You are on page 1of 14

Kepariwisataan Sulawesi Tenggara Pulau Sulawesi, saat ini terbagi enam wilayah pemerintah provinsi, yakni Sulawesi Selatan,

Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Gorontalo dan Sulawesi Tenggara. Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan wilayah penelitian dalam pekerjaan ini. Provinsi Sulawesi Tenggara itu sendiri berdiri tanggal 22 September 1964 berdasarkan Undang-Undang Nomor 13/1964. LETAK Secara orientatif Provinsi Sulawesi Tenggara berada pada bagian tenggara/ kaki kanan bawah dari Pulau Sulawesi. Provinsi yang berbatasan langsung adalah Provinsi Sulawesi Tengah dan Provinsi Sulawesi Selatan. Provinsi Sulawesi Tenggara terletak di Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi. Secara geogafis Sulawesi Tenggara terletak di bagian Selatan khatulistiwa diantara 3 - 6 Lintang Selatan dan 120 45 - 124 60 Bujur Timur. 1 Sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Sulawesi Tengah. 2 Sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi NTT di Laut Flores. 3 Sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Maluku di Laut Banda. 4 Sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Selatan Di Teluk Bone. Dari sisi letak secara nasional, Kota Bau-Bau merupakan kota yang memiliki letak strategis. Kota Bau-Bau adalah daerah penghubung (connecting area) antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dengan Kawasan Timur Indonesia (KTI). bagi masyarakat daerah hinterlandnya (Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Bombana), Kota Bau-Bau berperan sebagai daerah akumulator hasil produksi dan distributor kebutuhan daerah tersebut. WILAYAH ADMINISTRATIF Secara administratif wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara terbagi menjadi 12 kabupaten-kota, yaitu : Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, Kabupaten Konawe, Kabupaten Kolaka, Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana, Kabupaten Kolaka Utara, Kota Kendari, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Konawe Utara dan Kota Bau-Bau LUAS WILAYAH Luas wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara : 38.140 Km2 (1,44 % Luas Indonesia).

Judul

FISIK DASAR Topografi Kondisi tanah daerah Sulawesi Tenggara umumnya bergunung, bergelombang berbukit-bukit. Permukaan tanah pegunungan yang relatif rendah digunakan untuk usaha mencapai luas 1.868.860 ha. Tanah ini sebagian besar berada pada ketinggian 100-500 meter di atas permukaan laut dan kemiringan tanahnya mencapai 40 derajat. Morfologi Ditinjau dari morfologi wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan gugusan daratan jazirah Sulawesi bagian Tenggara : Pulau Buton, Pulau Muna, Pulau Kabaena, Pulau Wawonii, Kepulauan Wakatobi dan pulaupulau lainnya baik yang bernama maupun tidak bernama. Bentuk Lahan Provinsi Sulawesi Tenggara dapat dibedakan dalam 7(tujuh) bentuk lahan utama yaitu daratan aluvial, daratan pantai, daratan piedmont, teras marin, coral reefs yang terangkat, Perbukitan, dan Pegunungan. Bentuk lahan daratan aluvial terdiri dari daratan banjir (floodplain), Pelembahan berbentuk cekungan (Basin), Pelembahan sungai (valley) dan teras sungai. Penyebarannya terdapat disepanjang jalur aliran sungai termasuk meander, pelembahan dan cekungan yang terdapat di antara perbukitan serta di daerah-daerah bagian bawah pada wilayah bergelombang dan daratan piedmont, yang umumnya tersusun dari bahan endapan aluvium. Daratan pantai terletak di sepanjang pesisir pantai dengan bentuk wilayah datar, pesisir pantai (beaches), laguna, dan daerah pasang surut (tidal flat). Bahan yang menyusun bentuk lahan ini berasal dari endapan marin. Bentuk lahan daratan piedmont merupakan daerah kaki perbukitan yang tersusun dari berbagai jenis batuan seperti batu pasir, batu sabak, batu ultra basa, batu gamping dan sedimen marin tak terperinci. Bentuk lahan teras marin merupakan teras laut yang terbentuk pada jaman kuarter sampai tersier dan tersusun dari bahan sedimen laut yang umumnya tidak kokoh (unconsolidated). Bentuk lahan coral reefs tersusun dari batu gamping yang terangkat. Bentuk lahan perbukitan dari proses pengangkatan, lipatan dan sebagian patahan serta intrusi. Batuan yang menyusun bentuk lahan ini terdiri atas batu gamping, napal, batu pasir, skis, filit, ultra basa, dan sedimen marin. Bentuk lahan pegunungan danproses pengangkatan, lipatan, patahan dan intrusi. Batuan penyusun bentuk lahan ini adalah batuan skis dan ultra basa.
2

