You are on page 1of 19

Referat

TUBERKULOMA INTRAKRANIAL

Pembimbing : DR. dr. Widiastuti, Sp. Rad (K)

Disusun oleh : Yovita Efrida Igo Aru (205.12.1.0010) Suryadi (206.12.1.0026) Andrean Setya Irawan (206.12.1.0031)

LABORATORIUM ILMU RADIOLOGI RSUD DR. MOEWARDI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG 2011

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan referat kasus yang berjudul Tuberkuloma Intrakranial Referat ini kami susun untuk memenuhi tugas Kepanitraan Klinik Ilmu Radiologi RSUD Moewardi. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu,dalam pelaksanaan penulisan referat ini. Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan referat ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu mohon kritik dan saran, guna hasil akhir yang lebih baik nantinya. Akhir kata penulis penulis berharap semoga referat ini dapat berguna bagi rekan-rekan serta semua pihak yang ingin mengetahui sedikit tentang Tuberkuloma Intrakranial

Surakarta, 29 November 2011

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN


1.1Latar belakang 1.2Tujuan penulisan

i ii 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomo fisiologi Otak 2.2. Definisi 2.3. Etiologi 2.4. Epidemiologi 2.5. Patogenesis 2.6. Gejala Klinis 2.7. Diagnosis 2.8. Penatalaksanaan BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan DAFTAR PUSTAKA 14 2 5 5 5 6 8 9 13

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Salah satu masalah kesehatan, khususnya penyakit menular yang merupakan

penyakit "rakyat" dengan keadaan sosioekonomi yang kurang, terutama di negara yang sedang berkembang antara lain adalah tuberkulosis (TB), bahkan di negara maju pun dengan munculnya AIDS maka tuberkulosis akibat mikobakterium atipikal mulai diperhatikan. Salah satu manifestasi infeksi tuberkulosis ekstrapulmonal yang berbahaya adalah TB pada sistim saraf, dalam hal ini adalah tuberkuloma intrakranial Tuberkulosis merupakan penyakit endemi di negara berkembang dan 30% dari space occupation lesi adalah tuberkuloma. Tuberkuloma intrakranial merupakan kejadian yang langka dan salah satu penyebab lesi massa intrakranial. Dengan diagnosis yang cepat berdasarkan temuan patologis dapat meningkatkan prognosisnya. Penanganan tuberkuloma tergantung pada kondisi penderita dan lokasi tuberkuloma. Bila kondisi penderita stabil dan tidak ada massa yang menonjol, terapi konservatif sebaiknya dilaksanakan terlebih dahulu.
1.2

Tujuan Penulisan

1. Mengetahui dan memahami penyakit Tuberkuloma intrakranial 2. Memenuhi sebagian syarat penilaian pada stase Radiologi RSUD Dr. Moewardi

Surakarta.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi Otak Otak manusia mempunyai berat 2% dari berat badan orang dewasa (3 pon), menerima 20 % curah jantung dan memerlukan 20% pemakaian oksigen tubuh dan sekitar 400 kilokalori energi setiap harinya. Otak merupakan jaringan yang paling banyak memakai energi dalam seluruh tubuh manusia dan terutama berasal dari proses metabolisme oksidasi glukosa. Jaringan otak sangat rentan terhadap perubahan oksigen dan glukosa darah, aliran darah berhenti 10 detik saja sudah dapat menghilangkan kesadaran manusia. Berhenti dalam beberapa menit, merusak permanen otak. Hipoglikemia yang berlangsung berkepanjangan juga merusak jaringan

otak (Prince,Wilson, 2006:1024). Ketika lahir seorang bayi telah mempunyai 100 miliar sel otak yang aktif dan 900 miliar sel otak pendukung, setiap neuron mempunyai cabang hingg 10.000 cabang dendrit yang dapat membangun sejumlah satu kuadrilion. Koneksi, komunikasi, perkembangan otak pada minggu-minggu pertama lahir diproduksi 250.000 neuroblast (sel saraf yang belum matang), kecerdasan mulai berkembang dengan terjadinya koneksi antar sel otak, tempat sel saraf bertemu disebut synapse, makin banyak percabangan yang muncul, makin berkembanglah kecerdasan anak tersebut, dan kecerdasan ini harus dilatih dan di stimulasi. Otak manusia adalah organ yang unik dan dasyat, tempat diaturnya proses berfikir, berbahasa, kesadaran, emosi dan kepribadian. Secara garis besar, otak

