You are on page 1of 53

TINJAUAN UNCITRAL ARBITRASE RULES SEBAGAI LANDASAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL

Disusun Oleh :

J. BUDI HARIYANTO NPM. 110120070060

PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS PADJADJARAN PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM BANDUNG 2008

DAFTAR ISI

I. II. III. IV. V. VI. VII. VIII. IX. X. XI. XII. XIII. XIV. XV. XVI.

Asas Keharusan Klausula Tertulis 3 Pengaturan Tenggang Waktu yang Jelas ..................................... Tata Cara Penyelesaian Melalui Arbitrase .. Kuasa Hukum atau yang Berhak Mewakili Para Pihak ... 4 5 6

Pengaturan Mengenai Jumlah Arbiter .. 7 Tata Cara Penunjukan Arbiter .. 8 Perlawanan Terhadap Arbiter ... 12 Penggantian Arbiter .. 16 Proses Mahkamah Arbiter 17 Bahasa yang Dipergunakan .. 22 Tata Cara, Bentuk, Tuntutan, dan Bantahan 23 Tuntutan Balik (Counter Claim) .. 24 Perlawanan Terhadap Yurisdiksi Arbitrase . 26 Pembuktian Dan Keterangan Saksi .. 29 Tindakan Sementara . 31 Pengangkatan Ahli ... 33 Serta Pembuktian . 35

XVII. Kelalaian Menyampaikan Jawaban atau Bantahan XVIII. Membuka Kembali Pemeriksaan . 37 XIX. XX. XXI. Gugurnya Hak Mengajukan Keberatan ... 38 Putusan Arbitrase 39 Biaya Mahkamah Arbitrase 53

PENUTUP 55 DAFTAR PUSTAKA .. 56

TINJAUAN UNCITRAL ARBITRASE RULES SEBAGAI LANDASAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL

UNCITRAL Arbitrase Rules dilahirkan melalui Resolusi Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 15 Desember 1976 (Resolution 31/98 Adopted By The General Assembly in 15 December 1976). Pemerintah Indonesia termasuk salah satu negara yang ikut menandatangani resolusi dimaksud. Dengan demikian UNCITRAL Arbitration Rules yang menjadi lampiran resolusi, telah menjadi salah satu sumber hukum internasional di bidang arbitrase. Tujuan PBB melahirkan UNCITRAL Arbitrase Rules adalah untuk menginternasionalisasikan nilai-nilai dan tata cara arbitrase dalam menyelesaikan persengketaan yang terjadi dalam hubungan perdagangan internasional. Alinea pertama resolusi berbunyi : Recognizing the value of arbitration as a method of settling disputes arising in the context of international commercial relations.

Menurut pendapat para penandatangan resolusi, sangat dibutuhkan suatu aturan atau Rule yang seragam dalam bidang arbitrase antara negara-negara yang paling berbeda sistem hukum. sosial, dan ekonominya, sebagai sumbangan untuk mendorong terwujudnya perkembangan yang harmonis dalam hubungan

perekonomian internasional. Untuk 1 mewujudkan cita-cita tersebut, PBB telah

memprakarsai terciptanya suatu aturan arbitrase (arbitration rules) yang berwawasan internasional melalui konsultasi-konsultasi oleh United Nations Commission on International Trade Law. Oleh karena aturan arbitrase yang dikeluarkan berdasar resolusi Sidang Umum PBB merupakan hasil kerja United Nations Commission on International Trade Law dalam penyebutan sehari-hari disingkat dengan UNCITRAL Arbitration Rules. Yang diatur dalam UNCITRAL Arbitrase Rules meliputi :

I. II. III. IV. V. VI. VII. VIII. IX. X. XI. XII. XIII. XIV. XV.

Asas Keharusan Klausula Tertulis Pengaturan Tenggang Waktu yang Jelas Tata Cara Penyelesaian Melalui Arbitrase Kuasa Hukum atau yang Berhak Mewakili Para Pihak Pengaturan Mengenai Jumlah Arbiter Tata Cara Penunjukan Arbiter Perlawanan Terhadap Arbiter Penggantian Arbiter Proses Mahkamah Arbiter Bahasa yang Dipergunakan Tata Cara, Bentuk, Tuntutan, dan Bantahan Tuntutan Balik (Counter Claim) Perlawanan Terhadap Yurisdiksi Arbitrase Pembuktian Dan Keterangan Saksi Tindakan Sementara

XVI.

Pengangkatan Ahli

XVII. Kelalaian Menyampaikan Jawaban atau Bantahan Serta Pembuktian XVIII. Membuka Kembali Pemeriksaan XIX. XX. XXI.
Gugurnya Hak Mengajukan Keberatan Putusan Arbitrase Biaya Mahkamah Arbitrase

Rincian pengaturan hal tersebut diatas adalah sebagai berikut :

I.

ASAS KEHARUSAN KLAUSULA TERTULIS

Cara penerapan klausula atau perjanjian arbitrase menurut UNCITRAL harus berbentuk tertulis. Setiap kehendak pihak-pihak yang ingin menundukkan diri kepada ketentuan-ketentuan arbitrase yang diatur dalam UNCITRAL Arbitration Rules, kata sepakat untuk itu mesti berbentuk tertulis (agreed in writing). Cuma Pasal 1 yang memuat ketentuan tentang asas tertulis, tidak menguraikan lebih lanjut bentuk-bentuk yang bagaimana yang dianggap sah sebagai bentuk tertulis. Hal itu agak berbeda yang diatur dalam Pasal 11 ayat (2) Konvensi New York 1958. yang memperluas penerapan perjanjian tertulis mengenai klausula arbitrase. Menurut Pasal 11 ayat (2) Konvensi New York 1958, bentuk tertulis yang dianggap sah sebagai persetujuan arbitrase, termasuk tukar menukar surat atau telegram. The term agreement in writing shall include an arbitral clause in a contract or an arbitration agreement, signed by the parties or contained in exchange of letters or telegrams.

Apakah ketentuan Konvensi New York 1958 dapat diterapkan terhadap UNCITRAL? Pengertian berbentuk tertulis yang diatur dalam Pasal 1 UNCITRAL dapat diperluas penafsirannya seperti yang terkandung dalam Pasal 11 ayat (2) Konvensi New York 1958. Memang cara perumusan asas tertulis yang diatur pada Pasal 25 ayat (1) ICSID jo. angka 22 Report (Report gf. Executive Directors on the Convention on the Settlement of investment Disputes Between States and Nationals of Other States). Namun pengertian bentuk tertulis yang diatur dalam UNCITRAL dan ICSID dapat diperluas penerapannya dalam bentuk surat-menyurat atau pertukaran telegram.

II. PENGATURAN TENGGANG WAKTU YANG JELAS

Tentang aturan tenggang waktu, diatur dalam Pasal 2. Dalam pasal itu digariskan tata cara perhitungan batas tenggang waktu mengenai pemberitahuan (notice). Setiap pemberitahuan termasuk pengumuman (notification), komunikasi (communication) atau usul (proposal), dianggap sudah diterima terhitung sejak disampaikan secara fisik atau in person ke alamat atau tempat tinggal, tempat bisnis, atau alamat surat (mailing adress). Panggilan atau pemberitahuan dianggap diterima, pada hari disampaikan. Cara memperhitungkan tenggang waktu (calculating a period of time), mulai berjalan terhitung hari berikut dari tanggal penerimaan pemberitahuan, pengumuman, komunikasi, atau proposal. Hari libur tidak diperhitungkan.

III. TATA CARA PENYELESAIAN MELALUI ARBITRASE

Pada Pasal 3 diatur mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi pengajuan permonan arbitrase. Di situ diatur mulai dari ketentuan sebutan para pihak : A. Yang mengambil inisiatif untuk meminta penyelesaian kepada arbitrase disebut claimant, dan B. Pihak yang diajukan sebagai termohon atau tergugat disebut respondent.

Hal lain yang diatur sehubungan dengan permohonan arbitrase, tentang perhitungan tenggang waktu mulai terjadinya proses arbitrase, terhitung sejak surat permohonan diterima pihak responden. Setiap surat permohonan arbitrase harus mengikuti ketentuan-ketentuan sebagai A. B. C. D. E. F. G. berikut :

Permohonan ditujukan atau diserahkan kepada arbitrase, Mencantumkan nama dan tempat kediaman para pihak, Menyebut (mencantumkan) klausula arbitrase, Menunjuk perselisihan yang timbal dari perjanjian semula, Mencantumkan pokok-pokok utama gugatau. Cara penyelesaian yang diminta, Mengenai jumlah arbiter satu atau sekiranya hal itu belum disepakati oleh para pihak dalam perjanjian.

IV. KUASA HUKUM ATAU YANG BERHAK MEWAKILI PARA PIHAK


Seperti yang diatur dalam Pasal 4, para pihak dapat diwakili oleh seorang kuasa atau asisten yang dikehendakinya. Nama dan tempat tinggal kuasa atau asisten harus diberi tahu secara tertulis kepada pihak lawan. Penunjukan kuasa yang seperti itu pada dasarnya sama kebolehan dan prosedurnya dengan yang diterapkan dalam lingkungan peradilan. Oleh karena itu, meskipun salah satu pihak telah menunjuk kuasa, sama sekali hal itu tidak mengurangi hak pihak pemberi kuasa untuk membela secara langsung kepentingannya. Bahkan dalam hal-hal yang dianggap penting, pemberi kuasa dapat dipanggil Mahkamah Arbitrase untuk menghadapi sendiri in person. Mengenai tata cara dan bentuk pengangkatan dan penghentian kuasa, tidak diatur lebih lanjut oleh Pasal 4 UNCITRAL Arbitration Rules. Barangkali menyerahkan tata caranya kepada ketentuan yang diatur dalam hukum perjanjian masing-masing, para pihak yang terlibat dalam perjanjian. Juga tidak diatur, apakah pihak lain dapat mengajukan keberatan terhadap kuasa yang ditunjuk pihak lawan. Terhadap itu pun, dapat berpedoman kepada ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku bagi masing-masing pihak kecuali apabila para pihak telah menentukan sendiri hal itu dalam perjanjian.

