You are on page 1of 19

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Anak Tunarungu 1. Pengertian Anak Tunarungu Dalam kajian teori ini penulis akan memberikan gambaran batasan atau pengertian anak tunarungu yang dikemukakan oleh para ahli. Pengertian anak tunarungu menurut T. Sutjihati Somantri (2006:1) adalah : Tunarungu dapat diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsang, terutama melalui pendengaran. Departemen pendidikan nasional (2003:20) memberi batasan tentang ketunarunguan senagai berikut : Ketunarunguan adalah suatu keadaan atau derajat kehilangan pendengaran meliputi seluruh gradasi ringan, sedang, berat, dan sangat berat yang dalam hal ini dikelompokkan ke dalam dua golongan besar yaitu tuli (lebih dari 90 dB) dan kurang dengar (kurang dari 90 dB), yang walaupun telah diberikan alat bantu mendengar tetap memerlukan pelayanan khusus. Untuk lebih menjelaskan batasan tunarungu di atas serta sebagai perbandingan, maka dapat dikemukakan pula menurut (Moores dalam Hernawati 2009:5.4) bahwa : Orang yang tuli adalah seseorang yang mengalami ketidakmampuan mendengar (biasanya pada tingkat 70 dB atau lebih) yang menghambat pemahaman bicara melalui pendengarannya dengan atau tanpa menggunakan alat bantu dengar, sedangkan orang yang kurang dengar adalah seseorang yang mengalami ketidakmampuan mendengar (biasanya pada tingkat 35 sampai 96 dB) sehingga mengalami kesulitan, tetapi tidak

menghambat pembicaraan melalui pendengarannya, tanpa atau dengan menggunakan alat bantu dengar. Dari uraian di atas maka tunarungu dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu kelompok tuli dan kelompok kurang dengar, hal tersebut sejalan dengan pendapat yang dikemukakan dalam Conference of Executive of American School for the deaf kutipan dari (Hallahan & Kauffman dalam Delphie Bandi 2006:104) bahwa : Hearing impairment. A generic indicating a hearing disability that may range in severity from mild to profound ; it includes the subsets of deaf and hard of hearing. A deaf person is one whose hearing disability precludes succesful processing of linguistic information throung audition, with or without a hearing aid. A hard of hearing person is one who, generally with the use of hearing aid, has residual hearing sufficient to enable succesful processing of linguistic information through audition. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa tunarungu adalah suatu istilah umum yang menunjukkan kesulitan mendengar dari yang ringan sampai yang sangan berat, digolongkan ke dalam bagian tuli (deaf) dan kurang dengar (hard
of hearing). Orang tuli adalah seorang yang kehilangan kemampuan mendengar

sehingga menghambat proses informasi bahasa melalui pendengaran, baik memakai ataupun tidak memakai alat bantu mendengar. Sedangkan seorang yang kurang dengar (hard of hearing) adalah seorang yang biasanya dengan menggunakan alat bantu mendengar, sisa pendengarannya cukup

memungkinkan keberhasilan proses informasi bahasa melalui pendengaran, artinya orang yang kurang dengar apabila menggunakan alat bantu dengar masih dapat mendengar pembicaraan orang lain.

10

Dari beberapa batasan yang diberikan oleh para ahli mengenai anak tunarungu maka penulis memiliki pemahaman tentang anak tunarungu sebagai berikut : Anak tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan atau kerusakan dalam pendengaran baik sebagian atau seluruh, ringan ataupun gangguan yang berat, sehingga mengakibatkan keterbatasan dalam

memperoleh informasi yang bersifat audio, yang selanjutnya menghambat perkembangan bahasanya. Dengan perkembangan bahasa yang terhambat secara otomatis perkembangan bahasanya tidak dapat berkembang

sebagaimana mestinya. Oleh karena itu anak tunarungu memerlukan pelayanan pendidikan khusus. 2. Klasifikasi Anak Tunarungu Klasifikasi anak tunarungu didasarkan pada kehilangan kemampuan daya dengar dengan ukuran decibel (dB). Kehilangan kemampuan mendengar ini dapat diukur dengan menggunakan alat audiometer. Berdasarkan derajat kehilangan pendengaran tunarungu dapat digolongkan mulai dari yang ringan sampai sangat berat. Menurut ISO (International Standard Organization) dalam Vijaya KN (2010:17) ketunarunguan dapat diklasifikasikan seperti terlihat pada tabel berikut : Tabel 2.1 Klasifikasi Tunarungu Menurut ISO Derajat Kehilangan Intensitas Bunyi Bagi Persepsi 27 dB 40 dB Implikasi Pendidikan Mengalami kesukaran dalam mendengarkan percakapan. Mengalami kesukaran dalam mata pelajaran yang menggunakan seni bahasa