terbagi dalam 3 bagian besar, yaitu neokortek atau kortex serebri, system limbik dan batang otak, yang berkerja secara simbiosis. Bila neokortex berfungsi untuk berfikir, berhitung, memori, bahasa, maka sistek limbik berfugsi dalam mengatur emosi dan memori emosional, dan batang otak mengarur fungsi vegetasi tubuh antara lain denyut jantung, aliran darah, kemampuan gerak atau motorik, Ketiganya bekerja bersama saling mendukung dalam waktu yang bersamaan, tapi juga dapat bekerja secara terpisah. Otak manusia mengatur dan mengkoordinir gerakan, perilaku dan fungsi tubuh, homeostasisseperti tekanan darah, detak jantung, suhu tubuh, keseimbangan cairan, keseimbangan hormonal, mengatur emosi, ingatan, aktivitas motorik dan lain-lain. Otak terbentuk dari dua jenis sel: yaitu glia dan neuron. Glia berfungsi untuk menunjang dan melindungi neuron, sedangkan neuron membawa informasi dalam bentuk pulsa listrik yang di kenal sebagai potensial aksi. Mereka berkomunikasi dengan neuron yang lain dan keseluruh tubuh dengan mengirimkan berbagai macam bahan kimia yang disebut neurotransmitter. Neurotransmitter ini dikirimkan pada celah yang di kenal sebagai sinapsis. Neurotransmiter paling mempengaruhi sikap, emosi, dan perilaku seseorang yang ada antara lain asetil kolin, dopamin, serotonin, epinefrin, norepinefrin.

Otak dibagi kedalam lima kelompok utama yaitu : 1. Telensefalon (endbrain)


6

Terdiri atas: hemisfer serebri yang disusun oleh korteks serebri, system limbic, basal ganglia dimana basal ganglia disusun oleh nucleus kaudatum, nucleus lentikularis, klaustrum dan amigdala.
a. Korteks serebri berperan dalam: persepsi sensorik, kontrol gerakan volunter,

bahasa, sifat pribadi, proses mental misalnya: membuat keputusan, kreativitas dan kesadaran diri.
b. Nucleus basal berperan dalam:

berpikir, mengingat,

inhibisitonus otot, koordinasi gerakan yang

lambat dan menetap, penekanan pola-pola gerakan yang tidak berguna. 2. Diensefalon (interbrain) Terbagi menjadi epitalamus, thalamus, subtalamus dan hipotalamus.
a. thalamus berperan dalam : Stasiun pemancar untuk semua masukan sinaps,

kesadaran kasar terhadap sensasi, beberapa tingkat kesadaran, berperan dalam kontrol motorik.
b. Hipotalamus berperan dalam: mengatur banyak fungsi homeostatik, misalnya

kontrol suhu, rasa haus, pengeluaran urin, dan asupan makanan. Penghubung penting antara sistem saraf dan endokrin, sangat terlibat dalam emosi dan pola perilaku dasar. 3. Mesensefalon (midbrain) corpora quadrigemina Memiliki dua kolikulus yaitu kolikulus superior dan kolikulus inferior dan terdiri dari tegmentum yang terdiri dari nucleus rubra dan substansia nigra.

