You are on page 1of 16

RUANG MAKNA, TiNdAKAN, dAN KEKUASAAN

widhyANTo MUTTAqiEN
MifTAhUS SURUR
Jalan Sawo
daftar isi
Pengantar 2
Sekilas tentang
Jalan Sawo 2
Ada Uang Dibalik
Peraturan 5
Ruang Material dan
Subjek yang Kreatif
10
Jalan Sawo sebagai
Ruang Tindakan
dan Kebudayaan
12
Penutup 15
Daftar Pustaka 16
Z
Kajian tentang jalan tidak semata-mata berbicara tentang aspek fsik dan
material. Laksono (2000) mengidentikkan jalan sebagai lingua franca, suatu
alat, atau bahasa yang beroperasi bagi orang-orang yang berbeda bahasa
lisan dan budaya, tetapi tidak pernah menjadi milik siapapun. Riomandha
(2000) dengan mengutip Melbin menjelaskan bahwa jalan sebagai ruang
yang diperebutkan telah dikonstruksi seperti frontier, suatu tempat yang
meskipun padat tetapi dilihat sebagai kosong sehingga ia akan bisa dimasuki,
dipertarungkan, dan diperebutkan oleh siapa saja. Langan (1995) dalam
Mrazek (2006) menyatakan bahwa jalan merupakan penuangan imajinasi
kebebasan melalui bahasa untuk mengekspresikan hak-hak individu, mereka
bisa datang dan pergi tanpa izin dan tanpa harus menjelaskan motif-motif atau
urusan mereka.
Laporan penelitian ini mencoba melihat pergeseran telaah itu dengan
menekankan pada makna-makna yang diproduksi dan dikonstruksi oleh
subjek yang bertindak di Jalan Sawo, Depok. Beberapa temuan dan informasi
secara etnografs yang diperoleh mencerminkan adanya ragam makna dan
tindakan, termasuk juga kepentingan-kepentingan yang masuk ke jalan
tersebut. Beragam etnis dan latarbelakang yang lain juga turut mempengaruhi
dalam memilih dan menentukan tindakan seperti apa yang tepat dengan
kondisi jalan.
Landasan dari tulisan ini lebih banyak didasarkan pada pengamatan,
wawancara, dan pengalaman penulis dan beberapa orang yang lain selama
beberapa waktu di Jalan Sawo dan sekitarnya. Sebagai suatu penelitian
etnografs, kedalaman (idiosyncratic) terhadap penggalian data dengan
memusatkan perhatian pada pengalaman, kesaksian, dan hubungan-
hubungan antar subjek di Jalan Sawo merupakan fokus utama yang kemudian
berusaha ditelaah, ditafsirkan, dan dianalisis menurut data-data yang diperoleh
di lapangan.
Sekilas tentang Jalan Sawo
Jalan Sawo yang membelah antara Jalan Margonda Raya dengan Kampus
Universitas Indonesia (UI) Depok bukanlah tempat yang asing. Selain disebut
dengan Jalan Sawo, jalan ini biasa dikenal dengan sebutan Kober dan juga
Stasiun UI. Istilah Kober sendiri sebenarnya mengacu pada suatu tempat yang
berada di seberang Jalan ini, tetapi kebanyakan mahasiswa yang melintas jalan
ini lebih familiar menyebutnya Kober daripada Jalan Sawo. Sedangkan istilah
Stasiun UI juga kerap dipakai karena pada kenyataannya setiap mahasiswa atau
siapapun yang ingin menuju kampus atau bepergian ke Jakarta dan Bogor
dengan kereta api dipastikan akan melintasi atau menggunakan jasa angkutan
kereta dari stasiun tersebut.
Secara administratif, keberadaan Jalan Sawo berada di RT 02 dan 03 kelurahan
Pondok Cina, Depok. Helmi, ketua RT 02 yang juga membawahi jalan ini
selain RT 03 - menjelaskan bahwa nama Jalan Sawo itu sendiri dipakai karena
dulu di depan jalan itu terdapat pohon sawo sehingga oleh orang-orang
di sekitar sana disebut Jalan Sawo. Ia berfungsi sebagai jalan semenjak ada
kampus UI dan orang-orang pribumi di sepanjang jalan itu juga sepakat jika
ia menjadi jalan lintas menuju stasiun dan kampus UI. Jalan Sawo merupakan
jalan yang diberikan oleh pemerintah berdasarkan tanaman endemik yang
dulu ada di kawasan ini sebelum kawasan ini sebagian besar dibeli oleh UI
PENGANTAR
J
sekitar tahun 1970. Nama-nama jalan disini kebanyakan mengacu pada nama pohon, seperti Sawo,
Papaya, Cengkeh. Sebelumnya jalan ini sebagian besar adalah irigasi, kemudian tahun 1970an menjadi
jalan setapak disisi irigasi, tahun 1980an mulai menjadi gang yang lebih lebar, namanya sudah menjadi
Gang Sawo. Masyarakat sekitar menyebutnya memang sebagai gang bukan jalan.
Meskipun telah lama jalan ini menjadi penghubung menuju stasiun dan kampus UI, tetapi baru
setelah tahun 2000-an jalan ini mulai sesak dengan banyak pedagang. Cak Tarno, salah satu pedagang
buku yang mangkal di jalan ini mengatakan bahwa sejak tahun 1995-2002, Jalan Sawo ini masih
terbilang sepi dalam arti tidak banyak orang yang berjualan. Karena waktu itu, orang masih banyak
yang berdagang di kebun karet di dalam kawasan UI. Tapi setelah para pedagang di kebun karet itu
tergusur, maka mereka mulai pindah ke Jalan Sawo ini. Cak Tarno merupakan salah satu pelobi ke RW
dan RT agar para pedagang pindahan dari kebun karet itu diberi tempat untuk berdagang di Jalan
Sawo.
Sejak tahun 2002 itu pula, lambat-laun Jalan Sawo semakin ramai. Banyak hal yang bisa ditemui di
jalan ini, seperti toko buku, toko ATK, toko komputer, foto copy, toko pakaian, toko CD/DVD bajakan,
pengemis, pengamen, wc umum, mushola, toko asesoris, warung makan, kedai minuman, roti medan,
tempat parkir, dan sebagainya. Bukan hanya pejalan kaki yang berlalu-lalang, sepeda motor dan mobil
juga sesekali masuk melintasi jalan yang lebarnya tidak lebih dari 2 meter ini. Kondisi seperti itulah
yang membuat jalan ini tampak selalu hiruk, terutama pada hari-hari aktif dari Senin sampai Sabtu.
Keberadaan ragam barang dagangan itu menjadi titik perhatian para pejalan kaki yang lalu-lalang.
Tidak perlu suatu pengamatan yang mendalam saja sudah cukup bisa dimengerti bahwa keberadaan
pedagang di jalan ini telah menjadi titik perhatian bagi siapapun yang melintas di sana. Transaksi,
sekedar melihat-lihat, atau cuek sama sekali merupakan pemandangan yang tiap hari menyeruak,
di samping juga sapaan, tawaran, dan rayuan dari para pedagang yang menawarkan barang
dagangannya kepada pejalan kaki.
Jalan Sawo ini memiliki pembagian penyebutan, yaitu depan dan dalam. Bagian depan menunjukkan
suatu tempat di Jalan Sawo yang dimulai dari jalan masuk dari arah Margonda hingga ke toko buku
Cak Tarno. Sedangkan bagian dalam dimulai setelah Cak Tarno hingga stasiun UI. Bagian dalam ini
pula yang oleh kebanyakan pedagang di situ disebut dengan Jalan Stasiun. Pembagian ini turut
pula membedakan kepemilikan status tanah yang ada di dalamnya. Status tanah yang ada di bagian
depan hampir semuanya milik pribumi atau perorangan dimana para pedagang yang ingin menyewa
tanah atau toko di situ bisa langsung berhubungan dengan pemiliknya. Sedangkan bagian dalam
merupakan milik stasiun sehingga penyewaannya pun berhubungan dengan stasiun.
Tasdik, salah satu petugas Pengatur Perjalanan Kereta Api(PPKA ) Stasiun UI mengatakan bahwa
Perusahaan Jasa Kereta Api (PJKA) sendiri memiliki wewenang untuk memaksimalkan fungsi-fungsi
tanah yang ada di sekitar stasiun untuk kepentingan stasiun sendiri. Hal ini disebabkan karena di PJKA
sendiri terdapat dua divisi, yaitu: pertama, Usaha non Angkutan (unang) yang bisa mencari pemasukan
melalui beberapa jenis usaha di luar angkutan, seperti pemanfataan tanah atau juga penyewaan
tempat-tempat terdekat stasiun dan rel kereta. Kedua, usaha angkutan yang berasal dari jasa angkutan
kereta api sendiri. Untuk masalah pemanfaatan tanah di stasiun UI itu, jika disewakan untuk jangka
panjang, mulai bulanan hingga tahunan, maka pembicaraan kontraknya langsung ke kantor pusat
yang terletak di Juanda, Jakarta dengan diwakili oleh kepala stasiun. Tetapi jika untuk penyewaan
yang instan, misalnya untuk pasang spanduk atau sesuatu yang kurang dari satu bulan, maka bisa
dibicarakan langsung dengan kepala stasiun dan uangnya pun bisa langsung dimiliki oleh stasiun
yang bersangkutan.
