You are on page 1of 7

HABIS MASA SEWA RUMAH TERNYATA PENYEWA MENOLAK HENGKANG, HARUSKAH MENGGUGAT KE PENGADILAN?

A. Pendahuluan Hubungan sewa menyewa merupakan suatu hubungan yang biasa / wajar dalam suatu masyarakat, termasuk masyarkat Indonesia. Hubungan sewa-menyewa tersebut dapat terjadi karena adanya salah satu pihak yang mempunyai rumah yang tidak sedang digunakan, sedangkan di sisi lain adanya pihak yang hendak (butuh) menempati suatu rumah namun belum mampu membeli atau merasa lebih praktis apabila menyewa saja rumah yang sudah ada. Hubungan sewa-menyewa dari segi hukum merupakan suatu perjanjian sewa menyewa, yang pengaturannya terdapat dalam Buku Ketiga Bab Ketujuh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).1 Salah satu masalah yang dapat terjadi dalam hubungan hukum perjanjian sewa menyewa adalah apabila pemilik rumah tidak hendak untuk menyewakan lagi, sementara si penyewa memaksakan kehendak untuk tetap tinggal, atau telah habisnya masa sewa namun si penyewa menolak untuk meninggalkan rumah sewa. Dari segi hukum, perbuatan penyewa yang menolak untuk meninggalkan rumah sewa setelah berakhirnya masa sewa merupakan wanprestasi atas perjanjian sewa menyewa, dan atas wanprestasi tersebut biasanya upaya hukum yang dapat ditempuh ialah dengan mengajukan gugatan perdata wanprestasi ke Pengadilan Negeri. Namun hal ini tentunya akan membutuhkan biaya yang banyak s?erta waktu yang lama bagi pemilik rumah, padahal uang sewa tersebut belum tentu besar. Sementara apabila si pemilik rumah mengusir penyewa secara paksa dengan caranya sendiri, hal jelas merupakan suatu cara main hakim sendiri (eigenrechting) yang berlawanan dengan hukum, sehingga si pemilik rumah dapat saja digugat ke Pengadilan Negeri dengan gugatan perdata melawan hukum. Terkait dengan permasalahan bagi pemilik rumah yang menyewakan rumahnya, dan kebetulan menghadapi penyewa yang beritikad buruk sebagaimana diatas, tulisan ini hendak mengulas, adakah upaya hukum yang lebih murah dan praktis yang dapat dilakukan oleh pemilik rumah? B. Perjanjian Sewa Sebagai Dasar Hukum Hubungan Sewa Menyewa. Menurut Pasal 1233 KUHPerdata, perjanjian merupakan salah satu sumber yang bisa menimbulkan perikatan.2 Sedangkan pengertian perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak untuk menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Agar suatu perjanjian menjadi sempurna melahirkan perikatan, maka perjanjian tersebut haruslah memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian yang dapat ditemui pada Pasal 1320 KUHPerdata yaitu sepakatnya diantara para pihak, kecakapan para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian, suatu objek perjanjian yang jelas (tertentu), kausa yang
1

Prof. R. Subekti, SH. dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta : PT. Pradnya Paramita), h. 381.
2

Ibid,. h.323.

halal dari dibuatnya perjanjian. 3 Perjanjian sewa menyewa untuk sempurna dan mengikatnya secara hukum juga haruslah memenuhi ketentuan dalam Pasal 1320 KUHPerdata tersebut. Mengenai perjanjian sewa menyewa itu sendiri, KUHPerdata secara khusus mengatur pengertian sewa-menyewa dalam Pasal 1548 KUHPerdata sebagai berikut: Pasal 1548 Sewa-menyewa ialah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak lainnya kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya.4 Berdasarkan pengertian yang telah diuraikan di atas, maka perjanjian sewa-menyewa dapat diuraikan unsur-unsurnya menjadi sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. Sewa-menyewa merupakan suatu perjanjian; Adanya janji untuk memberikan kenikmatan dari sesuatu barang; Pemberian kenikmatan tersebut dilakukan untuk suatu waktu tertentu; Adanya pembayaran dengan suatu harga yang disepakati oleh pihak penyewa.

