You are on page 1of 40

Pengantar

Mau dibilang puisi, isi sendiri Mau dibilang sajak, silahkan Mau dilang apa, terserah Terimakasih! Sama-sama!

Labuan Bajo, 25 April 2012

Tuhan, sanggamahi aku


Aku mau disanggamahi Tuhan dalam telanjang yang pasrah dan vulva yang berharap dahaga pada tetesan cinta Pada sisiku yang transendental ingin kulumati Tuhan haus lidahku hausku, rapuhku Rapuhku, hausku mau kulucuti Tuhan mendekap dalam terang santa biar lebur jadi utuh Disanggamahi Tuhan dalam sisiku yang transendental pelepasan yang total untuk dijamahi sesuai kehendak Ini bukan noda dusta

bukan kepuasan badan yang dibatasi waktu atau yang terbentur ruang kamar tapi. sebuah rentang pencarian Haus yang kekal tiada sudah

Maret 2003

Sangkar
Dikepung waktu Dikurung tempat Kau sebutnya zaman Di sana kau bergulat Mencari mata emas Zaman terus menggebu Mesin-mesin pun menderu Tangan tuhanpun membantu Lagi lagi absurd Di balik sangkar raga Ada aku kau Beranjaklah dari situ Mata emas dituju

Pebruari 2003

Sepucuk surat buat kekasih


salam jumpa, di ujung bulan gugur sebusur cinta lepas lalu tinggal air mata basah ruang khayalmu di sini aku sendiri sedang menunggu bulan semi surat ini mengajakmu kemari

untuk memetik setangkai bunga hati aku menanti

Maret 2006

Trotoar
Engkau membiarkan aku telantar Di antara jalan jalan hampa membiarkan aku menjawab sendiri teka-teki kehidupan di antara jutaan pertanyaan

Januari 2002

Tanda
Pernahkan kau diberi tanda Seikat mawar putih Sebuah cium pada kening Atau mungkin seuntai puisi Dan sekembang senyum manis Di hadapan tanda-tanda Kau hening dan bertanya Kau coretkan di catatan harian Atau pada sepucuk daun Di hadapan tanda-tanda Tak kau temukan jawaban Mungkin hanya senyum Dan baying yang sulit lupa Kau bawakan tanda-tanda Dalam sunyi tidur malam Dalam pentas di tempat belajar Kau saksikan sendiri

Di hadapan tanda-tanda Hanya mengatakan makna Tanda tiada bertanda Ia mengatakan makna Perjumpan adalah tanda Kau dan aku ada dalam cinta Tanda memaknai cinta Hanya itu

Mei 2002

Setubuh Malam
Pada malam menggigil Dan menjadi hangat diselimut mimpi Aku ditindih bugil putih Leleh lendirnya terasa hangat Membasahi selangkangaanku Kami bersatu di ruang sepi Menyantap nafsu birahi Tanpa cinta, Tanpa ikatan Tanpa dosa Hingga kubangun esok pagi Mandi basah membaptisku Di ruang sadar seperti sedia kala April 2003

Sujud
Antara sela pilu vagina mengatup bening purnama dalam angin dingin malam ini

dada berlagu kudus kudus kuduslah

Januari 2005

Syukur
Tuhan sudah menjadi badai dan menghempaskan kami, tanah kami sudah jadi kalvari di genang lumpur dan dari antara puing Kami memuji kebesaranMu
Maret 2005

Telunjuk
Eh, jari buntung Kau diamkan bicaraku Sssssttttt jangan ribut Kau jauh lebih kuasa yang punya telunjuk menuduhku ribut pakai telunjuk mendiamkan ributku

pakai telunjuk Jika aku ribut terus telunjukmu melengkung melingkar di depan pelatuk ketika itu robohlah aku dan kaupun mengumpat terkutuk telunjukmu lagi lagi kau!

