Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Tanaman teh (Camellia sinensis, L.) sebagai salah satu tanaman budidaya
banyak mendapat serangan hama terutama dari golongan tungau. Tungau merupakan
kelompok Acari dari phylum Arthropoda, classis Arachnida yang memiliki sebaran
Di berbagai perkebunan teh di Indonesia, ada beberapa jenis tungau hama yang
theae Watt, Calacarus carinatus Green dan Brevipalpus phoenicis Geijskes (Oomen,
1982). Semua jenis tungau hama tanaman teh tinggal pada bagian bawah daun
pemeliharaan. Daun yang terdapat pada tanaman teh dibagi menjadi 2 bidang yaitu
bidang petik dan bidang pemeliharaan. Bidang petik adalah daun yang terletak di
atas yang terdiri atas daun-daun muda, sedangkan bidang pemeliharaan terletak di
bawah bidang petik yang terdiri atas daun-daun tua. Berbagai tungau hama
daun dapat mengalami klorosis bahkan menjadi rontok. Kerugian yang ditimbulkan
tersebut, mendorong penggunaan bahan kimiawi sintetis (pestisida) dan kondisi ini
telah berlangsung cukup lama. Berbagai masalah timbul akibat pemakaian pestisida
diantaranya yaitu selain mencemari produk teh dan lingkungan, tungau hama juga
beberapa jenis tungau hama teh adalah Amblyseius deleoni Muma et Denmark
(Budianto, 2000).
dominan dalam memangsa tungau jingga. Hidup sebagai predator generalis, lebih
dan sangat menggemari polen bunga (Pratiknyo, 1998). Pada keadaan alami tungau
ini umumnya melimpah dan distribusinya relatif sama dibandingkan dengan tungau
A. deleoni memiliki kelimpahan yang sangat tinggi pada tanaman teh dan
telur, larva, nimfa dan dewasa (Schica, 1987). A. deleoni berdasarkan morfologinya
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: ventral shield membulat, kaki ada 8 buah atau 4
pasang pada tungau dewasa tetapi yang masih larva hanya 3 pasang kaki, tubuhnya
transparan, tipe mulutnya pencucuk dan pengisap, mempunyai setae yang terdiri dari
dua setae yang panjang dan 2 setae pendek di bagian posterior tubuhnya.
8 setae dan 3 setae yang lain terletak pada bagian samping dan bawah anus, panjang
tubuh keseluruhan yaitu dari gnatosoma sampai idiosoma mencapai rata-rata 526,36
µm, untuk setae yang terletak di bagian posterior mencapai panjang rata-rata 372,4
µm (Budianto, 2000).
sebagai pengendali hayati tungau hama karena predator ini mudah diperbanyak,
memiliki daya mangsa dan laju reproduksi tinggi serta mampu bertahan pada kondisi
kelangkaan pakan utamanya. Pemanfaatannya yang aman dan ramah lingkungan
A. deleoni.
Act adalah semua zat atau campuran zat yang khusus untuk memberantas atau
virus, bakteri, jasad renik yang terdapat pada manusia dan binatang lainnya (Green,
1979). Beberapa pestisida yang sering digunakan pada perkebunan teh berdasarkan
jasad hidup sasarannya yaitu insektisida (racun serangga), akarisida (racun tungau
dan caplak), herbisida (racun gulma atau tanaman pengganggu) dan fungisida (racun
jamur) (Sudarmo,1992).
anorganik memiliki daya larut yang rendah dalam air sehingga dapat digunakan
protektan yang bersifat racun kontak, berbentuk tepung berwarna biru muda yang
kentang, penyakit cacar pada daun teh, penyakit karat pada kopi dan busuk buah
pada kakao. Daya kendalinya lebih besar karena memiliki bahan aktif tembaga
terakhir yang bersifat racun kontak dengan cara kerjanya yang efektif dan efisien
penyakit dengan hanya menggunakan dosis yang rendah, lebih mudah larut dalam
air, tidak mudah mengendap, larutan yang terbentuk menjadi lebih merata, daya rekat
lebih lama lebih baik, tidak mudah tercuci dan tidak mudah menggumpal (Jhony,
2002).
