khusunya
pendidikan Islam lebih solid ditengah gencarnya arus perubahan globalisasi dan
modernisasi.
C. Problem epistemologi pendidikan anak
Aspek epistemologi dalam kerangka pendidikan, menyediakan ruang untuk
memperdebatkan persoalan filosofis yang tidak dapat dijawab oleh wilayah ilmu,[11]
karena sifat ilmu menjunjung sakralitas nilai-nilai ilmiah dengan mendasarkan pada
wilayah fisik-empirik. Perdebatan dalam wilayah epistemologi pendidikan menurut
Muhaimin menyangkut pengembangan potensi dasar manusia (fitrah), pewarisan
budaya, dan interaksi antara potensi dan budaya. Pada tataran praktis juga
memperdebatkan masalah kurikulum pendidikan, metode, pendidik dan anak
didik.[12]
Pertanyaan epistemologis di atas mengarah pada upaya pengembangan
pendidikan berkaitan dengan persoalan konsep dasar dan sekaligus metodologinya.
Oleh karena itu pada kontek yang lebih umum, jika subtansi pendidikan Islam
merupakan paradigma ilmu -menurut Abdul Munir Mulkhan- maka problem
epistemologis dan metodologis pemikiran Islam adalah juga merupakan problem
pendidikan Islam.[13]
Di antara problem pendidikan Islam ini, dapat ditemukan pada fariasi konsep
pendidikan yang diajukan oleh para ulama dengan istilah tarbiyah,[14] talim dan
tadib.[15] Istilah-istilah tersebut tentunya tidak muncul dari ranah kosong, akan tetapi
memiliki akar filosofis dan implikasi praktis dalam pendidikan. Problem ini
menegaskan kembali hakekat pendidikan; apakah sekedar proses pendewasaan,
pemindahan pengetahuan (transfer of knowledge), atau penanaman nilai, ataupun
lainnya.
Aspek problem metodologi pendidikan anak, telah menjadi perhatian para
ulama sejak awal. Hal ini terbukti dengan munculnya pemikir-pemikir pendidikan.
Para pemikir pendidikan muslim tersebut mewariskan khazanah pemikirannya dalam
kitab-kitab pendidikan.[16] Hanya saja menyisakan keprihatinan, karya-karya
fenomenal tersebut tidak banyak ditemukan lagi.
Karya-karya tersebut pada dasarnya berada dalam satu arus pemikiran yang
sama. Intinya, betapa permasalahan mendasar pendidikan anak perlu dirumuskan
dalam disiplin ilmu. Namun demikian diperlukan rumusan yang jelas dan terinci
mengenai bangunan keilmuan pendidikan anak tersebut. Tampaknya para pemikir
pendidikan di atas memberikan gagasan-gagasan awal yang perlu dikembangkan
dalam kajian lebih lanjut. Finalnya terbuka arah penelusuran untuk mengembangkan
epistemologi pendidikan anak perspektif al-Quran.
D. Tawaran epistemologi pendidikan qurani
Otentisitas al-Quran sebagai kitab suci tentu tidak menyisakan ruang untuk
diperdebatkan. Akan tetapi al-Quran sebagai sumber segala ilmu,[17] yang memuat
dimensi epistemologis bagi pendidikan anak, hal ini perlu ditemukan dan
dikembangkan. Pendidikan Islam dengan karakteristik agama, menjadikan dasar-dasar
agama sebagai landasan pendidikan,[18] utamanya al-Quran.
Telah banyak jasa para mufassir untuk menguraikan kehendak ilahi pada teks-
teks suci, dengan berbagai corak pendekatan dan aliran penafsiran yang mereka
lakukan.[19] Akan tetapi produk-produk penafsiran tersebut tidak menafikan sebagai
produk sejarah yang tidak dapat mengelak sepenuhnya dari tuntutan ruang dan waktu
saat pertama kali dimunculkan.[20] Dari sini terlihat bahwa al-Quran didekatai dari
perspektif sejarah.
Tidak ada garansi bahwa teks-teks dokumenter khazanah intelektual mufassir
tersebut sebagai turunan teks suci, identik dan menyuarakan secara utuh apa yang
seharusnya.[21] Apalagi, semua wacana yang terekam dalam teks dokumenter warisan
masa lalu itu tidak mungkin mewadahi dan memperbincangkan problematika yang
terjadi saat ini ditengah masyarakat Islam.[22] Oleh karenanya, tekstualitas sejarah
ditarik pada makna kontektual dengan tidak meninggalkan ungsur kesejarahan.