September 2004

Handphone
Setubuhi suara setubuhi saja tanpa banyak bergerak suara-suara itu saling menindih merintih dan mendesah dan marah dan tertawa dan geli sampai lupa segala manusia
April 2001

Negeri yatim piatu


Negeri yatim piatu padang tandus, sawah batu tapi tikus tetap bisa hidup di sekitarnya kucing terus mengeong.
November 2003

Segala Pop

Seperti panah api Melejit menukik langit Pada malam sebelum purnama Padam di tepi sejarah Di dikenang Walau tidak sepenuh jiwa Sebab ada yang lupa

Sepetember 2006

sajak
Kusetubuhi dengan cinta mengalirkan ke liang sanggamanya dengan jiwa indahnya bagai seteru rahwana dan pandawa

Januari 2002

Rasa
Aku ini adalah rasa pagari saja dengan dogma jika tidak kuloncat keluar dan semakin menjadi hama aku akan menjadi air meresap di setiap celah dan menjadi bandang tapi sebenarnya aku bergerak tidak selalu lembut karena aku juga liar di luar batas nalarmu jiwaku menggeliat sebab aku adalah rasa

Januari 2006

Rahim
Aku dengar bunda memanggil suara seputih santa menggema di relung hati Ibu mengajakku pergi menggapai surya cerlang saat itu ketika sembilan bulan tiba habis gelap terbitlah terang

April 2002

Pecah
Pecah kaca berlantai serak beling jingkrak-jingkrak aku berjingkrak di atas berantakan aku pecah-pecah di serakan kaca pecah cari-cari aku yang satu di entah di sini pecah di sana pecah di atas serakan aku pecah aku pecah jadi serpih

April 2001

Pasrah
Aku menunda kesakitan Atau menimbunnya Atau menguarainya Menunggu pembebasan

Ahh...tidak mungkin
Aku bukan Yesus

Rasa sakit Menindih kurusku Hnigga nyawa dimuntah tubuh

Pebruari 2006

Yudas
Larikan aku ke laut atau ke dahan kalut palung pungut jiwaku kecut saatnya maut Jiwaku makin kecut sudah kudoa dengan berlutut keluar peluh, gulat kemelut di depan pintu maut hembusku dijemput

Maret 2001

Ah............

Hidup ini seperti berkelebat saja Kadang malam aku hilang Siang aku tiada Entah ke mana Arah pikiranku tidak jelas Ingin jatuh Ditimpa umur setengah matang Juni 2006

Air Mata Kota


pada lampin penuh peluh kunarikan pena buntung wajah muram kasar tentang sebuah kisah air mata kota Air mata kota senyum pecah buruk rupa cermin pecah tiada sudi mengaca tawa masam manusia pada kota yang berantak saudara jadi sangka nantinya lahir angkara air mata kota satu pecah berserak jadi beling di jalan kota di pintu rumah dan jendela hingga ke hati sampai tiada hati hilang hati air mata kota mata senyap yang dipandang hanya biadab waktu telah pergikan cinta oleh manusia sia-sia terkubur pada sebuah senja yang bernama kelam

air mata kota butuh satu sapu tangan untuk keringkan lembab darah untuk padamkan api murka dan sembunyikan mata panah hilangkan asap gelap di atas kota itu sapu tangan kita yang bernama salam salam damai air mata kota tentang sebuah kisah wajah muram kasar kunarikan pena buntung pada lampin penuh peluh

April 2000

Ajal
Nantikan aku di tepi waktu jika jingga perlahan melekat dan burung kembali ke sarang jemputlah aku dengan doa Sekarang hari pagi biarkan aku membedah siang merangkai kalung cinta dari yang lampau untuk esok kusematkan dalam dadamu Air mataku jatuh saat bayangmu berlalu tentang kau yang mendahulu tentang kecup di keningmu dan rahim yang memberiku bayi Nantikan aku di tepi waktu jika jingga perlahan memekat dan burung kembali ke sarang

jemputlah aku dengan doa.

September 2002

Indonesia Mana Rohmu Yang Bisa Menjiwa


merah telah menjadi darah dan putih itu jadi ternoda yang tumpah di mata mereka yang meringis dan tergusur dari peradaban perjuangan tinggal serpihan reruntuhan ada saksi buat kita kita yang tidak tuli, tidak tinggal diam dari yang mati di tanah papua yang pongah di senayan dan istana hingga yang terendam di bukit duri ini cuma seberapa saksi dan kisah yang menangisi sunyinya geliat kesatuan yang berharap bendera terkibar tidak terampas tidak terhempas ke puing reruntuhan luruskan tangan yang dirapatkan berbuatlah dengan belarasa dan mau yang kuat untuk melahirkan kembali buat kita sesuatu yang sudah lupa roh yang bisa menjiwa yang lahir dari genesis penuh derita dijaga dengan penuh perjuangan dan dikibarkan biar tetap merdeka untukmu untukku untuk kita