Jenis fungisida tembaga ini umumnya bekerja dengan cara menghambat enzim.
Efek ini biasanya timbul akibat interaksi antara logam dengan gugus -SH pada enzim
tersebut. Suatu enzim dapat juga dihambat oleh logam toksik melalui penggusuran
kofaktor logam yang penting dari enzim. Mekanisme lain dalam mengganggu fungsi
enzim adalah dengan menghambat sintesisnya (Lu, 1995). Fungisida tembaga ini
bersifat akumulatif yang nantinya akan terionisasi dan menghasilkan ion kupri yang
Round up 486 AS (Aquaeous Solution) merupakan salah satu jenis herbisida yang
bersifat sistemik, berspektrum luas, tidak selektif dan dapat mematikan gulma
dengan cara menghambat sintesis protein dan metabolisme asam amino gulma
berbentuk cair, yang dalam penggunaannya dicampur dengan air dan larutan ini
berwarna kuning keemasan (Wudianto, 1997). Bahan aktif dari herbisida ini adalah
isopropilamina glifosat 486 g/l (setara dengan glifosat 360 g/l). Nivia (2001),
menyatakan bahwa secara teknik glifosat merupakan asam, tetapi umumnya glifosat
sering digunakan dalam bentuk garam yang dikenal dengan nama garam
glifosat merupakan jenis herbisida yang cukup baru dalam pemasaran dan hampir
organofosfat. Jenis pestisida ini mengandung unsur-unsur karbon dan fosfor. Pada
dihidrolisis bila tercampur dengan air, dan sedikit meninggalkan residu apabila
kelompok racun syaraf, namun hasil pengujian terhadap beberapa organisme tidak
menunjuk pada racun syaraf seperti halnya pada insektisida organofosfat (Nivia,
dimana glifosat melakukan inhibisi pada tempat katalitik Mix Function Enzyme
(MFO).
Penggunaan kocide 77 WP dan round up 486 AS selain bertujuan
mengendalikan berbagai jenis hama tanaman teh, juga dapat berdampak pada
tersebut ditunjukkan dengan adanya penurunan jumlah individu pada suatu populasi,
dalam hal ini umumnya populasi tungau predator biasanya lebih rentan terhadap
intervensi pestisida (Chouinard dan Brodeur, 1996). Selain itu, tingkat resistensi
pada tungau predator juga dapat meningkat terutama apabila kocide dan round up
dipergunakan oleh perkebunan teh dalam jangka waktu yang lama. Menurut
Budianto (2000) menyatakan bahwa penggunaan kocide dan round up dalam jangka
waktu yang lama, akan menyebabkan terseleksinya alel-alel yang rentan dan resisten
konsentrasi pesitisida dapat lulus hidup dan berkembang lebih baik, sedangkan
organisme dengan alel yang rentan akan mengalami mortalitas yang besar.
tungau hama termasuk tungau jingga, sangat tinggi (McMurtry dan Croft, 1997).
terganggu dan menurun drastis. Akibatnya pada suatu saat tertentu, populasi tungau
sangat rendah.
yang lebih ramah terhadap agroekosistem (Sivapalan, 1996). Seleksi A. deleoni yang
resisten terhadap berbagai pestisida yang telah lama dipergunakan di perkebunan teh,
merupakan upaya mengatasi penurunan pengendalian hayati alamiah oleh tungau
produk teh dikarenakan pemakaian pestisida hanya dilakukan pada saat-saat tertentu
saja.
1992). Resistensi adalah kesanggupan dari suatu organisme memakan racun yang
berdosis lebih tinggi dari pada dosis biasa. Resistensi menyebabkan organisme
pengganggu dapat menjadi tahan atau kebal terhadap pestisida yang digunakan.