Berdasar pada urain tersebut, maka pemaknaan terhadap nilai sejarah dalam al-
Quran, di antaranya kisah-kisah yang dapat didekati dengan perspektif pendidikan
anak, menjadi sebuah keniscayaan untuk dikaji. Kisah-kisah dimaksud dengan
spesifikasi interaksi orang tua dan anak semisal Luqman dan anaknya, Nabi Nuh dan
Kanan, Nabi Ibrahim dan Ismail, Nabi Yakub dan Yusuf, Maryam dan Isa.
Kisah-kisah interaksi pendidikan pada tokoh sejarah yang dinarasikan dalam
teks Al-Quran ini tidaklah sama dengan teks sejarah konvensional. Sebab makna-
makna sejarah yang direkam al-Quran tidak lain untuk pelajaran dan contoh bagi umat
Islam. Karenanya harus dikeluarkan dari domain sejarah untuk menemukan pelajaran
(ibrah) dalam kontek pendidikan. Sebab sejatinya historisitas itu sendiri bukanlah
tujuan utama dari kisah-kisah al-Quran.[23]
Berdasarkan tinjauan filosofis pendidikan anak yang selama ini berkembang,
begitu kuat tesis yang dijadikan pedoman bahwa otorisasi pendidikan anak hanya
terfokus pada lingkungan sang pendidik (aliran empirisme). Anti tesis berikutnya
menegaskan bahwa pendidikan tidaklah manjur untuk mengubah heriditas dan
ketentuan kodrati (aliran naturalisme). Kemudian memunculkan aliran konvergensi;
sebuah sintesa antara kedua aliran filsafat pendidikan tersebut dimana didalamnya
mungkin termasuk pendidikan anak dalam al-Quran.
Pada kajian ini diperoleh gambaran awal bahwa kisah-kisah pendidikan anak
yang dinarasikan oleh al-Quran, secara filosofis memuat fariabel-fariabel unsur baku
pembentuk pendidikan. Di antaranya (1) pendidik dengan segala kompetensinya; (2)
peserta didik dengan etika akademiknya; (3) materi pendidikan dengan tujuannya; (4)
metode pendidikan dengan efektifitasnya, (5) lingkungan pendidikan dengan
pengaruhnya, dan (6) kontruksi epistemologi dengan cara kerjanya. Unsur dasar
tersebut selama ini lazimnya diposisikan sebagai perpaduan antara faktor teoritis dan
praktis yang memunculkan keyakinan akan kegiatan pendidikan terhadap manusia,
oleh manusia, bertujuan mengembangkan hakekat kemanusiaan.
Telaah awal juga menunjukkan, bahwa Luqman Hakim merupakan profil
pendidik anak yang sukses. Kesuksesannya terletak pada idealitas prinsip pendidikan
yang diterapkan kepada anaknya. Yaitu pengembangan pendidikan anak yang
bertumpu pada kekuatan intelektual, emosional dan spiritual untuk terbentuknya
potensi iman, Islam dan ihsan. Keteladanannya sebagai pendidik ditandai dengan
kompetensi sikap bijaksana (hikmah). Demikian pula harmonisasi dalam interaksi
pendidikan ditunjukkan dengan metode yang humanis dan dialogis (mauizah).
Pendidikan yang diterapkan oleh Luqman Hakim pada anaknya meliputi empat
hal. Pertama: pendidikan keimanan (aqidah). Pendidikan inilah yang pertama kali
dilakukan Luqman kepada anaknya untuk menanamkan keyakinan bahwa Allah
sebagai Dzat Yang Maha Esa yang harus disembah dan melarang perbuatan syirik.
Kedua: pendidikan syariah (ibadah). Ruang lingkup syariah meliputi interaksi
vertikal seorang hamba dengan Allah yang direalisasikan melalui ibadah, dan interaksi
horizontal yang dilakukan dengan sesama manusia (muamalah). Dalam hal ibadah ini
Luqman mengajarakan salat kepada anaknya, lalu diperintahkan untuk membiasakan
sikap baik terhadap keluarga terdekat.