V.

PENGATURAN MENGENAI JUMLAH ARBITER

Pasal 5 mengatur tentang jumlah arbiter. Aturan tentang jumlah arbiter pada prinsipnya dapat disepakati sebelumnya oleh para pihak dalam perjanjian. Dalam perjanjian mereka boleh menyepakati arbiter yang akan menyelesaikan perselisihan, terdiri satu orang atau tiga orang. Seandainya para pihak tidak menentukan Jumlah arbiter dalam perjanjian, apabila dalam tempo 15 hari sesudah respondent menerima permohonan (gugatan) belum juga dapat disepakati arbiter hanya terdiri dari seorang raja, harus ditunjuk tiga orang arbiter.

VI. TATA CARA PENUNJUKAN ARBITER

Tata cara penunjukan atau pengangkatan arbiter diatur dalam Pasal 6 yang penerapannya dapat diuraikan secara singkat :

A.

Pengangkatan Arbiter Tunggal Dapat Diusulkan Salah Satu Pihak

Andaikata dalam perjanjian para pihak menyetujui arbiter tunggal, namun cara penunjukan belum mereka tentukan atau belum menunjuknya dalam perjanjian, tata cara penunjukan di lakukan : 1. Salah satu pihak mengajukan proposal kepada pihak lain salah seorang atau beberapa orang calon arbiter tunggal, atau

2.

Mengajukan tawaran untuk menunjuk salah satu badan atau beberapa badan kuasa (arbitrase institusional) yang akan bertindak sebagai pemegang kuasa yang berwenang menyelesaikan penunjukan arbiter.

B.

Arbiter Tunggal Dilakukan Badan Kuasa yang Disepakati

Apabila melalui proposal yang diajukan salah satu pihak, tidak tercapai kata sepakat atas penunjukan arbiter tunggal, mereka dapat menyepakati untuk mengangkat suatu badan kuasa (arbitrase institusional) yang akan bertindak menunjuk arbiter. Cara penunjukan badan kuasa yang akan disepakati para pihak bisa lahir berdasar proposal yang diajukan salah satu pihak kepada pihak yang lain. Pihak yang menerima proposal yang demikian, dapat menyetujui usul penunjukan arbiter yamg ditawarkan kepadanya. Sebaliknya, dia dapat menolak.

C.

Penunjukan Dilakukan Permanent Court of Arbitration

Apabila para pihak gagal menyepakati penunjukan arbiter tunggal, juga gagal menyepakati suatu badan kuasa yang akan bertindak menunjuk arbiter tunggal menurut Pasal 6 ayat (2) penunjukan arbiter beralih menjadi kewenangan Permanent Court of Arbitration yang berkedudukan di Den Haag, negeri Belanda.

Namun untuk itu harus lebih dulu ada permohonan dari salah satu pihak. Salah satu pihak dapat mengajukan permohonan kepada Sekretaris Jenderal Permanent Court of Arbitration.

D.

Penunjukan Majelis Arbiter

Pada uraian huruf a, b, dan c, menyangkut tata cara penunjukan arbiter tunggal (sole arbitrator). Pada uraian berikut, akan disinggung mengenai tata cara penunjukan arbiter yang bersifat majelis. Seperti yang diatur dalam Pasal 7. Menurut pasal ini arbiter majelis terdiri dart tiga (3) orang arbiter, dengan tata cara penunjukan seperti yang di uraikan di bawah ini : 1. 2. Masing-masing pihak menunjuk seorang arbiter yang mereka kehendaki. Kedua arbiter yang ditunjuk oleh masing-masing pihak bertindak menunjuk arbiter ketiga yang akan bertindak sebagai Ketua Majelis Mahkamah Arbitrase (will act as the preciding arbitration of the tribunal).

Tanpa mengurangi prinsip penunjukan arbiter yang dikemukakan, penunjukan salah seorang anggota majelis arbiter dilakukan oleh badan kuasa yang ditunjuk berdasar kesepakatau para pihak. Tata cara penunjukan yang seperti itu terjadi apabila dalam tempo 30 hari, salah satu pihak belum menunjuk arbiternya. Sebagaimana yang sudah dijelaskan terdahulu, penunjukan arbiter yang bersifat majelis (yang terdiri dari tiga orang) diberi hak kepada masing-masing pihak untuk menunjuk seorang arbiter yang dikehendakinya. Akan tetapi apabila dalam jangka waktu 30 hari dari tanggal penerimaan pemberitahuan atas penunjukan arbiter pihak lawan, tetap juga belum memberi tahu arbiter yang ditunjuknya : 1. Pihak pertama dapat mengajukan permohonan kepada badan kuasa yang

disepakati para pihak untuk menunjuk anggota arbiter yang kedua. Dalam hal ini, badan kuasa bertindak mengambil alih hak pihak yang tidak mempergunakan haknya menunjuk arbiter; 2. Dengan demikian, gugur hak pihak tersebut untuk menunjukkan arbiter yang dikehendakinya.

Di samping itu, penunjukan anggota arbiter kedua akan dilakukan oleh Permanent Court of Arbitration di Den Haag, apabila para pihak belum sepakat menunjuk badan kuasa. Atau apabila badan kuasa yang ditunjuk berdasarkan kesepakatau para pihak, menolak. Misalnya para pihak sepakat menunjuk BANI sebagai badan kuasa yang akan menyelesaikan perselisihan. Ternyata penunjukan itu ditolak oleh BANI, sehingga penunjukan anggota arbiter kedua tidak dapat dilaksanakan. Maka dalam kasus yang seperti ini yakni dalam hal belum ada badan kuasa yang ditunjuk apabila badan kuasa yang ditunjuk menolak kewenangan menunjuk anggota arbiter kedua beralih kepada Permanent Courrt of Arbitration. Kewenangan tersebut timbul pada diri lembaga ini, terhitung sejak 30 hari

dari tanggal pemberitahuan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain atas penunjukan arbiter, namun pihak yang diberi tahu tetap juga belum menunjuk arbiternya. Apabila telah melampaui 30 hari dari tanggal pemberitahuan, tetap juga dia tidak menunjuk arbiternya, pihak yang pertama dapat mengajukan permohonan kepada Permanent Court of Arbitration untuk menunjuk anggota arbiter kedua. Permohonan yang disampaikan kepada Sekretaris Jenderal Permanent Court of Arbitration.

E.

Penunjukan Ketua Majelis Arbiter Dilakukan Badan Kuasa Apabila Anggora Arbiter Terdahulu Gagal
Seperti yang sudah dijelaskan, prinsip penunjukan atau pengangkatan Ketua

Majelis Mahkamah Arbitrase dilakukan olch kedua anggota arbiter semula. Kedua anggota arbiter semula, bisa berupa hasil penunjukan masing-masing pihak. Bisa juga salah seorang ditunjuk oleh salah satu pihak, sedang anggota yamg kedua ditunjuk oleh badan kuasa atau oleh Permanent Court of Arbitration dengan tata cara seperti yang telah diuraikan terdahulu. Dalam hal kedua anggota arbiter tidak berhasil mencapai kata sepakat mengenai penunjukan anggota arbiter ketiga yang akan bertindak sebagai Ketua Majelis, penunjukan anggota arbiter ketiga dilakukan oleh badan kuasa yang telah ditunjuk para pihak.

VII. PERLAWANAN TERHADAP ARBITER

Seorang arbiter yamg ditunjuk duduk dalam Mahkamah Arbitrase harus benarbenar terhindar dan sikap dan tindakan memihak (impartial). Dia harus bebas memberi pendapat dan pertimbangan jika tampak tanda dan isyarat yang memberi keraguan atas sikap independensinya. Pasal 9 UNCITRAL Arbitration Rules membuka upaya bagi para pihak untuk mengajukan perlawanan atas penunjuk arbiter yang bersangkutan. Hal itu ditegaskan dalam Pasal 10 : (1). Any arbitrator may be challenged it circumestances-exist that give rise tojusttiflable doubst as to the arbitrator's impartiality or independence,

(2). A parts may challenged the arbitrator appointed by him onlvfor reasons of which he becomes aware after the appointment has been made.

Jadi, setiap arbiter yang ditunjuk dapat dilawan agar ditarik dan diganti dengan arbiter yang lain. Upaya perlawanan harus didasarkan atas atasan adanya keadaankeadaan yang mencurigakan tentang sikap yang bersifat memihak. Upaya perlawanan tidak hanya dapat dilakukan oleh salah satu pihak terhadap arbiter yang ditunjuk pihak lawan. Tapi terbuka juga kepada pihak untuk melawan arbiter yang ditunjuknya sendiri, dengan syarat apabila dugaan atas sikap memihak arbiter tersebut baru diketahui sesudah ditunjuk. Jika sejak sebelum penunjukan pihak yang menunjuk sudah tahu akan sikap memihak yanu ada pada diri arbiter, namun dia tetap menunjuknya, dalam kasus yang demikian tidak dapat mengajukan perlawanan terhadap arbiter yang ditunjuknya sendiri. Perlawanan terhadap arbiter yang diatur dalam UNCITRAL hampir sama dengan yang diatur dalam Pasal 621 Rv. Bahkan, atasan perlawanan yang diatur dalam Pasal 621 Rv lebih luas, yakni meliputi atasan perlawanan yang dapat dipergunakan untuk melawan hakim. Bisa berupa adanya hubungan keluarga, berat sebelah, atau karena mempunyai kepentingan dalam perkara sengketa. Sebaliknya, atasan perlawanan yang ditentukan dalam Pasal 9 UNCITRAL, hanya semata-mata atas dasar sikap imparsial atau diduga tidak bersikap independen. Namun demikian, apabila ditelaah lebih dalam, makna imparsial atau independen sudah mengandung konotasi yang meliputi semua atasan yang dapat dipergunakan untuk melawan seorang hakim agar mengundurkan diri mengadili suatu perkara.