Meskipun berhubungan dengan stasiun, tetapi mekanisme penyewaan tanah dan toko di bagian
dalam ini tidak secara langsung berhubungan dengan kepala stasiun, melainkan dengan Hari
Alfan, seorang pemborong atau pengembang yang telah menyewa tanah di Jalan stasiun itu untuk
kemudian disewakan kembali ke orang lain. Sementara Hari Alfan sendiri meminta Teti untuk
mengurus teknis penyewaannya seperti mengurus surat kontrak sampai penagihan uang sewanya.
Secara sederhana, mekanisme penyewaan tanah dan toko di jalan stasiun atau bagian dalam tersebut
bisa digambarkan seperti GAMBAR 1. di bawah ini.
Teti yang mengaku masih ada hubungan suadara jauh dengan Hari Alfan mengatakan bahwa
dirinyalah yang berhubungan langsung dengan Hari Alfan dan juga para penyewa. Ia menegaskan
bahwa harga sewa di tempat tersebut beragam. Untuk toko ukuran 1x1,5 m atau yang mereka sebut
dengan auning harga sewanya mencapai 350 ribu rupiah per bulan. Sedangkan untuk toko yang
4
berukuran 4 x 2 meter bisa mencapai 9 juta per tahun. Biasanya, untuk sewa tahunan itulah yang
dibuatkan surat kontrak secara khusus, sedangkan untuk yang sewa perbulan cukup dibuatkan buku
catatan tersendiri oleh Teti.
Sudah tiga tahun belakangan ini, menurut Teti, jangka waktu penyewaan hanya bisa dilakukan selama
1 tahun untuk satu kali masa kontrak. Hal ini disebabkan oleh adanya kemungkinan dibangun dan
diperbaikinya stasiun UI. Dan jika setelah satu tahun itu masih memungkinkan untuk diperpanjang,
maka hal itu dilakukan kembali menurut kesepakatan. Tetapi dengan ada satu ketetapan tambahan
bahwa setiap saat para pedagang di tempat tersebut harus bersedia digusur jika pembangunan itu
dilakukan.
Para penyewa dan/atau pedagang di Jalan Sawo ini terdiri dari latarbelakang etnis beragam seperti
Minangkabau, Batak, Jawa, Sunda, Betawi dan hampir semuanya pendatang, bukan dalam arti pribumi
seperti para penduduk yang sudah puluhan tahun bertempat tinggal di daerah tersebut. Kategorisasi
etnis tersebut memang tidak serta menentukan jenis barang dagangan yang ada. Masing-masing
memiliki kejelian tersendiri untuk memilih jenis barang dagangan apa yang dijaja di tempat tersebut.
Seperti halnya Teti, perempuan berlatar etnis Sunda tersebut malah kedapatan membuka warung
makan masakan padang, suatu kenyataan yang tampak tidak lazim, meskipun Teti tentu saja memiliki
alasan tersendiri mengapa ia melakukan itu
1
.
1 Dalam kajian tentang identitas, kasus seperti Teti ini tentu saja menarik. Tetapi penelitian ini tidak berupaya menelusur ke arah sana dan
menemukan alasan di balik keputusannya membuka warung masakan padang, sementara dirinya sendiri adalah seorang Sunda.

Stasiun UI
(kepala stasiun)
Peng embang
(Hari Alfian)
Admini stratur
(Teti)
Peny ewa
(pedagang)
Gambar 1. Mekanisme Penyewaan Kios di Jalan Sawo Dalam
Gambar 2. Jalan Sawo Dalam

AdA UANG dibAlik PERATURAN
Sejak tahun 2000-an ketika Jalan Sawo telah
ramai oleh pedagang, sejak itu pula berbagai
aturan dibuat. Helmi, ketua RT 02 misalnya mulai
memberlakukan sistem keamanan dengan
membayar Darma sebagai kepala keamanan
di sana. Ia juga mulai memberlakukan adanya
retribusi sebagai uang jaminan keamanan yang
ditarik dari para pedagang dalam setiap bulannya.
Uang retribusi sebanyak 10.000 20.000
2

tersebut, selain digunakan untuk membayar
keamanan juga dijadikan sebagai pendukung
kegiatan-kegiatan di tingkat RT. Tidak semua
pedagang yang membayar uang retribusi dengan
jumlah yang sama. Ada beberapa pedagang
yang menawar ketika keamanan menagih uang
retribusi dari duapuluh ribu menjadi sepuluhribu.
Negosiasi tersebut dilakukan dan relatif berhasil
jika pedagang tersebut bisa memberikan alasan
yang meyakinkan petugas keamanan, seperti
rendahnya tingkat kelarisan barang dagangan
atau juga sekedar memelas minta keringanan.
Kenyataan tersebut hanya dimaklumi oleh
Helmi mengingat tidak semua pedagang
memiliki kepedulian yang sama. Baginya, yang
penting adalah kemauan dan partisipasi dari
para pedagang untuk membantu keterjaminan
keamanan di Jalan Sawo.
Tetapi lain halnya dengan para pedagang CD/
DVD bajakan yang semuanya berjumlah sekitar
10 orang, dengan lima di antaranya berjejer
di bagian dalam jalan ini. Selain mereka harus
membayat retribusi untuk keamanan dan
diserahklan ke RT melalui petugas keamanan,
mereka juga harus mengeluarkan uang yang
lebih banyak untuk diserahkan kepada oknum
aparat kepolisian setempat hingga berjumlah 50
ribu per orang untuk setiap minggunya. Babe,
salah satu pedagang CD/DVD yang ada di sana
mengatakan,
Seminggu sekali 50 ribu per orang. Di sini kan ada 5
orang tuh, jadi ya sekitar 250 ribu per minggu. Polisi
yang datang kesini juga bergantian, ada 4 orang
yang gantian kesini. Babe juga gak tau gimana
pembagiannya. Yang penting kita ngasih aja.
Uang tersebut, menurut Babe sebagai penjamin
agar mereka tetap diperbolehkan untuk menjual
CD/DVD bajakan sekaligus agar tidak terkena
razia dadakan. Tampaknya, uang tersebut
memang harus direlakan oleh para pedagang
CD/DVD bajakan daripada mereka mendapatkan
persoalan di kemudian hari. Tokh banyaknya
2 Helmi sendiri mengatakan bahwa uang retribusi yang ia tetapkan
tidak dipatok jumlahnya. Tetapi yang paling rendah adalah 10.000
hingga 20.000. Hal tersebut menurut Helmi tergantung pada kesadaran
para pedagang. Tetapi, kalau ada pedagang yang tidak mau membayar
uang retribusi, maka Helmi tidak menjamin keamanan pedagang
tersebut.
pejalan kaki yang suka membeli flm-flm incaran
di tempat itu, bahkan tidak sedikit di antaranya
yang menjadi pelanggan tetap, dalam arti setia
membeli di situ dan memesan judul flm-flm
tertentu yang sedang beredar di bioskop-
bioskop atau bahkan yang baru saja rilis di luar
negeri membuat para pedagang tersebut selalu
memenuhi tuntutan setoran illegal itu.
Meskipun demikian, bukan berarti kenyamanan
mereka mutlak terjamin. Sesekali waktu para
pedagang itu tetap harus menutup auningnya.
Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa
meskipun aparat kepolisian tidak melakukan
razia di tempat tersebut, tetapi razia tetap saja
dilakukan di tempat lain di Depok. Menurut
Babe, hampir seluruh pedagang CD/DVD
bajakan yang ada di Depok memiliki hubungan
pertemanan, sehingga jika salah satu lokasi
ditutup karena sedang ada razia, maka hampir
seluruh pedagang yang ada di Depok juga turut
menutup dagangannya untuk sementara sebagai
solidaritas antar sesama.