Judul

Klimatologi .1 Musim Keadaan musim di daerah Provinsi Sulawesi Tenggara, umumnya sama seperti daerah-daerah lain di Indonesia yang mempunyai dua musim, yakni musim Hujan dan musim Kemarau. Musim Hujan terjadi antara Bulan November dan Maret, dimana angin Barat yang bertiup dari Asia dan Samudera Pasifik banyak mengandung uap air. Musim Kemarau terjadi antara Bulan Mei dan Oktober, dimana angin Timur yang bertiup dari Australia sifatnya kering dan kurang mengandung uap air. Khusus pada bulan April, di daerah Provinsi Sulawesi Tenggara arah angin tidak menentu, demikian pula curah hujan, sehingga pada bulan ini dikenal sebagai bulan/musim Pancaroba. .2 Curah Hujan Curah hujan di wilayah ini umumnya tidak merata, hal ini menimbulkan adanya wilayah daerah basah dan wilayah daerah semi kering. Wilayah daerah basah mempunyai curah hujan lebih dari 2.000 mm pertahun, daerah ini meliputi wilayah sebelah Utara garis Kendari-Kolaka dan bagian Utara Pulau Buton dan Pulau Wawonii. Sedangkan wilayah daerah semi kering mempunyai curah hujan kurang dari 2.000 mm pertahun, daerah ini meliputi wilayah sebelah Selatan garis Kendari-Kolaka dan wilayah kepulauan di sebelah Selatan dan Tenggara jazirah Sulawesi Tenggara. Pada Tabel 1.16 sampai dengan Tabel 1.19 disajikan data banyaknya hari hujan dan curah hujan dari beberapa stasiun penakar di Kabupaten Buton, Muna, Kendari dan Kolaka. .3 Suhu Udara Tinggi rendahnya suhu udara pada suatu tempat antara lain dipengaruhi oleh posisi dan ketinggian tempat tersebut dari permukaan laut, makin tinggi posisi suatu tempat dari permukaan laut akan semakin rendah suhu udara dan sebaliknya. Karena wilayah daratan Sulawesi Tenggara mempunyai ketinggian umumnya di bawah 1.000 meter dari permukaan laut dan berada di sekitar daerah Khatulistiwa, maka propinsi ini beriklim tropis. Rata-rata kecepatan angin di Kendari selama tahun 2005 mencapai tiga belas m/detik, dan tekanan udara mencapai 1.010,5 millibar. Hidrologi Propinsi Sulawesi Tenggara memiliki beberapa sungai besar (lihat Gambar 4.13), umumnya memiliki potensi yang dapat dijadikan sebagai sumber
3

Judul

tenaga untuk kebutuhan industri dan rumah tangga dan juga irigasi. Sungai besar seperti Sungai Konaweha yang terletak di Kabupaten Kendari memiliki debit air + 200 m3 detik dan berdiri sebauh bendungan di Wawotobi yang mampu mengairi persawahan di daerah Kabupaten Kendari seluas 18.060 ha. Sungai-sungai besar tersebut seperti : sungai Konawe, di sungai ini berdiri Bendungan Wawotobi yang mampu mengairi sawah seluas 18.000 Ha. Selain itu masih banyak sungai-sungai di daerah Provinsi Sulawesi Tenggara yang tekanan airnya berpotensi untuk pembangunan dan pengembangan irigasi seperti: Sungai Lasolo di Kabupaten Kendari, Sungai Roraya dan Sungai Sampolawa di Kabupaten Buton (Kecamatan Rumbia, Poleang dan Sampolawa), Sungai Wandasa dan Sungai Kabangka Balano di Kabupaten Muna, serta Sungai Laeya di Kabupaten Kolaka. Di Kabupaten Konawe terdapat beberapa sungai besar yang cukup potensial untuk pengembangan pertanian, irigasi, dan pembangkit tenaga listrik seperti : Sungai Konaweeha, Sungai Lahumbuti, Sungai Lapoa, Sungai Lasolo, Sungai Kokapi, Sungai Toreo, Sungai Andumowu, Sungai Molawe dan beberapa anak sungainya. Kabupaten Kolaka memiliki beberapa sungai dan sumber mata air dari gunung. Sungai dan mata air tersebut memiliki potensi yang dapat dijadikan sumber tenaga, kebutuhan industri, kebutuhan rumah tangga, kebutuhan irigasi dan pariwisata. Sungai-sungai tersebut seperti Sungai Wolulu (di Kecamatan Watubangga), Sungai Oko-oko (di kecamatan Tanggetada), sungai Huku-huku (di Kecamatan Pomalaa), Sungai Baula (di kecamatan Baula), Sungai Lamekongga (di kecamatan Wundulako), Sungai Ladongi, Andowengga (di Kecamatan Ladongi), sungai Tokai (di Kecamatan Lambadia), Sungai Loea dan Sungai Simbune (di Kecamatan Tirawuta), Sungai Balandete, Kolaka (di kecamatan Kolaka), Sungai Manggolo (di Kecamatan Latambaga), sungai Wolo (di kecamatan Wolo), Sungai Tamboli dan Sungai Konaweeha (di Kecamatan Samaturu), Sungai Mowewe (di Kecamatan Mowewe), Sungai Konawe (di Kecamatan Uluiwoi). Oceanografi Luas perairan Provinsi Sulawesi Tenggara diperkirakan mencapai 110.000 km2 atau 11.000.000 ha. Perairan tersebut sangat berpotensi untuk pengembangan Wisata Bahari dan usaha pengembangan perikanan di samping itu memiliki panorama laut yang sangat indah seperti yang ada di Pulau Wakatobi. Propinsi Sulawesi Tenggara memiliki wilayah perairan yang potensial untuk pengembangan usaha perikanan dan pengembangan wisata bahari, karena

