Professional Documents
Culture Documents
Kontal Kantil Kata, Kumpulan Sajak
Kontal Kantil Kata, Kumpulan Sajak
Mau dibilang puisi, isi sendiri Mau dibilang sajak, silahkan Mau dilang apa, terserah Terimakasih! Sama-sama!
bukan kepuasan badan yang dibatasi waktu atau yang terbentur ruang kamar tapi. sebuah rentang pencarian Haus yang kekal tiada sudah
Maret 2003
Sangkar
Dikepung waktu Dikurung tempat Kau sebutnya zaman Di sana kau bergulat Mencari mata emas Zaman terus menggebu Mesin-mesin pun menderu Tangan tuhanpun membantu Lagi lagi absurd Di balik sangkar raga Ada aku kau Beranjaklah dari situ Mata emas dituju
Pebruari 2003
Maret 2006
Trotoar
Engkau membiarkan aku telantar Di antara jalan jalan hampa membiarkan aku menjawab sendiri teka-teki kehidupan di antara jutaan pertanyaan
Januari 2002
Tanda
Pernahkan kau diberi tanda Seikat mawar putih Sebuah cium pada kening Atau mungkin seuntai puisi Dan sekembang senyum manis Di hadapan tanda-tanda Kau hening dan bertanya Kau coretkan di catatan harian Atau pada sepucuk daun Di hadapan tanda-tanda Tak kau temukan jawaban Mungkin hanya senyum Dan baying yang sulit lupa Kau bawakan tanda-tanda Dalam sunyi tidur malam Dalam pentas di tempat belajar Kau saksikan sendiri
Di hadapan tanda-tanda Hanya mengatakan makna Tanda tiada bertanda Ia mengatakan makna Perjumpan adalah tanda Kau dan aku ada dalam cinta Tanda memaknai cinta Hanya itu
Mei 2002
Setubuh Malam
Pada malam menggigil Dan menjadi hangat diselimut mimpi Aku ditindih bugil putih Leleh lendirnya terasa hangat Membasahi selangkangaanku Kami bersatu di ruang sepi Menyantap nafsu birahi Tanpa cinta, Tanpa ikatan Tanpa dosa Hingga kubangun esok pagi Mandi basah membaptisku Di ruang sadar seperti sedia kala April 2003
Sujud
Antara sela pilu vagina mengatup bening purnama dalam angin dingin malam ini
Januari 2005
Syukur
Tuhan sudah menjadi badai dan menghempaskan kami, tanah kami sudah jadi kalvari di genang lumpur dan dari antara puing Kami memuji kebesaranMu
Maret 2005
Telunjuk
Eh, jari buntung Kau diamkan bicaraku Sssssttttt jangan ribut Kau jauh lebih kuasa yang punya telunjuk menuduhku ribut pakai telunjuk mendiamkan ributku
pakai telunjuk Jika aku ribut terus telunjukmu melengkung melingkar di depan pelatuk ketika itu robohlah aku dan kaupun mengumpat terkutuk telunjukmu lagi lagi kau!
September 2004
Handphone
Setubuhi suara setubuhi saja tanpa banyak bergerak suara-suara itu saling menindih merintih dan mendesah dan marah dan tertawa dan geli sampai lupa segala manusia
April 2001
Segala Pop
Seperti panah api Melejit menukik langit Pada malam sebelum purnama Padam di tepi sejarah Di dikenang Walau tidak sepenuh jiwa Sebab ada yang lupa
Sepetember 2006
sajak
Kusetubuhi dengan cinta mengalirkan ke liang sanggamanya dengan jiwa indahnya bagai seteru rahwana dan pandawa
Januari 2002
Rasa
Aku ini adalah rasa pagari saja dengan dogma jika tidak kuloncat keluar dan semakin menjadi hama aku akan menjadi air meresap di setiap celah dan menjadi bandang tapi sebenarnya aku bergerak tidak selalu lembut karena aku juga liar di luar batas nalarmu jiwaku menggeliat sebab aku adalah rasa
Januari 2006
Rahim
Aku dengar bunda memanggil suara seputih santa menggema di relung hati Ibu mengajakku pergi menggapai surya cerlang saat itu ketika sembilan bulan tiba habis gelap terbitlah terang
April 2002
Pecah
Pecah kaca berlantai serak beling jingkrak-jingkrak aku berjingkrak di atas berantakan aku pecah-pecah di serakan kaca pecah cari-cari aku yang satu di entah di sini pecah di sana pecah di atas serakan aku pecah aku pecah jadi serpih
April 2001
Pasrah
Aku menunda kesakitan Atau menimbunnya Atau menguarainya Menunggu pembebasan
Ahh...tidak mungkin
Aku bukan Yesus
Pebruari 2006
Yudas
Larikan aku ke laut atau ke dahan kalut palung pungut jiwaku kecut saatnya maut Jiwaku makin kecut sudah kudoa dengan berlutut keluar peluh, gulat kemelut di depan pintu maut hembusku dijemput
Maret 2001
Ah............
