You are on page 1of 4

LTM II MODUL SARAF JIWA LESI-LESI PADA UPPER MOTOR NEURON Oleh : Anggi P N Pohan, 0906487695 Kelumpuhan UMN

(Upper Motor Neuron) umumnya melanda sebelah tubuh sehingga dinamakan hemiparesis, hemiplegia atau hemiparalisis. Istilah paralisis atau plegia merujuk pada kehilangan total kontraktilitas otot. Sedangkan kehilangan kontraktilitas yang tidak total disebut paresis. Hemiplegia adalah kelumpuhan pada salah satu lengan dan kaki pada sisi yang sama. Di batang otak, daerah susunan piramidal dilintasi oleh akar saraf otak ke-3, ke-6, ke-7, dan ke-12, sehingga lesi yang merusak kawasan piramidal batang otak sesisi mengakibatkan hemiplegia yang melibatkan saraf otak secara khas dan dinamakan hemiplegia alternans. Sebagai contoh pada pupil yang melebar unilateral dan tidak bereaksi, menunjukkan adanya tekanan pada saraf ke-3.1 Lesi pada satu sisi atau hemilesi yang sering terjadi di otak jarang dijumpai pada medula spinalis, sehingga kelumpuhan UMN akibat lesi di medula spinalis umumnya berupa tetraplegia atau paraplegia.1 Lesi pada korda spinalis dapat komplit atau inkomplit. Lesi komplit, mempengaruhi semua bagian dari korda pada satu tingkat tertentu, sehingga mengakibatkan: paralisis UMN bilateral dari bagian tubuh di bawah tingkat lesi kehilangan modalitas sensasi bilateral di bawah tingkat lesi kehilangan fungsi kandung kemih, pencernaan, dan seksual secara total. Yang lebih sering terjadi adalah lesi inkomplit, yang dapat terjadi dalam 2 kondisi: 1. Lesi mempengaruhi seluruh bagian korda dalam satu tingkat, tetapi tidak menghentikan secara total fungsi traktus asendens dan desendens. Pada kasus ini, terdapat: a. kelumpuhan bilateral di bawah tingkat lesi b. gangguan fungsi sensorik, tetapi bukan kerusakan total c. gangguan fungsi kandung kemih, pencernaan, dan seksual 2. Lesi lebih mempengaruhi bagian tertentu dari korda pada tingkat tertentu, misalnya di salah satu sisi (sindrom Brown-Sqard), posterior, atau anterolateral. Kelumpuhan UMN dapat dibagi dalam: 1. Hemiplegia akibat hemilesi di korteks motorik primer. 2. Hemiplegia akibat hemilesi di kapsula interna. 3. Hemiplegia alternans akibat hemilesi di batang otak, yang dapat dikategorikan dalam: a. Sindrom hemiplegia alternans di mesensefalon b. Sindrom hemiplegia alternans di pons c. Sindrom hemiplegia alternans di medula spinalis 4. Tetraplegia/kuadriplegia dan paraplegia akibat lesi di medula spinalis di atas tingkat konus. A. Kelumpuhan UMN 1. Hemiplegia akibat hemilesi di korteks motorik primer Suatu lesi yang melibatkan korteks serebri, seperti pada tumor, infark, atau cedera traumatik menyebabkan kelemahan sebagian tubuh sisi kontralateral. Keadaan tersebut dikenal sebagai hemiparalisis atau hemiplegia. Kerusakan yang menyeluruh, tetapi belum meruntuhkan semua neuron korteks piramidalis sesisi, menimbulkan kelumpuhan pada belahan tubuh kontralateral yang ringan sampai sedang. Dalam hal ini digunakan istilah hemiparesis. Hemiparesis dekstra, jika sisi kanan tubuh yang lumpuh dan hemiparesis sinistra jika belahan tubuh kiri yang lumpuh.1 Walaupun belahan tubuh kanan atau kiri yang lumpuh, pada umumnya terdapat perbedaan derajat kelumpuhan antara lengan dan tungkai yang terkena. Perbedaan lebih nyata jika hemiplegia disebabkan oleh lesi vaskular di kapsula interna. Kelumpuhannya terjadi melanda seluruh otot skeletal sesisi tubuh, berikut tubuh otot-otot wajah, pengunyah dan penelan. Namun, oleh karena ada otot-otot yang memiliki hubungan dengan kedua sisi korteks motorik primer, maka pada sisi tubuh yang lumpuh terdapat otot-otot yang tampaknya tidak