Pihak yang bermaksud hendak mengajukan perlawanan terhadap seorang arbiter, menyampaikan maksud tersebut sebagai pemberitahuan. Perlawanan hanya dapat dilakukan dalam tenggang waktu 15 hari dari tanggal penunjukan arbiter yang hendak dilawan. Pemberitahuan perlawanan disampaikan kepada pihak lawan, kepada arbiter yang hendak dilawan dan juga kepada anggota arbiter yang lain (yang tidak dilawan). Pemberitahuan : Harus berbentuk tertulis, serta Mencantumkan atasan-atasan perlawanan.

A.

Pihak Lawan Dapat Menolak atau Menyetujui Perlawanan

Menurut Pasal 11 ayat (3), apabila perlawanan ditujukan terhadap arbiter yang ditunjuk pihak lawan, dia dapat menolak atau menyetujui perlawanan. Jika pihak lawan menyetujui perlawanan, lowongan arbiter tersebut harus segera diisi dengan menunjuk penggantinya (substitute arbiter). Tata cara penunjukan arbiter pengganti dilakukan menurut Pasal 6 dan 7 UNCITRAL.

B.

Arbiter yang Dilawan Mengundurkan Diri

Selain daripada kemungkinan pihak lawan menyetujui perlawanan, dibenarkan pula tindakan mengundurkan diri. Arbiter yang dilawan mengambil sikap untuk mengundurkan diri setelah adanya perlawanan (after the challenge, withdraw from

his office). Dalam kasus yang seperti ini, harus segera ditunjuk arbiter pengganti. Tata cara penunjukan arbiter pengganti berpedoman kepada ketentuan Pasal 6 dan 7.

C.

Pihak Lawan Tidak Setuju serta Arbiter yang Dilawan Tidak Mengundurkan Diri
Apabila perlawanan tidak disetujui oleh pihak lawan dan arbiter yang dilawan

pun tidak mengundurkan diri. putusan atas perlawanan (the decision on the challenge) dilakukan sesuai dengan pedoman yang ditentukan Pasal 12 : (1). Apabila pengangkatan semula atas arbiter yang dilawan dilakukan oleh badan kuasa yang disepakati para pihak, keputusan terhadap perlawanan diambil oleh badan kuasa yang bersangkutan. (2). Apabila penunjukan semula atas arbiter yang dilawan tidak dilakukan badan kuasa yang ditunjuk, tapi penunjukan arbiter yang dilawan dilakukan setelah badan kuasa yang bersangkutan telah dicalonkan atau telah ditunjuk oleh kesepakatan para pihak, keputusan atas perlawanan akan diambil oleh badan kuasa tersebut.

VIII. PENGGANTIAN ARBITER

Maksud penggantian arbiter : replacement of an arbitrator during the course of the arbitral proceedings. Ini berarti, penyelesaian fungsi arbitrase belum seluruhnya terselesaikan, salah seorang anggota arbiter meninggal atau meletakkan jabatan.

Untuk mengisi kekosongan tersebut, harus segera ditunjuk penggantinya. Penunjukan arbiter pengganti dilakukan menurut tata cara yang ditentukan Pasal 6 dan 7. Selain daripada terjadinya penggantian arbiter yang disebut di atas, bisa juga penggantian dilakukan atas atasan keadaan yang nyata bahwa salah seorang arbiter telah gagal melaksanakan fungsinya sebagai arbiter. Kegagalan (failure) bisa juga menimpa seluruh anggota arbiter. Misalnya. para arbiter gagal memutus persengketaan dalam batas jangka waktu yang ditentukan. Umpamanya, batas waktu penyelesaian yang disepakati para pihak dalam tempo 4 bulan, ternyata tidak dapat dipenuhi para arbiter tanpa atasan semua arbiter dapat diganti dengan arbiter baru. Penggantian salah seorang arbiter bisa juga dilakukan apabila berada secara de facto atau de jure dalam keadaan imposibilitas (impossibility) melaksanakan fungsi arbiter. Misalnya, salah seorang anggota arbiter berada dalam keadaan lumpuh atau sakit yang memerlukan perawatau sehingga benar-benar secara nyata

berada dalam keadaan imposibilitas atau tidak mungkin melaksanakan fungsi arbiter. Tidak menjadi soal apakah sifat imposibilitas temporer atau permanen. Kalau sifat imposibilitas temporer diperkirakan akan berdampak tercecernya penyelesaian menurut jangka batas waktu yang ditentukan, arbiter tersebut harus diganti. Apalagi jika sifat imposibilitasnya permanen, harus segera dilakukan penggantian. Mengenai tata cara penggantian anggota arbiter baik berdasarkan atasan kegagalan (failure) melaksanakan fungsi, maupun karena atasan berada dalam keadaan imposibilitas, harus segera dilakukan menurut yang digariskan ketentuan Pasal 6 dan 7 UNCITRAL Arbitration Rules.

IX. PROSES MAHKAMAH ARBITER

Pada bagian III (section III) UNCITRAL Arbitration Rules mengatur segi-segi yang menyangkut proses pemeriksaan Mahkamah Arbitrase (arbitral proceedings) yang terdiri dari ketentuan umum yang mengatur beberapa asas. Setelah itu, dilanjutkan dengan hal yang berkenaan dengan tempat arbitrase (place of arbitration), bahasa yang dipergunakan tuntutan (statement of claim), bantahan (statement of defence), tambahan jawaban tuntutan atau bantahan (amandements to the claim or defence), perlawanan atau eksepsi terhadap yurisdiksi Mahkamah Arbitrase (pleas as to the jurisdiction of the tribunal), dan seterusnya saimpai kepada pembuktian, tindakan pendahuluan dan penghapusan hak. Hal-hal tersebut akan dibicarakan berurutan seringkas mungkin, guna memberi pemahaman tentang proses pemeriksaan arbitrase menurut UNCITRAL Arbitration Rules.

A.

Asas-Asas Proses Pemeriksaan

Tentang asas proses pemeriksaan arbitrase berdasar UNCITRAL diatur dalam Pasal 15. Ada beberapa asas yang harus dipedomani para arbiter pada pemeriksaan persengketaan, yang terpenting di antaranya :

1.

Para pihak diperlakukan dalam kedudukan yang sama.

Inilah asas pertama, para pihak mesti diperhatikan sama dalam setiap tingkat pemeriksaan (the parties are treated with equality). Maka asas perlakuan yang sama terhadap para pihak dalam setiap tingkat pemeriksaan, memberi kesempatan yang sama untuk mengemukakan permasalahannya (given a full opportunity of presenteing his case). Memberikan kesempatan yang penuh dan berimbang kepada pihak claimant atau respondent untuk membela dan mempertahankan kepentingan masing-masing dengan cara memberi kebebasan kepada mereka mengemukakan permasalahan yang dianggapnya penting.

2.

Mengabulkan permintaan hearing pada setiap tingkat pemeriksaan.

Menurut Pasal 15 ayat (2), apabila ada permintaan dari salah satu pihak untuk mengemukakan bukti kesaksian (evidence by witnesses), Mahkamah Arbitrase harus mengabulkan serta menetapkan pemeriksaan pendengaran untuk itu. Permintaan yang demikian dapat diajukan masing-masing pihak claim setiap tahap pemeriksaan. Mengenai permintaan untuk mengemukakan pembuktian oleh saksi, termasuk untuk mendengar keterangan saksi ahli (expert witness) atau pengajuan argumentasi secara lisan (oral argument). Apabila salah satu pihak tidak ada mengajukan permintaan yang demikian, Mahkamah Arbitrase sendiri yang akan menetapkan jadwal pemeriksaan pendengaran keterangan para saksi.

3.

Setiap dokumen dan keterangan diberi tahu kepada para pihak.

Asas tata cara proses pemeriksaan yang lain, menyampaikan dan memberi tahu secara timbal balik atas setiap dokumen atau keterangan yang diajukan dan disampaikan. Setiap dokumen atau informasi yang diajukan salah satu pihak kepada sidang arbitrase, harus ditunjukkan dan disampaikan kepada pihak lawan secara timbal balik pada saat proses pemeriksaan berlangsung.

B.

Tempat Arbitrase

Yang dimaksud dengan tempat arbitrase oleh Pasal 16 ialah tempat kedudukan Mahkamah Arbitrase melakukan proses pemeriksaan. Sehubungan dengan masalah tempat kedudukan Mahkamah Arbitrase, telah digariskan beberapa pedoman.

1.

Para pihak dapat menyepakati tempat yang mereka kehendaki.

Prinsip pertama, tempat kedudukan Mahkamah Arbitrase, tergantung pada kesepakatan para pihak. Hal ini dapat mereka cantumkan dan tentukan

dalam perjanjian arbitrase tempat mana yang mereka kehendaki. Boleh memilih tempat di negara ketiga atau di salah satu negara pihak.