Ketiga: pendidikan akhlak. Dalam bidang akhlak, pendidikan yang mula-mula
dilakukan Luqman kepada anaknya adalah dengan memperkenalkan etika baik
terhadap kedua orang tua. Prinsip berbakti ini dengan cara melakukan segala yang
diperintahnya, dan menjauhi segala larangannya selama dalam batas tidak melanggar
syariat Islam.
Keempat : Pendidikan sosial. Setelah anak dikenalkan konsep akhlak kepada
tuhannya melalui jalan ibadah, dan berbakti kepada kedua orang tuanya, berikutnya
diajarkan padanya akhlak dalam kontek kemasyarakatan mencakup etika pergaulan
(bertemu), berbicara dan berjalan. Empat prinsip dasar pendidikan Luqman Hakim
kepada anaknya tersebut memenuhi target untuk membentuk insan kamil yang terdiri
dari kesempurnaan aqidah, syariah dan akhlak (Iman, Islam dan Ihsan).
F. Teoritical mapping pendidikan anak
Penelitian terdahulu tentang epistemologi pendidikan anak dalam Al-Qur'an belum
ditemukan. Adapun penelitian tentang pendidikan anak banyak ditemukan, baik
dalam bentuk Library Research ataupun Field Research. Liberaray Research dilakukkan oleh
pakar pendidikan Islam dan didokumentasikan dalam buku yang diterbitkan.
Sedangkan Field Research dilakukan oleh Mahasiswa pada tingkat S-2 dan S-3 berupa
laporan penelitian. Berikut ini beberapa hasil penelitian berhubungan dengan
pendidikan anak.
Cholid Abri dalam bukunya tentang Wasiat Dan Mutiara Hikmah Luqman Al-
Hakim menyimpulkan dalam dua bagian. Pertama wasiat dan mutiara hikmah Luqman
meliputi larangan mempersekutukan Allah dan larangan bersikap sombong dalam
bertutur kata dan berprilaku. Kedua meliputi perintah mendirikan salat, amar maruf
nahi mungkar, bersabar, melunakkan suara dan sederhana dalam berjalan.[24] [25]
Penelitian (Field Research) pada tingkat disertasi dilakukan oleh Choirul Bashor.
Kesimpulan yang diajukan: pengetahuan dan pengalaman para pengasuh
mempengaruhi perilaku anak asuh. Ungkapan klasik pendidikan patut dikemukakan,
bahwa anak adalah cermin keluarga, keluarga adalah tempat mengasuh dan mendidik
anak yang pertama dan utama.[26]
Penelitian semisal diatas dilakukan oleh Asiah Hamzah. Hasil penelitan ini
menyimpulkan: pengasuhan anak dipengaruhi oleh budaya asal ibu, pengasuhan anak
merupakan produk budaya etnik ibu dan pengasuhan anak merupakan hasil interaksi
budaya antara ibu dengan masyarakat tempat ibu berada.[27]
Penelitian dalam bentuk buku yang diterbitkan, diantaranya dilakukan oleh Al-
Husain Abd Al-Majid Hasyim. Pembahasan pendidikan anak dikaji pada pokok pikiran
berikut: pertama memposisikan kedudukan dan hak anak menurut Islam. kedua
memelihara kehidupan dan perkembangan anak. Ketiga pengaruh pemberian makanan
terhadap perkembangan fisik, akal pikiran dan pendidikan. Keempat pendidikan anak
menurut Islam. [28]
Muhammad Said Mursi mengemukakan terobosan mendidik anak dalam Islam.