Hidup ini seperti berkelebat saja Kadang malam aku hilang Siang aku tiada Entah ke mana Arah pikiranku tidak jelas Ingin jatuh Ditimpa umur setengah matang Juni 2006
air mata kota butuh satu sapu tangan untuk keringkan lembab darah untuk padamkan api murka dan sembunyikan mata panah hilangkan asap gelap di atas kota itu sapu tangan kita yang bernama salam salam damai air mata kota tentang sebuah kisah wajah muram kasar kunarikan pena buntung pada lampin penuh peluh
April 2000
Ajal
Nantikan aku di tepi waktu jika jingga perlahan melekat dan burung kembali ke sarang jemputlah aku dengan doa Sekarang hari pagi biarkan aku membedah siang merangkai kalung cinta dari yang lampau untuk esok kusematkan dalam dadamu Air mataku jatuh saat bayangmu berlalu tentang kau yang mendahulu tentang kecup di keningmu dan rahim yang memberiku bayi Nantikan aku di tepi waktu jika jingga perlahan memekat dan burung kembali ke sarang
September 2002
Januari 2004
Bangun
Melempar waktu ke kotak lalu membangun dungu topang dagu Pergilah bersama detik cita dipetik merdeka dipekik napasmu tiada dicekik
Juli 2000
Beduk
Malam tak menidurkanku sedang aku kantuk Siang bagai dungu di bawah nasib aku bertekuk Di dadaku ada palu beduk mengetuk bertalu bergema hingga jantung berdetak, aku kecut, aku ciut entah tentang bunda yang mati muda dan ayah yang bagai terali penjara Tentang pena yang tidak punya dan sekolah yang bagai penagih utang Tentang sejuta tanya berjawab buntu. Saat setiap aku berkutat siang bagai pengancam dan malam jadi hantu aku terus lari mungkin di balik tanah itu beduk berhenti mengetuk
Januari 2003
Belajar
Seperti di kuil dan pura, ada samadi antara otak kami berbentur dasyat, pecah, lepas tanggap roh-roh bergentayang di pungut ke dalam diktat dan buku catatan roh itu datang dan tinggal di antara kami setiap hari kami melakukan itu serupa sebuah doa
Maret 2005
Belenggu
Ia telah diusir dari peradaban pengusirnya adalah dirinya sendiri ketakutan yang terpatri pada dirinya yang telah membuatnya menyendiri di mati waktu di sini
Juni 2001
Berhenti
Beku Detak detik henti Waktu mati Tuju luluh lantak Pudar sasar Senyap Raba raba Aku pun mati Pada ruang yang bagai sempit
Januari 2001
Cinta
Mencintai wanita Melelahkanku Menyayangi wanita Mencederaiku Wanita itu kuat Sangat kuat Sampai lidah menjulur, aku berucap ke dalam tanganmu kupasrahkan diriku
Maret 2006
Di Ruang Doa
Tuhan Biarkan aku melukismu
Rambutmu Bibirmu Lehermu Buah dadamu Pinggulmu Pusarmu Vaginamu Betismu Dan hatimu Di ruang doa itu, aku melukis misterimu Yang selalu kusujud Pada pangkal dan ujung hari Pebruari 2006
Di Suatu waktu
Ketika aku insaf sungguh-sungguh menjadi seorang manusia Yang punya kasih dan cinta Maka vagina kujadikan altar Tetapi ketika aku menjadi binatang Sungguh hanya segepok kontol Yang selalu ingin muntahkan hasrat Maka vagina kujadikan santapan harian Lalu kadang aku bertanya Apakah aku manusia Ketika kurasakan lendirnya? Atakah aku binatang Karena telah melumatnya? Januari 2006
di tepi Sajak
Makna sengsara wafat kebangkitan hidup dalam diam lahir di ujung lidah di ujung pena Kau beri rasa Kau beri warna Pembebasan
Oktober 2003
Doa
Dalam hening itu rasa batuku hancur lebur di timpa air mata ibu. Dalam hening itu rasa diurai jadi serangkai makna, yang hidup dalam bait-bait sajak.