Dari beberapa unsur perjanjian sewa-menyewa di atas, salah satu hal yang cukup penting ialah unsur untuk suatu waktu tertentu. Unsur/hal ini biasanya telah ditentukan sejak awal disepakatinya perjanjian sewa-menyewa antara pihak penyewa dan pihak yang menyewakan barang. Pentingnya hal ini jelas ialah untuk menentukan kapan berakhirnya masa sewa atas barang atau kapan berakhirnya hak si penyewa untuk mendapatkan kenikmatan dari suatu barang sewa tersebut. Dalam perjanjian sewa-menyewa rumah, perihal untuk suatu waktu tertentu juga sangat penting untuk mengetahui kapan semestinya si penyewa memenuhi kewajibannya mengakhiri mendapatkan kenikmatan menempati rumah sewa atau untuk hengkang / meninggalkan rumah sewa. C. Berakhirnya Perjanjian Sewa-Menyewa. Mengenai berakhirnya perjanjian sewa-menyewa, terdapat pula pengaturannya dalam KUHPerdata. Untuk perjanjian sewa-menyewa yang dibuat secara tertulis, berakhirnya perjanjian sewa-menyewa diatur dalam Pasal 1570 KUHPerdata sebagai berikut :

Pasal 1570

Ibid., h.339. Ibid., h.381.

Jika perjanjian sewa dibuat dengan tulisan, maka sewa itu berakhir demi hukum, apabila waktu yang ditentukan telah lampau, tanpa diperlukannya suatu pemberhentian untuk itu.5 Berdasarkan ketentuan di atas, sangat jelas apabila perjanjian sewa-menyewa dibuat secara tertulis, maka sewa tersebut berakhir demi hukum dan tidak diperlukannya suatu pemberhentian. Sedangkan apabila perjanjian sewa-menyewa tersebut tidak dibuat secara tertulis, maka berakhirnya perjanjian sewa-menyewa tersebut diatur pula dalam Pasal 1571 dan Pasal 1572 KUHPerdata sebagai berikut : Pasal 1571 Jika sewa tidak dibuat dengan tulisan, maka sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak lain bahwa ia hendak menghentikan sewanya, dengan mengindahkan tenggang-tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat. Pasal 1572 Jika pihak yang satu telah memberitahukan kepada pihak yang lainnya bahwa ia hendak menghentikan sewanya, maka si penyewa, meskipun ia tetap menikmati barangnya, tidak dapat memajukan tentang adanya suatu penyewaan ulang secara diam-diam.6 Dari ketentuan-ketentuan di atas, dapat diketahui pula, yaitu dalam hal perjanjian sewamenyewa tidak dibuat secara tertulis, maka harus dilakukan dengan pernyataan kehendak, dengan mengindahkan jangka waktu dan kebiasaan-kebiasaan setempat. Dan jika telah diberitahukan secara patut tidak hendak dilakukannya penyewaan ulang, maka walaupun si penyewa tetap menikmati barangnya, maka penikmatan atau penguasaan barang sewa tersebut tidak dapat dijadikannya alasan sebagai penyewaan ulang secara diam-diam. Sedangkan mengenai penyewaan ulang secara diam-diam, hal ini diatur pula dalam KUHPerdata, yang mana dalam Pasal 1573 KUHPerdata tersebut ditentukan apabila masa sewa berdasarkan perjanjian secar tertulis berakhir, namun si penyewa masih menguasai dan dibiarkan saja tetap menguasai barang sewa tersebut, maka secara hukum lahirlah suatu perjanjian sewa-menyewa baru, namun akibat-akibat hukumnya diatur dalam / menurut pada ketentuan mengenai penyewaan secara lisan. Adapun bunyi lengkap Pasal 1573 KUHPerdata adalah sebagai berikut : Pasal 1573 KUHPerdata Jika, setelah berakhirnya suatu penyewaan yang dibuat dengan tulisan, si penyewa tetap menguasai barang yang dan dibiarkan menguasainya, maka terjadilah dengan

Ibid., h.385. Ibid.