Januari 2004

Bangun
Melempar waktu ke kotak lalu membangun dungu topang dagu Pergilah bersama detik cita dipetik merdeka dipekik napasmu tiada dicekik

Juli 2000

Beduk
Malam tak menidurkanku sedang aku kantuk Siang bagai dungu di bawah nasib aku bertekuk Di dadaku ada palu beduk mengetuk bertalu bergema hingga jantung berdetak, aku kecut, aku ciut entah tentang bunda yang mati muda dan ayah yang bagai terali penjara Tentang pena yang tidak punya dan sekolah yang bagai penagih utang Tentang sejuta tanya berjawab buntu. Saat setiap aku berkutat siang bagai pengancam dan malam jadi hantu aku terus lari mungkin di balik tanah itu beduk berhenti mengetuk

Januari 2003

Belajar
Seperti di kuil dan pura, ada samadi antara otak kami berbentur dasyat, pecah, lepas tanggap roh-roh bergentayang di pungut ke dalam diktat dan buku catatan roh itu datang dan tinggal di antara kami setiap hari kami melakukan itu serupa sebuah doa
Maret 2005

Belenggu
Ia telah diusir dari peradaban pengusirnya adalah dirinya sendiri ketakutan yang terpatri pada dirinya yang telah membuatnya menyendiri di mati waktu di sini

Juni 2001

Berhenti

Beku Detak detik henti Waktu mati Tuju luluh lantak Pudar sasar Senyap Raba raba Aku pun mati Pada ruang yang bagai sempit

Januari 2001

Cinta
Mencintai wanita Melelahkanku Menyayangi wanita Mencederaiku Wanita itu kuat Sangat kuat Sampai lidah menjulur, aku berucap ke dalam tanganmu kupasrahkan diriku

Maret 2006

Di Ruang Doa
Tuhan Biarkan aku melukismu

Rambutmu Bibirmu Lehermu Buah dadamu Pinggulmu Pusarmu Vaginamu Betismu Dan hatimu Di ruang doa itu, aku melukis misterimu Yang selalu kusujud Pada pangkal dan ujung hari Pebruari 2006

Di Suatu waktu
Ketika aku insaf sungguh-sungguh menjadi seorang manusia Yang punya kasih dan cinta Maka vagina kujadikan altar Tetapi ketika aku menjadi binatang Sungguh hanya segepok kontol Yang selalu ingin muntahkan hasrat Maka vagina kujadikan santapan harian Lalu kadang aku bertanya Apakah aku manusia Ketika kurasakan lendirnya? Atakah aku binatang Karena telah melumatnya? Januari 2006

di tepi Sajak

Makna sengsara wafat kebangkitan hidup dalam diam lahir di ujung lidah di ujung pena Kau beri rasa Kau beri warna Pembebasan

Oktober 2003

Doa
Dalam hening itu rasa batuku hancur lebur di timpa air mata ibu. Dalam hening itu rasa diurai jadi serangkai makna, yang hidup dalam bait-bait sajak.
Januari 2000

Doa Schilermacher

Tuhan Engkau sejauh mata memandang amin

Oktober 2004

Doli Si Gadis Doli


Di ujung kupang Surabaya Seorang gadis merangkak kangkang Getah vagina diaduk jadi setumpuk nasib jadi adonan kehidupan Yang terlalu pahit Untuk usia sebelia Doli April 2005

Elegi Jiwa
I Dalam setiap siang aku mencari. Aku memanggilmu di bawah terik. Pernah kutanyakan kepada sahabat tentang kabarmu. Mereka menjawab tidak tahu. Aku mendatangi rumahmu, hanya menemukan gembok yang mengarat dan halaman yang penuh sampah daun kerontang Aku mencarimu di tempat-tempat yang sering kau kunjungi. Di perpusatakaan aku hanya menemukan bekas jarimu yang masih hangat pada lembaran buku yang baru saja dibaca. Di bawah pohon rindang di puncak tebing Giri hanya kutemukan tissue yang masih basah karena air mata. Aku berlari ke pantai, tapi jejakmu hilang dijilat lidah ombak. Aku pergi ke sungai, ke padang, dan ke pematang, aku hanya menemukan jejak buntu. Aku adalah aku. Aku masih di sini. Siang menjadi singkat. Dalam waktu yang singkat itu aku hanya menemukan jejak tak bertuan. Ke manakah kau pergi? Apakah engkau tak akan pernah kembali? Jika boleh aku meminta, coretkan pada secarik kertas nomor telepon