Tema besar yang dikembangkan adalah pertama: pendidikan anak wujud tanggung
jawab orang tua. Kedua: bagaimana berinteraksi dengan anak; dengan mengenali
karakteristiknya, mengenali kebutuhannya, memahami pertanyaannya, memahami
rangsangan dan motivasinya. Ketiga: menjaga kesehatan anak; dengan menjauhkan
dari nutrisi yang buruk, mengatasi gangguan kesehatan dan gangguan psikis. [29]
Sadik Samaan meninjau karakteristik kejiwaan anak dengan pendekatan bakat
(almauhibah). Proses pembahasannya berangkat dari asumsi adanya karakteristik bakat
yang cemerlang pada anak. Pembahasan dikembangkan pada tinjauan upaya
menemukan bakat, menumbuhkan dan memahami hambatan-hambatanya. Pada
fokusnya membahas anak berbakat di rumah dan peran sekolah terhadap
pengembangan bakat.[30]
Djawad Dahlan membahas pendidikan keimanan di rumah tangga bagi anak
usia 0-5 tahun (balita). Kesimpulan yang dihasilkan, 1) pentingnya pendidikan agama
bagi anak usia 0-5 tahun yang disesuaikan dengan perkembangan biologis dan
psikologis anak. 2) Tujuan pendidikan keimanan terintegrasikan dengan materi
keimanan yang tampak dalam berbagai kecakapan, seperti hafalan berbagai doa, ayat
Al-Quran, bacaan shalat, dan kecakapan bersopan santun terhadap orang tua dan
anggota keluarga. Alat pendidikan keimanan diusahakan melalui pencipataan suasana
kehidupan religius di rumah.[31]
Zakiah Daradjat melanjutkan tema Dahlan diatas, yaitu tentang Pendidikan
Agama dalam Keluarga bagi Anak Usia 6-12 tahun. Menurutnya, pembinaan keimanan
yang tangguh seharusnya dimulai dalam keluarga, sejak anak lahir bahkan sebelum
lahir sampai akhir masa remaja. Apabila pendidikan terabaikan di dalam keluarga,
terutama sampai akhir masa kanak-kanak (12 tahun), akan sulitlah bagi anak
menghadapi perubahan cepat pada dirinya, sehingga tidak jarang membawa
kegoncangan emosi. Untuk mendidik dan membekali anak dengan keimanan yang
teguh, dan kuat diperlukan pemahaman tentang pertumbuhan fisik dan perkembangan
kejiwaan serta kepribadian anak. [32]
Dalam hal penelitian terdahulu tentang pendidikan anak dari dimensi
manajemen, kebijakan, dan inovasi pengajaran, maka ada beberapa tesis dari hasil Field
Risearch yang perlu dikemukakan. Penelitian Zainul Malik mencermati Problematik
Pengelolaan Sekolah Kecil: Studi Kasus di Sekolah Dasar Al-Thahiriyah Gresik.
Beberapa hasil temuanya diantaranya bahwa SD tersebut mengaplikasikan manajemen
modern dengan proses merencanakan, mengorganisasikan, memimpin dan
mengendalikan. Usaha ini diimbangi dengan peningkatan SDM meliputi ketenagaan,
dana dan sarana prasarana.[33]
M. Basri Mustofa dalam tesisnya menyimpulkan bahwa pendidikan harus dapat
melestarikan dan mengembangkan potensi-potensi kebaikan (akhlak) yang dibawa
peserta didik sejak lahir di usia dini, sebagaimana yang dilakukan Kelompok Bermain
dan Kanak-Kanak (KBTK) Ya Bunayya Hidayatullah. Untuk melestarikan dan
mengembangkan potensi-potensi kebaikan tersebut, KBTK menentukan kurikulum
dengan menggunakan metode-metode yang tepat sesuai dengan perkembangan dan
kemampuan anak didik.[34]
Masalah implementasi kurikulum berbasis kompetensi dalam bidang studi
pendidikan agama di SD diteliti oleh Rahmatul Ula. Kesimpulannya diantaranya
bahwa dampak positif pelaksanaan KBK sangat dirasakan oleh para guru PAI maupun
siswa. Hal ini terlihat pada siswa dalam hal aktif bertanya, rasa ingin tahu yang sangat
tinggi terhadap masalah-masalah agama, semangat ukhuwah, dan meningkatkan sikap
keagamaan siswa. Kompetensi siswa untuk mengamalkan ajaran Islam lebih menonjol
daripada sekedar pemahaman teori.[35]
Penelitian tentang pengembangan kurikulum juga dilakukan oleh Zakariah.
Pengembangan disini dilakukan dengan memodifikasi antara kurikulum Diknas dan
kurikulum khas Al-Hikmah dengan menerapkan metode pengajaran yang mengacu
pada tiga ranah kognitif, afektif dan psikomotor secara berimbang. Pengembangan
kurikulum mencakup aspek tujuan, materi, metode dan evaluasi. Hasil pengembangan
kurikulum tersebut diaplikasikan dalam sistem full day school yang tetap mengacu pada
integreted curriculum dan integreted activity.[36]
Dalam hal proses belajar, Mahfud Anwari meneliti pengaruh pembelajaran
Quantum Teaching terhadap prestasi belajar siswa di SD Al-Hikmah Surabaya.
