You are on page 1of 66

FENOMENOLOGI

1. Pengertian
Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani dengan asal suku kata pahainomenon (gejala/fenomena). Adapun studi fenomenologi bertujuan untuk menggali kesadaran terdalam para subjek mengenai pengalaman beserta maknanya. Sedangkan pengertian fenomena dalam Studi Fenomenologi sendiri adalah pengalaman/peristiwa yang masuk ke dalam kesadaran subjek. Fenomenologi merupakan ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (phainomenon). Jadi, fenomenologi mempelajari suatu yang tampak atau apa yang menampakkan diri. fenomen merupakan realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung yang memisahkan realitas dari kita., realitas itu sendiri tampak bagi kita. Kesadaran menurut kodratnya mengarah pada realitas. Kesadaran selalu berarti kesadaran akan sesuatu. Kesadaran menurut kodratnya bersifat intensionalitas. (intensionalitas merupakan unsur hakiki kesadaran. Dan justru karena kesadaran ditandai oleh intensionalitas, fenomen harus dimengerti sebagai sesuatu hal yang menampakkan diri. Konstitusi merupakan proses tampaknya fenomen-fenomen kepada kesadaran. Fenomen mengkonstitusi diri dalam kesadaran. Karena terdapat korelasi antara kesadaran dan realitas, maka dapat dikatakan konstitusi adalah aktivitas kesadaran yang memungkinkan tampaknya realitas. Tidak ada kebenaran pada dirinya lepas dari kesadaran. Kebenaran hanya mungkin ada dalam korelasi dengan kesadaran. Dan karena yang disebut realitas itu tidak lain daripada dunia sejauh dianggap benar, maka realitas harus dikonstitusi oleh kesadaran. Konstitusi ini berlangsung dalam proses penampakkan yang dialami oleh dunia ketika menjadi fenomen bagi kesadaran intensional. Sebagai contoh dari konstitusi: saya melihat suatu gelas, tetapi sebenarnya yang saya lihat merupakan suatu perspektif dari gelas tersebut, saya melihat gelas itu dari depan, belakang, kanan, kiri, atas dan seterusnya. Tetapi bagi persepsi, gelas adalah sintesa semua perspektif itu. Dalam prespektif objek telah dikonstitusi. Pada akhirnya Husserl selalu mementingkan dimensi historis dalam kesadaran dan dalam realitas. Suatu fenomen tidak pernah merupakan suatu yang statis, arti suatu fenomen tergantung pada sejarahnya. Ini berlaku bagi sejarah pribadi umat manusia, maupun bagi keseluruhan sejarah umat manusia. Sejarah kita selalu hadir dalam cara kita menghadapi realitas. Karena itu konstitusi dalam filsafat Husserl selalu diartikan sebagai konstitusi genetis. Proses yang mengakibatkan suatu fenomen menjadi real dalam kesadaran adalah merupakan suatu aspek historis. Husserl juga mengungkapkan tentang reduksi transendental. Reduksi ini harus dilakukan menurut Husserl lebih dikarenakan karena Husserl menginginkan fenomenologi menjadi suatu ilmu rigous. Ilmu rigous tidak boleh mengandung keraguan, atau ketidak pastian apapun juga. Ucapan yang dikemukakan pada ilmu rigorous harus bersifat apodiktis (tidak mengizinkan keraguan). Suatu benda material tidak pernah diberikan kepada kita secara apodiktis dan absolut. Setiap benda material selalu diberikan dalam bentuk profil-profil. Misalnya dari sebuah lemari yang ada di hadapan saya, saya hanya dapat melihat depannya saja tanpa dapat mengetahui bentuk

depannya, dan ketika saya ingin melihat sisi depannya, maka saya harus melihatnya dari sisi yang lainnya, namun setelah itu saya tidak bisa melihat sisi depan dari profilprofil lain. Dengan cara inilah benda-benda material tampak bagi saya. Setiap benda material tidak pernah diberikan kepada saya menurut segala profil-profilnya, secara total dan absolut. Cara realitas material tampak bagi saya bersikap sedemikian rupa, sehingga tidak dapat ditemukan pernyataan-pernyataan apodiktis dan absolut tentangnya. Karena alasan-alasan itulah fenomenologi sebagai ilmu rigorous harus mulai dengan mempraktekkan reduksi transendental. Wawasan utama fenomenologi adalah pengertian dan penje lasan dari suatu realitas harus dibuahkan dari gejala realitas itu sendiri (Aminuddin, 1990:108). Dalam perkembangannya, fenomenologi memang ada beberapa macam, antara lain: (a) fenomenologi Edid etik dalam linguistik, fenomenologi Ingarden dalam sastra, artinya pengertian murni ditentukan melalui penentuan gejala utama, penandaan dan pemilahan, penyaringan untuk menentukan keberada an, penggambaran gejala (refleksi), fenomenologi transendental, dan (d) fenomenologi eksistnsial.

Bagi fenomenologi transendental, keberadaan realitas sebagai objek secara tegas ditekankan. Kesa daran aktif dalam menangkap dan merekonstruksi kesadaran terhadap suatu gejala amat penting. Bagi fenomenologi eksitensial, penentuan pengertian dari gejala budaya semata-mata tergantung individu. Refleksi individual menjadi guru bagi individu itu sendiri dalam rangka menemukan kebenaran. Metode kualitatif fenomenologi berlandaskan pada empat kebenaran, yaitu kebenaran empirik sensual, kebenaran empirik logik, kebenaran empirik etik, dan kebenaran empirik transenden. Atas dasar cara mencapai kebenaran ini, fenomenologi menghendaki kesatuan antara subyek peneliti dengan pendukung obyek penelitian. Keter libatan subyek peneliti di lapangan dan penghayatan fenomena yang dialami menjadi salah satu ciri utama. Hal tersebut juga seperti dikatakan Moleong (1988:7-8) bahwa pendekatan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitankaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu. Mereka berusaha untuk masuk ke dunia konseptual para subyek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang mereka kembangkan di sekitar peristiwa dalam kehidupannya sehari hari. Makhluk hidup tersedia pelbagai cara untuk menginterpretasikam pengalaman melalui interaksi dengan orang lain, dan bahwa penger tian pengalaman kitalah yang membentuk kenyataan.

1. Sejarah Fenomenologi
Pada masa sebelum ada cara berpikir fenomenologis, cara berpikir manusia dibagi dua kutup yang berlawanan 180 derajat yaitu: idealisme dan realisme. Kaum penganut idealisme menilai benda-benda maupun peristiwa yang terjadi disekitarnya berdasarkan ide-ide yang dikembangkan dalam pikirannya. Kemudian ide-ide ini membentuk semacam frame of reference yang secara subjectif dipahami sebagai kebenaran. Dalam memandang dunia sekitarnya seorang idealist akan memakai acuan frame of reference yang merupakan ide-ide dalam pikirannya. Oleh karena itu seorang idealist

biasanya juga sangat subjectif dalam menilai dunia sekitarnya. Sumbangan idealisme kedunia adalah adanya penemuan-penemuan baru, ide-ide baru, karya besar di bidang sastra, dll. Sedangkan kebalikannya kaum penganut realisme, melihat benda-benda maupun sesuatu peristiwa yang ada sesuai dengan keadaan nyata benda tersebut yang secara nyata bisa diraba, diukur atau punyai nilai tertentu. Kalau tidak bisa dibuktikan bahwa benda itu nyata dan punya nilai atau ukuran tertentu maka benda itu tidak pernah ada. Oleh karena itu penganut realisme cenderung kepada atheisme yang tidak percaya adanya Tuhan karena Tuhan tidak bisa dilihat secara nyata. Realisme sangat berpengaruh di Eropa pada masa revolusi industri dan sumbangannya kedunia adalah kemajuan science & technology. Pada sekitar awal abad ke 20, walaupun revolusi industri terus bergerak, beberapa filsuf di Eropa seperti Edmund Hursell (1859 - 1938) mulai meragukan kehandalan cara berpikir realisme yang seolah-olah tidak ada satupun dialam ini yang tidak bisa dijelaskan dengan ilmu pengetahuan alam. Apapun yang telah ditemukan, persoalanpersoalan dasar manusia tidak pernah bisa diselesaikan. Tidak semua hal bisa diselesaikan dengan ilmu pengetahuan alam. Edmund Hursell memperkenalkan fenomenologi yang belakangan dikembangkan menjadi eksistensialisme. Cara berpikir fenomenologi ditekankan dengan pengamatan terhadap gejala-gejala dari suatu benda. Kalau seorang penganut realisme menilai benda dengan cara melihat bentuk, ukuran dan nilai suatu benda, maka seorang penganut fenomenologi melihat benda dengan gejala-gejala yang muncul dari benda tersebut. Benda itu ada berdasarakan gejala-gejala yang timbul dari benda itu sendiri, kita hanya menangkap gejala-gejala tersebut. Benda tersebut bercerita tentang dirinya dengan memancarkan gejala-gejala, dengan menangkap gejala tersebut kita bisa menangkap esensi benda tersebut. Semua benda punya pancaran gejala-gejalanya sendiri-sendiri, kita akan bisa lebih memahami benda tersebut apabila kita menganggap benda sebagai subjek yang menceritakan diri sendiri melalui gejala-gejala yang memancar darinya. Contohnya: kalau kita melihat kursi, kursi itu sendiri memancarkan gejala-gejala bahwa dia itu kursi bukan meja. Kita hanya perlu menangkap gejala yang muncul dari kursi tersebut kemudian kita tidak akan salah bahwa dari gejala-gejala yang muncul dari kursi itu bahwa kebenarannya dia itu kursi, bukan benda yang lain. Jelas cara berpikir ini adalah cara berpikir yang radikal berbeda dengan cara berpikir idealisme maupun realisme. Idealisme memahami alam sekitarnya melalui manusia sebagai subject dengan ide-ide pikirannya, benda disimpulkan sepenuhnya tergantung dari ide-ide pikiran. Realisme memahami benda kalau benda itu nyata berdasarkan ukuran atau nilai. Sedangkan fenomenologi menganggap object sebagai subject yang bercerita kepada kita melalui gejala-gejala yang timbul darinya.

1. Fenomenologi Sebagai Metode Penelitian


Penelitian fenomenologi mencoba menjelaskan atau mengungkap makna konsep atau fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada beberapa individu. Penelitian ini dilakukan dalam situasi yang alami, sehingga tidak ada batasan dalam memaknai atau memahami fenomena yang dikaji. Menurut Creswell (1998:54), Pendekatan fenomenologi menunda semua penilaian tentang sikap yang alami sampai ditemukan dasar tertentu. Penundaan ini biasa disebut epoche (jangka waktu). Konsep epoche adalah membedakan wilayah data (subjek) dengan interpretasi peneliti. Konsep epoche menjadi pusat dimana peneliti menyusun dan mengelompokkan dugaan awal

tentang fenomena untuk mengerti tentang apa yang dikatakan oleh responden. Berikut ini adalah sedikit uraian tentang fenomenologi sebagai metode penelitian; Fokus Penelitian Fenomenologi :

Textural description: apa yang dialami subjek penelitian tentang sebuah fenomena. Structural description: bagaimana subjek mengalami dan memaknai pengalamannya.

Teknik Pengumpulan Data Fenomenologi :


Teknik utama pengumpulan data: wawancara mendalam dengan subjek penelitian. Kelengkapan data dapat diperdalam dengan : observasi partisipan, penulusuran dokumen, dan lain-lain.

Tahap-Tahap Penelitian Fenomenologi :


Pra-penelitian Menetapkan subjek penelitian dan fenomena yang akan diteliti Menyusun pertanyaan penelitian pokok penelitian

Proses Penelitian Fenomenologi :

Melakukan wawancara dengan subjek penelitian dan merekamnya.

Analisis Data Fenomenologi :


Mentranskripsikan rekaman hasil wawancara ke dalam tulisan. Bracketing (epoche): membaca seluruh data (deskripsi) tanpa prakonsepsi. Tahap Horizonalization: menginventarisasi pernyataan-pernyataan penting yang relevan dengan topik. Tahap Cluster of Meaning: rincian pernyataan penting itu diformulasikan ke dalam makna, dan dikelompokkan ke dalam tema-tema tertentu. (Textural description, Structural description) Tahap deskripsi esensi: mengintegrasikan tema-tema ke dalam deskripsi naratif.

1. Kritik Terhadap Fenomenologi


Sebagai suatu metode keilmuan, fenomenologi dapat mendeskripsikan fenomena sebagaimana adanya dengan tidak memanipulasi data. Aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan dikesampingkan untuk mengungkap pengetahuan atau kebenaran yang benar-benar objektif. Selain itu, fenomenologi memandang objek kajiannya sebagai kebulatan yang utuh, tidak terpisah dari objek lainnya. Dengan demikian fenomenologi menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh

mengenai objek yang diamati. Hal ini menjadi suatu kelebihan pendekatan fenomenologi, sehingga banyak dipakai oleh ilmuwan-ilmuwan dewasa ini, terutama ilmuwan sosial, dalam berbagai kajian keilmuan mereka termasuk bidang kajian agama. Dibalik kelebihan-kelebihannya, fenomenologi sebenarnya juga tidak luput dari berbagai kelemahan. Tujuan fenomenologi untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan, merupakan sesuatu yang absurd. Sebab fenomenologi sendiri mengakui bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value-free), tetapi bermuatan nilai (value-bound). Hal ini dipertegas oleh Derrida, yang menyatakan bahwa tidak ada penelitian yang tidak mempertimbangkan implikasi filosofis status pengetahuan. Kita tidak dapat lagi menegaskan objektivitas atau penelitian bebas nilai, tetapi harus sepenuhnya mengaku sebagai hal yang ditafsirkan secara subjektif dan oleh karenanya status seluruh pengetahuan adalah sementara dan relatif. Sebagai akibatnya, tujuan penelitian fenomenologis tidak pernah dapat terwujud. Selanjutnya, fenomenologi memberikan peran terhadap subjek untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara subjek dan objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi tertentu, serta dalam waktu tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan tidak dapat digenaralisasi. Hermeneutik Di dalam tradisinya, hermeneutika dikaitkan dengan seorang dewa Yunani, Hermes (dalam mitologi Romawi disebut Merkurius) sebagai dewa yang menyampaikan pesan Dewa Zeus kepada manusia. Ia menerjemahkan keinginan Dewa Zeus (dalam bahasa dewa, mungkin) ke dalam ungkapan yang dipahami oleh manusia. Ia sendiri adalah pencipta bahasa dan tulisan, sehingga manusia bisa memahami satu sama lain. Hermeneutika juga dikaitkan dengan hermeios, yaitu pendeta bijak dari Delphi yang menerjemahkan keinginan para dewa supaya dapat dipahami para manusia. Di dalam bahasa Inggris kata delphic sendiri berarti tidak jelas atau ambigu. Maka adalah tugas sang pendeta untuk memberikan tafsir atas kalimat yang ambigu tersebut.

1. Apakah Hermeneutik itu ? 1. Definisi


Secara etimologis, kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsifkan. Kata benda hermeneia secara harfiah dapat diartikan sebagai penafsiran atau interpretasi. Hermeneutik akhirnya diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Pada hermeneutik terdapat pengalaman-pengalaman mental yang disimbolkan secara langsung itu adalah sama untuk semua orang, sebagaimana juga pada pengalaman-pengalaman imajinasiimajinasi untuk menggambarkan sesuatu. Menurut Aristoteles, tidak ada satupun manusia yang mempunyai, baik bahasa tulisan maupun bahasa lisan, yang sama dengan yang lain. Bahasa sebagai suatu sarana komunikasi antar individu dapat juga tidak berarti sejauh mana orang yang berbicara dengan yang lain dengan bahasa yang berbeda. Peralihan dari pengalaman mental dalam kata-kata yang di ucapkan atau

ditulis mempunyai kecenderungan dasar untuk mengerut atau menyempit. Sebuah pengalaman mental atau konsep atau gambaran (image) pada dasarnya kaya akan corak dan warna serta mempunyai nuansa yang beraganeka ragam. Dalam bentuk tertulis tidak hanya ejaan dan rangkaian huruf-huruf yang berbeda namun kesamaan bunyi juga akan muncul ( ekiuvokal) seperti misalnya kata genting yang berarti gawat atau atapatau sempit. Aristoteles memisahkan antara homonim, sinonim, dan kata-kata turunan. Dalam hal-hal seperti ini, orang kemudian biasanya menurunkan arti kata-kata berdasarkan konteks yang ada. Untuk menanggulangi hal-hal semacam ini maka hermeneutik kiranya akan berperan penting.

1. Hermeneutik dan Bahasa


Pada dasarnya hermeneutik berhubungan dengan bahasa, berpikir itu ialah melalui bahasa dapat menjadikan orang berbicara dan menulis dengan bahasa. Nuansa-nuansa bahasa bukanlah merupakan hal yang baru, namun untuk pertama kalinya bahasa menjadi pusat pembicaraan filosofis H.G. Gadamer yang menulis sebagai berikut: bahasa merupakan modus operandi dari cara kita berada di dunia dan merupakan wujud yang seakan -akan merangkul seluruh konstitusi tentang status manusia di dunia ini sebagai bagian yang seakan-akan tidak terbedakan dari dunia ini. Menurut Gadamer, bahasa tidak boleh boleh kita pikirkan atau kita pahami sebagai sesuatu yang memiliki ketertujuan (teleologi) di dalam dirinya.Yang dimaksudkan Gadamer adalah bahwa katakata atau ungkapann secara aksidental tidak pernah memiliki kebakuan. Kata-kata ataupun ungkapan mempunyai tujuan (telos) tersendiri atau penuh dengan maksud, demikian yang di katakanoleh Wilhelm Dilthey. Gadamer menyatakan bahwa mengerti berarti mengerti melalui bahasa. Hermeneutik adalah cara baru untuk bergauldengan bahasa, bahasa menjelmahkan kebudayaan manusia. Henri Bergson menyatakan bahwa bila seseorang memahami bahasa sesuatu Negara, dapat dipastikan ia tidak akan mungkin benci terhadap Negara itu. Sebab, bila kita mampu memahami ssesuatu bahasa, maka kita mampu memahami segala sesuatu. Bahasa adalah medium yang tanpa batas, yang membawa segala sesuatu di dalamnya tidak hanya kebudayaan yang telah disampaikan pada kita melalui bahasa melainkan juga sesuatu tanpa ada kecualinya, sebab segala sesuatu itu sudah termuat dalam lapangan pemahaman. Bahasa adalah perantara berbagai hubungan umat manusia.. Tradisi dan juga kebudayaan baik dari warisan nenek moyang itu sebagai suatu bangsa yang kesemuanya itu diungkap dalam bahasa yang ditulis pada daun lontar.

1. Penerapan Hermeneutik
Disiplin ilmu yang pertama kalinya banyak menggunakan hermeneutik adalah ilmu tafsir kitab suci. Sebab semua karya yang mendapatkan inspirasi ilahi seperti Al-Quran, kitab Taurat, kitab-kitab Veda dan Upanished supaya dapat dimengerti memerlukan interpretasi atau hermeneutik. Interpretasi yang benar atas teks sejarah memerlukan hermeneutik. Interpretasi terhadap hukum selalu berhubungan dengan isinya. Setiap hukum mempunyai dua segi yaitu yang tersurat dan yang tersirat atau bunyi hukum dan semangat hukum. Subtilitas Intellegendi (ketepatan pemahaman) dan Subtilitas Explicandi (ketepatan penjabarannya) adalah sangat relevan bagi hukum.

Dalam bidang filsafat pentingnya hermeneutik tidak dapat ditekankan secara berlebihan. Sebab pada kenyataannya, keseluruhan filsafat adalah interpretasi,pembahasanseluruh isi alam semesta kedalam bahasa kebijaksanaan manusia. Aristoteles menyatakan:Amicus Plato sed magis amica veritas ( Plato adalah seorang sahabat tetapi sahabat yang lebih akrab lagi adalah kebenaran. Melalui bahasa kita berkomunikasi, tetapi melaui bahasa pula kita bisa salah paham dan salah tafsir. Arti makna dapat kita peroleh tergantung dari banyak faktor : siapa yang berbicara, keadaan khusus yang berkaitan dengan waktu, tempat, ataupun situasi yang mewarnai arti sebuah peristiwa bahasa. Sebagai contoh misalnya pemahaman dan penafsiran anak terhadap kata-kata sedikit banyak tergantung dari latar belakang anak itu sendiri.

1. Cara Kerja Hermeneutik


Pada dasarnya semua objek itu netral, sebab objek itu adalah objek, arti atau makna yang diberikan pada objek oleh subjek sesuai dengan cara pandang subjek. Husserl menyatakan bahwa objek dan makna tidak pernah terjadi serentak atau bersama-sama, sebab pada mulanya objek itu menurunkan maknanya atas dasar situasi objek, semuanya itu adalah sama saja. Darisinilah kita lihat keunggulan hermeneutik. Untuk dapat membuat interpretasi, orang terlebih dahulu harus mengerti atau memahami. Namun keadaan lebih dahulu mengerti ini bukan di dasarkan pada penetuan waktu, melainkan bersifat alamiah. Mengerti dan interpretasi menimbulkan lingkaran hermeneutik. Emilio Betti mengatakan bahwa tugas orang yang melakukan interpretasi adalah menjernihkan persoalan mengerti yaitu dengan cara menyelidiki setiap detail proses interpretasi. Betti mencoba memahami mengerti juga menurut gayanya sendiri. Ia memandang interpretasi untuk mengerti. Kegiatan interpretatif adalah proses yang bersifat triadik(mempunyai tiga segi yang saling berhubungan ). Dalam proses ini terdapat pertentangan antara pikiran yang diarahkan pada objek dan pikiran penafsir itu sendiri. Orang yang mengenal interpretasi harus mengenal pesan atau kecondongan sebuah teks lalu ia harus meresapi isi teks sehingga yang pada mulanya yang lain kini menjadi aku penafsir itu sendiri. Hermeneutik menegaskan bahwa manusia autentik selalu dilihat dalam konteks ruang dan waktu dimana mausia sendiri mengalami atau menghayatinya.. manusia autentik hanya bisa dimengerti atau dipahami dalam ruang dan waktu yang persis tepat dimana ia berada. Dengan kata lain setiap individu selalu dalam keadaan tersituasikan dan hanya benar-benar dapat dipahami dalam situasinya. Heidegger menjelaskan hal yang sebaliknya, yaitu manusia yang tidak autentik atau das man yang dimanupulasikan oleh lingkungan atau situasinya. Manusia tidak mengontrol melainkan dikontrol oleh situasi. Argumentasi Hermeneutik dalam ruang lingkup lebih luas dapat dijabarkan sebagai setiap objek yang tampil dalam konteks ruang dan waktu yang sama atau sebagaimana yang di sebut oleh Karl Jaspers dengan istilah das Umgreifende atau cakrawala ruang dan waktu. Meskipun hermeneutik atau interpretasi termuat dalam kesusutraan dan lingualistik, hukum, sejarah , agama, dan disiplin ilmu yang lainnya berhubungan dengan teks namun akarnya adalah tetap filsafat. 1. Latar Belakang Pemikiran Tentang Hermeneutik F.D.E Schleiermacher ditempatkan sebagai tokoh Hermeneutik . Ia membedakan hermeneutik dalam pengertian sebagai ilmu atau seni memahami dengan hermeneutik yang mendefinisikan sebagai studi tentang memahami itu sendiri ( Richard E. Palmer,

1969 : 40 ). Scleiermacher menulis sebagai berikut : Semenjak seni berbicara dan seni memahami berhubungan satu sama lain, maka berbicara hanya merupakan sisi luar dari berpikir , Hermeneutik adalah bagian dari seni berfikir itu dan oleh karenanya bersifat filosofis ( Schleiermacher, 1977 : 97 ). Penerapan hermeneutik sangatlah luas yaitu dalam bidang teologis, filosofis, sebab merupakan bagian dari seni berfikir . Pertamatama buah pikiran kita mengerti, baru kemudian kita ucapkan. Inilah alasannya Schleiermacher menyatakan bahwa bicara kita berkembang seiring dengan buah pikiran kita. Namun bila saat berfikir kita merasa perlu untuk membuat persiapan dalam mencetuskan buah pikiran kita, maka pada saat itulah disebut sebagai Transformasi berbicara yang internal dan orisinal dan karenanya interpretasi menjadi penting. Yang dimaksud Schleiermacher adalah bahwa ada jurang pemisah antara berbicara atau berfikir yang sifatnya internal dengan ucapan yang aktual. Setiap pembicara mempunyai waktu dan tempat dan bahasa dimodifikasi menurut kedua hal tersebut. Menurut Schleiermacher, pemahaman hanya yterdapat didalam kedua momen yang saling berpautan satu sama lain. Satu pernyataan tunggal dapat kita mengerti atau kita pahami dengan berbagai macam cara, tergantung pada tata bahasa dan keterlibatan pendengarnya. Seandainya ada rasio 1-1 antara pikiran dan ucapan kita, yaitu seandainya dimungkinkan pikiran kita dipantulkan secara tidak senada ( tidak ekuivokal ) dengan ucapan kita, mak mungkin ada salah ucap, jadi tidak perlu lagi ada hermeneutik. Tetapi karena tidak ada kesan impresi langsung dari pikiran keucapan kita, maka kemungkinan untuk salah ucap itu besar sekali. Bahkan saat kita meletakkan pause diantara kata-kata dalam kalimat sering kali kita mengalami kesenjanganjalan pikiran. Inilah bahaya yang sering kita alami yaitu kita sering membuat kesalahan dalam linguistik. 2. Pengaruh F. Ast dan F. A. Wolt Schleiermacher dalam uraiannya banyak juga dipengaruhi oleh para penasehatnya, seperti Friedrich ash dan Friedrich August Wolf, dari Ash Schleiermacher mendapat ide untuk mengamati isi sebuah karya dari dua sisi : sisi luar dan sisi dalam. Aspek luar sebuah karya ( teks ) adalah aspek tata bahasa dan kekhasan linguistik lainnya. Aspek dalam adalah jiwanya ( Geist ). Bagi Ash sendiri tugas hermeneutik adalah membawa keluar makna internal dari suatu teks beserta situasinya menurut jamannya. Ash membagi tugas itu kedalam tiga bagian, yaitu : sejarah, tata bahasa dan aspek kerohaniannya. Hermeneutik adalah proses menelaah isi dan maksud yang mengejawantah teks yang mengandung arti yang kelihatan sudah jelas ( Ricour, 1974 : 43 ). Seorang filsuf yang mempengaruhi gagasan Schleiermacher adalah F. A. Wolf, yang mendefinisikan hermeneutik sebagai seni menemukan sebuah teks. Menurut Wolf juga ada tiga taraf atau jenis hermeneutik atau interpretasi, yaitu interpretasi gramatikal, historis dan retorik. Interpretasi gramatikal berhubungan dengan bahasa, interpretasi historis dengan fakta waktu, sedang interpreasi retorik mengontrol kedua jenis interpretasi yang terdahulu. Wolf membahas tata bahasa, hermeneutik dan kritik studi persiapan untuk filologi ( ilmu bahasa ), sementara Ash menganggap ketiga disiplin ilmu tersebut hanya sekedar appendiks (lampiran) saja bagi filolog, maka tidaklah mengherankan kalau mereka beralih ke hermeneutik karena keduanya ingin membahas makna kata- kata.

