You are on page 1of 51

BAB II

TIJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistem Refrigerasi
2.1.1 Pendahuluan
Refrigerasi merupakan suatu proses penarikan kalor dari suatu
benda/ruangan ke lingkungan sehingga temperatur benda/ruangan tersebut lebih
rendah dari temperatur lingkungannya. Kinerja mesin refrigerasi kompresi uap
ditentukan oleh beberapa parameter, diantaranya adalah kapasitas pendinginan
kapasitas pemanasan,daya kompresi, koefisien kinerja dan faktor kinerja.Sesuai
dengan konsep kekekalan energi, panas tidak dapat dimusnahkan tetapi dapat
dipindahkan.Sehingga refrigerasi selalu berhubungan dengan proses-proses aliran
panas dan perpindahan panas.
Pada dasarnya sistem refrigerasi dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Sistem refrigerasi mekanik
Sistem refrigerasi ini menggunakan mesin-mesin penggerak atau dan alat
mekanik lain dalam menjalankan siklusnya. Yang termasuk dalam sistem
refrigerasi mekanik di antaranya adalah:
a. Siklus Kompresi Uap (SKU)
b. Refrigerasi siklus udara
c. Kriogenik/refrigerasi temperatur ultra rendah
d. Siklus sterling

Universitas Sumatera Utara
2. Sistem refrigerasi non mekanik
Berbeda dengan sistem refrigerasi mekanik, sistem ini tidak memerlukan
mesin-mesin penggerak seperti kompresor dalam menjalankan siklusnya. Yang
termasuk dalam sistem refrigerasi non mekanik di antaranya:
a. Refrigerasi termoelektrik
b. Refrigerasi siklus absorbsi
c. Refrigerasi steam jet
d. Refrigerasi magnetic dan Heat pipe
Dewasa ini, penerapan siklus-siklus refrigerasi hampir meliputi seluruh
aspek kehidupan kita sehari-hari.Industri refrigerasi dan tata udara telah
berkembang sangat pesat dan sangat variatif, demi memenuhi kebutuhan pasar
yang sangat bervariasi.
2.1.2 Siklus Kompresi Uap
Dari sekian banyak jenis-jenis sistem refigerasi, namun yang paling umum
digunakan adalah refrigerasi dengan sistem kompresi uap.Komponen utama dari
sebuah siklus kompresi uap adalah kompresor, evaporator, kondensor dan katup
expansi.
Kondensor
Kompresor
Evaporator
Katup expansi
1
2
3
4

Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)
Universitas Sumatera Utara
Pada siklus kompresi uap, di evaporator refrigeran akan menghisap
panas dari lingkungan sehingga panas tersebut akan menguapkan refrigeran.
Kemudian uap refrigeran akan dikompres oleh kompresor hingga mencapai
tekanan kondensor, dalam kondensor uap refrigeran dikondensasikan dengan cara
membuang panas dari uap refrigeran ke lingkungannya. Kemudian refrigeran akan
kembali di teruskan ke dalam evaporator. Dalam diagram P-h siklus kompresi uap
ideal dapat dilihat dalam gambar berikut ini.


Gambar 2.2 Diagram P h siklus kompresi uap ideal (Himsar Ambarita, 2010)

Proses-proses yang terjadi pada siklus kompresi uap seperti pada gambar
2.2 diatas adalah sebagai berikut:
a. Proses kompresi (1-2)
Proses ini dilakukan oleh kompresor dan berlangsung secara isentropik
adiabatik. Kondisi awal refrigeranpada saat masuk ke dalam kompresor adalah
Universitas Sumatera Utara
uap jenuh bertekanan rendah, setelah mengalami kompresi refrigeranakan menjadi
uap bertekanan tinggi. Karena proses ini berlangsung secara isentropik, maka
temperatur ke luar kompresor pun meningkat. Besarnya kerja kompresi per satuan
massa refrigeran dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:
q
w
= h
1
h
2
(1)
dimana : q
w
= besarnya kerja kompresor (kJ/kg)
h
1
= entalpi refrigeran saat masuk kompresor (kJ/kg)
h
2
= entalpi refrigeran saat keluar kompresor (kJ/kg)
b. Proses kondensasi (2-3)
Proses ini berlangsung didalam kondensor. Refrigeran yang bertekanan
tinggi dan bertemperatur tinggi yang berasal dari kompresor akan membuang
kalor sehingga fasanya berubah menjadi cair. Hal ini berarti bahwa di dalam
kondensor terjadi pertukaran kalor antara refrigeran dengan lingkungannya
(udara), sehingga panas berpindah dari refrigeran ke udara pendingin yang
menyebabkan uap refrigeran mengembun menjadi cair. Besar panas per satuan
massa refrigeran yang dilepaskan di kondensor dinyatakan sebagai:
q
c
= h
2
h
3
(2)
dimana : q
c
= besarnya panas dilepas di kondensor (kJ/kg)
h
1
= entalpi refrigeran saat masuk kondensor (kJ/kg)
h
2
= entalpi refrigeran saat keluar kondensor (kJ/kg)
c. Proses expansi (3-4)
Universitas Sumatera Utara
Proses expansi ini berlangsung secara isoentalpi. Hal ini berarti tidak terjadi
perubahan entalpi tetapi terjadi drop tekanan dan penurunan temperatur, atau
dapat dituliskan dengan:
h
3
= h
4
(3)
Proses penurunan tekanan terjadi pada katup expansi yang berbentuk pipa
kapiler atau orifice yang berfungsi untuk mengatur laju aliran refrigeran dan
menurunkan tekanan.
d. Proses evaporasi (4-1)
Proses ini berlangsung secara isobar isothermal (tekanan konstan, temperatur
konstan) di dalam evaporator. Panas dari lingkungan akan diserap oleh cairan
refrigeran yang bertekanan rendah sehingga refrigeran berubah fasa menjadi uap
bertekanan rendah. Kondisi refrigeran saat masuk evaporator sebenarnya adalah
campuran cair dan uap, seperti pada titik 4 dari gambar 2.2 diatas.
Besarnya kalor yang diserap oleh evaporator adalah:
Q
e
= h
1
h
4
(4)
dimana : q
e
= besarnya panas yang diserap di evaporator (kJ/kg)
h
1
= entalpi refrigeran saat keluar evaporator (kJ/kg)
h
2
= entalpi refrigeran saat masuk evaporator (kJ/kg)
Selanjutnya, refrigeran kembali masuk ke dalam kompresor dan
bersirkulasi lagi. Begitu seterusnya sampai kondisi yang diinginkan
Universitas Sumatera Utara
tercapai.Untuk menentukan harga entalpi pada masing-masing titik dapat dilihat
dari tabel sifat-sifat refrigeran.
Setelah melakukan perhitungan untuk beberapa jenis refrigerant yang
sering dipakai di Indonesia, didapat nilai COP (Coefficient of Performance)
sebagai fungsi temperatur kondensasi ditampilkan pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 Nilai COP dari beberapa jenis refrigerant
T(
o
C)
Refrgt
40 45 50 55 60 65 70
R12 5,58 4,75 4,21 3,65 3,22 2,84 2,48
R600 5,08 4,34 3,69 3,18 2,77 2,44 2,14
R134a 4,92 5,05 3,92 3,34 2,90 2,54 2,18
R22 5,47 4,75 4,98 3,97 3,26 2,78 2,44