Januari 2000
Doa Schilermacher
Oktober 2004
Elegi Jiwa
I Dalam setiap siang aku mencari. Aku memanggilmu di bawah terik. Pernah kutanyakan kepada sahabat tentang kabarmu. Mereka menjawab tidak tahu. Aku mendatangi rumahmu, hanya menemukan gembok yang mengarat dan halaman yang penuh sampah daun kerontang Aku mencarimu di tempat-tempat yang sering kau kunjungi. Di perpusatakaan aku hanya menemukan bekas jarimu yang masih hangat pada lembaran buku yang baru saja dibaca. Di bawah pohon rindang di puncak tebing Giri hanya kutemukan tissue yang masih basah karena air mata. Aku berlari ke pantai, tapi jejakmu hilang dijilat lidah ombak. Aku pergi ke sungai, ke padang, dan ke pematang, aku hanya menemukan jejak buntu. Aku adalah aku. Aku masih di sini. Siang menjadi singkat. Dalam waktu yang singkat itu aku hanya menemukan jejak tak bertuan. Ke manakah kau pergi? Apakah engkau tak akan pernah kembali? Jika boleh aku meminta, coretkan pada secarik kertas nomor telepon
atau alamat terakhirmu. Berikan aku tanda, biar aku menelusurinya. Haruskah kau membayang-bayangiku dalam setiap senyap malam, seperti malam ini? II Dalam setiap senyap malam aku menunggu. Malam ini, di hadapan bayangmu, engkau membuatku harus bertanya lagi. Apakah engkau ada jauh di sana, duduk di satu sudut bintang, atau di permukaan bulan memancarkan ke hadapanku bayangmu yang yang tak pernah pudar. Apakah engkau dalam senyap yang sama, seperti malam ini. Engkau menghadirkanku dalam bayangmu, bertanya tentang kesetiaanku, tapi enggan untuk menemani kesendirianku. Tapi dalam bayangku malam ini, engkau sudah tampak lelah sembunyi. Engkau ingin mengunjungiku sekarang juga. Engkau ingin mengejutkanku dengan kehadiranmu, senyum, dan pelukan mesramu. Engkau mau mengucapkan apa kabar kepadaku. Jika engkau memang datang, duduklah di hadapan nyala lilin ini. Lalu kita akan buat janji, kita tidak akan pernah saling mencari, kita harus bertemu untuk memulai, kita tidak akan pernah pergi lagi. Tapi bayang tetaplah menjadi sebuah bayang. Malam selalu membuatku senyap dalam bayang yang sulit lupa. III Dalam setiap siang aku mencari. Tapi yang kutemukan hanya jejak-jejak buntu. Dalam setiap senyap malam aku menunggu. Tapi yang kutemukan hanya bayang yang tetap menjadi bayang. Dalam siang aku menjadi semakin lelah, dan dalam malam aku menjadi semakin senyap. Aku mau kuburkan jejakmu, dan lupakan bayangmu Tapi aku tidak sanggup
Mei 2004
Febriani
Ia hanya seorang anak usia satu tahun Bukan muslim juga bukan Kristen Suara adzan mengajaknya untuk diam Lebih diam dari orang tuanya Ketika itu Allah pun tumpahkan air mata Karena ia mengucapkan istiqfar Sedang Allah tak tahu apa dosanya
Februari 2006
Kata
Setiap file pada lemari Di rak-rak buku Di setiap folder komputer Di mulut-mulut terjumpa Batok kepala sudah kubelah Dari sejarah ke sejarah Kau di mana? Ah kau ini.... Mengapa kau gantung di jarum detik itu Ketika sangat sepi Hanya kau
Gersang
Bagaimana sakitnya jika matahari dikebiri Dari Nganga kemihnya, Tidak hanya hilang sepasang pelir Darahnya tercurah ke kulit bumi Jadi gerhana Atau jadi neraka Bukan hanya bulan berduka Jadi janda Tetapi kita juga meringis kepanasan Ditampar terik merahnya Marahnya adalah merana kita April 2006
