You are on page 1of 30

PROPOSAL THESIS KONSTRUKSI REALITAS HUKUMAN MATI TKI RUYATI DI ACARA METRO HIGHLIGHT

ZULMI SAVITRI 2010-03-012

UNIVERSITAS PROF. DR. MOESTOPO (BERAGAMA) PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU KOMUNIKASI JAKARTA 2011

Abstrak

Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui konstruksi realitas pemberitaan Hukuman Mati TKI Ruyati. Metro tv sebagai agen konstruksi realitas, menayangkan banyak pemberitaan mengenai hukuman mati TKI Ruyati. Selama sepekan masyarakat disuguhi olleh pemberitaan mengenai Ruyati. Dan pada tanggal 25 Juni 2011, Metro TV menayangkan Metro Highlight yang meringkas pemberitaan dalam sepekan. Teknis analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis framing dengan model Gamson dan Modigliani. Penelitian akan memusatkan bagaimana metro tv selaku media televisi yang sering dilihat oleh masyarakat mengkonstruksi pemberitaan tersebut.

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang........................................................................................................................................ 1 1.2. Rumusan Masalah Penelitian ................................................................................................................. 6 1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................................................................... 6 1.4. Manfaat Penelitian................................................................................................................................. 6 1.5. Keterbatasan Penelitian ......................................................................................................................... 7 BAB II KERANGKA TEORI 2.1. Konstruksi Realitas ................................................................................................................................. 8 2.2. Wacana ................................................................................................................................................ 11 2.2.1. Jenis dan Bentuk Wacana ................................................................................................................. 11 2.2.2. Teori Wacana (theories of discourse) dan Teori Komunikasi (theories of communications) ........... 12 2.3. Framing ................................................................................................................................................ 14 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Paradigma Penelitian ........................................................................................................................... 20 3.2. Pendekatan Penelitian ......................................................................................................................... 21 3.3. Sifat Penelitian ..................................................................................................................................... 22 3.4. Teknik pengumpulan data ................................................................................................................... 22 3.5. Teknik analisis data .............................................................................................................................. 23 DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Memasuki era keterbukaan, salah satu yang secara signifikan mengalami perubahan adalah semakin deras dan beragamnya pemberitaan dan informasi. Bukan hanya berubah dalam segi jumlah tetapi juga dalam segi keragaman berita, sumber berita, semakin variatif dan kreatifnya cara penyajian berita. Harold D Lasswell dan Charles Wright, menyatakan terdapat empat fungsi sosial media massa, yaitu : Pertama, sebagai social surveilance. Pada fungsi ini, media massa termasuk media televisi, akan senantiasa merujuk pada upaya penyebaran informasi dan interpretasi seobjektif mungkin mengenai peristiwa yang terjadi, dengan maksud agar dapat dilakukan kontrol sosial sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam lingkungan masyarakat bersangkutan. Kedua, sebagai social correlation. Dengan fungsi korelasi sosial tersebut, akan terjadi upaya penyebaran informasi yang dapat menghubungkan satu kelompok sosial dengan kelompok sosial lainnya. Begitupun antara pandangan pandangan yang berbeda, agar tercapai konsensus sosial. Ketiga, fungsi socialization. Pada fungsi ini, media massa selalu merujuk pada upaya pewarisan nilai-nilai luhur dari satu generasi ke generasi selanjutnya, atau dari satu kelompok ke kelompok lainnya. Keempat, fungsi entertainment. Agar tidak membosankan, sudah tentu media massa perlu juga menyajikan hiburan kepada khalayaknya. Hanya saja, fungsi hiburan ini sudah terlalu dominan mewarnai siaran televisi kita, sehingga ketiga fungsi lainnya, seolah telah terlupakan. Untuk itu, fungsi hiburan haruslah ditata agar seimbang dengan 3 (tiga) fungsi lainnya. Sejatinya, keempat fungsi media massa tersebut bersinergi dan sinkron dalam rangka menyajikan tontonan yang sehat. Sebab, hanya dengan tontonan yang sehat sajalah yang nantinya dapat melahirkan generasi yang sehat. Generasi yang memiliki karakter bangsa. Dalam hal inilah, kesadaran masyarakat dunia pada umumnya dan Indonesia secara khusus perlu
1

bertekad dan berkomitmen untuk mengupayakan agar ke depan jangan lagi mau membiarkan diri dan keluarganya didikte oleh siaran TV yang tidak mendidik dan bahkan merusak pembangunan karakter bangsa bagi masyarakat (warga negara) dalam pembangunan bangsa ke depan. Menurut Peter D. Moss (1999:185) dalam Prof. Dedy Mulyana, wacana media massa, termasuk berita televisi, merupakan konstruk kultural yang dihasilkan ideologi. Karena, sebagai produk media massa, televisi menggunakan kerangka tertentu untuk memahami realitas sosial. Lewat narasinya, televisi menawarkan kerangka tertentu untuk memahami realitas sosial. Lewat narasinya, televisi menawarkan definisi definisi tertentu mengenai kehidupan manusia. Bahasa termasuk bahasa gambar dapat digunakan untuk memberikan aksen tertentu terhadap suatu peristiwa dan tindakan, misalnya dengan menekankan, mempertajam, memperlembut, mengagungkan, melecehkan, membelokkan, atau mengaburkan peristiwa atau tindakan. Melalui penggunaan bahasa dan gambar sebagai sistem simbol yang utama, para pengelola televisi mampu menciptakan, memelihara, mengembangkan, dan bahkan meruntuhkan suatu realitas. Ketika menyimak suatu wacana televisi, terkadang kita tanpa sadar digiring oleh definisi yang ditanamkan oleh media massa tersebut. Secara tidak langsung hal itu membuat kita mengubah definisi kita mengenai realitas sosial atau memperteguh asumsi yang kita miliki sebelumnya. Kita boleh jadi semakin bersimpati kepada seseorang atau suatu kelompok dan semakin membenci kelompok lain, meskipun sebenarnya orang atau kelompok yang kita benci itu belum tentu bersalah secara hukun atau moral. Seperti yang dikatakan Peter Dahlgren (1991:192) dalam Prof. Deddy Mulyana, realitas sosial, menurut pandangan konstruktivis, setidaknya sebagian, adalah produksi manusia, hasil proses budaya, termasuk penggunaan bahasa. Dalam ungkapan Dennis McQuail, media massa merupakan filter yang menyaring sebagian pengalaman dan menyoroti pengalaman lainnya sekaligus kendala yang menghalasi kebenaran (dalam Littlejohn, 1996: 324). Maka, makna suatu peristiwa, yang diproduksi dan disebarluaskan oleh media massa, sebenarnya adalah suatu konstruksi yang temporer dan rentan. Peristiwa peristiwa yang dilaporkan televisi, berita sekalipun, jelas bukan peristiwa sebenarnya. Proses persepsi selektif yang dilakukan wartawan (kameraman) dan editor, disadari atau tidak, berperan dalam menghasilkan judul
2