atau alamat terakhirmu. Berikan aku tanda, biar aku menelusurinya. Haruskah kau membayang-bayangiku dalam setiap senyap malam, seperti malam ini? II Dalam setiap senyap malam aku menunggu. Malam ini, di hadapan bayangmu, engkau membuatku harus bertanya lagi. Apakah engkau ada jauh di sana, duduk di satu sudut bintang, atau di permukaan bulan memancarkan ke hadapanku bayangmu yang yang tak pernah pudar. Apakah engkau dalam senyap yang sama, seperti malam ini. Engkau menghadirkanku dalam bayangmu, bertanya tentang kesetiaanku, tapi enggan untuk menemani kesendirianku. Tapi dalam bayangku malam ini, engkau sudah tampak lelah sembunyi. Engkau ingin mengunjungiku sekarang juga. Engkau ingin mengejutkanku dengan kehadiranmu, senyum, dan pelukan mesramu. Engkau mau mengucapkan apa kabar kepadaku. Jika engkau memang datang, duduklah di hadapan nyala lilin ini. Lalu kita akan buat janji, kita tidak akan pernah saling mencari, kita harus bertemu untuk memulai, kita tidak akan pernah pergi lagi. Tapi bayang tetaplah menjadi sebuah bayang. Malam selalu membuatku senyap dalam bayang yang sulit lupa. III Dalam setiap siang aku mencari. Tapi yang kutemukan hanya jejak-jejak buntu. Dalam setiap senyap malam aku menunggu. Tapi yang kutemukan hanya bayang yang tetap menjadi bayang. Dalam siang aku menjadi semakin lelah, dan dalam malam aku menjadi semakin senyap. Aku mau kuburkan jejakmu, dan lupakan bayangmu Tapi aku tidak sanggup
Mei 2004

Febriani
Ia hanya seorang anak usia satu tahun Bukan muslim juga bukan Kristen Suara adzan mengajaknya untuk diam Lebih diam dari orang tuanya Ketika itu Allah pun tumpahkan air mata Karena ia mengucapkan istiqfar Sedang Allah tak tahu apa dosanya

Februari 2006

Kata
Setiap file pada lemari Di rak-rak buku Di setiap folder komputer Di mulut-mulut terjumpa Batok kepala sudah kubelah Dari sejarah ke sejarah Kau di mana? Ah kau ini.... Mengapa kau gantung di jarum detik itu Ketika sangat sepi Hanya kau

Dan denyut nadiku Mai 2006

Gersang
Bagaimana sakitnya jika matahari dikebiri Dari Nganga kemihnya, Tidak hanya hilang sepasang pelir Darahnya tercurah ke kulit bumi Jadi gerhana Atau jadi neraka Bukan hanya bulan berduka Jadi janda Tetapi kita juga meringis kepanasan Ditampar terik merahnya Marahnya adalah merana kita April 2006

Gugur
Dalam hempasan gelombang kehendak mendaki, tertatih melahir sepi panjang dipinang trauma hingga ke sum sum tulang membuatmu terlunta Kau berharap, langkah dan langkah tapak lepuh, terjatuh juga nol besar Di situ entah di entah hendak engkau meraih, satu

tapi apa daya kau jatuh lagi, akhirnya kembali Gugur

Desember 2004

Ibu Kota
Di Di Di Di Di Di Di bis kota trotoar pinggir pasar senayan barak ungsian pinggir kali perumahan

Tangan-tangan menengadah Pinta pada ibu kota Supaya jangan sekejam ibu tiri Juni 2006

Inkarnasi
Seperti Kristus sudah menjadi daging syair itu pun bertubuh

April 2002

Intip
Aku mengintip hati-hati Dari balik lubang kunci Sedang sepotong tangan menarik laci Mengambil kitab suci Mengangkat tinggi-tinggi Lalu membanting ke lantai Sepotong tangan itu lagi Mendarat lagi di laci Mengambil belati Menusuk diri Tepat di ulu hati Dan mati Ah... Apatah itu salah tuhan di surga suci? Apatah manusia di balik lubang kunci? Atau belati yang dilaci? Ia sudah mati Dan pintu pun terkunci

