You are on page 1of 4

Chapter:1 Dibalik Noda Hitam Kolonialisasi Siapa yang belum pernah mendengar istilah prasmanan, sebuah istilah yang

mungkin bagi sebagian besar masyarakat Indonesia mengenalnya. Saking akrabnya dengan istilah ini kehadiran gaya penyajian kuliner prasmanan seringkali diidentikan dengan gaya penyajian asli Indonesia. Namun jika ditilik kebelakang kehadiran istilah prasmanan tidak bisa dilepaskan dari sejarah berlangsungnya kolonialisasi di Nusantara. Kolonialisasi yang merupakan bagian dari globalisasi telah membuka beberapa hal yang mendorong terjadinya kontak kebiasaan antara kebiasaan pribumi dengan kebiasaaan orang asing (Eropa). Namun ada hal yang cukup miris, fanatisme terhadap konsep historiografi yang Indonesiasentris kerap kali menafikan beberapa fakta yang terbentuk berkat adanya kolonialisai. Hal ini terlihat dalam kurun waktu tertentu, kolonialisasi sering dicitrakan dalam bentuk-bentuk yang samar, kehadiranya seringkali mewakili dominasi dan represi terhadap masyarakat pribumi, sehingga ketika membaca dan memperbincangkan historiografi tentang kolonialisasi (Belanda) noda-noda hitam seolah membingkai ingatan kita tentang sesuatu yang kejam dan brutal. Padahal sejarah mencatat hal yang lain, kehadiran kolonialisasi tidak sepenuhnya didominasi oleh sesuatu yang brutal dan kejam, banyak hal menarik terjadi, termasuk dalam hal ini adalah kolonialisasi mengenalkan apa yang dahulu tidak pernah kita lihat dan akhirnya kita lihat hingga kemudian menghadirkan konstruk kebudayaan yang kita kenal sekarang ini. Sebagai contoh adalah gaya penyajian makanan yang dikenal dengan istilah prasmanan, Fadly Rahman dalam Rijstafel mengemukakan bahwa gaya penyajian prasmanan yang sangat lumrah bagi masyarakat Indonesia saat ini, sebenarnya merupakan gaya penyajian khas Eropa yang menggantikan kebiasaan makan penduduk pribumi yang duduk berlesehan di lantai. Selain itu ia juga menambahkan bahwa makanan populer yang kita kenal dan sering kita konsumsi sehari-hari seperti perkedel dan sop merupakan jenis makanan yang diadopsi dari tradisi kuliner Barat. Tersebarnya kebiasaan orang-orang eropa di ranah kebiasaaan orang pribumi ini, tidak lepas dari kondisi orang eropa pada awal kedatanganya di Nusantara. Mayoritas orang Eropa yang datang di Nusantara adalah bujangan. Banyak dari bujangan Eropa tersebut kemudian terlibat hubungan cinta gelap dengan perempuan-perempuan Asia. Kondisi ini didukung oleh pihak compagnie dengan menyediakan perempuan-perempuan tersebut dari pasar Asia. Namun lambat laun hubungan-hubungan tersebut mulai memunculkan masalah tersendiri. Masalah tersebut bermula dari dikeluarkanya Surat Keputusan tahun 1632 yang mengatur tentang pemeberhentian pengiriman perempuan-perempuan Asia ke Hindia Timur (Oost Indie) oleh pengusa Compagnie yang pada waktu itu dipimpin oleh Gubernur Jendral J.P Coen. Pemberlakuan kebijakan tersebut terkait dengan ketidaksukaan Gubernur