Judul

di samping memiliki bermacam-macam hasil ikan, juga memiliki panorama laut yang sangat indah. Beberapa jenis ikan hasil perairan laut Sulawesi Tenggara yang banyak ditangkap nelayan adalah : Cakalang, Teri, Layang, Kembung, Udang dll, di samping itu terdapat pula hasil lain seperti : Teripang, Agar-agar, Japingjaping, Lola, Mutiara dll. Hasil Penelitian yang telah dilakukan oleh ahli kelautan Indonesia dan luar negeri menunjukkan bahwa Buton Timur (Kepulauan Tukang Besi) memiliki potensi perairan untuk wisata bahari yang sangat indah bila dibandingkan dengan daerah-daerah wisata bahari lainnya di Indonesia. Jika hendak berkunjung ke Wakatobi bulan Juli-September harus siap menghadapi ombak setinggi gunung. Namun, bagi yang berjiwa petualang, ombak besar tidak menjadi halangan untuk mengunjungi gugusan kepulauan di antara Laut Banda dan Laut Flores itu. Bagi yang tidak sanggup menghadapinya, bulan Oktober sampai awal Desember merupakan pilihan terbaik menikmati keindahan di Wakatobi. Karakteristik pantai setiap kawasan MCMA Provinsi Sulawesi Tenggara cukup bervariasi. Tipe pantai yang ditemukan, terdiri dari pantai berpasir, berlumpur dan berbatu, dengan topografi pantai landai sampai curam. Tipe pantai kawasan MCMA Kabupaten Buton lebih didominasi pantai berbatu, khususnya di kawasan KAGULAMAS, sedangkan untuk kawasan MCMA Kabupaten Muna dan Konawe lebih didominasi oleh pantai berlumpur, khususnya di kawasan NATIGI (Kabupaten Muna) dan kawasan BONSALA (Kabupaten Konawe). Panjang pantai kawasan MCMA di Kabupaten Buton sekitar 271,99 km untuk KAGULAMAS, kemudian LASELSAR sekitar 170,40 km dan 277,15 km untuk SABASIKAYA. Panjang pantai kawasan MCMA di Kabupaten Muna sekitar 397,61 km untuk WAKASUSUMAPA dan NATIGI sekitar 270,99 km. Kawasan MCMA Kabupaten Konawe terdiri dari BONSALA dan SONITE masing-masing dengan panjang pantai sekitar 338,98 km dan 198,29 km. Perairan Sulawesi Tenggara memiliki morfologi laut yang beragam. Untuk wilayah perairan Sulawesi Tenggara bagian Barat, morfologi dasar lautnya memiliki profil yang cukup curam, dengan basin Banda Selatan yang menghampar dari Laut Banda ke arah Teluk Bone, sedangkan untuk Kepulauan Tukang Besi (Wakatobi), terletak pada Palung Butung (Tamascik, dkk, 1997) sehingga morfologi di sekitar kepulauan ini relatif curam. Pada wilayah Sulawesi Tenggara bagian Timur, profil dasar lautnya relatif lebih landai, terutama wilayah perairan jazirah Sulawesi Tenggara, Pulau Muna