tayangan;

sudut

pengambilan

gambar

(adegan)

mempengaruhi

khalayak

untuk

mempersepsikan status orang yang ditayangkan; penempatan acara di televisi (jam tayang) yang menandakan penting atau tidaknya tayangan; pendek atau panjangnya tayangan; komentar mana yang akan ditampilkan dan akan dibuang, yang sedikit banyak akan menunjukkan keberpihakan televisi; dan julukan apa yang dipilih televisi untuk

mempromosikan pihak yang mereka bela atau menyudutkan pihak lain yang mereka benci. Berita televisi sekalipun merupakan suatu cara untuk menciptakan realitas yang diinginkan mengenai peristiwa atau (kelompok) orang yang dilaporkan. Karena telah melewati proses seleksi dan reproduksi, berita televisi sebenarnya merupakan laporan peristiwa yang artifisial, tetapi dapat diklaim sebagai objektif oleh televisi itu untuk mencapai tujuan ideologis dan bisnis televisi tersebut. Dengan kata lain, berita televisi bukan sekadar menyampaikan, melainkan juga menciptakan makna. Kasus TKI yang saat ini sedang banyak diberitakan oleh media massa khususnya televisi adalah tentang kasus hukuman mati kepada TKI bernama Ruyati di Arab Saudi. Pemberitaan tersebut banyak dikaitkan antara ekskusi mati Ruyati TKI asal Indonesia tersebut dengan pola pemerintaah saat ini, yaitu mengkritik kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden Republik Indonesia. Seperti situs kompas.com misalnya. Menuduh eksekusi mati Ruyati binti Sapubi merupakan bentuk keteledoran pemerintah untuk melakukan diplomasi. Dalam pemberitaan kompas.com berjudul "Ruyati Dipancung, ke Mana SBY?" itu juga menganggap bahwa pidato SBY pada sidang ILO ke-100 pada 14 Juni 2011 mengenai perlindungan PRT migran di Indonesia hanya buaian saja. Banyak pembaca yang mendukung tulisan tersebut. Buktinya dari 200-an komentar pembaca yang masuk, terlihat sebanyak 85 persen mengecam pemerintah, sisanya hanya beberapa persen saja cenderung membuat komentar netral1. Memang bila kita mencoba melihat pemberitaan-pemberitaan di internet salah satu berita yang paling diminati pembaca adalah berita yang menjelek-jelekkan pemerintah. Maka tidak jarang bila presiden SBY sebagai tampuk kepemimpinan dikritik melalui sebuah
1

http://karodalnet.blogspot.com/2011/06/ruyati-binti-satubi.html

pemberitaan media online, maka niscaya berita tersebut akan langsung menjadi berita terpopuler dan mengundang puluhan bahkan ratusan komentar pembaca. Apakah memang tabiat kita selaku warga Indonesia memang sudah demikian parahnya, selalu saja merasa hebat juga sudah berhasil menjelekkan para pemimpin negeri kita sendiri? Atau memang pemimpin negeri ini sendiri yang telinganya sudah tertutup sehingga kritik demi kritik selalu saja bermunculan tanpa ada perbaikan oleh mereka tentang tatanan hukum dan ekonomi juga kesejahteraan di negeri ini? Sejalan dengan pemikiran William Gamson, keberhasilan dari gerakan sosial terletak dari bagaimana peristiwa dibingkai sehingga menimbulkan tindakan kolektif. Untuk memmunculkan tindakan kolektif, dibutuhkan penafsiran dan pemaknaan symbol yang dapat diterima secara kolektif. Maka dari itu gerakan sosial selalu diseleksi dan menggunakan symbol, nilai dan retorika tertentu untuk memobilisasi khalayak (Eriyanto, 2007, p.220). khalayak yang termobilisasi memberikan tanggapan, melalui berbagai bentuk seperti pada jejaring sosial facebook dan twitter. Komentar melalui media tersebut merupakan pertanda dari gerakan sosial. Pada kasus Ruyati binti Satubi yang eksekusi mati di Arab Saudi. Dia dinyatakan bersalah karena membunuh majikannya Khairiya bin Hamid Mijlid dengan memukul bagian kepalanya beberapa kali. Staf teknisi Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Jeddah, Budhi H Laksana, menyampaikan kronologis permasalahan hukum yang dijalani Ruyati hingga akhirnya dieksekusi. Siaran pers yang menjelaskan hukum yang dijalani Ruyati, adalah sebagai berikut : 1. Pada tanggal 12 Januari 2010, Ruyati telah membunuh majikannya, Khariyah Hamid (64 tahun) dengan pisau jagal (pisau besar) kemudian menusuk leher korban dengan pisau dapur. 2. Kasus ditangani oleh kupolisian Sektor Al Mansur Makkah Al Mukaromah penanganannya sejak awal tergolong cepat mengingat besarnya kasus dan kuatnya bukti-bukti yang ditemukan di TKP. 3. Kepolisian Al Mansur dan Badan Investigasi dan Penuntut Umum Makkah menginformasikan Ruyati dengan gambling dan santai mengakui telah membunuh
4

majikannya. Motif pembunuhan adalah rasa kesal akibat sering dimarahi oleh ibu majikan dan kecewa karena majikan tidak mau memulangkan. Ruyati juga menyatakan berniat untuk melarikan diri namun pintu rumah selalu terkunci sehingga tidak dapat keluar dari rumah majikan. Ruyati mengakui tidak pernah disiksa oleh majikannya. 4. KJRI menghadiri persidangan Ruyati sebanyak 2 kali yaitu tanggal 3 dan 10 Mei 2010. Dalam persidangan, Ruyati didampingi oleh dua penterjemah mahkamah

berkebangsaan Indonesia dan dua dari KJRI Jeddah. Begitu juga pada saat proses investigasi di Badan Investigasi dan saat reka ulang (rekonstruksi) di TKP, ruyati didampingi oleh penterjemah. 5. Sebagai upaya bantuan hokum, KJRI Jeddah telah mengirim dua nota diplomatik ke Kemlu Saudi Arabia tanggal 19 Mei 2010 dengan Nomor : 1948 dan tanggal 14 Agustus 2010 No. 2986 yang pada intinya meminta agar kepada KJRI diberikan akses kekonsuleran seluas-luasnya sebagaimana lazimnya termasuk informasi tentang jadwal persidangan, pendampingan dan pembelaan dalam sidang-sidang berikutnya untuk mendapatkan salinan putusan hokum terhadap Ruyati Binti Satubi. 6. Sehubungan dengan pemberitaan eksekusi qisas yang dilakukan oleh pemerintah Saudi Arabis KJRI telah melayangkan Nota Diplomatik informasi atas tidak adanya informasi mengenai jadwal eksekusi kepada Ruyati.

