You are on page 1of 70

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

BAB I PENDAHULUAN

Tuberkulosis ( TB ) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (MTB). Kuman batang aerobik dan tahan asam ini, merupakan organisme patogen maupun saprofit. Jalan masuk untuk organisme MTB adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Sebagian besar infeksi TB menyebar lewat udara, melalui terhirupnya nukleus droplet yang berisikan organisme basil tuberkel dari seseorang yang terinfeksi1. TB paru sebenarnya sudah sangat lama dikenal oleh manusia. Dibuktikan dengan penemuan kerusakan tulang vertebra thorax yang khas TB dari kerangka yang digali di Heidelberg dari kuburan jaman neolitikum, begitu juga penemuan yang berasal dari mumi dan ukiran dinding piramid di Mesir kuno pada tahun 2000 - 4000 SM. Robert Koch menemukan MTB pada tahun 1882, semacam bakteri berbentuk batang. Diagnosis secara mikrobiologis dimulai sejak tahun 1882, terlebih lagi setelah Rontgen menemukan sinar X sebagai alat bantu menegakkan diagnosis yang lebih tepat pada tahun 1896 2. Pada permulaan abad 19, insidens penyakit TB di Eropa dan Amerika Serikat sangat besar. Angka kematian cukup tinggi yakni 400 per 100.000 penduduk, dan angka kematian berkisar 15-30% dari semua kematian. Usaha-usaha untuk mengurangi angka kematian dilakukan seperti perbaikkan lingkungan hidup, nutrisi, dll, tapi hasilnya masih kurang memuaskan2. Sejarah eradikasi TB dengan kemoterapi dimulai pada tahun 1944 ketika seorang perempuan dengan penyakit TB paru lanjut menerima injeksi pertama Streptomicin. Segera disusul dengan penemuan asam para amino salisilik ( PAS ).

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

Dilanjutkan dengan penemuan Isoniazid pada tahun 1952. Kemudian diikuti penemuan berturut-turut pirazinamid pada tahun 1954 dan etambutol 1952, rifampisin 1963 yang menjadi obat utama TB sampai saat ini2. Angka insidens kasus dan mortalitas TB menurun drastis sejak terdapat kemoterapi. Namun, dari tahun 1985 hingga 1992, kasus TB meningkat hingga 20 %. Lebih dari 80 % kasus baru TB yang dilaporkan adalah berusia lebih dari 25 tahun1. Kira kira 5 hingga 100 populasi yang baru terinfeksi akan berkembang menjadi TB paru, 1 hingga 2 tahun setelah terinfeksi. Pada 5 % kasus akan berkembang menjadi penyakit klinis di masa yang akan datang, sedangkan 95 % sisanya tidak. Sekitar 10 % individu yang terinfeksi akan berkembang menjadi TB klinis seumur hidup mereka. Namun, risiko yang lebih besar adalah pada individu yang imunosupresif, khususnya pada mereka yang terinfeksi HIV. Berdasarkan data CDC tahun 1996, angka penyakit TB pada orang yang terinfeksi HIV dengan tes tuberkulin kulit positif adalah 200 hingga 800 kali lebih besar daripada angka untuk seluruh penduduk Amerika Serikat1. Laporan TB dunia oleh WHO yang terbaru (2006), masih menempatkan Indonesia sebagai penyumbang TB terbesar nomor 3 di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah kasus baru sekitar 539.000 dan jumlah kematian sekitar 101.000 pertahun. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, menempatkan TB sebagai penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan, dan merupakan nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi 3. Baik di Indonesia maupun di dunia, TB masih tetap menjadi problem kesehatan dunia yang utama. Walaupun sudah lebih dari seabad sejak penyebabnya ditemukan oleh ilmuwan Jerman, Robert Koch, pada tahun 1882, TB belum dapat diberantas bahkan terus berkembang 1.

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

BAB II TUBERKULOSIS SECARA GLOBAL

II.1. MASALAH TUBERKULOSIS Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh MTB. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB didunia, terjadi pada negara-negara berkembang. Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas 3.

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

Gambar 1. Insidens TB didunia (WHO, 2004) . (dikutip dari 3)

Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial bahkan dikucilkan oleh masyarakat 3. Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah: Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara negara yang sedang berkembang. Kegagalan program TB selama ini. Hal ini diakibatkan oleh: o Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan o Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh masyarakat, penemuan kasus /diagnosis yang tidak standar, obat tidak terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang standar, dan sebagainya). o Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat yang tidak standar, gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis) o Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG. o Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami krisis ekonomi atau pergolakan masyarakat. Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur umur kependudukan.

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

Dampak pandemi HIV 3. Situasi TB didunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB besar (high burden countries). Menyikapi hal tersebut, pada tahun 1993, WHO mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (global emergency)3. Munculnya pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB. Koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. Pada saat yang sama, kekebalan ganda kuman TB terhadap obat anti TB (multidrug resistance = MDR) semakin menjadi masalah akibat kasus yang tidak berhasil disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya epidemi TB yang sulit ditangani 3. Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB didunia. Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk 3. II.2. ETIOLOGI Mycobacterium tuberculosis adalah suatu jenis kuman yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan 2. MTB memiliki dinding yang sebagian besar terdiri atas lipid, kemudian peptidoglikan dan arabinomannan (seperti yang tampak pada gambar 2). Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan asam dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat hidup dalam udara kering maupun dalam keadaan dingin ( dapat tahan bertahun - tahun dalam lemari es ) dimana kuman dalam

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

keadaan dormant. Dari sifat ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan penyakit tuberkulosis menjadi aktif lagi 2.

Gambar2. Mikroskopik MTB. (dikutip dari 4) Kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam sitoplasma makrofag di dalm jaringan. Makrofag yang semula memfagositosis kemudian disenanginya karena banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apikal paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis 2. II.3. FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEJADIAN PENYAKIT TBC Untuk terpapar penyakit TBC pada seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti : status sosial ekonomi, status gizi, umur, jenis kelamin, dan faktor toksis untuk lebih jelasnya dapat kita jelaskan seperti uraian dibawah ini : 1. Faktor Sosial Ekonomi. Disini sangat erat dengan keadaan rumah, kepadatan hunian, lingkungan perumahan, lingkungan dan sanitasi tempat bekerja yang buruk dapat memudahkan penularan TBC. Pendapatan keluarga sangat erat juga dengan penularan TBC, karena

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

pendapatan yang kecil membuat orang tidak dapat hidup layak dengan memenuhi syarat-syarat kesehatan 5.

2. Status Gizi. Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi dan lainlain, akan mempengaruhi daya tahan tubuh sesoeranga sehingga rentan terhadap penyakit termasuk TB Paru. Keadaan ini merupakan faktor penting yang berpengaruh dinegara miskin, baik pada orang dewasa maupun anak-anak 5. 3. Umur. Penyakit TB-Paru paling sering ditemukan pada usia muda atau usaia produktif (15 50) tahun. Dewasa ini dengan terjaidnya transisi demografi menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia lanjut lebih dari 55 tahun sistem imunologis seseorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk penyakit TB Paru 5. 4. Jenis Kelamin. Penyakit TB Paru cenderung lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan. Menurut WHO, sedikitnya dalam periode setahun ada sekitar 1 juta perempuanyang meninggal akibat TB Paru, dapat disimpulkan bahwa pada kaum lebih banyak terjadi kematian yang disebabkan oleh TB Paru dibandingkan dengan akibat proses kehamilan dan persalinan. Pada jenis kelamin laki-laki penyakit ini lebih tinggi karena merokok tembakau dan minum alkohol sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah terpapar dengan agen penyebab TBParu 5. II.4. CARA PENULARAN Penyakit tuberkulosis biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri MTB yang dilepaskan pada saat penderita TB batuk. Bakteri ini bila sering

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

masuk dan terkumpul di dalam paru akan berkembang biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah) dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi TB dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti: paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu paru 2. Lingkungan hidup yang sangat padat dan dan pemukiman di wilayah perkotaan kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas peningkatan jumlah kasus TB. Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei, khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung basil tahan asam ( BTA ) 2. Pada TB kulit atau jaringan lunak penularan bisa melalui inokulasi langsung. Infeksi yang disebabkan oleh M.bovis dapat disebabkan oleh susu yang kurang disterilkan dengan baik atau terkontaminasi. Sudah dibuktikan bahwa lingkungan sosial ekonomi yang baik, pengobatan yang teratur dan pengawasan minum obat yang ketat berhasil mengurangi angka morbiditas dan mortalitas di Amerika selama tahun 1950-1960 2. II.5. RISIKO PENULARAN Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negative 3. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif 3.

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

II.6. RISIKO MENJADI SAKIT TB Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif 3. Faktor yang memengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk). HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas system daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti TB, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula 3 II.7. PATOGENESIS II.7. 1. Tuberkulosis Primer Penularan TB paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1 - 2 jam, tergantung sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk, dan kelembaban. Pada suasana lembab dan gelap, kuman dapat tahan berhari hari sampai berbulan bulan. Bila partikel ini terhisap oleh orang sehat, maka ia

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

akan menempel pada saluran napas atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel < 5 mikrometer 2. Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai satu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil. Gumpalan basil yang lebih besar cenderung lebih tertahan di saluran hidung dan cabang besar bronkus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada di ruang alveolus, biasanya bagian bawah lobus atas paru atau di bagian atas lobus bawah, basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bakteri namun tidak membunuh organisme tersebut. Sesudah hari hari pertama, leukosit digantikan oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi, dan timbul pneumonia akut 1. Pneumonia selular ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa yang tertinggal, atau proses dapat berjalan terus dan bakteri terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening dan menuju kelenjar getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10 20 hari 1. Bila kuman menetap dalam jaringan paru, ia akan berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Dari sini ia dapat menuju ke organ - organ lainnya. Sarang tuberkulosis primer disebut fokus ghon yang dapat terjadi di setiap jaringan paru, dan kalau menjalar sampai ke pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman juga dapat masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran ke seluruh jaringan paru menjadi TB millier 2. Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hillus ( limfangitis lokal ), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hillus (limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis lokal + Limfadenitis regional =

10

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

Kompleks primer ( Ranke ). Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi: Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. ( sebagian besar penderita ) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis garis fibrotik. Kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada pneumonia yang luasnya > 5 mm dan 10 % diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant. Berkomplikasi dan menyebar secara : a.Perkontinuitatum ( ke sekitarnya ) b.Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan ataupun pada paru disebelahnya. Kuman juga dapat tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus. c.Secara limfogen ke organ organ lainnya d.Secara hematogen ke organ organ tubuh lainnya 2. II.7. 2. Tuberkulosis Pasca-Primer ( Sekunder ) Kuman yang dormant pada TB primer akan muncul bertahun tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi TB dewasa ( tuberkulosis post primer = TB sekunder ). Mayoritas reinfeksi menjadi 90 %. TB sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alkohol, keganasan, diabetes, AIDS, gagal ginjal. TB pasca-primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi terutama di regio atas paru ( segmen apikal-poterior lobus superior atau lobus inferior ). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru dan tidak ke lobus hiler paru. Sarang dini mula mula tampak seperti sarang pneumonia kecil dan dalam 3 10 minggu sarang ini berubah menjadi tuberkel, yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel sel histiosit dan sel Datia Langhans 2.