2.2 Refrigerant
Refrigerant adalah fluida kerja utama pada suatu siklus refrigerasi yang
bertugas menyerap panas pada temperatur dan tekanan rendah dan membuang
panas pada temperatur dan tekanan tinggi. Umumnya refrigerant mengalami
perubahan fasa dalam satu siklus. Media pendingin (cooling media) adalah media
yang digunakan untuk mengantarkan efek refrigerasi ke tempat yang
membutuhkan. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Sistem pendingin udara
pada unit yang besar, seperti bangunan komersial, menempatkan siklus pendingin
Universitas Sumatera Utara
terpusat pada suatu tempat. Dan ruangan yang menggunakan efek refrigerasi
relatif jauh dari unit ini, untuk keperluan ini adalah lebih baik menggunakan
medium lain daripada harus mensirkulasikan refrigerant ke tiap ruangan. Medium
yang lain inilah yang disebut medium pendingin atau sering juga diistilahkan
refrigerant sekunder. Medium yang umum digunakan adalah air, glycol, dan
larutan garam. Cairan absorbent (liquid absorbent) adalah cairan yang digunakan
untuk menyerap uap refrigerant. Istilah ini hanya dijumpai pada siklus absorpsi.
Contoh yang umum dijumpai adalah lithium bromida dan ammonia.
2.2.1 Tatanama Refrigerant
Umumnya refrigerant mempunyai nama kimia yang cukup panjang dan
kompleks, misalnya CCl2FCClF2. DuPont mengusulkan sistem penamaan dengan
menyingkat dengan huruf depan R atau kadang ditulis Freon dan diikuti
beberapa angka. Sistem ini diusulkan untuk umum sejak tahun 1956 dan masih
digunakan sampai saat ini.
1. Angka pertama dari kanan adalah jumlah atom Fluorin dalam ikatan
2. Angka kedua dari kanan adalah jumlah atom Hidrogen ditambah 1
3. Angka ketiga dari kanan adalah jumlah atom Karbon dikurangi 1 (Jika nol tidak
dipakai)
4. Angka keempat dari kanan adalah jumlah ikatan unsaturated karbonkarbon
senyawa (Jika nol tidak digunakan)
tambahan:
Universitas Sumatera Utara
a. Jika atom Bromin ada pada tempat Klorin, rumus yang sama dapat digunakan
dengan menambahkan huruf B setelah nama induknya. Huruf B diikuti dengan
angka yang mengatakan jumlah atom Bromin yang ada.
b. Huruf kecil yang mengikuti nama suatu refrigerant (Misalnyahuruf a pada R
134a) adalah menyatakan kecenderungan isomer simetri yang terbentuk.
Urutannya dimulai dari a, b, dan c. Huruf c menyatakan ketidak simetrian.
Contoh:
1. CHClF2 (Atom F =2, Atom H+1 = 2, Atom C 1 = 0) Ditulis R-22.
2. CCl3F (Atom F = 1, Atom H+1 = 1, Atom C-1 = 0) Ditulis R-11.
3. CF3CH2F (Atom F=4, Atom H+1=3, Atom C-1=1) Ditulis R-134a, karena
kehadiran polimer yang cenderung simetri.

2.2.2 Keamanan Refrigerant
Refrigerant dirancang untuk ditempatkan didalam siklus tertutup atau tidak
bercampur dengan udara luar. Tetapi, jika ada kebocoran karena sesuatu hal yang
tidak diinginkan, maka refrigerant akan keluar dari system dan bisa saja terhirup
manusia. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan maka refrigerant harus
dikategorikan aman atau tidak aman. Ada dua faktor yang digunakan untuk
mengklassifikasikan refrigerant berdasarkan keamanan, yaitu bersifat racun
(toxicity) dan bersifat mudah terbakar (flammability). Berdasarkan toxicity,
refrigerants dapat dibagi dua kelas, yaitu kelas A bersifat tidak beracun pada
Universitas Sumatera Utara
konsentrasi yang ditetapkan dan kelas B jika bersifat racun. Batas yang digunakan
untuk mendefinisikan sifat racun atau tidak adalah sebagai berikut.
Refrigerant dikategorikan tipe A jika pekerja tidak mengalami gejala
keracunan meskipun bekerja lebih dari 8 jam/hari (40 jam/minggu) di lingkungan
yang mengandung konsentrasi refrigerant sama atau kurang dari 400 ppm (part
per million by mass). Sementara kategori B adalah sebaliknya. Berdasarkan
flammability, refrigerant dibagi atas 3 kelas, kelas 1, kelas 2, dan kelas 3. Yang
disebut kelas 1 jika tidak terbakar jika diuji pada tekanan 1 atm (101 kPa)
temperature 18,30C. Kelas 2 jika menunjukkan keterbakaran yang rendah saat
konsentrasinya lebih dari 0,1 kg/m3 pada 1 atm 21.10C atau kalor pembakarannya
kurang dari 19 MJ/kg. Kelas 3 sangat mudah terbakar. Refrigerant ini akan
terbakar jika konsentrasinya kurang dari 0,1 kg kg/m3 atau kalor pembakarannya
lebih dari 19 MJ/kg. Berdasarkan defenisi ini, sesuai standard 34-1997,
refrigerants diklassifikasikan menjadi 6 kategori, yaitu:
1. A1: Sifat racun rendah dan tidak terbakar
2. A2: Sifat racun rendah dan sifat terbakar rendah
3. A3: Sifat racun rendah dan mudah terbakar
4. B1: Sifat racun lebih tinggi dan tidak terbakar
5. B2: Sifat racun lebih tinggi dan sifat terbakar rendah
6. B3: Sifat racun lebih tinggi dan mudah terbakar

Universitas Sumatera Utara
2.3 Siklus Kompresi Uap dengan Water Heater
Water heater di letakan di antara setelah bagian kompresor dan sebelum
kondensor karena proses pemanasan air pada water heater tersebut menggunakan
panas buangan dari kondensor dimana pada umumnya suhu Freon yang keluar
dari kompresor AC dibuang pada kondensor.
Dengan adanya water heater, aliran panas itu dibelokkan dulu kedalam
tangki air dingin sebelum masuk ke kondensor sehingga terjadi kontak
perpindahan panas dari pipa AC dan air di dalam tangki. Pipa AC yang keluar dari
kompresor langsung di alirkan dahulu ke dalam heat exchanger berupa pipa spiral
dalam tangki dan air yang semula dingin pun memanas, begitupula sebaliknya
suhu Freon yang panas menurun, setelah melewati pipa spiral dalam tangki
barulah kemudian pipa AC kembali diarahkan ke kondensor. Untuk memperoleh
air panas AC harus menyala dulu, bila ingin mendapat air panas pagi hari, AC
dinyalakan malam sebelumnya minimal 3 jam.

Adapun manfaat dari siklus kompresi uap dengan water heater adalah:
Hemat Biaya
Daya Tahan lebih lama
Aman
Air panas yang diperoleh stabil.
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.3.Mesin Pendingin siklus kompresi uap hybrid (Himsar Ambarita,
2010)

Gambar 2.4.Instalasi Siklus kompresi uap dan water heater (Himsar Ambarita,
2010)