4. Metensefalon (afterbrain), pons dan medulla oblongata

Memiliki peran asal dari sebagian besar saraf kranialis perifer, pusat pengaturan kardiovaskuler, respirasi dan pencernaan. Pengaturan reflek otot yang terlibat dalam keseimbangan dan postur. Penerimaaan dan integrasi semua masukan sinaps di korda spinalis, keadaan terjaga dan pengaktifan korteks serebrum. 5. Serebellum Memiliki peran dalam menjaga keseimbangan, peningkatan tonus otot, koordinasi dan perencanaan aktivitas otot volunter yang terlatih. Hemisfer sendiri menurut pembagian fungsinya masih di bagi kedalam lobus-lobus yang dibatasi oleh gyrus dan sulkus, seperti terlihat dalam gambar dibawah ini: fungsi dari setiap lobus ada pada tabel berikut :

Gambar 1. Gambar Otak dari Lateral

Gambar 2. Fungsi Lobus hemisfer 2.2 Definisi Tuberculoma intrakranial adalah suatu massa seperti tumor yang berasal dari penyebaran secara hematogen lesi tuberkulosa pada bagian tubuh yang lain terutama dari paru. Tuberkuloma sering multiple dan paling banyak berlokasi pada fosa posterior pada anak dan orang dewasa tetapi dapat juga pada hemisfer serebri (Shams, 2011) Pada CT Scan terlihat gambaran granuloma tuberkulosa merupakan low attenuation dengan kontras yang meningkat pada kapsulnya. Biasanya dikelilingi oedema dan lesi dapat multiple. Pada tuberkuloma kadang terdapat kalsifikasi.
9

Diagnosa preoperative biasanya diapresiasikan hanya setelah pengenalan focus tuberkulosa pada tempat lain ditubuh. 2.3 Etiologi Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1 4 m dan tebal 0,3 0,6 m dan digolongkan dalam basil tahan asam (BTA). 2.4 Epidemiologi Pada awal abad 20, tuberculoma pada Central Nervus System (CNS) merupakan 34 % dari semua lesi massa intrakranial diidentifikasi pada otopsi. Rasio ini ditemukan sekitar 0,2 % di semua tumor otak yang dibiopsi antara tahun 1955 dan 1980 pada lembaga neurologis pada negara maju. Frekuensi keterlibatan CNS berdasarkan literature berkisar dari 0,5 % sampai 5,0 %, dan banyak ditemukan pada Negara berkembang. Manifestasi yang sering dari tuberculosis CNS adalah tuberculosis meningitis, diikuti oleh tuberkuloma dan abses tuberculosis. Tuberkuloma ditemukan hanya 15% sampai 30% dari kasus tuberkulosis CNS dan kebanyakan terjadi pada hemisfer. Sejauh ini berdasarkan literatur hanya empat kasus yang dilaporkan terjadi pada sinus kavernosus. Lokasi yang jarang lainnya adalah pada area sellar, sudut cerebellopontin, Merckels cave, sisterna suprasellar, region hypothalamus. Tuberkuloma yang berlokasi pada sisterna prepontin belum ada laporan berdasarkan literatur. Walaupun tuberculoma biasanya lebih banyak pada negara berkembang dapat juga meningkat pada negara maju dalam kaitan dengan efek infeksi HIV dari tampakan klinis TBC (Yanardag et al, 2005).

10

Tuberkuloma central nervous system (CNS) berhubungan dengan morbiditas dan mortlitas, meskipun terdapat metode dan deteksi serta pengobatan modern (Lee, 2002). 2.5 Patogenesis Cara penularan TB yang paling banyak ialah melalui saluran napas, meskipun cara lain masih mungkin. Kuman TB yang masuk alveol akan ditangkap dan dicerna oleh makrofag. Bila kuman virulen, ia akan berbiak dalam makrofag dan merusak makrofag. Makrofag yang rusak mengeluarkan bahan kemotaksik yang menarik monosit (makrofag) dari peredaran darah dan membentuk tuberkel kecil. Aktivasi makrofag yang berasal dari darah dan membentuk tuberkel ini dirangsang oleh limfokin yang dihasilkan dari sel T limfosit. Kuman yang berada di alveol membentuk fokus Ghon, melalui saluran getah bening kuman akan mencapai kelenjar getah bening di hilus dan membentuk fokus lain (limfadenopati). Fokus Ghon bersama dengan limfadenopati hilus disebut primer kompleks dan Ranke. Selanjutnya kuman menyebar melalui saluran limfe dan pembuluh darah dan tersangkut di berbagai organ tubuh. Jadi TB primer merupakan suatu infeksi sistemik. Pada saat terjadinya bakteremia yang berasal dari focus infeksi, TB primer terbentuk beberapa tuberkel kecil pada meningen atau medula spinalis. Tuberkel dapat pecah dan memasuki cairan otak dalam ruang subarachnoid dan sistim ventrikel, menimbulkan meningitis dengan proses patologi berupa 1) Keradangan cairan serebrospinal. meningen yang berlanjut menjadi araknoiditis, hidrosefalus dan gangguan saraf pusat