Kesimpulannya: pembelajaran Quantum Teaching menekankan tumbuhnya motivasi
belajar siswa dalam pembelajaran. Salah satu caranya adalah mendayagunakan
bermcam-macam interaksi sehingga para siswa dapat berkolaborasi dengan temannya
untuk memikirkan pelajaran yang dihadapi, dan dalam penerapannya juga
memperhatikan modalitas Visual, Audio dan Kinestetik siswa.[37]
Berdasarkan uraian diatas, maka hasil penelitian terdahulu tersebut dapat
dipetakan bahwa; 1) penelitian tentang konsep pendidikan anak yang dilakukan oleh
para pakar/ peneliti pendidikan bersifat umum, dengan menggunakan berbagai
pendekatan diantaranya psikologi, bakat, kejiwaan dan agama. 2) Penelitian tentang
strategi, inovasi dan penerapan manajemen pendidikan banyak dilakukan dalam model
Field Research. 3) Tidak ditemukan penelitian menyangkut epistemologi pendidikan
anak dalam Al-Quran.
E. Penutup
Epsitemologi pendidikan Barat tampaknya memberi prioritas perkembangan
anak didik pada aspek kekuatan intelektual dibanding dengan kesadaran moral.
Akibatnya, dekadensi moral anak terjadi sebagai ekses dari intelektualitas yang tidak
diimbangi dengan moralitas. Indikasi kemerosotan moral itu memposisikan anak
sebagai subyek kejahatan dan sekaligus obyek tindak kejahatan.
Epistemologi pendidikan al-Quran menggambarkan proses pendidikan yang
harmonis, dialogis, penuh dengan uswah (teladan) dan mempertimbangkan emosional
serta rasional anak didik. Pendidikan anak diarahkan pada kekokohan akidah sebagai
landasan kehidupan, dilanjutkan dengan penguatan ibadah sebagai realisasi atas
akidah, serta kesalehan sosial sebagai standar kesalehan ibadah. Pembinaan akidah,
ibadah dan akhlak ini representasi dari epistemologi pendidikan anak qurani.

===============




[1]Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam (Bandung:
Mizan, 2002), 58.
[2]Ali Shariati, Humanisme antara Islam dan Madzab Barat, ter. Afif Muhammad
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1992), 28.
[3] Hasan Hanafi, Dirasat Falsafiyah (Kairo: Maktabat Al-Misriyah, tt), 261.
[4] Baqir Sadr, Falsafatuna, ter. Nur Mufid (Bandung: Mizan, 1999), 25.
[5] Misalnya pendidikan di Taman Kanak-kanak. Meskipun TK semestinya tempat untuk bermain dan
bersuka ria, pada praktiknya anak-anak TK diajari menulis, membaca dan berhitung secara berlebihan.
Meskipun Depdiknas melarangnya, namun guru TK tetap mengajarkannya. Alasannya, SD/MI hanya
mau menerima anak TK yang sudah bisa membaca, menulis, dan berhitung. Ditambah lagi dengan
adanya model full day school, semakin membatasi masa kanak-kanak.
[6] Pengaruh globalisasi dan kemajuan ilmu serta teknologi ini dalam dunia anak dapat dijumpai pada
berbagai sajian tayangan program televisi yang didominasi dari produk impor. Dalam hal Film kartun
sederetan judul faforit yang digemari anak misalnya: Tele Tubbis, Crayon Shincan, Doraemon, Ninja
Hatori, Hamtaro, Popeyee, Scooby doo, Dragon Ball, ataupun film laga anak seperti Boboho dan
Sakalaka boom bom.
[7] Sebagai subjek kriminal berbagai kasus yang ditulis oleh wartawan dalam surat kabar seperti; Anak
membunuh ayah kandungnya (Jawa Pos, 27 Februari 2004), Anak SD tawur 1 tewas (Jawa Pos, 29
Maret 2004), Anak jadi pedagang seks komersial (Jawa Pos, 9 Februari 2004), dan sindikat cilik
perdagangan narkoba (Jawa Pos, 27 Juli 2005).