Judul

dan Pulau Buton bagian Dalam, dengan kedalaman berkisar antara 0 sampai 50 meter. Perairan sekitar Pulau Muna relatif dangkal, secara geologis termasuk Mandala Sulawesi Timur kecuali Pulau Buton yang diduga merupakan bagian busur Kepulauan Banda. Pulau Muna dikelilingi oleh laut dalam, sebelah timur oleh Cekungan Banda dan sebelah selatan dan barat oleh Cekungan Bone. Kedalaman perairan sekitar Selat Tiworo, Selat Muna (Spelman) dan Selat Poleang dengan morfologi relatif datar dengan kedalaman maksimum 70 m. Di bagian selatan Selat Muna, selat Buton dan Wowonii morfologi dasar lautnya berbeda-beda menurut lokasinya. Bagian selatan dan tengah selat Buton memperlihatkan keadaan morfologi yang turun naik, dibagian tengah menyerupai suatu cekungan dengan kedalaman maksimum 378 m bertepian cukup terjal. Morfologi relatif datar dibagian utara Selat Buton dan bagian barat Selat Wawonii dengan kedalaman laut maksimum 100 m. Pada bagian selatan, tenggara dan sampai bagian utara Buton topografinya relatif curam dengan kedalaman mencapai 3.031 m. Kondisi yang sama juga dijumpai di Pulau Muna bagian selatan dan Pulau Wawonii bagian Timur dengan kedalaman mencapai 1.866 m dan 3.880 m laut . Tipe pasang surut yang terjadi di perairan ini merupakan tipe campuran dominan ganda (semi diurnal). Ketinggian pasang surut berkisar 1 2 m. Pada musim barat, arus di sekitar perairan Sulawesi Tenggara bergerak relatif dari arah barat ke arah timur dan timur laut, sedangkan di bagian timur jazirah Sulawesi Tenggara (di sekitar Pulau Buton) arus permukaan bergerak relatif ke arah selatan dikarenakan adanya pembatas (boundary) oleh pulaupulau kecil di sekitar daerah tersebut. Pada musim timur (mulai bulan April), terjadi pembalikan arah arus, dimana arus bergerak relatif dari arah utara, dan di ujung Pulau Buton berputar ke arah barat, sedangkan pada bulan Juni dan Agustus, arah arus semakin dominan bergerak ke arah barat. Pada bulan Desember, arah arus kembali berubah arah ke arah timur dan timur laut . Salinitas perairan Kabupaten Buton berkisar 18 36 ppt, sedangkan untuk Kabupaten Muna berkisar 29 36 ppt dan Kabupaten Konawe berkisar 10 -37 ppt. Pada umumnya, salinitas terendah setiap kawasan ditemukan pada daerah muara sungai dan bertepatan dengan musim hujan, sedangkan salinitas tertinggi ditemukan agak jauh dari pantai dan bertepatan dengan musim kemarau. pH perairan kawasan Provinsi Sulawesi Tenggara berkisar 7,0 - 8,5, dengan pH tertinggi ditemukan di Kecamatan Sampolawa, Batauga, Kadatua dan

Judul

Siompu (Kabupaten Buton) dan di Kecamaatan Kulisusu dan Pasir Putih (Kabupaten Muna). Konsentrasi Oksigen terlarut (DO) berkisar 3,5 8,5 ppm, dengan nilai DO tertinggi ditemukan di Kecamatan Bondoala (Kabupaten Konawe) dan Kecamatan Kulisusu (Kabupaten Muna), sedangkan terendah ditemukan di Kecamatan Lasalimu (Kabupaten Buton) dan Kecamatan Wawonii Barat (Kabupaten Konawe). Konsentrasi nitrat Kabupaten Buton berkisar 0,067 0,950 ppm, di mana nilai tertinggi terdapat di Kecamatan Siompu dan terendah di Kecamatan Lakudo. Konsentrasi nitrat di Kabupaten Muna berkisar 0,011 0,598 ppm, di mana tertinggi ditemukan di Kecamatan Parigi/Kabangka dan terendah di Kecamatan Napabalano. Di Kabupaten Konawe, konsentrasi nitrat berkisar 0,030 0,719 ppm, dimana Kecamatan Wawonii Barat merupakan yang tertinggi dan terendah di Kecamatan Sawa. Konsentrasi fosfat di Kabupaten Buton berkisar 0,040 0,620 ppm, kemudian untuk Kabupaten Muna berkisar 0,011 0,270 ppm dan 0,119 0,217 ppm untuk Kabupaten Konawe. Konsentrasi silikat yang diperoleh pada Kabupaten Buton berkisar 0,002 0,022 ppm. Kelimpahan plankton cukup bervariasi. Di Kabupaten Buton berkisar 140 7.006 ind/lt untuk fitoplankton dan 19 6.665 ind/lt untuk zooplankton, Kabupaten Muna berkisar 266 25.631 ind/lt untuk fitoplankton dan 119 1.130 ind/lt untuk zooplankton, dan di Kabupaten Konawe berkisar 35 3.300 ind/lt untuk fitoplankton dan 35 2.665 ind/lt untuk zooplankton. Geologi Pulau Sulawesi berdiri di atas lahan seluas 227.654 km2, terutama terdiri dari empat semenanjung panjang. Secara geologik pulau Sulawesi sangat labil karena dilintasi patahan kerak bumi lempeng Pasifik dan merupakan titik tumbukan antara Lempeng Asia, Lempeng Australia dan Lempeng Pasifik. Kondisi batuan wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara ditinjau dari sudut geologis terdiri atas batuan sedimen, batuan metamorfosis, dan batuan beku. Dari ketiga jenis batuan tersebut yang terluas adalah batuan sedimen, seluas 2.878.790 ha (75,47 persen). Dari jenis tanah, Propinsi Sulawesi Tenggara memiliki 6 (enam) jenis tanah yaitu : 1. tanah podzolik seluas 2.299.729 Ha, 2. tanah mediteran seluas 899.802 Ha, 3. tanah latosol seluas 349.784 Ha, 4. tanah organosol seluas 116.099 Ha, 5. tanah alluvial seluas 129.569 Ha dn tanah grumosol seluas 20.017 Ha.