Maret 2006

Bangsa(t)
Jika dikekang kurung Sumpal mulut Segala suara dibeku Itulah Bangsa(t) Bebas isyarat kurung Segala berita perlu Kabar burung pun disambut Itulah bangsa

Indonesia? Bangsakah? Bangsa(t)kah? Agustus 2006

Jiwa yang senja


Jiwa yang senja di depan terang lampu altar dengan hati bagai bunda aku menunduk gemetar Tangan pada dada kutangiskan kisah memar air mata basuh dosa mata tubuh nanar Di Jiwa yang senja hatiku terbuka menganga bagai mulut lapar ada sebuah sabda bahwa dosaku pudar Aku berlangkah ke muka ke tepi senja, dengan jiwa makin tegar kusenyumkan salam mawar pada sahabat dan semua cinta Tuhan tiada takar

Agustus 2002

Kau, Magdalena
Lidah ludahi tubuh, menyingkap malu rapuh Malam beku, perawan subuh terengkuh Purnama kesatu, sebelum janji diteguh

Keluh kemaluan keluar suara lenguh

Hari penuh peluh, layu Menanti dalam rentang waktu Dan hari terus lalu, lupa kau, dengan hari tanpa tuju Terpojok di sudut pilu, rongga dada bergelantung debu

Tiba saatmu, kau, pelacur hancurkan kalbu batu Jiwa berteriak dalam raga yang dungu Air mata dari dada yang lepuh Menyeka jejak yang akan kau tempuh Kau, Magdalena pelacur patuh

April 2004

Kau, napas
Kau, napas di atas waktu menanjak siang turun ke senja lelap bersama purnama di batas tepi usia berpelukan dengan raga tak akan jumpa esok pagi kau, tidak tahu apa apa

April 2000

Penggembala Kerbau

Antara karang karang di bibir pantai dan di celah gigi buih gelombang dan ludah kitab suci di langit mulut keluar kata kata kentut dengan deru menggebu-gebu cukupkan khotbah itu, gembala benalu tunggangi saja kerbau khotbah kutuk, pecah dengarku jangan kibuli domba kecilku

Maret 2003

Kekasihku

Kekasihku, cinta yang gugur bisa jadi luka, setia dicabik bisa jadi belati di tepi malam ini belati itu tidak memenggal putus cinta kita, kau dan aku terlalu kuat bagai sumpah. Merelalah aku bertumpu di atas lepuh lutut untuk sebuah maaf. Aku mau berjaga hingga fajar cerah. Kekasihku, tidurlah

Mei 2003

Kelaminku berdecak kagum


Aku merangkak dengan tapak-tapak yang kokoh. Melewati jurang yang terjal, yang tersembunyi di balik topang selangkangan. Di situlah gua sanggama tampak jelas terlihat, walau agak curam, terbalik menatap wajah bumi. Ketika tiba, aku terbelalak. Menakjubkan. Mataku memandang rimbunan teratai berdaun rendah. Guguran daun tua dari pohon yang menjulang, lalu dibawa lenyap aliran sejuk di sisi badan gua, hingga berhenti di telaga. Di depanku tenang berdiam telaga indah, dengan pulau kecil menyembul di tengahnya. Pulau berpesisir terjal berwarna jingga, memanjakan lidah-lidah gelombang menjilatinya. Aku hendak masuk lebih jauh ke dalam. Kubasuhkan wajah dengan aroma telaga, membiarkan ariku merasakan kesejukannya. Serentak menguatkan tapak-tapak pijakku dengan menegukkannya.

Oktober 2003

Kematian palsu
Tibo cs
Sebab yang sesungguhnya mati adalah palu Bukan penghuni lapas palu Hari ini kita menyaksikan Sebuah kematian palsu 12 Agustus 2006

Kontol dan Pistol


Buat : Mei Hua

Pada setiap malam bulan ini MEI selalu bermimpi tentang Pistol dan kontol Membuat vaginanya Meneteskan air mata. Pada setiap malam bulan ini MEI selalu melihat Kontolku serupa pistol Padahal aku adalah suami. Bahkan kalau makan MEI seperti makan Kontol dan pistol Membuat mulutnya Meneteskan air mata. Kalau mandi Mei seperti mandi kontol dan pistol membuat tubuhnya meneteskan air mata. pada setiap sentuhan dan pada semua saat MEI selalu melihat Kontol dan pistol Serupa di depan kaca.