pestisida ini dapat menyebabkan perubahan gene pool yaitu dari mayoritas kelompok
disebabkan oleh 4 sifat antara lain: (1) sifat morfologis yaitu adanya perbedaan
dalam tebal tipisnya kutikula; (2) sifat fisiologis yaitu adanya perbedaan kecepatan
dalam menguraikan jenis pestisida pada tungau yang resisten dan tungau yang
rentan. Pada strain yang resisten penguraiannya berlangsung cepat; (3) sifat
biokimia yaitu adanya kemampuan tungau untuk melakukan proses inaktivasi; dan
(4) sifat perilaku yaitu tungau yang gerakannya cepat dan lincah lebih mampu
diperlukan untuk merespon kondisi toksik ketika terpajan dalam kandungan bahan
utama menuju seleksi tingkat resistensinya. Seleksi resistensi tungau predator pada
dasarnya merupakan upaya pemilihan sifat-sifat resisten dari individu-individu dalam
jenis pestisida sudah dapat dibuktikan (Mochizuki, 1994; Momen, 1994, 1996;
Thistlewood et al., 1995; Yue dan Tsai, 1996; Shipp dan van Houten, 1997; James,
1997; Zhang dan Sanderson, 1997). Namun, untuk A. deleoni belum diketahui
tile”, tissue tidak berparfum, kapas, kuas kecil dan besar, gelas ukur,
tempat. Pengambilan sampel berupa tungau predator A. deleoni diperoleh dari kebun
teh milik penduduk di Kecamatan Sumbang, Purwokerto (Gambar 2.2), sedangkan
2. Metode Penelitian
AS. Konsentrasi kocide dan round up yang didedahkan pada A. deleoni adalah 0
(kontrol); 0,001; 0,01; 0,1; 1; 10 dan 100%. Konsentrasi ini didedahkan pada 10
ini berupa tungau predator A. deleoni yang lulus hidup pada konsentrasi tertentu.
Dihitung pula tungau predator yang mati dan tungau predator yang lulus hidup
dipelihara kembali pada tempat pemeliharaan dan dianggap sebagai tungau induk.
dengan konsentrasi yang sama terhadap tungau generasi F1. Dihitung tungau yang
berhasil lulus hidup dan yang mati. Lama waktu pendedahan untuk setiap tahap
dalam Klashorst (1992) sebagai berikut : tempat pemeliharaan tungau terdiri dari
nampan berisi air dengan busa didalamnya. Di atas busa, diletakkan “black tile”
yang seukuran dengan busa, dengan bagian tepinya dialasi kertas tissue tidak
berparfum yang tercelup hingga ke air dalam nampan. Pada sepanjang alas kertas
tissue, dibuat tanggul dari lem “tangle-foot” untuk mencegah predator tidak lari dari
tengah “black tile” diletakkan sedikit kapas yang ditutup dengan cover glass
(Gambar 2.3).
teh dari wilayah perkebunan teh yang memperlihatkan gejala serangan tungau hama
dipetik dan dimasukkan ke dalam kantong plastik. Seluruh daun tersebut kemudian
Seleksi tungau predator A. deleoni dilakukan pada nampan berisi busa yang
di bagian atasnya ditancapkan ranting teh yang berisi kurang lebih 4 helai daun yang
telah dibersihkan dari semua serangga dan tungau yang ada. Pangkal daun teh
tersebut diberi lem “tangle foot” untuk menghindari agar tungau tidak melarikan diri
pada saat dipindahkan dari tempat pemeliharaan. Kemudian, daun pada ranting teh
yang telah ditentukan, lalu ditunggu sampai kering. Setelah mengering, maka
Banyaknya tungau yang mati dicatat setelah 24 jam masa pendedahan tersebut
(Gambar 2.4)
Gambar 2.4 Tata letak percobaan uji seleksi A. deleoni
terhadap kocide 77 WP dan round up 486 AS
(kontrol); 0,01; 0,1; 1; 10 dan 100%. Konsentrasi ini didedahkan pada populasi
dicobakan melibatkan 10 individu predator untuk satu kali ulangan, dan diulang
sebanyak empat kali ulangan. Dari tahap pertama akan diperoleh tungau predator
A. deleoni generasi induk yang lulus hidup terhadap kocide 77 WP. Tungau yang
mati dihitung dan yang hidup dipelihara kembali sehingga didapatkan generasi F1.