Gugur
Dalam hempasan gelombang kehendak mendaki, tertatih melahir sepi panjang dipinang trauma hingga ke sum sum tulang membuatmu terlunta Kau berharap, langkah dan langkah tapak lepuh, terjatuh juga nol besar Di situ entah di entah hendak engkau meraih, satu
Desember 2004
Ibu Kota
Di Di Di Di Di Di Di bis kota trotoar pinggir pasar senayan barak ungsian pinggir kali perumahan
Tangan-tangan menengadah Pinta pada ibu kota Supaya jangan sekejam ibu tiri Juni 2006
Inkarnasi
Seperti Kristus sudah menjadi daging syair itu pun bertubuh
April 2002
Intip
Aku mengintip hati-hati Dari balik lubang kunci Sedang sepotong tangan menarik laci Mengambil kitab suci Mengangkat tinggi-tinggi Lalu membanting ke lantai Sepotong tangan itu lagi Mendarat lagi di laci Mengambil belati Menusuk diri Tepat di ulu hati Dan mati Ah... Apatah itu salah tuhan di surga suci? Apatah manusia di balik lubang kunci? Atau belati yang dilaci? Ia sudah mati Dan pintu pun terkunci
Maret 2006
Bangsa(t)
Jika dikekang kurung Sumpal mulut Segala suara dibeku Itulah Bangsa(t) Bebas isyarat kurung Segala berita perlu Kabar burung pun disambut Itulah bangsa
Agustus 2002
Kau, Magdalena
Lidah ludahi tubuh, menyingkap malu rapuh Malam beku, perawan subuh terengkuh Purnama kesatu, sebelum janji diteguh
Hari penuh peluh, layu Menanti dalam rentang waktu Dan hari terus lalu, lupa kau, dengan hari tanpa tuju Terpojok di sudut pilu, rongga dada bergelantung debu
Tiba saatmu, kau, pelacur hancurkan kalbu batu Jiwa berteriak dalam raga yang dungu Air mata dari dada yang lepuh Menyeka jejak yang akan kau tempuh Kau, Magdalena pelacur patuh
April 2004
Kau, napas
Kau, napas di atas waktu menanjak siang turun ke senja lelap bersama purnama di batas tepi usia berpelukan dengan raga tak akan jumpa esok pagi kau, tidak tahu apa apa
April 2000
Penggembala Kerbau
Antara karang karang di bibir pantai dan di celah gigi buih gelombang dan ludah kitab suci di langit mulut keluar kata kata kentut dengan deru menggebu-gebu cukupkan khotbah itu, gembala benalu tunggangi saja kerbau khotbah kutuk, pecah dengarku jangan kibuli domba kecilku
Maret 2003
Kekasihku
Kekasihku, cinta yang gugur bisa jadi luka, setia dicabik bisa jadi belati di tepi malam ini belati itu tidak memenggal putus cinta kita, kau dan aku terlalu kuat bagai sumpah. Merelalah aku bertumpu di atas lepuh lutut untuk sebuah maaf. Aku mau berjaga hingga fajar cerah. Kekasihku, tidurlah
Mei 2003
Oktober 2003
Kematian palsu
Tibo cs
Sebab yang sesungguhnya mati adalah palu Bukan penghuni lapas palu Hari ini kita menyaksikan Sebuah kematian palsu 12 Agustus 2006
Pada setiap malam bulan ini MEI selalu bermimpi tentang Pistol dan kontol Membuat vaginanya Meneteskan air mata. Pada setiap malam bulan ini MEI selalu melihat Kontolku serupa pistol Padahal aku adalah suami. Bahkan kalau makan MEI seperti makan Kontol dan pistol Membuat mulutnya Meneteskan air mata. Kalau mandi Mei seperti mandi kontol dan pistol membuat tubuhnya meneteskan air mata. pada setiap sentuhan dan pada semua saat MEI selalu melihat Kontol dan pistol Serupa di depan kaca.