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.5. Diagrm P-h siklus kompresi uap hibrid (Himsar Ambarita, 2010)
Proses-proses yang terjadi pada siklus kompresi uap hybrid seperti pada
gambar 2.5 diatas adalah sebagai berikut:
1-1= proses berlangsung secara isobar isothermal (tekanan konstan, temperatur
konstan) di dalam evaporator. Panas dari lingkungan akan diserap oleh
cairan refrigerant yang bertekanan rendah sehingga refrigerant berubah
fasa menjadi uap bertekanan rendah. Kondisi refrigerant saat masuk
evaporator sebenarnya adalah campuran cair dan uap.
1-2= proses berlangsung di antara evaporator dan compressor, dimana tekanan
konstan (isobar).
2-3= proses berlangsung dilakukan oleh compressor dan berlangsung secara
isentropik adibatik. Kondisi awal refrigerant pada saat masuk ke dalam
compressor adalah uap jenuh bertekanan rendah, setelah mengalami
kompresi refrigerant akan menjadi uap bertekanan tinggi. Karena proses
ini berlangsung secara isentropic, maka temperature ke luar kompresor pun
meningkat.
Universitas Sumatera Utara
3-4= proses ini berlangsung di dalam water heater dalam kondisi superheat.
Dimana uap refrigerant dari kompressor akan di kompres hingga mencapai
tekanan kondensor.
4-.5= proses ini berlangsung di dalam water heater dalam kondisi superheat.
dimana panas refrigerant yang telah di kompres oleh compressor
dibelokkan ke dalam koil pemanas di dalam tangki sebelum masuk ke
dalam kondensor.
5-6= proses berlangsung di antara water heater dan kondensor dengan tekanan
konstan (isobar). Dimana panas refrigerant sudah menurun, karena sudah
diserap oleh air di dalam tangki water heater.
6-.7=Proses ini berlangsung didalam kondensor. Refrigeran yang bertekanan
tinggi dalam kondisi superheat yang berasal dari water heater akan
membuang kalor sehingga fasanya berubah menjadi cair. Hal ini berarti
bahwa di dalam kondensor terjadi pertukaran kalor antara refrigeran
dengan lingkungannya (udara), sehingga panas berpindah dari refrigeran
ke udara pendingin yang menyebabkan uap refrigeran mengembun
menjadi cair.
7-8= proses berlangsung di antara kondensor ke katup expansi, dimana tekanan
dan temperature sudah menurun.
8-9= proses expansi ini berlangsung secara isoentalpi. Hal ini tidak terjadi
perubahan entalpi tetapi tejadi drop tekanan dan penurunan temperatur.
Universitas Sumatera Utara
9-1= proses ini berlangsung secara isobar isothermal (tekanan konstan,
temperature konstan) di dalam evaporator. Dimana panas dari lingkungan
akan di serap oleh cairan refrigerant yang bertekanan rendah sehingga
refrigerant berubah fasa menjadi uap bertekan rendah. Kondisi refrigerant
saat masuk evaporator sebenarnya adalah campuran cair dan uap.
2.4. Perpindahan Panas Konveksi Alamiah / Natural
Konveksi Alamiah (natural convection),atau konveksi bebas (free
convection), terjadi karena fluida yang, karena proses pemanasan, berubah
densitasnya (kerapatannya), dan bergerak naik. Syarat terjadinya perpindahan
panas konveksi adalah terdapat aliran fluida, jika tidak ada fluida maka bukan
konveksi namanya. Perpindahan panas dan aliran fluida adalah dua hal yang
berbeda. Pada bagian ini perpindahan panas yang menginisiasi aliran fluida.
Karena perbedaan temperatur, massa jenis fluida akan berbeda, dimana fluida
yang suhunya lebih tinggi menjadi lebih ringan. Sebagai akibatnya, fluida akan
mengalir dengan sendirinya atau tanpa adanya gaya luar. Aliran fluida yang
timbul juga akan mengakibatkan perpindahan panas dan sebaliknya perpindahan
panas akan mengakibatkan aliran fluida. Keduanya, perpindahan panas dan aliran
fluida, saling mempengaruhi, inilah yang disebut konveksi natural. Aplikasi dari
fenomena ini di bidang engineering sangat luas. Aliran udara di atmosfer dan
aliran arus air di biosfer dapat dijelaskan dengan konveksi natural, demikian juga
proses pengkondisian udara (Air conditioning), kondensor, pengeringan, solar
collector, dll. Akhir-akhir ini topik konveksi natural mendapat tempat yang
khusus dan makin populer bagi para peneliti yang fokus pada sustainable energi.
Perpindahan panas konveksi paksa adalah perpindahan panas dimana dimana
Universitas Sumatera Utara
fluidanya dipaksa mengalir, misalnya dengan menggunakan pompa atau blower.
Dengan kata lain, aliran fluida tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi diakibatkan
oleh oleh gaya luar. Pada bagian ini akan dibahas fenomena konveksi yang lain,
dimana aliran fluida terjadi secara alami, sebagai akibat perpindahan panas yang
terjadi. Konveksi inilah yang disebut konveksi natural atau kadang disebut
konveksi bebas dalam bahasa Inggris disebut natural convection atau free
convection.
Contoh sederhana dari fenomena ini banyak dijumpai di sekitar kita.
Misalnya naiknya asap rokok secara natural. Temperatur pembakaran yang terjadi
pada tembakau rokok adalah lebih kurang 1000
0
C, temperatur ini akan
memanaskan udara disekitar ujung rokok yang terbakar. Udara panas ini akan
lebih ringan dari udara sekililingnya karena udara dengan temperatur lebih tinggi
akan mempunyai kerapatan lebih rendah. Akibatnya udara akan terapung dan naik
ke atas dan meninggalkan ruang kosong. Udara yang lebih dingin disekitarnya
akan mengalir, untuk mengganti udara pada daerah yang ditinggalkan oleh udara
yang naik. Maka terjadilah aliran udara secara natural.
2.4.1 Gaya apung (Buoyancy force)
Misalnya sebuah plat yang panas diletakkan pada posisi vertikal di udara
terbuka yang awalnya diam. Setelah beberapa saat akan terlihat aliran udara di
sekitar plat vertikal tersebut. Aliran udara di sekitar plat tersebut akan berada di
dalam lapisan batas, yang biasa disebut boundary layer. Di luar lapisan batas ini
fluida akan dianggap diam karena bergerak dengan kecepatan relatif kecil, seperti
ditunjukkan pada Gambar 2.6 Perbedaan temperatur fluida di dalam dan di luar
Universitas Sumatera Utara
lapisan batas akan menyebabkan perbedaan rapat massa fluida. Oleh karena itu
gaya gravitasi pada tiap-tiap partikel fluida akan berbeda.
Asumsi yang umum digunakan untuk dapat menurunkan persamaan
pembentuk aliran pada udara di sekitar plat vertikal ini adalah: aliran 2D,
incompressibel, sifat fisik konstan. Untuk memunculkan efek dari perbedaan
kerapatan sebagai gaya pendorong aliran fluida, maka pada persamaan momentum
arah vertikal, gaya gravitasi harus diperhitungkan.

Gambar 2.6 Konveksi natural pada plat vertikal yang panas (Himsar Ambarita,
2010)
Dengan menggunakan asumsi-asumsi yang telah disebutkan, maka persamaan
pembentuk aliran menjadi:
Kontinuitas: (5)
Momentum arah-x:
Universitas Sumatera Utara
|
|
.
|

\
|

2
2
2
2
y
u
x
u
x
p
y
u
v
x
u
u

(6)
Momentum arah-y
g
y
v
x
v
y
p
y
v
v
x
v
u


|
|
.
|

\
|

2
2
2
2
(7)
Energi
|
|
.
|

\
|

2
2
2
2
y
T
x
T
c
k
y
T
v
x
T
u
p

(8)
Persamaan-persamaan ini, masih dapat disederhanakan lagi dengan
menggunakan asumsi-asumsi tambahan. Asumsi tambahan yang digunakan antara
lain: distribusi tekanan searah sumbu-x dapat dianggap konstan, sehingga
0 = x p . Selanjutnya turunan tekanan searah sumbu-y dapat dianggap sama
dengan turunan tekanan hidrostatis fluida diam diluar lapisan batas. Atau dalam
bentuk persamaan menjadi:
dy
dp
y
p
h
=

(9)
Dengan menggunakan defenisi tekanan hidrostatis gy p
r h
= ,dimana
r

adalah massa jenis fluida yang diam diluar lapisan batas. Sebagai catatan fluida
yang ada di luar lapisan batas, biasa disebut fluida referensi. Hasil differensiasi
persamaan (9) adalah:
g
dy
dp
r
h
= (10)
Universitas Sumatera Utara
Jika persamaan (10) dan (9) disubstitusi ke persamaan (7), maka akan di dapat:
( )g
y
v
x
v
y
v
v
x
v
u
r


+
|
|
.
|

\
|

2
2
2
2
(11)
Perbedaan massa jenis pada persamaan (11) biasa dikenal sebagai
perbedaan massa jenis semu, pseudo-density difference. Pendekatan Boussinesq
dapat digunakan untuk mengubah perubahan rapat massa ini menjadi perbedaan
temperatur. Dengan menganggap udara bertindak sebagai gas ideal, maka massa
jenis udara dapat dinyatakan dengan persamaan:
| | ) ( 1
r r
T T = (12)
Dimana
r
T 1 = adalah koefisien ekspansi volume gas.
r
T adalah
temperatur fluida pada suhu referensi, yaitu suhu diluar lapisan batas. Jika
persamaan ini disubstitusi ke persamaan (11), dan massa jenis dapat dianggap
konstan, maka persamaan menjadi:
( )
r
T T g
y
v
x
v
y
v
v
x
v
u +
|
|
.
|

\
|

2
2
2
2
(13)
Persamaan (13) ini untuk selanjutnya akan digunakan sebagai pengganti
persamaan (7). Sebagai catatan ada dua perbedaan utama antara persamaan (13)
dan persamaan (7). Pertama, rapat massa dapat dianggap konstan (tidak perlu
dihitung lagi). Kedua, gaya yang bekerja pada partikel udara, sekarang sudah
bukan lagi fungsi rapat massa tetapi telah berubah menjadi fungsi temperatur.
Dengan kata lain, seandainya distribusi temperatur diketahui, maka distribusi
kecepatan akan dapat dihitung. Model inilah, persamaan (13), yang telah diikuti
selama puluhan tahun untuk menyelesaikan permasalah konveksi natural. Dan
Universitas Sumatera Utara
model ini juga yang akan digunakan buku ini untuk menjelaskan timbulnya gaya
apung yang menyebabkan fluida bergerak sendiri.
Pada persamaan (13) khususnya bagian paling kanan dari persamaan itu.
Jika temperatur plat lebih tinggi dari temperatur fluida, maka temperatur fluida di
sekitar plat vertikal akan lebih besar dari temperatur fluida referensi, atau .
Maka suku yang paling kanan akan berharga positif, artinya gaya yang timbul
mengarah ke atas. Inilah yang menjelaskan kenapa partikel fluida akan naik dan
sesuai dengan yang ditampilkan di Gambar 2.5. Sekarang jika yang terjadi
sebaliknya, temperatur plat lebih dingin dari fluida di sekitarnya. Maka temperatur
fluida di dekat plat vertikal akan lebih kecil dari temperatur fluida referensi, atau
. Maka suku paling kanan dari persamaan (13) akan negatif atau gaya yang
timbul mengarah ke bawah. Jika ini yang terjadi, maka aliran fluidanya akan
seperti Gambar 2.6 harus mengarah ke bawah. Pada prinsipnya kedua masalah ini
adalah sama, yang membedakannya hanya arah gaya apungnya.