3. Inti Uraian tentang Hermeneutik Menurut Schleiermacher, ada dua tugas hermeneutik yang pada hakikatnya identik satu sama lain, yaitu interpretasi gramatikal dan interpretasi psikologis. Bahasa gramatikal merupakan syarat berfikir setiap orang. Sedangkan aspek psikologis interpretasi memungkinkan seseorang menangkap setitik cahaya pribadi penulis. Oleh karenanya, untuk memahami pernyataan- pernyataan orang harus mampu memahami bahasanya sebaik memahami kejiwaannya. Walaupun demikian, Schleiermacher menawarkan sebuah rumusan positif dalam bidang seni interpretasi, yaitu rekonyruksi historis, objektif dan subjektif terhadap sebuah pernyataan. Schleiermacher sendiri menyatakan bahwa tugas hermeneutik adalah memahami teks sebaik atau lebih baik daripada pengarangnya sendiri dan memahami pengarang teks lebih baik daripada memahami diri sendiri. Setiap bagian dari suatu peristiwa hanya dapat dipahami dalam konteks keseluruhan bagian- bagiannya, dan juga sebaliknya. Bahkan hal ini juga menuntut suatu pemahaman awal atas objek atau peristiwa yang dipertanyakan itu. Disinilah penafsir mulai dengan satu teori tentatif atau konsep awal. Keseluruhan proses ini adalah metode hermeneutik, suatu proses memahami dan interpretasi. Ada beberapa taraf memahami, demikian juga dengan interpretasi. Taraf pertama ialah interpretasi dn pemahaman mekanis : pemahaman dan interpretasi dalam kehidupan kita sehari- hari, di jalan- jalan, di pasar atau dimana saja orang berkumpul bersama untuk berbincangbincang tentang topik umum. Taraf kedua ialah taraf ilmiah : dilakukan di Universitas, dimana diharapkan adanya taraf pemahaman dan interpretasi yang tinggi. Taraf ketiga ialah taraf seni : disini tidak ada aturan yang mengikat atau membatasi imajinasi. Dari kehidupan sehari- hari, kita harus mampu mengambil inti sari situasi yang mirip dengan yang mirip dengan yang terdapat di dalam kitab suci, kutipan- kutipan sastra atau dengan dokumen sejarah yang harus kita baca inti sari maknanya. Pemahaman yang selalu dipasangkan dengan interpretasi tidak lain adalah seni, dalam arti bahwa seseorang tidak dapat meraamalkan waktu dan cara seseorang mengerti. Pikiran kita adalah sebuah proses yang mengalir dan bukan sekedar fakta yang serba komplit. Oleh karena itu kita memerlukan suatu pandangan kedalam atau intuisi yang tidak membingungkan bila kita ingin memahami sesuatu teks. Yang ingin dicari oleh Dilthey adalah pemahaman dan interpretasi atas kegiatankegiatan individu yang dengan sendirinya tersituasikan dalam system-sistem eksternal dari organisasi-organisasi social, politik dan ekonomi dengan nilai-nilainya sendiri yang sudah dianggap mapan atau mantap. Namun kegiatan-kegiatan individu juga merupakan indikasi atau petunjuk kea rah factor-faktor psikologisnya. Menurut Dilthey, lingkungan eksternal maupun kejiwaan internal seorang person harus dilihat secara seksama dengan maksud untuk memahami perilakunya. Dalam hal ini, Dilthey pertamatama membuat deskripsi, kemudian mengadakan interpretasi. Dilthey membedakan dengan tajam antara Naturwissenschaften atau ilmu pengetahuan tentang alam dengan Geisteswissenschaften atau ilmu pengetahuan tentang batin manusia. Semua ilmu pengetahuan tentang alam fisik seperti biologi, kimia, fisika dan ilmu-ilmu lainnya yang termasuk bidang ini serta semua jenis sains yang mempergunakan metode ilmiah induksi dan eksperimen, termasuk dalam Natuwissenschaften. Sedang semua ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan

kehidupan batin manusia seperti sejarah, psikologi, filsafat, dan ilmu-ilmu lain yang sejenis masuk dalam Geisteswissenschaften. Untuk dapat memahami orang lain dan ungkapan-ungkapan hidupnya, maka pemahaman terhadap diri sendiri adalah mutlak. Pemahaman Geisteswissenschaften atau ilmu pengetahuan tentang hidup tergantung pada pengalaman-pengalaman batin kita, yaitu pengalaman yang tidak dapat dijangkau oleh metode ilmiah. Disinilah Dilthey membuat perbedaan penting antara dua buah kata dalam bahasa Jerman yang samasama dapat diterjemahkan dengan kata pengalaman. Kedua kata tersebut adakah erfahrung, yaitu kata yang biasanya diartikan sebagai pengalaman pada umumnya, dan erlebnis, kata turunan yang berasal dari kata kerja erleben yang berarti menglami. Semua erlebnis benarnya merupakan pengalaman dalam arti umum (erfahrung) pila, tetapi tidak semua pengalaman dapat disebut dengan erlebnis atau pengalaman yang hidup. Bisa jadi, seseorang selama sekian tahun tidak memiliki pengalaman yang hidup selain hanya pengalaman-pengalaman yang menjenuhkan dan tidak makna apa-apa (erfahrungen). Dilthey menganjurkan kita menggunakan hermeneutic, sebab menurut dia, hermeunetik adalah dasar dari Geisteswissenschaften. Berkenaan dengan keterlibatan individu dalam kehidupan masyarakat yang hendak dipahaminya, ia merasa perlu memiliki tipe memahami yang khusus. Dilthey menaruh perhatian pada metode hermeneutic ketika ia mencoba memecahkan persoalan tentang bagaimana membuat segala pengetahuan tentang individu atau pengetahuan tentang singularitas eksistensi manusia menjadi ilmiah (Kremer-Marietti, 1971:130). Metode Pengoperasian Hermeneutik, antara lain dengan: 1. Interpretasi Data Dalam satu aspek, ungkapan atau pernyataan interpretation naturae (interpretasi terhadap alam) adalah wujud dari ucapan. Dalam hal ini Dilthey menekankan bahwa terhadap benda-benda kita hanya mampu mengetahui, sedang memahami dan interpretasi hanya dipergunakan untuk mengetahui manusia. Jadi menurutnya, suatu proses dimana kita mengetahui sesuatu dari aspek kejiwaannya atas dasar tanda-tanda yang dapat ditangkap pancaindra sehingga termanifestasikan, kita sebut komprehensi atau pemahaman. Dilthey berkesimpulan bahwa eksegesis atau interpretasi adalah suatu seni memahami manifestasi atau pengejawantahan hal yang bersifat vital dan ditampakkan pada kebiasaan yang tahan lama. Hermeneutik pada dasarnya bersifat menyejarah. Ini berarti bahwa makna itu sendiri tidak pernah berhenti pada satu masa saja, tetapi selalu berubah menurut modifikasi sejarah. Contohnya adalah sejarah bangsa Indonesia tidak mungkin hanya akan ditulis satu kali dan berlaku untuk seterusnya, tetapi akan selalu ditulis kembali oleh setiap generasi. 1. Riset Sejarah Dilthey mengatakan bahwa peristiwa sejarah dapat dipahami dalam tiga proses:

Memahami sudut pandang atau gagasan para pelaku asli. Memahami arti atau makna kegiatan-kegiatan mereka pada hal-hal yang secara langsung berhubungan dengan peristiwa sejarah. Menilai peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan gagasanyang berlaku pada saat sejarawan itu hidup.

Namun proses tiga tahap pemahaman itu sendiri tidak berlaku untuk metode ilmiah. Alasannya adalah karena untuk memahami atau mencerna sudut pandang pelaku asli dalam sejarah, kita harus memiliki sedikit pengetahuan tentang psikologi atau cara mengenal orang atau masyarakat. Sebagai contoh misalnya, bagi kita kiranya cukup mudah unyuk menentukan akibat naiknya harga BBM terhadap situasi ekonomi. Tetapi melacak akibat yang timbul karena keputusan sepihak yang dikeluarkan oleh seorang penguasa, kiranya cukup sulit. Jadi pemahaman dan interpretasi terhadap peristiwaperistiwa sejarah bukanlah merupakan tugas yang mudah untuk dilaksanakan. Bahasa kita sendiri tidak bebas dari pasang surutnya sejarah. Kata-kata atau pernyataan tunggal dapat mempunyai arti yang bermacam-macam tergantung pada konteks sejarah di mana kata atau pernyataan itu diucapkan. Sebagai contoh misalnya kata aduh sbb.: Aduh, bagusnya yang keluar dari mulut seorang pengagum lukisan; atau Aduh, sakitnya! yang diucapkan oleh seorang pasien yang sedang disuntik. Kata Aduh memiliki arti yang sama, yaitu ungkapan perasaan. Tetapi yang diucapkan oleh pengagum lukisan mempunyai nada pujian. Sedangkan yang diucapkan oleh seorang pasien bertujuan untuk menahan rasa sakit. Oleh karena itu, bila kita membaca sejarah, kewajiban kita adalah menyusun balik kerangka yang dibuat oleh sejarawan dengan maksud supaya peristiwa-peristiwa dapat dilihat kembali sesuai dengan kejadian yang sebenarnya. Metode atau proses semacam inilah yang disebut hermeneutik. Jadi bagi seorang sejarawan, menggabungkan pengalaman yang hidup dengan pemahaman terhadap individu merupakan keharusan. Pengalaman yang hidup dan pemahaman saling melengkapi satu sama lain, bahkan seakan menyatu walaupun keduanya itu kita mengerti secara terpisah. Pemahaman adalah proses di mana kehidupan mental menjadi diketahui melalui ungkapannya yang ditangkap oleh pancaindra kita. Tanpa ungkapan, kehidupan mental kita tidak mungkin kita ketahui. Bila kehidupan mental ini tidak terjangkau oleh saranasarana objektif, maka besar kemungkinannya subjektivitas masuk dalam pemahaman terhadap kehidupan mental tersebut. Proses pemahaman ini terdiri dari dua bagian yang berhubungan dengan rangkaian peristiwa dalam proses kehidupan secara berbeda satu sama lain. Pertama, pengalaman yang hidup menimbulkan ungkapannya. Bila kita menyelidiki ungkapan dengan mundur ke pengalaman, ini berarti kita melakukan proses hubungan sebab akibat. Kedua, dalam proses menghidupkan kembali atau rekonstruksi berbagai peristiwa, dimana orang dapat melihat kelanjutan peristiwa tersebut sehingga ia bias ambil bagian di dalamnya, maka ia melakukan proses hubungan sebab akibat.

1. Latar Belakang Pemikiran tentang Hermeneutik


Hans-Georg Gadamer dalam karyanya yang berjudul Wahrheitund Methode (kebenaran dan Metode) menekankan pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologism, bukan metodologis. Karena kebenaran menerangi metode-metode individual, sedangkan metode justru merintangi atau menghambat kebenaran. Dalam kebenaran dan metode, karya Gadamer yang paling menarik adalah konsepnya tentang permainan. Dalam hubungannya dengan pengalaman dalam bidang seni, permainandapat merupakan semacam kerangka berpikir di dalam proses memahami yang menjadi pokok bahasan hermeneutic. Gadamer menolak konsep hermeneutic sebagai metode. Dalam karyanya yang berjudul Philosophical Apprenticeships (Magang Filsafat) ia menulis sebagai berikut: Dapatkah

tujuan sebuah metode menjamin kebenaran? Filsafat harus menuntut sains dan metodenya supaya mengenali dirinya sendiri terutama dalam konteks eksistensimanusia dan penalarannya. Pernyataan itu juga dapat di artikan bahwa filsafat tidak usah mengikuti metode yang ketat jika ingin berhubungan dengan existenz atau manusia autentik. Kata existenz adalah istilah yang di pergunakan filsuf eksistensiallis Karl Jasper untuk menyebut manusia autentik. Jasper menyatakan bahwa existenz mengambil jalur yang berbeda untuk sampai pada kebenaran eksistensial. Existenz seringkali harus membuat loncatan (saltus) iman untuk mencapai Tuhan. Yang ingin di katakana Gadamer ialah bahwa logika sendiri sudah tidak berdaya dan tidak mampu menjadi sarana unyuk mencapai kebenaran filosofis.

1. Paham tentang Seni


Gadamer menaruh perhatian pada bidang seni dengan alas an di dalam seni kita mengalami suatu kebenaran, tetapi bukan kebenaran yang kita peroleh melalui penalaran melainkan kebenaran yang menurut faktanya menentang semua jenis penalaran.Gadamer mengutip pendapat Kant bahwa seni murni adalah seni para genius dan kebenarannya tidak dapat di capai denganmetode ilmiah.Gadamer membahas secara panjang lebar empat konsep tentang manusia yang memperkaya hermeneutic. Empat konsep tersebut adalah: 1. 1. Bildung Bildung adalah konsep-konsep yang meliputi seni, sejarah, Weltanschauung ( pandangan dunia), pengalaman, ketajaman pikiran, dunia eksternal, kebatinan, ekspresi atau ungkapan, style atau gaya dan symbol, yang kesemuannya itu kita mengerti saat ini sebagai istilah-istilah dalam sejarah. Kata Bildung sendiri mempunyai arti yang lebih luas daripada sekedar kultur atau kebuadyaan, bahkan mempunyai arti dalam lonotasi yang lebih tinggi. Sinonim dari kata Bildung dalam bahasa latin adalah formatio, yaitu bentuk atau formasi. Bildung adalah sebauh gagasanhistoris asli dan pengadaannya penting untuk pemahaman dan interpretasi ilmu-ilmu kemanusiaan. Pada dasarnya Bildung adalah kumpulan kenangan yang di dalam proses pengumpulannya membentuk dirinnya sendiri sebagai yang ideal. Menurut Gadamer, memori atau kenangan harus di bentuk. 1. 1. Sensus Communis Gadamer menggunakan atau mengartikan ungkapan ini bukan sebagai pendapat umum atau pendapat kebanyakan orang pada umumny. Sensus Communis mempunyai kesetaraan arti dengan ekspresi dalam bahasa Perancis le bon ses, ayaitu pertimbanagn praktis yang baik. Menurut pengertiannya yang mendasar, istilah tersebut adalah pandangan yang mendasari komunitas dan karenanya sangat penting untuk hidup. Sebagaimana dinyatakan oleh Vico, Sensus Communis tidak boleh berperanan penting dalam bidang sains seperti dalam ilmu-ilmu tentang hidup atau ilmu-ilmu kemanusiaan. Ia sepakat dengan Shaftesbury bahwa sensus communis adalah pandangan tentang kebaikan umum, cinta komunitas, masyarakat, atau kemanusiaan. Sensus Communis juga mempunyai aspek moral.

1. 1. Pertimbangan Konsep yang ketiga ini mirip dengan sensus communis dan selera. Pertimbangan sifatnya universal, namun bukan berarti berlaku um um. Pertimbangan dan sensus communis keduanya termasuk dalam interpretasi ilmu-ilmu tentang hidup. Gadamer sepakat dengan Kant tentang pembinaan pertimbangan praktis yang di perhubungkan dengan pengertian estetis. Dalam pandangan Kant, pertimbangan praktis juga bersifat seni atau estetik, minimal dalam pandangan moralnya, sejauh orang mengetahui apa yang harus ia lakukan juga memiliki seni atau pandanganpraktis. Pertimbangan adalah kemampuan untuk memahami hal-hal khusus sebagai contoh yang universal, dan kemampuan ini akan melibatkan perasaan, konsep, prinsip dan hukum-hukum yan dapat di olah manusia. 1. 1. Taste atau Selera Menurut Gadamer selera sama dengan rasa, yaitu dalam pengoperasiannyatidak memakai pengetahuan akali. Berdasarkan fakta, selera bertentangan dengan yang tidak menimbulkan selera. Gadamer mempertentangkan antara selera yang baik dengan yang tidak menimbulkan selera. Gadamer menyatakan bahwa fenomena selera adalah kemampuan intelektual untuk membuat diferensiasi atau pembedaan, tetapi kemampuan ini tidak dapat di demonstrasikan. Setiap pertimbangan tentang apa yang di inginkan untuk di pahami dalam individualitasnya yang konkret adalah pertimbangan atas sesuatu yang khusus. Tanpa selera tidak akan ada seni dan tidak ada satu selera pun yang dapat menilai seni. Menurut Kant, pertimbangan estetis melibatkan kecerdasan maupun selera. Kini yangf menjadi persoalan kita adalah: apa hubungan antara selera dengan hermeneutic? Jika selera melibatkan pertimbangan yang pada suatu saat juga melibatkan sensus communis dan bulding, maka mudah sekali untuk menghubungkan selera dengan hermeneutic. Hermeneutik adalah metode yang di pergunakan oleh ilmuilmu tentang hidup atau ilmu-ilmu tentang manusia. Hidup itu tidak statis melainkan berubah antara rangkaian baik dan buruk, mulia dan nista, luhur fdan rendah, dan sebagainya. Dari realitas hidup ini, yang menjadi bagian bildung adalah menetukan mana yang boleh di kenang dan mana yang yang harus di buang jauh-jauh. Sensus communis yang bersifat peka terhadap hubungan antar manusia memberi corak khusus pada komunitas sebagai kumpulan person. Pertimbangan dan selera membuat diskriminasi terhadap hal-hal yang bertentangan dengan yang indah dan baik. Di dalam interpretasi, hermenutik mempergunakan keempat konsep manusiawi tersebut.

1. Inti uaraian tentang hermeneutic


Gadamer beropendapat bahwa hermeneutic adal;ah seni, bukan proses mekanis. Pemahaman dan hermeneutic hanya dapa di berlakukan sebagai suatu karya seni. Gadamer menyebut hermeneutic sebagai seni dan hermeneutic semacam ini tidak dapat di persiapkan lebih dahulu sebelum di buat, tidakdapat di ramalkan atau di katakana sebelumnya.

Gadamer mengatakan bahwa interpretasi adalah penciptaan kembali. Meski bukan merupakan perbuatan yang kreatif Hermeneut atau penafsir selalu memahami realitas dan manusia dengan titik tolakk sekarang atau kontemporer. Bila hermeneut berinterpretasi mulai dari titik tolak sejarah yang menguntungkan dirinya sendiri, hal ini akan menimbulkan suatu pencampuran cakrawala atau fision of horizons atau bahkan akan menimbulkan campur baurnya kebudayaan yang bermacam-macam. Hakikat sebenarnya sebuah cakrawala adalah selalu meluas dan sementara itu kebuudayaan pada hakikatnya juga tidak pernah murnidan tidak pernah di palsukan. Yang di butuhkan hermeneut adalah pengetahuan tentang manusia atau masyarakat yang di peroleh bukan atas dasar kerja ilmiah, melainkan yang hanya dapat di pelajari sebagai suatu seni. Para filsuf berbicara dengan menggunakan suatu bahasa yang tidak seorang pun menngerti, ini berarti mereka sama saja dengan tidak berbicara apa-apa. Gadamer menegaskan bahwa persoalan bahasa adalah tugas hermeneut. Pemahaman hanya mungkin di mulai bila bermacam-macam pandangan menemukan suatu bahasa umum untuk saling bercakap-cakap. Kita berfilsafat tidak mulai dari nol, tetapi kita harus berfifkir dan berbicara dengan bahasa yang sudak kita miliki sendiri. Fiksafat tidak mulai dari suatu tempat tert6entu, tidak dari satu titik awal yang sudah bersifat subyektif, personal maupun dengan suatu perspektif tertentu. Dan itulah bahasa filsafat. Sebagaiman di sebutkan bahwa tugas hermeneutic adalah terutama memahami teks, maka pemahaman itu sendiri mempunyai hubungan fundamental dengan bahasa. Kita menumbuhkan di dalam bahasa kita sendiri unsure-unsur penting dari pemahaman, sehingga para pembicara asli(native speaker) tidak akan gagal untuk menangkap nuansa-nuansa atau benang merah bahasanya sendiri. Gadamer juga menegaskan bahwa suatu interpretasi akan benar bila interpretasi tersebut mampum menghilang di balik bahasa yang di gunakan. Maksudnya adalah bahwa terjemahan itu akan tepat bila pembacanya mengalami suatu kehalusan dan irama bahasayang teratur. Dalam berbicara, interpretasi adalah bagaikan terjemahan. Melalui bahasa kita tidak hanya melakukan interpretasi atas sebuah teks atau dokomen tertulis saja, melainkan juga benda yang bukan bahsa seperti patung, komposisi musik, dan sebagainya.

1. Arti Memahami
Menurut Gadamer, pemahaman selalu dapat di terapkan pada keadaan kita saat ini, meskipun pemahaman itu berhubungan dengan peristiwa sejarah, dialektik dan bahasa. Memahami selalu dapat berarti membuat interpretasi. Interpretasi secara eksplisit adalah bentuk dari pemahaman. Subtilitas adalah suatu kualitas yang mencarikehalusan seperti lembutnya roh, yang menghindarkan gangguan yang berasal dari penggunaan metode. Gadamer menambahkan istilah subtilitas applicandi, yang menandai hermeneutic, karena ia berkeyakinan bahwa penerapan seperti halnya pemahaman dan interpretasi adalah bagian hermeneutic. Dulu yang di anggap tugas hermeneutic adalah menyadur makna dari sebuah teks ke dalam situasi konkret, di mana pesan yang terdapat di dalam teks itu di tujukan. Tugas interpretasi sama dengan tugas konkretisasi hokum atau penerapan hokum p;ada hal-hal khusus. Jadi, penerapan juga merupakan pemahaman

yang benar terhadap factor yang universal. Pemahaman dan interpretasi pada dasarnya juga merupakan penerapan. Untuk dapat memahami sebuah teks, kita harus membuang jauh-jauh segala bentuk prakonsepsi dengan maksud supaya kita menjadi terbuka terhadap apa yang di katakan oleh sebuah teks. Kita mengantisipasi dan menginterpretasi menturut apa yang kita miliki ( vorhabe), apa yang kita lihat (vorscht), serta apa yang akan kita peroleh kemudian (vorgriff). Adanya antisipasi makna, yaitu yang berasal dari pertimbangan sebelumnya atas keseluruhan pemahaman melalui bagia-bagiannya, memang di harapkan. Gadamer menyebut hal itu sebagai makna atau arti yang akan datang (foremeaning) dan pemahaman yang akan datang (fore umderstanding), yang juga merupakan persyaratan hermeneutic sehingga membuat pemahaman itu menjadi suatu hubungan yang histories dan efektif.