Judul

Secara umum, batuan penyusun daerah Sulawesi Tenggara dapat dibedakan menjadi 5 satuan batuan yang secara stratigrafis terdiri atas : 1. satuan endapan alluvium, merupakan satuan termuda yang berupa alluvium yang membentuk daratan pantai, banjir, gundukan sungai, atau daratan antar bukit, terluas banyak ditemukan di Kabupaten Konawe, 2. satuan batuan beku, merupakan bantuan intrusi yang menerobos satuan batuan yang terbentuk lebih tua, terdiri dari batuan beku ultra basa dan batuan beku mafit, banyak dijumpai di Konawe, 3. satuan beku sedimen, letaknya tidak selaras diatas satuan batuan metamorph, terdiri dari konglomerat, batuan gamping kalkarenit, batu gamping non plastik, batu pasir kuarsit, batu asbak, dan batu pasir gamping, dijumpai di Kabupaten Buton dan Konawe, 4. satuan beku metamorph, terletak tidak selaras diatas satuan batuan gunung api, terdiri dari sekis, batuan gamping kristalin dan batu asbak, ditemukan di Kabupaten Konawe dan Buton, dan 5. satuan batuan gunung api, merupakan batuan tertua di Sulawesi Tenggara, terdiri dari tuff dan breksi volkanik hanya dijumpai di Kabupaten Buton (Bappeda Provinsi Sulawesi Tenggara, 2000). Bentuk lahan dengan morfologi daratan pantai merupakan bentuk lahan dengan morfologi daratan yang dijumpai di daerah Sulawesi Tenggara, dapat dibedakan menjadi 2, berdasarkan pelamparan dan material penyusunnya, yaitu: 1. daratan aluvial, terdiri dari daratan banjir, pelembahan/cekungan, pelembahan sungai dan teras sungai, 2. bentuk lahan dataran pantai, terletak di sepanjang pantai dengan ketinggian antara 015 m dari permukaan laut. Bentuk wilayahnya datar sampai agak berombak, meliputi dataran pantai datar, laguna, dan daerah pasang surut, dimana bahan penyusunnya berasal dari endapan laut. Daerah Rawan Bencana Potensi bencana gempa dan tsunami cukup signifikan di Provinsi Sulawesi Tenggara, karena Sulawesi Tenggara merupakan daerah yang terletak pada zona subduksi yang merupakan pertemuan dari tiga lempeng, yaitu lempeng Benua Eurasia, Indo-Australia, dan Lempeng Samudera Pasifik, sedangkan potensi pencemaran perairan, udara, dan tanah belum terjadi di semua kawasan. Potensi bencana banjir di kawasan MCMA Kabupaten Muna hanya terjadi di Kecamatan Wakorumba Utara dan Maligano (kawasan WAKASUSUMAPA) serta Kecamatan Parigi dan Kabangka (kawasan NATIGI), sedangkan
8

Judul

potensi sedimentasi dan erosi dapat terjadi pada semua kecamatan di kawasan MCMA Kabupaten Muna, kecuali di Kecamatan Pasir Putih, kawasan WAKASUSUMAPA. Abrasi terjadi pada hampir semua kecamatan di kawasan WAKASUSUMAPA, sedangkan di kawasan NATIGI, abrasi hanya terjadi di Kecamatan Napabalano. Intrusi air laut terjadi pada hampir semua kecamatan, di kawasan NATIGI. Di kawasan MCMA di Kabupaten Konawe selain Kecamatan Bondoala kawasan BONSALA, semua kawasan tidak mempunyai potensi banjir. Sedangkan sedimentasi dan erosi terjadi pada semua Kecamatan MCMA kecuali Kecamatan Lasolo (kawasan BONSALA). Intrusi air laut hanya terjadi di kawasan SONITE, yaitu Kecamatan Wawonii Selatan, Wawonii Barat, dan Wawonii Timur. Penggunaan Lahan Secara umum total penggunaan tanah di Provinsi Sulawesi Tenggara seluas 3.814.000 ha. Penggunaan tanah yang terluas adalah hutan negara seluas 1.991.103 ha (52,20%). Tanah yang sementara tidak diusahakan seluas 256.733 ha/6,73%. Tanah lainnya seluas 284.111 ha atau sekitar 6,51%, lahan tanaman kayu-kayuan sebesar 257.270 ha/6,75% dan tanah tegal/kebun seluas 192.291 ha/5,04% (lihat Tabel 4.7). Berdasarkan hasil paduserasi Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Sulawesi Tenggara, serta sesuai SK. Menteri Kehutanan Nomor 454/Kpts-II/1999 tanggal 27 Juni 1999 menetapkan luas kawasan hutan Provinsi Sulawesi Tenggara adalah 2.600.137 Ha atau 68,17% dari luas daratan. Rincian per Kabupaten dan Kota tentang luas kawasan hutannya adalah : Kota Kendari 5.200 Ha, Kabupaten Kendari 1.173.953 Ha, Kabupaten Kolaka 764.765 Ha, Kabupaten Muna 235.759 Ha, dan Kabupaten Buton 420.460 Ha. Adapun luas lahan yang terkecil adalah tambak/kolam/tebat dan empang seluas 19.464 ha/0,51%. Luas lahan sawah di Sulawesi Tenggara tercatat bahwa dari lahan seluas 90.730 ha lebih dari separuh adalah lahan sawah berpengairan yaitu seluas 70.786513 ha (78,02%). KEPENDUDUKAN Pulau Sulawesi mengalami pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi setiap tahunnya. Peningkatan jumlah penduduk tersebut berpariasi setiap provinsi. Pertumbuhan jumlah penduduk yang cukup besar, tidak dibarengi dengan peningkatan lapangan kerja yang memadai, sehingga potensil menciptakan pengangguran. Pada saat yang sama angka kemiskinan terus meningkat setiap tahunnya.