Gambar 2.7 Konveksi natural pada plat vertikal yang dingin (Himsar
Ambarita, 2010)
Universitas Sumatera Utara
Satu hal yang perlu dicatat di sini adalah, parameter yang selalu dihitung
hanya ada satu yaitu bilangan Nu yang menyatakan koefisien perpindahan panas.
Karena fluida mengalir sendiri maka koefisien gesekan atau faktor gesekan tidak
perlu dihitung. Bedakan pada konveksi paksa permasalahan selalu ada dua, yaitu
Nu dan CR
f
R atau f. Pada konveksi natural ini hanya satu yaitu Nu.

2.4.2 Bilangan tanpa dimensi
Pada kasus-kasus konveksi paksa persamaan empirik yang digunakan
untuk mencari bilangan Nusselt dinyatakan dengan bilangan tanpa dimensi yaitu
bilangan Reynolds. Sementara pada konveksi natural akan digunakan bilangan
tanpa dimensi yang lain. Untuk mengetahui bilangan tanpa dimensi yang akan
digunakan, maka persamaan pembentuk aliran harus diubah ke dalam bentuk
tanpa dimensi. Parameter-parameter tanpa dimensi yang digunakan adalah:
L
x
X = ,
L
y
Y = ,
V
u
U = ,
V
v
V = dan
r s
r
T T
T T

= (14)
Pada persamaan (14) huruf besar menyatakan bilangan tanpa dimensi. L adalah
panjang plat vertikal dan V adalah kecepatan rata-rata fluida. Jika persaman (14)
didifferensialkan, akan didapat:
x
L
X =
1
, y
L
Y =
1
, u
V
U =
1
, v
V
V =
1
, dan T
T T
r s

=
) (
1
(15)
Substitusi persamaan (15) ke dalam persamaan (13) dan dilakukan sedikit
manipulasi akan didapat persamaan:
Universitas Sumatera Utara
|
|
.
|

\
|

)
`

+
)
`

)
`

2
2
2
2
2 2 2
2
2
3 2
) (
X
V
Y
V
L V L V
L Tr Ts g
Y
V
V
X
V
U




(16)
Bagian yang di dalam kurung kurawal adalah bilangan-bilangan tanpa dimensi.
Dengan mengelompokkan semua bilangan tanpa dimensi menjadi satu group,
maka persamaan (16) dapat ditulis menjadi:

|
|
.
|

\
|

+ =

2
2
2
2
2
Re
1
Re X
V
Y
V Gr
Y
V
V
X
V
U
L
(17)
Dimana
L
Gr adalah Bilangan Grashof yang dirumuskan dengan:
2
3 2
) (

L T T g
Gr
r s
L

= (18)
Dan bilangan Reynolds, sama dengan defenisi pada konveksi paksa, yaitu:

L V
= Re (19)
Sebagai catatan, bilangan tanpa dimensi yang lebih sering digunakan
untuk menuliskan rumus empirik pada kasus-kasus konveksi natural adalah
bilangan Rayleigh biasa disebut sebagai Rayleigh number yang didefenisikan
sebagai:

3
) ( L T T g
Ra
r s
L

= (20)
Dimana = adalah viskositas kinematik, dan
p
c k = adalah difusivitas
termal. Hubungan antara bilangan Rayleigh dan bilangan Grashof didapat dengan
membandingkan persamaan (18) dan persamaan (20).
Universitas Sumatera Utara
Pr
L L
Gr Ra = (21)
Dengan cara yang sama, persamaan energi pada persamaan (8), dapat
diubah dengan menggunakan parameter-parameter tanpa dimensi pada persamaan
(14) dan turunannya pada persamaan (15). Persamaan energi pada persamaan (8),
dalam bentuk tanpa dimensi menjadi:
|
|
.
|

\
|

2
2
2
2
Pr Re
1
Y X Y
V
X
U

(22)

2.4.3. Penyelesaian Analitik Konveksi Natural
Seperti yang telah dijelaskan, tujuannya sekarang adalah mencari koefisien
perpindahan panas konveksi. Persamaan ini dapat dihitung dengan menyelesaikan
dulu persamaan pembentuk aliran untuk mendapatkan distribusi temperatur.
Dengan distribusi temperatur yang diketahui akan dapat dicari koefisien konveksi
natural. Dengan kata lain, untuk mendapatkan persamaan koefisien perpindahan
panas pada lapisan batas, maka persamaan differensial pembentuk aliran harus
diselesaikan, yaitu persamaan (8) dan persamaan (13). Menyelesaikan persamaan
ini secara teori ada dua metode yang bisa dilakukan yaitu cara analitik dan cara
numerik. Pada bagian ini akan dibahas cara analitik. Meskipun konveksi alamiah
bisa terjadi pada berbagai bentuk permukaan, tetapi yang akan dibahas secara
analitik adalah hanya pada plat vertikal. Telah disebutkan pada bagian
sebelumnya bahwa ada dua kemungkian kasus konveksi natural pada plat vertikal.
Pertama temperatur permukaan plat lebih tinggi daripada fluida disekitarnya dan
kedua temperatur permukaan plat lebih rendah dari fluida di sekitarnya. Kedua
Universitas Sumatera Utara
kasus ini adalah sama dan hanya arahnya yang berbeda. Oleh karena itu
penyelesaian analilitik hanya akan fokus pada satu kasus yang pertama seperti
yang ditampilkan pada Gambar 2.8
Kasus yang dianalisis di sini adalah sebuah plat vertikal yang panjangnya L
dan temperatur permukaannya
s
T berada pada fluida diam yang mempunyai
temperatur

T . Tetapi untuk memmudahkan pembahasan temperatur fluida ini


akan disebut temperatur referensi,
r
T . Yang harus dicari pada kasus ini adalah
profil kecepatan, profil temperatur, tebal lapisan batas, dan koefisien konveksi
pada permukaan plat vertikal. Pada lapisan batas, setelah mengalami
penyederhanaan persamaan yang akan diselesaikan akan dituliskan kembali.
0 =

y
v
x
u
(23)
( )
r
T T g
x
v
y
v
v
x
v
u +

2
2
(24)
2
2
x
T
c
k
y
T
v
x
T
u
p

(25)
Persamaan (24) dan persaman (25) masing-masing diperoleh dari persamaan (13)
dan persamaan (8). Penyederhanaan ini didapat dengan menggunakan fakta bahwa
di dalam lapisan batas 0
2 2 2 2
= y T y v . Kondisi batas untuk ketiga persamaan
ini adalah:
0 = x , 0 = = v u , dan
s
T T = (26)
= x , 0 = v , 0 =

x
v
, dan
r
T T = , 0 =

x
T
(27)
Universitas Sumatera Utara
Dan sebagai kondisi batas tambahan dari persaman (26) jika dimasukkan ke
persamaan (24), akan diperoleh:

) (
0
2
2
r s
y
T T g
x
v
=

=
(28)
Setelah mereview beberapa text book heat transfer, ada dua jenis
penyelesaian yang umum digunakan untuk menyelesaikan persamaan yang
ditampilkan di atas beserta dengan kondisi batasnya. Pertama menggunakan
metode similaritas seperti yang digunakan oleh Ostrach (1953) dan kedua
menggunakan metode integral yang diajukan secara terpisah oleh Squire dan
Goldstein, selanjutnya akan disatukan dan disebut persamaan Squire-Goldstein.
Pembahasan masing-masing dipublikasikan oleh Eckert dan Drake (1987) dan
Goldstein (1930).
Penyelesaian dengan menggunakan metode similaritas dapat dilihat pada
buku Incropera (2006). Pada buku ini, penyelesaian analitik untuk konveksi
natural di sekitar plat vertikal yang akan digunakan adalah formulasi Eckert-
Goldstein. Tetapi, langka-langkah penyelesaiannya tidak akan ditampilkan
seluruhnya, bagi yang ingin lebih mendalami cara penyelesaiannya pembaca bisa
membacanya pada buku yang ditulis oleh Lienhart (2003).
Hasil pengintegralan dari persamaan energi, persamaan (25), adalah profil
temperatur yang merupakan fungsi jarak horizontal dari permukaan (x) diusulkan
berbentuk parabola dengan persaman:
2
|
.
|

\
|
+ |
.
|

\
|
+ =


x
c
x
b a
T T
T T
r s
r
(29)
Universitas Sumatera Utara
Dengan syarat batas untuk temperatur dari persamaan (26) dan persamaan
(27), koefisien a, b, dan c dapat dihitung. Jika diselesaikan akan didapat nilai
masing-masing a=1, b=-2, dan c=1. Substitusi nilai-nilai ini ke persamaan (29)
akan menghasilkan persamaan profil temperatur di dalam lapisan batas.
2
1 ) ( |
.
|

\
|
+ =

x
T T T T
r s r
(30)
Persamaan ini membuktikan bahwa temperatur suatu titik di lapisan batas
tergantung pada posisi titik itu dari permukaan dan tebal lapisan batasnya .
Meskipun belum diturunkan rumus untuk tebal lapisan batas ini tetapi,
berdasarkan visualisasi pada Gambar 2.7 tebal lapisan batas ini merupakan fungsi
y.
Berikutnya adalah untuk profil kecepatan. Untuk membuat profil
kecepatan tanpa dimensi, di sini diusulkan suatu kecepatan karakteristik yang
merupakan fungsi jarak vertikal
) ( y c
V . Pada posisi y yang sama, kecepatan ini
adalah konstan sepanjang x. Persamaan kecepatan karakterstik ini akan
dirumuskan kemudian. Hasil pengintegralan persamaan (25) disusulkan profil
kecepatan tanpa dimensi berupa persamaan jarak pangkat tiga, atau dituliskan:
3 2
) (
|
.
|

\
|
+
|
.
|

\
|
+
|
.
|

\
|
=

y
d
y
c
y
V
v
y c
(31)
Koefisien c dan d didapat dengan menggunakan syarat batas pada persamaan (26)
dan persamaan (27), dan hasilnya c = -2 dan d=1. Dengan menggunakan angka ini
profil kecepatan di dalam lapisan batas adalah:
Universitas Sumatera Utara
2
) (
1 |
.
|

\
|
=

x x
V v
y c
(32)
Sekarang dengan menggunakan profil kecepatan dan profil temperatur yang sudah
dihitung ini kecepatan karakteristik dapat dihitung dan dan tebal lapisan batas
dapat dihitung. Caranya substitusi persamaan (30) dan persamaan (32) ke dalam
persamaan (25) dan integralkan. Caranya memang sangat panjang dan berliku,
bagi yang serius silahkan merujuk pada Lienhart (2003). Pada bagian ini hanya
hasilnya yang akan ditampilkan. Persamaan mencarai kecepatan karakteristiknya
adalah:
( )
2
Pr 21 20 3
Pr
) (

r s
c
T T g
y V

+
= (33)
Dan tebal lapisan batas
25 , 0
25 , 0
2
Pr
Pr 952 , 0
936 , 3

|
.
|

\
| +
=
y
Gr y (34)
Koefisien perpindahan panas konveksi akan dirumuskan dengan defenisi yang
telah dijelaskan diatas dan persamannya adalah:
r s
x
T T
x T k
h


=
=0
) (
(35)
Dengan menggunakan persaman distribusi temperatur pada persamaan (30) akan
diperoleh persaman koefisien konveksi lokal:

k
h
y
2
= (36)
Dan akhirnya bilangan Nusselt lokal sebagai fungsi jarak y dari sisi masuk adalah:
Universitas Sumatera Utara
25 , 0
25 , 0
Pr 952 , 0
Pr
508 , 0 Nu |
.
|

\
|
+
=
y y
Ra (37)
Bilangan Nusselt rata-rata didapat dengan mengintegralkan persamaan (37)
sepanjang L dan hasilnya:
25 , 0
25 , 0
Pr 952 , 0
Pr
678 , 0 Nu |
.
|

\
|
+
=
L
Ra (38)
Persamaan-persamaan ini digunakan dengan sifat fisik dievaluasi pada temperatur
film ) (
2
1
r s f
T T T + = , kecuali harus dievaluasi pada temperatur referensi
r
T .

2.4.4 Persamaan Empirik Konveksi Natural permukaan Luar
Persamaan mencari bilangan Nu yang diturunkan secara analitik dan
menghasilkan persamaan (38) didapat dengan asumsi bahwa aliran adalah
laminar. Validasi yang dilakukan dengan cara eksperimen membuktikan adanya
penyimpangan dari persaman tersebut dengan hasil eksperimen. Hal ini, salah
satunya diakibatkan adanya efek turbulensi. Penentuan kondisi aliran pada kasus
konveksi natural adalah menggunakan bilangan Ra yang telah didefenisikan pada
persamaan (20). Pada penyelesaian analitik yang telah telah ditampilkan di atas,
karena diturunkan dengan asumsi untuk aliran laminar maka hanya pada bilangan
Ra yang rendah sebaiknya persamaan itu dipakai. Sementara untuk bilangan Ra
yang lebih besar persamaan tersebut tidak disarankan. Meskipun demikian, bentuk
dasar persamaan tersebut memberikan informasi bahwa bilangan Nu dari suatu
masalah konveksi natural dapat dirumuskan sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
m
L
CRa = Nu (39)
Dimana C dan m adalah konstanta yang tergantung pada permukaan, jenis fluida
dan besar bilangan Rayleigh.
Permasalahannya sekarang adalah mencari konstanta C dan m yang sesuai untuk
suatu kasus konveksi natural. Kedua konstanta ini dihitung dengan menggunakan
data-data eksperimen. Dengan menggunakan data-data eksperimen yang baik
maka seorang peneliti dapat mengajukan konstanta yang sesuai, cara inilah yang
dikenal dengan cara membangun persamaan empirik. Beberapa peneliti telah
mengajukan persamaan untuk beberapa kasus yang akan ditampilkan pada bagian
berikut. Persamaan akan dibagi berdasarkan bentuk permukaan dan kondisi
permukaan apakah untuk temperatur konstan atau untuk flux konstan.

2.4.5 Bidang vertikal
Arah aliran fluida akibat konveksi natural pada bidang vertikal mempunyai
dua kemungkinan. Pertama temperatur bidang lebih tinggi dari temperatur fluida
sehingga fluidanya mengalir ke atas atau sebaliknya temperatur bidang lebih
rendah dari temperatur fluida, sehingga arah aliran ke bawah. Secara kuantitatif
persamaan mencari nilai bilangan Nu adalah sama, hanya arahnya saja yang
berbeda. Kedua kemungkinan ini sudah ditampilkan pada Gambar 2.6 dan
Gambar 2.7
a. Untuk bidang vertikal dengan
s
T konstan
Universitas Sumatera Utara
Parameter bilangan Rayleigh dihitung dengan menggunakan panjang
bidang L dan dinyatakan dengan
L
Ra . Untuk kasus ini ada beberala alternatif
yang dapat digunakan. Persamaan yang paling sederhana dapat dijumpai pada
McAdams (1954), Warner dan Arpaci (1968), dan Bayley (1955), yaitu:
25 , 0
59 , 0 Nu
L
Ra = untuk
9 4
10 10
L
Ra (40)
3 1
1 , 0 Nu
L
Ra = untuk
13 9
10 10 <
L
Ra (41)
Kedua persamaan benar-benar sangat mirip dengan persamaan (39). Keunggulan
dari persamaan ini adalah bentuknya yang sangat sederhana sehingga mudah
untuk digunakan. Tetapi kedua persamaan ini kurang teliti. Untuk meningkatkan
ketelitiannya persamaan yang direkomendasikan Churchill dan Chu (1975) dapat
digunakan.
2
27 8 16 9
6 1
] ) Pr 492 , 0 ( 1 [
387 , 0
825 , 0 Nu
)
`