lumpuh. Otot-otot tersebut adalah otot-otot leher, toraks, abdomen dan selanjutnya otototot wajah, rahang bawah, farings dan larings, yang perlu dijelaskan lebih terinci. Jika suatu tumor di sekitar falks serebri menekan pada kedua sisi korteks piramidalis, maka kedua daerah somatotopik kedua tungkai bisa mengalami gangguan, sehingga terjadi kelumpuhan UMN pada kedua tungkai (paraplegia). Lesi yang merusak koreteks piramidalis biasanya disertai dengan hemiplegia yang berupa hipestesia atau gangguan bahasa. Pada kebanyakan orang dengan hemiplegia dekstra akibat lesi kortikal terdapat afasia motorik atau afasia sensorik. 1 Hemiparesis yang terlihat pada wajah dan tangan (kelemahan brakhiofasial) lebih sering terjadi dibandingkan di daerah lain karena bagian tubuh tersebut memiliki area representasi kortikal yang luas. Temuan klinis khas yang berkaitan dengan lesi di lokasi tersebut adalah paresis ekstremitas atas bagian distal yang dominan, konsekuensi fungsional yang terberat adalah gangguan kontrol motor neuron halus. Kelemahan tersebut tidak total (paresis, bukan plegia), dan lebih barupa gangguan flasid, bukan spastik, karena jaras motorik tambahan (nonpiramidal) sebagian besar tidak terganggu. Lesi iritatif pada lokasi tersebut dapat menimbulkan kejang fokal (jacksonian).2

Gambar 1 : Lokasi-lokasi lesi potensial pada traktus piramidalis.

2. Hemiplegia akibat hemilesi di kapsula interna Jika kapsula interna terlibat (misalnya, pada perdarahan atau iskemia), akan terjadi hemiplegia spastik kontralateral, lesi pada level ini mengenai serabut piramidal dan serabut non piramidal, karena serabut kedua jaras tersebut terletak berdekatan. Traktus kortikonuklearis juga trekena, sehingga terjadi paresis nervus fasialis kontralateral, dan mungkin disertai paresis nervus hipoglosus tipe sentral. Namun, tidak terlihat defisit nervus kranialis lainnya karena nervus kranialis motorik lainnya mendapat persarafan bilateral. Paresis pada sisi kontralateral awalnya berbentuk flasid (pada fase syok) tetapi menjadi spastik dalam beberapa jam atau hari akibat kerusakan pada serabut-serabut non-piramidal yang terjadi bersamaan.2 Kawasan kapsula interna itu dilewati juga oleh serabut-serabut susunan ekstrapiramidal. Oleh karena itu kelumpuhan akibat lesi di kapsula interna hampir selamanya disertai hipertonia yang khas. Hipertonia akbiat lesi paralitik di kawasan susunan piramidal, yang disebut spastisitas, hanya dapat ditemukan pada sekelompok otot tertentu yang lumpuh saja, sehingga menimbulkan suatu pola gerakan abnormal. Misalnya, mengepal dapat dilakukan dengan lancar, tetapi bilamana setelah itu kepalan sutuh dibuka, jari-jari tangan tidak berdaya untuk mengembangkannya.1 3. Hemiplegia alternans akibat hemilesi di batang otak Kerusakan unilateral pada jaras kortikobulbar/kortikospinal di tingkat batang otak menimbulkan sindrom hemiplegia alternans. Sindrom tersebut terdiri atas kelumpuhan UMN yang melanda otot-otot belahan tubuh