2.

Jika para pihak tidak menentukan, tempat arbitrase ditentukan Mahkamah Arbitrase.

Jika para pihak tidak menentukan sendiri tempt kedudukan Mahmakah Arbitrase, kedudukan tempat pemeriksaan akan ditetapkan oleh Mahkamah sendiri (shall he determined by arbitral tribunal). Cuma dalam menentukan tempat tersebut, mahkamah harus memperhatikan keadaan-keadaan yang menyangkut kepentingan pemeriksaan. Seperti fasilitas yang memungkinkan kelancaran pemeriksaan para pihak, saksi, dan dokumen. Disamping kewenangan Mahkamah Arbitrase untuk menentukan tempal kedudukan sebagai pusat pemeriksaan, mahkamah dapat juga menentukan kedudukan lokal dalam negara yang disepakati para pihak. Tempat arbitrase lokal dimaksudkan untuk mendengar keterangan saksi. Bisa juga untuk mengadakan pertemuan konsultasi di antara para pihak. Dalam keadaan yang seperti itu boleh ditetapkan pemeriksaan arbitrase lokal di tempat yang disepakati para pihak.

3.

Mahkamah Arbitrase dapat mengadakan pertemuan pada setiap tempat.

Selanjutnya Pasal 16 ayat (3) membenarkan Mahkamah Arbitrase mengadakan pertemuan atau pemeriksaan setempat pada setiap tempat (may meet at any place) yang dianggap tepat guna memeriksa (inspection) barangbarang, harta kekayaan, dokumen yang ada hubungannya dengan sengketa. Apabila mahkamah bermaksud mengadakan pemeriksaan pada salah satu tempat, pihak mesti diberi tahu secara resmi dan patut. Dalam pemberitahuan, Mahkamah Arbitrase meminta para pihak agar hadir dalam pemeriksaan setempat.

4.

Setiap putusan dibuat di tempat kedudukan Mahkamah Arbitrase.

Hal itu digariskan pada Pasal 16 ayat (4). Meskipun Mahkamah Arbitrase dibolehkan melakukan pemeriksaan lokal di luar pusat kedudukan yang telah ditentukan atau untuk mengadakan pemeriksaan setempat pada setiap tempat yang dianggap patut, namun putusan arbitrase yang akan dijatuhkan harus diambil di tempat kedudukan pokok (pusat) Mahkamah Arbitrase : The award shall he made at the place of arbitration, demikian penegasan Pasal 16 ayat (4).

X.

BAHASA YANG DIPERGUNAKAN

Dalam proses pemeriksaan Mahkamah Arbitrase harus mempergunakan bahasa yang telah ditentukan. Menurut Pasal 1 7 ayat (1), penentuan bahasa apa yang akan

dipergunakan dalam proses pemeriksaan, bertitik tolak dari kesepakatan para pihak. Berdasarkan kesepakatan inilah Mahkamah Arbitrase menetapkan satu atau beberapa bahasa yang akan pergunakan. Penentuan tentang bahasa yang akan dipakai, dilakukan Mahkamah Arbitrase, segera setelah mereka ditunjuk. Penentuan bahasa resmi proses pemeriksaan harus diterapkan para pihak dalam setiap pernyataan dan menjawab secara tertulis. Penerapan penggunaan bahasa yang telah ditentukan berlaku juga sepenuhnya dalam proses pemeriksaan secara lisan, baik dalam pendengaran keterangan saksi maupun pada saat mendengar keterangan para pihak. Memang Pasal 17 ayat (2) memperkenankan dokumen, pernyataan. jawaban, atau bantahan dalam bahasa asli para pihak. Namun kebolehan yang demikian tetap mewajibkan mereka untuk terjemahkan ke dalam bahasa yang telah ditetapkan.

XI. TATA CARA, BENTUK, TUNTUTAN, DAN BANTAHAN

Surat tuntutan yang dimaksud Pasal 18, sama halnya dengan surat permohonan surat gugatan (statement of claim). Itu sebabnya apa yang diatur dalam pasal ini hampir sama dengan yang diatur Pasal 3. Perbedaan hanya terletak pada masalah penekanan dihubungkan dengan tata cara proses pemeriksaan. Pasal 18

menitikberatkan penggarisan pada proses dan Bentuk. Bentuk setiap pernyataan yang berisi tuntutan (statement of claim) yang dibuat pihak claimant harus tertulis. Dalam hal yang demikian, setiap ada tuntutan tertulis,

harus disampaikan kepada pihak respondent dengan melampirkan salinan (copy) perjanjian dan persetujuan arbitrase jika hal itu tidak disatukan dalam perjanjian. Setiap tuntutan harus mencantumkam nama dan tempat alamat para pihak. Selanjutnya tuntutan harus mencantumkan fakta-fakta pendukungnya, pokok masalah dan cara penyelesaian yang diharapkan. Bahkan boleh juga di lampirkan dokumen yang dianggap penting atau boleh membuat pernyataan tentang suatu dokumen maupun alat bukti yang akan diserahkan belakangan. Jika ketentuan ini diperhatikan, pada dasarnya hanya sebagai ulangan kembali atas ketentuan Pasal 2 ayat (I) dan Pasal 3. Bukankah Pasal 2 ayat (1) telah menentukan asas proses pemeriksaan yang mewajibkan setiap sesuatu yang diajukan para pihak harus disampaikan kepada pihak lawan? Begitu juga mengenai bentuk permohonan yang diajukan pihak claimant sudah diatur Pasal 3. Apa yang diatur dalam pasal tersebut hampir sama dengan Pasal 18.

XII.

TUNTUTAN BALIK (COUNTER CLAIM)

Mengenai tata cara pengajaun bantahan atas statement of defence dari pihak respondent diatur lebih lanjut dalam Pasal 19. Syarat dan tata A. B. Jawaban bantahan harus secara tertulis, dan Diajukan dalam batas tenggang waktu yang ditentukan Mahkamah Arbitrase, C. Bantahan, masing-masing disampaikan kepada pihak claimant dan caranya :

kepada setiap anggota arbiter.

Setiap jawaban yang berisi bantahan (statement of defence), harus ditujukan untuk menangkis hal-hal yang berkenaan dengan fakta-fakta yang dikemukakan claimant serta membantah pokok masalah yang disengketakan maupun cara penyelesaian yang sulit dikemukakan claimant. Di dalam jawaban bantahan, pihak respondent boleh melampirkan dokumen dan bukti yang dianggapnya penting untuk melumpuhkan tuntutan. Bahkan boleh mengemukakan dokumen atau alat bukti yang akan diajukan kemudian. Selain daripada itu, Pasal 19 ayat (3) memberi hak kepada pihak respondent untuk mengajukan tuntutan balik atau gugatan rekonvensi (counter claim) dalam surat jawaban bantahan. Pengajuan tuntutan balik yang dalam proses peradilan disebut gugat rekonvensi, dapat diajukan respondent langsung pada pengajuan jawaban pertama. Akan tetapi dapat juga diajukan pada tahap proses pemeriksaan selanjutnya, jika hal tata cara pengajuan yang seperti itu ditetapkan mahkamah pada saat pengunduran pemeriksaan. Counter claim yang dapat diajukan respondent harus mengenai hal-hal yang timbul dari perjanjian atau berdasar hal-hal yang sama maksudnya dengan apa-apa yang dituangkan dalam perjanjian. Selama proses pemeriksaan berlangsung para pihak dapat mengajukan tambahan jawaban maupun bantahan, kecuali apabila Mahkamah Arbitrase menganggapnya tidak perlu. Yang pokok untuk diperhatikan, setiap tambahan jawaban atau bantahan, tidak boleh menyimpang dari yang disepakati dalam klausula arbitrase.

XIII. PERLAWANAN TERHADAP YURISDIKSI ARBITRASE

Mengenai hal ini diatur dalam Pasal 21. Menurut pasal ini Mahkamah Arbitrase memiliki kewenangan untuk memutus perlawanan tentang masalah yurisdiksi yang diajukan pihak respondent. Begitu juga mengenai perlawanan yang diajukan respondent tentang sah atau tidaknya klausula arbitrase, Mahkamah Arbitrase berwenang menetapkannya. Jika Pasal 21 diperhatikan, perlawanan terhadap yurisdiksi arbitrase yang dapat diajukan respondent hanya terdiri dari : A. Perlawanan tentang berwenangnya Mahkamah Arbitrase memeriksa persengketaan yang timbul dari perjanjian, atau B. Perlawanan mengenai ketidakabsahan klausula arbitrase.

Sehubungan dengan perlawanan atas yurisdiksi, putusan arbitrase dapat meliputi pernyataan yang menyatakan perjanjian batal demi hukum atau null and void. Cuma dalam hal itu ada suatu masalah yang kurang dapat dipahami dalam ketentuan dalam ketentuan Pasal 21 ayat (2).