Ringan

11

Sedang

41 dB 55 dB

Agak Berat

56 dB 70 dB

Berat

71 dB 90 dB

Sangat Berat

91 dB atau lebih

Dapat memahami percakapan pada jarak 3-5 kaki (face to face) Dalam diskusi kelas jika suarasuara tidak jelas atau tidak pada garis penglihatan dapat timbul salah paham sebanyak 50%. Dapat menunjukkan perbendaharaan kata yang terbatas dan kelainan bicara. Percakapan harus cukup keras untuk dapat dipahami. Mengalami kesulitan dalam diskusi kelompok Mengalami kelainan bicara Mengalami kesukaran dalam pemahaman bahasa. Perbendaharaan kata terbatas. Dapat mendengar suara-suara yang keras pada jarak 1 kaki dari telinga Dapat mengidetifikasikan suarasuara yang ada dilingkungannya Dapat membedakan bunyibunyi vokal, tetapi tidak semua konsonan Mengalami kelainan bicara yang parah Dapat mendengar suara-suara keras tetapi yang vibrasinya atau getarnya melebihi getaran suara biasa. Lebih percaya pada penglihatan dari pada pendengaran sebagai alat komunikasi yang utama. Mengalami kelainan bicara dan bahasa yang parah.

Klasifikasi anak tunarungu yang dikemukakan oleh Samuel A Kirk (1998) yang dikutif oleh Hernawati (1995 : 29) sebagai berikut.

12

Tabel 2.2 Klasifikasi Tunarungu Menurut Samuel A Kirk Tingkat Decibell (derajat kehilangan) 0 dB (optimal) 0 26 dB (Normal) 27 40 dB (Ringan) Keterangan Menunjukkan pendengaran yang optimal Menunjukkan seseorang masih mempunyai pendengaran yang normal. Mempunyai kesulitan mendengar bunyi-bunyi yang jauh, membutuhkan tempat duduk yang strategis letaknya dan memerlukan terapi bicara. Mengerti bahasa percakapan, tidak dapat mengikuti diskusi kelas, membutuhkan alat bantu dengar dan terapi bicara. Hanya bisa mendengar suara dari jarak yang dekat, masih mempunyai sisa pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara dengan menggunakan alat bantu mendengar serta dengan cara yang khusus. Hanya bisa mendengar bunyi yang sangat dekat, kadang-kadang dianggap tuli, membutuhkan pendidikan khusus, membutuhkan alat bantu dengan latihan bicara secara khusus. Banyak bergantung pada penglihatan dari pada pendengaran untuk proses menerima informasi dan yang bersangkutan dianggap tuli.

41 55 dB (Sedang)

56 70 dB ( Agak Berat)

71 90 dB (Berat)

90 ke atas ( Sangat Berat)

Dari dua pengklasifikasian di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya tunarungu dapat di golongkan secara rinci mulai ringan sampai sangat berat mulai dari 21 dB 40 dB (ringan) hingga di atas 90 dB (sangat berat). Seorang pendidik harus diperlukan mengetahui derajat kehilangan pendengaran siswa, karena dengan informasi tersebut guru dapat memberikan layanan pendidikan sesuai dengan kebutuhan siswa tersebut