Satu hal yang menarik dari Jalan Sawo ini adalah
tidak adanya preman yang menganggu aktiftas
orang-orang yang ada di dalamnya. Hal ini
berbeda dengan beberapa tempat lain yang
tinggi tingkat transaksi ekonominya. Darma,
selaku keamanan di jalan ini mengatakan bahwa
antara dirinya dan juga ketua RT memiliki
ketegasan terhadap preman. Pernah suatu
ketika, terdapat beberapa preman pindahan dari
Manggarai dan Citayam yang ingin menduduki
Jalan Sawo. Tetapi keberadaan mereka segera
ditangani oleh Darma dengan mengatakan agar
lebih baik mereka tidak mengganggu ketertiban
Jalan Sawo ini karena dirinya selaku keamanan
bisa bertindak tegas dan bisa menyeret mereka
secara paksa ke kepolisian setempat.
Cak Tarno selaku pedagang buku di Jalan ini juga
mengatakan bahwa baik premanisme maupun
peristiwa-peristiwa konfiktual dan meresahkan
hampir tidak pernah terjadi di sana. Menurutnya,
hal itu disebabkan oleh semangat para pedagang
dan juga warga setempat yang ingin menjaga
ketertiban jalan sawo bersama-sama. Hal ini bisa
jadi pula menggambarkan adanya tafsir bahwa
Jalan Sawo merupakan wilayah harapan yang
menjanjikan bagi siapapun yang berkepentingan
terhadapnya. Dalam konteks itu pula kontrol
dalam bentuk penertiban merupakan mekanisme
yang paling bisa dilihat untuk melihat ragam
kepentingan yang dituangkan kedalam sebuah
jalan.
Satu hal yang tidak bisa dibendung adalah
intensitas pedagang dan pejalan kaki yang
semakin hari semakin meningkat. Keberadaan

kampus UI yang semakin lama semakin bertambah jumlah mahasiswanya menjadi salah satu
penyebab meningkatnya intensitas itu. Maka tidak heran juga ketika Dedy, salah satu mahasiswa
Fakultas Ilmu Komputer UI mengatakan bahwa kini jalan sawo menjadi tambah sesak. Apalagi jika
kemudian muncul sepeda motor atau mobil yang terlihat sangat memaksa diri masuk dan melintas
di jalan ini. Orang-orang yang berlalu-lalang dipaksa menyingkir dan harus memiringkan tubuhnya
menghindari kemungkinan terserempet motor atau mobil yang lewat. Apa yang dikeluhkan oleh Dedy
tersebut diiyakan oleh Dewi, salah satu mahasiswi antropologi UI.
Sedangkan Rina Mahasiswi Psikologi, yang berkost di Jl. Kober, menyatakan bahwa Jl. Sawo menarik
karena sempit, dan terkesan padat. Kita berjalan, sambil bersenggolan. Saya lewat Jl. Sawo karena letak
kost berhadap-hadapan dengan Jl. Sawo. Jalan ini enak karen banyak pedagang cemilan kalau mau
ngerjain tugas kita belanja cemilan dulu disini, dibawa terus ke kos.
Iya, kita ini kan pengennya bisa jalan dengan nyantai, bisa tengak-tengok kiri-kanan sambil lihat-lihat
pedagang. Tapi kalo suka ada mobil sama motor lewat situ dan agak nyrempet-nyrempet gitu ya pasti gak
nyaman. Masak jalan segitu dilewatin mobil ya gimana. Tapi juga susah kali ya soalnya tempat parkir di
bagian luar sana gak ada, mungkin itu juga kali yang bikin motor suka masuk situ.
Kesan semrawut dan sesak seperti yang dimunculkan oleh Dedy dan Dewi tadi tidak sepenuhnya
diamini oleh Cak Tarno. Ia mengatakan bahwa mobil yang suka melintas di Jalan itu adalah mobil milik
penduduk setempat.
Gini, dulu Jalan Sawo ini kan tidak ada. Yang ada cuma jalan setapak dari tanah yang suka becek kalo
hujan. Lalu ketika UI mulai ramai dan banyak dilewati orang. Para warga di sini sepakat untuk sedikit
memperlebar jalan dan dibangun ala kadarnya. Dan warga juga sepakat kalo jalan ini bisa dilalui
kendaraan oleh warga di sini sendiri. Itulah sejarahnya. Mobil yang lewat itu ya milik warga sini. Jadi kalo
ada orang yang kesal karena jalan sempit kayak gini kok dilewati mobil, berarti dia tidak tahu sejarahnya.

Kesan semrawut dan sesak dari Jalan Sawo ini tetap tidak bisa mengurangi intensitas pedagang dan
pejalan kaki. Para pedagang pun tentu saja lebih senang dengan kondisi seperti itu karena semakin
sesak keadaannya maka potensi setiap orang untuk melirik dan mampir ke tokonya akan semakin
besar. Tidak sedikit pula pejalan kaki yang sudah mengendapkan dalam pikirannya bahwa Jalan Sawo
merupakan alternatif untuk mendapatkan sesuatu barang yang diinginkannya. Kiki dan Juna misalnya,
tidak pernah merasa khawatir jika tiba-tiba ia tidak membawa peralatan tulis karena Jalan Sawo telah
menyediakannya. Para pedagangpun mengerti bahwa kebutuhan setiap pejalan kaki harus bisa
dipenuhi oleh mereka.
Menjadi semakin menarik karena harga yang tersemat di setiap jenis barang dagangan relatif lebih
murah dibanding dengan harga-harga yang ada di tempat lain. Dalam hal pakaian dan buku-buku
Gambar 3. Batas Sawo Dalam dan Depan

misalnya, bisa dipastikan lebih murah jika
dibanding dengan membelinya di supermarket
atau toko buku terkenal seperti Gramedia. Di
situlah letak kepiawaian para pedagang untuk
menyajikan barang dagangan dengan kualitas
yang baik dan harga yang murah. Untung sedikit
tidak menjadi soal asalkan peredaran uang tetap
terjaga antara modal dan pengeluaran.
Studi empiris menyebutkan fungsi-fungsi
dari ruang publik akan optimal jika memiliki
karakteristik sebagai berikut (1) Memiliki tingkat
kemudahan akses dari ruang publik ke jalan-
jalan yang mengelilinginya. (2) Kepadatan dari
pergerakan orang-orang di jalan-jalan sekitarnya.
(3) Memiliki trotoar untuk pejalan (pedestrian)
yang memungkinkan mereka berhenti sesaat. (4)
Memperkirakan durasi berhenti sesaat dengan
laju para pejalan. Ruang publik yang hidup lebih
sering berhubungan dengan tingkat pergerakan
yang tinggi di jalan-jalan yang mengelilinginya
(5) Orientasi pada kenyamanan, selain itu
orang akan betah berlama-lama di jalan jika
mengalami pengalaman ruang yang indah.
(6) Memperkirakan kehadiran ritel dan sarana
istirahat. Adanya ritel, menyebabkan orang ruang
publik menjadi hidup. Kehadiran para pengguna
ruang publik merupakan ciri kehidupan ruang
publik. (7) Keteduhan sebuah kota yang sehat
memberikan udara bersih untuk warganya.
kanopi pohon, selain memberikan keteduhan
bagi yang dibawahnya, juga sebuah produsen
udara. Jalan Sawo setidaknya memiliki 5 karakter
jalan sebagai ruang publik. Bahkan imaji jalan
Sawo terbawa pula pada karakter sebuah jalan di
kompleks pendidikan di Medan.
Jalan Sawo menarik karena sempit dan banyak
orang jualan, pernah waktu di Medan ada
jalan sejenis, namanya Pajak USU (Pajak sama
dengan Pasar dalam bahasa Medan, USU adalah
Universitas Sumatera Utara) jalan ini bersebelahan
dengan kampus USU, Anak-anak Mapala UI
merasa seperti di rumah sewaktu melawati jalan
ini, kalau di Depok namanya gg. Kober, kata anak-
anak Mapala waktu mampir ke tempatku, sehabis
turun gunung Leuser, menurut Dedi, mahasiswa
Fakultas Ilmu Komputer UI.
Ciri ritel kaki lima di jalan Sawo mendekati ciri-ciri
kaki lima pada umumnya karena sifatnya yang
informal, sehingga siasat-siasat yang dibangun
oleh pedagang kaki lima menjadi sangat khas.
Karakteristik khas tersebut diantaranya ialah
sangat mudahnya untuk memasuki sektor
informal dan khususnya PKL tersebut karena
kemudahan memasuki sektor yang disebabkan
karena tidak dibutuhkan kualitas keterampilan
yang tinggi dan biaya-biaya transaksi (transaction
costs) yang sangat rendah. Biaya-biaya transaksi
yang dimaksud berupa biaya-biaya dan waktu
negosiasi, informasi, mendapatkan izin, kontrak,
monitoring dan peneguhan kontrak yang sangat
rendah. Mudahnya keluar masuk pedagang kaki
lima dapat dilihat dari pengalaman Babe dan
Alfred berikut ini.
Babe memulai usahanya kira-kira 6 bulan lalu.