kontralateral ang berada di bawah tingkat lesi, sedangkan setingkat lesinya terdapat kelumpuhan LMN, yang melanda otot-otot yang disarafi oleh saraf kranial yang terlibat dalam lesi. Tergantung pada lokasi lesi paralitiknya, dapatlah dijumpai sindrom hemiplegia alternans di mesensefalon, pins dan medula oblongata. Sindrom hemiplegia alternans di mesensefalon Gambaran penyakit tersebut di atas dijumpai bilamana hemilesi di batang otak menduduki pedunkulus serebri di tingkat mesensefalon.1 Lesi setingkat pedunkulus serebri, seperti proses vaskular, perdarahan, atau tumor, menimbulkan hemiparesis spastik kontralateral yang dapat diserati oleh kelumpuhan nervus okulomotorius ipsilateral.2 Nervus okulomotorius (N. III) yang hendak meninggalkan mesensefalon melalui permukaan ventral melintasi daerah yang terkena lesi, sehingga ikut terganggu fungsinya. Hemiplegia alternans dimana nervus okulomorius ipsilateral ikut terlibat dikenal sebagai hemiplegia alternans n. okulomotorius atau sindrom dari weber. Adapun manifestasi n. III itu ialah (a) paralisis m. Rektus internus (medialis), m.rektus superior, m. Rektus inferior, m. Obliks inferior dan m. Levator palpebrae superioris, sehingga nterdapat strabismus divergens, diplopia jika melihat ke seluruh jurusan dan ptosis ; (b) paralisis m. Sfingter pipilae, sehingga terdapat pupil yang melebar.1 Sindrom hemiplegia alternans di pons Sindrom hemiplegia alternans di pons disebabkan oleh lesi vaskular unilateral. Lesi vaskular di pons dibagi menjadi : (1) lesi paramedian akbiat penyumbatan salah satu cabang dari rami perforantes medialis a. Basilaris, (2) lesi lateral, yang sesuai dengan kawasan perdarahan cabang sirkumferens yang pendek, (3) lesi di tegmentum bagian rostal pons akbiat penyumbatan a. Serebeli superior dan (4) lesi di tegmentum bagian kaudal pons, yang sesuai dengan kawasan perdarahan cabang sirkumferens yang panjang.1 Lesi pons yang melibatkan traktus piramidalis (contohnya pada tumor, iskemia batang otak, perdarahan) menyebabkan hemiparesis kontralateral atau mungkin bilateral, yang berada di bawah tingkat lesi, yang berkombinasi dengan kelumpuhan LMN pada otot-otot yang disarafi oleh nervus abdusens (N. VI) atau nervus fasialis (N. VII).1,2 Biasanya, tidak semua serabut traktus piramidalis terkena, karena serabut-serabut tersebut menyebar di daerah potong lintang yang lebih luas di daerah pons dibandingkan di daerah lainnya (misalnya, setingkat kapsula interna). Serabut-serabut yang mempersarafi nukleus fasialis dan nukelus hipoglosalis telah berjalan ke daerah yang lebih dorsal sebelum mencapai tingkat ini, dengan demikian, kelumpuhan nervus hipoglosus dan nervus fasialis tipe sentral jarang terjadi, meskipun dapat disertai oleh defisit nervus trigeminus atau nervus abdusens ipsilateral.2 Sindrom hemiplegia alternans di medula oblongata Lesi pada piramida medula (biasanya akibat tumor) dapat merusak serabut-serabut traktus piramidalis secara terisolasi, karena serabut-serabut nonpiramidalis terletak lebih ke dorsal pada tingkat ini. Akibatnya, dapat terjadi hemiparesis flasid kontralateral. Kelemahan tidak bersifat total (paresis, bukan plegia), karena jaras desendens lain tidak terganggu. 4. Lesi traktur piramidalis di medulla spinalis Suatu lesi yang mengenai traktus piramidalis pada leher servikal (misalnya akibat tumor, mielitis, trauma) menyebabkan hemiplegia spastik ipsilateral, ipsilateral karena traktus tersebut telah menyilang pada lebel yang lebih tinggi, dan spastik karena traktus tersebut mengandung serabut-serabut piramidalis dan non-piramidalis pada level ini. Lesi bilateral di medula spinalis servikalis bagian atas menyebabkan kuadriparesis atau kuariplegia. Sebuah lesi yang mengenai traktus piramidalis torasika (misalnya akbiat trauma, mielitis) menimbulkan monoplegia ipsilateral pada esktremitas bawah. Lesi bilateral menyebabkan paraplegia. B. Spastik sentral Patogenesis spastik sentral2 Pada fase akut lesi di traktus kortikospinalis, refleks tendon profunda bersifat hipoaktif dan terdapat kelemahan flasid pada otot. Refleks muncul kembali beberapa hari atau beberapa minggu kemudian dan menjadi hiperaktif, karena spindel otot berespons lebih sensitif terhadap regangan dibandingkan dengan keadaan normal, terutama fleksor ekstremitas atas dan ekstensor ekstremitas bawah. Hipersensitivitas ini terjadi akibat hilangnya