Pada tahap kedua, generasi F1 A. deleoni yang telah melalui pendedahan pada
tahap pertama didedahkan lagi dengan round up 486 AS. Konsentrasi yang
Setiap konsentrasi yang dicobakan melibatkan 10 individu predator untuk satu kali
ulangan, yang diulang sebanyak empat kali. Hasil pendedahan tahap kedua akan
diperoleh generasi F1 A. deleoni yang lulus hidup terhadap kocide 77 WP dan round
up 486 AS. Dihitung tungau yang berhasil lulus hidup dan yang mati. Lama waktu
pendedahan untuk setiap tahap adalah 24 jam. Kriteria seleksi adalah tingkat
3. Analisis Data
berupa jumlah tungau predator yang mati pada pendedahan pestisida, dianalisis
dengan menggunakan analisis probit dan logit (POLO) sehingga akan diperoleh nilai
LC50/24 jam. Kemudian dibandingkan nilai LC50/24 jam, rasio resistensi dan nilai X2
Hasil analisis probit logit (POLO) dengan menggunakan Le Ora Software 1987
%/24 jam pada generasi parental dan 10,76 %/24 jam pada generasi F1 (Tabel 3.1)
Keterangan :
P = Generasi Induk (Parental)
F1 = Generasi Pertama
Berdasarkan table 3.1 dapat diketahui bahwa generasi pertama (F1) A. deleoni
populasi tungau predator selain dapat dilihat dari nilai LC50/24 jam setiap
generasinya, juga dapat dinilai dari tingkat rasio resistensinya. Semakin rentannya
Selain nilai LC50/ 24 jam dan nilai rasio resistensi (RR), pada setiap
generasinya (parental dan F1) diperoleh pula nilai χ2 hitung yang lebih kecil
dibandingkan nilai χ 2 tabel (Tabel 3.1). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
populasi tungau A. deleoni masih terdiri oleh banyak individu-individu yang rentan
dibandingkan yang resisten. Demikian pula apabila dilihat dari nilai slope yakni
antara 0.076 ± 0.048 pada generasi parental dan 0.104 ± 0.048 pada generasi F1 yang
Gambar 2.5 Grafik nilai slope antara 0.076 ± 0.048 dan 0.104 ± 0.048
individu yang rentan (Knulle, 1991). Kematian individu yang rentan, yang menjadi
perbedaan tanggap resistensinya terhadap pestisida dan cara kerja pestisida itu
penelitian ini lebih rentan terhadap round up 486 AS dibandingkan generasi induk
yang sebelumnya juga telah didedahkan dengan kocide 77 WP. Perbedaan tanggap
resistensi ini menunjukkan bahwa meskipun generasi induk yang berhasil lulus hidup
namun generasi pertama yang dihasilkan lebih banyak mengalami kematian ketika
didedah dengan jenis pestisida yang berbeda (roundup). Diduga, hal ini berkaitan
dengan perbedaan bahan aktif ke dua jenis pestisida dan “mode of action” nya.
tepung berwarna biru muda yang dapat disuspensikan. Fungisida ini mengandung
bahan aktif tembaga hidroksida (Cu (OH)2) yang merupakan fungisida tembaga
generasi terakhir yang bersifat racun kontak dengan cara kerja yang efektif dan
efisien (Tjionger’s, 2001). Bahan aktifnya yang berupa tembaga (Cu) termasuk ke
dalam golongan logam berat dan bersifat sangat toksik. Timmermans (1983)
menyebutkan bahwa logam berat Cu merupakan logam berat yang paling beracun
disusul Cd, Ag, Ni, Pb, As, Cr, Sn, dan Zn yang hampir tidak beracun. Keberadaan
logam berat tersebut dapat berdampak pada perubahan komposisi spesies dan
penurunan jumlah atau kematian spesies tersebut. Dengan demikian dapat dipahami
apabila pada konsentrasi kocide yang sangat rendah, telah mempunyai pengaruh
logam Cu yang masuk ke dalam tubuh hewan uji melebihi konsentrasi yang
dibutuhkan yaitu 40-200 kali lipat. Diduga kematian hewan uji tersebut terjadi
disebabkan senyawa logam berat yang masuk ke dalam tubuh hewan uji telah
Tembaga (Cu) pada konsentrasi tinggi berada dalam bentuk Cu2+ dan bersifat
toksik. Toksisitas terjadi karena tembaga bertindak sebagai oksidator dan berikatan
dengan molekul asam organik seperti deoksiribonukleat (DNA) dan protein
(Harwood dan Gordon, 1974, dalam Irawati et al., 1997). Ion Cu2+ merupakan trace
element nutrient yang dibutuhkan tubuh tetapi bila ada dalam jumlah yang banyak
akan menyebabkan kerusakan sel tubuh dan terganggunya metabolisme (Silver dan
Misra, 1988).