Sebelumnya ia berjualan minuman di Terminal
Kampung Melayu. Babe begitu ia merasa nyaman
dipanggil, adalah perantau dari tanah Minang,
sudah sejak awal 80an berjualan di Jakarta.
Pindahnya ia dari menjual minuman ke penjual
pakaian di jalan Sawo disebabkan usianya yang
menua dan kondisinya yang sakit-sakitan dalam
setahun terakhir. Umur Babe sekitar 60 tahun.
Ia mengetahui jalan Sawo sejak lama, anaknya
telah lama berjualan ATK di Sawo Dalam (deretan
stasiun).
Kios Babe nampak bersih, dengan warna dominan
putih dengan diseling hijau, kios ini memiliki kesan
luas, walau ukuran kios Babe hampir sama dengan
kios disebelahnya, sekitar 1,5 x 1,5 m
2
.
Alfred bercerita bahwa sebelumnya ia berdagang
voucher dan ketela dengan merek dagang Telo.
Untuk usaha voucher ia menutupnya dengan
alasan keamanan. Menurut dia, pegawainya
sering diintimidasi oleh beberapa orang suruhan
dari pedagang voucher lainnya, karena ia
menjual harga paling murah di sepanjang jalan
itu. Pedagang lainnya seolah tidak suka dengan
caranya berdagang, walaupun menurutnya harga
yang ditawarkannya sudah lazim di daerah Jakarta.
Harga tersebut bukan untuk menjatuhkan atau
merusak pasar, namun ia memang sebelumnya
berdagang voucher dengan harga yang sama
seperti yang ia bandrol di Jl. Sawo.
Dari sisi penyediaan ruang maka konsep
aglomerasi berlaku di jalan Sawo. Aglomerasi
dalam ekonomi merupakan proses
pengelompokkan jenis usaha, yang memiliki
kecenderungan yang sama (satu jenis).
Sedangkan secara umum aglomerasi didefnisikan
sebagai konsentrasi spasial dalam pemanfaatan
ruang. Di jalan Sawo aglomerasi terlihat
seperti latah, duplikasi atas kecenderungan
kesuksesan usaha tertentu. Aglomerasi juga
beroperasi dengan cara pengelompokkan
dengan sengaja usaha-usaha, unit bisnis (toko,
kios, pabrik, perkantoran, dll) yang membentuk
rantai dagangan sejenis. Menurut teori lokasi,
aglomerasi dapat menciptakan berbagai
8
dampak eksternalitas (dampak negatif terhadap ekonomi kota/komunitas sendiri) khususnya yang
menimbulkan besarnya biaya-biaya sosial sehingga menimbulkan inefsiensi. Seperti kasus-kasus
pedagang kaki lima di jalan raya, yang kemudian menimbulkan ekonomi biaya tinggi, seperti pungli,
kenaikan penggunaan bahan bakar karena kemacetan, sampah, dan lain sebagainya. Dalam ekonomi
wilayah karakter dari aglomerasi mencirikan tingginya land rent
3
lokasi tersebut. Hal ini dapat dilihat
dari tingginya persaingan untuk mendapatkan tempat di jalan Sawo, dan makin kecilnya ruang fsik
(representional space) yang dijadikan kios. Namun hal ini tidak menjadikan jalan Sawo sepi, hal ini
disebabkan oleh permintaan akan ruang terus bertambah.
Awalnya saya dengan istri sedang makan di Es Pocong. Tanpa sengaja bertemu dengan saudara saya. Dia
punya satu tempat kecil di sini yang ia pakai untuk jualan ketela. Dia mengajak saya dan memperlihatkan
bisnisnya. Ketika saya mulai masuk ke jalan ini, saya berpikir, wah gila juga nih jalan, rame banget.
Waktu itu, saudara saya itu mau menjual hak sewa tempatnya berjualan itu ke saya karena dia mau
pindah dengan tawaran harga 7 juta rupiah setahun. Wah mahal juga, pikir saya. Tempat yang sangat
kecil itu, berukuran tidak lebih dari dua meter, tempatnya juga tepat di depan pagar pemilik rumah, jadi
kalau pemilik rumah mau mengeluarkan motor, ya harus minggir dulu ternyata bernilai segitu. Lalu saya
dipertemukan dengan pemilik tempat itu. Saya tidak langsung ambil, tapi ngobrol dulu dengan istri.
Beberapa hari kemudian saudara saya SMS, ya udah saya iyakan tapi nego dulu. Akhirnya bisa dapet 5
juta pertahun. Tempat itu saya pake untuk jualan ketela juga sekalian jualan voucher.
Dari tahun ke tahun menurut Alfred harga kios disini naik. Selain peminatnya banyak, disini juga
mudah keluar-masuk (entry market), dan mengubah serta meragamkan jenis usaha. Banyak juga
para pedagang yang gagal, berubah haluan, atau over kontrak. Jika pedagangnya kaya, seperti penjual
pakaian di depan kiosnya, dengan biaya mahalpun masih memiliki kesanggupan membayar sekitar 6
jutaan (harga lama) atau 8-12 juta (harga baru) untuk ukuran kios 2-3m
2
. Sedangkan harga kios tenda/
awning sekitar 400 ribu per bulan. Selain membayar kios, mereka juga diwajibkan membayar uang
keamanan, sekitar Rp. 20.000,- per bulan. Pengemispun menurutnya dikenai uang sewa walaupun ia
tidak bisa mengatakan angkanya. Menurutnya informasi mengenai cara menyewa lapak (ruang) atau
kios tersebut cukup jelas dan mudah diakses.
Dalam sistem pasar seperti ini keputusan memanfaatkan ruang memiliki kecenderungan dengan
mempertimbangkan ricardian
4
dan locational rent sebagai mana disebut economic land rent atau land
rent. Karena land rent merupakan dinamisator dari perubahan penggunaan lahan, sehingga jika land
rent tidak memperhitungkan environmental rent, maka perkembangan economic rent
5
cenderung
ke arah merusak lingkungan. Dalam kasus jalan Sawo terjadi kesepakatan-kesepakatan untuk
menjaga agar eksternalitas negatif dari aglomerasi seperti di atas tidak terjadi, seperti premanisme,
pencurian, sampah yang berceceran dan lain-lain. Kesepakatan ini selain tertulis (bisa juga tidak) juga
membutuhkan peneguhan (enforcement) atasnya, dan biasanya enforcement itu membutuhkan biaya-
biaya, yang oleh kalangan bisnis akan dimasukkan ke dalam biaya operasional/produksi) sebagai
internalize external cost-seperti biaya sosial dan biaya lingkungan
6
.
Premanisme menurut pak Helmi tidak ada di wilayah ini, terutama yang terkait dengan jalan Sawo karena
warganya kompak, para pemilik kios/tempat dan rumah. Termasuk komitmen Stasiun untuk memelihara
daerah sekitarnya. Stasiun memberikan kontribusi yang cukup untuk keamanan dan kebersihan sekitar
stasiun, dibayarkan kepada RT/RW.
Kesepakatan semacam ini dalam ekonomi ruang disebut sebagai aglomeration force yaitu suatu
kekuatan ekonomi yang mengakibatkan aktor-aktor ekonomi berkumpul/lebih terkonsentrasi pada
satu titik. Hal ini disebabkan oleh adanya kerjasama untuk memanfaatkan skala ekonomi
7
, skala
3 Economic land rent secara operasional dapat diukur sebagai pendapatan bersih yang diterima suatu bidang lahan tiap meter persegi
per tahun akibat dilakukannya suatu kegiatan pada bidang lahan tersebut.
4 Menurut von Thunen (1842)dalam Rustiadi (2008), nilai land rent bukan hanya ditentukan oleh kesuburan lahan (Ricardian rent)
atau iklim, tetapi nilai land rent merupakan fungsi dari lokasinya (location rent), dimana perbedaan rent ini lebih ditentukan oleh biaya-biaya
transfernya
5 Environmental rent adalah rent yang timbul karena setiap bidang lahan mempunyai fungsi ekologis. Jika penggunaan suatu
lahan mengganggu fungsi ekologis, maka akan terjadi biaya sosial yang ditanggung oleh orang lain.
6 Di jalan Sawo secara formal kebersihan ditarik restribusinya oleh Pemda(Rp. 5.000,- per bulan) dan keamanan merupakan wewenang
masyarakat setempat, disetorkan ke RT (dengan kisaran R. 10.000,- s/d Rp. 20.000,-per bulan).