kontrol inhibisi sentral desendens pada sel-sel fusimotor (neuron motor ) yang mempersarafi spindel otot. Dengan demikian, serabut-serabut otot intrafusal teraktivasi secara permanen (prestretched) dan lebih mudah bersepons terhadap peregangan otot lebih lanjut dibandingkan normal. Gangguan sirkuit regulasi panjang otot mungkin terjadi yaitu berupa pemendakan panjang terget secara abnormal pada fleksor ekstremitas atas dan ekstensor ekstremitas bawah/hasilnya adalah peningkatan tonus spastik dan hiperrefleksia, serta tanda-tanda traktus piramidalis dan klonus. Diantara tanda-tanda traktus piramidalis tersebut terdapat tanda-tanda yang sudah dikenali baik pada jari-jari tangan dan kaki, seperti tanda balbinski (ekstensi tonik ibu jari kaki sebagai respons terhadap gesekan di telapak kaki). Paresis spastik yang selalu terjadi akibat lesi susunan saraf pusat (otak dan/atau medula spinalis) dan akan terlihat lebih jelas bila terjadi kerusakan pada traktus desendens lateral dan medial sekaligus (misalnya pada lesi medula spinalis). Patofisiologi spastisitas masih belum dipahami, tetapi jarak motorik tambahan jelas memiliki peran penting, karena lesi kortikal murni dan terisolasi tidak menyebabkan spastisitas. Sindrom Paresis Spastik Sentral2 Sindrom ini terdiri : Penurunan kekuatan otot dan gangguan kontrol motorik halus Peningkatan tonus spastik Refleks regang yang berlebihan secara abnormal, dapat disertai oleh klonus Hipoaktivitas atau tidak adanya refleks eksteroseptif (refleks abdominal, refleks plantar, dan refleks kremaster) Refleks patologis (refleks balbinski, oppenheim, gordon, dan mendel-bekhterev, serta inhibisi respons hindar (flifgh), dan (awalnya) masa otot tetap baik Lesi Traktus Kortikospinalis (traktus piramidalis)3 Tanda klinis : 1. Refleks babinski. Tanda ini normal pada setahun pertama kehidupan. Normalnya, tr.kortikospinalis menimbulkan plantar fleksi. Bila terjadi lesi pada tr.kortikospinalis, pengaruh tr.desendens lainnya menjadi lebih terlihat dan timbul refleks withdrawal (dorsofleksi). 2. tidak terdapat refleks abdominalis superfisialis. Tr. Kortikospinalis menyebabkan eksitasi tonik terhadap neuron internunsial. 3. Tidak ada refleks kremaster. Otot kremaster tidak dapat berkontraksi saat kulit sisi medial paha digores. Lengkung refleks ini berjalan melalui L1. Tr. Kortikospinalis menyebabkan eksitasi tonik terhadap neuron internunsial. 4. Kehilangan pengaturan gerakan halus. Terutama pada distal ekstremitas. Lesi ekstrapiramidalis3 Tanda klinis : 1. Paralisis berat dengan sedikit atau tidak ada atrofi otot (kecuali disuse atrofi). 2. Spastisitas atau hipertoni. Ekstremitas inferior ekstensi dan superior fleksi. 3. Peningkatan refleks otot dalam serta klonus pada fleksor jari-jari tangan, quadriceps femoris, dan otot betis. 4. Refleks pisau lipat. Biasanya jarang hanya terjadi lesi di salah satu traktus piramidalis atau ekstrapiramidalis. Kedua traktus ini biasanya terkena namun dalam tingkat yang berbeda. Daftar Pustaka 1. 2. 3. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi klinis dasar. Edisi 5. Jakarta: Dian Rakyat; 2010. h.26-37 Baehr, M. Frotscher,M. Diagnosis Topik Neurologi DUUS. Ed 4. Jakarta:EGC; 2010. h.55-7 Snell RS. Clinical neuroanatomy: the spinal cord and the ascending and descending tracts [ebook]. Ed 7. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2010

You might also like