13

B. Perolehan Bahasa dan Kemampuan Berbicara Anak Tunarungu 1. Perolehan Bahasa Myklebust (dalam Hernawati, 2007 :110), mengemukakan bahwa : perolehan bahasa anak yang mendengar berawal dari adanya pengalaman atau situasi bersama antara bayi dan ibunya atau orang lain yang berarti dalam lingkungan terdekatnya. Melalui pengalaman tersebut, anak belajar menghubungkan pengalaman dan lambang bahasa yang diperoleh melalui pendengarannya. Proses ini merupakan dasar berkembangnya bahasa batini (inner language). Dari perolehan bahasa awal ini, kemudian kemampuan bicara tidak

terhambat serta optimalisasi pendengarannya baik, maka akan berkembang menjadi bahasa reseptif anak, yaitu anak mulai memahami bicara lingkungannya (bahasa reseptif Auditory), dan apabila bahasa reseptif ini telah terbentuk, maka akan berlanjut pada pemahaman kata-kata sebagai bahasa ekpresif. Kemudian berkembang pada tahapan bahasa Reseptif visual (membaca), dan bahasa Ekspresif visual (menulis). Sehingga dari tahapan di atas akan membentuk perilaku bahasa verbal anak yang mendengar. Kemampuan berbicara merupakan hal yang sangat penting, karena untuk melakukan komunikasi dengan orang lain. Berbicara merupakan suatu perbuatan manusia yang bersifat individual, artinya tidak ada orang yang berbicara sama memilih kata, tempo bicara dan lain-lain. Menurut Bambang Setyono (1998:19) dalam Maidar G. Arsjad & Mukti U S (1987:15) mengungkapkan bahwa, Bicara merupakan vokal-vokal dengan kekerasan yang bervariasi lama-kelamaan berkembang menjadi bunyibunyi yang lebih sempurna sesuai dengan kematangan fisik dan mentalnya.

14

Menurut Maidar G. Arsjad & Mukti U S (1987:17) adalah berikut : Kemampuan berbicara adalah kemampuan mengucapkan kalimat-kalimat untuk mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Dari ke dua pendapat di atas peneliti menyimpulkan bahwa bicara adalah suatu perbuatan dengan mengucapkan bunyi-bunyi bahasa dengan alat bicara untuk mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan sehingga dapat meningkatkan kemampuan berbicara. Pendengar menerima informasi melalui rangkaian nada, tekanan dan penempatan persendian Jika komunikasi berlangsung secara tatap muka, ditambah lagi dengan gerak tangan dan air muka (mimik) pembicara. Tujuan utama dari berbicara adalah untuk berkomunikasi agar dapat menyampaikan pembicara secara efektif, hal ini menyangkut masalah bahasa dan pengucapan bunyi bahasa tersebut. 2. Kemampuan Bicara Anak tunarungu Menurut Sardjono (2005:249) dijelaskan kemampuan bicara anak tunarungu adalah sebagai berikut : a. Sukar dalam menyesuaikan volume yaitu suara dihasilkan alat bicara tidak sesuai dengan tenaga yang dikeluarkan, sebagai contoh: pengucapan aku diucapkan aa-kuu dengan kuat sekali. b. Berbicara kedengaran terputus-putus yaitu pengurangan ucapan suku kata biasanya pengurangan suku awal atau tengah seperti : kata tuti diucapkan u-ti atau menjadi ti. c. Pembentukan kata tidak baik, yaitu pola suaranya tidak benar, sebab anak tunarungu tidak mampu mengontrol alat suaranya apakah ucapannya betul atau salah dalam pengucapan kata yang dimaksud.

15

Ketunarunguan berdampak terhadap kemampuan berbahasa, karena kegiatan berbahasa banyak diwarnai oleh kemampuan pendengaran. Ini menunjukkan bahwa mereka yang mengalami gangguan pendengaran (ketunarunguan) dalam pengembangan potensinya perlu diawali dengan pengembangan kemampuan berbahasanyanya, karena bahasa merupakan sarana untuk mendapatkan pengetahuan. Bahasa dan komunikasi merupakan dua hal yang berbeda tetapi memiliki hubungan. (Sarjono 2005:7). Komunikasi adalah keberhasilan dalam menyampaikan pesan/pikiran/gagasan seseorang kepada orang lain. Dalam komunikasi ada dua asepek penting, yaitu: (1) adanya keberhasilan dalam menyampaikan gagasan/pikiran/perasaan, dan (2) tidak adanya ketentuan tentang bentuk/cara komunikasi yang perlu digunakan, karena dalam batasan tersebut tidak menyebutkan perlunya digunakan cara tertentu. Komunikasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, artinya dapat dilakukan dengan cara lisan, tulisan, gesti, isyarat, ekspresi muka, suara tanpa kata-kata dan lainnya yang penting yaitu tersampaikannya pesan-pesan secara utuh. Bahasa merupakan sesuatu yang berbeda dengan komunikasi. Bahasa merupakan suatu ragam yang khas yang disepakati bersama untuk berkomunikasi. Bahasa merupakan suatu kode atau sistem lambang. Setiap benda atau sesuatu memiliki lambang tersendiri. Untuk itu, memahami suatu bahasa berarti mengetahui dan mengerti kode/lambang dan aturannya. setiap lambang bahasa memiliki aturan. Memahami suatu bahasa, berarti mengenal