Di situ dikatakan, dalam hal Mahkamah Arbitrase menyatakan perjanjian null and void, pernyataan putusan tersebut tidak dengan sendirinya mmeliputi ketidakabsahan klausula arbitrase. Ketentuan itu tampaknya bertentangan dengan keberadaan klausula arbitrase perjanjian asesor yang melekat kepada perjanjian pokok. Jika berpegang pada prinsip klausula arbitrase sebagai perjanjian asesor, bataInya perjanjian pokok dengan

sendirinya perjanjian arbitrase batal juga. Secara logika, kalau perjanjian pokok sudah dinyatakan batal, ada lagi tempat berpijak klausula arbitrase. Tentang tenggang waktu mengajukan perlawanan terhadap yurisdiksi harus dilakukan bersamaan dengan jawaban bantahan atau pada pengajuan tuntutan balik (counter claim) Lewat dari itu, perlawanan yurisdiksi dianggap tidak sah. Atau sekaligus bisa digabung perlawanan terhadap yurisdiksi dengan bantahan atau tuntutan balik dalam suatu jawaban. Mengenai cara Mahkamah Arbitrase menyelesaikan perlawanan terhadap yurisdiksi yang diajukan pihak respondent, Pasal 21 ayat (4) memberi pedoman : A. Pada umumnya diputus dalam putusan sela atau putusan pendahuluan (preliminary question), atau B. Bisa diputus bersamaan dengan putusan akhir (final award), jika hal itu dianggap lebih memenuhi kebijaksanaan jalannya proses pemeriksaan.

Sehubungan dengan masalah tata cara pengajuan tuntutan dan bantahan, terhadap setiap pengajuan tambahan tuntutan maupun jawaban bantahan, Mahkamah Arbitrase harus menetapkan jangka waktu tertentu. Misalnya, pihak claimant mengajukan permohonan gugat. Terhadap gugatan itu, pihak respondent mengajukan bantahan. Kemudian, bantahan tersebut telah dijawab pihak claimant. Setelah proses tersebut berlangsung, Mahkamah Arbitrase harus mengeluarkan pernyataan atau pemberitahuan kepada para pihak, bahwa kepada mereka diberi kesempatan dalam tempo 20 hari untak mengajukan tambahan terhadap jawaban gugatan dan bantahan. Jangka waktu pemberian kesempatan ia mengajukan tambahan dan bantahan yang

dapat ditetapkan Mahkamah Arbitrase, diatur dalam Pasal 23. Menurut pasal tersebut ditentukan : A. Batas jangka waktu yang boleh ditetapkan, not exceed forty-five days). B. Akan tetapi, batas jangka waktu tersebut dapat dilampaui jika menurut Mahkamah Arbitrase hal itu penting untuk penyelesaian pemeriksaan. melebihi 45 hari (should

XIV. PEMBUKTIAN DAN KETERANGAN SAKSI

Pasal 24 dan Pasal 25 mengatur tentang pembuktian. Pembuktian meliputi pemeriksaan alat bukti yang diajukan para pihak serta mendengar keterangan (evident and hearing). Setiap dalil tuntutan dan bantahan yang diajukan claimant dan respondent harus didukung oleh pembuktian. Untuk itu, para pihak dibebani untuk membuktikan setiap fakta yang mereka ajukan (burden of proving the facts). Penerapan pembebanan pembuktian, semata-mata melalui tata cara pengajuan oleh masing-masing pihak berdasarkan kehendak para pihak. Mahkamah Arbitrase dapat memberi hak kepada salah satu untuk meminta kepada pihak lawan membuktikan sesuatu, jika menurut pertimbangan Mahkamah Arbitrase hal itu dianggap tepat. Jika Mahkamah Arbitrase menetapkan kebijaksanaan pembebanan pembuktian yang seperti itu, harus ditentukan batas waktunya untuk mengajukan ringkasan dari berbagai dokumen dan alat bukti lain.

Selain dari tata cara pembebanan pembuktian di atas, Mahkamah Arbitrase secara ex officio dapat pula meletakkan beban pembuktian kepada salah satu pihak, baik berupa dokumen dan alat bukti lain. Tata cara penerapan pembebanan pembuktian secara ex officio, ditentukan batas waktunya oleh Mahkamah Arbitrase. Jika sekiranya pihak yang dibebani tidak memenahinya dalam batas jangka waktu yang ditentukan Mahkamah Arbitrase, pihak yang dibebani dianggap gagal mendukung pembuktian dalil atau fakta yang dikemukakannya. Mengenai tata cara pemeriksaan pendengaran keterangan secara lisan (an oral hearing) Mahkamah Arbitrase harus memberi kesempatan yang sama dan seimbang kepada para pihak. Dalam menerapkan makna kesempatan yang sama. termasuk hari, waktu, dan tempat, misalnya diberi kesempatan kepada claimant untuk memberi keterangan di salah satu tempat, dimana hal yang sama pada tempat lain harus diberikan Pula kepada pihak respondent. Apabila hendak dilakukan pemeriksaan mendengar keterangan saksi, paling tidak 15 hari sebelum hari pemeriksaan, pihak yang mengajukan saksi menyampaikan hal itu kepada Mahkamah Arbitrase, dan kepada pihak lawan. Dalam surat pemberitahuan, dicantumkan nama dan tempat tinggal saksi yang hendak diajukan. Pemberitahuan juga harus menjelaskan bahasa yang akan dipergunakan saksi dalam memberi keterangan. Sehubungan dengan pemeriksaan mendengar keterangan saksi, Pasal 25 ayat (4) menentukan lebih lanjut :

A.

Pemeriksaan mendengar keterangan saksi, harus diabadikan dengan kamera (foto). Tetapi apabila para pihak sepakat, ketentuan tersebut boleh disingkirkan.

B.

Selama

pemeriksaan

berlangsung

Arbitrase

dapat

mengabulkan

pengunduran diri salah seorang atau semua saksi, C. Juga Mahkamah Arbitrase bebas menentukan saksi mana yang diperiksa dan didengarkan keterangannya.

Selain dari tata cara pendengaran keterangan saksi secara lisan, Pasal 25 ayat (5) memberi kebolehan keterangan saksi dituangkan dalam bentuk tertulis. Dengan demikian, pemeriksaan arbitrase menurut UNCITRAL memperkenankan alat bukti keterangan secara tertulis. Supaya alat bukti keterangan saksi secara tertulis memenuhi syarat formal : A. B. Keterangan tertulis dibuat sendiri oleh saksi, dan Ditandatangani pula oleh saksi yang bersangkutan.

Setiap alat bukti yang diajukan para pihak harus dinilai dan dipertimbangkan secara seksama dan menyeluruh oleh Mahkamah Arbitrase. Dalam menilai dan mempertimbang sepenuhnya berwenang menentukan mana alat bukti yang dapat diterima (admissible), dan yang relevan memiliki kekuatan pembuktian

XV. TINDAKAN SEMENTARA

Maksud tindakan sementara (interim measure), bertujuan sebagai tindakan perlindungan, baik terhadap pihak claimant atau respondent. Mahkamah Arbitrase yang memeriksa suatu sengketa, dapat melakukan berbagai tindakan sementara, apabila menurut pertimbangan hal itu perlu diambil untuk melindungi kepentingan salah satu pihak atau para pihak. Termasuk ke dalam tindakan sementara antara lain : A. Tindakan penyitaan (conservation) barang yang ada kaitannya dengan pokok persengketaan, B. Memerintahkan pendepositoan kepada para pihak yang dilakukan oleh pihak ketiga, C. Menjual barang-barang yang mudah rusak.

Setiap tindakan sementara, dapat

dituangkan dalam bentuk putusan sela

atau insidentil (interim award). Tetapi menurut Pasal 26 ayat (2), tindakan sementara tidak mesti dituangkan dalam bentuk putusan sela. Berarti, boleh dituangkan dalam bentuk surat penetapan. Apabila Mahkamah Arbitrase mengambil tindakan sementara, dia harus menetapkan jaminan yang cukup untuk membiayai tindakan tersebut. Kapan Mahkamah Arbitrase dapat melakukan tindakan sementara? Menurut Pasal 26 ayat (1), kebolehan itu dilakukan apabila ada permohonan (request) dari salah satu pihak. Kemudian, permintaan itu akan disetujui apabila mahkamah

menganggap penting, dikaitkan dengan pokok yang dipersengketakan. Hanya saja perlu dipertanyakan, apakah terhadap setiap tindakan sementara mesti didasarkan pada syarat adanya permintaan salah satu pihak, yang berarti mahkamah tidak

memiliki kebebasan untuk itu tanpa ada permintaan. Barangkali tidak demikian maksud pasal tersebut. Mahkamah dapat melakukan tindakan sementara meskipun tak ada permintaan. Misalnya, apabila barang yang menjadi objek sengketa adalah barang yang mudah rusak. Dalam kasus yang seperti itu, mahkamah dapat menjualnya, sekalipun tidak ada permintaan dari salah satu kewenangan yang demikian dapat dibenarkan, jika dihubungkan dengan tujuan tindakan sementara yang tiada lain daripada perlindungan (protection). Permintaan tindakan sementara yang diajukan oleh salah satu pihak kepada badan pengadilan (judicial authority), tidak dapat dianggap sejalan dengan perjanjian arbitrase, juga tidak dapat dianggap menghapus perjanjian arbitrase. Hal itu berarti, sekiranya salah satu pihak mengajukan tindakan sementara kepada kekuasaan badan peradilan, permintaan tersebut adalah di luar perjanjian arbitrase. Pihak yang lain tetap dapat mengajukan permintaan sementara kepada Mahkamah Arbitrase, karena permintaan sementara yang dilakukan pihak lawan ke pengadilan, tidak menggugurkan hak pihak lawan mengajukan permintaan tindakan sementara kepada Mahkamah Arbitrase.

