You are on page 1of 6

Sindrom Gawat Napas

Sindrom gawat napas (respiratory distress syndrome, RSD) adalah istilah yang digunakan untuk disfungsi pernapasan pada neonates. Gangguan ini merupakan penyakit yang berhubungan dengan keterlambatan perkembangan maturitas paru (Whalley dan Wong, 1995)gangguan ini biasanya dikenal dengan nama hyaline membrane disease (HMD) atau penyakit membrane hialin, karena pada penyakit ini selalu ditemukan membrane hialin yang melapisi alveoli. RDS sering ditemukan pada bayi premature. Insidens berbanding terbalik dengan usia kehamilan dan berat badan. Artinya semakin muda kehamilan ibu, semakin tinggi kejadian RDS pada kejadian tersebut. kejadian RDS. Persentase kejadian menurut usia kehamilan adalah 60-80% terjadi pada bayi yang lahir dengan usia kehamilan kurang dari 28 minggu;15-30% pada bayi antara 32-36 minggu dan jarang sekali ditemukan pada bayi cukup bulan (matur). Insidens pada bayi premature kulit putih lebih tinggi dari pada bayi kulit hitam dan lebih sering terjadi pada bayi laki laki dari pada bayi perempuan (Nelson, 1999). Selain itu, kenaikan frekuensi juga ditemukan pada bayi yang lahir dari ibu yang menderita gangguan perfusi darah uterus selama kehamilan, misalnya ibu penderita diabetes, hipertensi, hipotensi, seksio serta perdarahan antepartum. sebaliknya semakin tua usia kehamilan, semakin rendah

Patofisiologis
Bayi premature lahir dengan kondisi paru yang belum siap sepenuhnya untuk berfungsi sebagai organ pertukaran gas yang efektif. Hal ini merupakan factor kritis dalam terjadinya RDS. Ketidaksiapan paru menjalankan fungsinya tersebut terutama disebabkan oleh kekurangan atau tidak adanya surfaktan. Surfaktan adalah subtansi yang merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga tidak terjadi kolaps pada akhirnya ekspirasi dan mampu menahan sisa udara fungsional (kapasitas residu fingsional) (Ilmu Kesehatan Anak, 1985). Surfaktan juga menyebabkan ekspansi yang merata dan menjaga ekspansi paru pada tekanan intraalvolar yang rendah. Kekurangan atau ketidak matangan fungsi surfaktan menimbulkan ketidakseimbangan inflasi saat inspirasi dan kolaps alveoli saat ekspirasi. Tanpa surfaktan, janin tidak dapat menjaga parunya tetap mengembang. Oleh karena itu, perlu usaha yang keras untuk mengembangkan parunya pada setiap hembusan napas (ekspirasi) sehingga untuk pernapasan berikutnya

dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang lebih besar dengan disertai usaha inspirasi yang lebih kuat. Akibatnya, setiap kali bernafas menjadi sukar seperti saat pertama kali bernapas (saat kelahiran). Sebagai akibatnya, janin lebih banyak menghabiskan oksigen untuk

menghasilkan energy ini dari pada yang ia terima dan ini menyebabkan bayi kelelahan. Dengan meningkatnya kelelahan, bayi akan semakin sedikit membuka alveolinya. Ketidak mampuan mempertahankan pengembangan paru ini dapat menyebabkan atelektasis. Tidak adanya stabilitas dan atelektasis akan meningkatkan pulmonary vascular resistance (PVR) yang nilainya menurun pada ekspirasi paru normal. Akibatnya, terjadi hipoperfusi jaringan paru dan selanjutnya menurunkan aliran darah pulmonal. Di samping itu, peningkatan PVR juga menyebabkan pembalikan parsial sirkulasi darah janin dengan arah aliran dari kanan ke kiri melalui duktus arteriosus dan foramen ovale. Kolaps paru (atelektasis) akan menyebabkan gangguan ventilasi pulmonal yang menimbulkan hipoksia. Akibat dari hipoksia adalah konstriksi vaskularisasi pulmonal yang menimbulkan penurunan oksigenasi jaringan dan selanjutnya menyebabkan metabolism anaerobik. Metabolisme anaerobik menghasilkan timbunan asam laktat sehingga terjadi

asidosis metabolik pada bayi dan penurunan curah jantung yang menurunkan perfusi ke organ vital. Akibat lain adalah kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolus yang

menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan terbentuknya fibrin. Fibrin bersama sama dengan jaringan epitel yang nekrotik membentuk suatu lapisan yang disebut membrane hialin. Membrane hialin ini melapisi alveoli dan menghambat pertukaran gas. Atelektasis menyebabkan paru tidak mampu mengeluarkan karbon dioksida dari sisa pernapasan sehingga terjadi asidosis respiratorik. Penurunan pH menyebabkan vasokontriksi yang makin berat. Dengan penurunan sirkulasi paru dan perfusi alveolar, PaO2 akan menurun tajam, pH juga akan menurun tajam serta materi yangdiperlukan untuk produksi surfaktan tidak mengalir ke dalam alveoli. Sintesis surfaktan dipengaruhi sebagian oleh pH, suhu, dan perfusi normal. Asfiksia, hipoksemia, dan iskemia paru terutama dalam hubungannya dengan hipovolemia, hipotensi, dan stress dingin dapat menekan sintesis surdaktan. Lapisan epitel paru dapat juga terkena trauma akibat kadar oksigen yang tinggi dan pengaruh penatalaksanaan pernapasan yang mengakibatkan penurunan surfaktan lebih lanjut. RSD adalah penyakit yang dapat sembuh sendiri dan mengikuti masa deteriorasi (kurang lebih 48 jam) dan jika tidak ada komplikasi

paru akan membaik dalam 72 jam.

Proses perbaikan ini, terutama dikaitkan dengan

meningkatkan produksi dan ketersediaan materi surfaktan. Manifestasi Klinis Berat atau ringannya gejala klinis pada penyakit RDS ini sangat dipengaruhi oleh tingkat maturasi paru. Semakin rendah berat badan dan usia kehamilan, semakin berat gejala klinis yang ditunjukkan. Gejala dapat tampak beberapa jam setelah kelahiran. Bayi RDS yang mampu bertahan hidup sampai 96 jam pertama mempunyai prognosis yang baik. Gejala umum RDS Takipnea (>60 kali/menit) Pernapasan dangkal Mendengkur Sianosis Pucat Kelelahan Apnea dan pernapasan tidak teratur Penurunan suhu tubuh Retraksi suprasternal dan substernal Pernapasan cuping hidung

Tindakan pendukung yang krusial Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi adekuat Mempertahankan keseimbangan asam basa Mempertahankan suhu lingkungan netral Mempertahankan perfusi jaringan adekuat Mencegah hipotermia Mempertahankan cairan dan elekrolit adekuat

TETANUS NEONATORUM
Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonates (bayi berusia 0-1 bulan). Tetanus sendiri merupakan penyakit toksemia akut yang menyerang susunan saraf pusat, oleh karena adanya tetanuspasmin dari clostridium tetani. Tetanus juga dikenal dengan nama lockjaw, karena salah satu gejala penyakit ini adalah mulut yang sukar dibuka (seperti terkunci). Penyakit tetanus disebabkan oleh kuman clostridium tetani. Kuman c. tatani bersifat anaerobic, artinya kuman hidup dan berkembang denagn pesat dalam lingkungan yang kurang atau tidak mengandung oksigen. Kuman ini membentuk spora spora yang berbentuk batang, dengan ujung bulat seperti tongkat penabuh drum (drum stick). Spora tersebut bila tidak terpajan sinar matahari dapat hidup berbulan bulan bahkan beberapa tahun seperti di dalam tanah. Spora ini pun dapat merupakan flora usus normal dari kuda, sapi, domba, anjing, kucing, tikus, ayam, dan manusia. Sifat lain dari sporaini adalah tanah dalam air mendidih selama 4 jam, tetapi mati bila dipanaskan selama 20 menit pada suhu 121oC (dengan autoklaf).

Epidemiologi
Tetanus terdapat di seluruh dunia tetapi insidens di negara maju sudah sangat jarang. Penyakit tetanus ini masih merupakan masalah kesehatan di Negara berkembang karena sanitasi lingkungan yang kurang baik dan imunisasi aktif yang belum mencapai sasaran. Di Indonesia dan Negara berkembang lain, penyakit tetanus neonatorum masih menjadi masalah. Hal ini terutama di sababkan oleh penolong persalinan bagi masyarakat masih menggunakan tenaga non-profesional (dukun bayi/paraji). Factor lain adalah sebagian ibu yang melahirkan tidak atau belum mendapat imunisasi tetanus toksoid (TT) pada masa kehamilannya.

Pathogenesis
Clostridium tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka potongan tali pusat, yaitu tali pusat yang dipotong menggunakan alat yang tidak steril atau perawatan tali pusat yang tidak baik. Bila keadaan memungkinkan, missal lika menjadi anaerob disertai jaringan nekrotis, spora berubah menjadi bentuk vegetative dan selanjutnya berkembang biak. Kuman ini tidak invasive tetapi bila dinding sel kuman lisis, kuman ini akan melepaskan dua macam toksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmin sangat mudah diikat oleh saraf, oleh karena itu disebut juga neurotoksin. Tetanospasmin mencapai susunan saraf pusat bisa dengan dua cara : a. Melalui penyerapan pada sambungan mioneural, kemudian diikuti migrasi melalui ruang jaringan perineural (ruang jaringan perineural atau susunan saraf). b. Melalui pemindahan limfosit ke dalam darah dan selanjutnya ke susunan saraf pusat.