16

lambangnya, tahu artinya dan memahami aturannya atau cara menyusun lambang-lambang tersebut sehingga difahami oleh orang lain. Selain kemampuan bicara yang telah dijelaskan di atas, maka pada anak tunanrungu meskipun mengalami hambatan pendengaran, diperlukan upaya untuk meningkatkan kemampuan fungsi pendengarannya, yaitu dengan kegiatan optimalisasi fungsi pendengaran. Optimalisasi fungsi pendengaran adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara sengaja dan direncanakan secara sistematis untuk memberikan pengalamanpengalaman pembelajaran dan latihan-latihan mengakses bunyibunyian lewat indera pendengaran agar kemampuan mendengar menjadi semakin meningkat sehingga dapat dimanfaatkan dan difungsikan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa. Kemampuan mendengar apabila tidak dijaga dan dilatih dapat menyebabkan terjadinya penurunan kemampuan. Untuk itu, dalam optimalisasi fungsi pendengaran disamping pemberian pengalaman belajar dan latihan mengakses bunyi, perlu dilakukan kegiatan konservasi (pemeliharaan dan perawatan) pendengaran agar kemampuan mendengar tidak semakin menurun kemampuannya. Kegitan konservasi pendengaran dapat dilakukan dengan cara: (a) selalu merawat dan membersihkan saluran telinga, (b) selalu menggunakan alat bantu mendengar (ABM) dan, (c) selalu melakukan konsultasi dengan dokter THT.

17

C. Pendekatan Multisensori Pendekatan ini dikembangkan oleh Gilligham dan Stillman dalam Ade (2007: 41), Asumsi yang mendasari pendekatan ini adalah bahwa dalam pengajaran membaca, menulis, dan mengeja kata dipandang sebagai satu rangkaian huruf-huruf, pendekatan ini berangkat dari metode abjad, yaitu bunyi yang ditimbulkan oleh huruf dipandang mudah dipelajari dengan menggunakan keterpaduan indra visual, pemamfaatan sisa pendengaran, dan pengucapan kata. Dengan demikian saat anak mempelajari suatu kata anak melihat huruf, mendengar bunyi huruf, menunjuk dengan gerakan tangan atau telusuran jari tangan dan kemudian menuliskannya dengan menggunakan visual, auditori dan kinestetik dan taktil secara terpadu sebagaimana dikatakan oleh Gearheart (1976:93) pendekatan ini mengasosiasikan visual, auditori, kinestetik dan taktil dalam mempelajari kata-kata baru. Pendekatan multisensori merupakan suatu cara yang teratur yang digunakan untuk membantu anak mencapai peningkatan kemampuan kognitif dan perilaku adaptif dengan lebih memfokuskan pada perfungsian semua indra/sensori (seperti penglihatan, pendengaran, penciuman, dan pengecapan dari anak secara stimultan) (Yusuf dalam Ade, 2007: 41) Pada awalnya pendekatan ini menekankan pada sensori penglihatan, pendengaran, dan kinestetik taktil untuk menelusuri dan mengenali huruf, bentuk, dan informasi lainya yang dipandang sebagai hambatan perkembangan yang terjadi pada indra tertentu dapat diatasi bagian lain yang masih berfungsi dengan