XVI. PENGANGKATAN AHLI

Pasal 27 memberi wewenang bagi Mahkamah Arbitrase untuk menunjuk atau mengangkat seorang atau beberapa orang ahli (expert), yang akan memberi laporan tentang sesualu yang disengketakan para pihak. Laporan dituangkan ahli yang akan memberi laporan tentang sesuatu yang disengketakan para pihak. Laporan dituangkan ahli yang ditunjuk dalam bentuk tertulis. Apabila mahkamah bermaksud hendak menunjuk dia harus menentukan pokok masalah tertentu (specific issue) yang hendak diteliti. Setiap pihak harus memberi keterangan yang diminta oleh ahli. Juga para

pihak, harus memenuhi permintaan ahli atas dokumen penting yang diminta, sepanjang hal itu benar-benar menyangkut usaha pemeriksaan ahli. Kalau ada perselisihan pendapat antara salah satu pihak dengan ahli, tentang penting atau tidaknya keterangan atau dokumen yang di minta dan dibutuhkan ahli perselisihan tersebut harus diajukan kepada Mahkamah Arbitrase. Kemudian mahkamah yang akan menentukan penyelesaian perselisihan dimaksud. Setelah mahkamah menerima laporan dari ahli, dia harus menyampaikan salinan laporan kepada masing-masing pihak. Para pihak yang menerima laporan diberi kesempatan menyatakan pendapat terhadap isi laporan secara tertulis. Selain daripada kebolehan menyatakan pendapat terhadap laporan ahli, salah satu pihak diberi hak untuk meminta mendengar

keterangan ahli. Sekiranya permintaan dikabulkan, para pihak masih diberi kesempatan untuk hadir serta sekaligus berhak mengajukan pertanyaan kepada ahli,

juga kepada setiap pihak, dapat menghadirkan saksi ahli yang bertujuan untuk menyaksikan pokok-pokok yang dipermasalahkan.

XVII. KELALAIAN

MENYAMPAIKAN

JAWABAN

ATAU

BANTAHAN SERTA PEMBUKTIAN


Seperti yang sudah dijelaskan, Pasal 15 telah menggariskan kewajiban Mahkamah Arbitrase untuk menetapkan jangka batas waktu bagi claiment dan respondent mengajukan jawaban dan bantahan dalam proses pemeriksaan. Sehubungan dengan itu, Pasal 28 mengatur tentang akibat yang timbul atas kelalaian tersebut. Jika pihak claimant gagal atau lalai menyampaikan jawaban atas tuntutannya dalam jangka waktu yang ditentukan tanpa mengemukakan atasan yang cukup untuk itu, Mahkamah Arbitrase harus mengakhiri jalannya proses pemeriksaan. Akan tetapi, lain halnya jika pihak respondent yang lalai. Seandainya respondent memenuhi penyampaian bantahan dalam batas jangka waktu yang ditentukan Mahkamah Arbitrase, dan kelalaian itu tanpa atasan yang cukup, mahkamah harus memerintahkan proses pemeriksaan tahap selanjutnya. Kenapa akibat kegagalan atau kelalaian berbeda bagi pihak claimant dan respondent? Seolah-olah akibat yang ditimpakan kepada claimant lebih berat! Sebenarnya akibatnya hampir sama. Penghentian atau mengakhiri jalannya proses pemeriksaan dalam hal claimant lalai menyampaikan jawaban gugat dalam jangka waktu yang ditentukan, adalah patut. Claimant sebagai pihak pemohon (penggugat) pada hakikatnya adalah pihak yang paling berkepentingan. Oleh karena itu, wajar

untuk menghukumnya dengan mengakhiri pemeriksaan apabila dia kurang sungguhsungguh memenuhi apa yang telah ditentukan Mahkamah Arbitrase. Namun demikian, akibat fatal yang seperti itu juga akan dijatuhkan kepadanya. Bukankah melanjutkan pemeriksaan dengan menghapus atau menggugurkan hak respondent mengajukan bantahan, menempatkan dia dalam posisi seolah-olah dianggap tidak bermaksud lagi untuk membela hak dan kepentingannya. Dalam hal yang demikian pemeriksaan dilanjutkan tanpa bantahan dari pihak respondent. Mengenai kelalaian salah satu pihak muncul pada proses pemeriksaan mendengar keterangan (hearing) tanpa atasan yang cukup, Mahkamah Arbitrase dapat melanjutkan proses pemeriksaan. Misalnya, mahkamah telah menetapkan dan memberi tahu para pihak mengadakan pemeriksaan mendengar keterangan mereka secara lisan. Ternyata pihak claimant tidak datang tanpa mengemukakan atasan yang cukup, dia dianggap gagal atau lalai (failure) memenuhi kewajiban. Dalam kasus yang seperti itu, mahkamah dapat melanjutkan pemeriksaan untuk mendengarkan keterangan pihak respondent. Namun, apabila mahkamah berpendapat lebih bijaksana untuk menunda pemeriksaan, dia dapat menentukan hari lain untuk itu. Bagaimana halnya kegagalan menyampaikan surat bukti yang diminta Mahkamah Arbitrase? Tentang hal itu diatur lebih lanjut dalam Pasal 28 ayat (3). Dalam kasus pihak yang diminta atau diundang (invite) untuk menyerahkan suatu surat bukti dalam batas waktu yang ditentukan, lantas tidak memenuhinya tanpa atasan yang cukup, Mahkamah Arbitrase dapat- mengambil putusan (award) berdasar alat-alat bukti yang telah ada. Terserah pada mahkamah untuk menentukan

alternatif yang dianggap paling bijaksana. Mahkamah dapat memutuskan tanpa menghiraukan lagi alat bukti yang diminta, atau menenentukan kesempatan lain untuk menyampailkan alat bukti tersebut.

XVIII.

MEMBUKA KEMBALI PEMERIKSAAN

Sebelum Mahkamah Arbitrase mengambil tindakan menutup (Closure) pemeriksaan mendengar keterangan, dia dapat menanyakan kepada para pihak, apakah masih ada alat bukti dan saksi yang hendak diajukan. Apabila para pihak menyatakan tidak ada, mahkamah dapat menyatakan pemeriksaan mendengar keterangan ditutup. Akan tetapi Pasal 29 ayat (2) menegaskan, meskipun mahkamah telah menyatakan pemeriksaan mendengar keterangan ditutup, pemeriksaan semacam itu dapat dibuka kembali (reopen the hearing). Kebolehan membuka kembali pemeriksaan mendengar keterangan yang telah dinyatakan ditutup :

A.

Harus didasarkan atas keadaan yang sangat eksepsional. dan benar-benar berdasar atasan yang sangat penting, dan

B.

Kebolehan membuka kembali dapat dilakukan Mahkamah Arbitrase pada setiap saat sebelum putusan diambil, serta

C.

Pembukaan kembali, boleh atas pendapat Mahkamah sendiri atau atas permintaan para pihak.

XIX. GUGURNYA HAK MENGAJUKAN KEBERATAN

Pasal 30 mengatur penghapusan hak para pihak mengajukan keberatan atas pelanggaran ketentuan atau syarat-syarat yang diatur dalam UNCITRAL Arbitration Rules. Hilangnya atau gugurnya (waiver) hak mengajukan disebabkan tidak segera langsung menyatakan keberatan atas adanya pelanggaran ketentuan atau syarat pada saat terjadi pelanggaran. Akibatnya, ia dianggap menyetujui pelanggaran dan gugur haknya mengajukan keberatan. Misalnya, Mahkamah Arbitrase telah menentukan batas jangka waktu bagi pihak respondent untuk mengajukan bantahan sesuai dengan ketentuan Pasal 19. Jangka waktu kesempatan yang di berikan adalah dalam tempo 7 hari. Ternyata, bantahan harus disampaikan respondent pada hari ke-10. Berarti sudah dilampaui batas tenggang waktu yang ditetapkan. Semestinya, bantahan tidak boleh lagi diterima dan pemeriksaan harus di lanjutkan sesuai dengan ketentuan Pasal 28. Pihak respondent harus dinyatakan sudah berada dalam keadaan gagal atau lalai menyampaikan bantahan. Akan tetapi mahkamah ternyata tetap menerima bantahan. Penerimaan yang demikian tentu bertentangan dengan Pasal 28 ayat (1). Sekiranya pada saat itu pihak claimant tidak langsung mengajukan teguran atas pelanggaran tersebut, ia dianggap menyetujui penyimpangan atas Pasal 28, dan berbarengan dengan itu, gugur haknya untuk mengajukan bantahan atas pelanggaran ketentuan Pasal 28. Oleh karena itu, agar hak untuk mengajukan bantahan atau keberatan atas pelanggaran ketentuan maupun syarat-syarat yang diatur pasal UNCITRAL Arbitration Rules tidak gugur, pihak

yang bersangkutan harus segera menegur atau mengajukan catatan tentang pelanggaran yang terjadi.

XX. PUTUSAN ARBITRASE

Uraian mengenai putusan Mahkamah Arbitrase meliputi berbagai segi, ritual dari tinjauan tata cara pengambilan putusan, bentuk dan pengaruh putusan. hukum yang dapat diterapkan, interpretasi, perbaikan, dan tambahan atas putusan.

A.

Cara Mengambil Putusan dengan Suara Terbanyak

Jika anggota arbiter yang disepakati para pihak terdiri dari arbiter tunggal (sole arbitrator), pengambilan putusan tidak menjadi

permasalahan hukum. Dalam kasus yang seperti itu, putusan Mahkamah Arbitrase akan mengambil sendiri secara perseorangan oleh arbiter tunggal yang bersangkutan. Tidak demikian halnya apabila anggota Mahkamah Arbitrase terdiri dari majelis atau tiga orang. Pengambilan putusan oleh Majelis Mahkamah Arbitrase menurut prinsip yang diatur dalam Pasal 31, harus diambil dengan suara terbanyak.

B.