Jendral J.P Coen terhadap hubungan-hubungan diluar pernikahan yang dalam hal ini didasarkan atas keyakinannya sebagai seorang pemeluk Protestan yang taat. Dengan diberlakukanya Surat Keputusan tahun 1632 tersebut membuat para bujang Eropa ini mau tidak mau harus mengakhiri segala bentuk hubungan cinta mereka dengan perempuan-perempan Asia. Kenyataan bahwa pihak compagnie menghentikan pengiriman perempuan dari pasar Asia mereka respon dengan menjalin hubungan cinta dengan perempuan-perempuan pribumi. Hubungan-hubungan cinta dengan perempuan-perempuan pribumi ini tak jarang berakhir dengan pernikahan. Melalui pernikahan inilah kemudian muncul sebuah klas baru dalam sistem stratifikasi soial kolonial, walaupun dalam perkembangnya golongan ini tidak diakui baik oleh pihak kolonial maupun pribumi, namun eksistensi dari golongan ini terbukti nyata dan mempunyai peranan yang cukup besar dalam konstruksi budaya di Hindia Belanda pada waktu itu. Golongan baru tersebut dikenal dengan istilah Indo atau dalam bahasa populernya sekarang dikenal dengan istilah blasteran. Klas sosial baru ini juga mempuyai perilaku budaya yang khas, perilaku budaya ini kemudian membentuk sebuah sub kebudayaan indo-eropa yang dikenal dengan istilah kebudayaan Indies. ........... Menjelang berakhirnya abad ke XIX, kebijakan politik kolonial mengalami perubahan yang cukup drastis. Perdebatan di parlemen Belanda tentang nasib bangsa jajahan telah mendorong munculnya kebijakan yang kemudian dikenal dengan istilah politik etis. Tujuan dari diberlakukanya politik etis sendiri terkait dengan usaha Belanda untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi, namun M.C Ricklefs menampik pendapat tersebut dengan mengatakan bahwa tujuan politik etis tidak semata terkait dengan urusan kemanusiaan, melainkan juga terdapat orientasi ekonomis bagi pihak koloni yang tak kalah besarnya. Seperti kita ketahui pada masa ini kondisi ekonomi di Hindia Belanda sedang mencapai masa yang cukup dinamis, liberalisasi ekonomi yang disertai dengan dibukanya perkebunan dan pertambangan di daerah luar Jawa secara tidak langsung membutuhkan tenaga pekerja yang tak kalah besarnya. Untuk memenuhi kuota pekerja profesional tersebut, awalnya Belanda mendatangkan tenaga-tenaga dari daratan Eropa dan Asia sehingga biaya yang dikeluarkan untuk mendatangkan tenaga-tenaga tersebut cukup besar. Dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di satu sisi, dan penghematan anggaran di sisi lainya, kebijakan politik etis kemudian diterapkan dengan harapan memperoleh tenaga profesional dari kalangan pribumi yang tentu saja biayanya lebih murah. Terlepas dari polemik yang melingkupinya, hadirnya politik etis turut memberi sumbangan besar terhadap khasanah kebiasaan masyarakat pribumi. Dalam bidang pendidikan contohnya banyak dari pemuda pribumi dikirim ke Belanda untuk mengeyam pendidikan disana. Kita tentu sering mendengar nama-nama seperti Hatta, Sjahrir dkk yang merupakan kaum intelektual hasil dari program politik etis. Walaupun demikian sebenarnya usaha untuk menyelenggarakan pendidikan bagi masyarakat pribumi sudah ada sejak awal abad ke XIX, bahkan menurut peraturan yang dikeluarkan oleh parlemen pada tahun 1857

penyelenggaraan pendidikan bagi masyarakat pribumi merupakan suatu keharusan bagi pemerintahan Hindia Belanda. Akan tetapi dalam pelaksanaanya penyelenggaraan pendidikan tersebut hanya terbatas pada masyarakat pribumi yang mempunyai klas sosial yang lebih tinggi. Sehingga tidak mengherankan jika klas-klas sosial ini kemudian mempunyai peran besar terhadap proses transformasi kultural dalam masyarakat pribumi di Hindia Belanda. Seperti yang terjadi di kalangan priyayi Jawa contohnya. Bagi kalangan priyayi Jawa pendidikan Barat ditafsirkan sebagai usaha untuk memulihkan kembali kejayaan kebudayaan Jawa yang mereka pandang mengalami kemunduran pasca masuknya Islam. Adanya anggapan ini didasarkan pada ungkapan Dr Wahidin Soedirohoesodo yang merupakan salah satu priyayi Jawa yang mendukung keberadaan politik etis, seperti yang dikutip melalui M.C Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 ia mengatakan bahwa kebudayaan Jawa yang dilandasi oleh ilham Hindu-Budha, mengisyaratkan bahwa penyebab kemerosotan masyarakat Jawa adalah agama Islam, dan dengan pendidikan Eropa (Belanda) ia berusaha untuk memperbaiki masyarakat Jawa. Perubahan pola pikir yang diikuti oleh kemampuan untuk mengadatasikan segala sesuatu yang lokal dan yang Eropa, telah menghadirkan dinamika kebudayaan yang cukup mencengangkan. Hal yang paling menonojol pada masa ini adalah adanya revolusi literasi dalam tradisi literasi masyarakat pribumi. Revolusi literasi ini diawali dengan munculnya huruf latin dan mesin cetak. Kehadiran huruf latin dan mesin cetak dalam masyarakat pribumi ini turut mempercepat arus informasi yang turut mendorong proses transformasi kultural di Hindia Belanda pada waktu itu. Beberapa surat kabar dan jurnal milik pribumi mulai bermunculan, Mikihiro Moriyama dalam Semangat Baru mengistilahkanya fenomena ini dengan istilah melek cetak. Melek cetak disini menurut pendapatnya adalah terjadinya perubahan unsur-unsur tradisi dan parktik-praktiknya termasuk dalam hal ini adalah perubahan dalam tradisi literasi tradisional kedalam bentuk tradisi literasi yang lebih modern. Dengan kata lain melek cetak disini menjadi penanda bagi berkembangnya unsur-unsur kebudayaan baru yang merupakan hasil persilangan antara tradisi dengan modernitas, dan dalam kaitanya dengan bahasa, melek cetak turut memberi sumbangan untuk memperkecil kemelanturan dan kelenturan bahasa yang pada perkembanganya berdampak pada pembakuan keberaksaraan lisan dan kirografik [Es, 8 April 2012]. (Bersambung.....)

You might also like