+
+ =
L
Ra
(42)
Persamaan ini diklaim berlaku untuk semua rentang bilangan RaR
L
R. Dan jika
ingin lebih teliti lagi, untuk bilangan Rayleigh yang lebih rendah
9
10
L
Ra ,
Churchill dan Chu (1975) menyarankan persamaan berikut:
9 4 16 9
4 1
] ) Pr 492 , 0 ( 1 [
67 , 0
68 , 0 Nu
+
+ =
L
Ra
(43)
Meskipun kedua persamaan ini mempunyai bentuk yang sangat berbeda
dengan hasil analitik pada persamaan (38), tetapi pada kasus tertentu dapat
memberikan hasil yang sama. Telah disebutkan bahwa penyelesaiaan analitik
didapatkan dengan asumsi bahwa aliran yang terjadi adalah laminar dimana
Universitas Sumatera Utara
bilangan RaR
L
R kecil. Jika bilangan ini kecil, bagian kanan dari persamaan (42)
dan persamaan (43) akan bisa diabaikan. Sebagai hasilnya bilangan Nu untuk
kedua persamaan akan mendekati 0,68 dan 0,825P
2
P 0,68. Demikian juga hasil
analitik pada persamaan (38) akan mendekati 0,678. Kesimpulannya memberikan
angka yang sama. Tetapi sebaliknya jika bilangan RaR
L
R besar masing-masing
persamaan ini akan menyimpang dan disarankan menggunakan yang sesuai
rekomendasi.
b. Bidang vertikal dengan flux q konstan
Plat vertikal yang dipanasi dengan flux panas q [W/mP
2
P] sangat cocok
memodelkan plat vertikal yang disinari dengan cahaya yang tetap. Pada plat
seperti ini, temperatur plat tidak diketahui. Karena memang temperatur tidak
diketahui, maka temperatur yang digunakan pada persamaan adalah temperatur
rata-rata, dan dirumuskan dengan persamaan:
( )
h
q
T T
r s

= (44)
Dengan menggunakan persaman ini bilangan RaR
L
R dapat dihitung.
Kemudian, bilangan Nu dapat dihitung dengan menggunakan persaman yang
diajukan oleh Churchill dan Chu (1975).
2
27 8 16 9
6 1
] ) Pr 437 , 0 ( 1 [
387 , 0
825 , 0 Nu
)
`

+
+ =
L
Ra
(45)
Meskipun semua parameter dapat dihitung tetapi permasalahannya tidak
sederhana untuk diselesaikan. Perhatikan persamaan (44) untuk menghitung beda
temperatur harus diketahui koefisien konveksi rata-rata h. Sementara ini masih
Universitas Sumatera Utara
harus dihitung pada persamaan (45). Oleh karena itu masalah ini harus
diselesaikan dengan trial and error dengan menebak dulu nilai h, kemudian
dilanjutkan dengan menghitung beda temperatur. Beda temperatur ini akan
digunakan menghitung RaR
L
R, dan akhirnya Nu dapat dihitung. Nilai h hasil
tebakan harus dicek lagi dengan menggunakan nilai Nu yang baru didapat. Jika
tidak berbeda jauh atau bedanya dapat diterima, maka perhitungan bisa
dihentikan. Tetapi jika tidak maka perhitungan harus diulang lagi sampai hasilnya
sama atau perbedaannya dapat diterima.

2.4.6 Bidang miring
Bidang vertikal dapat dianggap sebagai bidang miring dengan kemiringan
90P
o
P. Dengan kata lain bidang miring adalah bidang vertikal yang sudut
kemiringannya kurang dari 90P
o
P. Jika fakta ini dibawa ke kasus konveksi
natural, maka semua persamaan pada bidang vertikal dengan satu catatan
kemiringannya harus diperhitungkan. Untuk lebih jelasnya sebuah plat yang panas
dimiringkan dengan sudut kemiringan
0
90 < terhadap vertikal ditampilkan pada
Gambar 2.8.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.8 Konveksi natural pada bidang miring (Himsar Ambarita,
2010)
Pada gambar dapat dilihat bahwa pada bidang miring dengan sudut
kemiringan terhadap vertikal, percepatan gravitasi dapat diproyeksikan menjadi
yang sejajar dengan bidang. Ini berarti bidang miring dapat dianggap
sebagai plat vertikal tetapi percepatan gravitasinya menjadi . Maka untuk
bidang miring semua persamaan pada kasus bidang vertikal dengan dan
konstan dapat digunakan. Tetapi gravitasi harus diganti menjadi saat
menghitung bilangan Ra.
(46)
Setelah menghitung bilangan Ra, maka semua persamaan untuk plat
vertikal, persamaan (40) sampai dengan persamaan (45) dapat digunakan. Kita
tinggal memilih persamaan mana yang sesuai untuk kasus yang sedang dibahas.
2.4.7 Bidang Horizontal
Meskipun sampai bagian ini yang sudah dijelaskan adalah konveksi
natural pada bidang vertikal dan bidang miring, bukan berarti pada bidang
horizontal tidak terjadi konveksi natural. Yang menjadi pertanyaan di sini adalah
Universitas Sumatera Utara
bagaimana mendefenisikan panjang perpindahan panas. Hal ini perlu dijelaskan
karena percepatan gravitasi adalah tegak lurus terhadap bidang horizontal. Pada
kasus konveksi natural pada bidang horizontal panjang yang digunakan
menghitung bilangan RaR
L
R adalah panjang karakteristik yang didefenisikan
dengan persamaan:
K
A
L = (47)
Dimana A menyatakan luas bidang horizontal dan K adalah kelilingya.
Dengan menggunakan panjang karakteristik ini bilngan RaR
L
R dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan (20). Pola konveksi natural pada permukaan
horizontal dapat dibagi dua. Masing-masing dijelaskan pada bagian berikut.

a. Permukaan atas yang panas atau permukan bawah yang dingin.
Pola ini ditunjukkan pada Gambar 2.9 Pada bagian kiri gambar tersebut
bidang horizontal yang panas berada pada fluida yang lebih dingin. Sebagai
akibatnya fluida yang bersentuhan dengan permukaan akan lebih ringan karena
lebih panas dan akan mengalir naik. Pada bagian kiri digambarkan sebaliknya
bidang horizontal yang dingin berada pada fluida yang lebih panas. Fluida yang
bersentuhan dengan bidang akan lebih dingin. Karena lebih dingin akan menjadi
lebih berat dan akan mengalir turun.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.9 Konveksi natural pada bidang horizontal (type a) (Himsar Ambarita,
2010)
Persamaan bilangan Nu untuk kedua bagian gambar ini adalah sama. Hanya arah
alirannya saja yang berbeda. Persamaan menghitung bilangan Nu dapat digunakan
persamaan yang diajukan oleh Llyod dan Moran (1974):
Untuk :
(48)
Untuk
(49)
b. Permukaan atas yang dingin atau permukaan bawah yang panas
Pola ditunjukkan pada Gambar 2.10 Pada bagian kiri gambar ditunjukkan
bahwa fluida yang panas akan terdesak dari permukaan yang panas dan mengalir
ke sebelah luar. Untuk mengisi kekosongan akibat aliran ini maka fluida
dibawahnya akan mengalir ke atas. Hal yang sama tetapi dengan arah yang
berbeda ditampilkan pada bagian kanan gambar tersebut.
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.10 Konveksi natural pada bidang horizontal (type b) (Himsar Ambarita,
2010)
Persamaan menghitung bilangan Nu untuk kasus ini dapat digunakan persamaan
yang dituliskan pada buku Incropera (2006).
(50)
Persamaan ini berlaku untuk .
2.4.8 Konveksi natural pada permukaan silinder
Salah satu bentuk permukaan yang umum dijumpai di bidang engineering
adalah silider. Posisi silinder bisa saja vertikal seperti cerobong atau pada posisi
horizontal seperti heat exchanger jenis shell and tube. Pada bagian akan
ditampilkan persamaan empirik untuk menghitung perpindahan konveksi natural
dari bidang silinder.
a. Silinder vertical
Universitas Sumatera Utara
D
L
T
s
T
r