[8] Sebagai objek kriminal seperti kasus Anak ingusan diperkosa, Siswa MTs mengaku
disodomi, ABG jadi korban trafficking, demikian halnya akibat korban penculikan dan
pembunuhan. Untuk data kekerasan terhadap anak ini lihat Irwanto et. al.,
Perdagangan Anak di Indonesia (Jakarta: Organisasi Perburuhan Internasional, 2001), 9.
[9] Hasil yang memprihatinkan tersebut berdasarkan penilain Asian South Pacific Bureau
of Adult Education dan Global Campaig for Education. Jawa Pos, 14 Juli 2005, 10.
[10] Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia (Yogyakarta: Logos, 2001), 142.
[11] Di antaranya berhubungan dengan permasalahan karakteristik anak cerdas yang
didasarkan pada keseimbangan antara kompetensi intelegensia (Intelegensia Quotient
/IQ), kecerdasan emosi (Emotional Quotient/EQ), dan kecerdasan spiritual (Spiritual
Quotient/SQ). Anak yang dilahirkan dengan IQ tinggi (karena faktor keturunan),
memerlukan dukungan faktor lingkungan agar memiliki EQ dan SQ. Lihat Ali
Nugraha et. al., Kiat Merangsang Kecerdasan Anak (Jakarta : Puspa Swara, 2003), 2.
[12] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam: di Sekolah, Madarasah
dan Perguruan Tinggi ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), 66.
[13] Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan
Islam dan Dakwah (Yogyakarta: SIPRES, 1993), 213.
[14] Penggunaan istilah tarbiyah ini di antaranya didukung oleh Abd Rahman Al-
Nahlawi, Miqdad Yaljan, dan Mahmud Sayyid Sultan. Lihat Abd Rahman Al-
Nahlawi, Usul al-Tarbiyah a-Islamiyah wa asalibiha fi-Al-Bait wa al-Mujtama (Mesir:Dar
al-Fikr, 1988), 12. Miqdad Yaljan, Jawanib al-Tarbiyah al-Islamiyah al-Asasiyah (Dar al-
Fikr al-Arabi, 1987), 11. Mahmud Sayyid Sultan, Mafahim Tarbiyah Fi al-Islam (Dar al-
Maarif, tt) , 132.
[15] Istilah tadib diajukan oleh Naquib Al-Attas. Lihat Naquib Al-Attas, Konsep
Pendidikan Islam (Bandung: Mizan, 1996), 66.
[16] Di antaranya yang relevan dengan pendidikan anak; adab al-Muaalimin
(Muhammad Ibn Sahnun wafat 256 H), Talim al-Sibyan wa ahkam al-Mualimin (Al-
Qabisi w. 403 H), ayyuha al-Walad (Al-Ghazali w. 505 H), Talim al-Mutaallim (Al-
Zanuji w. 591 H), Tahrir Al-Maqal fi adab wa ahkam wa fawaid yahtaj ilaiha muaddib al-
Athfal (Ibn Hajar Al-Haitami w. 947 H), Siyasat al-Sibyan wa tadbirihim (Ibn Jazzar al-
Qairawani w. 395 H), Tadkirat al-Sami wa al-Mutakallim fi adab al-Alim wa al-Mutaallim
(Ibn Jamaah w. 733), Jami Jawami Al-Ihtisar (al-Maghrawi w. 902 H). Lihat Ahmad
Fuad al-Ahwani, al-Tarbiyah Fi al-Islam ( tp. Dar al-Maarif: tt), 55-56, Abd al-Ghani
Abud, al-Fikr al-Tarbawi Ind al-Ghazali, (Dar al-Fikr al-Arabi, 1982) 45.
[17] Dapat dilihat pada justifikasi ayat-ayat berikut: Kitab (Al-Quran) Ini tidak ada
keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa (Al-Quran, 2:2). Tiadalah
kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, Kemudian kepada Tuhanlah mereka
dihimpunkan (Al-Quran, 6: 38).