11

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis pasca-primer dapat menjadi : Direabsorpsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat Sarang yang mula mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan serbukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan perkapuran. Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan jaringan ikat di sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis menjadi lembek membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar akan terjadi kavitas. Kavitas ini mula mula berdinding tipis, lama lama dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan fibroblas dalam jumlah besar, sehingga menjadi kavitas sklerotik ( kronik ). Terjadinya perkejuan dan kavitas adalah akibat hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh enzim yang diproduksi oleh makrofag, dan proses yang berlebihan sitokin dengan TNF-nya. Bentuk perkejuan lain yang jarang adalah cryptic disseminate TB yang terjadi pada imunodefisiensi dan usia lanjut 2. Kavitas dapat mengalami : a.Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi kavitas masuk dalam pembuluh darah arteri akan terjadi TB millier. b.Memadat dan membungkus diri sehingga menjadi tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh atau dapat aktif kembali menjadi cair dan menjadi kavitas lagi. Komplikasi kronik kavitas adalah kolonisasi oleh jamur (contohnya Aspergillus ) sehingga membentuk misetoma. c.Menyembuh dan bersih ( open healed cavity ). Kadang kadang berakhir sebagai kavitas yang terbungkus, menciut dan berbentuk sebagai bintang ( stellate shape ) 2 . Secara keseluruhan terdapat 3 macam sarang : 1.Sarang yang sudah sembuh. ( tidak perlu pengobatan )

12

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

2.Sarang aktif eksudatif. ( perlu pengobatan lengkap dan sempurna ) 3.Sarang yang berada antara aktif dan sembuh. Sarang ini dapat sembuh spontan, tapi mengingat risiko terjadi eksaserbasi, maka sebaiknya diberikan pengobatan sempurna 2. II.8. KLASIFIKASI TUBERKULOSIS Hingga saat ini belum ada kesepakatan diantara para klinikus, ahli radiologi, ahli patologi, mikrobiologi dan ahli kesehatan masyarakat tentang keseragaman klasifikasi tuberkulosis. Menurut American Thoracic Society dan WHO 1964, diagnosis pasti tuberkulosis paru adalah dengan kuman MTB dalam sputum atau jaringan paru secara biakan. Tidak semua pasien memberikan biakan sputum positif
2

Menurut WHO tahun 1991, kriteria pasien TB paru adalah sebagai berikut: Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA), TB paru dibagi atas: a.Tuberkulosis paru BTA (+) adalah: Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif. a.Tuberkulosis paru BTA (-) adalah: Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis paru. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan MTB positif
6

Berdasarkan tipe pasien:

13

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu: a.Kasus baru Pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan. b.Kasus kambuh Pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologi dicurigai lesi aktif atau perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan: -Lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur, keganasan, dll) -TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang berkompeten menangani kasus tuberkulosis. a.Kasus defaulted atau drop out Pasien yang telah menjalani pengobatan 1 bulan dan tidak mengambil obat selama 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. b.Kasus gagal pengobatan Pasien dengan BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir pengobatan. c.Kasus khronik Pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang baik. d.Kasus bekas TB -Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto

14

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung. -Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapatkan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambar radiologi 6. Berdasarkan gambaran radiologi: a.Lesi TB aktif dicurigai bila: Bayangan berawan / nodular di segmen apical dan posterior lobus atas paru dan segmen posterior lobus bawah Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular. Bayangan bercak milier Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang) a.Lesi TB inaktif dicurigai bila: Fibrotik Kalsifikasi Schwarte atau penebalan pleura 6. Luas lesi yang tampak pada foto thorax untuk kepentingan pengobatan dinyatakan sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif): Lesi minimal Bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrosternal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5, serta tidak dijumpai kaviti. Lesi luas Bila proses lebih luas dari lesi minimal 6.

15

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

World Health Organization,1991 membagi TBC dalam 4 kategori berdasarkan terapi : 1.Kategori I, ditujukan terhadap: -Kasus baru dengan sputum positif -Kasus baru dengan bentuk TB berat 2.Kategori II, ditujukan terhadap: -Kasus kambuh -Kasus gagal dengan sputum BTA positif 1.Kategori III, ditujukan terhadap: -Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas -Kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori I 1.Kategori IV, ditujukan terhadap: -Tuberkulosis Paru kronik -Multi-Drugs Resistant TB 2. Di Indonesia, klasifikasi yang banyak dipakai adalah berdasarkan kelainan klinis, radiologis dan mikrobiologis: 1.TB paru 2.Bekas TB paru 3.TB paru tersangka, yang terbagi dalam: -TB paru tersangka yang diobati. Dengan sputum BTA negatif, tetapi tanda tanda lain positif -TB paru tersangka yang tidak diobati. Dengan sputum BTA negatif dan tanda tanda lain juga meragukan Dalam 2 3 bulan, TB tersangka ini sudah harus dipastikan apakah termasuk TB paru ( aktif ) atau bekas TB paru. Dalam klasifikasi ini perlu dicantumkan: -Status bakteriologi -Mikroskopik sputum BTA ( langsung ) -Biakan sputum BTA

16

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

-Status radiologis, kelainan yang relevan untuk tuberkulosis paru -Status kemoterapi, riwayat pengobatan dengan OAT 2. Pada tahun 1974, American Thoracic Society memberi klasifikasi baru yang diambil berdasarkan aspek kesehatan masyarakat: 1.Kategori 0 : Tidak pernah terpajan dan tidak terinfeksi Riwayat kontak negatif Tes tuberkulin negatif 2.Kategori I :Terpajan TB, tapi tidak terbukti ada infeksi Riwayat kontak positif Tes tuberkulin negatif 3.Kategori II : Terinfeksi TB tapi tidak sakit Tes tuberkulin positif Radiologis dan sputum negatif 4.Kategori III: Terinfeksi TB dan sakit 2. II.9. REAKSI HIPERSENSITIVITAS Tuberkuloprotein yang berasal dari basil menimbulkan reaksi hipersensitivitas pada pejamu. Respon peradangan dan nekrotik jaringan adalah akibat dari reaksi hipersensitivitas selular ( tipe lambat ) dari pejamu terhadap basil TB. Reaksi hipersensitivitas TB biasanya terjadi 3 10 minggu setelah infeksi. Individu yang terpajan basil tuberkel membentuk limfosit T yang tersensistisasi. Bila derivat protein tuberkulin yang telah dimurnikan ( PPD ) disuntikkan ke dalam kulit individu yang limfositnya sensitif terhadap tuberkuloprotein maka limfosit yang sensitif akan mengadakan reaksi dan menarik makrofag ke daerah tersebut 1.

17

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

II.9.1. Tes Tuberkulin Intradermal ( MANTOUX ) Pemeriksaan ini masih banyak digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis tuberkulosis terutama pada anak anak balita.2 Teknik standar (tes mantoux) adalah dengan menyuntikkan tuberkulin Purified Protein Derivative (P.P.D) sebanyak 0,1 ml yang mengandung 5 unit ( TU ) tuberkulin secara intrakutan (intermediate strength), pada atas permukaan volar atau dorsal lengan bawah setelah kulit dibersihkan dengan alkohol. Biasanya dianjurkan memakai spuit tuberkulin sekali pakai dengan ukuran jarum suntik 26 27 G. Jarum yang pendek ini dipegang dengan permukaan yang miring diarahkan ke atas dan ujungnya dimasukkan ke bawah permukaan kulit. Akan terbentuk satu gelembung berdiameter 6-10 mm yang menyerupai gigitan nyamuk bila dosis 0,1 ml disuntikkan dengan tepat dan cermat 1. Bila ditakutkan terjadi reaksi hebat dengan 5 TU, dapat diberikan dulu 1 atau 2 TU ( first strength ). Bila dengan 5 TU memberikan hasil negatif, dapat diulang dengan 250 TU ( second strength ). Bila dengan 250 TU masih memberikan hasil negatif, berarti TB dapat disingkirkan .Tes ini berdasarkan reaksi alergi tipe lambat 2. Untuk memperoleh reaksi kulit yang maksimum diperlukan waktu antara 48 72 jam setelah penyuntikkan dan reaksi harus dibaca dalam rentang waktu tersebut, yaitu dalam cahaya yang terang, dan posisi lengan bawah sedikit ditekuk. Yang harus dicatat dari reaksi ini adalah diameter indurasi dalam satuan milimeter, pengukuran harus dilakukan melintang terhadap sumbu panjang lengan bawah (seperti yang tampak pada Gambar 3) 1. Hanya indurasi ( pembengkakan yang teraba ) dan bukan eritema yang bernilai. Indurasi dapat ditentukan dengan inspeksi dan palpasi ( meraba daerah tersebut dengan jari tangan ). Tidak ada indurasi sebaiknya dicatat sebagai 0 mm

18

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

dan bukan negatif. Indurasi terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibodi seluler dan antigen tuberkulin 1.

Gambar 3. Mantoux test. (dikutip dari 4) Interpretasi tes kulit menunjukkan berbagai tipe reaksi ( lihat tabel 1). Reaksi positif pada tes tuberkulin mengindikasikan adanya infeksi tetapi belum tentu terdapat penyakit secara klinis. Namun, tes ini adalah alat diagnostik penting dalam mengevaluasi seorang pasien dan juga berguna dalam menentukan prevalensi infeksi TB pada masyarakat 1. Biasanya semua pasien tuberkulosis memberikan hasil reaksi yang positif (99,8 %). Kelemahan tes ini juga terdapat positif palsu yakni pada pemberian BCG atau terinfeksi mikrobakterium lain. Negatif palsu lebih banyak ditemukan daripada positif palsu 2.

Tabel 1. Klasifikasi Tes Mantoux Intradermal Reaksi Tuberkulin ( Tuberkulin dengan TU PPD ) Indurasi 5mm Diklasifikasikan Positif Dalam Kelompok Berikut ini : Orang dengan HIV + Baru baru ini dengan orang yang menderita TB Orang dengan perubahan fibrotik pada radiografi dada yang sesuai dengan gambaran TB lama yang sudah sembuh.

19

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

Pasien yang menjalani transplantasi organ dan pasien yang mengalami penekanan imunitas (menerima setara dengan 15 mg/hr prednison selama 1 bulan ) Indurasi 10 mm Diklasifikasikan Positif Dalam Kelompok Berikut ini : Baru tiba ( 5 tahun ) dari negara yang berprevalensi tinggi Pemakai obat obat yang disuntikkan Penduduk dan bekerja yang berkumpul pada lingkungan yang berisiko tinggi : Penjara, rumah rumah perawatan, panti jompo, rumah sakit, fasilitas perawatan lain, fasilitas yang disiapkan untuk pasien dengan AIDS, dan penampungan tuna wisma. Pegawai laboratorium mikrobakteriologi Orang dengan keadaan klinis pada daerah mereka yang berisiko tinggi Anak di bawah usia 4 tahun atau anak anak dan remaja yang terpajan orang dewasa kelompok berisiko tinggi. Indurasi 15 mm Diklasifikasikan Positif Dalam Kelompok Berikut ini : Orang dengan faktor risiko TB yang tidak diketahui Target program program tes kulit seharusnya hanya dilakukan diantara kelompok berisiko tinggi. (dikutip dari 1) II.9.2. Tes Anergi Anergi adalah tidak ada respon hipersensitifitas tipe lambat terhadap pajanan antigen terdahulu, seperti tuberkulin. Anergi spesifik adalah tidak ada reaktivitas antigen seseorang; anergi nonspesifik secara keseluruhan adalah ketidakmampuan untuk bereaksi terhadap berbagai antigen 1. Pada seseorang dengan imunosupresif, respons selular hipersensitivitas tipe lambat seperti reaksi tuberkulin dapat menurun atau menghilang. Penyebab anergi dapat berasal dari infeksi HIV, sakit berat atau demam, campak ( atau infeksi virus

20

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

lainnya ), penyakit hodgkin, sarkoidosis, vaksinasi virus hidup, dan pemberian obat kortikosteroid atau obat imunosupresif 1. Berdasarkan CDC (2000) 10 % sampai 25 % pasien dengan penyakit TB memiliki reaksi yang negatif ketika diuji dengan tes tuberkulin intradermal pada saat didiagnosis sebelum pengobatan dimulai. Kira kira pasien yang terinfeksi HIV dan lebih dari 60 % pasien dengan AIDS dapat memperlihatkan hasil reaksi tes kulit yang kurang dari 5 mm, walaupun mereka terinfeksi dengan MTB. Infeksi HIV dapat menekan respon tes kulit karena jumlah CD4 dan Limfosit T yang menurun hingga kurang dari 200 sel/mm3. Anergi juga dapat muncul bila jumlah CD4+ Limfosit T cukup tinggi 1. Anergi dideteksi dengan memberikan sedikitnya 2 antigen hipersensitivitas dengan menggunakan metode Mantoux. Tidak ada standarisasi dan hasil data, membatasi evaluasi keefektifan tes anergi. Karena alasan ini, CDC ( 2000 ) tidak lagi menyarankan tes anergi untuk penapisan rutin TB diantara orang orang yang menderita HIV positif di Amerika Serikat 1. II.9.3. Vaksinasi Bacille Calmette-Gurin ( BCG ) Vaksinasi BCG, satu bentuk strain hidup basil TB sapi yang dilemahkan adlah jenis vaksin yang paling banyak digunakan di berbagai negara. Pada vaksinasi BCG, organisme ini disuntikkan ke kulit untuk membentuk fokus primer yang berdinding, berkapur dan berbatas tegas. Bacille Calmette-Gurin tetap berkemampuan untuk meningkatkan resistensi imunologis pada hewan dan manusia. Infeksi primer dengan BCG memiliki keuntungan daripada infeksi dengan organisme virulen karena tidak menimbulkan penyakit pada pejamunya 1. Vaksinasi dengan BCG biasanya menimbulkan sensitivitas terhadap tes tuberkulin. Derajat sensitivitasnya bervariasi, bergantung pada strain BCG yang dipakai dan populasi yang divaksinasi. Tes tuberkulin kulit tidak merupakan kontra indikasi bagi seseorang yang telah divaksinasi dengan BCG. Terapi pencegahan harus

21

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

dipertimbangkan bagi siapapun orang yang telah divaksinasi BCG dan hasil reaksi tes tuberkulin kulitnya berindurasi 10 mm, khususnya jika salah satu keadaan dibawah ini menyertai : 1.Kontak dengan kasus TB 2.Berasal dari negara yang berprevalensi TB tinggi 3.Terus menerus terpajan dengan populasi berprevalensi TB tinggi ( rumah penampungan tuna wisma, pusat terapi obat ) Vaksinasi BCG hanya memiliki tingkat keefektifan 50 % untuk mencegah semua bentuk TB. Berdasarkan rekomendasi dari CDC 1996, BCG jarang diindikasikan 1.