maupun kulit (dermal), dan logam tersebut mempunyai afinitas tinggi untuk
berikatan dengan protein terutama pada gugus sulfhidril (-SH) (Foster dan Wittman,
1983). Cano dan Colone (1986) dalam Irawati et al. (1997) menyatakan bahwa di
dalam tubuh, tembaga berikatan dengan protein sel tubuh yang akan menyebabkan
mengubah struktur protein tersebut. Sifat ini akan menimbulkan gejala atau
pengaruh buruk pada kehidupan hewan atau mahluk hidup lainnya dimana tembaga
yang mula-mula dapat larut dalam air akhirnya akan mengendap di dalam tubuh
logam berat dan logam berat juga mempunyai tingkat toksisitas yang tidak sama.
Menurut Sernitt dan Laster (1980) dalam Irawati et al. (1997) toksisitas logam
dengan sel hidup. Coyne (1999) menambahkan bahwa logam akan menyeleksi
beberapa sel mahluk hidup yang mempunyai mekanisme untuk bertahan pada
kondisi media yang mengandung logam toksik, sebagian logam berat akan
mempunyai pola yang bebas dalam mempengaruhi mahluk hidup, maka semakin
dengan glifosat 360 g/l) merupakan salah satu jenis herbisida yang bersifat sistemik,
berspektrum luas, tidak selektif dan dapat mematikan gulma dengan cara
menghambat sintesis protein dan metabolisme asam amino gulma tersebut (Sukman
dan Yakup, 1995). Glifosat berpengaruh merugikan pada sejumlah fauna tanah dan
fauna tanaman seperti tungau predator yang bermanfaaat. Glifosat juga mampu
meningkatkan mortalitas pada beberapa tungau tanah dan isopoda, tetapi percobaan
di lapang belum diperoleh bukti yang meyakinkan (Eijsackers, 1985 dalam Jasinski
et al., 2003). Penggunaan glifosat dapat menyebabkan mortalitas pada tungau laba-
laba Tetranychus lintearius (Searle et al., dalam Jasinski et al., 2003). Cox (1995),
menyatakan bahwa glifosat termasuk ke dalam salah satu jenis herbisida yang
memiliki kemungkinan kecil dalam menimbulkan bahaya akut jika digunakan secara
terkena glifosat hanya akan terjadi pada dosis ekstrim yang tinggi
namun hasil pengujian pada beberapa organisme tidak menunjuk pada kerja racun
1992; Rumondang; 1993 Wudianto, 1994; dan Lu 1995). Berbeda dengan insektisida
proses anabolisme penting seperti pati, asam lemak atau asam amino melalui
kompetisi dengan senyawa yang normal dalam proses tersebut. Herbisida menjadi
kompetitor karena memiliki struktur yang mirip dan menjadi kosubstrat yang
dikenali oleh enzim yang menjadi sasarannya (Schopfer dan Brennicke, 2005).