1. Latar Belakang Pemikiran Tentang Hermeneutik


Meskipun gagasan-gagasan Habermas tidak berpusat pada hermeneutik, namun gagasan-gagasannya itu mendukung pustaka herme neutik. Bahkan karya-karyanya pun tidak secara khusus membicarakan hermeneutik sebagai gagasan tunggalnya. Gagasan hermeneutiknya dapat kita ketemukan di dalam tulisannya yang diberi judul Knowledge and Human Interests (Pengetahuan dan Minat Manusia). Karya-karya Habermas termasuk dalam bidang sains, namun itu juga mempunyai konsep tentang penjelasan dan pemahaman. Menurut Habermas, penjelasan menuntut penerapan proposisi-proposisi teoretis terhadap fakta yang terbentuk secara bebas dan sistematis (Habermas, 1972 : 144). Sedangkan pemahaman adalah suatu kegiatan di mana pengalaman dan pengertian teoretis berpadu menjadi satu. Konsepnya tentang penjelasan tersebut mendekati metode ilmiah yang ia nyatakan mengatasi metode-metode yang lainnya, seperti misalnya metode untuk menekuni sesuatu, metode penguasaan bahan dan metode pemikiran a priori, karena konsep tersebut mencagai keyakinan-keyakinan yang vajid dan definiti Habermas mengatakan bahwa semua peristiwa yang akan terjadi di masa mendatang tidak akan mempersulit keyakinan-keyakinan tersebut, melainkan akan memperteguhnya. Habermas mengikuti tiga bentuk penyimpulan yang dikemukakan oleh C.S. Peirce. yaitu: deduksi, induksi dan abduksi atau proses abduktif. Dengan deduksi ia ingin membuktikan bahwa sesuatu seharusnya berperilaku dalam cara tertentu dengan induksi ia ingin membuktikan bahwa sesuatu pada kenyataannya berperilaku dalam suatu cara tertentu; dan dengan abduksi ia ingin membuktikan bahwa sesuatu mungkin akan berperilaku menurut suatu cara tertentu. Di dalam induksi, ada pengujian apakah dan dengan kemungkinan apa prediksi-prediksi dapat diyakinkan kebenarannya. Induksi adalah proses yang aktual dalam penelitian. Abduksi adalah proses pembentukan hipotesis yang bersifat eksplanatoris (menerangkan) yang berbunyi: jika kita harus mempelajari sesuatu atau memahami fenomena secara lugas, maka harus melalui proses yang memperjelas sesuatu atau fenomena tersebut.

1. Metode Memahami

Dari uraian di atas telah kita lihat bagaimana Habermas membedakan antara penjelasan denganpemahaman. Ia juga memperingatkan kita bahwa kita tidak dapat memahami sepenuhnya makna sesuatu fakta, sebab ada juga fakta yang tidak dapat diinterpretasi. Habermas menyatakan bahwa selalu ada makna yang bersifat lebih. yang tidak dapat dijangkau oleh interpretasi, yaitu yang terdapat di dalam hal-hal yang bersifat tidak teranalisiskan, tidak dapat dijabarkan, bahkan di luar pikiran kita. Semua hal tersebut mengalir secara terus-menerus di dalam hidup kita. Jadi jelaslah bahwa kita tidak dapat menerangkan hal-hal yang tidak mungkin kita pahami, bahkan kita juga tidak dapat membuat interpretasi atas hal-hal tersebut. Habermas mengatakan bahwa sebuah penjelasan menuntut penerapan proposisiproposisi teoretis terhadap fakta yang terbentuk secara bebas melalui pengamatan sistematis. Sedangkan pemahaman adalah suatu kegiatan di mana pengalaman dan pengertian teoretis berpadu menjadi satu. Seperti halnya pemikiran ilmiah. Habermas menegaskan bahwa penjelasan haruslah berupa penerapan secara objektif sesuatu hukum atau teori terhadap fakta, dan pemahaman menjadi bagian subjektifnya, sebab pemahaman melibatkan juga pengalaman interpreter. Pemahaman hermeneutik sedikit berbeda dari jenis pemahaman yang lainnya sebab pemahaman hermeneutik diarahkan pada konteks tradisional tentang makna. Habermas membicarakan tentang pemahaman monologis atas makna, yaitu pemahaman yang tidak me libatkan hubungan-hubungan faktual tetapi mencakup bahasa-bahasa murni, seperti misalnya bahasa simbol. Dari pembedaan itu kita mengetahui bahwa monologika adalah pemahaman atas simbol-simbol yang disebut Habermas sebagai bahasa murni karena simbol-simbol mempunyai makna yang definitif, sebagaimana terdapat dalam setiap rumusannya. Dengan kata lain, yang disebut monologika itu tidak lain adalah jalan pikiran yang terstrukutur, yang mengikuti sesuatu hukum dengan segala ketepatan dan keharusannya. Sedang pemahaman hermeneutik di sisi lain tidak dapat mempersempit ketergantungannya pada hal-hal lain.

1. Jenis Jenis Pemahaman


Hal-hal yang menonjol dalam kedua metode pemahaman tersebut tampaknya akan dipadukan. Hermeneutik biasanya mencoba menerangkan apa yang individual, bukan yang universal. Bagaimana dapat terjadi suatu metode menerangkan hal yang individual dan tunggal dengan menggunakan cara yang universal? Dalam ilmu pengetahuan empiris-analitis, proses kedua hal itu hanya dapat terjadi atas dasar asimilasi transcendental a priori dari pengalaman yang mungkin dengan ungkapan universal bahasa-bahasa teoretis (Habermas. 1972: 162-163). Pemahaman hermeneutik melibatkan tiga kelas ekspresi kehidupan, yaitu : linguistic, tindakan dan pengalaman. Tentang linguistik, Habermas mengatakan bahwa ekspresi atau ungkapan dapat sama sekali dipisahkan dari konteks kehidupan konkret jika tidak berhubungan dengan bagian-bagian khusus dalam konteks tersebut. Dalam hal ini expresi linguistik muncul dalam bentuk yang absolut, yaitu yang menggambarkan pemahaman monologis. Komunikasi dapat dilakukan melalui tindakan atau kegiatan. Sebagaimana halnya dalam pemahaman linguistik, tindakan atau kegiatan perlu dijabarkan. Dalam tingkat

pemahaman seperti ini, penjelasan diarahkan pada tujuan akhir, maksud dan ruang lingkup tindakan. Pada kelas pengalaman, terutama dalam reaksi tubuh manusia, yang berupa kecenderungan yang tidak dicetuskan atau sebagai ungkapan nonverbal, interpreter memperhitungkan hal-hal itu sebagai salah satu bentuk atau jenis pemahaman. Habermas mengutip ketiga jenis pemahaman tersebut dari pendapat Dilthey, seperti halnya Dilthey, Habermas mengatakan bahwa pemahaman hermeneutik harus mengintegrasikan ketiga kelas ungkapan kehidupan itu. Sebagai contoh misalnya: bahasadan tindakan saling menginterpretasi satu sama lain secara timbale balik (bdk. language game dari Wittgenstein).

1. Dilema Pemahaman
Habermas mengatakan : Sebagai suatu seni yang menggambarkan komunikasi tidak langsung tetapi dapat dipahami, hermeneutik berhubungan dengan jangkauan yang harus dicapai oleh subyek dan pada saat itu pula diungkapkan kembali sebagai identitas struktur yang terdapat di dalam kehidupan, sejarah dan objektivitas. Disini hermeneut menghadapi dilemma antara tetap objektif dan bersifat subjektif, atau antara tetap subjektif dan harus menjadi objetif. Dilema tersebut semakin menjadi besar terutama dalam ilmu-ilmu pengetahuan tentang hidup atau Geisteswissenschaften. Dilema itu merupakan pertanyaan : eksklusif linguistic atau analisis empiris. Disini disjungsi tidak dapat berlaku, sebab kita tidak dapat melakukan analisis linguistic eksklusif atau analisis empiris murni. Pemahaman harus mengkombinasikan keduanya. Hal ini hanya mudah untuk dikatakan, namun sulit untuk dilaksanakan. Interpretasi tergantung pada hubungan timbal balik antara pemahaman atas bagian-bagian yang merupakan keseluruhan yang terdiri dari campuran macam-macam hal yang sudah diketahui sebelumnya dan koreksi terhadap apa saja yang dikemudian hari dirasakan tidak sesuai lagi. Hibermas mengambil alih tugas Dilthey dengan mengatakanDilthey telah mengikuti logika penyelidikannya sendiri dan akan melihat bahwa objektivasi pemahaman hanya mungkin terjadi bila interpreter atau hermeneut menjadi partner dalam dialog komunikatif. Ini berarti bahwa hermeneut harus mengadakan interaksi, sebagaimana terjadi dalam dialog atau dialektika antara yang umum dan yang individual. Apa yang benar di dalam yang universal tidak harus benar pula di dalam yang individual, atau sebaliknya. Disinilah letak perbedaan antara ilmu - ilmu alamiah dan ilmu- ilmu kemanusiaan, antara Naturwissenschaften dengan Geistes-wissenschaften. Dalam ilmu-ilmu alamiah, apa yang benar secara individual akan benar pula secara umum, yaitu melalui proses induksi dimana kebenaran umum akan diperoleh setelah ditentukan kebenaran yang terdapat pada hal-hal tunggal dan individual. Dan ilmu-ilmu kemenusiaan. Penjelasan dan interprestasi berlangsung dari yang individual ke yang indinidual juga, jarang terjadi dari yang umum ke yang individual, atau sebaliknya.pada dasarnya, ilmu-ilmu kemanusiaan tidak mengikuti skema ilmu-ilmu alamiah. Suatu proses tertentu bukan

induksi, deduksi atau abduksi- memberi kemungkinan hermeneut untuk menentukan kehidupan batin dari hal-hal yang telah diinterprestasikannya.

1. Latar Belakang Pemikiran tentang Hermeneutik


Paul Ricoeur adalah filsuf yang menekankan pandangan katolik.Dalam karya-karyanya tampaknya ia memiliki perspektif kefilsafatan yang beralih dari analisis eksistensial kemudian ke analisis eidetik(pengamatan yang sedemikian mendetail),fenimenologis,historis.Herleneutik pada akhirnya semantik. Ricoeur mengatakan bahwa pada dasarnya keseluruhan filsafat itu adalah interpretasi terhadap interpretasi.Dengan mengutip Nietzsche,ia menyatakan bahwa hidup itu sendiri adalah interpretasi.Jika simbol-simbol dilibatkan,maka interpretasi menjadi penting,sebab disini terdapat makna yang mempunyai multi lapisan.Filsafat pada dasarnya adalah hermeneutik,yaitu kupasan tentang makna yang tersembunyi dalam teks yang kelihatan mengandung makna.Setiap interpretasi adalah usaha untuk membongkar makna-makna yang masih terselubung atau usaha membuka lipatanlipatan dari tingkat-tingkat makna yang terkandung dalam makna kesusastraan.Simbolsimbol dan interpretasi merupakan konsep-konsep yang mempunyai pluraritas makna yang terkandung di dalam simbol-simbol atau kata-kata. Terdapat kebutuhan laten dalam bahasa untuk mengungkapkan konsep melalui katakata.Kebutuhan laten tersebut adalah kebutuhan akan hermeneutik.Setiap kata adalah sebuah simbol.Oleh karenanya,maka kata-kata penuh dengan makna dan intensi yang tersembunyi.Ricoeur menyatakan bahwa hermeneutik bertujuan menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara membuka selubung daya-daya yang belum diketahui dan tersembunyi di dalam simbol-simbol tersebut.Kemudian Ricoeur memberiakn kesan bahwa berbicara dengan menggunakan suatu bahasa adalah masalah jaket dan belati yang tersembunyi dibaliknya,maka hal ini tidak perlu dibesarbesarkan.Adanya simbol,mengundang kita untuk berpikir sehingga simbol itu sendiri menjadi kaya akan makna dan kembali kepada maknanya yang asli.Hermeneutik membuka makna yang sesungguhnya,sehingga dapat mengurangi keanekaan makna dari simbol-simbol.

1. Kata-kata dan Makna


Sebuah kata adalah juga sebuah simbol,sebab keduanya sama-sama menghadirkan sesuatu yang lain.Setiap kata pada dasarnya bersifat konvensional dan tidak membawa maknanya sendiri secara langsung bagi pembaca atau pendengarnya(kecuali kata-kata onomatopoik).Sebuah kata bisa memilikki konotasi yang berbeda,tergantung kepada pembicaranya.Sebagai contoh misalnya pohon kata ini mempunyai banyak makna tergantung pembicaranya:apakah ia seorang tukang kayu,pematung,petani dll.Istilahistilah mempunyai makna ganda,dasarnya adalah tradisi dan kebudayaan setempat. Menurut Riceour,salah satu sasaran yang hendak dituju oleh berbagai macam yang hermeneutik adalah perjuangan melawan distansi kultural yaitu penafsir harus mengambil jarak supaya ia dapat membuat interpretasi dengan baik.Kita baru bisa mengkritik jika kita membuat jarak dengan objek kritik.Namun kritik yang kita lakukan itu membawa juga struktur-struktur yang sudah jadi dari gagasan-gagasan kita dan bahasa yang diungkapakan dalam struktur itu juga sudah kita beri warna.Ia masih membawa

sesuatu yang oleh Heideger disebut Vorhabe(apa yang ia miliki),Vorsicht(apa yang ia lihat),dan Vorgriff(apa yang akan menjadi konsepnya kemudian).Ini semua menandakan bahwa kita sama sekali tidak dapat menghindarkan diri dari prasangka.

1. Ruang Lingkup Hermeneutik


Ricoeur kemudian memperluas definisi tersebut dengan menambahkan perhatian kepada teks.Teks sebagai penghubung bahasa isyarat dan simbol-simbol dan membatasi ruang lingkup hermeneutik karena budaya oral (ucapan) dapat dipersempit.Hermeneutik dalam hal ini hanya akan berhubungan dengan kata-kata yang tertulissebagai ganti kata-kata yang diucapkan.Ricoeur menegaskan bahwa definisi yang tidak terlalu luas justru memiliki intensitas (Montefiero,1983:193) Mengenai tugas hermeneutik,Ricoeur menyatakan bahwa tugas utama hermeneutik adalah di satu pihak mencari dinamika internal yang mengatur struktural kerja di dalam sebuah teks itu untuk memproyeksikan diri ke luar dan memungkinkan hal nya teks itu muncul ke permukaan.Dalam hal ini Recoeur mengemukakan tentang hermeneutik yaitu teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap teks.(Riceour,1985:43).Riceour menyebut karakteristik ini dengan istilah polisemi yaitu ciri khas yang menyebabkan kata-kata mempunyai makna lebih dari satu bila digunakan di dalam konteks yang bersangkutan. Menurut Ricoeur,manusia pada dasarnya merupakan bahasa(Riceour,1967:350) dan bahasa itu sendiri merupakan syarat utama bagi semua pengalaman manusia.Kita mengerti atau memahami sesuatu dengan mempergunakan istilah-istilah yang terdapat di dalam bahasa.Namun bahasa juga mempunyai kelemahan,sebab kita memahami melalui bahasa,kita salah paham atau salah mengerti juga melalui bahasa.Melalui hermeneutik,segala problem yang terdapat di dalam filsafat bahasa dapat dijawab,yaitu melalui interpretasi. Bahasa adalah bidang di mana semua pengamatan filosofis saling memotong satu sama lain.Bahasa adalah tempat bertemunya analisis logika,fenomenologi,eksistensialisme,tafsir kitab suci dan hermeneutik,bahkan psikoanalisa.Bahasa dinyatakan dalam bentuk simbol.Kita mengungkapkan gagasangagasan,emosi,kesusastraan,filsafat semuanya melalui bahasa.Setiap kali kita membaca,sebuah teks selalu berhubungan dengan masyarakat,tradisi ataupun aliran yang hidup dari macam-macam gagasan.Kesenjangan ini mendorong Ricoeur untuk mengatakan bahwa sebenarnya sebuah teks itu mempunyai tempat di antara penjelasan struktural dan pemahaman hermeneutik yang berhadapan satu dengan yang lain. Penjelasan struktural cenderung untuk bersifat objektif,sedang pemahaman hermeneutik memberi kita kesan subyektif.Jadi,di sini kita dapati dikotomi antara objektivitas dan subjektivitas yang menimbulkan problem.Sebuah teks pada dasarnya bersifat otonom untuk melakukan dekontekstualisasi,baik ari sudut pandang sosiologis maupun psikologis,serta untuk melakukan rekontekstualisasi secara berbeda di dalam tindakan membaca.Dikotomi antara penjelasan dan pemahaman itu tajam,yaitu untuk memahami sebuah percakapan kita harus kembali pada struktur permulaannya.Kebenaran dan metode dapat menimbulkan proses dialektis.

Tugas Hermeneutik menjadi sangat berat,sebab hermeneut harus membaca dari dalam teks tanpa masuk atau menempatkan diri dalam teks tersebut dan cara pemahamannya pun tidak dapat lepas dari kerangkan kebudayaan dan sejarahnya sendiri.Maka untuk dapat berhasil dalam usahanya,ia harus dapat menyingkirkan distansi yang asing,harus dapat mengatasi situasi dikotomis,serta harus dapat memecahkan pertentangan tajam antara aspek-aspek subjektif dan objektif. Otonomi teks ada 3 macam: intensi atau maksid pengarang,situasi kultural dan kondisi sosial pengadaan teks,dan untuk siapa teks itu dimaksudkan.Dekonyekstualisasi adalah bahwa materi teks melepaskan diri dari cakrawala intensi yang terbatas dari pengarangnya.Teks tersebut membuka diri terhadap kemungkinan dibaca secara luas,di mana pembacaanya selalu berbeda-beda,inilah yang dimaksudkan dengan rekontekstualisasi.Riceour mengatakan bahwa hubungan dengan dunia teks terletak di dalam hubungan dengan subjektivitas pembaca ditinggalkan.Untuk memahami sebuah teks kita tidak memproyeksikan diri ke dalam teks,melainkan membuka diri terhadapnya. Yang dimaksudkan dengan membuka diri adalah proses meringankan dan mempermudah isi teks dengan cara menghayatinya.Riceour menyatakan bahwa memahami bukanlah berarti memproyeksikan diri ke dalam teks,melainkan membuka diri terhadapnya.Penafsir selalu dalam keadaan in medias res atau berada di tengahtengah teks (ing madya) dan tidak pernah hanya di depan atau pada permulaan atau pada akhir teks untuk sekedar tut wuri saja.

1. Arti Memahami
Setiap hermeneut membuat pembedaan dan penekanan yang tegas atas pemahaman,penjelasan dan interpretasi.Hermeneut uga berbicara tentang sirkularitas ketiga hal tersebut sedemikian rupa sehingga seakan-akan ketiganya saling menyusupi satu sama lain.Riceour mengatakan bahwa engkau harus memahami untuk percaya dan percaya untuk memahami.Riceour juga menyatakan bahwa lingkaran tersebut hanya semu saja,sebab tidak ada satupun hermeneut yang pada kenyataanya mau mendekatkan diri pada apa yang dikatakan oleh teks jika ia tidak menghayati sendiri suasana makna yang ia cari.Hermeneut harus menggumuli interpretasinya sendiri,ia harus mulai dengan pengertian yang seakan-akan masih mentah,sebab jika tidak demikian ia tidak akan mulai melakukan interpretasi. Menurut Riceour,ada tiga langkah pemahaman,yaitu yang berlangsung dari penghayatan atas simbol-simbol ke gagasan tentang berpikir dari simbolsimbol.Langkah pertama adalah simbolik atau pemahaman dari simbol ke simbol.Langkah kedua adalah pemberian makna oleh simbol serta penggalian yang cermat atas makna.Langkah ketiga adalah langkah yang benar-benar filosofis,yaitu berpikir dengan menggunakan simbol sebagai titik tolaknya.Ketiga langkah tersebut berhubungan erat dengan langkah-langkah pemahaman bahasa yaitu:semantik,refleksif serta eksistensial atau ontologis.Langkah semantik adalah pemahaman pada tingkat ilmu bahasa yang murni.Pemahaman refleksi adalah pemahaman pada tingkat yang lebih tinggi,yaitu yang mendekati tingkat ontologi.sedang langkah pemahaman eksistensial atau ontologis adalah pemahaman pada tingkat being atau keberadaan makana itu sendiri.Riceour menyatakan bahwa pemahaman itu pada dasarnya adalah cara berada (mode of being) atau cara menjadi.Pemahaman hanya dapat terjadi pada tingkat pengetahuan,yaitu pada teori tentang pengetahuan atau

erkenntnistheorie.Riceour menyatakan bahwa hubungan antara hidup dan pengalaman -pengalamannya boleh dikatakan merupakan akar dari hubungan dua arah antara manusia dengan alam dan sejarah.Jika demikian,bagaimana Riceour bisa mengatakan bahwa pemahaman merupakan cara berada atau cara menjadi,dan bukan cara mengetahui atau cara memperoleh pengetahuan. Ricoeur hanya ingin menggugah pandangan kita bahwa hermeneutik adalah sebuah metode yang dapat bersaing dalam tingkat yang sejajar dengan metode dalam sains.Ricoeur juga mempertanyakan metode yang dipergunakan Dilthey dalam geisteswissenschaften nya yaitu hermeneutik yang dibedakan dengan metode yang terdapat pada naturwissenschaften.Riceour sendiri tidak benar-benar memperlakukan hermeneutuk sebagai metode.Ia hanya ingin membuang jauh semua metode yang objektif,kaku,dan terstruktur yang terdapat dalam ilmu-ilmu alamiah.Sebab,pemahaman adalah salah satu aspek dari proyeksi Dasein (proyeksi manusia seutuhnya) dan keterbukaan terhadap being. Pengalaman eksistensial memang pengalaman yang dimiliki oleh being sendiri.Segala bukti tidak perlu lagi atau bahkan tidak penting,sebab pengalaman semacam itu melibatkan keseluruhan keberadaan seorang pribadi.Karena pribadi sedemikian terlibat,maka pengalaman menjadi traumatik di dalam intensitasnya.Dalam kondisi seperti ini,tidak ada lagi pemisahan antara pemahaman,penjelasan dan interpretasi. Ada jenis pemahaman lain,yaitu yang datangnya dari penderitaan,yang dikemukakan oleh Karl Jaspers.Melalui penderitaan kita sering memahami sesuatu,yaitu kita seakanakan terpelanting untuk memahami pribadi manusia.Ini merupakan tingkat pemahaman yang tertinggi,yaitu tingkat eksistensial atau ontologis.Sepakat dengan pandangan Gadamer,Ricoeur uga berbicara mengenai wirkungsgeschichtliches bewusstsein atau kesadaran yang diarahkan pada akibat-akibat sejarah.Namun dalam uraiannya,ia menegaskan bahwa konsep itu harus dipertentangkan dengan konsep atau pengertian tentang distansi sejarah,sebab konsep yang terakhir ini berbau metodologis.Hal ini menunjukkan kepada kita tema pertama dari empat tema yang diketengahkan oleh Riceour,yaitu bahwa tidak ada titik nol dari mana kritik yang tuntas dapat mulai dilakukan.Meskipun seseorang menempatkan dirinya pada distansi tertentu,namun akibat atau hasil penelusuran sejarah tidak dapat lepas dari pengamatan kesadaran penafsir. Tema yang kedua adalah tidak ada pandangan umum menyeluruh yang memberi kita kemungkinan untuk memahami totalitas akibat sejarah hanya dalam waktu sekejap saja(Josef Bleicher,1980:74).Tema kedua ini menunjukkan pandangan ekstrim yang lain sesudah tema yang pertama.Dalam filsafat Ricoeur,tempat yang layak untuk seorang penafsir adalah di tengah-tengah kedua ekstrem tersebut. Tema ketiga jika tidak ada pandangan yang menyeluruh,maka juga tidak akan ada situasi yang secara mutlak membatasi kita.Sebab,jika ada situasi maka ada cakrawala yang dapat menyempit atau meluas(Ibid:74).Setiap kejadian atau peristiwa menpunyai latar belakang atau cakrawala karena setiap fakta atau peristiwa selalu tersituasi.Maka juga selalu ada goncangan antara peristiwa yang tersituasi dengan cakrawalanya.Interpretasi harus selalu memandang kedua hal itu sebagai hal yang korelatif atau berinteraksi.

Tema keempat adalah perpaduan antar cakrawala.Riceour mengatakan bahwa tidak satu cakarawalapun yang bersifat tertutup sejauh masih mungkin menempatkan seseorang pada pandangan yang lain dan dalam kebudayaan yang lain pula (Ibid,75).Mungkin pandangan Riceour ini mirip dengan pandangan Gadamer.Pemahaman adalah perpaduan antar cakrawala.Kita tidak mungkin mengabstraksikan atau memencilkan suatu peristiwa dengan latar belakang atau cakrawalanya dari peristiwa-peristiwa lainnya.Tidak ada satu peristiwa sejarahpun yang bukan merupakan kelanjutan dari peristiwa-peristiwa yang mendahuluinya.Jadi,ada rangkaian peristiwa di mana peristiwa yang satu menyebabkan peristiwa-peristiwa lainnya. Hermeneutik harus menempatkan peristiwa yang tersituasi beserta cakrawalanya dalam konteks yang semestinya.Ia harus mampu memisahkan mana yang seharusnya masuk dalam cara pemahamannya dan mana yang seharusnya disingkirkan dari antara konsep-konsepnya yang populer atau yang hanya khayalan saja.Penafsir harus waspada terhadap berbagai macam prasangka ataupun pendewaan terhadap pikiran.