22

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

BAB III DIAGNOSA TUBERKULOSIS

III.1. GEJALA KLINIS TB PARU III.1.1. Demam Biasanya subfebril seperti demam influenza. Tetapi kadang kadang panas badan dapat mencapai 40 41o C. Serangan demam pertama dapat sembuh sementara, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Hal ini terjadi terus menerus, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi MTB yang masuk 2. III.1.2. Batuk atau batuk darah Gejala ini sering ditemukan. Batuk terjadi karena ada iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang keluar produk produk radang. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu minggu atau berbulan bulan sejak awal peradangan 2. Sifat batuk dimulai dari batuk kering ( non-produktif ) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif ( menghasilkan sputum ). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus 2.

23

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

III.I.3. Sesak nafas Jika sakit masih ringan, sesak nafas masih belum dirasakan. Sesak nafas ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru 2. III.1.4. Nyeri dada Hal ini jarang ditemukan. Nyeri dada dapat timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik atau melepaskan nafasnya 2. III.1.5. Malaise Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia ( tidak ada nafsu makan), badan makin kurus, berat badan turun, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam. Gejala ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur 2. III.2. PEMERIKSAAN FISIK III.2.1. Keadaan Umum Konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam ( subfebris ), badan kurus, berat badan menurun 2. III.2.2. Pemeriksaan Paru Secara anamnesis dan pemeriksaan fisik, TB paru sulit dibedakan dengan pneumonia biasa. Pada pemeriksaan fisik pasien sering tidak menunjukkan kelainan apapun terutama pada kasus kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik. Demikian pula bila sarang penyakit terletak di dalam, akan sulit ditemukan kelainan, karena hantaran getaran atau suara yang lebih dari 4 cm ke dalam paru sulit dinilai secara palpasi, perkusi dan auskultasi 2.

24

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

Bila dicurigai ada infiltrat yang luas, maka didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara nafas bronkial. Akan didapatkan juga suara nafas tambahan seperti ronki basah, kasar dan nyaring. Tetapi apabila infiltrat ini ditutupi oleh penebalan pleura, suara nafasnya menjadi vesikuler melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi dapat memberikan suara hipersonor atau tympani dan auskultasi suara nafas amforik 2. Pada TB paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan retraksi otot otot interkostal. Bagian paru yang sakit menjadi mengecil dan menarik isi mediastinum atau paru lainnya. Paru yang sehat akan menjadi lebih hiperinflasi. Bila jaringan fibrotik amat luas, yakni > jumlah jaringan paru, akan terjadi pengecilan daerah aliran darah paru dan selanjutnya meningkatkan tekanan arteri pulmonalis ( hipertensi pulmonal ) diikuti terjadinya korpulmonale dan gagal jantung kanan. Disini akan timbul tanda tanda takipnea, takikardia, sianosis, right ventricular lift, right atrial gallop, murmur Graham Steel, Bunyi P2 yang mengeras, JVP meningkat, hepatomegali, asites dan edema 2. Bila mengenai pleura, dapat terjadi effusi pleura. Pada inspeksi, paru yang sakit terlihat tertinggal dalam pernapasan, pada perkusi pekak, pada auskultasi bunyi nafas melemah sampai tidak ada 2. III.3. PEMERIKSAAN RADIOLOGIS Saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk menemukan lesi tuberkulosis. Pemeriksaan ini terutama memberikan keuntungan seperti pada kasus tuberkulosis anak anak dan tuberkulosis milier. Pada keadaan tersebut, diagnosis dapat diperoleh melalui pemeriksaan radiologis dada, sedangkan pemeriksaan sputum hampir selalu negatif 2. Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru ( segmen apikal lobus atas atau segmen apikal lobus bawah ), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah ( bagian inferior ) atau di daerah hilus menyerupai tumor paru ( misalnya pada tuberkulosis endobronkial ) 2. Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang sarang pneumonia, gambaran radiologis berupa bercak bercak seperti awan dan dengan batas batas

25

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas. Lesi ini dikenal sebagai tuberkuloma 2. Pada kavitas, bayangannya berupa cincin yang mula mula berdinding tipis, lama kelamaan dinding menjadi sklerotik dan tampak menebal. Bila terjadi fibrosis, akan tampak bayangan yang bergaris garis. Pada kalsifikasi, bayangannya tampak sebagai bercak bercak padat dengan densitas tinggi. Pada atelektasis tampak seperti fibrosis yang luas disertai penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu bagian paru 2. TB milier memberikan gambaran berupa bercak bercak halus yang umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru. Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberkulosis paru adalah penebalan pleura ( pleuritis ), massa cairan di bagian bawah paru ( efusi pleura atau empiema ), bayangan hitam radiolusen di pinggir paru atau pleura ( pneumothoraks ) 2. Biasanya pada TB yang sudah lanjut, dalam satu foto dada seringkali didapatkan bermacam macam bayangan sekaligus, seperi infiltrat, garis garis fibrotik, kalsifikasi, kavitas ( nonsklerotik atau sklerotik ) maupun atelektasis dan emfisema 2. Karena TB sering memberikan gambaran yang berbeda beda, terutama pada gambaran radiologisnya, sehingga tuberkulosis sering disebut sebagai the greatest imitator. Gambaran infiltrasi dan tuberkuloma sering diartikan sebagai pneumonia, mikosis paru, karsinoma bronkus atau karsinoma metastasis. Gambaran kavitas sering diartikan sebagai abses paru 2. Pemeriksaan khusus yang kadang kadang diperlukan adalah bronkografi, yakni untuk melihat kerusakan bronkus atau paru yang disebabkan oleh tuberkulosis. Pemeriksaan ini umumnya dilakukan bila pasien akan menjalani pembedahan paru. Pemeriksaan lain yang dapat digunakan adalah CT scan dan MRI. Pemeriksaan MRI tidak sebaik CT scan, tetapi dapat mengevaluasi proses proses dekat apeks paru, tulang belakang, perbatasan dada perut. Sayatan bisa dibuat transversal, sagital dan koronal 2. III.4. PEMERIKSAAN LABORATORIUM III.4.1. Darah Pemeriksaan ini hasilnya tidak sensitif dan tidak spesifik. Pada saat tuberkulosis baru mulai (aktif), akan didapatkan jumlah lekosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih dibawah normal. Laju endap darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah lekosit kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun ke arah normal. Hasil pemeriksaan lain dari darah didapatkan : anemia ringan normokrom normositer, gama globulin meningkat, kadar natrium darah menurun 2. Pemeriksaan serologis yang pernah dipakai adalah reaksi takahashi. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan proses tuberkulosis masih aktif atau tidak. Kriteria positif yang dipakai di Indonesia adalah titer 1 / 128. Positif palsu dan negatif palsu dari pemeriksaan ini masih besar 2.

26

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

Akhir akhir ini terdapat pemeriksaan serologis yang banyak dipakai adalah Peroksidase Anti-Peroksida (PAP-TB) yang nilai sensitivitas dan spesifisitasnya cukup tinggi ( 85-95% ), tapi di lain pihak ada pula yang meragukannya. Walaupun demikian, PAP-TB masih dapat dipakai, tetapi kurang bermanfaat bila dimanfaatkan sebagai sarana tunggal diagnosis TB. Prinsip dasar uji PAP-TB adalah menentukan ada antibodi IgG yang spesifik terhadap antigen tuberkulosis. Hasil uji PAP-TB dinyatakan patologis bila pada titer 1:10.000 didapatkan uji PAP-TB positif. Hasil positif palsu didapatkan pada pasien reumatik, kehamilan, dan masa 3 bulan revaksinasi BCG 2. Uji serologis lain terhadap TB yang hampir sama nilai dan caranya dengan uji PAP-TB adalah uji Mycodot. Disini dipakai antigen Lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada alat berbentuk sisir plastik, kemudian dicelupkan dalam serum pasien. Bila terdapat antibodi spesifik dalam jumlah memadai maka warna sisir akan berubah 2. III.4.2. Sputum Pemeriksaan sputum penting karena dengan ditemukannya kuman BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Selain itu, pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Tidak mudah untuk mendapatkan sputum terutama pada pasien yang tidak batuk atau batuk yang nonproduktif. Dalam hal ini dianjurkan 1 hari sebelum pemeriksaan, pasien dianjurkan minum air sebanyak 2 liter dan diajarkan melakukan refleks batuk. Dan juga dengan memberikan tambahan obat obat mukolitik, ekspektoran atau dengan inhalasi larutan garam hipertonik selama 20 30 menit 2. Bila masih sulit, sputum dapat diperoleh dengan cara bronkoskopi, diambil dengan brushing atau bronchial washing atau Broncho Alveolar Lavage (BAL). Basil tahan asam dari sputum juga dapat diperoleh dengan cara bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan pada anak anak karena mereka sulit mengeluarkan dahaknya 2. Kuman baru dapat ditemukan apabila bronkus yang terlibat proses penyakit ini terbuka keluar sehingga sputum yang mengandung kuman BTA mudah keluar. Diperkirakan di Indonesia terdapat 50 % pasien BTA + tetapi kuman tersebut tidak ditemukan dalam sputum. Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang kurangnya ditemukan ditemukan 3 kuman dalam 1 sediaan, atau dengan kata lain diperlukan 5000 kuman dalam 1 ml sputum 2. Cara pemeriksaan sediaan sputum : -Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop biasa. -Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop fluoresens (pewarnaan khusus )

27

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

-Pemeriksaan dengan biakan (kultur). Setelah 4 6 minggu penanaman, koloni kuman mulai tampak. Bila setelah 8 minggu tidak tampak, biakan dinyatakan negatif. -Pemeriksaan terhadap resistensi obat 2. Kadang kadang dari hasil pemeriksaan mikroskopis biasa terdapat kuman BTA ( + ), tetapi pada biakan hasilnya negatif. Ini terjadi pada fenomena Death bacilli atau nonculturable bacilli yang disebabkan keampuhan panduan obat antituberkulosis jangka pendek yang cepat mematikan kuman BTA dalam waktu singkat2. Pemeriksaan penunjang lainnya : Teknik Polymerase Chain Reaction Deteksi DNA kuman secara spesifik melalui amplifikasi dalam berbagai tahap sehingga dapat mendeteksi meskipun hanya ada 1 mikroorganisme dalam spesimen. Dapat mendeteksi DNA kuman TB dalam waktu yang lebih cepat atau untuk mendeteksi MTB yang tidak tumbuh pada sediaan biakan. Juga dapat mendeteksi resistensi obat 7. Becton Dickinson Diagnostic Instrument System ( BACTEC = Bactec 400 Radiometric System ) Dimana kuman dapat dideteksi dalam 7 10 hari. Deteksi growth index berdasarkan CO2 yang dihasilkan dari metabolisme asam lemak oleh MTB 7. Enzyme Linked Immunosorbent Assay Deteksi respons humoral, berupa proses antigen-antibodi yang terjadi. Pelaksanaannya rumit dan antibodi dapat menetap dalam waktu lama 7. III.5. DIAGNOSIS TB PARU Sebenarnya TB paru cukup mudah dikenali dari gejala gejala, kelainan fisik, kelainan radiologis sampai dengan kelainan bakteriologis. Tetapi dalam prakteknya tidak selalu mudah menegakkan diagnosanya. Menurut American Thoracic Society (ATS) dan WHO 1964, diagnosis pasti tuberkulosis paru adalah dengan menemukan