7 Skala ekonomis adalah rasio output-biaya yang akan mempengaruhi penggunaan input (sumberdaya) yaitu makin banyak output
9
ekonomi tersebut hadir ketika ada potensi
untuk mengambil laba dari setiap orang yang
lalu-lalang dengan kerjasama antara penjual
barang yang sejenis. Biasanya dalam produk
ritel skala ekonomis terjadi ketika ada saling
bantu-membantu dalam hal penyediaan barang
dengan asumsi barang yang dijual merupakan
barang industri-massal, sedangkan pada barang
yang sifatnya pesanan (custom made) skala
ekonomi ini dicapai oleh kuantitas barang yang
terjual. Dalam beberapa kasus di jalan Sawo
skala ekonomis ini terjadi seperti dalam kerjasama
antar pedagang DVD atau Cak Tarno dengan
pedagang buku lainnya.
Jalan Sawo ini menurut ibu Erik semakin banyak
peminatnya, semakin menjanjikan keuntungan
sekaligus memberikan pesaing. Ia menunjuk
beberapa penjual buku yang baru membuka toko
sekitar 3-4 tahun belakangan. Salah satunya
yang ada di dalam stasiun dan berseberangan
tokonya. Namun menurutnya rezeki itu tidak lari
kemana-mana. Di kalangan penjual buku saling
memberikan bantuan jika memiliki pelanggan yang
mencari suatu buku. Cak Tarno lari kesini kalau
butuh barang.
Sedangkan buku yang dijual di toko buku Erik
kebanyakan buku teks kuliah. Jika permintaan
buku banyak maka ia akan menyediakannya, tapi
TB. Erik ini tidak mencoba melayani permintaan
perorangan. Karena sudah lama berkecimpung
dalam perbukuan, lebih dari 15 tahun, ia sudah
mengetahui buku apa yang dibutuhkan mahasiswa.
Ia juga mencarinya lewat mata kuliah atau
kurikulum di fakultas, informasi juga di dapatkan
dari dosen dan mahasiswa, mengenai buku-buku
yang digunakan dalam mata kuliah semester
berjalan. Menurutnya judul-judul buku untuk S1
relatif sama dari tahun ke tahun.
Aglomeration force berhenti bila tercapainya
normal proft sehingga kompetisi antar pedagang
berubah menjadi kompetisi kualitas dan biaya-
biaya produksi, yang bisa menyebabkan efsiensi
dan keuntungan secara ekonomi. Di jalan Sawo
hal ini dapat dilihat dari bubarnya beberapa usaha
franchise kelas kaki lima seperti Cireng Bandung,
Cimol, dan beberapa produk keripik singkong/
kentang. Untuk memenangkan persaingan bagi
penjual makanan yang harus memiliki resep yang
khas maka usaha yang dilakukan adalah menjaga
rasa, kualitas bahan baku, yang ternyata secara
ekonomis menghasilkan penghematan.
yang dihasilkan, biaya produksi per unit makin kecil sehingga
penggunaan input antara semakin efsien.
Mengenai produk yang dijualnya Alfred
mengatakan, Saya selalu ingin memberikan yang
terbaik pada konsumen, seperti memakai susu segar
dibandingkan dengan susu kaleng kental manis.
Dengan sedikit tambahan modal. (susu segar lebih
mahal dari susu kental manis), rasa boleh diadu.
Padahal menurutnya susu segar lebih hemat
dibandingkan susu kental manis, lebih hemat jika
sudah dicampur dengan pemakaian gula, karena
menurutnya dengan memisahkan gula dan susu,
konsumennya memiliki alternatif sesuai selera,
ingin susu sedikit atau ingin lebih manis, atau
ingin yang tidak terlampau manis. Dan setiap
kali meracik menu kopi, ia akan menawarkan
pilihan tersebut. Selain penghematan secara
dilihat dari sisi pasar (permintaan) hal ini akan
menyenangkan konsumennya.
Berbeda dengan yang dilakukan oleh
Gondrong dan Babe, penjual DVD, ia semakin
memperhatikan pesanan konsumennya,
tanpa lupa meningkatkan kapasitasnya untuk
mempelajari produk yang dijualnya (product
knowlegde).
Pelanggan saya lumayan bos. Kalo udah mesen,
saya juga suka kewalahan soalnya mereka lebih
jago masalah flm. Saya suka ke internet bos.
Brosing sebentar flm-flm yang sedang tren, trus
saya cari di Glodok. Gile bos, anak-anak sini cepet
banget taunya. Kalo kita gak ngerti, bisa-bisa
ketinggalan ma mereka. Biasanya si yang dicari
kayak flm-flm kartun ma flm-flm drama romantis
Korea gitu.
Kapasitas berperilaku seperti ini menurut
Levebre (2001) adalah spatial practice (praktek
spasial) yang mencakup kegiatan produksi dan
reproduksi, dan lokasi tertentu serta karakter
wilayah dari pembentukkan sosial. Praktek spasial
ini menjamin keberlanjutan dan tingkat kohesi
sosial. Dalam konteks ruang sosial dan anggota
di dalamnya maka kohesi sosial ini berimplikasi
pada tingkat kemampuan dan tingkat keragaan
(kemampuan mencapai hasil). Dalam praktek
spasial ini individu berperilaku partikular,
intensional.
10
Jalan Sawo merupakan ruang penuangan fantasi
dan kreatiftas para penggunanya. Lebih tampak
lagi adalah berbagai kreatiftas yang dilakukan
oleh para pedagang yang ada di dalamnya.
Kreatiftas itu tentu saja tidak semata-mata karena
muncul dari dorongon pribadi mereka, melain-
kan juga karena interaksinya dengan orang lain.
Tindakan, dikonsepsikan oleh Marx sebagai suatu
praxis, penyaluran kemampuan subjektif dalam
suatu ruang dan waktu tertentu sebagai proses
dialektis dan historis antara subjek dengan dunia
material mereka (Turner, 2008: 51-52).
Beberapa pedagang yang ada di Jalan Sawo
tampaknya mulai menyadari bahwa salah satu
persoalan dalam dunia dagang sangat terkait
dengan permodalan dan pemutaran uang.
Semata-mata mengandalkan keuntungan
untuk dialokasikan dalam memenuhi
kebutuhan yang lain sepertinya tidak cukup
menyiasati permodalan mereka. Dalam rangka
menjaga stabilitas keuangan itulah, selain
menggantungkan diri pada penjualan, beberapa
pedagang melakukan arisan sebanyak seratus
ribu rupiah setiap minggu. Baik di bagian depan
maupun bagian dalam Jalan Sawo ini memiliki
kelompok arisan sendiri-sendiri. Dengan jumlah
anggota minimal 10 orang di setiap kelompok,
maka setiap minggu mereka bisa mendapatkan 1
juta rupiah yang bisa digunakan untuk menyiasati
permodalan dan kebutuhan yang lain.
Arisan itu pula yang membuat hubungan
antar pedagang menjadi lebih erat. Kompetisi
berdasarkan ekonomi tidak kemudian
menyebabkan hubungan sosial di antara mereka
menjadi luntur. Pengakuan Teti bahwa semua
pedagang di situ sudah seperti saudara seolah-
olah ingin menunjukkan adanya hubungan
sosial yang dilandasi semangat kebersamaan
ketimbang berdasarkan kebutuhan ekonomi
semata-mata. Lebih ringkasnya, dibalik yang
ekonomi juga diperlukan sesuatu yang lebih
sosial, yaitu keterjalinan hubungan kekeluargaan
yang dirajut melalui jalur ekonomi.
Bahkan, dalam konteks hubungan sosial itu
pula, Babe yang selalu memberikan setoran
ke aparat kepolisian juga telah menganggap
bahwa antara dirinya dengan beberapa aparat
itu juga layaknya saudara. Ia yang di suatu waktu
tampak mengeluh dengan kewajiban menyetor
uang mingguan ke aparat kepolisian, tetapi juga
tampak senang dengan kedekatan hubungannya
dengan beberapa aparat tersebut. Tampaknya,
Babe cukup mengerti mana kewajibannya
untuk menyetor sebagai tebusan terhadap
tindakan yang dinilai melanggar hukum dan
mana hubungan pribadinya dengan aparat yang
menurutnya cukup dekat itu.
Lain halnya kreatiftas yang dibangun oleh
Gondrong. Salah satu penjual CD/DVD bajakan
di Jalan Sawo itu mengaku bahwa dirinya kini
sangat piawai untuk menjelaskan setiap genre
flm, termasuk cerita setiap flm yang ia jual.
Keinginan setiap pembeli yang kebanyakan
adalah mahasiswa juga menuntutnya untuk
selalu mencari tentang flm-flm terbaru melalui
internet. Jika hanya sekedar menceritakan flm,
hal itu merupakan sesuatu yang mudah karena
ia cukup menonton terlebih dahulu lalu esoknya
ia bisa ceritakan ke setiap pembeli. Tetapi
mengetahui flm yang sedang jadi kegemaran
calon pembeli harus diimbangi oleh pengetahuan
tentang genre flm itu sendiri, seperti flm Korea
romantis, flm drama Hollywood, termasuk
kualitas gambar, alur cerita, dan sebagainya yang
sedang menjadi incaran para pembeli.