Putusan Dapat Diambil Ketua Apabila Tak Tercapai Suara Terbanyak

Penyimpangan terhadap prinsip yang diatur pada Pasal 31 ayat (1) diatur dalam ayat (2). Ayat (2) mengatur kebolehan pengambilan putusan oleh Ketua Arbiter, apabila Majelis Arbiter tidak mencapai suara terbanyak. Misalnya, Majelis Mahkamah Arbitrase terdiri dari tiga arbiter. Keduanya mempunyai pendapat yang saling berbeda baik mengenai sebagian atau atas seluruh putusan. Dalam kasus yang seperti ini, Pasal 31 ayat (2) memberi kewenangan kepada Ketua Majelis Arbiter untuk mengambil putusan atas nama arbitrase yang bersangkutan Akan tetapi, tata cara pengambilan putusan yang demikian bukan bersifat imperatif. Sifatnya adalah adalah fakultatif. Hal itu sesuai dengan bunyi rumusan pasal tersebut : the presiding arbirator may decide on his own (Ketua Arbiter dapat mengambil putusan sendiri). Terserah pada Ketua Arbiter, apakah dia akan mempergunakan kewenangan tersebut. Namun permasalahan kewenangan ini dikaitkan dengan tujuan arbitrase yang bersifat sederhana, sebaiknya ketua memanfaatkannya agar penyelesaian persengketaan dapat segera diakhiri.

C.

Bentuk Putusan Akhir (Final Award)


Yang dimaksud dengan bentuk putusan menurut Pasa1 32 meliputi tata cara sistematika dan syarat-syarat. Dari segi sistematika, putusan Mahkamah Arbitrase yang berupa putusan akhir (final award) : 1. Harus bersifat menyeluruh, meliputi tindakan sementara (putusan sementara) dan putusan sela (interlocutor) yang telah pernah diambil. Maksudnya, sekiranya dalam tahap proses pemeriksaan pernah diambil tindakan sementara (interim measur) berupa penyitaan (conservation) atau perintah deposito maupun penjualan barang sengketa yang mudah rusak, putusan atau tindakan interim yang demikian harus dicantumkan kembali dalam putusan akhir. 2. Menguraikan dasar atasan putusan sebagai bagian pertimbangan hukum putusan. Ketentuan ini merupakan prinsip dan bersifat imperatif. Namun hal itu dapat dikesampingkan dengan syarat apabila para pihak sepakat putusan tidak perlu menjelaskan dasar alasan pertimbangan. Syarat putusan Mahkamah Arbitrase

sebenarnya bukan hanya berlaku terhadap putusan akhir, tapi berlaku juga untuk putusan sementara (interim award) atau putusan sela (interlocutor). 3. Putusan dibuat dalam bentuk tertulis (award shall be made in writing). 4. Mencantumkan tanggal dimana tempat putusan dijatuhkan.

5.

Ditandatangani para arbiter. Apabila salah seorang arbiter tidak menandatangani, harus dicatat alasan kenapa dia tidak bertanda tangan.

D.

Putusan Bersifat Final dan Binding

Akibat atau effect hukum putusan arbitrase bagi para pihak adalah bersirat final dan binding. Akibat tersebut ditegaskan Pasal 32 ayat (2) yang menyatakan : The award . shall be final and binding On the parties. Maksud putusan bersifat final adalah putusan Mahkamah Arbitrase langsung, merupakan putusan tingkat pertama dan tingkat terakhir. Terhadap putusan tertutup upaya banding dan kasasi maupun peninjauan kembali. Tegasnya, oleh karena putusan Mahkamah Arbitrase yang diatur dalam UNCITRAL Arbitration Rules ditetapkan bersifat final, putusan tidak dapat di banding atau dikasasi. Sifat final yang demikian, sejalan dengan asas arbitrase yang menghendaki proses penyelesaian yang cepat dan sederhana. Sedang maksud putusan yang bersifat binding, putusan tersebut sejak dijatuhkan langsung mengikat kepada para pihak. Dampak lanjut dari sifat binding menimbulkan akibat kekuatan eksekutorial. Apabila putusan tidak dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang dikalahkan, putusan dapat dijalankan pelaksanaannya secara paksa oleh badan

kekuasaan resmi melalui peradilan. Memang harus demikian sifat dan kekuatan putusan Mahkamah Arbitrase, harus mengikat dan mempunyai kekuatan eksekutorial. Untuk apa ada putusan kalau tidak dapat dijalankan dengan paksa apabila pihak yang kalah enggan memenuhi secara sukarela. Hal itu sejalan dengan penegasan Pasal 32 ayat (2). Pada kalimat terakhir ditegaskan The parties undertake to carry out the award without delay. Putusan harus segera dilaksanakan para pihak tanpa ditunda-tunda. Apabila ditunda pelaksanaan, dapat dijalankan melalui eksekusi.

E.

Salinan Putusan Disampaikan Kepada Para Pihak

Apabila putusan telah dijatuhkan, Mahkamah Arbitrase membuat salinan (copy), Salinan ditandatangani oleh para anggota arbiter. Setelah itu, Mahkamah Arbitrase menyampaikan salinan tersebut kepada masingmasing pihak (claimant dan respondent), Dengan demikian, secara konkret, sejak tanggal penyampaian, putusan langsung bersifat. binding kepada mereka. Kewajiban lain dari Mahkamah Arbitrase dalam penyampaian putusan, tergantung dari ketentuan hukum di negara mana putusan dijatuhkan. Jika negara tersebut mengatur permohonan registrasi dilakukan oleh Mahkamah Arbitrase, dia harus menyampaikan permohonan registrasi

dalam batas jangka waktu yang ditentukan oleh hukum negara yang bersangkutan.

F.

Hukum yang Dapat Diteraphan dalam Putusan

Mengenai pengertian hukum yang dapat diterapkan dalam putusan adalah hukum yang dapat dijadikan landasan dalam menyelesaikan sengketa. Mahkamah Arbitrase tidak boleh sesuka hati menerapkan hukum yang tidak sesuai dengan pokok perselisihan dan dari apa yang dijaminkan serta yang disepakati para pihak. Untuk itu Pasal 33 mengatur penggarisan yang harus dipedomani Mahkamah Arbitrase menyelesaikan persengketaan. Penggarisan tersebut tampaknya bersifat penerapan yang berskala prioritas : 1. Mahkamah Arbitrase harus menerapkan hukum yang telah di tunjuk berdasarkan kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan sengketa. Jadi, yang mendapat prioritasi pertama untuk diterapkan dalam putusan ialah hukum yang telah ditunjuk para pihak. Misalnya para pihak telah sepakat menunjuk hukum Republik Indonesia sebagai landasan hukum penyelesaian sengketa. Berarti mahkamah harus merujuk kepada hukum Indonesia, 2. Apabila para pihak tidak merujuk hukum tertentu, hukum yang diterapkan ditentukan oleh hukum yang mengatur hal-hal yang

disengketakan para pihak. Dalam hal ini, hukum yang diterapkan Mahkamah Arbitrase merujuk kepada hukum yang bersangkutan sesuai dengan perselisihan yang terjadi. Jika perselisihan yang terjadi berkenaan dengan wanprestasi, hukum lika perselisihan yang diterapkan mahkamah dalam memutuskan persengketaan, merujuk kepada ketentuan hukum yang berlaku di bidang wanprestasi. 3. Mahkamah Arbitrase memutus dengan seksama berdasarkan compositeur atau ex aequo et bono, hanya apabila para pihak secara tegas memberi kewenangan pada mahkamah untuk bertindak demikian (only if the parties have expressly outhorized the arbitral tribunal to do so),

Dari penegasan Pasal 32 ayat (2), Mahkamah Arbitrase tidak leluasa mempergunakan ex aequo et bono sebagai landasan

menyelesaikan sengketa. Kebolehan menerapkannya sebagai rujukan, tergantung pada syarat para pihak harus secara tegas memberi kuasa atau kewenangan kepada Mahkamah Arbitrase untuk menyelesaikan sengketa berdasarkan compositeur (ex aequo et bono) Satu hal lagi yang perlu diperhatikan, dalam segala kasus Mahkamah Arbitrase harus memutuskan sesuai dengan tujuan dan makna perjanjian itu sendiri. Meskipun hukum yang diterapkan berdasar hukum yang telah ditunjuk para pihak atau berdasarkan yang berlaku terhadap

perselisihan maupun berdasar ex aequo et bono, penerapannya tidak boleh terlepas kaitannya dengan makna dan tujuan perjanjian.

G.

Interpretasi Putusan

Pasal 36 memberi kemungkinan kepada setiap pihak mengajukan permintaan kepada Mahkamah Arbitrase untuk memberi penafsiran (interpretation) putusan. Umpamanya, salah satu pihak menganggap putusan kurang jelas maksudnya, atau ada bagian putusan yang mengandung makna ganda (ambivalen). Agar maknanya jelas dan terang, salah satu pihak dapat mengajukan ke Mahkamah Arbitrase, agar diberikan penafsiran yang pasti dan jernih. Tata cara tentang itu diatur dalam 1. Pasal 35 :

Megajukan permohonan kepada mahkamah, yang berisi permintaan agar diberi penafsiran atas putusan,

2.

Batas waktu permohonan dalam tenggang waktu 30 hari dari tanggal putusan diterima.

3.

Permohonan diberitahukan oleh pihak pemohon kepada pihak lawan dalam bentuk ppemberitahuan (notice),

4.

Dalam tempo 40 hari dari tanggal penerimaan permohonan, Mahkamah Arbitrase : a. harus memberi interpretasi, dan

b. c.

diberikan dalam bentuk tertulis. Interpretasi yang diberikan Mahkamah Arbitrase dengan sendirinya (menurut hukum) merupakan satu kesatuan yang tak terpisah dari putusan.