Sesungguhnya media memiliki tugas besar dan mulia, yakni mengembangkan wacana yang sehat demi kepentingan rakyat banyak. Melalui penyajiannya, media seyogianya lebih berempati terhadap pihak pihak yang dirugikan dan menderita . Pada gilirannya wacana yang sehat dapat dikembangkan untuk mencari solusi atas persoalan yang ada. Sayangnya, media menampilkan banyak kecenderungan negatif. Dalam meliput konflik, media kita selama bertahun - tahun cenderung berpihak pada kelompok tertentu, memanaskan situasi yang ada, seraya menonjolkan unsur kekerasan dari konflik dalam pemberitaan. Media seharusnya melaporkan peristiwa dengan misi membantu menyelesaikan konflik, misalnya dengan menampilkan nara sumber secara berimbang (cover both sides). Juga dengan mnyediakan konteks atau latar belakan peristiwa, yang mereka gali sendiri di lapangan (relitas sosiologis)
5

dan melalui dokumen yang ada serta yang terpenting mencari jalan keluar dan menawarkan solusi untuk memperbaiki keadaan.

1.2. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka dalam penelitian ini perumusan permasalahan berkaitan dengan Bagaimana konstruksi realitas tentang pemberitaan kasus hukuman mati TKI Ruyati dalam stasiun televisi metro tv?. Secara lebih khusus hal hal dalam bahasan tesis ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut : 1. Bagaimana metro tv membingkai kasus hukuman mati kepada ruyati? 2. Bagaimana realitas dan peristiwa hukuman tki ruyati dikonstruksikan dalam pemberitaan stasiun metro tv?

1.3. Tujuan Penelitian Secara umum tujuan penelitian ini adalah menggambarkan konstruksi realitas tentang kasus pemberitaan kasus hukuman mati TKI Ruyati dalam stasiun televisi metro tv sepanjang juni 2011. Secara khusus penelitian ini bertujuan : 1. Untuk mengetahui pembingkaian pemberitaan kasus hukuman mati TKI Ruyati di metro tv. 2. Untuk mengetahui realitas dan peristiwa hukuman tki ruyati dikonstruksikan dalam pemberitaan stasiun metro tv.

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu komunikasi khususnya mengenai analisis framing.

1.4.2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dua pihak: 1. Institusi Metro TV Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat dan memberi sumbangan pemikiran pada institusi terutama redaktur metro highlight, khususnya dalam membingkai atau mengkonstruksi suatu realitas. 2. Khalayak Konsumen Media Penelitian ini diharapkan dapat memberi wawasan dan cara pandang khalayak media terhadap media dalam menyajikan dan menggambarkan sebuah peristiwa melalui cara pandang serta konstruksi yang dibangun oleh wartawan di media massa khususnya media cetak.

1.5. Keterbatasan Penelitian Obyek penelitian hanya dibatasi pada acara metro Highlight yang ditayangkan stasiun metro tv pada hari senin tanggal 20 Juni 2011. Dan subyek penelitiannya adalah konstruksi realitas pemberitaan hukuman mati tki Ruyati dengan menggunakan unit naskah, isi dan dan gambar yang ada didalam dari subyek penelitian.

BAB II KERANGKA TEORI

2.1. Konstruksi Realitas Media mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan sosial, karena khalayak tidak sekedar mengkonsumsi media sebagai sarana untuk mendapatkan hiburan dan melepas ketegangan, tetapi informasi yang disajikan media sangat dibutuhkan khalayak sebagai konsumsi untuk otaknya, yang pada akhirnya akan mempengaruhi realitas subjektif dari khalayak sebagai para pelaku interaksi sosial Walter Lippman seperti dikutip McQuail menegaskan, bahwa media massa mampu menanamkan the picture in our heads tentang realitas yang terjadi di dunia ini. Fungsi yang menonjol dari komunikasi massa berkaitan dengan kehidupan masyarakat, tentunya fungsi ini dapat dirasakan baik pada setiap orang secara individual, bagi kelompok anggota masyarakat serta terhadap masyarakat secara keseluruhan. Istilah konstruksi realitas pertama kali diperkenankan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann pada tahun 19662. Menurut Berger dan Luckmann, proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, di mana individu secara intens menciptakan suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Lebih lanjut dikatakan bahwa konstruksi sosial adalah pembentukan pengetahuan yang diperoleh dari hasil penemuan sosial. Realitas terbentuk secara sosial dan sosiologi merupakan ilmu pengetahuan untuk menganalisa proses bagaimana terjadinya. Dalam hal ini pemahaman realitas dan pengetahuan dipisahkan. Mereka mengakui realitas objektif, dengan membatasi sebagai kualitas yang berkaitan dengan fenomena yang kita anggap berada di luar kemampuan kita (sebab fenomena tersebut tidak bisa dienyahkan). Realitas sosial sehari hari memiliki dimensi dimensi yang subyektif dan objektif. Manusia merupakan instrumen dalam menciptakan realitas sosial yang objektif melalui proses eksternalisasi (yang menciptakan realitas objektif) dan internalisasi (mencerminkan realitas subjektif). Realitas sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi, di mana konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan kepentingan kepentingan. Eksternalisasi adalah penyesuaian diri individu dengan dunia sosiokultural
2

sebagai

produk

manusia.

Internalisasi

adalah

proses

dimana

individu

Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial Atas Kenyataan : Sebuah Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan (terjemahan Hasan Basri), Jakarta : LP3ES, 1990

mengidentifikasi dirinya dengan lembaga lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya. Sedangkan objektivasi adalah interaksi sosial yang terjadin dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusional (Berger, 2000;302). Riset yang menggunakan paradigma kritikal cenderung mengungkap realitas tersembunyi dibalik realitas yang tampak (virtual reality). Dalam pandangan paradigma kritikal, realitas yang tampak itu merupakan arena Discourse (dengan D besar) secara tersembunyi. Justruk karena ada Discourse itulah maka kita bias menemukan fakta social dibalik teks. Lebih dari itu, bahkan kita bias menangkap motif para pembuat wacana entah itu berupa kepentingan idealis, ideologis, politik, ekonomi dan sebagainya. Dengan demikian kita menyadari ternyata teks itu tidak hadir begitu saja (teknis belaka) dihadapan khalayak, melainkan hasil bentukan secara sadar atas pertimbangan-pertimbangan dan atau motif motif tertentu. Maka, untuk kepentingan kajian teoritis, hal ini memberikan implikasi bahwa dengan memahami atau mempelajari isi media dari aspek teknis belaka jelas tidak memadai lagi. Penjelasan tentang isi media harus menyentuh fakta-fakta sosial yang potensial masuk ke dalam teks tersebut, baik itu aspek ideologis, politis, maupun ekonomis. Diluar kontradiksinya dengan keharusan media untuk bersikap objektif dalam pengemasan berita, pemikiran konstruksi realitas ini dapat memberi sumbangan bagi pengembangan teori komunikasi, dalam hal ini model komunikasi. Jika diasumsikan atas dasar Theoretical Frramework yang telah dikembangkan, bahwa pada prinsipnya peristiwa komunikasi tidak terjadi begitu saja, melainkan dilakukan secara sadar oleh para partisipannya dalam mengkonstruksikan pesan, maka dapatlah dikemukakan model komunikasi konstruksi realitas, baik untuk komunikasi interpersonal maupun komunikasi dengan menggunakan media. Untuk proses komunikasi interpersonal, modelnya dapat berbentuk seperti pada gambar 1.