Untuk menambah kepercayaan bagi para
pembeli dan pelanggannya, Gondrong hanya
mau menjual flm-flm yang menurut mereka
sudah ori, yaitu flm dimana gambar, suara,
dan juga terjemahannya sudah cukup bagus.
Meskipun flm tersebut merupakan bajakan,
tetapi ia memiliki kualitas seperti yang asli
(original). Kepiawaian ini tidak banyak dilakukan
oleh rekannya, Henri. Pedagang yang satu ini
tidak begitu gencar untuk pergi ke internet
mencari informasi tentang flm-flm baru yang
sedang trend di luar negeri. Karena itu pula ia
kerap ketinggalan informasi dibanding oleh para
pembeli sendiri.
Untuk menghindari pencidukan dari aparat
kepolisian, seluruh pedagang CD/DVD bajakan
di jalan Sawo ini sepakat untuk tidak menjual
flm-flm porno. Menurut Henri, sewaktu razia
dilakukan, maka flm-flm porno merupakan
target utama. Kami di sini semua sudah gak mau
jualan S3 (flm porno) mas. Malahan, kalau ada
yang nanya ada S3, malah dicengin (dipermalukan)
gitu. Caranya, sewaktu dia nanya sambil bisik-bisik,
kita malah kencengin aja; apa? S3? seolah-olah kita
gak denger. Dia jadi malu sendiri, ujar Henri.
Proses kegiatan ekonomi ternyata selalu beriring
dengan proses sosial. Pilihan beberapa pedagang
yang tidak selalu ajeg dan stabil dalam menjual
sesuatu juga diakibatkan oleh hubungan mereka
dengan lingkungan sosialnya, terlebih khusus
dengan para pejalan kaki yang ada di situ.
Pengamatan di awning kaos milik Agus sangat
menunjukkan hal itu. Di etalase awningnya,
menempel beberapa stiker kolektif punk ada
beberapa koleksi CD musik dan kaset lawas,
poster Mr. Smith, vokalis dari kelompok The
Cure, serta poster kelompok musik Wezeer. Ada
sekitar 25 kaset dan CD dalam etalase tersebut,
RUANG MATERiAl dAN SUbjEk yANG kREATif
11
dan sekitar 60 kaos yang dipajang di gantungan baju. Rata-rata untuk jenis kaos unisex bertemakan
kelompok musik, terutama kelompok musik dari Barat, Eropa dan Amerika Utara, ada juga yang dari
Eslandia seperti Bjork, yang tahun kemarin sukses manggung di Indonesia. Dari dalam negeri diwakili
oleh BurgerKill, group musik dari Bandung, Marjinal, Agus sendiri mengaku mengenal pemiliknya yang
merupakan anggota kelompok punk dari Bojong Gede, menurut Agus cukup terkenal di kalangan
punk di Jakarta dan Depok. Untuk jenis kaos perempuan, kebanyakan bergambar kartun, seperti
Doraemon, Emily, tokoh Manga, dan beberapa tokoh lainnya.
Disini kami lebih banyak menerima pesanan kaos. Keuntungannya lebih banyak dari sana. Termasuk
kaos-kaos kartun ini, awalnya kami buat berdasarkan pesanan. Karena seringnya ada yang bertanya
tentang desain kartun akhirnya kami mencoba mengikuti pasar. Tadinya kami hanya menjual kaos dengan
gambar atau nama kelompok musik saja, tidak menjual kaos bergambar kartun. Kebanyakan yang
membeli kaos kartun ini adalah perempuan. Dan pembeli kami sekarang seimbang, tapi dari pengalaman
kami ada kenaikan pembeli perempuan, ujar Agus.
Sedangkan Cak Tarno, selain bermotif ekonomi ia juga memiliki kepentingan lain dalam menjual buku-
buku di jalan itu, yaitu sebagai ruang transformasi diri. Sejak tahun 1995, ia berdagang di bagian dalam
menjual buku-buku manajemen. Lalu tahun 1998, ia pindah ke bagian depan karena ia tidak mampu
membayar sewa. Tetapi, pada tahun 2002 ia pindah lagi di tempat yang sekarang ini ia jadikan sebagai
berdagang sekaligus tempat berdiskusinya beberapa orang yang konsen di bidang ilmu-ilmu sosial.
Kepindahannya ke tempat yang sekarang ini pun berkat kebaikan pemilik rumah yang memberikan
tempat untuk dijadikan sebagai toko buku, hingga Cak Tarno pun membayar sewa tempat itu dengan
sangat murah.
Cak Tarno sendiri mengatakan bahwa buku-buku yang dijual di jalan itu pun kebanyakan buku-buku
manajemen dan hukum. Ia lalu mencoba menjual buku-buku ilmu sosial dan sastra yang ternyata
sangat menarik minat pembeli. Cak Tarno yang hanya lulusan SD ini mengatakan bahwa strateginya
berdagang buku sangat berbeda dengan pedagang buku yang lain. Ia mengaku bahwa dirinya telah
menyatu dengan pembeli, dalam arti ia tidak mau mengambil jarak dengan mereka. Jika pembeli
ingin melihat dan membaca terlebih dahulu buku yang diminati, maka Cak Tarno tidak pernah
keberatan. Di sisi lain, Cak Tarno memang suka membaca buku-buku tersebut, sehingga ia sangat
fasih menjelaskan isi buku tersebut. Pergaulannya dengan beberapa mahasiswa yang kemudian
mendirikan Cak Tarno Institute
8
semakin menambah pengetahuannya. Beberapa teori dalam bidang
ilmu sosial, khususnya flsafat pun ia lahap.
Kemampuannya mentransfer pengetahuan kepada pembeli itulah yang membuat para pembeli
merasa dipermudah untuk mencari buku-buku yang sesuai dengan minat mereka. Pilihan strategi
seperti ini memang memiliki dampak tersendiri baginya. Selain ia sendiri merasa bertambah
wawasannya, ia juga menjadi sangat dikenal sebagai penjual buku dengan cara yang cerdas. Dan jika
dibandingkan dengan pedagang buku yang lain di Jalan Sawo, tampaknya Cak Tarno masih satu-
satunya yang memiliki kemampuan seperti itu. Sayang, menurut Cak Tarno, ruang diskusi dan berbagi
pengetahuan yang kerap ia gelar tidak banyak diikuti oleh mahasiswa UI seolah-olah diskusi menjadi
sesuatu yang tidak penting lagi.
8 Cak Tarno Institute merupakan wadah penuangan gagasan dari beberapa mahasiswa atau alumni UI. Berbagai diskusi tentang ilmu
sosial kritis kerap digelar di tempat ini dengan nuansa santai tapi serius. Pendakuan Cak Tarno sebagai ikon tersebut tampaknya ingin menitipkan
suatu pesan bahwa pengetahuan kritis bisa dibangun oleh siapapun tanpa terkendala oleh sekat-sekat akademik formal.
Gambar 4. Komoditas yang laku diperjualbelikan
1Z
Apa yang menarik dengan mengamati Jalan Sawo
adalah keberadaannya sebagai tempat (place)
dan ruang (space) bagi tindakan sosial yang
bermakna. Konsep ruang sendiri pada awalnya
banyak terinspirasi dari kajian tentang geograf,
tetapi kemudian mengalami perkembangan
ketika ia dimasuki oleh kajian ilmu sosial.
Penyebutan ruang sebagai pilihan memiliki
implikasi konseptual ketimbang menyebutnya
sebagai tempat. Harvey mengemukakan bahwa
suatu tempat tidak semata-mata objek fsik
semata, melainkan juga suatu ranah pengalaman,
imajinasi, harapan, emosi, dan fantasi (Harvey,
2004: 102).
Dalam konteks itu pula, Werlen (2006)
menambahkan sentuhan kritis tentang tindakan
agen dalam suatu ruang. Menurutnya, ruang
menjadi bermakna ketika setiap subjek atau
agen bertindak untuk mengekspresikan
subjektiftasnya terhadap kondisi material
yang ada di sekitarnya. Teori ini kemudian
dikenal sebagai geograf sosial berorientasi
tindakan (theory of action oriented social
geography) (Werlen, 2006: 7). Teori ini merupakan
kritik terhadap pemikiran Lefebvre (2001)
mengenai praktik spasial (spatial practice)
yang dinilai bernuansa materialisme vulgar
karena menganggap bahwa ruang merupakan
komponen utama dari terbentuknya perilaku
sosial, sedangkan perilaku merupakan akibat
dari respon yang dirangsang oleh ruang material.