Mei 2005

Badai, kota dan bocah


Gedung menjulang patah, tersungkur di depan alam Bocah menangis di kaki lantai beri saksi ibunya tidak menitipkan sepasang jejak kaki

Desember 2004

kota
Pandangi gedung-gedung kota ada jejak-jejak tangan menjadi bata, ditampar diam, tanpa kata. Pandangi jalan-jalan kota ada jejak-jejak kaki menjadi aspal, diinjak tetap diam, tanpa kata. Pandangi simpang siur kota ada peluh merangkak ke pinggir tertatih-tatih, jadi sampah juga diam, tanpa kata.
Mei 2005

Lagu
Lagu yang sama tanpa nada, tanpa rasa menangis mungkin lebih indah Sebuah lagu sudah ia nyanyi suaranya redup sekali seredup hidupnya.

Antara gerah dan padat penumpang ia mengedar kantong kosong sekosong mimpinya. Di pinggir pintu, sebelum pergi ia melipat kantong tanpa isi seperti dunia melipatnya.

April 2005

Lapar
Setiap hari mimpi ibu terangkat ke udara Dihantar debu dapur yang pekat Dan bau hawa tubuh tua itu Merangkak, menyengat, menusuk Ke panci dan periuk ke piring dan teko setiap hari di dapur nan beku ibu menumpuk numpuk mimpi jadi santapan kami

maret 2006

Lebaran
Hancurkan biji tasbih diamkan masjid tanggalkan cadar sebab ke hira aku kembali di hati, sebuah kurban

Januari 2000

Liburan
Ibu tidak ke dapur hari ini Kuali-kuali menari Panci dan dandang tertawa Senduk tertidur pulas Teko dan gelas tergeletak malas Hari ini hanya angin yang lalu Membawa kabar dari dapur Hari ini kita liburan Libur lagi Libur lagi

Januari 2003

Lonceng Gereja
Dengar, lonceng gereja bertalu Sisifus menertawakan ketololan Yudas Rieux seharusnya menjadi santo atas Petrus Antara sisifus dan la paste pilar suci itu alibi Dengar, lonceng gereja bertalu katastrophe lepas bantal, bangun dari tidurmu di getsemani

Oktober 2000

Luka purnama

Terlepas jari jari yang mengikat erat menoreh luka di wajah purnama perih menjalar ke sudut sendi raga dicabik dari tulang yang patah patah kata pedasmu

Roh yang merakit pergi, patah, lepas dan kita tinggal menjadi tahi kambing

September 2003

Maaf! Aku Sudah kebal

Ini kisah penggal-penggal yang tercatat dalam tanggal kisah keluh massal maaf! Aku sudah kebal Segala sesuatu bisa kupintal hukum saja bisa mental apalagi sektor-sektor vital mukaku pasti tambah binal duduk saja tersengal-sengal kalau berdiri berjejal-jejal

kami saling kepal mengepal rapat dewan pun gagal otakku hanya secuil jengkal kami sekumpulan orang bebal yang selalu disebut bengal tapi aku terus menggombal senikmat seks oral mereka yang disebut massal berontak pun sudah pegal kerongkongan jadi gatal ingin berteriak indonesial

maaf! Aku sudah kebal


17 November 2005

Magenta
Warna apa itu? Kekasihku menyuruhku memburu Di antara sekian warna tertabur jika kamu menemukan magenta, berikan aku warna itu pesannya sebelum tutup usia sudah berulang aku mencari di relung relung hati di seluk beluk bilik di lingkaran pelangi sampai di balik mati kehidupan kaukah magenta? Aku bertanya selepas penat Duduk dipersimpangan Antara neraka dan surga Maret 2006

Magrib

Kekasihku adalah senja Yang selalu kujumpa Pada setiap tepi siang Jika aku datang menjumpa Senjaku selalu berkerudung jingga Jingga itu lugunya Juga damainya Dalam shallat Kami jumpa Dan ia selalu berpesan tiada Tuhan selain Allah Dalam shallat Kami berpisah Dan ia selalu berpesan jangan kau nodai malam Karena malam itu suci April 2006

Maki
Anjing! Babi ! Bangsat! Biadab! Setan! Puki mak! Ngentot! Dilempar mengepung diriku Aku merinding Nurani berapi Meletuskan kata-kata mati Yang lebih tajam dari belati