Gambar 1 : Model Komunikasi Konstruksi Realitas3


Pesan Konstruksi Realitas oleh A yang dipengaruhi Faktor-Faktor Eksternal dan Internal si A Konstruksi Realitas B yang dipengaruhi Faktor-Faktor Eksternal dan Internal si B Pesan

Jika model ini dikembangkan untuk proses komunikasi massa, maka dapat dibuat modelnya sebagaimana gambar 2. Melalui model ini dapat diketahui motivasi dan hasil konstruksi realitas oleh seorang komunikator serta opini yang akan terbentuk. Gambar 2 : Model Komunikasi Realitas Untuk Komunikasi Massa

Faktor Internal

PROSES KONSTRUKSI REALITAS OLEH MEDIA MASSA

WACANA SEBAGAI HASIL KONSTRUKSI REALITAS

PUBLIK

Hasil : makna, opini, citra, motif

Faktor Eksternal

Model ini diilhami oeh tulisan Klaus Krippendorff, Arecursive Theory of Communication dalam David Crowler dan David Mitchell, Communication Theory Today (Cambridge: Policy: 1995), hlm. 78-102.

10

2.2. Wacana

Istilah wacana (discourse) yang berasal dari Bahasa Latin, discursus, telah digunakan baik dalam arti terbatas maupun luas. Secara terbatas, istilah ini menunjuk pada aturan-aturan dan kebiasaan-kebiasaan yang mendasari penggunaan bahasa baik dalam komunikasi lisan maupun tulisan. Secara lebih luas, istilah wacana menunjuk pada bahasa dalam tindakan serta pola-pola yang menjadi ciri jenis-jenis bahasa dalam tindakan4. Dalam lapangan sosiologi, wacana menunjuk terutama dalam hubungan konteks sosial dari pemakaian bahasa. Dalam pengertian linguistik, wacana adalah unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat. Sedangkan menurut Michael Foucault (1972), wacana; kadang kala sebagai bidang dari semua pernyataan (statement), kadang kala sebagai sebuah individualisasi kelompok pernyataan, dan kadang kala sebagai praktik regulatif yang dilihat dari sejumlah pernyataan. Menurut Eriyanto, Analisis Wacana dalam studi linguistik merupakan reaksi dari bentuk linguistik formal (yang lebih memperhatikan pada unit kata, frase, atau kalimat semata tanpa melihat keterkaitan di antara unsur tersebut). Analisis wacana adalah kebalikan dari linguistik formal, karena memusatkan perhatian pada level di atas kalimat, seperti hubungan gramatikal yang terbentuk pada level yang lebih besar dari kalimat. Analisis wacana dalam lapangan psikologi sosial diartikan sebagai pembicaraan. Wacana yang dimaksud di sini agak mirip dengan struktur dan bentuk wawancara dan praktik dari pemakainya. Sementara dalam lapangan politik, analisis wacana adalah praktik pemakaian bahasa, terutama politik bahasa. Karena bahasa adalah aspek sentral dari penggambaran suatu subyek, dan lewat bahasa ideologi terserap di dalamnya, maka aspek inilah yang dipelajari dalam analisis wacana 5.

2.2.1. Jenis dan Bentuk Wacana

1. Text (wacana dalam wujud tulisan/grafis) antara lain dalam wujud berita, features, artikel opini, cerpen, novel, dsb. 2. Talks (wacana dalam wujud ucapan), antara lain dalam wujud rekaman wawancara, obrolan, pidato, dsb.
4 5

Ronald Carter, et al. 1997. Working with Texts: A core book for language analysis. London: Routledge. Eriyanto, (2001). Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta : LKiS

11

3. Act (wacana dalam wujud tindakan) antara lain dalam wujud lakon drama, tarian, film, defile, demonstrasi, dsb. 4. Artifact (wacana dalam wujud jejak) antara lain dalam wujud bangunan, lanskap, fashion, puing, dsb.

2.2.2. Teori Wacana (theories of discourse) dan Teori Komunikasi (theories of communications)

Untuk memahami perkembangan analisis wacana (discourse analysis) dalam ilmu sebaiknya kita pahami terlebih dahulu hubungan antara teori wacana (theories of discourse) dan teori komunikasi (theories of communications). Hal demikian dikarenakan berbicara analisis wacana dalam ilmu komunikasi tidak dapat dilepaskan dari perbincangan tentang pengaruh teori wacana terhadap teori komunikasi. Salah satu teori discourse yang sangat relevan dengan teori komunikasi berasal dari James P. Gee (2005 : 26). Gee membedakan discourse kedalam dua jenis: Pertama, discourse (d kecil) yang melihat bagaimana bahasa digunakan pada tempatnya (on site) untuk memerankan kegiatan, pandangan, dan identitas atas dasar-dasar linguistik. Kedua, Discourse (D besar) yang merangkaikan unsur linguistik pada discourse (dengan d kecil) bersama-sama unsur non-linguistik (non-language stuff) untuk memerankan kegiatan, pandangan, dan identitas. Bentuk non-language stuff ini dapat berupa kepentingan ideologi, politik, ekonomi, dan sebagainya. Komponen non-language stuff itu juga yang membedakan cara beraksi, berinteraksi, berperasaan, kepercayaan, penilaian satu komunikator dari komunikator lainnnya dalam mengenali atau mengakui diri sendiri dan orang lain. Mengingat bahwa setiap tindakan komunikasi senantiasa mengandung kepentingan, apalagi komunikasi melalui media massa seperti surat kabar, majalah, radio, dan televisi, maka layaklah jika dikatakan bahwa setiap tindakan komunikasi adalah suatu Discourse (dengan D besar). Dalam pandangan communication as Discourse ini, komunikasi dilakukan dalam rangka menciptakan kenyataan lain atau kenyataan kedua dalam bentuk wacana (discourse) dari kenyataan yang pertama. Cara yang ditempuh dalam pembentukan wacana (realitas kedua) itu adalah sebuah proses yang disebut konstruksi realitas atau construction of reality.