Pemikiran ini, menurut Werlen telah jatuh pada
reifkasi terhadap ruang dan reifkasi terhadap
relasi produksi karena menganggap bahwa yang
sosial hanya mewujud di dalam yang material.
Sementara tindakan justru memiliki sisi sosio-
kulutual seperti nilai-nilai dan norma-norma yang
tidak bisa direduksi pada telaah fsik dan biologis
semata.
Sebagai kritik terhadap praktik spasial Lefebvre,
Werlen memberikan rumusan tentang proses
tindakan subjek yang muncul dalam ruang
tertentu. Menurutnya, setiap tindakan selalu
mengandung empat urutan (sequence) proses,
yaitu: proyeksi tindakan, pendefnisian subjek
terhadap situasi, realisasi tindakan, dan
konsekuensi tindakan. Keseluruhan urutan
proses tindakan tersebut bukan suatu ranah yang
bisa diamati (observable) karena terletak pada
intensionalitas subjek, bukan pada respon yang
muncul sebagaimana dikonsepsikan oleh para
teoretisi perilaku (behaviorist).
Dalam setiap tindakan yang dilakukan
para subjek dalam ruang itu pula Bourdieu
menambahkan sentuhan mengenai perlunya
melihat kekuasaan dalam setiap interaksi yang
terjadi (1991). Konsep kekuasaan sendiri banyak
terinspirasi oleh Foucault (1980) yang memaknai
kekuasaan (power) sebagai suatu situasi strategis
yang dimiliki dan dioperasikan oleh setiap
individu dalam setiap relasi dengan yang lain.
Dalam konteks ini, maka kekuasaan bukanlah
suatu kekuatan yang dominan dan hanya dimiliki
oleh kelompok tertentu, melainkan menyebar
dan terdapat pada setiap individu.
Ruang sosial (social space), menurut Bourdieu
selalu terkait dengan berbagai modal ekonomi,
sosial, dan budaya - yang melecut beroperasinya
kuasa. Keberadaan RT, keamanan, aparat
kepolisian dengan kontrol yang dimanifestasikan
melalui regulasi, retribusi, dan permintaan
setoran menunjukkan bagaimana kekuasaan
itu bekerja dengan masing-masing modal yang
dimilikinya. Di sisi lain, para pengemis, pengamen,
atau waria yang suka bertindak di jalan tersebut
juga menggunakan kekuasaannya untuk
mendapatkan sesuatu yang mereka inginkan.
Beberapa pengemis yang tidak penah absen
menjelepok di Jalan Sawo ini menurut Cak Tarno
dan juga Alfred bisa mendapatkan penghasilan
harian hingga mencapai 300 ribu rupiah, suatu
jumlah penghasilan yang cukup lumayan. Cak
Tarno yang berdagang buku di dekat tempat
mangkalnya pengemis itu tampaknya mengerti
betul bagaimana kehidupan pengemis tersebut.
Itu (pengemis) yang suka mainin suling itu ya
di situ terus. Pengemis itu sebenarnya bukanlah
tergolong orang miskin karena mereka itu rata-rata
memiliki rumah di kampungnya. Dulu, penghasilan
pengemis itu bisa 300 ribu perhari. Tapi sekarang
menurun karena orang-orang di sini sudah tau kalo
dia itu bukan pengemis miskin yang sebenarnya.
Gimana mau dibilang miskin kalo tiap datang dan
pulang dia diantar oleh seseorang bersepeda motor.
Dia sih ngakunya itu tukang ojek. Tapi sebenarnya
bukan. Itu ya dari kelompoknya sendiri, ujar Alfred.
Beragam tindakan yang dilakukan oleh para
aktor yang ada di Jalan Sawo, dari mulai cukup
menggambarkan adanya suatu keterjalinan
hubungan antara jalan sebagai wilayah
material dengan manusia sebagai subjek yang
kreatif. Berbagai gambaran secara etnografs
di atas cukup menggambarkan bagaiamana
kreatiftas tersebut dibentuk dalam rangka
mengembangkan suatu kehidupan dan relasi
sosial yang konstruktif. Melalui Jalan Sawo itu
pula menjadi tampak jelas untuk merelevansikan
antara basis produksi material dengan
superstruktur yang dijembatani melalui tindakan.
jAlAN SAwo SEbAGAi RUANG TiNdAkAN dAN kEbUdAyAAN
1J
Tidak seperti asumsi beberapa kelompok materialis vulgar yang menganggap bahwa wilayah
material berada sebagai fakta eksternal yang membentuk relasi dan kesadaran sosial, Avineri (1968)
dengan menafsirkan postulat Marx mengenai kerja mengatakan bahwa kekuatan produksi yang
termanifestasikan pada kondisi material bukanlah realitas objektif yang berada di luar (external)
dari kesadaran manusia, sebaliknya, ia justru merepresentasikan organisasi kesadaran dan tindakan
manusia yang terbentuk dalam relasi-relasi sosial yang konkret. Melalui relasi sosial, tindakan
berdasarkan kesadaran itulah yang akan membentuk dan mengubah kehidupan dunia secara terus-
menerus (Avineri, 1968: 76-77).
Simak saja apa yang pernah diungkapkan oleh Teti, pedagang masakan padang dan juga pedagang
aksesoris itu sangat mengerti betul pada saat kapan para mahasiswa sedang ujian sehingga ia
juga harus menyiapkan barang dagangan seperti ATK dengan jumlah yang lebih banyak dari hari
biasanya karena sangat potensial akan dibeli oleh para mahasiswa yang lewat. Demikain halnya yang
dilakukan oleh Cak Tarno yang selalu memperkaya diri dengan penambahan pengetahuan melalui
pembacaannya terhadap buku-buku dan juga diskusi (relasi sosial dan intelektual) dengan beberapa
mahasiswa telah membentuk tindakan dan pengetahuan yang selalu berubah.
Tindakan kreatif yang dilakukan oleh para subjek di Jalan Sawo itulah yang pada akhirnya akan
membentuk suatu dialektika transformasi Marx menyebutnya sebagai Aufhebung - yang mendorong
kemampuan progresif dan memperluas kapasitas manusia untuk menjalani dan menjelaskan dunia,
bukan karena wilayah material seperti Jalan Sawo itu sebagai sesuatu yang apa adanya, sebaliknya,
para subjek itulah yang membentuk keberadaan (eksistensi) dunia material Jalan Sawo melalui relasi
sosial mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Melalui tindakan berdasarkan kesadaran dalam kehidupan sosial itulah maka kebudayaan juga
terbentuk. Berbeda dengan pemahaman tentang kebudayaan sebagaimana yang selama ini
mengemuka dimana kebudayaan kerap digambarkan sebagai sesuatu yang statis, diwariskan dan
lestari, maka kebudayaan dalam konteks kehidupan di Jalan Sawo adalah berbagai relasi yang terjalin
antara subjek yang bertindak secara kreatif. Kebudayaan bukanlah defnisi, melainkan praktik atau
tindakan-tindakan manusia itu sendiri dalam suatu ranah historis tertentu (Roseberry, 1997: 31).
Dengan pengertian lain, kebudayaan selalu dikonstruksi oleh para subjek melalui praksis secara terus-
menerus.
Meminjam istilah Giddens dalam Muttaqien (2008) bahwa aturan (rule) merupakan bagian dari
kemampuan untuk mengetahui dan dasar dari tindakan. Jika setiap tindakan mereka merupakan
bagian dari sosial maka diperlukan sumberdaya sosial untuk mencapai hasil. Giddens, melihat
bahwa kekuasaan bukanlah sebuah sumberdaya. Pemakaian sumberdaya seketika menghasilkan
kekuasaaan. PKL menggunakan sumberdayanya untuk memenuhi kepentingannya, berinteraksi,
dan akhirnya melalui pembiasaaan (routinization) dan pemosisian (regionalization) para PKL
mampu mempertahankan eksistensinya. Pemosisian ini memungkinkan PKL mereproduksi
hubungan-hubungan yang lintas waktu dan tempat. Namun pemosisian membutuhkan tempat
tetap (representational space) untuk menghadirkan interaksi tersebut, kebutuhan akan tempat
yang tetap ini bagi para PKL bukan cuma mempertahankan rezeki, namun juga mempertahankan
relasi (kepercayaan) yang merupakan motif tak sadar dari setiap tindakan. Sedangkan rutinisasi
(pembiasaan) membutuhkan interaksi yang menerus, memainkan peran dan memahami situasi. Baik
rutinisasi dan pemosisian keduanya memproduksi dan mereproduksi kepercayaan (trust) sebagai
basis interaksi, yang bermuara pada kata konsensus. Pengalaman pedagang kaki-lima dengan
pelanggannya merupakan sejenis sumberdaya, yang dalam kasus pedagang kaki lima di jalan Sawo ini
mampu direproduksi. Pertama, para pedagang mengakumulasikan pengalamannya, lewat transaksi
yang berulang dan membangun kepercayaan. Kedua, interaksi yang dilakukan antara pedagang dan
pelanggan merupakan transfer pengetahuan, cuma dalam tahap ini pelanggan/pembelilah yang lebih
banyak menuntut agar pedagang memiliki pengetahuan tentang produk, di tahap ini terjadi transfer
pengetahuan. Ketiga, tuntutan untuk mengetahui produk yang di jual dijawab oleh para pedagang
dengan mempelajari ftur produk, sejarah, dan isi dari produk itu sendiri. Kasus Cak Tarno dalam
menjual buku atau Si Gondrong dalam menjual DVD atau Babe dalam menjual baju/kaos merupakan
contoh tahap ketiga yaitu ketika pedagang melakukan suplai pengetahuan kepada pelanggannya.