28

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

kuman MTB dalam sputum atau jaringan paru secara biakan. Tidak semua pasien memberikan sediaan atau biakan yang positif karena kelainan paru yang belum berhubungan dengan bronkus atau pasien tidak bisa membatukkan sputumnya dengan baik 2. Di Indonesia sulit menerapkan diagnosis diatas karena fasilitas laboratorium yang sangat terbatas untuk pemeriksaan biakan. Sebenarnya dengan menemukan kuman BTA dalam sediaan sputum secara mikroskopis biasa, sudah cukup untuk memastikan diagnosis tuberkulosis paru, karena kekerapan M. atipic di Indonesia sangat rendah. Meskipun demikian, hanya 30-70 % dari seluruh kasus tuberkulosis yang dapat didiagnosis secara bakteriologis 2. Diagnosis TB paru masih banyak yang ditegakkan berdasarkan kelainan klinis dan radiologis saja. Kesalahan diagnosis dengan cara ini masih besar sehingga memberikan efek kepada pengobatan yang sebenarnya tidak diperlukan. Oleh karena itu, sebaiknya dicantumkan status klinis, status radiologis dan status kemoterapi. World Health Organization tahun 1991 memberikan kriteria pasien tuberkulosis paru: Pasien dengan sputum BTA positif : Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis ditemukan BTA, sekurang kurangnya pada 2x pemeriksaan atau satu sediaan sputumnya positif disertai kelainan radiologis yang sesuai dengan gambaran TB aktif atau Satu sediaan sputumnya positif disertai biakan yang positif Pasien dengan sputum BTA negatif : Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA sedikitnya pada 2x pemeriksaan tetapi gambaran radiologis sesuai dengan TB aktif atau Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA sama sekali, tetapi pada biakannya positif

29

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

Disamping TB paru, terdapat pula TB ekstra-paru, yakni pasien dengan kelainan histologis atau dengan gambaran klinis sesuai TB aktif atau pasien dengan satu sediaan dari organ ekstra-parunya menunjukkan hasil bakteri MTB 2. Diluar pembagian tersebut di atas, pasien digolongkan lagi berdasarkan riwayat penyakitnya: Kasus baru, yakni pasien yang tidak mendapat OAT lebih dari 1 bulan Kasus kambuh, yakni pasien yang pernah dinyatakan sembuh dari TB tapi kemudian timbul lagi TB aktifnya. Kasus gagal ( smear positive failure ), yakni : Pasien yang sputum BTA-nya tetap positif setelah mendapat OAT lebih dari 5 bulan atau Pasien yang menghentikan pengobatannya setelah mendapat obat anti-TB 1-5 bulan dan sputum BTA-nya masih positif. Kasus kronik, yakni pasien yang sputum BTA-nya tetap positif setelah mendapatkan pengobatan ulang ( retreatment ) lengkap yang disupervisi dengan baik
2

BAB IV DIRECTLY OBSERVED TREATMENT SHORTCOURSE

IV.1. DEFINISI DOTS

30

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

Directly

Observed

Treatment

Shortcourse

(DOTS)

adalah

strategi

penyembuhan TB jangka pendek dengan pengawasan secara langsung. Dengan menggunakan strategi DOTS, maka proses penyembuhan TB dapat berlangsung secara cepat. Directly Observed Treatment Shortcourse bukanlah obat, hanya merupakan istilah (term), singkatan atau strategi pengobatan TB. Directly Observed Treatment Shortcourse hanya bisa berjalan dengan efektif kalau komponennya bisa berjalan dengan baik pula 1. IV.2. LATAR BELAKANG DOTS Program nasional pemberantasan TB di Indonesia sudah dilaksanakan sejak tahun 1950-an. Ada 6 macam obat esensial yang telah dipakai yaitu Isoniazid (H), para-amino salisilik asid (PAS),Streptomisin (S), Etambutol (E), Rifampisin (R) dan Pirazinamid (Z) 8. Strategi DOTS pertama kali diperkenalkan pada tahun 1995 di Indonesia dan telah diimplementasikan secara meluas pada tahun 1997 dalam sistem pelayanan kesehatan masyarakat 9. Directly Observed Treatment Shortcourse yang didasarkan pada rekomendasi WHO, memasukkan pendidikan kesehatan, penyediaan obat antiTB gratis dan pencarian secara aktif kasus TB dalam strateginya.. Sampai dengan tahun 2001, 98% dari populasi penduduk dapat mengakses pelayanan DOTS di puskesmas. Strategi ini diartikan sebagai "pengawasan langsung menelan obat jangka pendek oleh pengawas pengobatan" setiap hari 7. Indonesia adalah negara high burden, dan sedang memperluas strategi DOTS dengan cepat, karenanya baseline drug susceptibility data ( DST ) akan menjadi alat pemantau dan indikator program yang amat penting. Berdasarkan data dari beberapa wilayah, identifikasi dan pengobatan TBC melalui Rumah Sakit mencapai 20-50% dari kasus BTA positif, dan lebih banyak lagi untuk kasus BTA negatif. Jika tidak bekerja sama dengan Puskesmas, maka banyak pasien yang didiagnosis oleh RS

31

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

memiliki risiko tinggi dalam kegagalan pengobatan, dan mungkin menimbulkan kekebalan obat 7. Akibat kurang baiknya penanganan pengobatan penderita TB dan lemahnya implementasi strategi DOTS. Penderita yang mengidap BTA yang resisten terhadap OAT akan menyebarkan infeksi TB dengan kuman yang bersifat Multi-drugs Resistant (MDR). Untuk kasus MDR-TB dibutuhkan obat lain selain obat standard pengobatan TB yaitu obat fluorokuinolon seperti siprofloksasin, ofloxacin, levofloxacin ( hanya sangat disayangkan bahwa obat ini tidak dianjurkan pada anak dalam masa pertumbuhan ) 7. IV.3. PERAN DOTS Indonesia adalah negara high burden dan sedang memperluas strategi DOTS dengan cepat, karenanya baseline drug susceptibility data akan menjadi alat pemantau dan indikator program yang amat penting. Berdasarkan data dari beberapa wilayah, identifikasi dan pengobatan TB melalui Rumah Sakit mencapai 20-50% dari kasus BTA positif dan lebih banyak lagi untuk kasus BTA negatif. Jika tidak bekerja sama dengan Puskesmas, maka banyak pasien yang didiagnosis oleh RS memiliki risiko tinggi dalam kegagalan pengobatan dan mungkin menimbulkan kekebalan obat 10. Directly ketentuan Observed Treatment Shortcourse Strategi menekankan DOTS pentingnya angka

pengawasan terhadap penderita TB agar menelan obatnya secara teratur sesuai sampai dinyatakan sembuh. memberikan kesembuhan yang tinggi, bisa sampai 95 %. Startegi DOTS direkomendasikan oleh WHO secara global untuk menanggulangi TB 3. Selain itu bank dunia menyatakan strategi DOTS merupakan strategi kesehatan yang paling cost effective. Sampai tahun 2000, cakupan dari program DOTS baru mencapai 28% dari 206.000 juta penduduk, dengan hasil pengobatan yang masih belum memuaskan. Ada beberapa daerah yang sukses antara lain:

32

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

Sulawesi. Faktor-faktor risiko yang sudah diketahui menyebabkan tingginya prevalensi TB di Indonesia antara lain: kurangnya gizi, kemiskinan dan sanitasi yang buruk. Pengobatan yang sukses di bawah program DOTS tetap tinggi walaupun turun dari 91% menjadi 81% diantara tahun 1985-1996 kunci permasalahan dengan pengobatan sistim DOTS ini adalah rendahnya penemuan kasus-kasus baru 3. IV.4. STRATEGI DOTS Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen, yaitu : Komitmen politis dari pemerintah untuk bersungguh-sungguh menanggulangi TB & dukungan dana Diagnosis penyakit TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis Pengobatan TB dengan paduan obat anti-TB jangka pendek, diawasi secara langsung oleh Pengawas Minum Obat (PMO). Tersedianya paduan obat anti-TB jangka pendek secara konsisten Pencatatan dan pelaporan mengenai penderita TB sesuai standar 3. Berikut akan dijelaskan satu persatu mengenai komponen-komponen tersebut diatas: Pertama, komitmen politis dari para pengambil keputusan. Tuberkulosis adalah masalah global, masalah bangsa sehingga program ini sangat membutuhkan dukungan yang kuat dari para pimpinan puncak di masing-masing tingkatan pemerintahan.8 Komitmen yang dimaksudkan di sini bukan komitmen semu, seakanakan mempunyai komitmen padahal mereka tidak mempunyai komitmen atau komitmen tersebut hanya teori saja tidak disertai dengan tindakan nyata 3. Hal lain misalnya dengan meningkatnya jumlah TB yang secara terusmenerus, para pengambil kebijakan harus memberikan dana tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan program lain dan seterusnya. Kelemahan sekaligus kesalahan yang terjadi adalah kadang-kadang yang berkomitmen adalah para pengambil

33

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

kebijakan tingkat di bawahnya sementara mereka adalah pelaksana teknis di mana keputusan mereka ditentukan oleh pengambil kebijakan di atasnya3. Program ini tidak akan mungkin berjalan maksimal kalau yang mempunyai komitmen hanya dimiliki oleh orang-orang yang bekerja di bidang kesehatan seperti dinas kesehatan, rumah sakit, puskesmas dan pelaksana unit lainnya. Komitmen utama harus berasal dari top leader. Dukungan dana adalah hal yang sangat krusial dihadapi oleh hampir semua program dan departemen, bahkan dana dianggap sebagai masalah klasik. Meskipun penanggulangan TB saat ini mendapat bantuan dari global fund, namun hanya membiayai program-program tertentu saja dan akan mempunyai periode waktu tertentu pula. Dengan kondisi ini, maka sebaiknya pemerintah pusat dan daerah tetap harus mengalokasikan dana yang cukup untuk penanggulangan program ini 3. Kedua, diagnosis dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopik. Untuk menentukan seseorang menderita TB atau tidak, pada periode waktu yang lalu cara penentuannya kadang-kadang berbeda antara satu unit pelaksana dengan unit yang lain. Misalnya di puskesmas menentukan seseorang TB itu dengan pemeriksaan dahak dengan istilah pagi-sewaktu-pagi. Sehingga kalau hasil pemeriksaan dahak dinyatakan positif, maka mereka dianggap menderita TB sementara pada tempat yang lain, menyatakan tidak cukup dengan pemeriksaan dahak dan harus didukung oleh pemeriksaan rontgen. Hasil pemeriksaan rontgen yang akan memperkuat apakah seseorang benar-benar menderita TB atau tidak 3. Ketiga, pengobatan dengan pengawasan oleh Pengawas Minum Obat (PMO). Pengawas Minum Obat mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses kesembuhan penderita. Kita bisa membayangkan bahwa minum obat saja dengan penyakit biasa kadang-kadang kita lupa minum obat dengan tepat waktu atau lupa sama sekali dan itu pun tidak mempunyai efek besar kalau berhenti minum obat. Namun, berbeda halnya dengan penderita TB di mana mereka harus menjalani masa pengobatan sekitar enam bulan. Obat harus diminum sesuai aturannya, baik

34

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

jumlahnya, jenisnya maupun waktunya. Dengan kompleksnya masalah ini sehingga tidak sedikit penderita TB yang drop out, gagal berobat karena mereka bosan 3. Pemahaman penderita tentang TB yang kurang di mana penderita setelah minum obat antibiotik beberapa hari dan batuknya sudah mulai membaik lalu kemudian mengklaim telah sembuh. Padahal mereka sebetulnya belum sembuh, kuman TB hanya dormant (tidur sementara) karena ia telah diintervensi dengan kehadiran antibiotik. Dalam hal ini, penderita tetap butuh minum obat sampai benarbenar kuman tidak ada lagi 3. Keempat & kelima yaitu, ketersediaan obat untuk penderita yang disertai pencatatan/pelaporan baku untuk pemantauan kemajuan pengobatan penderita dan evaluasi kinerja program. Ketersediaan obat mempunyai peranan besar dalam program ini, baik terhadap penderita yang sedang berobat atau pun penderita baru. Ketersediaan obat harus mendapat jaminan dari pemerintah untuk menghindari drop out pada penderita lama maupun penularan baru terhadap orang lain 3. Jangan lupa bahwa jika faktor pemicunya tersedia maka ia dapat menular kepada orang lain dalam hitungan detik sehingga dapat melahirkan korban-korban baru yang mestinya tidak terjadi. Selanjutnya, pemantauan dan evaluasi baik terhadap pengobatan penderita maupun terhadap program harus dilakukan terus-menerus sehingga kita dapat mengukur apa yang telah dicapai dari program ini dan kemungkinan-kemungkinan perbaikan di masa yang akan datang. Jika kelima komponen tersebut di atas terpenuhi barulah dikatakan sebagai strategi DOTS. Antara strategi satu dengan yang lain harus saling mendukung dan kesemuanya membutuhkan dukungan dan komitmen yang kuat 3. Ada beberapa kondisi yang memungkinkan itu terjadi. Seperti kita ketahui, TB sangat mudah penularannya, dengan demikian jika penderita TB gagal berobat, maka akan memberikan resistensi baru terhadap dirinya di mana mereka harus menjalani pengobatan yang lebih intensif di samping akan memberikan penularan pada orang lain. Kemudian juga bisa terjadi di mana tidak semua penderita mau melakukan pengobatan meskipun mereka sadar bahwa kemungkinan dirinya