12

Seperti tampak dalam Gambar 1, berdasarkan sebuah penelitian Ibnu Hamad 6, proses konstruksi realitas oleh pelaku (2) dalam media massa dimulai dengan adanya realitas pertama berupa keadaan, benda, pikiran, orang, pristiwa, dan sebagainya (1). Secara umum, sistem komunikasi adalah faktor yang mempengaruhi sang pelaku dalam membuat wacana. Dalam sistem komunikasi libertarian, wacana yang terbentuk akan berbeda dalam sistem komunikasi yang otoritarian. Secara lebih khusus, dinamika internal dan eksternal (4) yang mengenai diri si pelaku konstruksi tentu saja sangat mempengaruhi proses kontruksi. Ini juga menunjukkan bahwa pembentukan wacana tidak berada dalam ruang vakum. Pengaruh itu bisa datang dari pribadi si pembuat dalam bentuk kepentingan idealis, ideologis, dan sebagainya maupun dari kepentingan eksternal dari khalayak sasaran sebagai pasar, sponsor dan sebagainya (5).
Gambar 3 : Proses Konstruksi Realitas dalam Pembentuk Discourse

Realitas Pertama: Kedaan, Benda, Pikiran, Orang, Peristiwa, ... (1)

Dinamika Internal dan Eksternal Pelaku Konstruksi (4)

Sistem Komunikasi yang Berlaku (3)

Strategi Mengkonstruksi Realitas (6)

Faktor Internal : Ideologis, Idealis... Faktor Eksternal: Pasar, Sponsor... (5)

Proses Konstruksi Realitas oleh Pelaku (2)

Strategi Signing Strategi Framing Taktik Priming (7)

Discourse atau Realitas yang Dikonstruksikan (Text, Talk, Act dan Artifact) (8)

Makna, Citra, dan Kepentingan di Balik Wacana (9)


6

Hamad, Ibnu, 2005, Perkembangan Analisis Wacana Dalam Ilmu Komunikasi, Sebuah Telaah Ringkas

13

Analisis wacana, dalam arti paling sederhana adalah kajian terhadap satuan bahasa di atas kalimat. Lazimnya, perluasan arti istilah ini dikaitkan dengan konteks lebih luas yang mempengaruhi makna rangkaian ungkapan secara keseluruhan. Para analis wacana mengkaji bagian lebih besar bahasa ketika mereka saling bertautan. Beberapa analis wacana mempertimbangkan konteks yang lebih luas lagi untuk memahami bagaimana konteks itu mempengaruhi makna kalimat7.

2.3. Framing Framing adalah metode untuk melihat cara bercerita (story telling) media atas peristiwa. Cara bercerita itu tergambar pada cara melihat ini berpengaruh pada hasil akhir dari konstruksi realitas. Analisis framing adalah analisis yang dipakai untuk melihat bagaimana media mengkonstruksi realitas. Analisis framing juga dipakai untuk melihat bagaimana peristiwa dipahami dan dibingkai oleh media8. Gamson dan modigliani (Nugroho, Eriyanto, Surdiasis, 1999:21-22) menyebut cara melihat itu sebagai kemasan (package) yang mengandung konstruksi makna atas peristiwa yang akan diberitakan. Menurut mereka, frame adalah cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Analisis framing cocok digunakan untuk melihat konteks sosial budaya suatu wacana, khususnya hubungan antara berita (atau wacana, tema, topik) dan ideologi, yakni proses atau mekanisme mengenai bagaimana berita membangun, mempertahankan, mereproduksi, mengubah dan meruntuhkan ideologi. Analisis framing dapat digunakan untuk melihat siapa mengendalikan siapa dalam suatu struktur kekuasaan, pihak mana yang diuntungkan dan dirugikan, siapa penindas dan siapa yang tertindas, tindakan politik mana yang konstitusional dan inkonstitusional, kebijakan mana yang boleh didukung dan tidak boleh didukung dan sebagainya. Media massa Indonesia sangat kaya akan wacana, kalau digali dengan analisis framing akan melukiskan bagaimana perubahan konstelasi kekuasaan antara berbagai komponen suatu
7 8

Deborah Tannen. 2004. Discourse Analysis. Working Paper. Georgetown University. Eriyanto. 2002. Analisa Framing : Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta : LKiS

14

bangsa, masyarakat atau komunitas. (Prof.Dedi Mulyana). Maka, perlu untuk memahami pendekatan konstruktivis mengenai proses pembuatan berita sebagaimana yang dikatakan Gamson dan Modigliani, Wacana media dapat dikonsepsikan sebagai seperangkat kemasan interpretif yang memberi makna kepada suatu isu. Suatu kemasan memiliki struktur internal. Intinya adalah suatu gagasan yang mengorganisasikan, atau suatu kerangka (frame), untuk memahami peristiwa peristiwa yang relevan, menyarankan apakah isu tersebut. Menurut Gamson dan Modigliani, kerangka ini lazimnya mengisyaratkan suatu rentang pandangan, alih alih satu pandangan saja, memungkinkan suatu perdebatan antara mereka yang berbagi kerangka yang sama. Kerangka atau seperangkat simbol yang padat dalam kemasan berita ini sejenis steno, yang dapat menunjukkan kemasan tersebut sebagai keseluruhan dengan metafor yang tangkas, frase kunci, atau sarana simbolik lainnya (Tuchman,1991:89). William A. Gamson adala salah satu ahli yang paling banyak menulis mengenai framing. Gagasan Gamson terutama menghubungkan wacana media di satu sisi dengan pendapatr umum di sisi yang lain. Dalam pandangan Gamson, wacana media adalah elemen yang penting untuk memahami dan mengerti pendapat umum yang berkembang atas suatu isu atau peristiwa. Pendapat umum tidak cukup kalau hanya didasarkan pada data survei khalayak. Data-data itu perlu dihubungkan dan diperbandingkan dengan bagaimana media mengemas dan menyajikan suatu isu menentukan bagaimana khalayak memahami dan mengerti suatu isu. Baik pendapat umum maupun wacana media mempunyai hubungan yang pararel. Perubahan dalam pendapat umum, memengaruhi perubahan pendapat umum. Setiap sistem berinteraksi antara satu dengan yang lainnya. Wacana media adalah saluran individu mengontruksi makna, dan pendapat umum adalah bagian dari proses melalui makna wartawan dan pekerja media membangun dan mengontruksi realitas yang akan disajikannya ke dalam berita. Wacana media adalah salah satu bagian dari wacana publik. Media, dalam perspektif ini, memainkan peranan dan fungsi yang kompleks. Media adalah bagain dari proses produksi budaya. Gamson adalah seorang sosiolog, meskipun demikian, ia menaruh minat yang besar pada studi media. Sebagai sosiolog, titik perhatian Gamson terutama pada studi mengenai gerakan sosial (social movement). Perhatian Gamson pada studi gerakan sosial mau tidak mau
15