Babe belajar untuk mengenal apa yang dia jual dari pembelinya, dan ia sudah mulai melihat trend, dari
apa yang dipakai mahasiswi yang lalu-lalang, atau dari langganan yang menanyakan motif kaos tertentu.
Babe mencari tahu juga apa yang tidak dijual sesama penjual kaos di jalan itu, walaupun menurutnya
14
pemasok kaos atau tempat membeli kaos tersebut sama, di Pasar Pagi Mangga Dua atau di Tanah Abang.
Ia walaupun baru tujuh bulan berdagang sudah bisa menjelaskan bagaimana kebiasaan mahasiswi/
mahasiswa yang lewat, apa maunya-sekedar melihat-lihat atau memang ingin membeli, dan mengamati
langsung trend yang sedang digandrungi .
Pengetahuan Babe dan pedagang lainnya dalam menilai apa yang dibutuhkan oleh pembeli hanya
bisa dilakukan lewat interaksi yang cukup intens dengan barang dagangan sebagai titik singgungnya.
Intensitas hubungan ini dalam bahasa ekonomi menimbulkan kepercayaan yang oleh merupakan
unsur utama dalam transaksi atau relasi jangka panjang. Unsur kepercayaan inilah yang dijaga sebagai
sebuah modal untuk bertahan hidup, karena di dalamnya terkandung (embedded) unsur pengurangan
risiko. Turner (2008) menyebut hubungan ini sebagai relasi nilai yang menghubungkan antara
ruang sosial dan ruang privat, nilai guna dan nilai tukar, relasi nilai inilah yang menjadi penghubung
(mediate) kepentingan-kepentingan dari yang partikular ke universal. Di jalan Sawo yang universal ini
merupakan kepentingan-kepentingan umum (publik) untuk mempertahankan fungsi asali jalan.
1
Sebuah jalan yang bergerak, berubah dari
waktu ke waktu. Jalan selalu dihuni oleh banyak
kepentingan. Jalan Sawo menjadi etalase
berbagai franchise kelas kaki lima dan ekspresi
para pejalannya, yang ingin selalu tampil atau
mengenyahkan diri secepatnya. Lynch (1960)
dalam Pile (1995) menyebutkan bahwa ada
lima elemen dari manusia yang mengarahkan
orientasinya, arah (path), landmark, batas (edge),
titik singgung (node) dan wilayah (district).
Sebuah jalan hampir memerlukan lima elemen
tersebut untuk menjalankan fungsinya sebagai
jalan.
Perkembangan jalan Sawo ke arah semakin
komersil (ditandai dengan dengan nilai land
rent) merupakan konsekuensi dari akumulasi
kapital yang merupakan kebutuhan baru, bahkan
kebutuhan utama (dalam sistem kapitalis) untuk
memenuhi skala ekonomi dan bertahan dalam
persaingan. Dalam hubungan ekonomi (relasi
produksi) kebutuhan ini akan menekan ongkos
produksi (termasuk di dalamnya upah buruh,
biaya sosial dan biaya lingkungan), bahkan
melampauinya, seperti dalam ekonomi tanda.
Dalam mode ekonomi tanda sebuah ruang akan
dieksploitasi bagai sebuah sebuah panggung,
dimana tidak terjadi keterlibatan dalam sebuah
percakapan, namun lebih pada penampilan yang
akan memberikan persepsi auralic dan visual.
Jalan Sawo sebagai sebuah jalan berorientasi
mewujudkan arahnya sebagai mode ekonomi
tanda dimana hal tersebut merupakan kebutuhan
untuk melempangkan proses akumulasi modal.
Hal ini terlihat dengan adanya perubahan-
perubahan dalam tampilan visual kios-kios yang
berjajar di jalan itu. Sehingga jalan Sawo sebagai
jalan merupakan landmark bagi dirinya sendiri,
yang bisa juga dijual untuk bertahan hidup,
pengalaman yang sama dialami oleh jalan-jalan di
Kemang, jalan Melawai, jalan Sabang, Malioboro,
Abbey Road atau Wall Street.
Fenomena Jalan Sawo menunjukkan bahwa
ia bukan hanya suatu wilayah geografs yang
didiami banyak orang, melainkan juga telah
menjadi ruang sosial dimana di dalamnya
terdapat beragam relasi dan kepentingan,
termasuk penuangan fantasi, gagasan, dan
impian banyak orang. Tafsir dan penjelasan yang
dikemukakan dalam laporan penelitian ini bisa
jadi dibaca sebagai suatu reduksi pembacaan dan
pemaknaan terhadap realitas Jalan Sawo yang
mungkin saja lebih luas dari sekedar apa yang
dikemukakan di atas.
Etnograf Jalan Sawo ini hanyalah contoh
dari sekian banyak kasus etnograf di
wilayah perkotaan (urban ethnography) yang
PENUTUP
menunjukkan adanya beberapa kesimpulan
sementara. Pertama, Jalan Sawo sebagai ruang
yang berada di sudut Kota Depok banyak dijejali
oleh beragam subjek dengan latarbelakang
kepentingan dan pemikirannya masing-
masing. Kedua, dalam ruang itu pula, subjek
perlu dipandang sebagai pelaku yang kreatif
dalam mengakumulasi seluruh potensialitasnya
melalui tindakan dan relasi sosial konkret, bukan
semata-mata untuk sekedar bertahan hidup,
melainkan juga mengembangkannya menurut
fantasi dan impian yang mereka tumbuhkan.
Ketiga, etnograf Jalan Sawo ini juga memiliki
implikasi teoretik berupa pengayaan terhadap
relevansi antara kasus dengan teori yang dipakai,
juga memiliki implikasi metodologis berupa
pencermatan terhadap relasi-relasi dan tindakan
para subjek di jalan tersebut.
Kesimpulan bersifat sementara ini diharapkan
bisa menggugah siapapun untuk mendalami
persoalan yang sama dengan telaah yang
lebih tajam dan mendalam sehingga turut
berkontribusi bagi dunia antropologi pada
masa-masa selanjutnya melalui kemampuan
pengamatan, pendeskripsian, dan juga eksplanasi
argumentatif terhadap dinamika perkembangan
dan perubahan kehidupan masyarakat yang
semakin cair dan cepat.

wis
Avineri, Shlomo. 1968. The Social & Political Thought of Karl Marx. New York: Cambridge University
Press
Bourdieu, Pierre. 1991. Language & Symbolic Power. Cambridge, Massachussets: Harvard University
Press.
Giddens, Anthony. 1984. The Constitution of Society: Outline of The Theory of Structuration. Oxford.
Foucault, Michel. 1980. Power/Knowledge. New York: Pantheon Books
Harvey, David. 2004. Spaces of Neoliberalization: Toward a Theory of Uneven Geographical
Development. Germany: Franz Steiner Verlag
Laksono, PM, et.al. 2000. Permainan Tafsir. Politik Makna di Jalan pada Penghujung Orde Baru.
Yogyakarta: Insist Press
Levebre, Henry. 2001 (reprinted). The Production of Space. Blackwell
Mrazek, Rudolf. 2006. Engineers Of Happy Land. Perkembangan Teknologi Dan Nasionalisme Di Se-
buah Koloni. Yayasan Obor Indonesia.
Muttaqien, W. 2008. Bunga Trotoar. http//kedaisinau.multiply.com.
Roseberry, William. 1997. Marx and Anthropology, dalam Annual Review of Anthropology. Vol. 26.
Rustiadi, E. et.al. 2008. Perencanaan Wilayah. Crestpent Press. Bogor.
Turner, Terence. 2008. Marxian Value Theory. An Anthropological Perspective. Los Angeles, London,
New Delhi: SAGE Publication
Werlen, Benno. 1993. Society, Action and Space. London and New York: Routledge
dAfTAR PUSTAkA

You might also like