Yang terakhir ini penting diperhatikan. Dengan adanya penegasan dalam Pasal 35 ayat (2) bahwa interprestasi yang diberikan Mahkamah Arbitrase merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan, hal yang dituangkan dalam interpretasi langsung bersifat final dan binding kepada para pihak sesuai dengan ketentuan Pasal 32. Jadi, terhadap interpretasi yang diberikan, tunduk kepada ketentuan Pasal 32 ayat (2) sampai ayat (7). Oleh karena itu terhadap interpretasi berlaku tata cara : 1. 2. 3. 4. Interpretasi harus ditandatangani para anggota Arbiter, Menyebut tanggal dan tempat interpretasi diambil, Menyampaikan salinan interpretasi kepada masing-masing pihak, Meregister interpretasi di badan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan di negara mana interpretasi diambil.

H.

Perbaikan Putusan

Terhadap putusan Mahkamah Arbitrase dapat diajukan permintaan perbaikan (correction of the award). Hal-hal yang dapat demintakan perbaikan menurut Pasal 36 meliputi permasalahan :

1. 2. 3.

Kesalahan dalam perhitungan (error computation), Kesalahan pengetikan (typographical error), atau Kesalahan yang sama sifatnya dengan kesalahan terdahulu.

Barangkali perbaikan yang agak mendasar, perbaikan atas kesalahan perhitungan atau error in computation. Perbaikan yang diminta atas kesalahan perhitungan bisa berupa kesalahan penjumlahan atau perkalian. Tentu hal itu tidak mengurangi kesalahan pengetikan. Oleh karena itu, sangat realistis memberi upaya bagi para pihak untuk mengajukan permohonan perbaikan putusan. Mengenai tata cara

pengajuan permohonan perbaikan hampir sama dengan permohonan interpretasi: 1. Dapat diajukan oleh salah satu pihak dalam bentuk permohonan tertulis yang ditujukan kepada Mahkamah Arbitrase yang memutus, 2. Permohonan diberitahukan dalam bentuk pemberitahuan (notice) kepada pihak lawan, tenggang waktu permohonan, 30 hari dari tanggal putusan diterima.

Agak berbeda halnya dengan interpretasi dibanding dengan perbaikan. Pemberian interpretasi baru dapat dilakukan Mahkamah Arbitrase apabila ada permohonan dari salah satu pihak yang bersengketa. Sebaliknya, dalam perbaikan putusan, disamping dapat diminta oleh salah satu pihak, dapat juga dilakukan oleh mahkamah atas inisiati sendiri.

Perbaikan atas inisiatif sendiri dapat dilakukan mahkamah dalam tenggang waktu 30 hari sejak putusan disampaikan. Lebih lanjut, terhadap setiap perbaikan putusan berlaku sepenuhnya ketentuan Pasal 32 ayat (2) sampai ayat (7). Dengan demikian, segala tata cara pembuatan dan penyampaian perbaikan, dilakukan seperti tata cara yang berlaku bagi putusan akhir dan pemberian interpretasi. Begitu juga efek perbaikan, langsung bersifat final dan binding kepada para pihak.

I.

Penambahan Putusan

Pengertian penambahan putusan atau additional award menurut Pasal 37 ialah : meralat (rectify) atau menyempurnakan hal-hal yang diabaikan (omitted) dalam putusan, tentang hal-hal yang sudah diajukan sebagai tuntutan pada proses pemeriksaan arbitrase. Demikian kira-kira makna dan batasan penambahan putusan. Tidak dimaksudkan untuk menambah atau memasukkan sesuatu mengenai hal yang belum pernah ditemukan sebagai tuntutan dalam proses pcmeriksaan. Ini merupakan patokan pertama. Penambahan baru dapat dikabulkan, apabila hal itu mengandeng kebenaran serta penambahan atas hal yang diabaikan Mahkamah Arbitrase bisa diralat atau ditambah tanpa memerlukan proses mendengar keterangan dan pembuktian lebih lanjut. Jika penambahan yang diminta

tidak mungkin dilakukan tanpa pemeriksaan mendengar keterangan para pihak atau saksi manapun pemeriksaan pembuktian, Mahkamah Arbitrase harus melakukan pemeriksaan sesuai kebutuhan. Penambahan putusan dalam arbitrase sangat beralasan dan realistis. Ditinjau dari segi pendekatan upaya hukum, putusan arbitrase adalah bersifat final. Oleh karena itu, tidak mungkin dikoreksi dalam tingkat banding atau kasasi. Sekiranya tidak diperbolehkan meralat atau menambah hal-hal yang diabaikan, tidak ada jalan dan upaya untuk menyempurnakan hal-hal yang mungkin lalai atau sengaja diabaikan Mahkamah Arbitrase. Jika hal itu dibiarkan, akan memberi

kecenderungan bagi anggota arbiter secara terselubung bertindak secara parsial mengabaikan atau menghilangkan apa-apa yang dituntut. Tata cara penambahan putusan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 37 adalah sebagai berikut : 1. 2. Permohonan dapat diajukan salah satu pihak kepada mahkamah, Tenggang waktu pengajuan, 30 hari terhitung sejak putusan diterima, 3. Permohonan menyampaikan pemberitahuan (notice) kepada lawan tentang adanya permohonan penambahan putusan, 4. Pengabulan atas penambahan putusan harus diselesaikan

Mahkamah Arbitrase dalam tempo 60 hari dari tanggal perrnohonan diterima.

Selanjutnya, segala sesuatu yang diatur dalam Pasal 32 ayat (2) sampai ayat (7) berlaku sepenuhnya terhadap penambahan putusan. Dengan demikian, tambahan putusan dengan sendirinya merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan putusan. Bersamaan dengan itu, tambahan putusan bersifat final dan binding bagi para pihak.

XXI. BIAYA MAHKAMAH ARBITRASE

Mahkamah Arbitrase mesti mencantumkan biaya yang pasti (shall fix the cost of arbitration) dalam putusan. Ke dalam pengertian biaya arbitrase hanya termasuk : A. Biaya Mahkamah Arbitrase. Biaya ini dicatat terpisah dari biaya yang diberikan kepada setiap anggota arbiter, B. C. Biaya perjalanan dan pengeluaran lain oleh arbiter, Biaya penasihat ahli, bantuan, dan lain-lain yang ada hubungannya dengan Mahkamah Arbitrase, D. Biaya perjalanan dan pengeluaran lain para saksi yang disetujui Mahkamah Arbitrase, E. F. Biaya perwakilan resmi, termasuk para pembantu yang jumlahnya patut, Biaya dan pengeluaran badan kuasa, seperti pengeluaran Sekretaris Jenderal Permanent Court of Arbitration di Den Haag.

Mengenai biaya Mahkamah Arbitrase dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 39 ayat (1). Menurut pasal ini, biaya mahkamah harus merupakan jumlah yang patut

(reasonable).

Perhitungan

jumlahnya

bertitik

tolak

dari

jumlah

yang

dipersengketakan dihubungkan dengan waktu yang dipergunakan dan keadaan yang relevan dari kasus yang bersangkutan. Sekiranya badan kuasa yang ditunjuk berdasar kesepakatan para pihak ataupun badan yang ditunjuk oleh Sekretaris Jenderal Permanent Court of Arbitration di Den Haag, telah mengatur penjadwalan biaya para arbiter dalam menangani kasus yang bersifat internasional, Mahkamah Arbitrase dalam menetapkan biaya tersebut berpedoman kepada jumlah penjadwalan dimaksud, namun dapat diperluas dengan cara mempertimbangkan keadaan-keadaan yang menyangkut kasus yang

bersangkutan. Apabila badan kuasa yang ditunjuk tidak menetapkan penjadwalan biaya para arbiter, sedang kasus yang diselesaikan berskala internasional, perhitungan jumlah biaya arbiter ditetapkan berdasarkan kebiasaan (costumary) yang di ikuti dalam kasus-kasus internasional. Misalnya, badan kuasa yang ditunjuk para pihak berdasar kesepakatan adalah badan arbitrase ICC. Ternyata ICC tidak menetapkan jadwal pembiayaan para arbiter. Dalam kejadian yang seperti itu, para arbiter yang duduk dalam Mahkamah Arbitrase yang bersangkutan, menetapkan perhitungan jumlah biaya mereka menurut kebiasaan internasional.

DAFTAR PUSTAKA

Akhmad Ichsan, Kompendium tentang Abritase Perdagangan Internasional (Luar Negeri), PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1993. Catur Iriantoro, Pelaksanaan Klausula-Klausula Arbitrase Dalam Perjanjian Bisnis, Inti Media Pustaka, Bandung, 2007. Girsang, S.U.T., Arbitrase Jilid II, Mahkamah Agung, Jakarta, 1992. Huala Adolf, Penyelesaian Sengketa Dagang Dalam World Trade Organization (WTO), CV. Mandar Maju, Bandung, 2005. ----------------, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2006. Muhammad Yahya Harahap, Arbitrase Ditinjau Dari Reglemen Acara Perdata (Rv), Peraturan Prosedur BANI, ICSID, UNCITRAL Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreig Arbitral Award, PERMA No. 1 Tahun 1990 edisi kedua- cetakan keempat, Sinar Grafika, Jakarta, 2006. Mochammad Faisal Salam, Penyelesaian Sengketa Bisnis Secara Nasional Dan Internasional, CV. Mandar Maju, Bandung, 2007. Munir Fuady, Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003. Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT. Fikahati Aneska, Jakarta, 2002.

Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, PT. Alumni, Bandung, 2007. Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, Mengenal Arbitrase Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004.

You might also like