Gambar 2.11 Konveksi natural pada silinder vertikal (Himsar Ambarita, 2010)
Sebuah silinder vertikal dengan temperatur permukaan
s
T ditampilkan pada
Gambar 2.11 Diameter silinder dinyatakan dengan D dan tingginya L berada pada
fluida fluida yang mempuyai temperatur
r
T . Jika temperature permukaan silinder
lebih panas daripada fluida. Maka fluida di sekitar silinder akan mengalir naik.
Sebaliknya, jika permukaan silinder lebih lebih dingin daripada fluida, maka
fluida di sekitar silinder akan turun. Kedua kasus ini akan memberikan bialngan
Nu yang sama.
Jika diameter silinder cukup besar maka, dapat dianggap sama dengan
bidang vertikal. Maka semua persamaan yang sudah dituliskan untuk bidang
vertikal berlaku untuk silinder ini. Syarat diameter untuk yang dikategorikan besar
adalah:
25 , 0
35
L
Gr
L
D (51)
Persamaan (40) sampai dengan persamaan (45) dapat digunakan asal semua syarat
memenuhi.Tetapi jika persamaan (40) tidak dipenuhi lagi, silinder vertikal akan
Universitas Sumatera Utara
dikategorikan tipis dan persamaan menghitung bilangan Nu nya akan khusu. Le
Fevre dan Ede (1956) merekomendasikan persamaan berikut:
D
L Ra
L
Pr) 63 64 ( 35
Pr) 315 272 ( 4
Pr) 21 20 ( 5
Pr 7
3
4
Nu
25 , 0
+
+
+
(

+
= (52)
Sifat fluida pada persamaan ini menggunakan lapisan film kecuali saat
menghitung RaR
L
R menggunakan temperatur fluida.
b. Silinder Horizontal
Pola konveksi natural pada silinder yang mempunyai termperatur lebih
panas daripada fluida di sekelilingnya ditampilkan pada Gamabr 2.12.
D
L
T
s
T
r

Gambar 2.12 Konveksi natural pada silinder vertikal (Himsar Ambarita, 2010)

Untuk kasus ini, jika bilangan
12
10
D
Ra , persamaan berikut dapat digunakan,
Churchill dan Chu (1975):
2
27 8 16 9
6 1
] ) Pr 559 , 0 ( 1 [
387 , 0
6 , 0 Nu
)
`

+
+ =
D
Ra
(53)
Universitas Sumatera Utara
2.4.9 Konveksi natural pada Bola
Bentuk permukaan terakhir yang akan ditampilkan adalah konveksi
natural pada permukaan bola. Jika permukaan bola lebih panas daripada fluida di
sekitarnya, maka fluida yang berada di dekat permukaan bola akan naik. Pada
permukaan akan terjadi perpindahan panas konveksi natural seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 2.13

Gambar 2.13 Konveksi natural pada bola (Himsar Ambarita, 2010)

Jika permukaan yang mengalami konveksi natural berbentuk bola dengan diamter
D maka persamaan berikut, Churchill (1983), dapat digunakan:
9 4 16 / 9
25 , 0
] Pr) / 469 , 0 ( 1 [
589 , 0
2 Nu
+
+ =
D
Ra
(54)
Syarat menggunakan persamaan ini adalah
11
10
D
Ra dan 7 , 0 Pr .
Universitas Sumatera Utara
Sebagai catatan, semua persamaan yang ditampilkan pada bagian ini
menggunakan sifat-sifat fisik fluida yang dievaluasi pada temperatur film,
2 ) (
r s f
T T T + = , kecuali untuk gas nilai koefisien ekspansi dihitung pada temperatur
fluidu referensi
r
T 1 = .
Pada water heater pemanasannya berlangsung secara konveksi natural
dari koil ke air.Pada water heater bentuk koilnya terdiri dari beberapa gabungan
elbow, vertikal, dan horizontal.Sementara untuk persamaan-persamaan dari
bentuk koil elbow, vertikal, dan horizontal tidak ada tersedia secara teori.Oleh
karena itu, maka diperlukan penyelesaian dengan simulasi menggunakan
perangkat lunak Computational Fluid Dinamycs (CFD).
2.5. Computational Fluid Dinamycs (CFD)
Dalam aplikasinya, aliran fluida baik cair maupun gas adalah suatu zat
yang sangat kentara dengan kehidupan sehari hari. Misalnya pengondisian udara
bagi bangunan dan mobil, pembakaran di motor bakar dan sistem propulsi,
interaksi berbagai objek dengan udara atau air, aliran kompleks pada penukar
panas dan reactor kimia, dan lain sebagainya, yang mana cukup menarik untuk
diteliti, diselidiki dan dianalisis. Untuk kebutuhan penelitian tersebut bahkan
sampai dengan tingkat desain, perlu dibutuhkan suatu alat yang mampu
menganalisis atau memprediksi dengan cepat dan akurat. Maka berkembanglah
suatu ilmu yang dinamakan Computational Fluid Dynamics (CFD) yang dalam
bahasa Indonesia dikenal dengan Komputasi Aliran Fluida Dinamik.

Universitas Sumatera Utara
2.5.1. Penggunaan CFD
Dalam aplikasinya CFD dapat dipergunakan bagi :
- Insinyur, khususnya dalam hal teknik refrigerasi dan Water heater untuk
mendesain tempat atau ruangan sesuai kebutuhan seperti refrigerator, Air-
Conditioner, Cold Storage, dll
- Arsitek untuk mendesain ruang atau lingkungan yang aman dan nyaman.
- Desainer kendaraan untuk meningkatkan karakter aerodinamiknya.
- Analisis kimia untuk memaksimalkan hasil dari reaksi kimia dalam peralatan.
- Bidang petrokimia untuk strategi optimal dari oil recovery.
- Bidang kedokteran untuk mengobati penyakit arterial (computational
hemodynamics)
- Metereologis untuk meramalkan cuaca dan memperingatkan akan terjadinya
bencana alam.
- Analis failure untuk mencari sumber sumber kegagalan misalnya pada suatu
sistem pembakaran atau aliran uap panas.
- Organisasi militer untuk mengembangkan senjata dan mengestimasi seberapa
besar kerusakan yang diakibatkannya.
Penggunaan CFD umumnya berhubungan dengan keempat hal berikut :
1. Studi konsep dari desain baru
2. Pengembangan produk secara detail
3. Analisis kegagalan atau troubleshooting dan Desain ulang (re design)


Universitas Sumatera Utara
2.5.2. Proses Simulasi CFD
Pada umumnya terdapat tiga tahapan yang harus dilakukan ketika
melakukan simulasi pada solver CFD, yaitu sebagai berikut :
1) Preprocessing
Hal ini merupakan langkah pertama dalam membangun dan menganalisis
sebuah model CFD. Teknisnya adalah membuat membuat model dalam
paket CAD (Computer Aided Design), membuat mesh yang sesuai,
kemudian menerapkan kondisi batas dan sifat sifat fluidanya.
2) Solving
Solvers (program inti pencari solusi) CFD menghitung kondisi-kondisi yang
diterapkan pada saat preprocessing.
3) Postprocessing
Hal ini adalah langkah terakhir dalam analisis CFD. Hal yang dilakukan pada
langkah ini adalah mengorganisasi dan menginterpretasi data hasil simulasi CFD
yang biasa berupa gambar, kurva , dan animasi.
Beberapa prosedur yang digunakan pada semua pendekatan program CFD, yaitu
sebagai berikut :
1) Pembuatan geometri dari model/problem
2) Bidang atau volume yang diisi fluida dibagi menjadi sel sel kecil (meshing)
3) Pendefinisian model fisiknya, misalnya : persamaan persamaan gerak +
entalpi + konversi species (zat zat yang kita definisikan, biasanya berupa
komponen dari suatu reaktan)
Universitas Sumatera Utara
4) Pendefinisian kondisi kondisi batas, termasuk didalamnya sifat sifat dan
perilaku dari batas batas model/problem. Untuk kasus transient, kondisi
awal juga didefinisikan.
5) Persamaan persamaan matematika yang membangun CFD diselesaikan
secara iteratif, bisa dalam kondisi tunak (steady state) atau transient.
6) Analisis dan visualisasi dari solusi CFD.

2.5.3. Metode Diskritisasi CFD
Secara matematis CFD mengganti persamaan persamaan diferensial
parsial dari kontinuitas, momentum dan energy dengan persamaan persamaan
aljabar linear. CFD merupakan pendekatan dari persoalan yang asalnya kontinum
(memiliki jumlah sel tak terhingga) menjadi model yang diskrit (jumlah sel
terhingga).
Perhitungan/komputasi aljabar untuk memecahkan persamaan persamaan
diferensial parsial ini ada beberapa metode (metode diskritisasi), diantaranya
adalah :
- Metode beda hingga (finite difference method)
- Metode elemen hingga (finite elements method)
- Metode volume hingga (finite volume method)
- Metode elemen batas (boundary element method)
- Metode skema resolusi tinggi (high resolution scheme method)
Metode diskritisasi yang dipilih umumnya menentukan kestabilan dari
program numerik/CFD yang dibuat atau program software yang ada. Oleh
Universitas Sumatera Utara
karenanya diperlukan kehati hatian dalam cara mendiskritkan model khususnya
cara mengatasi bagian yang kosong atau diskontinyu.