Sekali tetanospasmin terikat pada jaringan saraf, maka toksin tersebut tidak bisa dinetralisasi lagi oleh antitoksin tetanus. Tetanospasmin bekerja pada motor end plate otot skeler, medula spinalis, otak dan susunan saraf simpatis. Aktifitas tetanospasmin pada motor end plate akan menghambat pelepasan asetilkolin tetapi tidak menghambat alfa dan gama motor neuron sehingga tetanus otot, meningkat dan terjadi kontriksi otot berupa spasme otot. Tetanospasmin juga menghasilkan aktifitas berlebihan yang berfluktuasi dari system saraf simpatis sehingga menimbulkan gejala takikardia, hipertensi, labil, aritmia jantung, vasokontriksi pembuluh darah perifer, keringat berlebihan, hiperkarbia, dan peningkatan ekskresi katekolamin melalui air kemih. Tetanolisin menyebabkan lisis sel sel darah merah.

Manifestasi klinis
Masa inkubasi berkisar antara 3-14 hari, tetapi bisa berkurang atau lebih. Gejala klinis infeksi tetanus neonatrum umumnya muncul pada hari ke-3 sampai ke-10.

Gejala tetanus neonatrum


Bayi rewel sulit menetek.

Trismus (kesukaran membuka mulut karena spasme otot maseter) sehingga


Mulut mencucu seperti mulut ikan. Kejang Kuduk kaku sampai opistotonus Kesukaran menelan akibat spasme otot laring Asfiksia dan sianosis akibat spasme otot pernapasan Bayi sadar dan gelisah

Pengobatan dan pencegahan


a. Tetanus immunoglobulin (TIG) manusia. TIG diberikan sacara intramuskuler dengan dosis 250-500 unit. TIG ini diberikan dengan maksud untuk menetralisasi toksin yang beredar dalam darah. b. Antitetanus serum (ATS). ATS diberikan bila tidak tersedia TIG. Selama pemberian harus diperhatikan, karena ATS ini berasal dari serum kuda sehingga harus diantisipasi kemungkinan terjadinya syok anafilaksis. Dosis ATS 3000-5000 unit secara intramuscular. c. Antikonvulsan. Obat ini diberikan untuk merelaksasi otot dan kepekaan jaringan saraf terhadap rangsang. Obat yang lazim ini digunakan adalah diazepam (dengan dosis 0,5 mg/kg bb/hari dibagi dalam beberapa dosis dan diberikan intravena atau intramuscular) dan fenobarbital (dengan dosis 10-20 mg/kg bb/ hari(dibagi 4 kali). d. Antibiotika. Antibiotika digunakan untuk membunuh kuman c. tetani dalam bentuk vegetative. Antibiotika yang paling sering digunakan adalah penisilin

procain. Dosis 200.000 U/kg BB/ hari dibberikan intramuscular selama 10 hari setelah panas turun. e. Oksigen diberikan bila terjadi asfiksia atau sianosis. f. Tindakan pencegahan yang paling efektif adalah melakukan imunisasi dengan tetanus tokosid (TT) pada wanita calon pengantin dan ibu hamil sebanyak dua kali dengan interval minimal satu bulan. Selain itu, tindakan memotong dan merawat tali pusat harus secara steril.

Prognosis
Angka molaritas rata rata untuk tetanus neonatorum mencapai 60 % atau bahkan lebih tinggi lagi. Untuk penyakit tetanus secara umum prognosis dipengaruhi beberapa faktor, yaitu, a. Masa inkubasi. Semakin pendek masa inkubasi semakin buruk prognosisnya. Sebaliknya semakin panjang masa inkubasi semakin baik prognosisnya. Pada umumnya masa inkubasi yang kurang dari 7 hari prognosisnya buruk. b. Usia. Semakin muda usia penderita, semakin buruk prognosisnya. c. Periode awitan. Waktu antara terjadinya luka dengan gejala klinis. Semakin periode awitan (onset), semakin buruk prognosisnya. d. Panas. Penyakit tetanus tidak selalu disertai panas, maka adanya demm akan memperburuk prognosisnya. e. Pengobatan. Pengobatan yang terhambat akan memperburuk perognosisnya. f. Perawatan penunjang. Mutu perawatan penunjang juga berpengaruh terhadap prognosisnya penyakit tetanus.

You might also like