11

2) Vaskulitis dengan berbagai kelainan serebral, antara lain infark dan edema vasogenik. 3) Ensefalopati atau mielopati akibat proses alergi. Gambaran klinis penderita dibagi menjadi 3 fase. Pada fase permulaan gejalanya tidak khas, berupa malaise, apati, anoreksia, demam, nyeri kepala. Setelah minggu kedua, fase meningitis dengan nyeri kepala, mual, muntah dan mengantuk (drowsiness). Kelumpuhan saraf knanial dan hidrosefalus terjadi karena eksudat yang mengalami organisasi, dan vaskulitis yang menyebabkan hemiparesis atau kejangkejang yang juga dapat disebabkan oleh proses tuberkuloma intrakranial. Pada fase ke tiga ditandai dengan mengantuk yang progresif sampai koma dan kerusakan fokal yang makin berat (Mulyono & santoso, 1997). Tuberkulosis adalah penyakit airbone disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis dua proses patogenik TB pada CNS adalah meningoencephalitis dan formasi granuloma (tuberkel). Proses patologi dimulai dengan formasi pada basil, berisi tuberkel kaseosa (focus kaya) dalam parenkim otak (Lee, 2002). Tuberkel bisa tumbuh, mendesak atau menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan menimbulkan gejala yang tergantung pada lokasi, kecepatan tumbuh serta reaksi radang di sekitarnya, Lesi ini bila bersifat lokal, tuberkel dapat membesar sampai ke bentuk ukuran tuberkuloma, khususnya jika tersebut kaya focus didalamnya dan kekuatan regangnya lebih baik daripada jaringan sekitarnya. Tuberkel juga dapat tersebar, infiltrasi sebagai granulomata. Sebagai alternative fokus kaya tersebut dapat rupture dan menyebabkan perkembangan meningioencephalitis (Mulyono & santoso 1997, Lee, 200).
12

2.6 Gejala Klinis Gejala klinisnya serupa dengan tumor intrakranial, dengan adanya peningkatan tekanan intracranial, tanda neurologic fokal, dan kejang epileptic, symptom sistemik dari tuberculosis seperti demam, lesu dan keringat berlebihan, terjadi kurang dari 50% dari kasus (Shams, 2011). Pada tuberkuloma intrakranial, selain terdapat gejala kenaikan tekanan intrakranial akibat proses desak ruang juga menimbulkan gejala meningitis, sering disertai TB pada organ lain. Manifestasi klinis dari tuberkuloma intrakranial adalah proses desak ruang (20% dari proses desak ruang disebabkan oleh tuberkuloma intrakranial). Gejala yang terjadi akibat dan edema otak, dan ini merupakan indikasi untuk pemberian kortikosteroid. Kemoterapi anti tuberkulosis harus segera diberikan pada penderita yang diduga TB milier tanpa harus menunggu ditemukannya kuman (BTA). Penggunaan kortikosteroid pada TB miller dapat menyebabkan tuberkel menjadi kecil dan sangat efektif untuk mengurangi sesak napas yang kadang-kadang dijumpai padaTB milier, serta untuk mengontrol edema otak (Djoko Mulyono, Djoko Iman Santoso, 1997). 2.7 Diagnosis Penemuan infeksi sistemik dan laboratorium umum yang berhubungan dengan infeksi dapat tidak ditemukan, karena basil tuberculosis tidak selalu jelas pada CSF dan bahkan pada massa yang diambil, maka dari itu hasil yang negative dari pemeriksaan bekteri tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi tuberculosis.