18

baik, kemudian dijelaskan bahwa stimuli kinestetik (gerakan persendian dan otot), taktil diberikan dengan stimuli auditory (pendengaran) dan visual (penglihatan). Pendekatan multi sensori memiliki prinsip yang dijadikan pegangan, prinsip tersebut merupakan ciri khas yang harus dilakukan dalam setiap penerapan metode multisensori, prinsip-prinsip tersebut meliputi : 1. Prinsip Kesenangan Jhon Eisension dalam Edja Sadjaah (1995:147) mengatakan Speech is fun, maksudnya adalah: Dalam setiap penerapan metode multi sensori, anak dibawa kedalam situasi yang menyenangkan sehingga anak akan mudah menerima latihan. 2. Prinsip Individualitas Kita mengakui bahwa setiap anak dalam belajar memiliki sifat-sifat atau karakteristik yang unik. Keunikan dan kekhasan disini artinya bahwa antara individu yang satu dengan individu yang lain memiliki perbedaan yang kemampuan, kecerdasan, minat, dan lain sebagainya. Dengan memperhatikan banyaknya perbedaan, maka pemberian layanan harus memprioritaskan faktor kondisi yang dimiliki individu tersebut di atas. 3. Prinsip Kontinyuitas Dalam pelaksanaan pendekatan multisensori bersifat Kontinyu artinya pelaksanaan dilakukan secara terus menerus dan terjadwal dengan memperhatikan kemajuan anak atau mengulang kembali dengan catatan program yang direncanakan belum dicapai sebagaimana mestinya. Prinsip

19

kontinyuitas ini sebagai upaya dalam membiasakan anak agar terbiasa mengingat apa yang telah diajarkan. 4. Prinsip berkelanjutan Yang dimaksud berkelanjutan ialah terciptanya kebiasaan anak dalam mengucapkan satu fonem dalam kata-kata tertentu. Anak tidak perlu dilatih untuk mengapresiasikannya tetapi dilanjutkan dengan fonem lain dengan berbagai variasi vokal dan konsonan. 5. Prinsip khusus Prinsip khusus ialah pengelompokkan fonem atau huruf vokal yang berada di depan, di tengah, dan di belakang dalam sebuah kata serta melafalkan kata atau fonem tersebut jelas atau tidak jelas. Sehingga secara lebih khusus kita dapat mengetahui dimana letak kesulitan anak dalam mengucapkan fonem atau kata yang berada di depan, di tengah atau di belakang kata. Contoh dalam pelaksanaannya sebagai berikut: Melatih dalam melafalkan fonem i pada kata Ikan yang terletak di posisi depan, dan melafalkan i yang terletak di tengah pada kata Tiga dan melafalkan fonem i yang terlatak di bagian akhir sebagaimana pada kata Pagi. Pendekatan multisensori ini dilakukan berdasarkan prinsip pengamatan terhadap berbagai indera-indera secara terpadu yang dimiliki oleh seseorang. Multisensori artinya memfungsikan seluruh indera sensori (indera penangkap) dalam memperoleh kesan-kesan melalui perabaan, visual, perasaan, kinestetis, dan pendengaran (Tarmansyah, 1995:143).

20

Dengan mengembangkan berbagai kemampuan pengamatan yang dimiliki oseseorang, guru memberikan rangsangan melalui berbagai modalitas sensori yang dimilikinya. Berkaitan dengan masalah sensori Prayitno, E. (1993:23) menyatakan bahwa: makin banyak indera anak yang terlibat dalam proses belajar maka makin mudah dan pahamlah anak dengan apa yang dipelajari. Pendapat itu didukung Amin, M (1995:222) yang mengungkapkan bahwa: melatih sensori motor atau penginderaan merupakan suatu pekerjaan yang memiliki arti yang sangat penting dalam pendidikan. Pendekatan multisensori pada penelitian menggunakan 3 pengindraan atau lebih. Langkah-langkah operasionalnya adalah sebagai berikut : 1. Anak diminta untuk melihat benda yang ada pada media power point. 2. Anak mendengarkan bunyi-bunyi dari alat musik. 3. Peneliti menyebutkan nama benda. 4. Anak menirukan ucapan peneliti menyebutkan benda. 5. Anak melihat gambar benda pada media power point. 6. Peneliti mengucapkan nama benda tersebut. 7. Anak menirukan ucapan peneliti dengan menyebutkan nama benda.