Sepetember 2004

Mata Kenangan
Hatiku terluka dihujam matamu yang melotokku siang malam bahkan dalam mimpiku kau masih juga mengejarku sampai aku tidak bisa mengelak lagi. Di pangkal kontolku sepertinya masih ada darah gadis Mei, yang fotonya ada di koran kemarin dulu berita mengenai pengusutan kasusku. Kenikmatan waktu itu sekiranya membuatku orgasme sampai sekarang. Tapi matamu masih lebih tajam dari pisau yang menyembelih hidupmu. Matamu, menghujamku siang malam membuat tubuhku bergetar bersembunyi di balik ketakutan. Ohgadis Mei maafkan aku andai aku tidak menerima uang suruhan air mata dan darah dan gigitan dan erangan dan kematianmu tidak memburuku. Mata kenangan aku ingin kau padam dan tersesat dalam pencarian, tapi aku tak dapat mengelak kau telah menjadi jiwaku.

Mei 2005

Mata pena
Apapun namanya Aku menyebutnya mata pena tatapannya tajam lembaran zaman jadi bernyawa seolah-olah berbicara aku menulis untuk siapa

dan kau yang membaca berterus teranglah kalau aku salah Mei 2006

Bermain

Minggu senja Di telaga Kau mengajakku bermain air Dan aku tenggelam Kau biarkan saja Aku setengah sadar Kau meenyentuh bibirku Kau memberiku hawa Aku tersentak Jawabmu singkat aku memberimu cinta

Maret 2004

Matematik(it)a
Negeri lentur demokrasi diselingkuh tambah tiada hukum dipatuh, bual dan gertak sambal pelipur beradu ditambah lapar yang berteriak minta makan

ditambah lagi bencana mengguncang dan pekik merdeka di ujung sana ujung sini ditambah harga bahan bakar yang mahal hasilnya sama dengan aku ditambah kau: kita

April 2005

Mati Kata
Pada saat terenung Segala rasa berseteru dalam bisu buram nalar, kabur kata pena-pena berkeluh tinta-tinta beku terbujur kaku garis-garis huruf hari ini selepas pergi ayah yang uzur syairku jadi hambar hilang nafas di denyut hidup November 2006

Nisan kita berbeda


Aku tidak peduli dengan rengekkan mereka yang miskin dan menderita, tapi jari-jarinya tetap mulus karena tidak mau berjuang Atau berkoar-koar hingga liur kerontang dan tinta pena mengering sedang mereka menyumbat telinga dengan bantal. Bagiku itu adalah tipu muslihat dan kemunafikan. Menggusurlah mereka karena kebandelannya. Buanglah mereka ke tempat sampah karena kemalasannya. Usirlah dari muka bumi karena mengemisnya. Aku tidak selalu iba dengan tangisan mereka. Penderitaan mereka adalah milik mereka. Itu semua bukan karena ketakberdayaan, yang memang karena tidak bisa berbuat apa-apa, Tetapi karena kesengajaan agar terus dimanja.

Aku tak akan pernah menjadi bagian dari air mata mereka. Apalagi menjadi satu kubur bersama mereka. Aku punya nisan sendiri. Nisan yang terbuka untuk dikutuk karena tidak berbelah kasih. Nisan yang boleh kau stigma sebagai pemberontak. Saudaranisan kita berbeda

Pebruari 2001

Nostalgia
Dia telah pergi Lagi-lagi tampa pamit Kian-kian hari Rindu menyempit Jadi sepi Sendiri Seperti mimpi Juni 2006

Padamu Negeri
Segenangan air mata mengalir setiap tetesnya mengantre

Oktober 2004

Pahlawan
Teplok yang padam di dinding sejarah

tidak selalu senyap di sana kau menuliskan revolusi bangsa di bawah nyala hati yang berkobar Pahlawan kau kukenang
Januari 2003

paling
Kembali saja Biar tidak terjebak malam Pulang saja Sebelum siang tenggelam Jangan berkaca pada malam Tidak hanya menebak jadinya Tapi lupa di mana wajah Wajah cantikmu Lembut senyummu Dan elok bibirmu Malam adalah tidurmu Sedang siang adalah sebuah tobat Mei 2006

Kontal Kantil Kata


Antara selangkangan dan surga Kata dilepas berayun-ayun Siapa memakna? Aku pun kau pun Maret 2009

You might also like