Judul

Tahun 1990 jumlah penduduk Sulawesi Tenggara sekitar 1.349.619 jiwa. Kemudian tahun 2000 meningkat 1.776.292 jiwa dan berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional BPS tahun 2005 sejumlah 1.959. 414 jiwa. PEREKONOMIAN PDRB Sulawesi Tenggara berdasarkan harga berlaku pada tahun 2004 sebesar 10.267.955,37 juta rupiah, sedikit lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya (2005), yaitu sebesar 89084781,22 juta rupiah. Apabila dibandingkan dengan angka PDB Nasional yang dicapai pada tahun yang sama yaitu sebesar 2.018.536,50 milyar rupiah, maka peranan PDRB Sulawesi Tenggara tahun 2004 sebesar 0,51 persen. Pertumbuhan PDRB Sulawesi Tenggara berdasarkan dalam kurun waktu 2001-2004, mencapai 29,53 persen atau rata-rata 6,68 persen per tahun. Pada tahun 2001 mengalami pertumbuhan sebesar 5,01 persen, kemudian meningkat menjadi 6,66 persen tahun 2002 dan terus meningkat menjadi 7,57 persen pada tahun 2003. Pada Tahun 2004 pertumbuhan PDRB masih cukup tinggi sebesar 7,51 persen, namun sedikit lebih rendah dari tahun sebelumnya. Tingginya pertumbuhan PDRB tahun 2004 ditunjang oleh seluruh sektor perekonomian yang menunjukan angka pertumbuhan positif. Sektor Pertanian tumbuh sebesar 7,84 persen, sektor Pertambangan tumbuh 0,65 persen, sektor Industri tumbuh 1,69 persen, sektor Listrik dan Air Bersih tumbuh sebesar 24,23 persen, sektor Konstruksi tumbuh sebesar 6,92 persen, sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran tumbuh sebesar 9,03 persen, sektor Angkutan dan Komunikasi tumbuh sebesar 13,57 persen, sektor Keuangan tumbuh sebesar 18,25 persen dan sektor Jasa-jasa tumbuh sebesar 4,53 persen. Struktur ekonomi Sulawesi Tenggara tahun 2004, seperti tercantum pada Tabel 11.1.3 menunjukkan bahwa sektor Pertanian masih mempunyai peranan tertinggi terhadap PDRB atas dasar harga berlaku yaitu sebesar 41,13 persen, diikuti oleh sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran sebesar 14,95 persen, sektor Jasa-jasa sebesar 13,41 persen, sektor Konstruksi sebesar 7,00 persen, Pengangkutan dan Komunikasi sebesar 6,57 persen sektor Industri Pengolahan sebesar 6,20 persen, sektor, sektor Pertambangan dan Penggalian sebesar 5,01 persen, sektor sektor Keuangan dan Sewa Rumah sebesar 4,61 persen, dan sektor yang peranannya terkecil adalah sektor Listrik, Gas dan Air Bersih sebesar 1,12 persen. Pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2004 struktur PDRB menunjukan adanya pergeseran-pergeseran. Kontribusi beberapa sektor ekonomi
10