35

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

terinfeksi TB. Alasanya adalah karena malu, takut dapat stigma dan alasan klasik lainnya. Oleh karena itu, ada beberapa saran yang dapat digunakan untuk menanggulangi masalah TB yang lain 3. IV.5. Tahapan-tahapan DOTS Dalam strategi DOTS ini ada tiga tahapan penting yaitu, mendeteksi pasien, melakukan pengobatan, dan melakukan pengawasan langsung. Deteksi atau diagnosis pasien sangat penting karena pasien yang lepas dari deteksi akan menjadi sumber penyebaran TB berikutnya. Seseorang yang batuk lebih dari 3 minggu bisa diduga mengidap TB. Orang ini kemudian harus didiagnosa dan dikonfirmasikan terinfeksi kuman TB atau tidak. Sampai saat ini, diagnosa yang akurat adalah dengan menggunakan mikroskop. Diagnosa dengan sinar-X kurang spesifik, sedangkan diagnosa secara molekular seperti Polymerase Chain Reaction (PCR) belum bisa diterapkan 3. Jika pasien telah diidentifikasi mengidap TB, dokter akan memberikan obat dengan komposisi dan dosis sesuai dengan kondisi pasien tersebut. Adapun obat TB yang biasanya digunakan adalah isoniazid, rifampicin, pyrazinamide, streptomycin, dan ethambutol. Untuk menghindari munculnya bakteri TB yang resisten, biasanya diberikan obat yang terdiri dari kombinasi 3-4 macam obat ini 3. Dokter atau tenaga kesehatan kemudian mengawasi proses peminuman obat serta perkembangan pasien. Ini sangat penting karena ada kecendrungan pasien berhenti minum obat karena gejalanya telah hilang. Setelah minum obat TB biasanya gejala TB bisa hilang dalam waktu 2-4 minggu. Walaupun demikian, untuk benarbenar sembuh dari TB diharuskan untuk mengkonsumsi obat minimal selama 6 bulan. Efek negatif yang muncul jika kita berhenti minum obat adalah munculnya kuman TB yang resisten terhadap obat. Jika ini terjadi, dan kuman tersebut menyebar, pengendalian TB akan semakin sulit dilaksanakan 3.

36

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

IV.6. ANGKA KESEMBUHAN TB DENGAN STRATEGI DOTS Di Indonesia sendiri DOTS sejak diperkenalkan tahun 1995 telah memberikan tingkat kesembuhan 87 persen pada tahun 2000. Angka ini melebihi target WHO, yaitu 85 persen, tapi sangat disayangkan bahwa tingkat deteksi kasus baru di Indonesia masih rendah. Berdasarkan data WHO, untuk tahun 2001, tingkat deteksi hanya 21 persen, jauh di bawah target WHO, 70 persen. Karena itu, usaha untuk medeteksi kasus baru perlu lebih ditingkatkan lagi 3. Directly Observed Treatment Shortcourse juga menunjukkan angka keberhasilan yang cukup tinggi di negara-negara lain, seperti misalnya di Bangladesh dengan strategi DOTS angka kesembuhan mampu mencapai sekitar 80 %. Di Maldives, angka kesembuhan mencapai angka sekitar 85 % berkat strategi DOTS. Di Nepal, setelah menggunakan DOTS, angka kesembuhan mencapai 85 % sedangkan sebelumnya hanya mencapai 50 %. Di RRC tingkat kesembuhan lebih tinggi lagi yaitu mencapai 90 % dengan DOTS 9. IV.7. AKIBAT LEMAHNYA STRATEGI DOTS Akibat kurang baiknya penanganan pengobatan penderita TB dan lemahnya implementasi strategi DOTS. Penderita yang mengidap BTA yang resisten terhadap OAT akan menyebarkan infeksi TB dengan kuman yang bersifat Multi-drugs Resistant (MDR). Untuk kasus MDR-TB dibutuhkan obat lain selain obat standard pengobatan TB yaitu obat fluorokuinolon seperti siprofloksasin, ofloksasin, levofloksasin (hanya sangat disayangkan bahwa obat ini tidak dianjurkan pada anak dalam masa pertumbuhan) 10.

37

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

BAB V PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS PARU

V.1. PENGOBATAN TB PARU Sejak 1995, program Pemberantasan Penyakit TB di Indonesia mengalami perubahan manajemen operasional, disesuaikan dengan strategi global yang direkomendasikan oleh WHO. Langkah ini dilakukan untuk menindaklanjuti

38

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

Indonesia WHO joint Evaluation dan National Tuberkulosis Program in Indonesia pada April 1994 7. Dalam program ini, prioritas ditujukan pada peningkatan mutu pelayanan dan penggunaan obat yang rasional untuk memutuskan rantai penularan serta mencegah meluasnya resistensi kuman TB di masyarakat. Program ini dilakukan dengan cara mengawasi pasien dalam menelan obat setiap hari, terutama pada fase awal pengobatan 7. V.2. CARA PEMBERIAN OAT DENGAN DOTS Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu : 1. Tahap Intensif Pada tahap intensif, penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT, terutama rifampisin. Bila pengobatan intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita yang tadinya menular, menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif pada akhir pengobatan intensif 8. 2. Tahap Lanjutan Pada tahap lanjutan, penderita mendapat jumlah obat yang lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap ini penting untuk membunuh kuman dormant, sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan 8. Dari hasil percobaan pada binatang dan pengobatan pada manusia ternyata :

39

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

Hampir semua obat antituberkulosis mempunyai sifat bakterisid kecuali etambutol dan tiasetazon yang hanya bersifat bakteriostatik dan masih berperan untuk mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap obat. Rifampisin dan pirazinamid mempunyai aktivitas sterilisasi yang baik, sedangkan INH dan streptomisin menempati urutan yang lebih bawah. Dalam aktivitas bakterisid : Rifampisin dan INH disebut bakterisid yang lengkap (complete bactericidal drug) oleh karena kedua obat ini dapat masuk ke seluruh populasi kuman. Kedua obat ini masing-masing mendapat nilai satu. Pirazinamid dan streptomisin masing-masing hanya mendapat nilai setengah, karena pirazinamid hanya bekerja dalam lingkungan asam sedangkan streptomisin dalam lingkungan basa. Etambutol mendapat nilai setengah 2. V.3. PRINSIP PENGOBATAN TB Pengobatan TB memiliki 2 prinsip dasar, yaitu: 1)Bahwa terapi yang berhasil, memerlukan minimal 2 macam obat yang basilnya peka terhadap obat tersebut, dan salah satunya harus bakterisid. Karena suatu resistensi obat dapat timbul spontan pada sejumlah kecil basil, monoterapi memakai obat bakterisid yang terkuat pun dapat menimbulkan kegagalan pengobatan dengan terjadinya pertumbuhan basil yang resisten 9. Keadaan ini lebih banyak dijumpai pada pasien dengan populasi basil yang besar, misalnya pada TB paru dengan kavitas, oleh karena dapat terjadi mutasi 1 basil resisten dari 106 basil yang ada. Kemungkinan terjadinya resistensi spontan terhadap 2 macam obat merupakan hasil probabilitas masing-masing obat,

40

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

sehingga penggunaan 2 macam obat yang aktif umumnya dapat mencegah perkembangan resistensi sekunder 9. Obat anti TB mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mencegah terjadinya resistensi terhadap obat lainnnya. Obat rifampisin dan INH merupakan obat yang paling efektif, etambutol dan streptomisin dengan kemampuan menengah, sedangkan pirazinamid adalah yang efektifitasnya terkecil 9. 2)Bahwa penyembuhan penyakit membutuhkan pengobatan yang baik setelah perbaikan gejala klinisnya, perpanjangan lama pengobatan diperlukan untuk mengeliminasi basil yang persisten. Basil persisten ini merupakan suatu populasi kecil yang metabolismenya inaktif. Pengobatan yang tidak memadai akan mengakibatkan bertambahnya kemungkinan kekambuhan, beberapa bulan-tahun mendatang setelah seolah tampak sembuh 9. Regimen pada pengobatan sekitar tahun 1950-1960 memerlukan waktu 18-24 bulan untuk jaminan menjadai sembuh. Dengan cara pengobatan pada masa kini (metode DOTS) yang menggunakan paduan beberapa obat, pada umumnya pasien TB berhasil disembuhkan secara baik dalam waktu 6 bulan. Kegagalan menyelesaikan program masa pengobatan suatu kategori merupakan penyebab dari kekambuhan 9. V.4. SIFAT OBAT TB Berdasarkan kedua prinsip di atas, program pengobatan TB dibagi menjadi 2 fase, yaitu: fase bakterisidal awal (inisial) dan fase sterilisasi (lanjutan) 2. Terdapat 2 macam sifat atau aktivitas obat terhadap tuberkulosis yakni:

41

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

Aktivitas bakterisid Disini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang sedang tumbuh. Aktivitasnya diukur dari kecepatan obat tersebut membunuh atau melenyapkan kuman sehingga pada pembiakan didapatkan hasil yang negatif ( 2 bulan dari permulaan pengobatan ) Rifampisin dan INH disebut bakterisid yang lengkap karena kedua obat ini dapat masuk ke seluruh populasi kuman. Pyrazinamid hanya bekerja di lingkungan yang asam sedangkan streptomisin bekerja di lingkungan yang basa. Oleh karena itu masing-masing mendapat nilai setengah. Etambutol dan tiasetazon tidak mendapat nilai 2. Aktivitas sterilisasi Disini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang pertumbuhannya lambat. Aktivitasnya diukur dari kekambuhannya setelah pengobatan dihentikan 2.

V.5. POPULASI BASIL TB DAN OBAT YANG DIGUNAKAN Berikut adalah daftar efek obat yang digunakan untuk terapi jangka pendek berdasarkan data dari laboratorium dan penelitian klinik untuk populasi basil yang terbesar: a)Basil yang metabolismenya aktif yang cepat terbunuh oleh obat berkemampuan bakterisidal terutama H. b)Basil yang dorman dan yang muncul berlipat ganda secara periodik. Basil ini terutama sensitif terhadap obat R.

42

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

c)Populasi lain, yang terdiri dari basil yang terdapat di lingkungan asam (basil intrasel dan basil yang terdapat dalam lokasi perkejuan), yang terutama peka terhadap efek obat Z. d)Suatu populasi basil yang metabolismenya inaktif yang tidak dapat dipengaruhi oleh obat apapun dan dapat di eliminasi oleh respons imun pejamu 2 V.6. REGIMEN PENGOBATAN TB Obat-obatan TB dapat diklasifikasi menjadi 2 jenis regimen, yaitu obat lapis pertama dan lapis kedua. Kedua lapisan obat ini di arahkan ke penghentian pertumbuhan basil, pengurangan basil dorman dan pencegahan terjadinya resistensi. Obat-obatan lapis pertama terdiri dari H, R, Z, E, S. obat-obatan lapis kedua mencakup rifabutin, etionamid, sikloserin, PAS, klofazimin, aminiglikosida di luar streptomisin dan kuinolon 11.