1. Latar Belakang Tokoh


Jacques Derrida bisa dimasukkan ke dalam kelompok penulis hermeneutik sejauh dia berhubungan dengan bahasa dan makna. Akan tetapi, beberapa komentator mengatakan bahwa ia justru seorang filsuf yang anti hermeneutik. Gagasan-gagasannya tentang kritik sastra mengklasifikasikan dia di antara kritikus sastra, meskipun ia sendiri mengingkari anggapan orang tentang posisinya sebagai filsuf ataupun sastrawan (Derrida, 1972:95). Ia seringkali juga disebut seorang post-strukturalis, meskipun ia sendiri menyangkal kecenderungan strukturalis. Deriida sangat cerdas. Untuk memahami gagasan-gagasannya, kita perlu juga mengetahui latar belakang dirinya. Karya-karyanya sulit dimengerti.

1. Pengaruh Aliran fenomenologi


Dua aliran pemikiran kefilsafatan yang banyak mempengaruhi gagasan-gagasan Derrida adalah fenomenologi dan strukturalisme. Edmund Husserl, pendiri fenomenologi modern memulai karyanya dengan dua metode, satu positif dan satu negatif. Metode positif dimaksudkan untuk melepaskan jalan pikiran dari apa saja yang dianggap ideal tetapi tidak mendasarkan diri pada realitas. Dalam metode negatif, Husserl mendekatkan diri pada metode yang dikemukakan oleh Descrates yaitu mulai dengan sikap ragu-ragu, ia menyangkal segala sesuatu dan ingin memulai proses pemikirannya dari titik yang benar-benar nol. Husserl seorang pakar matematika dan sains, menyadari akan adanya ketimpangan antara subyektivitas dan obyektivitas. Sebagao seorang ahli matematika ia mengetahui signifikan obyektivitas, tetapi sebagai filsuf ia juga mengetahui bahwa subyektivitas yang walaupun hanya sedikit masih tetap diinginkan. Melalui dua metode yang diketengahkan di atas, ia memulai karyanya dengan tepat. Ia membicarakan tentang tiga tingkatan kesadaran yang dapat dihubungkan dengan tiga tiga jenis obje, yaitu:

Tingkatan pertama atau tingkatan yang dangkal adalah kesadaran alamiah. Kesadaran ini berhubungan dengan objek-objek alamiah. Tingkatan kedua adalah tingkat kesadaran refleksi, yaitu kesadaran yang muncul setelah memberi tanda petik pada tingkat yang dangkal. Tinkatan ketiga atau tingkat kedalaman ego: bila perhatian seseorang difokuskan lebih jauh lagi pada objek , ia akan mencapai tingkat kesadaran jauh lebih dalam lagi. Dalam keadaan kesadaran pada tingkat ini, objek yang murni atau yang sejati mengejawantah.

1. Tanggapan atas Fenomenologi

Arti Differance

Perbedaan dua kata yang kontroversial itu yaitu, difference dan difference. Perbedaan pokok hanya terdapat di dalam kerangka ruang dan waktu. Derrida menghubungkan kerangka waktu ruang dan waktu dengan pengertian tanda dan penulisannya. Tanda adalah wakil dari bendanya. Makna, juga seperti tanda, untuk memahaminya kita harus menangguhkan atau menunda dulu sampai orang atau benda yang merasa layak atau pantas untuk memilikinya. Proses ini oleh Derrida disebut temporisasi atau pemberian waktu (untuk menunda). Tanda tempatnya dalam ruang. Tanda dapat dengan mudah kita mengerti dan kita rasakan, seperti kata-kata ataupun tulisan. Katakata adalah tanda, seperti juga bahasa, isyarat, dan sistem yang pada umumnya kita mengerti berdasarkan sejarahnya sebagai jaringan yang merupakan asal mula timbulnya perbedaan. Tanda-tanda membawa makna dan adanya dalam ruang; untuk sementara waktu makna tersebut tertunda. Tulisan, pada umumnya kita berpandangan bahwa sebelum seseorang menuliskannya, ia terlebih dahulu mengucapkannya. Derrida justru berpendapat sebaliknya. Tulisan itu barang mati, hanya merupakan jalan tengah antara maksud dan makna, atau antara ucapan dan pemahaman (Ch. Norris, 1985:28). Sebab tulisan dalam pandangan Derrida bukan gambar sebagai hasil tindakan seseorang memindahkan gagasangagasannya.

Bahasa sebelum Bahasa

Derrida menyatakan bahwa tulisan merussak atau menghancurkan dirinya sendiri. Artinya, tulisan adalah impersonal, jauh dari kehidupan, tidak seperti bicara. Menulis adalah pengelompokkan kata-kata yang sifatnya mekanis menurut tata bahasa dan struktur katanya. Tentang makna menulis, Derrida mengatakan bahwa makna itu seakan-akan keluar atau diturunkan dari tulisan, entah benar atau hanya khayalan saja. Hal itu hanya mungkin dengan syarat bahasa yang asli dan alamiah tidak pernah ada, jadi tidak pernah berkontak atau terjamah oleh tindakan menulis (Derrida, 1967:82). Gagasan ini disebutnya dengan istilah archi-writing. Archi-writing dimaksudkan Derrida untuk membicarakan tentang waktu sebelum waktu yang kita alami, atau bahasa sebelum bahasa yang kita pakai saat ini. Archi-writing merupakan syarat utama untuk memungkinkan sebuah bahasa dinyatakan sebagai sebuah sistem, dan melalui archi-writing ini kita dapat memahami pernyataan atau artikulasi yang benar dari ucapan dan tulisan. Menurut Derrida, bahasa pada dasarnya

sudah merupakan tulisan, oleh karena itu pasangan konsep ucapan-tulisan harus diubah manjadi tulisan-ucapan.

Peranan Sejarah

Untuk memahami konsep Derrida tentang tulisan, kiranya baik bagi kita untuk mengambil makna sejarah sebagai sarana untuk melacaknya. Sebab Derrida membicarakan sejarah melalui cara yang berbeda, yaitu bukan sebagai deretan makna, melainkan sebagai jejak yang bisa dilacak. Tulisan dapat menjadi jejak yang bisu namun juga dapat menjadi saksi dari yang tidak hadir dan belum dapat terkatakan. Derrida berkeyakinan bahwa meskipun orang belum mengucapkan kata-kata, namun tulisan sudah siap untuk dicurahkan, tulisan dibatasi oleh bahasa yang diucapkan, karena ucapan, yaitu makna yang tertunda kehadirannya, sudah terdapat di dalam tulisan.

Definisi Difference

Terdapat empat macam definisi differance, yaitu: 1. Differance adalah sebuah gerakan (aktif atau pasif) yang terdiri dari penundaan, karena penundaan, perutusan, penundaan hukuman, penyimpangan, penangguhan, penyimpanan. Kehadiran dinyatakan atau diinginkan dalam sifat representatifnya, tandanya atau jejaknya(Ibid, 17) 2. Gerakan differance adalah akar umum dari semua pertentangan konsep-konsep di dalam bahasa misalnya sensibel-inteligibel, intuisi-makna, alam-kebudayaan, dsb. 3. Differance, yang menghasilkan perbedaan, adalah syarat dari semua makna dan struktur. 4. Differance adalah berbeda secara khusus, tetapi perbedaan ini secara ontologis benar-benar ada dan tampak. Disini jelas bahwa deconstruction dan differance seiring sejalan. Deconstruction membatalkan ekspresi ganda seperti dalam ucapan atau penulisan.

1. Pengaruh Strukturalisme
Derrida menyangkal pernyataan bahwa struktur bahasa itu benar-benar ada. Terutama ia akan menolak argumen Noam Chomsky yang mengatakan bahwa bahasa itu diprogram ke dalam pikiran manusia dan manusia sebagai pembicara begitu saja mengikuti struktur tersebut. Menurut Derrida, makna tidak dapat disusun di manapun juga dalam pikiran manusia, selama makna itu merupakan produk pengalaman. Ia ingin mengupas gagasan entang struktur, karena srtuktur menentang kebebasan peran makna di dalam teks apa saja. Ini berarti bahwa orang dapat membaca kata-kata dalam sebuah teks, tetapi ia tidak mungkin membaca makna di dalam teks tersebut. Dengan demikian, makna bukan urusan struktur. Makna tidak dapat dibangun dalam ucapan, dan karenanya Derrida menentang pernyataan para pakar linguistik struktural. Sebab, jika makna sudah terbentuk didalam bahasa, oarng tidak akan membutuhkan hermeunetik atau interpretasi lagi.

1. Gagasan tentang Hermeneutik


Setelah menimba gagasan-gagasan dari Hegel dan Husserl, Derrida ingin menunjukkan bahwa bahasa tidak lain adalah intensionalitas. Apa maksud seseorang ketika ia menggunakan bahasa? Apakah bahasa identik dengan deretan kata-kata yang sudah jadi, apa kemudian disusul dengan makna-makna yang dipilih secara bebas oleh pembicaranya? Husserl telah menunjukkan perbedaan antara noesis (pikiran) dengan noema (yang dipikirrkan). Seperti misalnya seseorang melihat sebuah pohon,, harus dibedakan antara siapa yang melihat dengan dari sudut mana pohon itu dilihat. Sebab, seorang tukang kayu dengan seorang pematung akan mempunyai pandangan yang berbeda tentang pohon yang dilihatnya itu. Dari realitas di dalam contoh tersebut di atas, Derrida melihat hubungan yang jelas antara fenomenologi dengan hermeneutik. Jika makna yang muncul pada taraf yang paling dalam, maka bahasa yang dipergunakan untuk berbicara harus diselidiki, apakah bahasa ini hanya keluar dari emanasi taraf pertama atau kedua. Lalu, bagaimana hermeneut mengenakan nilai atau makna pada kata yang diucapkan itu? Hermeneutik adalah pemahaman karya. Tujuannya adalah membongkar rahasia pandangan dunia dari pengarang dan memungkinkan kita untuk menyadur bahwa esensi fenomenologis dari memahamitidak lain adalah kemampuan seseorang untuk mendengarkan sendiri apa yang sedang ia katakan. Pemberi tanda adalah orang yang dapat merasakan nafas pengarang dan maksud dari isyarat atau makna yang melekat pada pengarang. Hermeneut kemudian berusaha melepaskan makna dari kata-kata yang diucapkan atau yang tertulis epat pada saat kata-kata itu diucapkan . bagaimana dengan teks tertulis? Untuk dapat dikatakan sebagai tulisan dalam arti yang sebenarnya, maka teks tersebut harus berjuang untuk mengatasi kematian pembicara yang membawanya di dalam komunikai oral. Apa peranan pengarang dan pembaca di dalam interpretasi sebuah teks? Apa yang menjadi ukurannya jika dikatakan bahwa teori interpretasi menggambarkan pengarang asli atau pembaca asli? Jika kita membicarakan tentang interpretasi, apa batasan proses tersebut? apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan penerapan, kelayakan dan permainan? Menurut Jean Greisch, semua pertanyan tersebut harus dijawab oleh orang yang ingin membuat interpretasi. Hermeneut menghendaki jawaban-jawaban atas pertanyaan tersebut menjadi pendahuluan dalam karya interpretasinya. Untuk merumuskan pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam perspektif yang semestinya, kita harus membedakan antara jenis teks berikut: 1. Sebuah teks tertulis yang merupakan transkripsi teks oral 2. Teks tertulis yang maksudnya hanya untuk dibaca dan bukan untuk didengarkan 3. Teks tertulis yang dimaksudkan untuk dibaca seperti sebuah teks sastra seperti yang banyak kita jumpai sekarang ini (Greisch, 1997:180) Sebuah teks oral yang kemudian diwujudkan dalam bentuk teks tertulis pada dasarnya tidak memiliki nilai tertulis sebagaimana dimaksudnya untuk dibaca, seperti karya sastra. Jika seseorang berbicara, maka ia mengikuti aturan-aturan berbicara yang berbeda dengan aturan-aturan membaca. Jika seseorang menulis,ia sadar akan

kesuatuan, koherensi dan hubungans logis dari gagasan-gagasan dan bab-babnya, pengaturan pemakaian kata-kata serta redundansinya. Jika terdapat teks yang dimaksudkan hanya untuk dibaca tetapi ternyata dibacakan untuk didengarkan, maka teks tersebut menghasilkan sesuatu yang sumbang dan seringkali menghasilkan makna yang berbeda bagi pendengarnya. Derrida lebih suka mengoperasikan teks tertulis pada jenis yang ketiga, yaitu teks yang dimaksudkan untuk dibaca sebagai teks, sebab teks ini mengikuti secara ketat aturan-aturan tentang sintaksis, tata bahasa dan gaya bahasa. Derrida tidak mengutip teori Ricoeur tentang polisemi, yaitu sebuah kata atau ungkapan ada kemungkinan mempunyai lebih dari satu makna. Ia cenderung mengatakan polisemi hanya laten dalam bahasa itu sendiri. Kasusastraan memang penuh dengan makna ganda. Sebagai contoh misalnya salah satu kalimat yang ditulis Shakespeare dalam Hamlet: Orang ini, pembunuh bapaknya. Walaupun di situ terdapat koma, namun orang tetap sulit memahami siapa pembunuhnya dan siapa yang dibunuh. Martin Heidegger memberikan arah baru dalam perkembangan hermeneutika. Hermeneutika tidak lagi sekedar sebuah prinsip umum untuk melakukan interpretasi teks, melainkan hermeneutika adalah cara berada manusia. Ia mengubah hermeneutika tradisional menjadi sebuah filsafat, sebuah hermeneutika ontologis. Interpretasi bagi Heidegger adalah salah satu dari cara mengada manusia (yang lain adalah mood dan diskursus). Memahami (understanding) umumnya dilihat sebagai mengetahui atau kognisi. Heidegger menolak ini; memahami baginya adalah bagaimana manusia mengalami sebuah situasi dan bagaimana ia siap untuk menghadapi situasi tersebut. Semakin seseorang bisa menghadapi sebuah situasi, semakin ia memahami situasi tersebut, semakin ia mampu bertindak, dan ia semakin bereksistensi. Interpretasi adalah salah satu cara untuk mengartikulasikan pemahaman ini. Ia melihat kemungkinan-kemungkinan dari sebuah situasi. Ia hadir dalam setiap situasi dan mencari jalan untuk menghadapi situasi tersebut. Interpretasi tidak harus dalam bentuk verbal atau linguistik, atau dalam bentuk sebuah proposisi. Ia juga bisa berbentuk sebuah aksi. Heidegger lebih melihat proses pemahaman sebagai sebuah aksi ketimbang proses teoretisasi. Memahami adalah cara praktis manusia bergaul dengan dunianya. Teori hanyalah sebuah bentuk praktis. Interpretasi hanyalah salah satu modus dari pemahaman. Dan pada akhirnya interpretasi dalam bentuk bahasa hanyalah salah satu bentuk dari interpretasi. Bahasa hanyalah sebuah instrumen dari pengertian. Heidegger juga memperkenalkan lingkaran hermeneutik yang baru: sebuah pertanyaan selalu dibentuk oleh ekspektasi sebelumnya yang akan menentukan jawaban yang metode yang akan didapatkan. Hal ini seperti halnya pada lingkaran hermeneutik tradisional terlihat seperti sebuah paradoks. Namun Heidegger tidak menutup kemungkinan untuk melakukan interpretasi. Yang dibutuhkan adalah dialog antara teks dan sang penafsir sehingga teks semakin membuka dirinya untuk ditafsirkan.

1. KESIMPULAN 1. Problem tentang Makna

Studi tentang peranan bahasa dalam komunikasi dan proses berpikir, serta khususnya dalam persoalan yang menyangkut bagaimana mengidentifikasi, memahami, maupun meyakini bahwa makna muncul pada saat bahasa dipergunakan, telah banyak dilakukan oleh filsuf-filsuf analitik. Ciri khusus peranan bahsa itu nampak melalui penggunaan bahasa sebagai medium dalam komunikasi gagasan. Sehubungan dengan hal ini maka persoalan yang timbul kemudian adalah problem tentang makna. Bagi para beberapa filsuf, pengertian tentang makna dibahas berdasarkan motivasimotivasi tertentu. Ada yang menghubungkan makna dengan kebenaran tentang dunia yang ada di sekitar kita atau di mana kita hidup. Bagi mereka istilah bermakna atau tidakbermakna adalah persyaratan utama untuk mencapai kebenaranKita seringkali terperangkap di dalam penggunaan bahasa dengan rangkaian kata-kata yang mulukmuluk, yang pada akhirnya membuat kita frustasi sendiri. Filsafat akhirnya juga kita mengerti sebagai sebuah teka teki yang sulit untuk dijawab dan dijelaskan. Bila dalam arti luas metode adalah cara bertindak menurut sistem aturan tertentu dengan maksud untuk mencapai hasil optimal, dan dalam arti khusus metode merupakan cara berfikir menurut sistem aturan tertentu, maka yang menjadi persoalan adalah: sejauhmanakah metode yang dipergunakan di dalam hermeneutik dapat kita pergunakan untuk memehami pemikiran kefilsafatan?

1. Cara pandang filsafat


Pandangan kefilsafatan memandang penting bagi kita untuk mengetahui dimana kita berpijak atau dari sudut mana kita meninjaubila kita berhadapan dengan hal-hal atau pernyatan-pernyataan tertentu. Pandangan semacam ini juga mengandaikan keterlibatan pribadi didalam filsafat, yaitu berupa pandangan hidup seseorang. Jadi bila kita melihat kembali pandangan-pandangan hermeneut diatas, maka segala uraiannya tentang hermeneutic sedikit banyak diwarnai pula oleh pandangan hidup para hermeneut itu sendiri serta latar belakang kehidupannya, atau tokoh lain yang mempengaruhinya. Sebagaimana telah disebutkan pada pendahuluan bahwa filsafat berhubungan dengan spekulasi dan analisis, filsafat juga bersifat selalu bertanya, analitik, kritis, dan evaluative. Filsafat mempersoalkan apa saja, misalnya keyakinan, pernyataan, teori, hipotesis, dsb, tanpa ada kekecualiannya. Filsafat menganalisis dan mengevaluasi semua hal tersebut sekritis-kritisnya. Dilthey mengajak kita untuk melakukan kritik sejarah dengan mencoba menelusuri kembali segala peristiwa dalam sejarah. Cara pandang semacam tikini menunjukkan bahwa filsafat adalah kegiatan yang bersifat integrative atau kegiatan yang mengarah pada sintesis berbagai macam unsure kedalam keseluruhan yang bersifat koheren dan terpadu. Cara pendang yang sintetikadalah sisitem berpikir yang mengarah pada pandangan dunia yang terdiri dari bagian-bagian yang lebih kecil dan koheren (berkesinambungan).

1. Hermeneutik sebagai metode yang Open-Minded


Hermeneutik bukanlah merupakan barang baru. Apa yang telah dilakukan oleh para hermeneut tersebut pada dasarnya hanyalah mengundang kita untuk melihat secara

lebih dekat bahasa yang kita pergunakan, yaitu sebagai alat untuk mengerti dan memahami, dan sekaligus sebagai penyebab salah mengerti ataupun salah paham. Bahasa akan menjadi bahasan hermeneutic sejauh hal itu menyatakan keseluruhan jaringan sejarah, kebudayaan, kehidupan, dan nilai-nilai yang merupakan petunjuk kearah interpretasi.

SUMBANGAN HEIDEGGER KEPADA HERMENEUTIKA DALAM BEING AND TIME Pengantar Filsafat Heidegger beranjak dari persoalan bahwa para filsuf telah banyak mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang dunia tetapi mereka mengabaikan kenyataan yang paling penting, yaitu bahwa dunia ada. Heidegger berusaha untuk mencari arti syarat awal eksistensi yang ia sebut sebagai Ada. Ada tidak dicari pada yang fisik melainkan lewat fenomena misalnya lewat fenomen tertawa, menangis, berjalan dan sebagainya. Fenomen yang diteliti itu adalah manusia. Ia menyebut manusia sebagai dasein(eksistensi). Dasein berarti berada-di-sana, di dunia. Dunia mempunyai ciri referensial. Adanya selalu menunjuk pada sesuatu misalnya palu menunjuk pada paku, paku menunjuk pada papan, papan menunjuk pada rumah dan seterusnya. Melihat begitu pentingnya arti dunia, Heidegger menyebut kegiatan berada Dasein sebagai berada-dalam-dunia. Salah satu kegiatan itu adalah memahami. Bagi Heidegger, pemahaman yang sesungguhnya itu tidak dilihat dalam suatu pernyataan sebagai buah nalar (ratio), melainkan dalam tingkat fundamental (tidak perlu dipikirkan lagi). Jadi, seseorang dikatakan memahami palu bukan karena ia bisa menyatakan palu adalah alat untuk menancapkan paku pada papan, melainkan jika tanpa perlu berpikir lagi ia langsung menggunakan palu itu untuk menancapkan paku pada papan (pemahaman pra konseptual). Ia membiarkan palu (fenomen pengada) termanifestasikan apa adanya. Pemahaman lantas menjadi elemen penting hermeneutika. Karena Heideggerr berusaha mencari pemahaman melalui fenomen maka ia memakai metode Fenomenologi. Fenomenologinya merupakan hermeneutika terhadap fenomena. Husserl dan Heidegger: Dua Tipe Fenomenologi Fenomenologi merupakan pendekatan yang dirumuskan Edmund Husserl pada awal abad ke-20. Fenomenologi telah membuka bidang pemahaman fenomena prakonseptual. Ia berusaha melihat fenomen sebagai realitas yang menampakkan diri apa adanya. Artinya, tanpa kita menafsirkan fenomen-fenomen itu. Ini adalah penemuan baru Husserl. Namun, fenomenologi Husserl ini berbeda dengan Heidegger. Pendekatan Husserl terarah pada fungsi kesadaran sebagai subyektivitas transendental. Kesadaran kita, menurut Husserl selalu terarah pada sesuatu di luarnya (sadar akan sesuatu). Sedangkan Heidegger justru melihat media vital historisitas keber-ada-an manusia di dunia. Menurutnya, kesadaran bukan sekedar kesadaranakan sesuatu, melainkan kesadaran dalam/sebagai sesuatu. Apa maksudnya? Kita tidak sekedar menyadari sesuatu, melainkan sesuatu itu turut membentuk kesadaran kita. Kita tidak hanya sadar hidup di suatu dunia, tetapi juga sadar bahwa dunia ini turut membentuk kita yang ada di dalamnya. Arah pendekatan Heidegger adalah keberadaan manusia itu sendiri. Heidegger berpandangan bahwa fakta keberadaan merupakan persoalan yang lebih mendasar dari pada kesadaran dan

pengetahuan manusia. Ada lebih utama dari kesadaran, karena kesadaran hanyalah cara Ada menampakkan diri. Ini berbeda dengan Husserl yang menganggap keberadaan Ada sebagai datum kesadaran. Perbedaan fenomenologi Husserl dengan metode fenomenologis Heidegger dapat diringkas dalam kata hermeneutik itu sendiri. Term ini tidak pernah digunakan Husserl untuk merujuk pada karyanya, sementara Heidegger mengatakan bahwa dimensi otentik metode fenomenologi membuat karyanya (Being and Time) bersifat hermeneutis; proyeknya dalam Being and Time adalah hermeneutik Dasein. Term tersebut mengasumsikan adanya bias anti sains yang bisa membedakan secara nyata Heidegger dengan Husserl. Filsafat dalam pegertian Husserl secara mendasar masih sains, suatu ilmu yang kaku, sementara bagi Heidegger filsafat menjadi pemikiran historis, penemuan kreatif masa lalu. Garis pembeda antara dua tipe fenomenologi di atas, secara jelas tergambarkan pada persoalan yang lain yaitu historisitas. Menurut Heidegger, Fenomenologi Husserl hanya mengelaborasi pola yang telah di bentuk oleh Descartes, Kant, dan Fichte. Di sini historisitas masih asing. Heidegger berusaha mengatasi filsafat modern yang berporos pada kesadaran atau subyektivitas. Misalnya dalam Descartes, kenyataan atau ada itu diciptakan oleh kesadaran. Jika aku menyadari danau di luar diriku maka danau itu ada. Pandangan semacam ini yang ditolak Heidegger. Kesadaran yang ditemukan Descartes itu bukanlah segala-galanya sebagaimana dipikirkan oleh Descartes, melainkan hanyalah salah satu cara Ada menampakkan diri dalam kesejarahan Ada (historisitas Ada). Apa itu historisitas Ada? Kita harus membayangkan seluruh manusia dan alam semesta ini sebagai suatu cerita tentang penampakan diri Ada dalam berbagai maknanya. Dalam penggalan tertentu yang kita sebut zaman modern, Ada lebih ditangkap sebagai kesadaran atau subyektivitas. Tetapi ini tidak berlaku untuk segala zaman. Heidegger menawarkan strategi lain dalam mendekati fenomen kesadaran: membuka diri terhadap Ada dan membiarkan Ada tampak apa adanya (memahami). Karena itu fenomenologi tidak sekedar untuk membuka kesadaran manusia belaka tapi juga sebagai sarana untuk mendekati Ada dalam seluruh faktisitas dan historisitasnya. Di sinilah penekanannya bahwa fenomenologi harus menjadi hermeneutis. Fenomenologi Hermeneutis Dalam bagian buku Sein und Zeit yang berjudul The Phenomenological Method of Investigation, Heidegger menyebut metode fenomenologinya sebagai hermeneutika. Untuk mengerti hal ini, Heidegger kembali pada akar kata fenomenologi. Fenomenologi berasal dari akar kata Yunani yang merupakan kombinasi kata polimorfemikphainomenon atau phainesthai dan logos. Phainomenon/phainesthai berarti yang menampakkan diri, sesuatu yang termanifestasikan, atau tampak apa adanya. Sedangkan logos adalah sesuatu yang dipahami dalam pembicaraan, tidak diartikan

sebagai nalar atau landasan. Dengan demikian, Logos berarti sesuatu yang dengan sendirinya membiarkan sesuatu itu muncul. Logos membiarkan ssuatu itu tampak sebagai sesuatu. Logos menjadi hermeneutika. Dengan demikian, kombinasi phainomenon/phainesthai dan logos berarti membiarkan benda-benda (fenomen) termanifestasikan sebagaimana adanya, tanpa memaksakan kategori-kategori kita sendiri pada benda-benda tersebut. Ini berarti berlawanan dengan kebiasaan yang telah ada. Bukan kita yang menunjuk benda atau realitas, tapi realitas itu sendiri yang menunjukkan dirinya kepada kita. Metode fenomenologi ini menjadi signifikan bagi teori hermeneutis. Metode ini menunjukkan bahwa interpretasi tidaklah didasarkan pada kesadaran dan kategori yang dibuat manusia, tetapi pada realitas yang menampakkan diri apa adanya. Dengan kata lain, ontologi harus menjadi fenomenologi. Heidegger, dalam Being and Time berusaha mendekati Ada sebagai fenomen. Lantas apa hubungannya dengan hermeneutika? Sebagaimana ontologi menjadi fenomenologi tentang Ada, ia juga harus menjadi hermeneutika eksistensi. Hermeneutika ini bukanlah suatu metode filologi, juga bukan metode memahami (Geisteswissenschaften) seperti yang diungkapkan Dilthey, melainkan hermeneutika yang membuka sesuatu yang tersembunyi. Ia bukan interpretasi atas interpretasi (misalnya suatu teks) melainkan kegiatan primer interpretasi yang membuka hakekat Ada. Selanjutnya, Hermeneutika menjadi interpretasi Dasein. Dengan demikian, pemahaman terhadap Dasein sendiri merupakan bagian yang penting dalam hermeneutika Heidegger. Akhirnya Heidegger sendiri mendefinisikan esensi hermeneutika sebagai kekuatan ontologis pemahaman dan interpretasi yang memungkinkan keberadaan sesuatu khususnya keberadaan Dasein dapat terungkap. Hakekat Pemahaman: Heidegger Melampaui Dilthey Pemahaman (Verstehen) merupakan term khusus yang dipakai Heidegger. Maknanya berbeda dengan pemahaman yang dimaksudkan oleh Schleirmacher dan Dilthey. Dalam pemikiran Schleirmacher, pemahaman didasarkan pada afirmasi filosofisnya terhadap identitas dalam. Artinya, dalam pemahaman seseorang menyatukan diri dengan pembicara atau penulis sebagai seorang yang dipahami. Dalam pemikiran Dilthey, pemahaman mengacu pada level komprehensi lebih dalam yang melibatkan perolehan suatu gambar, puisi, atau fakta (sosial, ekonomi, psikologi) lebih dari sekedar datum, melainkan sebagai suatu ekspresi hidup. Bagi Heidegger, pemahaman merupakan kemampuan menangkap kemungkinankemungkinan hakekat eksistensi manusia. Pemahaman adalah cara berada di dunia, yang merupakan struktur eksistensial Dasein yang memungkinkan terjadi pengalaman ditingkat empiris serta memungkinkan terjadinya pengetahuan yang lainnya. Kemungkinan-keungkinan itu terbuka justru pada prakteknya, bukan pada yang dipikirkan. Inilah pemahaman yang fundamental.