Judul

mengalami penurunan, sektor Jasa-jasa sebesar 15,23 pada tahun 2001 menjadi sebesar 14,95 persen pada tahun 2004, sektor Konstruksi/Bangunan turun dari 7,94 persen menjadi 7,00 persen sektor Industri Pengolahan turun dari 14,95 menjadi 6,20 persen, sektor Pengangkutan dan Komunikasi sebesar 6,57 persen, , Keuangan dan Sewa Rumah sebesar 4,61 persen dan sektor yang peranannya terkecil adalah sector Listrik, Gas dan Air Bersihsebesar 1,12 persen. Pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2004 struktur PDRB menunjukan adanya pegeseran-pergeseran. Kontribusi beberapa sector ekonomi mengalami penurunan. Sektor Jasa-jas turun dari 15,23 persen pada tahun 2001 menjadi 14,95 pada tahun 2004, sektor Konstruksi/Bangunan turun dari 7,94 persen menjadi 7,00 persen, Sektor Industri Pengolahan turun dari 8,09 persen menjadi 6,20 persen, Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran turun dari 15,23 persen menjadi 14,95 persen. Sedangkan kontribusi sector-sektor lain mengalami peningkatan. Sektor Listrik dan Air Bersih naik dari 0,58 persen tahun 2001 menjadi 1,12 persen tahun 2004 sektor Pengangkutan dan Komunikasi naik dari 5,89 persen tahun 2001 menjadi 6,57 persen tahun 2004, sektor Pertanian naik dari 39,95 persen tahun 2001 menjadi 41,13 persen tahun 2004 dan sector Keuangan, Sewa Rumah naik dari 3,87 persen tahun 2001 menjadi 4,61 pada tahun 2004, dan sektor Pertambangan dan Penggalian naik dari 3,19 persen tahun 2001 menjadi 5,01 persen pada tahun 2004. Berdasarkan harga yang berlaku, PDRB perkapita Sulawesi Tenggara pada tahun 2001 adalah sebesar 3.778.882,34 rupiah dan tahun 2002 meningkat menjadi 4.197.338,27 rupiah atau naik 11,07 persen, tahun 2003 meningkat lagi menjadi 4.643.134,01 rupiah atau naik 11,27 persen dan pada tahun 2004 meningkat lagi menjadi 4.638.161,12 rupiah atau naik 15,02 persen. PRASARANA LINGKUNGAN Pembangunan infrastruktur yang cenderung tidak merata di wilayah Sulawesi menyebabkan terjadinya ketertinggalan, ditandai dengan masih banyaknya wilayah di Sulawesi yang belum dijangkau fasilitas public yang layak, seperti sarana dan prasarana transportasi yang memadai, terbatasnya fasilitas untuk mengakses informasi. Sarana komunikasi melalui jaringan telepon dan seluler terbatas di tingkat ibu kota kecamatan, bahkan di beberapa tempat belum tersentuh. Listrik Masyarakat Sulawesi Tenggara menggunakan tenaga listrik atau penerangan listrik pada umumnya diperoleh dari Perusahaan Listrik Negara

11

Judul

(PLN), sedangkan masyarakat pedesaan yang tidak terjangkau dengan jaringan listrik dari PLN menggunakan tenaga listrik non PLN dan lampu minyak tanah. Di setiap kabupaten/kota di Sulawesi Tenggara sudah terdapat Perusahaan Listrik Negara. Khusus untuk Kabupaten Kendari dan Kota Kendari kebutuhan tenaga listrik, sebagian besar dilayani oleh PLN yang pembangkitnya berpusat di Kota Kendari. Air Minum Pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap air bersih di Sulawesi Tenggara baru sebagian kecil yang dapat dilayani oleh Perusahaan Air Minum, yakni hanya masyarakat yang berdomisili di ibukota propinsi dan ibukota kabupaten. Sedangkan bagi masyarakat yang berdomisili di pedesaan pada umumnya menggunakan air dari sumur atau mata air. Untuk itu, maka kegiatan pembangunan air bersih dewasa ini diarahkan pada peningkatan kapasitas dan perluasan jaringan air minum, dengan maksud agar dapat menjangkau masyarakat pedesaan. SISTEM TRANSPORTASI Dari aspek transportasi antar provinsi di wilayah Sulawesi cukup memadai dengan adanya dua bandara bertaraf internasional, yaitu : Hasanuddin di Sulawesi Selatan dan Sam Ratulangi di Sulawesi Utara, di samping empat provinsi lainnya masing-masing terdapat Bandar udara. Jalur transportasi darat juga sudah cukup memadai yang menghubungkan antara provinsi di Sulawesi. Dan sarana laut juga cukup memadai. Kota Bau-Bau adalah daerah penghubung (connecting area) antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dengan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Selain itu bagi masyarakat daerah hinterlandnya (Kab. Buton, Kabupaten Muna, Kab. Wakatobi dan Kab. Bombana), Kota Bau-Bau berperan sebagai daerah akumulator hasil produksi dan distributor kebutuhan daerah tersebut. Sistem Transportasi Darat Prasarana jalan mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembangunan, utamanya untuk membuka dan meningkatkan akses dari pusat-pusat produksi ke daerah pemasaran termasuk daerah yang masih terisolasi. Peranan jalan tersebut relatif belum optimal karena prasarana jalan yang ada masih kurang mendukung kelancaran transportasi barang dan jasa. Hal ini disebabkan karena terbatasnya prasarana jalan, baik mengenai kondisi, maupun kemampuan jalan. Perjalanan yang ditempuh memasuki Sulawesi Tenggara melalui transportasi darat, yaitu dari Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah melalui Kabupaten Kolaka Utara.
12