Tabel 2. Dosis obat yang dipakai di Indonesia Obat Dosis (Mg/ BB < 40 Kg BB 40-60 Kg BB>60 Dosis Kg Maksimal (mg ) Kg BB/ hari)

Rifampisin INH Pirazinamide

8-12 4-6 20-30

300 150 750

450 300 1000

600 450 1500

600 300 -

43

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

Ethambutol Streptomisin

15-20 15-18

750 Sesuai BB

1000 750

1500 1000

1000

(dikutip dari 1) Tabel 3. Regimen Pengobatan Tuberkulosis Saat ini ( Metode DOTS = Directly Observed Treatment Short Course Strategy )
Kategori Pasien TB Resimen Pengobatan

Fase Awal dan Fase Lanjutan 1. TB Paru Sputum BTA (+) kasus lesi minimal - TB Paru Sputum BTA (-), kasus baru, lesi luas baru, 2 RHZE/ 4 RH atau 2 RHZE/ 6 HE * 2 RHZE/ 4 R3H3

44

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

2. - Relaps

RHZE/1RHZE/ sesuai hasil uji resistensi atau 2 RHZES/ 1RHZE/ 5RHE

- Kegagalan Pengobatan

3-6

kanamisin, 15-18

ofloksasin, ofloksasin,

etionamid, etionamid,

sikloserin/

sikloserin atau 2 RHZES/ 1RHZE/ 5RHE Kasus Default Sesuai lama pengobatan sebelumnya, lama berhenti minum obat dan keadaan klinis, bakteriologi dan radiologi saat ini atau * 2 RHZE/ 1 RHZE/ 5 R3H3E3 3. - TB Paru sputum BTA (-) lesi minimal 2 RHZE/ 4RH atau 6 RHE atau * 2 RHZE/ 4 R3H3 4. Kasus Kronis RHZES/ sesuai hasil uji resistensi ( min. OAT yang sensitif) + obat lini 2 ( pengobatan minimal 18 bulan ) MDR TB Sesuai uji resistensi atau mempertimbangkan menggunakan obat- obatan barisan kedua atau WHO : seumur hidup diberikan H saja

(dikutip dari 1) 1.Rifampisin

45

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

Rifampisin merupakan obat semisintetik derivat dari Stretomyces mediteranei. Rifampisin memegang peranan utama dalam pengobatan tuberkulosis. Selain itu, rifampisin juga memiliki spektrum yang luas, sehingga dapat mengatasi baik bakteri gram positif, maupun bakteri gram negatif, seperti Legionella spp., M. kasasii, dan M. marinum. Rifampisin memiliki aktiviti bakterisidal di intraseluler dan juga ektraseluler. Rifampisin menghambat sintesa RNA dengan mengikat dan menghambat polymerase DNA dependant RNA 12. Rifampisin dapat menyebabkan urin berwarna merah kekuningan. Selain itu, efek samping yang dapat ditimbulkan oleh rifampisin adalah gangguan gastrointestinal, hepatitis, rash atau kemerahan pada kulit, anemia hemolitik, trombositopenia dan juga imunosupresi 12. Rifampisin dapat memicu tebentuknya enzim mikrosomal di hepar sehingga dapat menurunkan efektivitas beberapa jenis obat, seperti digoksin, warfarin, prednison, kontrasepsi oral, obat-obat Zidovudine (ARV) dan juga kuinidin
11

. Rifampisin meningkatkan metabolisme hepatik kontrasepsi oral

sehingga dosis kontrasepsi oral harus ditingkatkan 2. 2.Isoniazid (INH) Setelah rifampisin, isoniazid merupakan obat antituberkulosis yang paling efektif
7

. Isoniazid harus diberikan pada setiap pengobatan

tuberkulosis, kecuali jika terdapat resistensi. Isoniazid memiliki efek bakteriostatik dan juga bakterisidal 2. Isoniazid dianggap obat yang aman; efek samping utamanya antara lain hepatitis dan neuropati perifer karena interferensi fungsi biologi vitamin B6 atau piridoksin
1,11

. Efek samping lainnya seperti rash/kemerahan di kulit,


7

anemia, kejang, dan gangguan kejiwaan jarang dijumpai

. Isonizid

46

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

mempunyai kemampuan bakterisidal TBC yang terkuat. Mekanisme kerjanya adalah menghambat cell-wall biosynthecis pathway 2. 3.Pirazinamid Pirazinamid merupakan derivat asam nikotinik, yang digunakan pada pengobatan tuberkulosis jangka pendek
7

. Pirazinamid memiliki efek


7,11

bakterisidal 2,7. Efek samping yang paling sering dijumpai pada pemberian pirazinamid adalah hepatotoksik dan juga hiperurisemia . Pirazinamid merupakan obat bakterisidal untuk organisme intraselular dan agen anti tuberculous ketiga yang juga cukup ampuh. Pirazinamid hanya diberikan untuk 2 bulan pertama pengobatan 11.

Obat Anti Tuberkulosis Tambahan (first-line supplemental drugs) Selain pemberian OAT golongan 1 tersebut, diberikan pula obat-obatan tambahan (first-line supplemental drugs) yang juga memiliki efektivitas tinggi, namun jarang menimbulkan efek toksik, seperti etambutol dan streptomisin 7. Pada beberapa sumber menggolongkan kedua obat-obatan ini ke dalam OAT golongan 1 11.

Etambutol Etambutol memiliki efek bakteriostatik terhadap MTB retrobulbar, yang biasanya muncul setelah beberapa
2,7

. Efek bulan

samping yang paling berat dari etambutol adalah neuritis optik mengkonsumsi etambutol 7. Efek samping ini muncul tergantung dari dosis dan juga durasi pemberian obat. Kadang-kadang dapat pula dijumpai hiperurisemia, namun asimtomatik 7. Etambutol satu-satunya obat lapis pertama yang

47

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

mempunyai efek bakeriostatik tetapi bila dikombinasikan dengan INH dan Rifampisin terbukti bisa mencegah terjadinya resisten obat 2.

Streptomisin Streptomisin merupakan salah satu obat anti tuberkulosis pertama yang ditemukan. Streptomisin ini merupakan suatu antibiotik golongan aminiglikosida yang harus diberikan secara parenteral dan bekerja mencegah pertumbuhan organisme ekstraseluler
11

Streptomisin dapat diberikan secara intramuskular 7. Streptomisin memiliki efek bakterisidal 2,7. Efek samping streptomisin muncul pada 10-20% pasien yang mendapat streptomisin 7. Kekurangan obat ini adalah efek samping toksik pada saraf kranial kedelapan yang dapat menyebabkan disfungsi vestibular dan atau hilangnya pendengaran (gagal ginjal non-oliguri) 7. Obat Anti Tuberkulosis Golongan 2 (second-line antituberculosis drugs) Obat anti-tuberkulosis golongan 2 digunakan jika terdapat resistensi obat atau jika OAT golongan 1 tidak tersedia. Dari sebuah penelitian pada pasien yang resisten terhadap OAT golongan 1 atau terdapat keadaan multi-drug resistant, dapat diatasi dengan pemberian rifabutin, obat-obat golongan quinolon, para-aminosalicylic acid (PAS), ethionamide, cycloserine, amikacin dan capreomycin 7. Obat-obat antituberkulosis golongan 2 kurang efektif jika dibandingkan dengan OAT golongan 1 dan dapat menimbulkan efek samping yang berat jarang digunakan dalam pengobatan tuberkulosis 7.
7,11 7

. Selain itu yang

berbahaya dari streptomosin adalah sifatnya yang toksik bagi ginjal

. Obat-obat ini

48

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

Quinolon Obat-obat golongan quinolon digunakan jika terdapat resistensi terhadap OAT golongan 1 atau pada pasien-pasien yang tidak dapat menggunakan OAT golongan 1. Obat-obatan yang termasuk golongan quinolon adalah ofloxacin, levofloxacin, ciprofloxacin, gatifloxacin dan moxifloxacin. Efek samping jarang sekali dijumpai. Jika ada, biasanya berupa gangguan gastrointestinal, kemerahan pada kulit, pusing dan sakit kepala. Efek samping yang cukup berat, seperti kejang, nefritis interstitial, vaskulitis, dan gagal ginjal akut. Quinolon dapat diberikan secara intravena 7. 1.Capreomycin Capreomycin merupakan suatu kompleks antibiotik polipeptida siklik derifat dari Streptomyces capreolus, yang memiliki kesamaan dalam pemberian dosis, cara kerja, farmakologi dan toksisitas dengan streptomisin. Capreomycin diberikan secara intramuskular dalam dosis 10-15mg/kg/hari atau 5 kali dalam seminggu (dosis maksimal per-hari 1 g). Setelah diberikan selama 2-4 bulan, dosisnya diturunkan menjadi 1 g dalam 2 atau 3 kali seminggu. Capreomycin merupakan obat injeksi pilihan terhadap tuberkulosis setelah streptomisiin 7. 2.Rifabutin Rifabutin memiliki beberapa kemiripan karakteristik dengan rifampisin, namun rifabutin ini juga dapat digunakan pada pasien-pasien yang resisten terhadap rifampisin dan juga lebih efektif mengatasi M. avium complex dan nontuberculosis mycobacterium lainnya. Pada pengobatan HIV dengan TB paru, akan lebih baik jika menggunakan rifabutin dari pada rifampisin, karena efek interaksi obat antara rifampisin dan Anti Retro Virus (ARV) yaitu nevirapin 7.

49

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

Efek samping rifabutin baru muncul jika pemberian dosis > 300 mg/hari. Efek samping yang paling sering muncul adalah gangguan gastrointestinal. Selain itu, dapat muncul gejala lain seperti kemerahan pada kulit, nyeri dada, myalgia, dan insomnia7. Sama seperti rifampisin, pemakaian rifabutin juga dapat menyebabkan perubahan warna urin menjadi berwarna merah kekuningan. Dari pemeriksaan laboratorium, akan dijumpai neutropeni, trombositopeni dan peningkatan enzim hati. Namun efek samping-efek samping tersebut akan hilang jika pemberian rifabutin dihentikan 7. 3.Amikacin Amikasin memiliki efek baksterisidal yang berkerja di ekstraseluler. Amikacin ini efektif terhadap MTB, M. lepra, M. avium complex, dan lainlain. Dosis yang diberikan biasanya 7-10mg/kg IM atau IV, 3-5 kali dalam seminggu 7. 4.Ethionamide Ethionamide adalah derivat asam isonikotinik, sama seperti isoniazid dan pirazinamid. Obat ini memiliki efek bakteriostatik. Namun penggunaannya terbatas karena efek toksisitas dan banyaknya efek samping, seperti gangguan gastrointestinal berat (mual, muntah, anoreksia, disgesia), gangguan neurologis berat, hepatitis, reaksi hipersensitivitas, dan juga hipotiroidisme 7. 5.Para-Aminosalicylic Acid (PAS) Para-Aminosalicylic Acid dapat menghambat pertumbuhan MTB dengan cara menghambat sintesa asam folat. Para-Aminosalicylic Acid jarang menjadi pilihan pengobatan tuberkulosis karena rendahnya efektivitas dan

50

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

juga karena menyebabkan timbulnya gangguan gastrointestinal (mual, muntah, diare) 7. Selain obat-obat antituberkulosis yang telah disebutkan tadi di atas, saat ini sedang dilakukan penelitian efektivitas antituberkulosis beberapa obat, seperti rifapentine, 8 methoxyfluroquinolones gatifloxacin, moxifloxacin dan lain-lain. Penggunaannya dalam terapi tuberkulosis hingga saat ini belum dipastikan7. Obat TB yang aman diberikan pada perempuan hamil adalah INH,Rifampisin dan Etambutol11. Pengobatan TB memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6 bulan agar dapat mencegah perkembangan resistensi obat oleh karena itu, World Health Organization (WHO) telah menerapkan strategi DOTS dimana terdapat petugas kesehatan tambahan yang berfungsi secara ketat mengawasi pasien minum obat untuk memastikan kepatuhannya. WHO juga telah menetapkan regimen pengobatan standar yang membagi pasien menjadi 4 kategori berbeda menurut definisi kasus tersebut11. Kortikosteroid digunakan untuk TB yang mengenai SSP (meningitis) dan perikarditis namun tidak dianjurkan untuk diberikan sebagai tambahan terapi pada TB jenis lainnya. Pengobatan TB pada pasien dengan HIV positif pada dasarnya sama. Hal yang perlu diperhatikan adalah adalah rifampisin tidak diberikan pada pasien HIV positif yang menggunakan obat protease inhibitor ( kecuali obat ritonavir) atau obat non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor/NNRTI (kecuali obat efavirenz). Untuk mengatasinya dengan menggunakan rifabutin sebagai rifampisin. Rifabutin dapat diberikan bersamaan dengan protease inhibitor (kecuali obat saquinavir) dan NNRTI ( kecuali obat delavirdin) dengan penyesuaian dosis 11. Sebaiknya tatalaksana TB pada pasien HIV dilakukan oleh ahlinya. Pasien HIV yang mendapat OAT dan ARV dapat menunjukkan gejala dan tanda eksaserbasi TB (reaksi paradoks). Keadaan ini disebabkan oleh reaksi hipersensitifitas lambat dan meningkatnya antigen kuman setelah pemberian anti TB bakterisidal. Pasien HIV dengan CD4<100 tidak boleh diberikan pengobatan dengan regimen 2 kali seminggu
11

51

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

Efek samping obat: ISONIAZID (INH) Neuritis perifer ( kejang, atropi optik, ataksia, kesemutan, ensephalopati toksik dan kematian ), ikterus, hipersensitivitas, mulut kering, nyeri epigastrik, methemoglobinemia, tinitus, retensi urin. RIFAMPISIN Ikterus, Flu like syndrome, Syndrom Redman( akibat dosis yang berlebihan, terdapat kerusakan hati yang berat , warna merah terang pada urin , air mata, ludah dan kulit), nyeri epigastrik, reaksi hipersensitivitas, supresi imunitas ETAMBUTOL Neuritis optic, Gout ( pirai ), gatal, nyeri sendi, nyeri epigastrik, nyeri perut, malaise, sakit kepala, sempoyongan, linglung, halusinasi, bingung. PYRAZINAMID Gangguan hati, Gout ( pirai ) Pada tabel berikut ini dapat kita lihat beberapa OAT yang mempunyai sifat hepatotoksik13. Tabel 4. OAT yang menyebabkan hepatotoksik OAT potensial >> hepatotoksik Isoniazid Rifampicin, Rifabutin Pyrazinamide Ethionamide, Prothionamide Para-aminosalicylic acid (Dikutip dari 13) OAT potensial << hepatotoksik Streptomisin, Kanamisin, Amikasin Ethambutol, Ofloxacin, Levofloxacin Ciprofloxacin, Cycloserine