itu suatu sewa baru, yang akibat-akibatnya diatur dalam pasal-pasal yang mengenai penyewaan-penyewaan dengan lisan.7 D. Wanprestasi. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, perjanjian sewa-menyewa merupakan suatu perjanjian yang mana satu pihak mengikatkan diri untuk memberikan suatu kenikmatan atas suatu barang (dalam perjanjian sewa rumah tentunya berupa kenikmatan untuk menempati rumah), untuk jangka waktu tertentu dan dengan adanya pembayaran suatu harga tertentu yang disepakati antara si penyewa dengan yang menyewakan barang (rumah) tersebut. Dari pengertian sewa-menyewa ini, tentunya dapat dilihat secara terang, perjanjian sewa menyewa sebenarnya merupakan suatu perjanjian timbal balik antara si penyewa dengan yang menyewakan barang (rumah tersebut). Perikatan yang bersifat timbal balik senantiasa menimbulkan sisi aktif dan sisi pasif. Sisi aktif menimbulkan hak bagi kreditor untuk menuntut pemenuhan prestasi, sedangkan sisi pasif menimbulkan beban kewajiban bagi debitur untuk melaksanakan prestasinya. Pada situasi normal antara prestasi dan kontraprestasi akan saling bertukar, namun pada kondisi tertentu pertukaran prestasi tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga muncul peristiwa yang disebut wanprestasi. Pelanggaran hak-hak kontraktual tersebut menimbulkan kewajiban ganti rugi berdasarkan wanprestasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 1236 KUHPerdata (untuk prestasi memberi sesuatu) dan Pasal 1239 KUHPerdata (untuk prestasi berbuat sesuatu).8 Selanjutnya, terkait dengan wanprestasi tersebut Pasal 1243 KUHPerdata menyatakan, bahwa : Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampauinya. Debitur dinyatakan lalai apabila ; (i) tidak memenuhi prestasi; (ii) terlambat berprestasi; dan (iii) berpretasi tetapi tidak sebagaimana mestinya. Namun demikian, pada umumnya prestasi baru terjadi setelah adanya pernyataan lalai (in mora stelling; ingebereke stelling) dari pihak kreditor kepada debitur. Pernyataan lalai ini pada dasarnya bertujuan menetapkan tenggang waktu (yang wajar) kepada debitur untuk memenuhi prestasinya dengan sanksi tanggung gugat atas kerugian yang dialami kreditor. Menurut undangundang, peringatan (somatie) kreditor mengenai lalainya debitur harus dituangkan dalam bentuk tertulis (vide Pasal 1238 KUHPerdata bevel of sortgelijke akte). Jadi lembaga pernyataan lalai merupakan upaya hukum untuk sampai pada fase debitur dinyatakan wanprestasi.9

Ibid.

Prof.Dr.Agus Yudha Hernoko, SH., MH., Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010), h.260.
9

Ibid., h.261.

Dalam perjanjian sewa-menyewa rumah, apabila si penyewa tidak mau pergi setelah berakhirnya jangka waktu yang disepakati sebelumnya, atau setelah sebelumnya diberitahukan oleh yang menyewakan rumah bahwa ia tidak hendak memberikan perpanjangan sewa, maka perbuatan si penyewa yang tidak mau pergi (tidak mau meninggalkan rumah sewa) merupakan suatu bentuk wanprestasi berdasarkan Pasal 1239 sehingga dapat dituntut untuk memberikan penggantian biaya, rugi, dan bunga, tentunya setelah dilakukannya pengiriman peringatan (somasi) berdasarkan Pasal 1238 KUHPerdata. Setalah selesai dilakukannya peringatan (somasi) kepada si penyewa tersebut, dan ternyata si penyewa tersebut masih tetap menolak meninggalkan rumah sewa, maka upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang menyewakan (biasanya pemilik rumah sewa) ialah dengan menggugat secara perdata melalui Pengadilan Negeri setempat dengan dasar wanprestasi. Upaya hukum perdata dengan prosedur di atas tentunya akan memakan waktu yang cukup lama, karena dimulai sejak diberikannya peringatan (somasi) sampai dengan diajukannya gugatan perdata ke Pengadilan Negeri setempat. Apabila si penyewa mengajukan upaya hukum banding dan kasasi, maka akan bertambah lama yang berarti akan semakin bertambah pula biaya yang harus ditanggung. Karena lamanya dan besarnya biaya yang harus ditanggung itulah, pada akhirnya membuat pihak yang menyewakan (pemilim rumah) seringkali mencari alternatif yang mudah, cepat dan efisien untuk mengosongkan rumah miliknya tersebut. E. Pengusiran Paksa Secara Langsung Merupakan Perbuatan Melawan Hukum. Sebagaimana telah diterangkan di atas, lamanya prosedur dan besarnya biaya yang harus ditanggung untuk mengosongkan penyewa yang wanprestasi memaksa pemilik rumah yang menyewakan harus mencari alternatif pengosongan rumah yang mudah, murah, dan efisien tanpa harus melalui Pengadilan. Alternatif yang seringkali dipikirkan adalah pengusiran secara paksa dengan kekuatan (kekerasan) yang dilakukan oleh pemilik rumah. Namun, dari segi hukum hal ini sangat beresiko bagi pemilik rumah untuk dituntut balik, baik secara perdata maupun secara pidana. Apabila pengusiran dan pengosongan secara paksa tersebut dilakukan dengan kekerasan, maka apabila si penyewa menjadi korban tindak kekerasan yang dilakukan oleh pemilik rumah maupun orang-orang suruhan pemilik rumah, maka si pemilik rumah dan orangorang suruhannya dapat dilaporkan kepada Pihak Kepolisian dengan Pasal 351 KUHPidana. Sedangkan dari sudut padang hukum perdata, pemilik rumah dan orang-orang suruhannya yang melakukan pengusiran dan pengosongan paksa dengan kekerasan dan penganiayaan dapat dituntut (digugat) pula secara perdata melalui Pengadilan Negeri berdasarkan pasal 1365 jo. 1367 KUHPerdata. F. Penertiban Melalui Aparat Yang Berwenang. 5