Pemahaman merupakan dasar bagi semua interpretasi, dan senantiasa hadir dalam setiap kegiatan intepretasi. Pemahaman dipandang bukan sekedar peristiwa kejiwaan, melainkan suatu proses ontologis, sebagai pengungkapan segala sesuatu yang berkaitan dengan eksistensi manusia. Karakteristik penting pemahaman bagi Heidegger adalah bahwa ia selalu berlaku dalam suatu hubungan yang sudah diinterpretasikan. Dilthey menegaskan bahwa kebermaknaan selalu merupakan sesuatu yang merujuk ke dalam konteks keberhubungan, suatu persoalan prinsip yang sudah umum bahwa pemahaman selalu berlaku dalam sebuah lingkaran hermeneutis. Karena itu, Heidegger suka mengangkat lingkaran hermeneutik: manusia mencari pengetahuan karena belum tahu dan sudah tahu (pra pemahaman). Hermeneutika Heidegger melangkah lebih jauh dari Dilthey karena Heidegger mengeksplorasi implikasi lingkaran hermeneutis bagi struktur ontologis pemahaman eksistensi manusia dan interpretasinya. Akhirnya dapat dikatakan bahwa pemahaman dalam pemikiran Heidegger telah menjadi ontologis. Dunia dan Hubungan Kita dengan Obyek di Dunia Yang dimaksud dunia dalam pemikiran Heidegger tidak sama dengan bumi atau alam semesta belaka atau lingkungan kita, melainkan (dari sudut pandang Dasein) suatu tempat untuk dimukimi. Dunia itu suatu keseluruhan dimana ada manusia menemukan dirinya sudah terlempar kedalamnya, dengan segala kemanifestasiannya. Dunia tidak dapat dipahami dengan menaksir entitas yang ada di dalamnya karena dengan cara ini dunia tidak akan mempunyai arti. Dengan kata lain, dunia tidak hanya dipahami sebagai tindakan mengetahui suatu entitas. Heidegger menekankan pentingnya dunia dengan menyebut kegiatan berada Daseinsebagai berada-dalam-dunia. Pengunaan garis hubung menekankan bahwa tidak ada jarak antara diri kita dengan dunia. Kita merupakan bagian dunia seperti dunia merupakan bagian kita. Seorang pribadi tanpa dunia tidak masuk akal. Seorang memandang dengan benar melalui dunia, bahkan ia tidak bisa melihat Dasein atau apapun dalam kemanifestasiannya sendiri tanpa dunia itu. Dunia dan Daseinmerupakan relitas yang tak terpisahkan. Kata dalam pada berada-dalam-dunia juga harus dimengerti dengan tepat. Arti kata depan itu di hadapan Heidegger sangat kompleks. Makna pernyataan: Dasein beradadalam-dunia tidak dimengerti seperti air dalam gelas atau pakaian dalam almari. Apa bedanya? Air, pakaian, gelas, dan almari dengan cara yang sama berada dalam suatu tempat. Sedangkan Dasein berada dalam dunia secara khas. Dasein tak pernah ada di dalam ruang melainkan menduduki ruang. Dia tidak terletak di suatu tempat tetapi memukimi suatu tempat. Kita tidak tergeletak di dalam dunia melainkan terlibat dan kerasan di dunia. Apa yang ditemui Dasein di dunia? Dan bagaimana hubungan ada kita (sebagaiDasein) dengan obyek yang ada di dalamnya? Jika kita berada dalam suatu ruang kuliah, kita

akan menjumpai ada kursi, meja, lampu, papan tulis, alat tulis dan alat-alat lainnya atau juga benda-benda yang bukan alat atau teman dan dosen kita sendiri. Jika kita cermati, benda atau alat-alat tersebut adalah selalu untuk sesuatu (intensional). Ia mempunyai struktur untuk karena itu selalu mengacu pada alat-alat lain. Kita sering mengunakan alat-alat itu nyaris secara spontan. Jika ada gangguan, misalnya alat tulis hilang atau kursi rusak atau lampu mati, maka intensi yang diandaikan begitu saja akan tersingkap dan disadari. Kita lalu menjadi sadar akan ketergantungan kita pada materi tersebut. Pengalaman ini mengasumsikan prinsip hermeneutis bahwa keberadaan sesuatu terungkap tidak dalam tatapan analitis kontemplatif melainkan dalam momen di mana ia muncul secara tiba-tiba dari kesembunyiannya dalam konteks dunia yang sangat fungsional. Kebermaknaan Prapredikatif, Pemahaman dan Interpretasi Fenomen kerusakan yang menyingkapkan keberadaan sebuah alat sebagai alat mengarah pada dunia yang sangat luas, tempat kita eksis. Dunia ini lebih dari sekedar lahan aktivitas prasadar persepsi pikiran. Ia adalah lahan di mana resistensi dan posibilitas dalam struktur ada membentuk pemahaman. Di sini temporalitas dan historisitas ada hadir secara tegas. Ada menyingkapkan dirinya dalam kebermaknaan, pemahaman dan interpretasi. Singkatnya, ia merupakan lahan proses hermeneutis di mana ada tertematisasikan sebagai bahasa. Kebermaknaan yang dimaksudkan oleh heidegger adalah Rede atau percakapan. Percakapan di sini bukan dipahamai sebagai komunikasi verbal, melainkan suatu penyampaian makna yang mendahului artikulasinya dalam bahasa. Karena itu, dalam kebungkaman, manusia juga bisa bertutur. Ini bukan paradoks, melainkan menunjukkan bahwa percakapan itu bukan pengucapan makna secara verbal, melainkan penyampaian makna tanpa artikulasi apapun. Dua teman karib yang lama tidak berjumpa akan terpaku saling memandang tak berkata-kata saat mereka tak berjumpa lagi. hal ini menunjukkan bahwa mereka saling memahami satu sama lain. Inilah momen kebermaknaan yang tidak diartikulasikan namun disampaikan lewat disposisi dasar eksistensial mereka masing-masing. Pemahaman sangat berkaitan erat dengan kebermaknaan di atas. Pemahaman juga tidak dapat dipisahkan dari interpretasi karena interpretasi merupakan penerjemahan eksplisit dari pemahaman. Dalam pemahaman, suatu dunia bisa dilihat sebagai ini atau sebagai itu. Ungkapan kata sebagai ini merupakan suatu terjemahan eksplisit pemahaman atau suatu interpretasi. Misalnya, seseorang yang baru di PHK termenung di taman sampai pada pemahaman akan makna hidupnya lalu mengambil keputusan untuk hidup masa depannya, ia telah melewati interpretasi atas situasi dirinya. Interpretasi disini bukan berarti meratapi pemecatannya, melainkan mencoba keluar dari keterpurukan dengan menafsirkannya. Dalam interpretasinya, ia bisa mengatakan: O saya memahami musibah ini sebagai peluang untuk berkembang lebih baik. Tentu yang

dikatakannya itu juga tidak terpisah dari momen kebermaknaan prapredikatif yang telah dilaluinya yakni saat dia duduk termenung di taman. Inilah saat diam yang penuh makna, atau momen kebermaknaan yang tidak diartikulasikan lewat kata. Karakter Derivatif Pernyataan Pemahaman yang paling dasar tidak terletak pada suatu pernyataan produk akal budi, melainkan pada pemahaman pra sadar dimana kita sudah tidak perlu memikirkannya lagi. sedangkan pemahaman yang diungkapkan melalui kata-kata (pernyataan) merupakan pemahaman sekunder. Pernyataan itu adalah turunan dari pemahaman primer yang pra sadar (fundamental). Bagi Heidegger, pernyataan (Aussage) bukanlah suatu bentuk dasar interpretasi. Heidegger memberikan suatu contoh pernyataan: Palu itu berat. Ini merupakan suatu pemahaman yang terbentuk lewat logika (pemikiran). Dalam pernyataan ini, palu diinterpretasikan sebagai sesuatu dengan kekayaan sifatnya, dalam hal ini bobot beratnya. Lalu pernyataan ini menjadi penyataan logis yang menempatkan palu tidak lagi sebagai sebuah alat (sebagaimana adanya) melainkan sebagai sebuah obyek. Pernyataan seperti ini akan memutuskan ada (palu) dari kebermaknaannya sebagai akar dari keberadaannya.

HERMENEUTIKA Pengantar Salah satu ciri menonjol mayoritas filosof abad XX adalah menjadikan bahasa sebagai fokus kajian filsafat mereka. Mereka semakin menyadari bahwa persoalan-persoalan filsafat berkembang dan dapat dijelaskan melalui bahasa. Namun dalam kenyataannya tidaklah mudah untuk menentukan karakteristik pandangan filsafat melalui objek material bahasa. Kenyataan menunjukkan bahwa bahasa tidaklah mungkin dibatasi melalui formulasi logika yang ketat sebagaimana dilakukan oleh atomisme logis dan positivisme logis. Hal inilah yang kemudian memunculkan pemikiran filsafat bahasa biasa yang berupaya memecahkan problema-problema filsafat dan membahas konsepkonsep filsafat dengan melalui suatu analisis bahasa. Dari pemikiran ini kemudian berkembanglah pemikiran tentang hermeneutika. Hermeneutika merupakan satu istilah yang cukup populer saat ini khususnya dalam bidang ilmu sosial humaniora. Apa itu hermeneutika dan bagaimana pemikiran tentangnya akan sedikit dibahas dalam tulisan sederhana ini. Pengertian dan Sejarah Awal Hermeneutika Hermeneutika adalah sebuah kajian mengenai teori interpretasi atau penafsiran. Studi ini mulai berkembang dalam kritik penafsiran bibel seiring dengan kemunculan protestan. Persoalan penafsiran bibel seiring kemunculan protestan ini menggiring kepada kajian kritis terhadap teks bibel itu sendiri. Pada abad ke17 dan ke18, pendekatan kritis kepada teks Bibel (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) berkembang. [1] Kajian kritis ini kemudian berkembang tidak hanya berlaku pada teks-teks bibel tapi termasuk teks-teks lainnya. Bahkan, kemudian berkembang lagi meliputi segala hal yang dapat disamakan dengan teks hingga usaha memahami makna kehidupan. Hermeneutika cukup sulit didefinisikan secara tunggal. Hal ini merujuk sekian banyaknya teori tentang hermeneutika itu sendiri dan juga perkembangannya. Akan

tetapi, lepas dari itu, tentu saja terdapat titik temu dari semuanya terlebih jika dimaklumi bahwa sekian tersebut sama-sama menggunakan istilah hermeneutika yang mana bisa dirunut maknanya secara etimologi. Secara etimologi, hermeneutika berasal dari kata kerja Bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan, dan kata benda hermeneia, interpretasi. Dalam penggunaan aslinya, kata ini memiliki tiga bentuk makna dasar. Tiga bentuk ini menggunakan bentuk verba dari hermeneuein, yaitu: (1) mengungkapkan kata-kata, misalnya, to say; (2) menjelaskan, seperti menjelaskan sebuah situasi; (3) menerjemahkan, seperti di dalam penerjemahan bahasa asing. Ketiga makna itu bisa diwakilkan dengan bentuk kata kerja Inggris to interpret, namun masing-masing ketiga makna itu membentuk sebuah makna independen dan signifikan bagi interpretasi.[2] Richard E. Palmer (1969) dalam bukunya memberikan 6 definisi modern hermeneutika. Masing-masing definisi ini sekedar merupakan tahapan-tahapan historis; ia menunjuk suatu peristiwa atau pendekatan penting dalam persoalan interpretasi. Keenam definisi tersebut adalah; (1) Hermeneutika sebagai teori eksegesis Bibel, (2) Hermeneutika sebagai metodologi filologis, (3) Hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistic, (4) Hermeneutika sebagai fondasi metodologi bagi geisteswissenchaften, (5) Hermeneutika sebagai fenomenologi dasein dan pemahaman eksistensial, dan (6) Hermeneutika sebagai sistem interpretasi[3]. Keenam definisi ini tentu saja terkait tahapan historis kajian hermeneutika hingga masa Palmer saja, tidak sampai masa sekarang. Pasca Palmer, kajian hermeneutika semakin berkembang. Hermeneutika dalam Kilasan Tokoh Schleiermacher (1768 1834) (Hermeneutika teoritis/romantisis) Friedrich Schleiermacher adalah orang yang dianggap mampu mengangkat hermeneutika tidak sekedar dalam konteks kajian Bibel tapi semua bacaan. Semua teks termanifestasikan melalui bahasa, oleh karena itu bilamana prinsip-prinsip pemahaman melalui bahasa dapat dirumuskan, maka terwujudlah hermeneutika umum[4].

Kajian hemeneutika beliau ini berpusat mengenai bagaimana memperoleh pemahaman yang benar, oleh karenanya kajian beliau dikenal dengan istilah hermeneutika teoritis. Sedang makna yang menjadi tujuan pencarian dalam hermeneutika ini adalah makna yang dikehendaki penggagas teks. Oleh karena tujuannya memahami secara obyektif maksud penggagas, maka hermeneutika model ini dianggap juga sebagai hermeneutika romantis yang bertujuan untuk merekonstruksi makna. [5] Dalam rangka merekonstruksi makna, Scheleirmacher menawarkan dua pendekatan: pertama, pendekatan linguistik yang mengarah pada analisis teks secara langsung; kedua pendekatan psikologis yang mengarah pada unsur psikologis-subyektif sang penggagas sendiri. Dua unsur pendekatan ini dalam hermeneutika teoritis, dipandang sebagai dua hal yang tidak boleh dipisah. Memisah salah satunya akan menyebabkan sebuah pemahaman terhadap pemikiran seseorang menjadi tidak obyektif. Sebab, teks menurut hermeneutika teoritis sebagai media penyampaian gagasan penggagas kepada audiens. Agar pembaca memahami makna yang dikehendaki penggagas dalam teks, hermeneutika teoritis mengasumsikan seorang pembaca harus menyamakan posisi dan pengalamannya dengan penggagas teks. Dia seolah-olah bayangan penggagas teks. Agar mampu menyamakan posisinya dengan penggagas, dia harus mengosongkan dirinya dari sejarah hidup yang membentuk dirinya, dan kemudian memasuki sejarah hidup penggagas dengan cara berempati kepada penggagas.[6] Schleiermacher menegaskan adanya masalah hermeneutical circle atau lingkaran hermeneutik, yaitu bahwa untuk memahami sebagian dari teks pembaca memerlukan pemahaman atas konteks keseluruhan teks, dan untuk memahami keseluruhan teks pembaca memerlukan interpretasi atas bagian-bagian dari teks tersebut. Dengan demikian, untuk dapat memahami suatu teks pembaca memerlukan pemahaman akan sumber-sumber lain untuk membantu pemahamannya, termasuk pemahaman akan kehidupan dan minat penulis. Hal ini juga memerlukan pemahaman akan konteks budaya di mana karya penulis tersebut muncul.[7] Dilthey (Hermeneutika Metodis)

Perkembangan berikutnya ditandai oleh pemikiran Wilhelm Dilthey yang membedakan antara ilmu alam / ilmu eksakta (Naturwissenschaften) dan ilmu sosial dan humaniora / ilmu non-ekaskta (Geisteswissenschaften). Ilmu alam menjelaskan (erklren) sesuatu dan bertanya tentang penyebab-penyebab terjadinya sesuatu secara fisik, sementara ilmu sosial dan humaniora mencoba mencari tahu dan memahami (verstehen) sesuatu yang bersifat psikis, non-fisik. Dilthey menyatakan bahwa tugas hermeneutika adalah untuk melengkapi teori pembuktian validitas universal interpretasi agar mutu sejarah tidak tercemari oleh pandangan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.[8] Selanjutnya, dengan mengambil penekanan yang sedikit berbeda dengan hermeneutika teoritis Schleiermacher yang menekankan pada pencarian makna obyektif yang dihendaki penggagas, Dilthey menganggap makna obyektif yang perlu dipahami dari ilmu humaniora adalah makna teks dalam konteks kesejarahaannya. Sehingga, hermeneutika menurut Dilthey bertujuan untuk memahami teks sebagai ekspresi sejarah, bukan ekspresi mental penggagas. Karena itu, yang perlu direkonstruksi dari teks menurut Dilthey, adalah makna dari peristiwa sejarah yang mendorong lahirnya teks. Karena itu, berbeda dengan Schleiemacher, untuk merekonstruksi makna teks, menurut Dilthey tidak harus menyelam ke dalam pengalaman penggagas. Sebab pengalaman itu dimediasi oleh karya-karya para tokoh sejarah yang menghayati realitas pada masanya. Hal itu bisa ditemukan dengan pemahaman terhadap makna budaya yang diproduknya. Di sinilah sikap empati pembaca terhadap teks menemukan tempatnya.[9] Emilio Betti E. Betti termasuk tokoh hermeneut yang menganut hermeneutika teoritis yang mencoba memadukan antara teori Schleiemacher dan Wilhelm Dilthey. Sebagaimana pendahulunya, hermeneutika menurut Betti bertujuan untuk menemukan makna obyektif. Betti menawarkan empat momen gerakan alam menemukan makna obyektif: pertama, penafsir melakukan investigasi fenomena linguistik teks, kedua, penafsir harus mengosongkan dirinya dari segala bentuk kepentingan, tiga, penafsir harus

menempatkan dirinya dalam posisi seorang penggagas melalui kerja imajinasi dan wawasan, empat, melakukan rekonstruksi untuk memasukkan situasi dan kondisi untuk memperoleh hasil yang ingin dicapai dari ungkapan teks.[10] Heidegger (Fenomenologi Das Sein, Hermeneutika dialektis) Martin Heidegger membawa hermeneutika ke ranahnya yang bersifat ontologis. Oleh karenanya, hermeneutika beliau yang lebih menekankan fenomenologi das sein ini dikenal dengan hemerneutika filosofis. Das Sein sebagai penyebab munculnya kegiatan berfikir menurut Heidegger adalah merupakan bahasa yang sejati. Kegiatan berpikirf adalah merupakan suatu jawaban terhadap das sein, untuk mencari ungkapan bahasa yang tepat sehingga das sein dapat benar-benar menjadi bahasa, sehingga selanjutnya dapat dikomunikasikan. Heidegger memandang bahwa bahwa bahasa adalah tempat tinggal sang ada. Dengan lain perkataan bahwa bahasa adalah ruang bagi pengalaman-pengalaman yang bermakna.[11] Fenomenologi hermeneutika Heidegger adalah suatu fenomena tentang ada, suatu hermeneutika yang membuka sesuatu yang tersembunyi, bukan interpretasi atas interpretasi (misalnya suatu teks), melainkan kegiatan primal interpretasi yang membuka hakikat ada menjadi terbuka. Menurut beliau, pada hakikatnya hermeneutika adalah merupakan ciri hakiki manusia. Pemahaman merupakan kemampuan menangkap kemungkinan-kemungkinan hakikat eksistensi manusia. Pemahaman dipandang bukan sekedar peristiwa kejiwaan, melainkan merupakan proses ontologis, sebagai penguakan segala sesuatu yang berkaitan dengan eksistensi manusia.[12] Hans Georg Gadamer (Hermeneutika dialogis) Sebagai penerus Heidegger, Gadamer menolak anggapan hermeneutika teoritis yang menganggap hermeneutika bertujuan menemukan makna obyektif. Gadamer menganggap tidak mungkin diperoleh pemahaman yang obyektif atau definitif sebuah teks sebagaimana digagas para penggagas hermeneutika teoritis, karena dua alasan: pertama, orang tidak bisa berharap menempatkan dirinya dalam posisi pengarang asli teks untuk mengetahui makna aslinya. Kedua, memahami bukanlah komuni misterius jiwa-jiwa dimana penafsir menggenggam makna teks yang subyektif. Memahami

menurutnya adalah sebuah fusi horizon-horizon: horizon penafsir dan horizon teks. Sebagai tawarannya, Gadamer merumuskan hermeneutika filosofisnya dengan bertolak pada empat kunci hermeneutis[13]: Pertama, kesadaran terhadap situasi hermeneutik. Pembaca perlu menyadari bahwa situasi ini membatasi kemampuan melihat seseorang dalam membaca teks. Kedua, situasi hermeneutika ini kemudian membentuk pra-pemahaman pada diri pembaca yang tentu mempengaruhi pembaca dalam mendialogkkan teks dengan konteks. Kendati ini merupakan syarat dalam membaca teks, menurut Gadamer, pembaca harus selalu merevisinya agar pembacaannya terhindar dari kesalahan. Ketiga, setelah itu pembaca harus menggabungkan antara dua horizon, horizon pembaca dan horizon teks. Keduanya harus dikomunikasikan agar ketegangan antara dua horizon yang mungkin berbeda bisa diatasi. Pembaca harus terbuka pada horizon teks dan membiarkan teks memasuki horizon pembaca. Sebab, teks dengan horizonnya pasti mempunyai sesuatu yang akan dikatakan pada pembaca. Interaksi antara dua horizon inilah yang oleh Gadamer disebut lingkaran hermeneutik. Keempat, langkah selanjutnya adalah menerapkan makna yang berarti dari teks, bukan makna obyektif teks. Bertolak pada asumsi bahwa manusia tidak bisa lepas dari tradisi dimana dia hidup, maka setiap pembaca menurutnya tentu tidak bisa menghilangkan tradisinya begitu saja ketika hendak membaca sebuah teks. Dalam kegiatan penafsiran, hermeneutika filosofis mengandaikan seorang penafsir atau pembaca didahului oleh horizon pembaca yang kemudian membentuk pra pemahaman. Namun penting digaris bawahi bahwa Gadamer tidak bermaksud memberikan kebebasan mutlak bagi penafsir. Gadamer tetap memberikan rambu-rambu, yakni agar penafsir bersikap terbuka pada teks. Penafsir sejatinya membiarkan teks menghadiri penafsir untuk kemudian diadakan dialog antara keduanya untuk menghilangkan ketegangan. Sebab, sebagaimana pembaca, teks juga mempunyai sejarahnya sendiri yang disebut horizon teks. Dengan prinsip makna tidak ditemukan di dalam teks, Gadamer berpendapat bahwa memahami adalah tindakan sirkuler antara teks dengan pembaca yang disebut the fusion of horison, yakni mempertemukan pra pemahaman

pembaca dengan cakrawala atau horizon teks. Dalam negosiasi itulah, makna yang dicari bersemayam. Penekanan Gadamer pada fusi horizon dalam menemukan makna didasarkan pada argumen bahwa seseorang tidak mungkin bisa melepaskan diri dari tradisi dan prasangkanya dan apalagi memasuki tradisi dan prasangka orang lain. Menurut Gadamer, keduanya pasti hadir dalam setiap tindakan menafsir, lantaran keduanya merefleksikan keterkondisian historis umat manusia. Berbeda dengan hermeneutika teoritis yang hendak merekonstruksi makna, tujuan utama hermeneutika filosofis adalah memproduksi makna teks, melalui fusi horison pembaca dan horizon teks. Begitu makna produktif ditemukan, langkah selanjutnya adalah menerapkannya ke dalam konteks di mana pembaca berada. Tentu makna yang diterapkan bukanlah makna obyektif sebagaimana dimaksudkan hermeneutika toritis, melainkan makna yang berarti bagi pembaca. Makna itu mempunyai nilai bagi kehidupan pembaca, bukan bagi kehidupan penggagas.