[18] Menurut Al-Nahlawi Al-Quran, dan al-Sunnah sebagai asas pokok pendidikan
Islam. Darajat menambahkan dengan asas ijtihad, dan Hasan Langgulung
menambahkan dengan qaul sahabat, masalih al-Mursalah dan urf. Lihat Al-Nahlawi,
Usul al-Tarbiyah, 28, Zakiyah Darajat, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
1991), 17, Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Jakarta:
Pustaka Al-Husna, 1980), 189.
[19] Mustafa Al-Sawi al-Juwaini membagi aliran (madrasah) ahli tafsir menjadi tiga, yaitu
aliran dengan pendekatan bahasa (al-Madrasah al-Lughawiyah), aliran dengan
pendekatan akal (Al-Madrasah Al-Aqliyah), dan aliran dengn pendekatan hadith
(Madrast al-Tafsir bi al-Mathur. Lihat Mustafa al-Sawi al-Juwaini, Manahij fi al-Tafsir
(Iskandariyah: Dar al-Marif, tt), 45.
[20] Hal ini sesui dengan kaedah al-Ibrah bi Khusus al-Sabab La bi Umum al-Lafz.
[21] Oleh karenanya dilakukan berbagai tawaran pendekatan baru dalam membaca Al-
Quran, seperti yang dilakukan Nasr Hamid Abu Zaid dengan Mafhum al-Nas,dan
Muhammad A. Khalaf Allah dengan Al-Fann al-Qasasi fi al-Quran al-Karim.
Disampin Hasan Hanafi dengan Al-Turath wa Al-Tajdid-nya dan Muhammad Arkoun
dengan Naqd al-Aql al-Islami.
[22] Al-Ibrah bi Umum Al-Sabab la bi Khusus Al-Lafz.
[23] Hal ini dapat dilihat pada ayat berikut:
; ]~E O) )=~ E4OgN Oj+w
U4:^- 4` 4p~E LVCg4 O4O4^NC
}:4 4-Cg> Og~-.- 4u-4 gOuCE4C
O^>4 ] 7/E* O4-4 LO4uO4O4
Og 4pONLg`uNC ^
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang
mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan
(kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan
rahmat bagi kaum yang beriman. Al-Quran, 12 : 111.
[24] Cholid Abri, Wasiat dan mutiara Hikmah Luqman AL-Hakim (Surabaya: Risalah Gusti,
1995).111.

[26] Choirul Bashor, Pola Asuh Dan Pola Emosi Anak Balita Yang Ditinggal Kerja Ibu
Di Luar Daerah: Studi Etno Metodologi dan Interaksi Simbolik pada Pengasuhan Anak
Balita, dalam Kontruksi Ilmu-Imu Sosial: Kumpulan Ringkasan Disertasi Program Studi
Ilmu-Ilmu Sosial PPS Unair Surabaya, ed. Haris Supratno (Surabaya: Unesa University
Press, 2003), 989.
[27] Asiah Hamzah, Pola Asuh Anak Pada Etnik Jawa Migran Dan Etnik Mandar,
Ibid., 1000.
[28] Al-Husain Abd Al- Majid Hasyim et.al., Pendidikan Anak Menurut Islam: Sebuah
Pendekakatan Praktis, ter. Abdullah Mahadi (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), xiii.
[29] Muhammad Said Mursi, Melahirkan anak Masya Allah: sebuah terobosan baru dunia
pendidikan anak, ter. Ali Yahya. Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 1998), 5-63.
[30] Sadik Samaan, Anak-Anak Yang Cemerlang, ter. Zakiah Daradjat ( Jakarta: Bulan
Bintang, 1980), 6.
[31] Djawad Dahlan, Pendidikan Keimanan di rumah tangga bagi anak usia 0-5 tahun
(balita), dalam Pendidikan Agama Dalam Keluarga, ed. Ahmad Tafsir (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1996), 65-96.
[32] Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama dalam Keluarga bagi Anak Usia 6-12 tahun,
Ibid., 97-116.
[33] Zainul Malik, Problematik Pengelolaan Sekolah Kecil: Studi Kasus di Sekolah
Dasar Al-Thahiriyah Gresik, dalam Antologi Kajian Islam seri 8 (PPS Sunan Ampel
press: 2005), 182-184.
[34] M. Bahri Mustofa, Pengenmbangan Potensi Anak Prasekolah: Studi Metode
Pengajarajan Akhlak di Kelompok Bermain dan Taman Kanak-Kanak (KBTK) Ya
Bunayya Hidayatullah Surabaya, Ibid., 189-189.