52

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

V.7. PANDUAN PEMBERIAN OBAT Cara pemberian OAT dibedakan menjadi 4 kategori, yaitu : A. Panduan Obat untuk Kategori I Fase Intensif 2 RHZE Bila setelah 2 bulan dahak menjadi negatif, fase lanjutan dapat dimulai Bila setelah 2 bulan, dahak masih tetap positif, fase intensif diperpanjang 4 minggu lagi, apabila setelah diperiksa lagi menjadi negatif, fase lanjutan dapat simulai. Namun bila masih positif, dilanjutkan ke kategori 2 3. Fase Lanjutan 4 RH / 4 R3H3 Pada pasien dengan meningitis, tuberkulosis milier, spondilitis kelainan neurologik, fase lanjutan diberikan lebih lama yaitu 6-7 bulan hingga total pengobatan 8-9 bulan Panduan alternatif untuk fase lanjutan adalah 6 HE Dilakukan pemeriksaan ulang dahak pada sebulan sebelum akhir pengobatan dan pada akhir pengobatan. Bila hasilnya masih BTA (+) pengobatan dinyatakan gagal dan diganti dengan kategori II 3 Obat ini diberikan untuk : Penderita baru TB paru BTA positif Penderita TB paru BTA negatif Rontgen positif, lesi luas Penderita TB ekstra-paru berat 3. B. Panduan Obat untuk Kategori II Fase Intensif 2 RHZES / 1 RHZE

53

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

Bila setelah fase intensif BTA menjadi (-) pengobatan dilanjutkan dengan fase lanjutan Bila setelah 3 bulan dahak masih tetap (+), fase intensif diperpanjang 1 bulan lagi dengan RHZE. Bila setelah 4 bulan dahak masih tetap (+), pengobatan dihentikan 2-3 hari, lalu diperiksa biakan dan tes resistensi kemudian fase lanjutan diteruskan tanpa menunggu hasil tes. Bila hasil tes menunjukkan resisten terhadap H dan R ini menunjukkan MDR, bila memungkinkan penderita dirujuk ke unit pelayanan spesialistik untuk dipertimbangkan pengobatan dengan obat sekunder 3. Bila pasien mempunyai data resistensi sebelumnya dan ternyata kuman masih sensitif terhadap semua obat dan setelah fase intensif dahak menjadi (-), fase lanjutan dapat diubah seperti kategori I dengan pengawasan yang ketat 3. Fase Lanjutan 5 R3H3E3 / 5 RHE Dilakukan pemeriksaan ulang dahak pada sebulan sebelum akhir bulan pengobatan (bulan ketujuh), bila (-) teruskan pengobatan. Bila (+) menjadi kasus kronik Pemeriksaan ulang dahak pada akhir pengobatan bila (-) penderita sembuh, bila (+) menjadi kasus kronik 3. Obat ini diberikan untuk : Kasus kambuh Kasus gagal obat Kasus putus obat C. Panduan Obat untuk Kategori III

54

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

Fase Intensif 2 RHZE Bila setelah 2 bulan dahak menjadi tetap (-), fase lanjutan dapat dimulai Bila setelah 2 bulan dahak menjadi (+), ubah panduan pengobatan menjadi kategori II 3. Fase Lanjutan 4 RH / 4 R3H3 / 6 HE Tidak ada pemeriksaan ulang dahak sebulan sebelum akhir pengobatan atau di akhir pengobatan Obat ini diberikan untuk : Penderita baru BTA negatif, Rontgen positif, lesi minimal TB Ekstra-paru ringan D. Panduan Obat untuk Kategori IV Obat ini diberikan pada penderita TB kronik dan TB multiresisten. Prioritas pengobatan rendah karena kemungkinan keberhasilan pengobatan kecil sekali Untuk pasien yang kurang mampu dapat diberikan INH saja seumur hidup Untuk pasien yang mampu, pemberian obat dicoba berdasarkan hasil uji resistensinya dan obat-obat sekunder 3. V.8. Saran-saran Untuk Menanggulangi Masalah TB Ada beberapa saran yang dapat diterapkan untuk menanggulangi masalah TB, yaitu:

55

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

Pertama, petugas harus memberikan pengetahuan yang cukup mengenai TB terutama yang berkaitan dengan sistem pengobatan, konsekuensi-konsekuensi yang mungkin terjadi jika mereka minum obat tidak teratur1. Kedua, perlu dilakukan program dalam bentuk gerakan seperti program Pekan Imunisasi Nasional (PIN). Program ini lebih bersifat case finding active yaitu melakukan penelusuran pada masyarakat yang dicurigai menderita TBC yaitu dengan menjadwalkan secara tersendiri dan reguler pada setiap rumah sakit, puskesmas, puskesmas pembantu atau sarana fasilitas kesehatan lainnya. Tujuan dari cara ini adalah mendekatkan sarana pelayanan kepada masyarakat sehingga masyarakat dapat datang dengan sadar, sukarela untuk memeriksakan kesehatannya 1. V.9. EVALUASI PENGOBATAN Biasanya pasien di kontrol dalam 1 minggu pertama selanjutnya setiap 2 minggu selama tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai akhir pengobatan. Secara klinis hendaknya terdapat perbaikan keluhan-keluhan pasien seperti batukbatuk berkurang, batuk darah hilang, nafsu makan bertambah, berat badan meningkat
2

1.Bakteriologis Biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA mulai menjadi negatif. World Health Organization menganjurkan kontrol sputum BTA dilakukan pada akhir bulan ke 2, 4, dan 6. Pemeriksaan resistensi dilakukan pada pasien baru yang BTA nya masih positif setelah tahap intensif dan pada awal terapi bagi pasien yang mendapat pengobatan berulang. Bila sudah negatif sputum BTA tetap di periksakan minimal 3x berturut- turut 2.

56

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

2.Radiologis Bila fasilitas memungkinkan foto kontrol dapat dibuat pada akhir pengobatan sebagai dokumentasi untuk perbandingan bila nanti timbul kasus kambuh. Karena perubahan gambaran radiologis tidak secepat perubahan bakteriologis, evaluasi foto dada dilakukan setiap 3 bulan sekali. Bila secara bakteriologis ada perbaikan tetapi klinis dan radiologis tidak, harus dicurigai penyakit lain disamping tuberkulosis paru. Perlu dipikirkan juga ada gangguan imunologis pada pasien tersebut antara lain AIDS 2. Pasien yang gagal pengobatan dapat diberikan resimen pengobatan yang dimodifikasi dengan menambahkan sedikitnya 3 obat baru (dimana kuman masih sensitif terhadap obat tersebut). Pasien dengan MDR diterapi dengan 4-6 obat selama 18-24 bulan ( jika terdapat resistensi terhadap etambutol dan pirazinamid maka pengobatan diberikan selama 24 bulan) 2. Semua pasien tuberkulosis harus diperiksa terhadap kemungkinan menderita HIV. Pasien dengan faktor risiko terkena hepatitis B atau C juga harus diperiksa 2. V.10. PENGOBATAN PEMBEDAHAN Terapi pembedahan banyak dilakukan dalam upaya penyembuhan pada pasien tuberkulosis paru yang kambuh. Pada saat ini dengan banyaknya obat obat bakterisid, terapi pembedahan sudah jarang sekali dilakukan. Disamping syarat toleransi operasi ( spirometri dan AGD ), diperlukan juga obat antituberkulosis tetap diberikan hingga 6 bulan pasca-operasi. Pasien dengan BTA yang tetap positif, setelah pembedahan sebagian besar menjadi negatif, dan selain itu juga terjadi perbaikan klinis 2. Indikasi mutlak untuk pembedahan adalah: 1.Semua pasien yang telah mendapat pengobatan OAT adekuat tetapi sputum tetap positif. 2.Pasien batuk darah masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif. 3.Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara konservatif 13.

57

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

Indikasi relatif pembedahan adalah: 1.Pasien dengan sputum negatif dan batuk-batuk darah berulang. 2.Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan. 3.Sisa kavitas yang menetap 13. V.11. PENGOBATAN TB PADA KEADAAN KHUSUS a. Kehamilan Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB
3

. Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan

b. Ibu menyusui dan bayinya pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya 3. c. Pasien TB pengguna kontrasepsi Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB,

58

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

susuk KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal, atau kontrasepsi yang mengandung estrogen dosis tinggi (50 mcg) 3. d. Pasien TB dengan infeksi HIV/AIDS Tatalaksanan pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama seperti pasien TB lainnya. Obat TB pada pasien HIV/AIDS sama efektifnya dengan pasien TB yang tidak disertai HIV/AIDS. Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan mendahulukan pengobatan TB3. Pengobatan ARV(antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV sesuai dengan standar WHO. Penggunaan suntikan Streptomisin harus memperhatikan Prinsip-prinsip Universal Precaution (Kewaspadaan Keamanan Universal) Pengobatan pasien TB-HIV sebaiknya diberikan secara terintegrasi dalam satu UPK untuk menjaga kepatuhan pengobatan secara teratur. Pasien TB yang berisiko tinggi terhadap infeksi HIV perlu dirujuk ke pelayanan VCT (Voluntary Counceling and Testing = Konsul sukarela dengan test HIV) 3. e. Pasien TB dengan hepatitis akut Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan Tb sangat diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan 3. f. Pasien TB dengan kelainan hati kronik Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan Tb. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali OAT tidak diberikan dan bila telah dalam pengobatan, harus dihentikan. Kalau peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan atau diteruskan

59

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

dengan pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati, Pirasinamid (Z) tidak boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE
3

g. Pasien TB dengan gagal ginjal Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi melalui empedu dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik. OAT jenis ini dapat diberikan dengan dosis standar pada pasien-pasien dengan gangguan ginjal. Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu hindari penggunaannya pada pasien dengan gangguan ginjal. Apabila fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Etambutol dan Streptomisin tetap dapat diberikan dengan dosis yang sesuai faal ginjal. Paduan OAT yang paling aman untuk pasien dengan gagal ginjal adalah 2HRZ/4HR 3. h. Pasien TB dengan Diabetes Melitus Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan anti diabetes oral. Pada pasien Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasi retinopati diabetika, oleh karena itu hati-hati dengan pemberian etambutol, karena dapat memperberat kelainan tersebut 3. i. Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa pasien seperti: Meningitis TB TB milier dengan atau tanpa meningitis TB dengan Pleuritis eksudativa TB dengan Perikarditis konstriktiva3.

60

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per hari, kemudian diturunkan secara bertahap. Lama pemberian disesuaikan dengan jenis penyakit dan kemajuan pengobatan 3. j. Indikasi operasi Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi paru), adalah: 1) Untuk TB paru: Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara konservatif. Pasien MDR TB dengan kelainan paru yang terlokalisir 3. 2) Untuk TB ekstra paru: Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien TB tulang yang disertai kelainan neurologic 3. V.12. TERAPI PREVENTIF V.12. 1. Vaksinasi BCG Dari beberapa penaliti, diketahui bahwa vaksinasi BCG yang dilakukan pada anak anak selama ini hanya memberikan daya proteksi sebagain saja, yakni sebesar 0-80%. Tetapi BCG masih tetap dipakai karena ia dapat mengurangi kemungkinan terhadap tuberkulosis berat ( meningitis, TB milier ) dan tuberkulosis ekstra-paru lainnya 2. V.12. 2. Kemoprofilaksis

61

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

Isoniazid banyak digunakan belakangan ini karena harganya murah dan efek sampingnya yang sedikit ( terbanyak hepatitis dengan frekuensi 1 % dan yang > 50 thn adalah 2 % ). Obat alternatif lain adalah rifampisin. Beberapa peneliti pada International Union Against Tuberculosis (I DAT) menyatakan bahwa profilaksis dengan INH diberikan selama 1 tahun dapat menurunkan insidens tuberkulosis hingga 55 83 % dan yang kepatuhan minum obatnya cukup baik dapat mencapai penurunan hingga 90 %. Yang minum obatnya tidak teratur (intermitten), efektifitasnya masih cukup baik 2. Lama profilaksis yang optimal masih belum diketahui, tetapi banyak peneliti menganjurkan 6-12 bulan, ( American Thoracic Society, US Centers for Disease Control ) terhadap tersangka dengan uji tuberkulin 5 10 mm. Yang mendapat profilaksis selama 12 bulan adalah pasien HIV + dan pasien dengan keluhan radiologis dada. Yang lainnya, seperti kontak dengan penderita TB cukup 6 bulan saja. Pada negara negara dengan populasi TB tinggi sebaiknya profilaksis diberikan untuk semua pasien dengan HIV + dan pasien yang mendapat terapi imunosupresi 2. V.13. PENCEGAHAN TB PARU. Tindakan pencegahan dapat dikerjakan oleh penderita, masyarakat dan petugas kesehatan. A. Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan. 1. Oleh penderita, dapat dilakukan dengan menutup mulut sewaktu batuk dan membuang dahak tidak disembarangan tempat. 2. Oleh masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan dengan terhadap bayi harus diberikan vaksinasi BCG. 3. Oleh petugas kesehatan dengan memberikan penyuluhan tentang penyakit TB yang antara lain meliputi gejala bahaya dan akibat yang ditimbulkannya.