Teori empirsme ekstrim oleh M.Oakeshott menyatakan bahwa penelitian terhadap masa silam itu tidak mungkin dilakukan, karena suatu penelitian sendiri dibutuhkan direct observation. Padahal masa silam dapat diteliti tanpa melakukan direct observation. Untuk dapat meneliti tentang masa silam terdapat berbagai cara yang dapat dilakukan.Yang pertama adalah CLM (Covering Law Model), yaitu mengaitkan hubungan antara suatu peristiwa dengan peristiwa lain. Peristiwa yang satu menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Adapun persyaratan CLM, yaitu (1) Pola hukum yag muncul pada premis pertama harus dikonfirmasi oleh sema fakta yang relevan atau tidak berlawanan dengan fakta, dan (2) Ada pola semu yang harus ditolak, yaitu takdir Tuhan, ramalan, dan pola hukum yang tidak menjelaskan seperti peristiwa x terjadi karena peristiwa x terjadi. Tujuan dari pola CLM adalah untuk mencari hubungan sebab dan akibat. Selain itu, ada syarat suatu peristiwa yang dapat diterangkan melalui CLM. Pola CLM tidak berurusan dengan peristiwa unik atau individual yang dijelaskan pola hukum lainnya. Yang kedua adalah Hermeneutika, yaitu menghayati dari dalam jalan pikiran orang lain (seolah-olah terlibat dalm suatu perisitiwa). Dalam percakapan atauun penafsiran teks, peneliti harus masuk ke dalam kulit lawan bicara atau pengarang sambil menimba dari pengalaman hidup kita sendiri. Tujuan hermeneutika adalah (1) menjembatani jurang antara dua titik pangkal yang berbeda-beda, (2) berusaha mengerti pihak lain berdasakan pengalaman sendiri dan pengalaman mengenai kenyataan dalam keseluruhan, dan (3) bagi ahli sejarah, hermeneutika lebih pentingdari teori argumentasi. Teori argumentasi modern meneliti percakapan antara dua pihak manusia. Teori ini mengandaikan bahwa kedua pihak memiliki landasan atau awal yang sama. Cara kerja teori ini adalah melacak komunikasi yang terganggu, sejak kapan mulainya, berdasarkan landasan yang sama. Adapun proses hermeneutika, yaitu

menghayati dari dalam jalan pikiran orang lain. Hal ini tidak hanya berguna untuk menafsirkan teks-teks atau maksud lawan bicara. Hermeneutika ingin mengerti mengapa seseorang berbuat begitu atau begini. Menurut Schleiermacher, bagian-bagian (teks) ditempatkan dalam keseluruhan teks, dan keseluruhan teks hendaknya dimengerti dengan bertitik tolak pada bagianbagian. Pengembang teori hermeneutika di Jerman selanjutnya adalah W. Dilthey. Dilthey terkenal dengan gagasannya yaitu geisteswisschenschaften (ilmu pengetahuan budaya). Kontribusi Dilthey tampak pada fenomenologi sosiologi. Ide Dilthey berkisar pada konsep erlebnis, ausdruck dan verstehen. Menurut Dilthey, setiap pengalaman baru ditentukan oeh semua pengalaman yang sampai pada saat itu pernah dimiliki. Pengalaman baru memberi arti dan penafsiran baru terhadap pengalaman lama. Ada pengaruh timbal balik antara pengalaman baru dan lama. Pengalaman yang ditentukan proses timbal balik disebut erlebnis. Tahap selanjutnya dalam hermeneutika adalah ausdruck atau ungkapan. Ausdruckmenekankan kesejajaran antara penafsiran teks dn struktur erlebnis, kebertautan (zusammenhang) antara pengalaman lama dan baru, aspek produktif dan reseptif, dan menciptakan berdasarkan kesatuan dan kebertautan. Ausdruck melukiskan kenyataan sesuai dengan penghayatan atau persepsi (penyerapan) terhadap kenyataan. Ausdruck merupakan obyektivasi mengenai kebertautan atau koherensi dalam erlebnis. Tahap selanjutnya yaitu verstehen, adalah mementaskan kembali di panggung batinnya, pengalaman dan proses-proses psikologi dan intelektual yang dahulu dirasakan seorang pelaku sejarah. Asumsi Dilthey dengan rekonstruksi itu akan menghasilkan efek yang sama seperti halnya dengan pelaku sejarah dahulu. Dilthey memakai psikologi sebagai ilmu bantu. Konotasi verstehen Dalam keadaan itu, aku sendiri juga akan berbuat dan berpikir demikian, dengan memasuki alam pikiran para pelaku sejarah. Verstehen tidak dapat diterapkan pada ilmu eksakta. Dalam ilmu alam ada erklaren (menerangkan) yang didasarkan pada pola hukum umum. Erklaren terbatas pada gejala yang secara lahiriah dapat diamati. Bentuk pengetahuan lewat verstehen lebih lengkap dari erklaren karena Dunia alami hanya merupakan bayangan. Pengembang teori hermeneutika di Jerman berikutnya yaitu Gadamer. Adapun perbedaan pendapat antara Gadamer dan Dilthey, yaitu: (1) Gadamer menolak pemisahan Dilthey tentang kenyataan dan pengalaman mengenai kenyataan. (2) Pengetahuan dan pengalaman dari masa silam merupakan bagian dari eksistensi manusia. (3) Gadamer menolak adanya metode hermeneutika. (4) Pemahaman hermeneutika masa silam terikat dan bertaut dengan individualitas si peneliti. Dalam menjelaskan perbuatan seorang pelaku sejarah, peneliti harus dapat memberi jawaban mengapa seorang pelaku sejarah berbuat demikian. Teori Hermeneutika di Inggris dan Amerika Serikat ini dikembangkan oleh R.G. Collingwood dan H. White. Menurut Collingwood, masa lalu dapat diulangi dalam batin kita sehingga pengetahuan berdasarkan pengalaman masa silam tidak mustahil. Collingwood menggunakan konsep re-enact, yaitu mengulangi apa yang hidup dalam benak para tokoh sejarah. Terdapat perbedaan-perbedaan antara ilmu sejarah dengan ilmu eksakta. Perbedaan pokok antara pengkajian sejarah dan ilmu eksakta bahwa peneliti sejarah tidak hanya berurusan dengan kelakuan lahiriah obyek penelitiannya, melauinkan juga dengan batin (segi dalam) kelakuan mereka. Re-enactment terjadi dalam batin peneliti

sejarah yang imajinatif dalam ekstrapolasi dan intrapolasi menurut pengalamannya sendiri. Lebih lanjut tentang: Pemikiran Sejarah: Filsafat Sejarah (I)

Hermeneutika Hans-Georg Gadamer Reza A.A Wattimena

Pada bab sebelumnya kita sudah melihat inti dasar dari teori kritis yang menjadi salah satu pisau analisis sosial paling tajam di abad kedua puluh. Dan juga seperti sudah disebutkan sebelumnya, di samping beragam bentuk pemikiran yang ada di dalamnya, teori kritis memiliki satu pengandaian dasar, bahwa rasionalitas universal manusia mampu melakukan kritik atas kapitalisme, dan membebaskan manusia dari belenggu-belenggu sosial yang membuat manusia tidak mampu mengembangkan kemampuan dirinya semaksimal mungkin. Pada bab ini saya ingin memperkenalkan sebuah metode yang sangat berkembang pada awal dan pertengahan abad kedua puluh, yakni hermeneutika, terutama hermeneutika yang dirumuskan oleh Hans Georg Gadamer. Dasar dari hermeneutika Gadamer adalah retorika dan filsafat praktis (etika). Di dalam sejarahnya retorika dan hermeneutika memang selalu terkait. Retorika adalah seni untuk memaparkan pengetahuan. Sementara hermeneutika adalah seni untuk memahami teks. Teks ini memang dalam bentuk tulisan. Akan tetapi teks juga bisa memiliki arti luas, yakni realitas itu sendiri. Dalam arti ini juga dapat dikatakan, bahwa hermeneutika dan retorika saling membutuhkan satu sama lain. Retorika mengandaikan orang memahami teks. Sementara pemahaman tidak boleh berhenti di dalam diri seseorang saja, melainkan juga dapat disampaikan dengan jernih kepada orang lain. Gadamer sendiri berulang kali menegaskan, bahwa hermeneutika dan retorika lebih merupakan seni, dan bukan ilmu pengetahuan. Di dalam beberapa tulisannya, termasuk Truth and Method, yang merupakan karya terbesarnya, Gadamer mencoba untuk melepaskan hermeneutika dari wilayah ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu sosial. Untuk melakukan itu ia kemudian kembali membaca tulisan-tulisan Plato. Menurut Gadamer hubungan antara pembaca dengan

teks mirip seperti hubungan dialog antara dua orang yang saling berbicara. Dalam arti ini dialog kehilangan dimensi rigorus saintifiknya, dan menjadi percakapan rasional untuk memahami suatu persoalan. Selain itu Gadamer juga membaca tulisan-tulisan Aristoteles, terutama pada bagian etika. Gadamer menjadikan etika sebagai dasar bagi hermeneutika. Tujuan utamanya tetap yakni melepaskan hermeneutika dari ilmu pengetahuan yang cenderung rigorus, saintifik, dan sifatnya instrumental.

Pengertian Sebagai Kegiatan Pikiran[1] Jika membaca tulisan-tulisan Gadamer langsung, anda akan mendapatkan kesan bahwa ia senang sekali bermain kreatif dengan bahasa untuk menciptakan pemahaman-pemahaman baru. Menurutnya bahasa tidak pernah bermakna tunggal. Bahasa selalu memiliki beragam makna, dan itu justru harus diakui dan dirayakan. Beragam makna di dalam bahasa menandakan adanya sesuatu yang bersifat esensial, tetap, dan universal di dalam bahasa itu sendiri. Artinya bahasa itu memiliki sesuatu yang sifatnya khas pada dirinya sendiri, dan lepas dari pikiran manusia. Di dalam bahasa terdapat pengertian, dan tugas hermeneutika adalah memahami pengertian tersebut, dan membuka kemungkinan bagi pemahaman-pemahaman baru. Berdasarkan penelitian Jean Grodin, hermeneutika, yakni proses untuk memahami teks, memiliki tiga arti. Hermeneutika selalu terkait dengan pengertian tentang realitas. Yang pertama pengertian selalu terkait dengan proses-proses akal budi (cognitive process). Untuk memahami berarti untuk menyentuhnya dengan akal budi. Untuk memahami berarti untuk melihatnya secara lebih jelas. Untuk memahami berarti untuk menggabungkan pengertian yang bersifat partikular dalam konteks yang lebih luas. Untuk memahami sesuatu berarti untuk menggenggamnya dengan kekuatan akal budi. Inilah arti dasar dari hermeneutika sebagai proses untuk memahami sesuatu, atau memahami teks. Konsep pengertian atau pemahaman (understanding) juga bisa diterapkan untuk memahami realitas sosial. Inilah yang kiranya menjadi argumen utama Wilhelm Dilthey, seorang filsuf ilmu-ilmu sosial yang hidup pada abad ke-19. Di dalam proses memahami

realitas sosial, setiap bentuk tindakan dan ekspresi seseorang selalu mencerminkan apa yang dihayatinya di dalam kehidupan. Inilah yang disebut Dilthey sebagai pengalaman hidup (life experience). Pengalaman hidup tersebut dapat dipahami melalui proses rekonstruksi ulang yang dilakukan peneliti melalui penelitiannya. Maka dari itu menurut saya, searah dengan penelitian Dilthey, ilmu-ilmu sosial tidak dapat menggunakan metode ilmu-ilmu alam, karena tujuan ilmu-ilmu alam bukanlah memami pengalaman hidup, melainkan mengkalkulasi yang untuk mengeksploitasi dan memprediksi fenomena alamiah. Konsep pengertian sendiri memang sudah tertanam di dalam tradisi hermeneutika sejak lama. Di dalam tradisinya hermeneutika berfokus pada upaya untuk memahami teks-teks kuno, terutama teks kitab suci. Konsep hermeneutika Gadamer juga berakar pada tradisi tafsir teks-teks kitab suci ini.

Pengertian sebagai Kegiatan Praktis Yang kedua hermeneutika selalu terkait dengan pengertian yang bersifat praktis. Dalam arti ini orang yang mengerti bukan hanya ia memahami pengetahuan tertentu, tetapi juga memiliki ketrampilan praktis untuk menerapkannya. Misalnya anda adalah seorang guru yang baik. Artinya anda tidak hanya memahami pengetahuan teoritis tentang cara mengajar dan arti pengajaran itu sendiri, tetapi mampu mengajar dengan baik. Seorang koki yang baik tidak hanya memahami konsep teoritis bumbu, tetapi juga mampu mengolahnya menjadi sebuah masakan yang enak. Untuk memahami sudah selalu mengandaikan mampu menerapkan. Di dalam hidupnya manusia selalu mencari arah baru untuk dituju. Untuk menemukan arah yang tepat, manusia haruslah memiliki pengertian yang tepat tentang dirinya sendiri. Hanya dengan memahami diri secara tepatlah manusia bisa mewujudkan potensi-potensinya semaksimal mungkin. Di dalam proses merumuskan filsafatnya, Gadamer sangat terpengaruh pada filsafat Heidegger, terutama tentang fenomenologi adanya. Namun Gadamer tidak mengikuti jalur yang telah dirintis oleh Heidegger, yakni proses untuk memahami eksistensi ada melalui manusia. Gadamer memfokuskan hermeneutikanya lebih sebagai bagian dari penelitian ilmu-ilmu manusia. Untuk memahami manusia menurutnya, orang harus peduli dan mampu memaknai manusia

tersebut dalam konteksnya. Kepedulian dan pemaknaan itu membuat tidak hanya teks yang menampilkan dirinya, tetapi juga si peneliti yang membentuk makna di dalam teks itu. Dapat juga dikatakan bahwa filsafat Gadamer lebih bersifat terapan, jika dibandingkan dengan filsafat Heidegger. Sifat praktis ini diperoleh Gadamer, ketika ia mulai secara intensif membaca tulisan-tulisan Aristoteles tentang kebijaksanaan praktis. Kebijaksanaan praktis juga melibatkan pengertian tertentu. Dalam konteks pengertian ini, penerapan adalah sesuatu yang amat penting. Penerapan adalah soal tindakan nyata. Bertindak baik tidak sama dengan memahami hakekat dari yang baik, seperti yang dilakukan Plato di dalam filsafatnya.[2]

Pengertian sebagai Kesepakatan Gadamer juga berpendapat bahwa pengertian selalu melibatkan persetujuan. Untuk mengerti berarti juga untuk setuju. Di dalam bahasa Inggris, kalimat yang familiar dapa dijadikan contoh, we understand each other. Kata understand bisa berarti mengerti atau memahami, dan juga bisa berarti saling menyetujui atau menyepakati. Memang pengertian itu tidak seratus persen berarti persetujuan, namun ada hal-hal mendasar yang telah disetujui sebelumnya, ketika orang mengerti. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Grondin, ada dua alasan yang mendorong Gadamer merumuskan pengertian sebagai bagian dari persetujuan. Yang pertama bagi Gadamer, untuk memahami berarti juga untuk merekonstruksi makna dari teks sesuai dengan yang dimaksud penulisnya. Di dalam proses pemahaman itu, pembaca dan penulis teks memiliki kesamaaan pengertian dasar (basic understanding) tentang makna dari teks tersebut. Misalnya saya membaca teks tulisan Immanuel Kant. Ketika membaca saya tidak hanya mencoba memahami secara pasif tulisan Kant, namun pemikiran saya dan pemikiran Kant bertemu dan menghasilkan persetujuan dasar.

Pemahaman atau pengertian dasar (basic understanding) itu disebutnya sebagai sache, atau subyek yang menjadi tema pembicaraan. Sache inheren berada di dalam setiap proses pembacaan ataupun proses dialog. Dalam arti ini proses sache tidak lagi berfokus untuk membangkitkan maksud asli dari penulis teks, melainkan berfokus pada tema yang menjadi perdebatan yang seringkali berbeda dengan maksud asli si penulis teks. Di dalam hermeneutika tradisional, tujuan utamanya adalah membangkitkan maksud asli pengarang. Namun di dalam hermeneutika Gadamer, maksud asli pengarang hanyalah hal sekunder. Yang penting adalah apa yang menjadi tema utama pembicaraan. Dan tema utama pembicaraan (subject matter) itu dapat terus berubah. Maksud asli pengarang tetap ada. Namun kita hanya dapat mengerti maksud tersebut, jika kita memiliki beberapa pengertian dasar yang sama dengan pengarang. Namun tetaplah harus diingat, bahwa fokus dari hermeneutika, atau proses menafsirkan, menurut Gadamer, adalah untuk membangkitkan makna tentang tema utama pembicaraan, dan tidak semata-mata hanya untuk menjelaskan maksud asli dari penulis teks.[3] Yang kedua menurut Gadamer, setiap bentuk persetujuan selalu melibatkan dialog, baik dialog aktual fisik, ataupun dialog ketika kita membaca satu teks tulisan tertentu. Di sisi lain persetujuan juga selalu melibatkan bahasa dan percakapan. Inilah yang disebut Gadamer sebagai aspek linguistik dari pengertian manusia (linguistic elements of understanding). Dalam arti ini untuk memahami berarti untuk merumuskan sesuatu dengan kata-kata, dan kemudian menyampaikannya dengan kejernihan bahasa. Bagi Gadamer elemen bahasa untuk mencapai pengertian ini sangatlah penting. bagi Bahkan ia berpendapat tindak bahwa pengalaman penafsiran (hermeneutic untuk experience) hanya dapat dicapai di dalam bahasa. Maka perlulah ditegaskan bahwa Gadamer, memahami selalu melibatkan kemampuan mengartikulasikannya di dalam kata-kata dan menyampaikannya di dalam komunikasi. Di dalam proses ini, peran bahasa sangatlah penting. Namun begitu bukankah tidak semua hal dapat disampaikan dengan kata-kata? Seringkali kita mengerti sesuatu, tetapi tidak bisa mengartikulasikannya secara jernih melalui bahasa. Misalnya saya mengerti sebuah simbol. Saya juga bisa memahami keindahan dari suatu karya seni. Saya juga bisa memahami keindahan suatu musik.

Tidak hanya itu seringkali perasaan dan bahkan kebenaran itu sendiri tidak dapat dikurung di dalam rumusan kata-kata. Di dalam bukunya yang berjudul The Truth and Method, Gadamer berpendapat bahwa para seniman, termasuk pelukis, pematung, dan pemusik, tidak pernah mampu menyampaikan apa yang mereka pikirkan dan rasakan dengan menggunakan kata-kata. Sebaliknya bagi mereka kata-kata adalah sesuatu yang sifatnya reduktif, karena menyempitkan makna di dalam rumusan yang tidak dinamis. Jika bahasa tidak lagi bermakna, lalu bagaimana proses pengertian atau memahami bisa terjadi? Menurut Gadamer bahasa memiliki arti yang lebih luas daripada sekedar kata-kata. Dalam beberapa kasus tarian dan bahkan diam juga bisa menjadi sebentuk bahasa yang menyampaikan pesan tertentu. Semua bentuk komunikasi itu bisa membuka ruang untuk penafsiran dari pendengar ataupun penerima pesan. Tentu saja orang bisa salah tangkap, sehingga tercipta kesalahpahaman. Namun hal itu terjadi, karena orang tidak mampu menyampaikan apa yang perlu disampaikan. Maka dari itu di dalam komunikasi, kita perlu memperhatikan juga apa yang tak terkatakan, di samping juga mendengarkan apa yang terkatakan. Dengan demikian walaupun sifatnya terbatas, namun bahasa, dalam arti luas, merupakan alat komunikasi yang universal untuk mencapai pemahaman.

Konsep Lingkaran Hermeneutis[4] Gadamer juga dikenal dengan argumennya soal proses penafsiran, atau yang disebutnya sebagai lingkaran hermeneutis. Argumennya begini setiap bentuk penafsiran selalu mengandaikan pengertian dasar tertentu. Pengertian dasar itu disebut Gadamer sebagai antisipasi. Konsep lingkaran hermeneutis ini sangatlah dipengaruhi oleh filsafat Heidegger. Oleh karena itu konsep lingkaran hermeneutis yang dirumuskan Gadamer sangatlah berbau fenomenologi. Seperti sudah sedikit disinggung, menurut Gadamer, setiap bentuk penafsiran untuk memperoleh pemahaman selalu melibatkan pemahaman dasar lainnya. Artinya untuk memahami kita juga memerlukan pemahaman. Tentu saja dari sudut logika, hal ini tidak bisa diterima. Logika berpikir menolak sebuah penjelasan atas suatu konsep yang terlebih dahulu mengandaikan konsep tersebut, seperti untuk

menafsirkan guna memahami sesuatu, orang perlu memiliki pemahaman. Namun jika dilihat secara fenomenologis, seperti yang dilakukan Heidegger dan Gadamer, hal itu mungkin. Dasar dari hermeneutika Gadamer adalah sebuah logika klasik, bahwa orang bisa memahami keseluruhan dengan terlebih dahulu memahami bagian-bagiannya. Hal yang sama dapat diterapkan untuk memahami suatu teks. Maksud utama dari keseluruhan teks dapat dipahami dengan berpusat pada bagian-bagian teks tersebut, dan sebaliknya bagian-bagian teks itu dapat dipahami dengan memahami keseluruhan teks. Tujuan utama Gadamer adalah untuk memahami teks di dalam kerangka berpikir yang lebih menyeluruh, dan bukan hanya terjebak pada apa yang tertulis atau terkatakan saja. Teks harus ditempatkan dalam konteks yang lebih luas yang tentunya melibatkan teks-teks lainnya. Ini adalah salah satu kriteria untuk mendapatkan pemahaman yang tepat, menurut Gadamer.[5] Pengandaian hermeneutika Gadamer adalah, bahwa keseluruhan (whole) dan bagian (parts) selalu koheren. Supaya dapat memperoleh pemahaman yang tepat, si pembaca teks haruslah memahami koherensi antara makna keseluruhan dan makna bagian dari teks tersebut. Setiap bentuk pemahaman juga mengandaikan adanya kesepakatan tentang tema apa yang sebenarnya ingin dipahami. Jika kesepakatan tentang tema apa yang sebenarnya sungguh dipahami ini tidak ada, maka proses penafsiran akan menjadi tidak fokus. Jika sudah begitu maka pemahaman yang tepat pun tidak akan pernah terjadi. Jika dilihat dengan kaca mata ini, maka konsep lingkaran hermeneutis yang dirumuskan Gadamer tetap mengandung unsur logika yang tinggi. Tidak hanya itu proses untuk memahami keseluruhan melalui bagian, dan sebaliknya, adalah proses yang berkelanjutan. Pemahaman adalah sesuatu yang harus terus menerus dicari, dan bukan sesuatu yang sudah ditemukan lalu setelah itu proses selesai. Dalam arti ini Gadamer memiliki perbedaan mendasar dari Heidegger. Obyek penelitian hermeneutik Heidegger adalah eksistensi manusia secara keseluruhan. Sementara obyek penelitian Gadamer lebih merupakan teks literatur. Gaya Heidegger adalah gaya eksistensialisme. Sementara Gadamer lebih berperan sebagai seorang filolog yang hendak memahami suatu teks kuno beserta kompleksitas yang ada di dalamnya.