D. Pembelajaran BKPBI 1. Pengertian BKPBI Bina Komunikasi, Persepsi Bunyi dan Irama (BKPBI) adalah suatu layanan untuk membangun dan membina komunikasi anak- anak yang mengalami kehilangan pendengaran serta mengoptimalkan sisa pendengaran

21

maupun perasaan vibrasinya, yang dilakukan secara sengaja maupun tidak, agar dapat meningkatkan kualitas mereka dalam berinteraksi dan

berkominikasi dengan lingkungannya. Layanan BKPBI ini merupakan layanan kekhususan bagi anak tunarungu, dalam upaya meminilisasi dampak utama ketunarunguan, yaitu terhambatnya perkembangan komunikasi. (Dinas Pendidikan Prov. Jabar, 2009). Layanan BKPBI merupakan suatu kesatuan layanan sebagai upaya untuk mengembangkan interaksi dan komunikasi anak tunarungu dengan

lingkungannya. Namun demikian layanan ini terdiri dari dua layanan utama, yaitu layanan bina komunikasi dan layanan bina persepsi bunyi dan irama. Layanan bina komunikasi diarahkan untuk membangun dan membina kemampuan komunikasi anak tunarungu, terutama komunikasi secara oralaural. Sedangkan layanan bina persepsi bunyi dan irama diarahkan untuk mengfungsikan/mengoptimalkan fungsi pendengaran maupun perasaan vibrasi siswa tunarungu untuk menyadari adanya bunyi, membedakan bunyi, mengenal bunyi, serta memaknai bunyi, dan memanfaatkannya dalam kehidupan seharihari. 2. Tujuan dan Manfaat BKPBI a. Tujuan BKPBI 1) Tujuan BKPBI secara umum adalah agar siswa tunarungu mampu berkomunikasi baik secara verbal maupun non verbal serta

meningkatkan kepekaan fungsi pendengaran maupun perasaan vibrasi siswa untuk memahami makna berbagai macam bunyi terutama bunyi

22

bahasa dengan menggunakan Alat Bantu Dengar (ABM) maupun tanpa ABM.(Depdiknas :2006) 2) Tujuan Khusus, BKPBI menunjuk pada tujuan bina komunikasi dan bina persepsi bunyi dan irama. a) Memperoleh pemahaman tentang lambing bunyi bahasa. b) Terampil berbicara atau mengucapkan berbagai lambing bunyi bahasa. Secara lebih khusus lagi, layanan bina bicara yang merupakan bagian dari layanan BKPBI memiliki tiga macam tujuan sebagai mana dikemukakan oleh Nugroho, B, (2004) yaitu agar siswa memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap dasar untuk berkomunikasi di masyarakat serta berintegrasi dalam kehidupan masyarakat secara lebih rinci diuraikan sebagai berikut ini. 3) Di bidang pengetahuan, agar anak memiliki pengetahuan tentang : a) Mengucapkan seluruh bunyi bahasa. b) Mengucapkan kata, kelompok kata, dan kalimat bahasa Indonesia. c) Mengevaluasi bicaranya sendiri, berdasarkan pengamatan visual, auditif, dan kinestetis. d) Mengatur alat ucapnya demi perbaikan dan peningkatan mutu bicaranya. e) Pemilihan kata dan kelompok kata dengan tepat.

23

4) Tujuan Pengajaran Bina Wicara di bidang ketrampilan adalah agar anak terampil dalam : a) Mengucapkan seluruh bunyi bahasa. b) Mengucapkan kata, kelompok kata, dan kalimat bahasa Indonesia. c) Mengevaluasi bicaranya sendiri, berdasarkan pengamatan visual, auditif, dan kinestetis. d) Mengatur alat ucapnya demi perbaikan dan peningkatan mutu bicaranya. e) Pemilihan kata dan kelompok kata dengan tepat. 5) Tujuan Pengajaran Bina Wicara di bidang sikap adalah agar anak memiliki sikap sebagai berikut : a) Senang menggunakan cara bicaranya dalam mengadakan

komunikasi dengan orang lain. b) Senang mengadakan evaluasi dan memperbaiki kesalahankesalahan serta berusaha meningkatkan kemampuan bicaranya. 6) Terampil membaca ujaran 7) Terampil mengoptimalkan sisa pendengaran maupun perasaan

vibrasinya, baik dengan menggunakan ABM maupun tanpa ABM, dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungannya, secara lebih khusus, layanan bina persepsi bunyi dan irama bertujuan agar anak mengembangkan kesadaran akan adanya sifat bunyi, macammacam sumber bunyi, makna berbagai bunyi bahasa, serta memahami