2.5.4. Langkah Penyelesain Masalah dan Perencanaan Analisis CFD
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika akan meyelesaikan suatu
kasus dengan menggunakan solver CFD, yaitu :
1) Menentukan tujuan pemodelan
2) Pembuatan model geometri dan gridnya
3) Pengaturan solver dan model fisik
4) Komputasi dan monitoring hasil
5) Pengujian dan penyimpanan hasil
6) Peninjauan ulang model fisik, jika dirasa perlu








Universitas Sumatera Utara
Secara umum diagram alir penyelesaian masalah dalam software CFD
dapat dilihat pada gambar 2.14 berikut.



















Gambar 2.14 Alur Penyelesaian Masalah (Problem Solving)
Fluids Engineering

Preliminary Decision
what to model?

Build the model

Input to CFD SOLVER

Decided governing

Chose Discreatization
Methods
Impose boundary
conditions
Chose the coupling
algorithm
Run
Analyze and present the results
Universitas Sumatera Utara
2.6. Pendekatan Numerik pada CFD
Pemodelan dengan metode komputasi pada dasarnya menggunakan
persamaan dasar dinamika fluida, momentum, dan energi. Persamaan-persamaan
ini merupakan pernyataan matematis untuk tiga prinsip dasar fisika :
1. Hukum Kekekalan Massa (The Conservation of Mass)
Konsep utama hukum ini adalah laju kenaikan massa dalam volume kontrol
adalah sama dengan laju net aliran massa fluida ke dalam elemen batas. Secara
sederhana dapat ditulis.
. .
m m
t
M
out in
=

(2.55)
Secara umum hukum kekekalan massa (The Conservation of Mass) 3
dimensi dapat ditulis dengan persamaan sebagai berikut.
0 =
|
|
.
|

\
|

z y x z
w
y
v
x
u
t


(2.56)





Gambar 2.15 Hukum Kekekalan Massa pada Sebuah Elemen Fluida 3 Dimensi
(Himsar Ambarita, 2010)
Universitas Sumatera Utara
2. Hukum Kekekalan Momentum (The Conservation of Momentum)
Hukum kekekalan momentum ini merupakan interpretasi dari hukum ke-2
Newton (arah sumbu-x) yaitu :
x x
ma F = (2.57)





Gambar 2.16 Hukum Kekekalan Momentum Arah Sumbu-x pada Sebuah Elemen
Fluida 3 Dimensi (Himsar Ambarita, 2010)
Secara umum hukum kekekalan momentum (The Conservation of
Momentum) arah sumbu-x 3 dimensi dapat ditulis dengan persamaan sebagai
berikut.
x
zx
yx
xx
f
z y x x Dt
Du

= (2.58)
Dengan cara dan bentuk yang sama persamaan kekekalan momentum 3
dimensi arah sumbu-y dan arah sumbu-z dapat ditulis dengan persamaan sebagai
berikut.
Universitas Sumatera Utara
x
zx
yx
xx
f
z y x x Dt
Du

=
y
zy yy xy
f
z y x x Dt
Dv

= (2.59)
dan
z
zz
yz
xz
f
z y x y Dt
Dw

= (2.60)
3. Hukum kekekalan Energi (The Conservation of Energy)
Hukum ini merupakan aplikasi dari hukum ketiga fisika (termodinamika)
yaitu laju perubahan energi dalam suatu elemen adalah sama dengan jumlah net
fluks panas yang masuk ke dalam elemen dan kerja yang dikenakan pada elemen
tersebut. Pernyataan ini dapat ditulis dalam bentuk persamaan :
. . .
W Q E + = (2.61)






Gambar 2.17 Kerja yang Dikenakan pada Sebuah Elemen Arah Sumbu-x (Himsar
Ambarita, 2010)
Universitas Sumatera Utara






Gambar 2.18 Fluks Panas yang melintasi permukaan sebuah elemen (Himsar
Ambarita, 2010)
Secara umum kerja yang dikenakan arah sumbu-x, sumbu-y dan sumbu-z
dapat ditulis dengan persamaan sebagai berikut.
( ) ( )
( )
( )
V f u
z
u
y
u
x
u
x
u
W
x
zx
yx
xx
x

=
.
(2.62a)

( )
( )
( )
( )
V f u
z
v
y
v
x
v
y
v
W
y
zy
zx
xy
y

=
.
(2.62b)

( ) ( )
( ) ( )
V f u
z
w
y
v
x
w
z
w
W
z
zy yz
xz
z



(

=
.
(2.62c)

Universitas Sumatera Utara
Sedangkan persamaan fluks Panas yang melintasi permukaan sebuah elemen
dapat ditulis dengan persamaan.

V
z
T
k
z y
T
k
y x
T
k
x
q Q
(

|
.
|

\
|

+
|
|
.
|

\
|

+
|
.
|

\
|

+ =
. .
(2.63)
Dengan mensubstitusi persamaan (2.62) dan (2.63) ke dalam persamaan
(2.61) di atas akan diperoleh sebuah persamaan (2.64) untuk hukum kekekalan
energi di mana i, j, k = 1, 2, 3 yang menunjukkan arah sumbu-x, -y, dan z.
( ) ( )


+ +

|
|
.
|

\
|

.
q
x
u
x
T
k
x x
cT
t
cT
i
i
i i i
(2.64)
Di mana adalah fungsi dissipasi dengan bentuk sebagai berikut.

|
|
.
|

\
|

+
|
.
|

\
|

+
|
|
.
|

\
|

+
|
.
|

\
|

+
|
|
.
|

\
|

+
|
.
|

\
|

+
)
`

=
2
2
2
2
2
2
2
'
2 2 2
y
w
z
v
x
w
z
u
x
v
y
u
z
w
y
v
x
u
z
w
y
v
x
u
(2.65)

2.6.1.Metode Diskritisasi pada
Pada dasarnya, hanya menghitung pada titik-titik simpul mesh geometri,
sehingga pada bagian di antara titik simpul tersebut harus dilakukan interpolasi
untuk mendapatkan nilai kontinyu pada sluruh domain. Terdapat beberapa skema
interpolasi yang sering digunakan yaitu :
- First-order upwind scheme
Universitas Sumatera Utara
Skema interpolasi yang paing ringan dan cepat mencapai konvergen, tetapi
ketelitiannya hanya orde satu. Ketika skema ini dipilih, nilai bidang f dalah
sama dengan nilai pusat sell dalam sell upstream.


Skema ini memungkinkan digunakan pada penyelesaian berbasis tekanan dan
rapatan (density).
- Second-order upwind scheme
Menggunakan persamaan yang lebih teliti sampai orde 2, sangat baik digunaan
pada mesh tri/tet dimana arah aliran tidak sejajar dengan mesh. Karena metode
interpolasi yang digunakan lebih rumit, maka lebih lambat mencapai
konvergen.
Ketika skema ini dipilih, nilai bidang f dikomputasi mengikuti bentuk :

+ = . , SOU f
(2.66)
Dimana, dan adalah nilai pusat sell dan gradient dalam sell upstream,
dan

adalah vektor perpindahan dari pusat luasan sell upstream ke bidang


pusat luasan.
- Quadratic Upwind Interpolation (QUICK) scheme
Diaplikasikan untuk mesh quad/hex dan hybrid, tetapi jangan digunakan untuk
elemen mesh tri, dengan alian fluida yang berputar/swirl. Ketelitiannya
mencapai orde 3 pada ukuran mesh yang seragam. Untuk bidang e pada
gambar, jika aliran dari kiri ke kanan, seperti itu nilai dapat ditulis seperti itu
nilai dapt ditulis sebagai berikut;
( )
(

+
+
+
(

+
+
+
= w
s s
s
P
s s
s s
E
s s
s
P
s s
s
c u
c
c u
c u
d c
d
d c
d

2
0 1
4
(2.67)
Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.19 volume kontrol satu dimensi













Universitas Sumatera Utara

You might also like