Mei 2005
Desember 2004
kota
Pandangi gedung-gedung kota ada jejak-jejak tangan menjadi bata, ditampar diam, tanpa kata. Pandangi jalan-jalan kota ada jejak-jejak kaki menjadi aspal, diinjak tetap diam, tanpa kata. Pandangi simpang siur kota ada peluh merangkak ke pinggir tertatih-tatih, jadi sampah juga diam, tanpa kata.
Mei 2005
Lagu
Lagu yang sama tanpa nada, tanpa rasa menangis mungkin lebih indah Sebuah lagu sudah ia nyanyi suaranya redup sekali seredup hidupnya.
Antara gerah dan padat penumpang ia mengedar kantong kosong sekosong mimpinya. Di pinggir pintu, sebelum pergi ia melipat kantong tanpa isi seperti dunia melipatnya.
April 2005
Lapar
Setiap hari mimpi ibu terangkat ke udara Dihantar debu dapur yang pekat Dan bau hawa tubuh tua itu Merangkak, menyengat, menusuk Ke panci dan periuk ke piring dan teko setiap hari di dapur nan beku ibu menumpuk numpuk mimpi jadi santapan kami
maret 2006
Lebaran
Hancurkan biji tasbih diamkan masjid tanggalkan cadar sebab ke hira aku kembali di hati, sebuah kurban
Januari 2000
Liburan
Ibu tidak ke dapur hari ini Kuali-kuali menari Panci dan dandang tertawa Senduk tertidur pulas Teko dan gelas tergeletak malas Hari ini hanya angin yang lalu Membawa kabar dari dapur Hari ini kita liburan Libur lagi Libur lagi
Januari 2003
Lonceng Gereja
Dengar, lonceng gereja bertalu Sisifus menertawakan ketololan Yudas Rieux seharusnya menjadi santo atas Petrus Antara sisifus dan la paste pilar suci itu alibi Dengar, lonceng gereja bertalu katastrophe lepas bantal, bangun dari tidurmu di getsemani
Oktober 2000
Luka purnama
Terlepas jari jari yang mengikat erat menoreh luka di wajah purnama perih menjalar ke sudut sendi raga dicabik dari tulang yang patah patah kata pedasmu
Roh yang merakit pergi, patah, lepas dan kita tinggal menjadi tahi kambing
September 2003
Ini kisah penggal-penggal yang tercatat dalam tanggal kisah keluh massal maaf! Aku sudah kebal Segala sesuatu bisa kupintal hukum saja bisa mental apalagi sektor-sektor vital mukaku pasti tambah binal duduk saja tersengal-sengal kalau berdiri berjejal-jejal
kami saling kepal mengepal rapat dewan pun gagal otakku hanya secuil jengkal kami sekumpulan orang bebal yang selalu disebut bengal tapi aku terus menggombal senikmat seks oral mereka yang disebut massal berontak pun sudah pegal kerongkongan jadi gatal ingin berteriak indonesial
Magenta
Warna apa itu? Kekasihku menyuruhku memburu Di antara sekian warna tertabur jika kamu menemukan magenta, berikan aku warna itu pesannya sebelum tutup usia sudah berulang aku mencari di relung relung hati di seluk beluk bilik di lingkaran pelangi sampai di balik mati kehidupan kaukah magenta? Aku bertanya selepas penat Duduk dipersimpangan Antara neraka dan surga Maret 2006
Magrib
Kekasihku adalah senja Yang selalu kujumpa Pada setiap tepi siang Jika aku datang menjumpa Senjaku selalu berkerudung jingga Jingga itu lugunya Juga damainya Dalam shallat Kami jumpa Dan ia selalu berpesan tiada Tuhan selain Allah Dalam shallat Kami berpisah Dan ia selalu berpesan jangan kau nodai malam Karena malam itu suci April 2006