62

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

4. Isolasi, pemeriksaan kepada orang-orang yang terinfeksi, pengobatan khusus TBC. Pengobatan mondok dirumah sakit hanya bagi penderita yang kategori berat yang memerlukan pengembangan program pengobatannya yang karena alasan-alasan sosial ekonomi dan medis untuk tidak dikehendaki pengobatan jalan. 5. Des-Infeksi, Cuci tangan dan tata rumah tangga kebersihan yang ketat, perlu perhatian khusus terhadap muntahan dan ludah (piring, hundry, tempat tidur, pakaian), ventilasi rumah dan sinar matahari yang cukup. 6. Imunisasi orang-orang kontak. Tindakan pencegahan bagi orang-orang sangat dekat (keluarga, perawat, dokter, petugas kesehatan lain) dan lainnya yang terindikasi dengan vaksin BCG dan tindak lanjut bagi yang positif tertular. 7. Penyelidikan orang-orang kontak. Tuberculin-test bagi seluruh anggota keluarga dengan foto rontgen yang bereaksi positif, apabila cara-cara ini negatif, perlu diulang pemeriksaan tiap bulan selama 3 bulan, perlu penyelidikan intensif. 8. Pengobatan khusus. Penderita dengan TBC aktif perlu pengobatan yang tepat. Obat-obat kombinasi yang telah ditetapkan oleh dokter diminum dengan tekun dan teratur, waktu yang lama ( 6 atau 12 bulan). Diwaspadai adanya kebal terhadap obatobat, dengan pemeriksaan penyelidikan oleh dokter 5. B. Tindakan Pencegahan. 1. Status sosial ekonomi rendah yang merupakan faktor menjadi sakit, seperti kepadatan hunian, dengan meningkatkan pendidikan kesehatan. 2. Tersedia sarana-sarana kedokteran, pemeriksaan penderita, kontak atau suspect gambas, sering dilaporkan, pemeriksaan dan pengobatan dini bagi penderita, kontak, suspect, perawatan. 3. Pengobatan preventif, diartikan sebagai tindakan keperawatan terhadap penyakit inaktif dengan pemberian pengobatan INH sebagai pencegahan.

63

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

4. BCG, vaksinasi, diberikan pertama-tama kepada bayi dengan perlindungan bagi ibunya dan keluarganya. Diulang 5 tahun kemudian pada 12 tahun ditingkat tersebut berupatempat pencegahan. 5. Memberantas penyakti TBC pada pemerah air susu dan tukang potong sapi, dan pasteurisasi air susu sapi. 6. Tindakan mencegah bahaya penyakit paru kronis karean menghirup udara yang tercemar debu para pekerja tambang, pekerja semen dan sebagainya. 7. Pemeriksaan bakteriologis dahak pada orang dengan gejala tbc paru. 8. Pemeriksaan screening dengan tubercullin test pada kelompok beresiko tinggi, seperti para emigrant, orang-orang kontak dengan penderita, petugas dirumah sakit, petugas/guru disekolah, petugas foto rontgen. 9. Pemeriksaan foto rontgen pada orang-orang yang positif dari hasil pemeriksaan tuberculin test 5. V.14. PENGENDALIAN, PENGOBATAN DAN PENYULUHAN YANG

DILAK-SANAKAN PADA PENDERITA TBC. A. Pengendalian Penderita Tuberkulosis. 1. Petugas dari puskesmas harus mengetahui alamat rumah dan tempat kerja penderita. 2. Petugas turut mengawasi pelaksanaan pengobatan agar penderita tetap teratur menjalankan pengobatan dengan jalan mengingatkan penderita yang lali. Disamping itu agar menunjak seorang pengawas pengobatan dikalangan keluarga. 3. Petugas harus mengadakan kunjungan berkala kerumah-rumah penderita dan menunjukkan perhatian atas kemajuan pengobatan serta mengamati kemungkinan terjadinya gejala sampingan akibat pemberian obat 5. B. Pengobatan Penderita Tuberkulosis.

64

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

1. Penderita yang dalam dahaknya mengandung kuman dianjurkan untuk menjalani pengobatan di puskesmas. 2. Petugas dapat memberikan pengobatan jangka pendek di rumah bagi penderita secara darurat atau karean jarak tempat tinggal penderita dengan puskesmas cukup jauh untuk bisa berobat secara teratur. 3. Melaporkan adanya gejala sampingan yang terjadi, bila perlu penderita dibawa ke Puskesmas 5. C. Penyuluhan Penderita Tuberkulosis 1. Petugas baik dalam masa persiapan maupun dalam waktu berikutnya secara berkala memberikan penyuluhan kepada masyarakat luas melalui tatap muka, ceramah dan mass media yang tersedia diwilayahnya, tentang cara pencegahan TB-paru. 2. Memberikan penyuluhan kepada penderita dan keluarganya pada waktu kunjungan rumah dan memberi saran untuk terciptanya rumah sehat, sebagai upaya mengurangi penyebaran penyakit. 3. Memberikan penyuluhan perorangan secara khusus kepada penderita agar penderita mau berobat rajin teratur untuk mencegah penyebaran penyakit kepada orang lain. 4. Menganjurkan, perubahan sikap hidup masyarakat dan perbaikan lingkungan demi tercapainya masyarakat yang sehat. 5. Menganjurkan masyarakat untuk melapor apabila diantara warganya ada yang mempunyai gejala-gejala penyakit TB paru. 6. Berusaha menghilangkan rasa malu pada penderita oleh karena penyakit TB paru bukan bagi penyakit yang memalukan, dapat dicegah dan disembuhkan seperti halnya penyakit lain. 7. Petugas harus mencatat dan melaporkan hasil kegiatannya kepada koordinatornya sesuai formulir pencatatan dan pelaporan kegiatan kader 5. BAB VI

65

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

SIMPULAN

Tuberkulosis ( TB ) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (MTB) 1 . Robert Koch pertama kali menemukan MTB pada tahun 1882 2. Laporan TB dunia oleh WHO yang terbaru (2006), masih menempatkan Indonesia sebagai penyumbang TB terbesar nomor 3 di dunia setelah India dan Cina
3

. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995,

menempatkan TB sebagai penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan, dan merupakan nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi 3. Untuk kepentingan pengobatan WHO membagi dalam 4 kategori, yaitu:

iI 2.Kategori III 4. Kategori IV Pengobatan TB memiliki dua prinsip dasar, yaitu: Pertama adalah bahwa terapi yang berhasil, memerlukan minimal 2 macam obat yang basilnya peka terhadap obat tersebut, dan salah satu daripadanya harus bakterisidik2. Kedua adalah bahwa penyembuhan penyakit membutuhkan pengobatan yang baik setelah perbaikan gejala klinisnya, perpanjangan lama pengobatan diperlukan untuk mengeliminasi basil yang persisten2. Keluhan terbanyak pada penderita TB yaitu: Demam, Batuk/Batuk darah, Malaise, Nyeri dada, Sesak napas. Menurut American Thoracic Society dan WHO 1964 diagnosis pasti TB adalah dengan menemukan kuman MTB dalam sputum atau jaringan paru secara biakan2. Usaha pencegahan terhadap TB terdiri atas :

i II

66

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

1.Vaksinasi BCG 2.Kemoprofilaksis2 Directly Observed Treatment Shortcourse atau yang biasa disingkat DOTS adalah strategi penyembuhan TB jangka pendek dengan pengawasan secara langsung. DOTS bukanlah obat, ia hanya merupakan istilah (term), singkatan atau strategi pengobatan TB 3.Strategi DOTS pertama kali diperkenalkan pada tahun 1995 di Indonesia dan meluas pada tahun 1997 dalam sistem pelayanan kesehatan masyarakat
9

. Strategi ini diartikan sebagai "pengawasan langsung menelan obat jangka pendek DOTS menekankan pentingnya pengawasan terhadap penderita TB agar

oleh pengawas pengobatan" setiap hari 10. menelan obatnya secara teratur sesuai ketentuan sampai dinyatakan sembuh. Strategi DOTS memberikan angka kesembuhan yang tinggi, bisa sampai 95 %. Startegi DOTS direkomendasikan oleh WHO secara global untuk menanggulangi TBC. Selain itu bank dunia menyatakan strategi DOTS merupakan strategi kesehatan yang paling cost effective 4. Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen, yaitu : Komitmen politis dari pemerintah untuk bersungguh-sungguh menanggulangi TB. Dukungan dana Diagnosis penyakit TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis Pengobatan TB dengan paduan obat anti-TB jangka pendek, diawasi secara langsung oleh Pengawas Minum Obat (PMO). Tersedianya paduan obat anti-TB jangka pendek secara konsisten dan pencatatan dan pelaporan mengenai penderita TB sesuai standar 4,11. Dan dalam strategi DOTS ini ada tiga tahapan penting yaitu, mendeteksi pasien, melakukan pengobatan dan melakukan pengawasan langsung4.

67

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

Akibat kurang baiknya penanganan pengobatan penderita TB dan lemahnya implementasi strategi DOTS. Penderita yang mengidap BTA yang resisten terhadap OAT akan menyebarkan infeksi TB dengan kuman yang bersifat MDR (Multi-drugs Resistant) 10. Ada beberapa saran yang dapat diterapkan untuk menanggulangi masalah TB, yaitu:1 Pertama, petugas harus memberikan pengetahuan yang cukup mengenai TB terutama yang berkaitan dengan sistem pengobatan, konsekuensi-konsekuensi yang mungkin terjadi jika mereka minum obat tidak teratur 11. Kedua, perlu dilakukan program dalam bentuk gerakan seperti program Pekan Imunisasi Nasional (PIN). Program ini lebih bersifat case finding active yaitu melakukan penelusuran pada masyarakat yang dicurigai menderita TB yaitu dengan menjadwalkan secara tersendiri dan reguler pada setiap rumah sakit, puskesmas, puskesmas pembantu atau sarana fasilitas kesehatan lainnya 11.

DAFTAR PUSTAKA

68

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

1.Price. A,Wilson. L. M. Tuberkulosis Paru. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, bab 4, Edisi VI. Jakarta: EGC, 2004 : 852-64. 2.Amin Z, Bahar S. Tuberkulosis paru. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I , Simadibrata KM, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II, Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI , 2006: 998-1005, 1045-9. 3.NN. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. 27 Juli 2009. Available from http://www.tbindonesia.or.id/pdf/BPN_2007.pdf 4.Chandra P, Evelyn P. Tuberculosis. 22 Juli 2009. Available from http:// www.en.wikipedia.org/wiki/Tuberculosis 5.Roebiono PS. Tuberkulosis Merupakan Penyakit Infeksi Yang Masih Merupakan Masalah Dalam Masyarakat. 17 Juli 2009. Available from http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-hiswani6.pdf 6.Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia, Jakarta : Indah Offset Citra Grafika, 2006. 7.Djohan PA. Epidemiologi TBC di Indonesia. 22 Juli 2009. Available from http:// www.tbcindonesia_Or_Id.html 8.Aditama, T.Y. Tuberkulosis Diagnosis, Terapi & Masalahnya. Edisi IV. Jakarta : Ikatan Dokter Indonesia (IDI), 2002. 9.Zevitz EM. Monitoring for During Antituberculosis Treatment. 25 Juli 2009. Available From: www.chp.gov.hk/files/pdf/grp-monitoring-for-hepatotoxicit-duringantituberculosis-0treatm-en-2004052100.pdf

10.Kabo

P.

Pengobatan

TBC.

17

Juli

2009.

Available

from

http://www.medicastore.com/med/index.php

69

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

11.Suryono F. Penanggulangan TBC dengan Strategi DOTS. 25 Juli 2009. Available from http://www.fajar.co.id/news.php?newsid=18668 12.Wallace RJ,Griffith DE. Antimycobacterial Agents. In : Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E,Hauser SL, Jameson JL. Harrison's Principles of Internal Medicine. Volume I. 16th Edition. McGraw-Hill. New York. 2005 : 946-53. 13.Mansjoer.A, dkk. Tuberkulosis Paru. Dalam : Kapita selekta kedokteran, cetakan ke-7, Jakarta : Media Aesculapius, 2005 : 427-476.

70

You might also like