Bagi Heidegger fokus dari pengertian manusia adalah untuk memahami masa depan dari eksistensi manusia. Sementara bagi Gadamer fokus dari pengertian adalah upaya untuk memahami masa lalu dari teks, serta arti sebenarnya dari teks tersebut. Juga bagi Heidegger proses menafsirkan untuk memahami sesuatu selalu mengandaikan pemahaman yang juga turut serta di dalam proses penafsiran tersebut. Artinya untuk memahami orang perlu untuk memiliki pemahaman dasar terlebih dahulu. Sementara bagi Gadamer konsep lingkaran hermeneutis mencakup pemahaman bagian-bagian melalui keseluruhan, dan sebaliknya. Maksud utuh dari teks dapat dipahami dengan memahami bagian-bagian dari teks tersebut. Dan sebaliknya bagianbagian dari teks dapat dipahami dengan terlebih dahulu memahami maksud keseluruhan dari teks tersebut. Di sisi lain seperti sudah disinggung sebelumnya, fokus dari proses penafsiran (hermeneutika) dari Heidegger adalah eksistensi manusia. Sementara fokus dari hermeneutika Gadamer adalah teks literatur dalam arti sesungguhnya.[6] Dalam arti ini fokus dari hermeneutika Heidegger adalah membentuk manusia yang otentik, yakni membantu menemukan tujuan dasar dari eksistensi manusia. Sementara bagi Gadamer fokus dari hermeneutika adalah menemukan pokok permasalahan yang ingin diungkapkan oleh teks. Namun keduanya sepakat bahwa musuh utama dari proses penafsiran untuk mencapai pemahaman adalah prasangka. Prasangka membuat orang melihat apa yang ingin mereka lihat, yang biasanya negatif, dan menutup mata mereka dari kebenaran itu sendiri, baik kebenaran di level eksistensi manusia, maupun kebenaran yang tersembunyi di dalam teks. Walaupun banyak memiliki perbedaan, namun Gadamer dan Heidegger setidaknya identik dalam satu hal, yakni bahwa proses lingkaran hermeneutik sangatlah penting di dalam pembentukan pemahaman manusia. Dengan demikian kita bisa memastikan, bahwa walaupun filsafat Heidegger sangat mempengaruhi pemikiran Gadamer, namun keduanya tidaklah sama. Gadamer memang mendapatkan banyak sekali inspirasi dari Heidegger. Namun ia kemudian mengembangkannya serta menerapkannya pada hal yang lebih spesifik, yakni proses penafsiran tekstual di dalam literatur dan filsafat. Inilah inti dari Hermeneutika Gadamer. Ia memberikan kepada kita prinsip-prinsip untuk menafsirkan teks-teks dari masa lalu. Dan dengan itu ia membantu

kita memahami apa artinya menjadi manusia dengan berdasarkan pada historisitas kehidupan itu sendiri.***

Paul Ricoeur Ricoeur yang berlatar belakang pandangan Katholik, memiliki prespektif kefilsafatan yang beralih dari analisis eksistensial ke analisis eidetik (pengamatan yang sedemikian mendetil), fenomenologis, historis, hermeneutik hingga pada akhirnya semantik. Ia mengatakan bahwa pada dasarnya keseluruhan filsafat itu adalaha interpretasi terhadap interpretasi, seperti yang dikutip dari Nietzsche, ia menyatakan bahwa hidup itu sendiri adalah interpretasi (Ricoeur, 1974:12) Bilamana ada pluralitas makna, maka dibutuhkan sebuah interpretasi, demikian pula jika simbol-simbol mulai dilibatkan. Setiap interpreatsi adalah usaha untuk membongkar makna-makna yang masih terselubung.

Menurut Riceour, setiap kata merupakan sebuah simbol yang penuh dengan makna dan intensi yang tersembunyi. Jadi tidaklah heran jika menurut Riceour tujuan hermeneutik adalah menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara membuka selubung daya-daya yang belum diketahui dan tersembunyi di dalam simbolsimbol tersebut (Montifiore, 1983:192) Salah satu sasaran yang hendak dituju oleh berbagai macam hermeneutik adalah perjuangan melawan distansi kultural, yaitu penafsir harus mengambil jarak supaya ia dapat membuat interpretasi dengan baik. Jika pembahasan interpretasi hanya terbatas pada simbol-simbol maka ini menjadi terlalu sempit, Riceour kemudian memperluas definisi tersebut dengan menambahkan perhatian kepada teks. Teks sebagai penghubung bahasa isyarata dan simbol-simbol dapat membatasi ruang lingkup hermeneutik karena budaya oral dapat dipersempit. Tugas utama hermeneutik di satu pihak adalah mencari dinamika internal yang mengatur struktural kerja di dalam suatu teks, dan di lain pihak mencari daya yang dimiliki kerja teks itu untuk memproyeksikan diri keluar. Definisi pasti tentang hermeneutik menurut Ricoeur adalah teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap teks (Ricoeur, 1985:43).

Baginya manusia pada dasarnya adalah bahasa dan bahas itu sendiri merupakan syarat utama bagi semua pengalaman manusia. Penjelasan struktural suatu teks cenderung bersifat obyektif, sedangkan penjelasan

hermeneutik memberi kita kesan subyektif, di sinilah didapati dikotomi antara obyektifitas dan subyektifitas yang menimbulkan problem. Dikotomi antara penjelasan dan pemahaman sangat tajam, yaitu untuk memahami sebauh percakapan kita harus kembali pada struktur permulaannya. Kebenaran dan metode dapat menimbulkan proses dialektis. Otonomi teks ada tiga macam: intensi atau maksud pengarang, situasi kultural dan kondisi sosial pengadaan teks, dan untuk siapa teks itu dimaksudkan. Menurut Ricoeur ada tiga langkah pemahaman, yaitu yang berlangsung dari penghayatan atas simbol-simbol ke gagasan tentang berpikir dari simbol-simbol. Langkah pertama adalah langkah simbolik atau pemahaman dari simbol ke simbol, langkah kedua adalah pemberian makna oleh simbol serta penggalian yang cermat atas makna, langkah ketiga adalah langkah yang benar-benar filosofis yaitu berpikir dengan menggunakan simbol sebagai titik tolaknya.

Pemahaman yang pada dasarnya adalah cara berada (mode of being) atau cara menjadi hanya bisa terjadi pada tingkat pengetahuan yaitu pada teori tentang pengetahuan atau Erkenntnistheorie. Ada empat tema yang diketengahkan oleh Ricoeur, tema pertama adalah tidak ada titik nol saat kritik tuntas dapat mulai dilakukan. Tema kedua adalah tidak ada pandangan umum menyeluruh yang memberi kita kemungkinan untuk memahami totalitas akibat sejarah hanya dalam waktu sekejap saja. Tema ketiga adalah jika tidak ada pandangan ang menyeluruh, maka tidak akan ada situasi yang secara mutlak membatasi kita. Tema keempat adalah perpaduan antarcakrawala.

Percikan Gagasan Paul Ricoeur tentang Hermeneutik 1. Latar Belakang Pemikiran Paul Ricoeur tentang Hermeneutik Paul Ricoeur adalah filsuf yang menekankan pandangan Katolik. Ada dugaan bahwa keseluruhan filsafatnya pada akhirnya terarah kepada hermeneutik, terutama pada interpretasi. Bagi dia sebenarnya keseluruhan filsafat merupakan interpretasi terhadap interpretasi. Bilamana terdapat pluralitas makna, maka di situ interpretasi dibutuhkan. Dia juga menegaskan bahwa filsafat pada dasarnya adalah sebuah hermeneutik, yaitu kupasan tentang makna yang tersembunyi dalam teks yang kelihatan mengandung makna. Setiap interpretasi merupakan usaha untuk membongkar makna-makna yang masih terselubung atau usaha membuka lipatan-lipatan dari tingkat-tingkat makna yang terkandung dalam makna kesusastraan. Hermeneutik dan interpretasi tidak pernah lepas dari simbol-simbol. Salah satu simbol adalah bahasa. Di sini batasan pembahasannya terletak pada usaha menafsirkan bahasa tulisan yang tertuang dalam kata-kata. Kata-kata sebagai sebuah simbol

memiliki makna dan intensi tertentu. Maka, tujuan hermeneutik adalah menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol (kata-kata) dengan cara membuka selubung daya-daya yang belum diketahui dan tersembunyi di dalam simbol-simbol tersebut. Adanya simbol, mengundang kita untuk berpikir sehingga simbol itu sendiri menjadi kaya akan makna dan kembali kepada maknanya yang asli. Hermeneutik membuka makna yang sesungguhnya, sehingga dapat mengurangi keanekaan makna dari simbolsimbol. Jadi, kekayaan sebuah simbol justru ditemukan dalam maknanya yang sejati sehingga tidak menimbulkan multi-tafsir. 2. Kata dan Makna Telah kita lihat bersama bahwa, sebuah kata adalah juga sebuah simbol, sebab keduaduanya sama-sama menghadirkan sesuatu yang lain. Setiap kata pada dasarnya bersifat konvensionaldan tidak membawa maknanya sendiri secara langsung bagi pembaca atau pendengarnya. Lebih jauh lagi, orang yang berbicara membentuk polapola makna secara tidak sadar dalam kata-kata yang dikeluarkannya. Pola-pola makna ini secara luas memberikan gambaran tentang konteks hidup dan sejarah orang tersebut. Sebuah kata mengandung konotasi yang berbeda bergantung pada konteks pemakainya, misalnya kata pohon akan mempunyai makna yang bermacam-macam bergantung pada pembicaranya: apakah ia seorang penebang kayu, penyair, ekologist, petani dan sebagainya. Bahkan meskipun benar juga bahwa makna dapat diturunkan dari konteks yang terdapat dalam sebuah kalimat, namun konteks pun bermacammacam menurut zamannya. Karena itu, istilah-istilah memiliki makna ganda. Dasarnya adalah tradisi dan kebudayaan setempat. Menurut Ricoeur, agar bisa sampai kepada penafsiran yang tepat, maka seorang penafsir harus mengambil jarak tertentu dengan obyek tafsiran. Inilah yang disebut oleh Ricoeur sebagai perjuangan melawan distansi kultural. Usaha ini tidak mudah. Acapkali seorang penafsir membawa juga struktur-struktur yang sudah jadi tentang obyek tafsir sehingga sebelum menafsir sudah ada warna yang diberikan kepada obyek tersebut. Kalau sampai pewarnaan itu terjadi maka ada kemungkinan usaha untuk mencapai makna yang sejati akan menemui kendala. Kita bisa tersesat dengan memberi makna (bisa lain sama sekali) kepada obyek dan bukannya memetik makna yang sudah ada dalam obyek tersebut. 3. Ruang Lingkup Hermeneutik Bila hermeneutik didefinisikan sebagai interpretasi terhadap simbol-simbol, kiranya terlalu sempit. Ricoeur memperluas definisi tersebut dengan ajakan memberi perhatian kepada teks. Teks sebagai penghubung bahasa isyarat dan simbol-simbol dapat membatasi ruang lingkup hermeneutik karena budaya oral dapat dipersempit. Ia menyatakan bahwa tugas utama hermeneutik ialah di satu pihak mencari dinamika internal yang mengatur struktural kerja teks itu untuk memproyeksikan diri ke luar dan

memungkinkan halnya teks itu muncul ke permukaan. Dalam hal ini kita sebaiknya mengikuti definisi yang diajukan oleh Ricoeur tentang hermeneutik, yaitu teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap teks. Setiap kali kita membaca sebuah teks selalu berhubungan dengan masyarakat, tradisi ataupun aliran yang hidup dari bermacam-macam gagasan. Walaupun demikian, sebuah teks harus kita tafsirkan dalam bahasa yang tidak pernah tanpa pengandaian dan diwarnai dengan situasi kita sendiri dalam kerangka waktu yang khusus. Kesenjangan ini mendorong Ricoeur untuk mengatakan bahwa sebenarnya sebuah teks itu mempunyai tempat di antara penjelasan struktural dan pemahaman hermeneutik yang berhadapan satu dengan yang lain. Bagaimana dilema ini kita pecahkan? Sebuah teks pada dasarnya bersifat otonom untuk melakukan dekontekstualisasi (= proses pembebasan diri dari konteks), baik dari sudut sosiologis maupun psikologis, serta untuk melakukan rekontekstualisasi (= proses masuk kembali ke dalam konteks) secara berbeda didalam tindakan membaca. Dikotomi antara penjelasan dan pemahaman itu tajam, yaitu untuk memahami sebuah percakapan kita harus kembali pada struktur permulaannya. Kebenaran dan metode dapat menimbulkan proses dialektis. Tugas hermeneutik menjadi sangat berat sebab hermeneut harus membaca dari dalam teks tanpa masuk atau menempatkan diri dalam teks tersebut dan cara pemahamannya pun tidak dapat lepas dari kerangka kebudayaan dan sejarahnya sendiri. Maka, untuk dapat berhasil dalam usahanya, ia harus dapat menyingkirkan distansi yang asing, harus dapat mengatasi situasi dikotomis, serta harus dapat memecahkan pertentangan tajam antara aspek-aspek subyektif dan obyektif. Otonomi teks ada tiga macam: intensi atau maksud pengarang, situasi kultural dan kondisi pengadaan teks, dan untuk siapa teks itu dimaksudkan. Atas dasar otonomi ini, maka yang dimaksudkan dengan dekontekstualisasi adalah bahwa materi teks melepaskan diri dari cakrawala intensi yang terbatas dari pengarangnya. Teks tersebut membuka diri terhadap kemungkinan dibaca secara luas, di mana pembacaannya selalu berbeda-beda, inilah yang dimaksudkan dengan rekontekstualisasi. Sebagai contoh, Kitab Suci Injil menyajikan contoh-contoh teks yang berasal dari zaman yang berbeda dengan zaman kita, namun masih juga kita rasakan relevan atau dapat kita terapkan pada semua hikayat dan persitiwa pada masa mendatang. Jika Injil tidak dapat diterapkan pada zaman kita ini, maka tidak mungkin kita sampai saat ini masih mendiskusikannya. Injil seringkali kita bayangkan sebagai sebuah kitab yang hidup, yang isinya dapat dinikmati oleh setiap generasi. Pembaca Injil tidak membaca ke dalam teks, melainkan ia merelakan dirinya dirasuki Injil. Inilah kiranya yang dimaksudkan oleh Ricoeur dengan pernyataannya: Memahami bukanlah berarti memproyeksikan diri ke dalam teks, melainkan membuka diri terhadapnya.

Pertanyaan kita sekarang adalah adakah interpretasi itu mempunyai titik akhir? Menurut Ricoeur, Tidak. Interpretasi selalu bersifat terbuka. Jika kita mendapat titik akhir sebuah interpretasi, ini berarti pemerkosaan terhadap interpretasi. 4. Refleksi Berdasarkan gagasan yang dikemukakan oleh Ricoeur kami menemukan faedah hermeneutik dalam kehidupan sehari-hari, khususnya bagi kita yang setiap harinya berhadapan dengan teks-teks kitab suci. Latar belakang Ricoeur sebagai penganut katolik yang setia menjadi cerminan bagi kami dalam mempelajari dan mendalami isi teks kitab suci. Ia membantu dalam menggali makna otentik dari sebuah teks. Bahwa perhatian kepada sebuah teks tidak sematamata terletak pada pemahaman hurufiah, tetapi mendalami aspek-aspek di balik teks yang kelihatan, misalnya tentang pengarang dengan situasi dan konteks kebudayaan dan orang-orang sezamannya beserta tujuan dan kepada siapa tulisan itu hendak diberikan. Selain itu, Ricoeur mengajak kita untuk tidak berhenti pada penemuan makna yang otentik dari sebuah teks. Lebih jauh ia mengingatkan kita untuk menangkap pesan atau relevansinya dengan konteks kehidupan kita sendiri. Dengan proses penafsiran seperti ini, maka benar bahwa tugas penafsiran itu tidak akan pernah berakhir. Setiap orang dari generasi ke generasi dengan situasi zamannya, akan terus menggali intensi dari teks yang satu dan sama dengan maknanya yang tetap otentik. Berakhirnya sebuah penafsiran justru terjadi jika orang tidak lagi mau berpikir. Dan bila orang tidak lagi mau berpikir, itu berarti ia menyangkal hakekatnya sebagai homo rationes. Pendahuluan Mengkaji aplikasi hermeneutika dalam tradisi Islam tidak terlepas dari tokoh Nars Hamid Abu Zayd. Pemikir ini sangat terkenal di dunia dan di Indonesia, juga menjadi rujukan para akademisi. Buku-bukunya telah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Adalah menarik menyimak bagaimana Nasr Hamid memandang teks al-Quran, sebagaimana dia paparkan dalam berbagai bukunya, terutama dalam Mafhum an-Nas Dirasah fii Uluum al-Quran dan Naqdu al-Khitab ad-Dini. Konsep Nasr Hamid ini membawa dampak pada metode penafsiran teks al-Quran, di mana ia mengkritisi metode tafsir Ahlu Sunnah yang menurutnya tidak sesuai dengan konteks kekinian. Tulisan ini akan coba menguraikan biorafi Nasr Hamid Abu Zayd, Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd; Teori Makna dan Signifikansi ( ) dan Posisinya dalam Hermeneutika Barat, Aplikasi Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd, dan Analisis Kritis Atas Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd. Biografi Nasr Hamid Abu Zayd lahir di Tantra, Mesir pada 10 Juli 1943. Dia menyelesaikan gelar BA pada 1972 konsentrasi Arabic Studies, gelar MA pada tahun 1977 dan PhD pada 1981 dengan konsentrasi Islamic Studies di Universitas Kairo. Dia bekerja sebagai dosen di Universitas yang sama sejak 1982. Pada tahun 1992, dia dipromosikan sebagai profesor, tetapi ditolak karena hasil kerja dan pemikirannya yang kontroversial,

diantaranya menghujat para sahabat, terutama Uthman Ibn Affan. Menurutnya, Utsman Ibn Affan, mempersempit bacaan Alquran yang beragam menjadi satu versi, Quraysh. [1] Belakangan ia divonis murtad, dikenal dengan peristiwa Qadiyyah Nasr Hamid Abu Zayd. Pemurtadan Nasr tidak berhenti sampai di situ, tetapi masih terus berlanjut hingga pengadilan banding Kairo menetapkan Nasr harus menceraikan istrinya. Tindakan ini menurutnya sebagai upaya melanggengkan hegemoni kaum Quraysh terhadap kaum muslimin. Semenjak peristiwa itu, dia meninggalkan Mesir dan menetap di Netherlands bersama istrinya. Awalnya, di Netherland Nasr menjadi profesor tamu studi Islam pada Universitas Leiden sejak 26 Juli 1995, hingga 27 Desember 2000 dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap di Universitas tersebut.[2] Nasr Hamid Abu Zayd merupakan ilmuwan muslim yang sangat produktif, Ia menulis lebih dari dua puluh sembilan (29) karya sejak tahun 1964 sampai 1999, baik berbentuk buku, maupun artikel. Ada sembilan karyanya yang penting dan sudah dipublikasikan, yaitu:

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

The al- Quran: God and Man in Communication (Lcidcn, 2000). Al-Khitab wa al-Tawil (Dar el-Beida, 2000) Dawair al-Kawf Qiraah fi al-Khitah al-Marah (Dar el-Beidah, 1999 ) AI-Nass. al-Sultah, al-Haqiqah: a/-Fikr al-Diniy bayna lrdaat al Marifah wa lradat al-Haymanah (Cairo, 1995) AI- Tafkir fi Zaman al- Tafkir: Didda al-.lahl wa al-Zayf wa al Khurafah (Cairo, 1995) Naqd al-Khitab al-Diniy (Cairo, 1994) Mafhum al-Nash: Dirasah fi Ulum Alquran (1994) (Cairo, 1994) Fa/safat a/-Tawi!: Dirasah fi a/-Tawi! al-Qur an ind Muhyi a/-Din Ibn Arabiy(Beirut, 1993) AI-lttijah al-Aqli fi al-Tafsir: Dirasah Qaqiyyat al-Majaz fi al -Qur an (Beirut, 1982)

Nasr Hamid Abu Zayd hidup dalam hegemoni wacana agama Islam yang terisolasi dari dunia ilmu pengetahuan Barat. Perhatiannya yang sangat besar di bidang interpretasi (tafsir) Alquran rnendorongnya untuk bereksplorasi dengan filsafat Barat, seperti rasionalisme, kritisisme, Fenomenologi dan hermeneutika. Hasil eksplorasinya memunculkan beragam tudingan miring. Tuduhan-tuduhan tersebut muncul sebagai reaksi terhadap tulisan-tulisan Nasr tentang interpretasi Alquran.[3]

Pemikiran Nasr yang kontroversial tersebut sebagai produk latar belakang pendidikan dan pemikiran keagamaannya. Meskipun Nasr sekolah di sekolah Teknik, bahkan ia pernah bekerja sebagai teknisi elektronik di Organisasi Komunikasi Nasional, tetapi ia telah hafal Al quran sejak usia 8 tahun. Barangkali ini yang menjadi penyebab mengapa ia memiliki perhatian yang cukup besar terbadap interpretasi Alquran. Sementara itu mengapa Nasr tertarik untuk menafsirkan Alquran dengan menggunakan teori kritik sastra? Hal ini dapat dimengerti karena Nasr mendapat gelar SA di bidang bahasa dan sastra Arab pada fakultas sastra Universitas Kairo. Kemudian ia melanjutkan studi di bidang yang sama di Universitas Amerika di Mesir. Selanjutnya ia juga concern melakukan kajian terhadap wacana keagamaan, karena studi pascasarjananya, baik S-2 maupun S-3 mengambil konsentrasi bahasa Arab dan Islamic Studies. Selain itu, sejak usia 11 tahun, ia juga bergabung dengan Ikhwan al-Muslimin. Ikhwan al-Muslim adalah organisasi Islam yang beranggotakan Islamis moderat. Bergabungnya Nasr dalam organisasi tersebut sedikit banyak berpengaruh terhadap cara pandangnya terhadap Islam. Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd : Teori Makna dan Signifikansi () Serta Posisinya dalam Hermeneutika Barat Kehadiran teks dalam tradisi keagamaan telah membawa pengaruh dan implikasi yang cukup besar bagi perkembangan intelektual, kebudayaan dan peradaban. Tradisi ArabIslam nampak memiliki tradisi teks yang cukup kuat ketimbang peradaban yang lain. Perhatian yang diberikan oleh para pengkaji Islam dalam menelaah tradisi Arab-Islam dari dulu sampai dewasa ini, banyak difokuskan kepada pembacaan teks-teks tersebut. Menurut Nasr Hamid Abu Zayd, hal ini dilatarbelakangi suatu asumsi bahwa peradaban dunia dapat diandaikan kepada tiga kategori, yaitu peradaban Mesir Kuno yang disebut peradaban (yang muncul) pasca kematiannya (hadlrah m bada al-maut ), peradaban Yunani disebut peradaban akal (hadlrah al-aql) , sedangkan peradaban Arab-Islam dikategorikan sebagai peradaban teks ( hadlrah an-nash).[4] Peradaban Arab-Islam disebut peradaban teks dalam pengertian sebagai peradaban yang menegakkan asas-asas epistemologi dan tradisinya atas suatu sikap yang tidak mungkin mengabaikan peranan teks di dalamnya. Kendati demikian, ini tidak berarti bahwa teks itu sendiri yang menumbuh-kembangkan peradaban atau meletakkan asasasas kebudayaan dalam sejarah masyarakat Muslim. Sesungguhnya faktor utama yang melandasi dan menjadi asas epistemologi dari suatu kebudayaan adalah proses dialektika antara manusia dengan realitasnya (jadal al-insn maa al-wqii) yang

meliputi aspek sosial, ekonomi, politik dan budaya pada satu sisi, dan proses dialog kreatif manusia yang terjalin dengan teks ( wa hiwruhu maa an-nash) pada sisi yang lain.[5] Realitas sebagai sebuah teks seperti konteks kesejarahan manusia, begitu pula teks-teks liturgis keagamaan yang lain seperti Alquran, hadis, kitab tafsir, syarah hadis, fiqih, tasawuf dan falsafah telah berperan sebagai instrumen yang melengkapi lahirnya kebudayaan dan peradaban masyarakat Arab-Islam. Hermeneutika berhubungan dengan problem penafsiran dan problem ini terfokus pada relasi antara teks dan penafsir. Nasr Hamid Ab Zayd menawarkan hermeneutika modern sebagai respons terhadap tradisi penafsiran teks klasik yang mengabaikan eksistensi penafsir. Teori penafsiran Nasr Hamid Ab Zayd bersifat objektif-historis dari teks, yaitu bahwa proses penafsiran dan kegiatan pengetahuan secara umum selalu ditujukan untuk mengungkapkan berbagai kenyataan yang memiliki keberadaan objektif di luar horison subjek pembacaan. Apabila horison pembaca membatasi sudut pandangnya, maka data-data teks tidak berposisi sebagai penerima pasif terhadap orientasi-orientasi subjek yang mengetahui. Hal ini berarti, bahwa pembacaan dan aktivitas intelektual yang benar pada umumnya, didasarkan pada dialektika ( )kreatif antara subjek dan objek. . 6].] Hal ini berarti bahwa pembacaan dan aktivitas intelektual yang benar pada umumnya didasarkan pada dialektika yang produktif dan kreatif antara subjek dan objek. Hubungan ini menghasilkan interpretasi baik pada level pengkajian teks maupun terhadap fenomena. Hermeneutika objektif-historis merupakan bentuk kritik terhadap pembacaan tendensius (talwn). Sementara ideologisasi dihasilkan dari kecenderungan subjektif-oportunistik (an-nazah a-tiyah an-nafiyah) dan telah menggugurkan sudut objektif teks dan historisitas teks, dan bentuk kritik terhadap kecenderungan positivistik-formalistik (annazah al-wadiyah asy-syakliyah) yang menyembunyikan orientasi-orientasi ideologis di bawah jargon objektif ilmiah (.) Hermeneutika objektif-historis Ab Zayd adalah gagasan kritis berdasarkan argumentasi sebagai berikut. Ab Zayd banyak memanfaatkan pendekatan linguistik melalui kritik sastra, karena karakter bahasa kitab suci dan historisitasnya dikaji melalui pendekatan linguistik yang dikonsepsikan oleh Ferdinand de Saussure dan pendekatan makna yang dibahas oleh Hirsch. Konsep parole dan langue dalam kategori semiotika diterapkan untuk membahas al-Qurn sebagai parole dan teks sebagai langue.[7] Teori interpretasi Ab Zayd dipengaruhi oleh hermeneutika E.D. Hirsch.[8] Hirsch menjelaskan keberadaan pengarang di hadapan berbagai pendapat yang mengabaikannya. Hirsch berpendapat bahwa pengabaian terhadap pengarang timbul dari konsep (imagination) yang menyatakan bahwa makna karya sastra akan berbeda dari satu kritikus ke kritikus yang lain, dari satu masa ke masa yang lain, bahkan menurut pengarangnya sendiri makna itu akan berbeda dari satu periode ke periode yang lain.[9] Menurut Ahmad Hasan Ridwan, untuk mengatasai problem yang dilematis ini, Hirsch membuat pembedaan atau pemisahan antara apa yang disebut makna (meaning) dan apa yang disebut magz (signifikansi). Hirsch berpendapat bahwa signifikansi sebuah teks sastra terkadang berbeda-beda atau beragam, tetapi maknanya tetap satu. Dalam hal ini, dia berpendapat adanya dua tujuan yang terpisah yang masing-masing terkait dengan dua bidang yang berbeda. Bidang dan tujuan kritik sastra adalah mencari signifikansi teks sastra yang sesuai dengan satu masa tertentu, sedangkan teori