[35] Rohmatul Ula, Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi Dalam Bidang
Studi Pendidikan Agama Islam: Studi Deskriptif terhadap Implementasi Kurikulum
Berbasis Kompetensi di SDN Pucang I Sidoarjo, Ibid., 194.
[36] Zakariah, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam (Studi Kasus di SDI Al-
Hikmah Surabaya), Ontologi Kajian Islam Seri 5 (PPS IAIN Sunan Ampel Press: 2003),
155.
[37] Mahfud Anwari, Pengaruh Pembelajaran Quantum Teaching Terhadap Prestasi
Belajar Siswa di SD Al-Hikmah Surabaya, Ibid., Seri 8, 199.


Literatur

Abud, Abd al-Ghani. al-Fikr al-Tarbawi Ind al-Ghazali.. Dar al-Fikr al-Arabi, 1982.
Abri, Cholid. Wasiat dan mutiara Hikmah Luqman AL-Hakim. Surabaya: Risalah Gusti,
1995.
Al-Attas, Naquib. Konsep Pendidikan Islam . Bandung: Mizan, 1996.
al-Ahwani, Ahmad Fuad. al-Tarbiyah Fi al-Islam. tp. Dar al-Maarif: tt.
al-Juwaini, Mustafa al-Sawi. Manahij fi al-Tafsir. Iskandariyah: Dar al-Marif. tt.
Al-Nahlawi, Abd Rahman. Usul al-Tarbiyah a-Islamiyah wa asalibiha fi-Al-Bait wa al-
Mujtama. Mesir:Dar al-Fikr, 1988.
Darajat, Zakiyah. Filsafat Pendidikan Islam . Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Hanafi, Hasan. Dirasat Falsafiyah. Kairo: Maktabat Al-Misriyah, Tt.
Hasyim , Al-Husain Abd Al- Majid. et.al. Pendidikan Anak Menurut Islam: Sebuah
Pendekakatan Praktis. ter. Abdullah Mahadi. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994.
Irwanto, et. al. Perdagangan Anak di Indonesia. Jakarta: Organisasi Perburuhan
Internasional, 2001.
Kartanegara, Mulyadhi. Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam. Bandung: Mizan.
2002.
Langgulung, Hasan. Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam.. Jakarta: Pustaka Al-
Husna, 1980.
Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam: di Sekolah. Madarasah dan
Perguruan Tinggi . Jakarta: Raja Grafindo Persada,2005.
Mulkhan, Abdul Munir. Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam
dan Dakwah. Yogyakarta: SIPRES, 1993.
Mursi, Muhammad Said. Melahirkan anak Masya Allah: sebuah terobosan baru dunia
pendidikan anak. ter. Ali Yahya. Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 1998.
Nugraha, Ali et. al.. Kiat Merangsang Kecerdasan Anak. Jakarta : Puspa Swara, 2003.
Permono, Saichul Hadi, ed. Antologi Kajian Islam seri 5 dan 8. PPS Sunan Ampel press:
2005. 184.
Rahim, Husni. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Logos, 2001.
Sadr, Baqir. Falsafatuna. ter. Nur Mufid. Bandung: Mizan, 1999.
Samaan, Sadik. Anak-Anak Yang Cemerlang. ter. Zakiah Daradjat. Jakarta: Bulan Bintang,
1980.
Shariati, Ali. Humanisme antara Islam dan Madzab Barat. ter. Afif Muhammad. Bandung:
Pustaka Hidayah. 1992.
Sultan, Mahmud Sayyid. Mafahim Tarbiyah Fi al-Islam. Dar al-Maarif. tt .
Supratno, Haris, ed. Kontruksi Ilmu-Imu Sosial: Kumpulan Ringkasan Disertasi Program
Studi Ilmu-Ilmu Sosial PPS Unair Surabaya. Unesa University Press. 2003.
Tafsir, Ahmad, ed. Pendidikan Agama Dalam Keluarga. Bandung: Remaja Rosdakarya,
1996.
Yaljan, Miqdad. Jawanib al-Tarbiyah al-Islamiyah al-Asasiyah. Dar al-Fikr al-Arabi, 198

You might also like