menyinggung studi media, elemen penting dari gerakan sosial. Pertanyaan utama dari studi gerakan sosial adalah apa yang menyebabkan orang/individu terlibat dalam gerakan sosial/protes sosial. Apa yang menyebabkan ribuan orang bisa turun ke jalan, mempunyai pikiran dan perasaan yang sama atas suatu isu. Jawaban dari pertanyaan tersebut merupakan di antaranya karena framing. Frame menunjuk pada skema pemahaman individu sehingga seseorang dapat menempatkan, memersepsi, mengidentifikasi, dan memberi label peristiwa dalam pemahaman tertentu. Dalam suatu peristiwa, frame berperan dalam mengorganisasi pengalaman dan petunjuk tindakan, baik secara individu maupun kolektif. Dalam pemahaman ini, frame tentu saja berperan dan menjadi aspek yang menentukan berpartisipasi dalam partisipasi gerakan sosial. Elit membingkai peristiwa sedemikian rupa sehingga khalayak mempunyai perasaan yang sama. Keberhasilan gerakan/protes sosial di antaranya ditentukan oleh sejauh mana khalayak mempunyai pandangan yang sama atas suatu isu, musuh bersama, dan tujuan bersama. Dalam pandangan Gamson, seseorang berpikir dan mengomunikasikan melalui citra dan diterima sebagai kenyataan. Makna di sini bukan sesuatu yang tetap dan pasti, melainkan secara terus menerus dinegosiasikan. Citra dan simbol itulah yang bisa membangkitkan perasaan bersama khalayak. Menurut Gamson, dalam gerakan sosial paling tidak membutuhkan tiga frame/bingkai. Pertama, Aggregate frame: proses pendefinisian isu sebagai masalah sosial. Bagaimana individu yang mendengar frame atas peristiwa tersebut sadar bahwa isu tersebut adalah masalah bersama yang berpengaruh bagi setiap individu. Kedua, Consensus frame: proses pendefinisian yang berkaitan dengan masalah sosial hanya dapat diselesaikan oleh tindakan kolektif. Frame konsensus ini mengontruksi perasaan dan identifikasi dari individu untuk bertindak secara kolektif. Ketiga, Collective action frame: proses pendefinisian yang berkaitan dengan kenapa dibutuhkan tindakan kolektif, dan tindakan kolektif apa yang harusnya dilakukan. Frame ini mengikat perasaan kolektif khalayak agar bisa terlibat secara bersama sama dalam gerakan/protes sosial. Collective action frame ini dikonstruksi lewat tiga elemen, yaitu:

16

a. Injustice frame Umumnya ditandai dengan konstruksi peristiwa: adanya ketidakadilan, ketimpangan, dan kecurangan yang bisa menyentuh khalayak. Ketimpangan atau ketidakadilan tersebut bukanlah keputusan intelektual, melainkan konstruksi yang dibentuk oleh agen. Frame ini menyediakan alasan kenapa kelompok harus bertindak sesegera mungkin.

b. Agency frame Umumnya berhubungan dengan pembentukan konstruksi siapa kawan siapa lawan, siapa pihak kita dan siapa pihak mereka. Frame ini secara umum bertujuan untuk membuat peneguhan bahwa kita bisa melakukan sesuatu, kalau bukan kita siapa lagi.

c. Identity frame Dalam frame ini bukan hanya siapa kita dan siapa mereka, melainkan juga mengidentifikasi bahwa kita berbeda dengan mereka. Kita begini, mereka begitu, dan seterusnya. Seluruh proses tersebut kalau dilihat membentuk proses dari kelahiran sampai pematangan dan tumbuhnya kesadaran kolektif. Mereka yang terlibat dan terikat dalam protes sosial, karenanya, mempunyai perasaan yang sama, masalah yang sama, identifikasi penyelesaian masalah yang sama, dan pada akhirnya kawan dan lawan yang sama juga.

Gagasan Gamson mengenai frame media ditulis bersama Andre Modigliani. Sebuah frame, mempunyai struktur internal. Pada titik ini ada sebuah pusat organisasi atau ide, yang membuat peristiwa menjadi relevan dan menekankan suatu isu. Sebuah frame umumnya menunjukkan dan mengambarkan range posisi, bukan hanya satu posisi. Dalam formulasi yang dibuat oleh Gamson dan Andre Modigliani, frame dipandang sebagai cara bercerita (story line) atau gugusan ide yang tersusun sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna dari peristiwa yang berkaitan dengan suatu wacana. Gamson melihat wacana media (khususnya berita) terdiri atas sejumlah kemasan (package) melalui makna konstruksi atas suatu peristiwa
17

yang dibentuk. Kemasan itu merupakan skema atau struktur pemahaman yang dipakai oleh seseorang ketika mengontruksi pesan-pesan yang dia sampaikan, dan menafsirkan pesan yang dia terima. Kemasan (package) tersebut, dibayangkan sebagai wadah atau struktur data yang mengorganisir sejumlah informasi yang menunjukkan posisi atau kecendrungan politik, dan yang membantu komunikator untuk menjelaskan muatan-muatan di balik suatu isu atau peristiwa. Keberadaan dari suatu package terlihat dari adanya gagasan sentral yang kemudian didukung oleh perangkat-perangkat wacana, seperti kata, kalimat, pemakaian gambar atau grafik tertentu, proposisi, dan lain sebagainya. Semua elemen dan struktur wacana tersebut mengarah pada ide sentral dari suatu berita. Ada dua perangkat bagaimana ide sentral ini diterjemahkan dalam berita teks berita. Pertama, framing device (perangkat framing). Perangkat ini berhubungan dan berkaitan langsung dengan ide sentral atau bingkai yang ditekankan dalam teks berita. Perangkat framing ini ditandai dengan pemakaian kata, kalimat, gambar/grafik, dan metafora tertentu. Semua elemen tersebut dapat ditemukan dan ditandai serta merujuk pada gagasan atau ide sentral tertentu. Kedua, reasoning devices (perangkat penalaran). Jika yang berkaitan dengan pemakaian kata, kalimat, atau metafora tertentu yang menunjuk pada gagasan tertentu sedangkan perangkat penalaran berhubungan dengan kohesi dan koherensi dari teks tersebut yang merujuk pada gagasan tertentu. Sebuah gagasan tidak hanya berisi kata atau kalimat, gagasan itu juga selalu ditandai dengan dasar pembenar tertentu dan alasan tertentu. Dengan tujuan untuk membuat pendapat atau gagasan tampak benar, absah, dan demikian adanya. Melalui aspek penalaran tersebut, khalayak akan menerima pesan itu sehingga tampak sebagai kebenaran, alamiah, dan wajar. Sebaliknya, jika dalam suatu teks tidak terdapat elemen penalaran demikian, gagasan akan tampak aneh, tidak beralasan, dan orang dengan mudah mempertanyakan pesan atau gagasan tersebut.