penafsiran bertujuan untuk mencari makna teks sastra itu. Yang tetap adalah makna, yang dapat dicapai melalui analisa teks, sedangkan yang berubah-rubah adalah magz (signifikansi).[10] Makna (dalalah) ada dalam karya itu sendiri. Sedangkan signifikansi (magz) berdasarkan keberagaman jenis relasi yang ada antara teks dengan pembaca, Ketika makna teks dapat berubah sesuai dengan pengarangnya, maka sebenarnya yang dimaksud yang berubah adalah magz. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa pengarang mentransformasikan dirinya kepada pembaca sehingga merubah hubungan pengarang dengan teks.[11] Makna yang dikehendaki pengarang berbeda dengan makna yang tersimpan dalam teks. Karenanya, menurut Nasir Hamid Abu Zayd sebagaimana juga pendapat Hirsch, yang harus diperhatikan dalam teks adalah makna teks, bukan apa yang dikehendaki pengarang, atau apa yang dimaksudkannya, atau apa yang ingin diekspresikannya.[12] Menurut Ahmad Hasan Ridwan, dalam hal ini, Hirsch sependapat dengan Betti mengenai pentingnya fokus hermeneutika pada bidang kajiannya tentang makna teks agar sampai kepada tafsir objektif. Penafsir tidak memaksakan pendapatnya masuk ke dalam teks. Betti hendak mengembalikan hermeneutika pada keadaan alaminya, sebagaimana Scheleirmacher memfokuskannya pada usaha memahami teks. Baik Betti maupun Hirsch berpendapat bahwa filologi adalah metode yang paling ideal untuk menafsirkan teks.[13] Penjelasan di atas menggambarkan, bahwa kelihatannya pemikiran hermeneutika Nasir Hamid Abu Zayd cenderung pada sintesa dari model keterpusatan kepada teks (text centered) dan keterpusatan pada penafsir (reader centered). Lahirnya makna tidaklah berasal dari teks itu semata-mata, akan tetapi melalui proses dialektika antara teks dengan manusia sebagai objek teks, seperti juga yang terjadi dari relasi antara teks dengan kebudayaan sebagai relasi dialektis yang saling menguatkan, dan satu sama lain mengkombinasikan dirinya pada saat memunculkan wacana, pemikiran dan ideologi. Akal pikiran manusialah yang melahirkan makna dan berbicara atas nama teks, sedangkan teks itu sendiri tidak berbicara. Sehingga otoritas itu dapat dikatakan sebagai produk dari proses dialektika.[14] Dengan demikian, dalam menafsirkan teks, Nasir Hamid Abu Zayd bersifat dekonstruktif dengan menempatkan teks terpisah dari pengarangNya, dan dia istilahkan dengan kematian pengarang (maut al-muallif),[15] atau the death of authoroleh Derrida. [16] Berikutnya, peran pemaknaan secara mutlak diserahkan pada pembaca teks (reader centered), dengan segala aspek sosial dan latar belakang historisnya. Salah satu karakteristik tipikal dari pengaruh sosio-kultural terhadap karakteristik Alquran bahwasanya dalam proses pembentukan teks, Alquran tidak bisa keluar dari kerangka kebudayaan bangsa Arab saat itu, misalnya, dengan pengaruh teks-teks syair bangsa Arab. Karakter dan corak suatu teks akan senantiasa menggambarkan dan merefleksikan struktur budaya ( bunyah as-saqfah) dan alam pikiran ( state of mind) di mana ruang dan waktu teks tersebut dibentuk.[17] Ketika proses interaksi kebahasaan berlangsung, antara penutur dan penerima harus terdapat kerangka yang sama sebagaimana disebut di muka. Akan tetapi dalam realitas pragmatisnya hal itu sulit terjadi. Sebab proses komunikasi dalam bingkai bahasa adalah menyampaikan pesan dalam bentuk teks. Ini akan mengakibatkan terjadinya perbedaan antara sistem/logika bahasa dengan sistem/logika teks yang keduanya itu dibatasi oleh pesan dari ideologi si penutur. Sedangkan si penerima memiliki kemungkinan dengan sistem/logika bahasanya untuk membentuk kerangka interpretatif ( al-ithr at-tafsr ) tersendiri

terhadap pesan yang disampaikan si penutur. Melalui sistem/logika teks, ideologi si penerima masuk untuk memberikan penilaian. Pada tataran inilah kemudian terjadinya reduksi atau bahkan kemungkinan distorsi terhadap pesan, baik oleh penutur maupun penerima. Tentunya ini dapat juga terjadi ketika melakukan interpretasi terhadap teks Alquran. Karenanya menurut Nasr Hamid Abu Zayd, bahasa menjadi dasar sebagai sumber peafsiran dan penta`wilan.[18] Ia menawarkan dan memperkenalkan pendekatan modern dalam memahami teks.[19] Dalam pendekatan modern, tugas hermeneutika tidak hanya menentukan prinsip-prinsip penafsiran umum, tetapi juga mengungkapkan cita-cita yang sesuai bagi penafsiran.[20] Ia mengajak pembaca untuk mempertimbangkan kembali asumsi-asumsi pembaca tentang apa itu membaca, menafsirkan, atau memahami teks. Fenomena ini kemudian melahirkan istilah baru dalam tradisi penafsiran, yakni pembacaan (qirat).[21]untuk menandai proses penemuan makna, sebuah ungkapan tulisan atau teks terdiri atas pengarang, teks dan pembaca.[22] Selain itu, Nasr Hamid Abu Zayd dengan meminjam teori hermeneutika Barat E.D. Hirsch Jr.,[23] juga memperkenalkan teori makna (dallah) dan signifikansi (magz) dalam upaya memahami teks. Pembedaan antara makna dan signifikansi terdiri dari dua konsep. Pertama, makna memiliki watak historis, yaitu bahwa ia tidak mungkin diungkapkan tanpa pemahaman yang memadai terhadap konteks internal linguistik teks dan konteks sosial-budayanya, sementara signifikansi memiliki watak kekinian, yaitu bahwa ia merupakan hasil pembacaan yang berbeda dengan masa terbentuknya teks. Kedua, makna secara relatif memiliki watak yang stabil dan mapan, sementara signifikansi bersifat dinamis seiring dengan horison pembacaan yang terus berubah.[24] Selanjutnya beliau membedakan tiga tingkatan dallah. Pertama, dallah yang merupakan saksi sejarah yang tak dapat dicarikan tawl dan magz-nya, masalah yang berkaitan dengan ayat-ayat perbudakan, hubungan muslim dan non muslim (ahl alkitab), sihir, hasud, jin dan setan. Kedua, dallah yang dapat ditawilkan dengan majz, seperti ayat-ayat kehambaan (ibdiyah) bukan penghambaan (ubdiyah). Ketiga, dallah yang dapat diperluas dengan pencarian magz, seperti ayat-ayat kewarisan untuk wanita. Dari magz ini, teks dapat terus berkembang, sebagaimana Ab Zayd menjelaskan : : 25].] tiga level makna dalam teks-teks agama. Level pertama adalah level makna yang hanya merupakan bukti-bukti historis yang tidak dapat diinterpretasi secara metaforis atau lainnya; level kedua adalah level makna yang dapat diinterpretasi secara metaforis; dan level ketiga adalah level makna yang dapat diperluas atas dasar signifikansi yang dapat disingkapkan dari konteks kultur-sosial di mana teks-teks tersebut bergerak, dan melalui produktivitas makna dari teks-teks tersebut. Pembedaan antara makna dan sigifikansi di dalam menginterpretasi teks bagaikan dua sisi mata uang. Hal itu berlangsung karena signifikansi tidak terlepas dari sentuhan makna, sebagaimana signifikansi mengarah pada dimensi makna. Signifikansi mencerminkan tujuan dan sasaran dari tindakan pembacaan, maka tujuan tersebut dapat dicapai hanya melalui penyingkapan makna. Hermeneutika Ab Zayd menurut Ahmad Hasan Ridwan,[26] bermula dari proses pemahaman terhadap suatu teks secara

bolak-balik antara dallah dan magz, suatu pemahaman yang dimulai dari kenyataan sekarang (dalam rangka mencari magz untuk menemukan arti asal (dallah aliyah) dengan cara penelusuran intelektual ke masa lalu (past time) untuk memasuki ruangruang historis. Teks muncul di masa lalu (past time), dan kembali ke masa kini (present time) untuk mendapatkan makna baru yang hidup (produktif). Nilai baru yang dimaksud adalah fusi horison untuk future yang hasilnya digunakan untuk membangun kembali magz secara terus menerus.[27] Teori tawl yang ditawarkan Ab Zayd merupakan proses gerak dialektis (gerak bandul) antara makna (dallah) dan signifikansi (magz), antara masa lalu dan masa kini, dan antara teks dan pembacanya. Gerak dialektis ini menghasilkan pemahaman terhadap suatu teks secara bolak-balik antara dallah dan magz, sebagai suatu pemahaman yang dimulai dari kenyataan sekarang (dalam rangka mencari magz) untuk menemukan arti asal (dallah aliyah) ketika teks itu muncul di masa lalu, dan hasil temuan ini digunakan untuk membangun kembali magz dan begitu proses selanjutnya. Proses ini tidak boleh berhenti pada makna dalam pengertian historis partikularnya, tetapi proses ini harus menyingkapkan signifikansimagz yang memungkinkan untuk membangun pondasi kesadaran ilmiah atas dasar signifikansi tersebut.[28] Aplikasi Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd

Jika aplikasi teori hermeneutika Syahrr dikenal dengan istilah intertekstualitas dengan teknik sintagmatis-paradigmatis untuk menangkap pesan yang terkandung dalam teks al-Qurn,[29] dan Fazlur Rahman dikenal dengan teori double movement.[30]Kemudian Hermeneutika Arkoun berusaha untuk memilah dan menunjukkan mana teks pertama atau teks pembentuk dan mana teks hermeneutika, [31] dan kelihatannya dipengaruhi teori hermeneutika post-strukturalis Michel Foucault, sehingga ia menggunakan metode dekonstruksi dan analisa arkeologis.[32] Maka aplikasi teori Nasr Hamid Abu Zayd berangkat dari teori makna (dallah) dan signifikansi (magz) sebagaimana dikemukakan sebelumnya dan contoh cara kerjanya sebagai berikut. Poligami dalam wacana Alquran mempunyai level makna ketiga, di mana pemahamannya haruslah melampaui makna historisnya dengan menguak signifikansi masa kininya dan mampu menguak dimensi yang tak terkatakan dari suatu pesan. Dalam masalah poligami, Abu Zayd berargumentasi sebagai berikut: 1. Kesadaran akan historisitas teks keagamaan adalah teks linguistik dan bahasa sebagai produk sosial dan kultural. 2. meletakkan teks dalam konteks Alquran secara keseluruhan terhadap konsep adil. Dengan melakukan ini, Abu Zayd berharap bahwa yang tak terkatakan atau yang implisit dapat diungkapkan. 3. Poligami dibolehkan dalam Alquran pada hakikatnya adalah sebuah pembatasan dari poligami yang tak terbatas yang telah dipraktikan sebelum datangnya Islam. [33]

Gambar :[34] No. Makna /Dilalah Poligami

Praktik Islam Sikap poligami pra-membatasi dalam islam :poligami poligami poligami tidakempat istritidak terbatas secara adil mungkin: monogami ditekankan

Yang tak terkatakan adilTujuan akhir legislasiPoligami Islam: monogami dilarang

Signifikansi/maghza

Analisis Kritis Atas Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd Pendekatan hermeneutika yang dikembangkan kalangan modernis semisal Nasr Hamid Abu Zayd yang merupakan upaya untuk mengembangkan pendekatan dalam memahami Alquran banyak ditentang di kalangan umat Islam. Adnin Armas misalnya, [35] mengemukakan bahwa terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara hermeneutika di satu sisi, dan tafsir tawil di sisi lain sehingga tidak tepat digunakan untuk mengkaji Alquran. Perbedaan tersebut terutama dalam sifat alamiahnya; otoritas dan keaslian teks; serta dari sisi kebakuan bahasa dan makna dalam memaknai kitab suci. Ketidaksesuaian ini dapat dilihat dari beberapa unsur berikut. Pertama, hermeneutika secara jelas menyamarkan kedudukan teks-teks suci agama; karena memang pada awalnya hermeneutika ditujukan untuk menjembatani kewibawaan dan keaslian teks Bibel yang bermasalah. Kedua, penentuan kontekstual terhadap makna dengan mengesampingkan kemapanan bahasa dan susunan makna dalam bahasa (semantic structures), menyebabkan kosa kata dalam teks kitab suci selalu permisif untuk disusupi berbagai dugaan (guess/conjecture), pembacaan subjektif dan pemahaman yang hanya mendasarkan pada relativitas sejarah. Ketiga, memisahkan makna antara yang normatif dan yang historis di satu sisi dan menempatkan kebenaran (truth) secara kondisional menurut budaya tertentu dan suasana historis di sisi lain, akan cenderung pada paham sekuler. Oleh karena pertimbangan yang diambil pemikiran keagamaan lebih berorientasi pada Pencipta Teks (Allah), yang tidak memihak pada supremasi data empiris, maka dengan sendirinya akan ditolak oleh pendekatan kesadaran historis-ilmiah dalam memahami teks-teks keagamaan. Pendekatan kesadaran historis-ilmiah menurut Nasr Abu Zayd cenderung kepada apa yang dihasilkan oleh pembaca teks yang memiliki perangkat ilmiah kekinian untuk menjadi hakim dalam mewarnai interpretasi teks keagamaan. Maka bagi Nasr Hamid Abu Zayd, teks bukan lagi milik pengarangnya, tapi sudah menjadi pemilik para pembacanya. Selain itu, klaim adanya dikhotomi antara yang mutlak dan yang nisbi; antara Alquran dan tafsirnya; antara agama dan pemikiran keagamaan, seperti yang dikemukakan oleh Nasr Hamid Abu Zayd akan membuka beberapa konsekwensi serius. Pertama,kebenaran al-Quran hanya dimiliki Tuhan saja. Sehingga saat kebenaran itu sampai pada manusia, ia menjadi kabur, sebab manusia tidak pernah tahu apa maksud Tuhan dalam al-Quran. Pemikiran seperti ini berarti bahwa Tuhan tidak pernah berniat menurunkan al-Quran untuk manusia. Kedua, mengingkari tugas Nabi yang diutus untuk menyampaikan dan menjelaskan wahyu. Ketiga, menyeret pada

pengertian bahwa seolah-olah semua ayat al-Quran tidak memiliki penafsiran yang tetap dan disepakati. Bahkan semua penafsiran dipengaruhi oleh kepentingan penafsir dan situasi psiko-sosialnya. Keempat, menolak otoritas keilmuan, syarat dan kaidah dalam menafsirkan al-Quran, sebab setiap orang berhak menafsiri al-Quran dengan kualitas yang sama nisbinya. Kelima, membatalkan konsep dakwah dalam Islam, karena semua perintah dan larangan dalam al-Quran bersifat nisbi yang tidak harus dilaksanakan. Maka akibatnya umat Islam tidak wajib melaksanakan perintah ayat dakwah: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu (QS. Al-Nahl: 125). Sebab ayat tersebut akan dipertanyakan lagi, jalan Tuhan yang mana? Kalau Islam, Islam yang mana? Islam Muhammadiyyah, NU, PERSIS, PKS atau Islam apa?Keenam, berlawanan dengan konsep ilmu dalam Islam. Sebab definisi ilmu dalam Islam adalah sifat yang dapat menyingkap suatu objek, sehingga tidak menyisakan ruang keraguan; dan berakhir pada keyakinan. Sementara relativisme selalu bermuara pada kebingungan. Ketujuh, membubarkan konsep amar maruf nahi munkar. Sebab paham relativisme akan menisbikan batasan antara yang maruf dan yang munkar, hingga akhirnya menjadi kabur dan samar. Paham relativisme akan mengatakan bahwa yang maruf menurut sebagian orang, bisa jadi munkar bagi sebagian lainnya. Padahal Nabi SAW telah mengingatkan kaum muslimin untuk menjauhi hal-hal yang bersifat syubhat (samar). Karenanya menurut Hendri Sholahudin, Andaian nisbinya tafsir secara mutlak, tentu sulit diterima akal yang jernih. Adanya perbedaan dalam penafsiran al-Quran, bukan berarti penafsiran itu mutlak nisbi. [36] Penggunaan hermeneutika yang menghasilkan asumsi historisitas Alquran dengan dalih bahwa perbuatan Tuhan bila telah teraktualisasi dalam sejarah, maka harus tunduk pada peraturan sejarah, sejatinya telah menimbulkan konsekwensi yang rumit untuk diterima akal sehat. Apakah dengan demikian Tuhan tunduk mengikuti kaedah peraturan alam yang diciptakan-Nya sendiri? Apakah kemudian wahyu dapat diseret untuk mengikuti kemauan realitas sejarah yang berkembang? Karenanya menurut Adian Husaini,[37] konsep Alquran yang diuraikan Nasr Hamid Abu Zayd di atas bukan hanya bertentangan dengan pengertian Alquran yang dikenal oleh umat, namun telah membubarkan konsep wahyu dalam Islam. Sebab dengan corak pemahaman ala Abu Zayd bahwa kemutlakan Alquran dan sakralitasnya telah sirna dan menjadi teks manusia ketika masuk dalam pemahaman Nabi, diaplikasikan dalam kehidupan dan disampaikan kepada umatnya, akan membatalkan konsep wahyu yang dikenal dalam Islam. Semua umat Islam sepakat bahwa pengertian Alquran adalah Firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW secara lafzhan wa manan (lafazh dan maknanya) dengan perantara Jibril AS, terjaga dalam mushaf, kemudian disampaikan kepada para Sahabat dan diwariskan dari generasi ke generasi secara mutawatir (recurrence) tanpa keraguan sedikitpun. Membacanya adalah ibadah, di dalamnya terkandung berbagai mukjizat, petunjuk dan ilmu pengetahuan. Sedangkan dalam dataran epistemologis (epistemic level), Abu Zayd dan kelompok modernis lainnya yang menerapkan metode historis (historical methodology), baik dinyatakan secara eksplisit atau tidak, sebenarnya telah menolak sumber ketuhanan (the divine source) terhadap Alquran yang mereka anggap sebagai realitas holistik (the holistic reality) yang dihasilkan dari metodologi penelitian ilmu-ilmu sains. Pernyataan Abu Zayd bahwa Alquran adalah produk budaya, fenomena sejarah dan teks linguistik membawa pengertian bahwa Alquran dihasilkan secara kolektif dari serangkaian faktor politik, ekonomi dan sosial. Atau dengan kata lain, Alquran adalah hasil pengalaman individual yang diperoleh Nabi Muhammad dalam waktu dan tempat tertentu (specific time-space

context), dimana latar belakang sejarah saat itu mengambil peranan inti dalam mewarnai pemikiran beliau dan bahasa sebagai perangkat ungkapan sejarah (expressional tool of history). Dengan demikian, memahami agama dengan cara menundukkannya dalam ruang sejarah, bahasa dan budaya yang terbatas adalah watak dasar hermeneutika yang dikembangkan oleh peradaban Barat yang tidak sejalan dengan Islam. Sebagai pembaca yang menjadi hakim dalam memaknai teks, Nasr Hamid Abu Zayd menganjurkan untuk mengunci firman Tuhan dalam ruang dan waktu. Kemudian membatasi makna Alquran menurut zaman tertentu dalam sejarah. Dengan cara ini, pembaca teks dapat memahami teks secara ilmiah dan tidak terpasung, baik oleh pandangan dogmatis-sektarian (madzhab minded), permasalahan ideologis (imankufur), mistis, tabu (desakralisasi) maupun khurafat. Sebaliknya, dalam pandangan Nasr Hamid Abu Zayd, corak pendekatan ulama klasik dalam pembacaan teks, terikat dengan pendekatan asbab al-nuzul dan naskh wa mansukh adalah terpasung dan tidak ilmiah. Sebab meskipun kedua pendekatan ini juga memperhatikan data empiris, namun pada kenyataannya data empiris yang ditampilkan tersebut masih diwarnai oleh peran Pencipta Teks. Dengan demikian, kecenderungan ulama klasik yang lebih memposisikan teks agama sebagai hakim daripada akal, dipandangnya sebagai corak pendekatan ideologis.Kecenderungan Abu Zayd yang lebih mengesampingkan Sang Pembuat Teks, kemudian menjadikan pembaca teks dengan segala kondisi sosial, politik dan budaya yang melatarbelakanginya, sebagai hakim yang menentukan arah pemaknaan teks, sebenarnya adalah bentuk pengutamaannya terhadap realitas lahiriyah (al-waqi al-madi, material reality). Sebab baginya, segala aktivitas berfikir yang selalu terbayang-bayangi oleh realitas ketuhanan dan metafisika (akidah, pahala, siksa, syariah dan akherat) dipandang sebagai bagian dari mitos (usthurah). Maka dengan demikian Abu Zayd lebih mengutamakan realitas (al-waqi) daripada pikiran. Dan baginya, teks adalah hasil dari sebuah realitas. Maka setiap perubahan yang terjadi dalam realitas, menuntut perubahan dalam pembacaan teks, sampai akhirnya terjadi kesepaduan antara teks dan realitas (zaman dan tuntutannya). Sehingga menurut Hendri Sholahuddin,[38]tujuan teori tafsir Nasr Hamid Abu Zayd yang ingin menghilangkan ideologi sektarian, justru sangat rancu. Sebab unsur ideologi dalam suatu penafsiran tidak bisa dinetralisir. Ibarat dua sisi mata uang, mengesampingkan suatu ideologi hanya akan terjebak dalam ideologi lainnya. Dengan kata lain, menolak suatu ideologi adalah ideologi itu sendiri, seperti halnya menolak kemapanan adalah menetapkan ketidakmapanan atau bentuk lain dari sebuah kemapanan. Terlepas dari itu semua, sesungguhnya Nasr Hamid Abu Zayd telah melahirkan ijtihad baru dalam metode penafsiran. Sebagai sebuah teori, tentunya harus tetap terus diuji. Sehingga pada akhirnya yang diikuti oleh umat tetunya teori yang telah teruji dan dapat dipertahankan. Khatimah Hermeneutika merupakan hasil ektrapolasi otoritas manusia sebagai produk dari proses interaksi pemikran Islam dengan pemikiran Barat. Interaksi dialogis telah melibatkan sebuah proses dialektika yang intensif antara tradisi besar dan tradisi kecil dalam sejarah pemikiran Islam. Perubahan (change) terjadi ketika hermeneutika merupakan tradisi baru memiliki kekuatan dibanding tradisi lama. Akan tetapi, proses kesinambungan (continuity) dengan tradisi lama tetap berjalan meskipun telah muncul tradisi baru.

Dengan demikian, metode penafsiran (hermeneutika) Nasr Hamid Ab Zayd merupakan artikulasi dari proses kesinambungan (continuity) dan perubahan (change), dan karena itu, hermeneutika dikukuhkan sebagai metode alternatif ketika sistem penafsiran dalam tradisi Islam tidak memadai untuk memahami teks-teks keagamaan dalam realitas kontemporer. Sebagai sebuah teori penafsiran, tentunya harus tetap dikritisi dan diuji, sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan karena akan diikuti oleh umat Islam.

You might also like