13

Neuroradiological imaging dengan CT and MRI mempunyai sensitifitas yang tinggi untuk tuberkuloma, tetapi spesifitas untuk diagnose defenifnya rendah (Yanardag et al, 2005). Pada CT Scan sesudah pemberian kontras, tuberkuloma memberi gambaran sebagai: 1) Lesi berbentuk cincin dengan area hipodens/isodens di tengah dan dinding yang menyerap kontras. 2) Lesi berbentuk nodul/plaque yang menyerap kontras. Tanpa kontras, lesi pada umumnya hipodens/isodens, pada beberapa kasus didapatkan kalsifikasi. Gambaran tuberkuloma pada CT Scan sukar dibedakan dengan tumor, abses atau granuloma kronik (Mulyono & Santoso, 1997). A B

Gambar 1. CT Scan Otak; Gambar A, tanpa kontras menunjukan pergeseran dari ventrikel, Gambar B, dengan kontras tampak sebagai lesi space-occupying lesions,dari cerebellum kiri
14

MRI mempunyai peranan penting dalam diagnose tuberkuloma intracranial. Pada MRI, gambar T1-weighted MR dapat menunjukan area hypo- or isointensity dan T2-weighted images dapat menunjukan hypointense, isointense atau central hyperintense zone dikelilingi hypointense rim. Maka biasanya misdiagnosis dengan meningioma, neurinoma, even with metastasis. Saat ini dilaporkan bahwa proton magnetic resonance spectroscopy membedakan tuberculomas dari kelainan intra cranial lainnya intracranial (Yanardag et al, 2005). A

Gambar 2. Magnetic resonance imaging pada otak; (a ,b) T2-weighted images; and (c,d) post-gadolinium T1-weighted Gambar menunjukan 3 lapis dari tuberkuloma otak.meliputi central, isodense, caseous, necrotic core
15

Meskipun demikian tumor metastase seperti malignant gliomas, meningiomas, dan neurocysticercosis dapat menunjukan gambaran yang mirip pada CT maupun MRI (Lee, 2002). Beberapa penulis berpendapat bahwa tuberkuloma dapat dipastikan bila pada serial CT Scan atau serial Magnetic Resonance Imaging (MRI) lesi menghilang sesudah mendapat terapi obat antituberkulosis (OAT). (Mulyono & Santoso, 1997). CNS tuberculosis umumnya adalah aktivasi inisial infeksi setelah beberapa tahun. Maka lesi yang terlihat pada radiografi dada ditujukan untuk gejala sisa tuberculosis dan hasil serologis diperlukan pada kecurigaan tuberkuloma dalam periode preoperative. Jika kecurigaan kuat diagnosanya adalah tuberkuloma pengobatan dengan agen tuberculosis dapat lebih dipakai untuk intervensi pembedahan dan regresi pada lesi diikuti secara teratur dapat mengkonfirmasi hasil diagnosis. Tetapi dalam beberapa kasus khusus, biopsy dapat mencegah kesalahan diagnosis pada lesi (contoh: meningioma) dan mencegah pasien dari efek berbahaya yang tidak diperlukan dari pengobatan (misalnya radioterapi), sebagai akibat dari lokasi yang tidak biasa dari tuberkuloma dan kemampuan untuk meniru lesi yang sering pada CNS, menyebabkan kesalahan diagnosis preoperatif (Yanardag et al, 2005). Diagnosis pasti tuberkuloma ditegakkan dengan operasi (Mulyono & Santoso, 1997). Pemeriksaan histologi akan mengungkapkan suatu tuberkuloma (Suslu, 2011). 2.8 Penatalaksanaan Pengobatan TB menurut WHO (1993), disesuaikan dengan kategori penyakitnya. Untuk penderita baru TB paru dengan sputum BTA(+), TB ekstrapulmonal yang berat seperti meningitis TB, disseminated tuberculosis, atau TB
16