18

Model analisis framing William A. Gamson dan Andre Modigliani membagi struktur analisis menjadi tiga bagian: a. Media package merupakan asumsi bahwa berita memiliki konstruksi makna tertentu. b. Core frame merupakan gagasan sentral. c. Condinsing symbol merupakan hasil pencermatan terhadap perangkat simbolik (framing device/perangkat framing dan reasoning device/perangkat penalaran).

Perangkat framing terbagi menjadi lima bagian: a. Methaphors adalah perumpamaan dan pengandaian b. Catchphrase adalah perangkat berupa jargon-jargon atau slogan. c. Exemplaar adalah uraian untuk membenarkan perspektif. d. Depiction adalah leksikon untuk melabeli sesuatu. e. Visual image adalah perangkat dalam bentuk gambar, grafis dan sebagainya.

Perangkat penalaran terbagi menjadi tiga bagian: a. Roots merupakan analisis kausal atau sebab akibat. b. Appeals to principle merupakan premis dasar, klaim-klaim moral. c. Consequence merupakan efek atau konsekuensi.

19

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Paradigma Penelitian Pendekatan analisis wacana juga terpilah berdasarkan paradigma kajian (paradigm of inquiry) yang mendasarinya. Secara umum ada tiga paradigma kajian yang berkembang dan saling bersaing dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Masing-masing adalah analisis wacana positivisme (positivist discourse analysis), analisis wacana interpretivisme (interpretivist discourse analysis), dan analisis wacana kritisisme (critical discourse analysis)9. Penganjur paradigma interpretivisme menolak pemisahan manusia sebagai subjek dengan objek. Bahasa tidak dapat dipahami terkecuali dengan memperhatikan subjek pelakunya. Subjek manusia diyakini mampu mengendalikan maksud-maksud tertentu dalam tindak berwacana. Karena itu, setiap pernyataan pada hakikatnya adalah tindak penciptaan makna. Dalam perspektif ini pula berkembang teori tindak-tutur, serta keberlakuan kaidahkaidah kejasama dalam percakapan10. Analisis framing termasuk ke dalam paradigma konstruksionis. Paradigma ini mempunyai posisi dan pandangan tersendiri terhadap media dan teks berita yang dihasilkannya. Konsep mengenai konstruksionisme diperkenalkan oleh sosiolog interpretatif, Peter L Berger bersama Thomas Luckman. Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman semacam ini, realitas berwajah ganda/plural. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas.

Mohammad AS.Hikam.1999. Bahasa, Politik dan Penghampiran Discursive Practice: Sebuah Catatan Awal, dalam Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES. 10 J. L. Austin. 1962. How to Do Things with Words. Cambridge, Mass.: Harvard University Press; , H. P. Grice. 1989. Studies in the Way of Words. Cambridge, Mass.: Harvard University Press.

20

3.2. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pendekatan ini memungkinkan seorang peneliti untuk menginterpretasikan dan menjelaskan suatu fenomena secara holistik dengan menggunakan katakata, tanpa harus bergantung pada sebuah angka. (Pengertian kualitatif) Pendekatan kualitatif menekankan pada makna, penalaran, definisi suatu situasi tertentu (dalam konteks tertentu), lebih banyak meneliti halhal yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Pendekatan kualitatif, lebih lanjut mementingkan proses dibandingkan dengan hasil akhir. Oleh karena itu urutan-urutan kegiatan dapat berubah sewaktu waktu tergantung pada kondisi dan banyaknya gejala-gejala yang ditemukan. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu secara holistik (utuh). Berikut ciri-ciri penelitian kualitatif11 : a. Penelitian kualitatif melakukan penelitian pada latar alamiah atau pada konteks dari suatu keutuhan. b. Peneliti sendiri atau dengan bantuan orang merupakan alat pengumpul data utama. Karenanya dalam penelitian ini peneliti sendiri yang melakukan wawancara dengan informan. Pengetikan dan analisis data pun peneliti lakukan sendiri karena penelitilah yang paling mengerti konteks pengumpulan data saat wawancara berlangsung. c. Analisis data dilakukan secara induktif, yakni dengan mengumpulkan fakta-fakta yang ada di lapangan untuk kemudian menarik kesimpulan dari fakta-fakta yang ada. Analisis data pun dilakukan secara induktif, seiring dengan perkembangan tahap penelitian. d. Data yang dikumpulkan deskriktif berupa kata-kata, karenanya laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan hasil wawancara untuk memberi gambaran penyajian laporan. Data berasal dari hasil wawancara, catatan lapangan dan buku harian yang ditulis oleh informan. Dalam wawancara, peneliti selalu bertanya mengapa guna mempertajam jawaban wawancara yang diberikan informan. e. Desain penelitian bersifat semenara yang dalam proses penyusunannya terus menerus mengalami perubahan berkaitan dengan fakta-fakta baru yang muncul di lapangan yang tidak diperkirakan sebelumnya sehingga menuntut adanya perubahan dalam desain

11

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1990), Hlm. 4.

21

penelitian. Misalnya munculnya suatu fakta baru di lapangan yang menuntut teori yang digunakan.

3.3. Sifat Penelitian Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bermaksud untuk membuat pencandraan (deskripsi) secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu12. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena13. Berdasarkan sifat penelitian deskriptif, data yang di kumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Dengan begitu laporan penelitian ini akan berisi kutipankutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Data tersebut dapat berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto, videotape, dokumen pribadi, catatan atau memo, dan dokumen resmi lainnya14.

3.4. Teknik pengumpulan data Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah pengumpulan data pada level teks pemberitaan, satuan analisisnya adalah teks berita tentang kasus hukuman mati terhadap TKI bernama Ruyati di Arab Saudi pada program berita metro tv. Pemilihan pada edisi tersebut tidak lepas dari menyeruaknya perhatian masyarakat dan ramainya pemberitaan terhadap kasus hukuman mati TKI.

12 13

Suryabrata, Metode Penelitian. (Jakarta: CV. Rajawali, 1983), hlm.19. Moh. Nazir, Metode Penelitian, ( Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), hlm. 54-55. 14 Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi), (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004) hlm. 11.