Sebenarnya, pelaksanaan pengosongan dan pengusiran si penyewa yang beritikad buruk dapat terlaksana dengan cepat dan efisien, tanpa berlama-lama melalui gugatan perdata di Pengadilan Negeri namun juga tanpa menggunakan kekuatan (kekerasan) secara tidak sah dan melawan hukum. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh si pemilik rumah untuk menghadapi penyewa yang beritikad buruk ialah dengan meminta dilakukannya penertiban (pengusiran dan pengosongan paksa) kepada aparat pemerintah yang berwenang (baik kepolisian maupun satual polisi pamong praja). Hal ini dimungkinkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan Dan Permukiman (UU Perumahan Dan Permukiman), khususnya pada Pasal 12 ayat (5) yang berbunyi sebagai berikut : Pasal 12 (5) Dalam hal penyewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak bersedia meninggalkan rumah yang disewa sesuai dengan batas waktu yang disepakati dalam perjanjian tertulis, penghunian dinyatakan tidak sah atau tanpa hak dan pemilik rumah dapat meminta bantuan instansi Pemerintah yang berwenang untuk menertibkannya. Sedangkan penjelasan ketentuan di atas ialah sebagai berikut : Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin ketertiban dalam pemanfaatan rumah dan mempercepat pengosongan rumah sewa yang dihuni tanpa hak agar pemilik rumah terlindungi haknya. Hal tersebut akan menciptakan iklim yang dapat mendorong masyarakat untuk membangun rumah sewa Berdasarkan ketentuan di atas, sebenarnya telah jelas untuk dapat mengosongkan rumah sewa dari penyewa yang beritikad buruk, dapat saja dilakukan dengan cepat tanpa penggunaan kekerasan yang melawan hukum, yaitu dengan bantuan aparat pemerintah yang berwenang. Bahkan, tidak hanya pengusiran secara langsung, penyewa yang beritikad buruk juga dapat dilaporkan kepada pihak kepolisian karena menempati rumah tanpa persetujuan atau izin pemilik, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (1) jo Pasal 36 ayat (4) UU Perumahan Dan Permukiman yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 12 (1) Penghunian rumah oleh bukan pemilik hanya sah apabila ada persetujuan atau izin pemilik. Pasal 36 (4) Setiap orang atau badan dengan sengaja melanggar ketentuan dalam Pasal 12 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) 6

Kesimpulan Berdasarkan pembahasan di atas, dapat kita simpulkan perbuatan penyewa yang beritikad buruk dengan tidak kunjung meninggalkan rumah sewa yang telah habis masa sewanya merupakan suatu perbuatan wanprestasi. Dengan mengajukan gugatan wanprestasi melalui Pengadilan Negeri akan memakan waktu lama dan biaya yang besar, namun jangan sampai pula pemilik rumah melakukan perbuatan yang melawan hukum untuk mengosongkan rumah dan mengusir penyewa yang beritikad buruk tersebut. Upaya hukum yang tersedia bagi pemilik rumah untuk menghadapi penyewa rumah yang beritikad buruk tersebut dengan cepat tanpa proses peradilan perdata, namun tanpa perlu melawan hukum dan main hakim sendiri (eigenrecting) ialah dengan menggunakan haknya meminta aparat pemerintah yang berwenang (Polri dan/atau Satpol PP) melakukan penertiban kepada penyewa yang beritikad buruk tersebut.

You might also like