Maki
Anjing! Babi ! Bangsat! Biadab! Setan! Puki mak! Ngentot! Dilempar mengepung diriku Aku merinding Nurani berapi Meletuskan kata-kata mati Yang lebih tajam dari belati
Sepetember 2004
Mata Kenangan
Hatiku terluka dihujam matamu yang melotokku siang malam bahkan dalam mimpiku kau masih juga mengejarku sampai aku tidak bisa mengelak lagi. Di pangkal kontolku sepertinya masih ada darah gadis Mei, yang fotonya ada di koran kemarin dulu berita mengenai pengusutan kasusku. Kenikmatan waktu itu sekiranya membuatku orgasme sampai sekarang. Tapi matamu masih lebih tajam dari pisau yang menyembelih hidupmu. Matamu, menghujamku siang malam membuat tubuhku bergetar bersembunyi di balik ketakutan. Ohgadis Mei maafkan aku andai aku tidak menerima uang suruhan air mata dan darah dan gigitan dan erangan dan kematianmu tidak memburuku. Mata kenangan aku ingin kau padam dan tersesat dalam pencarian, tapi aku tak dapat mengelak kau telah menjadi jiwaku.
Mei 2005
Mata pena
Apapun namanya Aku menyebutnya mata pena tatapannya tajam lembaran zaman jadi bernyawa seolah-olah berbicara aku menulis untuk siapa
dan kau yang membaca berterus teranglah kalau aku salah Mei 2006
Bermain
Minggu senja Di telaga Kau mengajakku bermain air Dan aku tenggelam Kau biarkan saja Aku setengah sadar Kau meenyentuh bibirku Kau memberiku hawa Aku tersentak Jawabmu singkat aku memberimu cinta
Maret 2004
Matematik(it)a
Negeri lentur demokrasi diselingkuh tambah tiada hukum dipatuh, bual dan gertak sambal pelipur beradu ditambah lapar yang berteriak minta makan
ditambah lagi bencana mengguncang dan pekik merdeka di ujung sana ujung sini ditambah harga bahan bakar yang mahal hasilnya sama dengan aku ditambah kau: kita
April 2005
Mati Kata
Pada saat terenung Segala rasa berseteru dalam bisu buram nalar, kabur kata pena-pena berkeluh tinta-tinta beku terbujur kaku garis-garis huruf hari ini selepas pergi ayah yang uzur syairku jadi hambar hilang nafas di denyut hidup November 2006
Aku tak akan pernah menjadi bagian dari air mata mereka. Apalagi menjadi satu kubur bersama mereka. Aku punya nisan sendiri. Nisan yang terbuka untuk dikutuk karena tidak berbelah kasih. Nisan yang boleh kau stigma sebagai pemberontak. Saudaranisan kita berbeda
Pebruari 2001
Nostalgia
Dia telah pergi Lagi-lagi tampa pamit Kian-kian hari Rindu menyempit Jadi sepi Sendiri Seperti mimpi Juni 2006
Padamu Negeri
Segenangan air mata mengalir setiap tetesnya mengantre
Oktober 2004
Pahlawan
Teplok yang padam di dinding sejarah
tidak selalu senyap di sana kau menuliskan revolusi bangsa di bawah nyala hati yang berkobar Pahlawan kau kukenang
Januari 2003
paling
Kembali saja Biar tidak terjebak malam Pulang saja Sebelum siang tenggelam Jangan berkaca pada malam Tidak hanya menebak jadinya Tapi lupa di mana wajah Wajah cantikmu Lembut senyummu Dan elok bibirmu Malam adalah tidurmu Sedang siang adalah sebuah tobat Mei 2006