Mekanisme kerja glifosat terjadi melalui penghambatan enzim
aromatik, fenilalanin, tirosin dan triptofan. EPSPS merupakan enzim utama yang
terlibat dalam biosintesis asam amino aromatik. EPSPS mengkatalisasi reaksi dari
dan fosfat. Dengan demikian, glifosat dapat mengganggu sintesis asam amino
1998). Inhibisi glifosat bersifat non kompetitif, hal ini terbukti dari rendahnya
konsentrasi glifosat yang dibutuhkan untuk dapat mematikan 50% individu dari
jumlah total populasi tungau setelah tungau terdedah oleh kocide. Dugaan
mekanisme kerja herbisida glifosat pada tungau diawali oleh pemikiran adanya
protein reseptor pada membran sel tungau. Pada konsentrasi glifosat yang kecil,
perubahan konformasi pada protein reseptor itu sendiri sehingga dikatakan membran
membran, maka pada konsentrasi yang mematikan 50% dari total populasi, glifosat
Flint dan Van den Bosch (1990), menyatakan hanya individu-individu yang
memiliki sifat-sifat pertahanan tersebut yang dapat bertahan hidup, maka sangat
mudah dipahami bahwa generasi berikutnya akan memiliki organisme yang tahan
terhadap pestisida dalam prosentase yang lebih besar. Jika setiap generasi
dihadapkan pada bahan kimia beracun, maka hanya dalam waktu yang cepat akan
Menurut Georghiou dan Taylor (1976) dalam Georghiou Mellon (1983), ada 3
faktor yang mempengaruhi terjadinya resistensi yaitu faktor genetik, faktor biologi
dan faktor operasional. Faktor genetik terdiri dari frekuensi alel R, jumlah alel R,
dominansi alel R, dan interaksi alel R. Faktor biologi terdiri dari jumlah keturunan
mobilitas dan migrasi. Faktor operasional terdiri dari bahan kimia pestisida yang
yang dipilih, cara aplikasi, frekuensi aplikasi dan penggunaan pestisida yang
berganti-ganti.
Selain berbagai faktor yang diuraikan sebelumnya, toksisitas suatu pestisida
Lokasi penelitian ini memiliki kisaran temperatur 200 C sampai 320C sedikit lebih
pada saat malam hari kisaran temperaturnya dapat mencapai 180C. Kisaran suhu
yang tinggi ini akan mengakibatkan peningkatan kepekaan tungau terhadap pestisida
(Prijono, 1988). Hal tersebut terjadi dikarenakan pada suhu yang tinggi sekresi
mudah menempel pada tubuh tungau. Selain itu kelembaban yang tinggi yaitu
menghambat penguapan kelenjar minyak yang disekresikan, hal ini diduga berakibat
A. Kesimpulan
B. Saran
Perlu dilakukan pendedahan lebih lanjut menggunakan jenis pestisida yang
DAFTAR REFERENSI
Agnithothrudu, V. 1996. Potential biocontrol agent and their impact on the tea
industry. International Tea Workshop, July 9-11 1996. Beijing, China. 50-54.
Bakker, F. and J.A. Jacas. 1995. Phytoseiid mites : strategies for risk assessment.
Exotoxicology and Environmental Safety. 32 : 58-67.
Flint, M.I dan R. Van den Bosch. 1990. Pengendalian Hama Terpadu diterjemahkan
oleh Kartini I. K dan John, P. Kanisius, Yogyakarta.
Green, M. B. 1979. Chemical for Crop Protection and Pest Control. Pergamon
Press Ltd, England.
Jasinski, J.R, J.B. Esley, C.E Young, J. Kovacs, H. Wilson . 2003. Select nontarget
Arthropod Abundance in transgenic and nontransgenic field crops in Ohio.
Environmental Entomology, 32 : 407-413.
Lu, F.C. 1995. Toksikologi Dasar :Asas, Organ Sasaran dan Penilaian Resiko Edisi
Kedua. UI Press, Jakarta.
McMurtry, J.A.; and B.A. Croft. 1997. Life-styles of phytoseiid mites and their
role in biological control, Annual Review of Entomology, 42: 291-321.
Mc Murty and D.E Walter. 1996. Phytoseiid mites and biological control in
agricultural acarology at Ohio State, Week I. Ohio State University.
Momen, F.M.; and S.A.A. Amer. 1994. Effect of some foliar extracts on the
predatory mite, Amblyseius barkeri (Acarina, Phytoseiidae), Acarologia,
35: 223-228.
Moenandir, J. 1990. Fisiologi Herbisida (Ilmu Gulma : Buku II). Rajawali, Jakarta.
Osborne, L.S.; L.E. Ehler and J.R. Nechols. 1997. Biological control of the
twospotted spider mite in Greenhouse. University of Florida, Central
Florida Research and Education Center 2807 Binion Road, Apopka, FL
32703.