paru yang luas dengan sputum BTA () dimasukkan ke dalam kategori I, dianjurkan pemberian INH (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Streptomisin (S) atau Etambutol (E). Fase awal diberikan 2HRZ S(E). Obat HRZ S(E) diberikan tiap hari selama 2 bulan (8 minggu). Bila fase ini telah selesai dan hapusan sputum negatif, diteruskan dengan fase lanjutan, tetapi bila hapusan sputum positif, terapi ditambah 2-4 minggu, diteruskan dengan fase lanjutan. Pada fase lanjutan diberikan 4HR atau 4H3R3. Obat HR diberikan tiap hari atau 3 kali seminggu selama 4 bulan. Untuk penderita meningitis TB, TB milier atau dengan kelaian neurologis HR harus diberikan setiap hari selama 6-7 bulan (total 8-9 bulan). Tuberkuloma yang kecil (<2 cm) dapat sembuh dengan terapi medisinal dalam 10 minggu, lesi yang lebih besar memerlukan eksisi. Dengan CT Scan dapat terdeteksi lesi kecil (2-3 mm) dan dapat diterapi medisinal sehingga mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat operasi (Santoso & mulyono, 1997). Pengobatan optimal adalah excise tuberkuloma, jika tersebut merupakan region yang dapat di akses dan kemoterapi antituberkulosa (Shams, 2011)

BAB III

17

PENUTUP

3.1. Kesimpulan Tuberkulosis merupakan penyakit endemi di negara berkembang dan 30% dari space occupation lesi adalah tuberkuloma. Tuberculoma intrakranial berasal dari penyebaran secara hematogen dari lesi tuberkulosa pada bagian tubuh yang lain terutama dari paru. Gejala klinisnya serupa dengan tumor intrakranial, dengan adanya peningkatan tekanan intracranial, tanda neurologic fokal, dan kejang epileptic, symptom sistemik dari tuberculosis seperti demam, lesuh dan keringat berlebihan, terjadi kurang dari 50% dari kasus Diagnosis Tuberkoloma intra cranial meliputi penemuan infeksi sistemik dan laboratorium umum Neuroradiological imaging dengan CT and MRI (mempunyai sensitifitas yang tinggi untuk tuberkuloma, tetapi spesifitas untuk diagnose defenifnya rendah), radiografi dada, serologis, biopsy. Diagnosis pasti tuberkuloma ditegakkan dengan operasi dan pemeriksaan histologi akan mengungkapkan suatu tuberkuloma. Pengobatan optimal adalah excise tuberkuloma, jika tersebut merupakan region yang dapat di akses dan kemoterapi antituberkulosa.

18

DAFTAR PUSTAKA

Anonim 2011. Anatomi dan Fisiologi Otak Otakhttp://www.scribd.com/doc/28579070/Anatomi-Dan-Fisiologi-Otak, diakses 29 november 2011 jam 04.00 Lee WY, KY Pang, CK Wong, 2002. Case Report; Tuber Brain tuberculoma in Hong Kong HKMJ 2002;8:52-6 Mulyono, Djoko, Djoko Iman Santoso, 1997. Tuberkulosis Milier dengan Tuberkuloma Intrakranial Laporan Kasus. PPDS I Ilmu Penyakit Paru, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Rumah Sakit Umum Daerah Dr Sutomo, Surabaya. Shams, Shahzad. 2011. Intracranial Tuberculoma. Omar Hospital,

Jail Road, Lahore, Pakistan. www Brain Tuberculomas.htm, diakses 28 november 2011 jam 20.00 Suslu, Hikmet Turan , Mustafa Bozbuga, Cicek Bayindir, 2010. Cerebral Tuberculoma Mimicking High Grade Glial Tumor. JTN.: 21( 3): 427-429 Yanardag,H S Uygun, V Yumuk, M Caner, B Canbaz, 2005. Cerebral tuberculosis mimicking intracranial tumour. Singapore Med J 2005; 46(12) : 731

19

You might also like