24

irama dalam bahasa, agar mampu berinteraksi dan berkomunikasi secara lebih baik dengan lingkungannya. b. Manfaat BKPBI Dengan berkembangnya kemampuan berkomunikasi (terutama komunikasi lisan) serta meningkatkannya optimalisasi fungsi pendengaran yang masih ada maupun perasaan vibrasinya, siswa tunarungu dapat memperoleh berbagai manfaat antara lain : 1) Dengan memiliki kemampuan berkomunikasi secara lisan, siswa tunarungu akan lebih mudah beradaptasi dengan masyarakat mendengar. 2) Tumbuhnya kebiasaan untuk mempersepsi bunyi dalam pengindraan mereka sehingga terhindar dari cara hidup yang semata-mata terganggu pada penglihatan saja. 3) Perkembangan bahasa anak tunarungu semakin berkembang, karena : a) Dengan dipupuknya kebiasaan untuk memanfaatkan sisa

pendengaran sewaktu membaca ujaran dengan lawan bicara akan menyebabkan kontak yang semakin lancer. Dengan demikian kemampuan bahasa reseptif akan semakin baik. b) Keterampilan berbicara secara berirama dengan penggunaan kelompok kata yang benar, bukan hanya akan mempermudah anak untuk menangkap isi bahsa/ungkapan melainkan pula mempermudah untuk mengingatnya.

25

4) Kehidupan emosi siswa tunarungu dapat berkembang lebih seimbang, setelah mengenal bunyi serta mampu menyampaikan gagasan maupun keinginannya melalui media komunikasi yang dapat dimengerti orang pada umumnya. 5) Gerakan motorik siswa tunarungu berkembang lebih sempurna setelah mengenal irama. 6) Meningkatkan rasa percaya diri.

E. Kerangka Pemikiran Anak tunarungu mengalami kesulitan dalam berkomunikasi, diantaranya karena kesulitan dalam berbicara, dalam kehidupan sehari-hari kegiatan bicara lebih banyak dibandingkan dengan menulis karena bicara lebih praktis (mudah dilakukan) dari pada menulis, dengan demikian tunarungu dituntut untuk mampu mengekspresikan keinginannya melalui bahasa verbal (bicara), tulisan atau tanda (gesture, isyarat, mimik dan bahasa tubuh). Akibat dari ketunarunguan tersebut mereka kurang memiliki kemampuan berbahasa atau konsep kebahasaan yang kurang cukup untuk mengerti hal-hal yang sifatnya akademis apabila dibandingkan dengan anak-anak pada umumnya, sehingga pendidikan mereka banyak yang terhambat antara 2 sampai 4 tahun, sebagai akibat dari terhambatnya kemampuan berbahasanya. Kemampuan berbicara dan berkomunikasi anak tunarungu dapat dikembangkan dengan program khusus, yaitu dengan layanan bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama, dalam pelaksanaannya layanan tersebut harus

26

menggunakan pendekatan yang tepat sehingga latihan kemampuan berbicara berjalan dengan efektif. Salah satu pendekatan yang dipandang efektif adalah pendekatan multisensori, dengan didukung media Powerpoint pada program komputer, sehingga diharapkan akan timbul pada diri anak untuk belajar dan latihan bicara dengan motivasi yang tinggi, karena pembelajarannya akan menarik dan tidak membosankan. Penelitian ini dilaksanakan dengan metode penelitian tindakan kelas, dimana dalam pelaksanaan pembelajaran berbicara anak tunarungu, kurang baik, sehingga dipandang perlu dalam pembelajarannya dilakukan perbaikan dengan menggunakan pendekatan multisensori, serta penggunaan media power point. Dengan demikian diharapkan tampilan pembelajaran akan lebih memaksimalkan potensi anak serta dapat menciptakan pembelajaran yang lebih menarik dan menyenangkan anak. Sebagai gambaran maka dapat digambarkan proses penelitian yang akan dilaksanakan adalah sebagai berikut:
Pembelajaran Perbaikan 1. Pendekatan, media, dll 2. Siklus I, II, dan III

Pembelajaran BKPBI di kelas

EVALUASI

BAB III

You might also like