Judul

Sistem Transportasi Laut Sulawesi Tenggara dapat dicapai baik dari Kawasan barat Indonesia maupun Kawasan Timur Indonesia melalui laut dengan jasa (PELNI). Kapal-kapal yang transit di Bau-Bau antara lain: KM. Tilongkabila, KM Rinjani, KM Bukit Siguntang, KM Lambelu, KM Ciremai, KM Mutiara, KM Tatamailau, Pulau Wanci (pulau pertama dari Kepulauan Wakatobi) dapat dicapai dengan KM Tatamailau dari Makassar. Bau-Bau sebagai kota pariwisata di Sultra relatif mudah dijangkau, kendati hanya dengan transportasi laut baik dengan ibu kota propinsi maupun dengan kota-kota besar lain di Indonesia. Ibu Kota Kabupaten Buton ini merupakan pelabuhan transit bagi semua kapal Pelni yang beroperasi di belahan timur Indonesia. Kunjungan kapal tersebut mencapai 2-3 kali dalam seminggu. Armada penumpang Pelni itu datang dari Ujungpandang, Ambon, dan Bitung lewat Kendari. Sementara kapal-kapal penumpang lokal tiba dan berangkat setiap hari. Kapal-kapal lokal ini menghubungkan ibu kota propinsi, Kendari, melalui kota Raha. Sejak empat tahun terakhir ini, trayek Baubau-Raha-Kendari dilayani kapalkapal cepat. Bila dengan kapal kayu Baubau-Raha-Kendari ditempuh sekitar 13 jam, maka dengan kapal cepat hanya 4 jam. Keberangkatan kapal cepat dari Kendari menuju Baubau disesuaikan dengan kedatangan pesawat Merpati. Dengan demikian, para penumpang pesawat yang hendak ke Baubau dapat melanjutkan perjalanan dan tiba di tujuan pada hari itu juga. Bersama dengan kota-kota kabupaten lainnya di Sultra, Baubau telah sejak lama berada dalam sistem transportasi darat melalui lintas penyeberangan Torobulu-Tampo dan Tolandona-Baubau. Melalui hubungan darat ini Baubau bisa dicapai sekitar 12 jam perjalanan dari Kendari, ibu kota propinsi. Sistem Transportasi Udara Bandara di Provinsi Sulawesi Tenggara, secara keseluruhan adalah : Bandar Udara Pomalaa, Sugimanuru, Wolter Monginsidi, Betoembari dan Maranggu. Penerbangan reguler rute Kendari - Makassar mlalui dilakukan oleh beberapa Maskapai Penerbangan antara lain : Merpati Nusantara Air, Lion Air, Wings Air, Garuda, Adam Air, Batavia Air, Lion Air, Mandala Air, Sriwijaya Air, Dirgantara Air Service (DAS Air) dan Maskapai Penerbangan Cargo Udara Cardig Air. Penerbangan memasuki Sulawesi Tenggara dapat dicapai melalui beberapa bandara udara, yaitu : Bandar Udara Wolter Monginsidi Kendari, Bandar

13

Judul

Udara PT. Aneka Tambang Pomalaa, dan Bandar Udara Maranggu Wakatobi (penerbangan khusus wisatawan langsung dari Bali). Untuk penerbangan langsung ke Pulau Tomia dari Denpasar, harus dilakukan dalam paket perjalanan yang dikelola oleh Mr. Lorens Mader, dengan alamat Jl. Bumi Ayu II No. 2 80-228, Bali. Kota Bau-Bau dapat dicapai secara langsung melalui pintu udara dengan menggunakan Pesawat Merpati, dan Lion Air dari Jakarta ke Kendari selama 3 jam, selanjutnya menuju ke Bau-Bau dengan menggunakan Jet Foil selama 5 jam. Penerbangan pesawat-pesawat perintis ke Baubau terhenti sejak tahun 1983 menyusul ramainya kedatangan kapal-kapal Pelni ke pelabuhan Baubau. Dengan pesawat perintis jenis Twin Otter penerbangan Ujungpandang-Baubau di masa lalu tersebut memakan waktu sekitar 1,5 jam, atau hanya 40 menit untuk jarak Kendari-Baubau. Sejak tahun 2001, transportasi udara bisa menjangkau wilayah kepulauan di timur Pulau Buton ini. Sayang, tidak semua bisa memanfaatkannya karena ongkos perjalanan sangat mahal. Kebanyakan wisatawan asing yang berduit yang menggunakannya. Selain itu transportasi udara hanya melayani jalur Denpasar-Wakatobi dengan jadwal tiap 11 hari. Pulau Tomia pintu gerbang transportasi udara Wakatobi. Untuk memudahkan akses wisatawan mancanegara, maka PT. WDR membangun bandara udara swasta dengan nama Bandara Maranggo sejak tahun 2002 di pulau Onemobaa, Kep. Tomia.

14

You might also like