Pratiknyo, H. dan B.H. Budianto. 2000. Pengendalian Hayati Tungau Hama Teh
dengan Tungau Predator Amblyseius deleoni Muma et Denmark. Laporan
Hasil Penelitian. UNSOED. Purwokerto.
Shipp, J.L. and Y.M. Van Houten. 1997. Influence perature and vapor pressure
deficit on survival of the predatory mite, Amblyseius cucumeris (Acari,
Phytoseiidae), Enviromental Entomology, 26 , 106-113.
Silver, S & T. Misra. 1988. Plasmid mediated heavy metal resistance. Annual
Research Microbiology, 42 : 717-743
Sudoi, V.; B.M. Khaemba and F.M.E. Wanjala (1994), Screening of Kenyan
tea clones for their resistance to Brevipalpus phoenicis Geijskes
(Acari, Tenuipalpidae) Attack, Tea, 15 (2), 105-109.
Sukman, Y dan Yakup. 1995. Gulma dan Teknik Pengendaliannya. PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Tarumingkeng, R. C. 1992. Insektisida, Sifat, Mekanisme Kerja dan Dampak
Penggunaannya. PAU-IPB, Bogor
Thistlewood, H.M.A.; D.J. Pree and L.A. Crawford. 1995. Selection and genetic
analysis of permethrin resistance in Amblyseius fallacis (Garman)
(Acari, Phytoseiidae) from Ontario Apple Orchads Experimental
& Applied Acarology. 19: 707-721.
Timmermans, W.T. 1983. Removal of lead, cadmium and zinc by waste tea leaves.
Journal Environmental Technology. 9 : 1223-1232.
Yue, B.S. and J.H. Tsai. 1996. Development, survivorship and reproduction
of Amblyseius largoensis (Acari, Phytoseiidae) on selected plant
pollens and temperatures, Enviromental Entomology, 25, 488-494.
Zhang, Z.Q.; and J.P. Sanderson (1997), Patterns, mechanisms and spatial scale of
agregation in generalist and specialist predatory mites (Acari,
Proceedings of the Symposium on Advances of Acarology in Poland.
Siedlce, Boczek, J. and S. Ignatowicz, Experimental & Applied Acarology,
21, 393-404.
Lampiran 1. Hasil analisis probit dan logit (POLO) nilai LC50/24 jam A. deleoni
terhadap Kocide 77 WP dan Round Up 486 AS
POLO-PC
(C) Copyright LeOra Software 1987
Number of preparations: 1
Number of dose groups: 24
Do you want probits [Y] ?
Is Natural Response a parameter [Y] ?
Do you want the likelihood function to be maximized [Y] ?
LD's to calculate [10 50 90] >
Do you want to specify starting values of the parameters [N] ?
Variance-Covariance matrix
% SLOPE
% .7161120E-02 .1057048E-02
SLOPE .1057048E-02 .2333509E-02
"With almost all good sets of data, g will be substantially smaller than
1.0, and seldom greater than 0.4."
- D. J. Finney, "Probit Analysis" (1972), page 79.
Effective Doses
dose limits 0.90 0.95 0.99
LC10 % .00000
LC50 % 140.77826
LC90 % .00000
POLO-PC
(C) Copyright LeOra Software 1987
Number of preparations: 1
Number of dose groups: 24
Do you want probits [Y] ?
Is Natural Response a parameter [Y] ?
Do you want the likelihood function to be maximized [Y] ?
LD's to calculate [10 50 90] >
Do you want to specify starting values of the parameters [N] ?
Variance-Covariance matrix
% SLOPE
% .7226113E-02 .1102602E-02
SLOPE .1102602E-02 .2332963E-02
"With almost all good sets of data, g will be substantially smaller than
1.0, and seldom greater than 0.4."
- D. J. Finney, "Probit Analysis" (1972), page 79.
We will use only the probabilities for which g is less than 0.5
Effective Concentration
concent limits 0.90 0.95 0.99
LC10 % .00000 lower
upper
LC50 % 10.76258 lower .
upper
LC90 % .00000 lower
upper