22

3.5. Teknik analisis data 3.5.1. Analisis Framing Gamson dan Modigliani Dalam meneliti pemberitaan kasus Hukuman Mati TKI Ruyati di Metro TV, digunakan model analisis framing Gamson Dan Modigliani. Berikut model analisis Framing dengan mengunakan pendekatan William A. Gamson dan Andre Modiqliani :
Gambar 4 : Model Analisis Framing William A. Gamson dan Andre Modigliani15
MEDIA PACKAGE

CORE FRAME

CONDENSING SYMBOLS FRAMING DEVICES 1. 2. 3. 4. 5. Metaphors Exemplars Catchphrases Depictions Visual images REASONING DEVICES 1. Roots 2. Appeal to Principle

Core frames (gagasan sentral) pada dasarnya berisi elemen-elemen inti untuk memberikan pengertian yang relevan terhadap peristiwa, dan mengarahkan makna isuyang dibangun condensing symbol (simbol yang "dimampatkan"). Condensing symbol adalah hasil pencermatan terhadap interaksi perangkat simbolik (framing devices dan reasoning devices) sebagai dasar digunakannya perspektif. Simbol dalam
15

Diadopsi dari Wiliam A. Gamson dan Andre Modigliani Media Discourse and Public Opinion on Nuclear Power a Constructionist Approach, Journal of Sociology, Vol 95, No. 1 , July 1989, hlm. 3, dalam Siahaan et al., 2001, hlm. 87

23

wacana terlihat transparan bila dalam dirinya menyusup perangkat bermakna yang mampu berperan sebagai panduan menggantikan sesuatu yang lain. Struktur framing devices yang mencakup metaphors, exemplars, catchphrases, depictions, dan visual images menekankan aspek bagaimana "melihat" suatu isu. Struktur reasoning devices menekankan aspek pembenaran terhadap cara "melihat" isu, yakni roots (analisis kausal) dan appeals to principle (klaim moral).
Metaphors dipahami sebagai cara memindah makna dengan merelasikan dua fakta melalui analogi, atau memakai kiasan dengan menggunakan kata-kata seperti, ibarat, bak, sebagai, umpama, laksana.

Exemplars mengemas fakta tertentu secara mendalam agar satu memiliki bobot makna lebih untuk dijadikan rujukan/pelajaran. Posisinya menjadi pelengkap bingkai inti dalam kesatuan berita untuk membenarkan perspektif. Cathphrases, istilah, bentukan kata, atau frase khas cerminan fakta yang merujuk pemikiran atau semangat tertentu. Dalam teks berita, cathphrases mewujud dalam bentuk jargon, slogan, atau semboyan. Depictions, penggambaran fakta dengan memakai kata, istilah, kalimat konotatif agar khalayak terarah ke citra tertentu. Asumsinya, pemakaian kata khusus diniatkan untuk membangkitkan prasangka, menyesatkan pikiran dan tindakan, serta efektif sebagai bentuk aksi politik. Depictions dapat berbentuk stigmatisasi, eufemisme, serta akronimisasi. Visual images, pemakaian foto, diagram, grafis, Label, kartun, dan sejenisnya untuk mengekspresikan kesan, misalnya perhatian atau penolakan, dibesarkan-dikecilkan, ditebalkan atau dimiringkan, serta pemakaian warna. Visual image bersifat sangat natural, sangat mewakili realitas yang membuat erat muatan ideologi pesan dengan khalayak. Roots (analisis kausal), pembenaran isu dengan menghubungkan suatu objek atau lebih yang dianggap menjadi sebab timbulnya atau terjadinya hal yang lain. Tujuannya, membenarkan penyimpulan fakta berdasar hubungan sebab-akibat yang digambarkan atau dibeberkan. Gunther Kress dan Theo van Leeuwen menyatakan, penataan visual images halaman surat kabar bukan sekadar alasan estetika perwajahan, tetapi lebih merupakan proses mempengaruhi lewat efek dan fungsi pesan agar menancap di benak khalayak, termasuk aspek ideologi, pengaruh, dan subjektivitas yang bersatu padu. Secara ideologis, van Dijk menandaskan, fungsi visual images
24

adalah untuk memanipulasi fakta agar bermakna legitimate. Sebab, kata Stuart Allan, visual lebih berdaya memindah realitas dalam wacana dibanding teks (polysemy) (Siahaan, 2001:86). Appeal to principle, pemikiran, prinsip, klaim moral sebagai argumentasi pembenar membangun berita, berupa pepatah, cerita rakyat, mitos, doktrin, ajaran, dan sejenisnya. Appeal to principle yang apriori, dogmatic, simplistik, dan monokausal (nonlogis) bertujuan membuat khalayak tak berdaya menyanggah argumentasi. Fokusnya, memanipulasi emosi agar mengarah ke sifat, waktu, tempat, cara tertentu, serta membuatnya tertutup/keras dari bentuk penalaran lain16.

16

Alex Sobur: Analisis Teks Media. Remaja Rosdakarya: Bandung, 2001.

25

DAFTAR PUSTAKA Austin, J. L. How to Do Things with Words. Cambridge, Mass.: Harvard University Press; , H. P. Grice. 1989. Studies in the Way of Words. Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 1962. Berger, Peter L. dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial Atas Kenyataan : Sebuah Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan (terjemahan Hasan Basri), Jakarta : LP3ES, 1990 Carter, Ronald, et al. Working with Texts: A core book for language analysis. London: Routledge, 1997. Eriyanto. 2002. Analisis Framing : Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, Yogyakarta : LKiS Gamson, Wiliam A. dan Andre Modigliani Media Discourse and Public Opinion on Nuclear Power a Constructionist Approach, Journal of Sociology, Vol 95, No. 1 , July 1989. Hamad, Ibnu, 2005, Perkembangan Analisis Wacana Dalam Ilmu Komunikasi, Sebuah Telaah Ringkas Hikam, Mohammad AS. Bahasa, Politik dan Penghampiran Discursive Practice: Sebuah Catatan Awal, dalam Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES, 1999 Krippendorff, Klaus Arecursive Theory of Communication dalam David Crowler dan David Mitchell, Communication Theory Today (Cambridge: Policy: 1995), hlm. 78-102. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi), Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2004. Nazir, Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2003. Sobur, Alex. Analisis Teks Media. Remaja Rosdakarya : Bandung, 2001. Suryabrata, Metode Penelitian. Jakarta : CV. Rajawali, 1983. Tannen, Deborah. Discourse Analysis. Working Paper. Georgetown University, 2004.

26

Tambahan blm beraturan :


McCombs, Shaw dan Weaver (1997) menyatakan bukan hanya agenda setting dan framing sebagai pengaruh media, memiliki keterkaitan, melainkan sebenarnya framing merupakan kelanjutan dari agenda setting (Scheufele, 1999 : 103).

27

You might also like