You are on page 1of 4

KASUS LEGAL ETIS

makalah diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sistem Integumen Program studi S1 Keperawatan

Oleh
Darsep Justerna Florentina Dian Maharina Gregoriana Buke Bataona Hidayati Maria Gabriela Marta Oktavianus Supriadi Tiana Sari Rahmatiar

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SANTO BORROMEUS BANDUNG 2011

Kasus Legal Etis


Seorang pria 32 tahun dari kelompok sosio-ekonomi yang rendah dirujuk ke klinik rawat jalan kulit. Ada pertumbuhan besar di wajahnya dengan lubang di pusatnya didiagnosis sebagai infeksi virus cacar bernama moluskum kontagiosum. Mengingat presentasi klinis dan pekerjaannya (sopir truk), suatu lembaga HIV bernama ELISA mengatakan bahwa ia mendererita HIV tetapi pasien membatah karena ia tidak punya sejarah seks di luar nikah.

dalam hal ini, istrinya mengatakan ia telah dites HIV positif di Mumbai. Dia mengetahui bahwa suaminya sudah pernah melakukan seks pranikah, tetapi ia tidak terlalu khawatir karena ia tampaknya setia pernikahan setelah itu. Mereka memiliki seorang putra lima tahun yang telah berulang kali jatuh sakit.Ibu dan anaknya tidak menyadari status HIV mereka. Keluarga tidak menyadari implikasi HIV. Pria itu telah pergi dari satu tempat ke tempat yang lain di Mumbai mencoba segala macam obat untuk 'menyembuhkan' dirinya dan sampai pada ia tidak mampu lagi baik secara finansial dan emosional. Satu-satunya kekhawatirannya adalah untuk mengetahui apakah kondisinya terminal dan apa yang bisa dia lakukan untuk keluarganya agar ia tetap dicintai. Dia tidak menyadari keseriusan kondisinya.

Ibu dan anak itu diuji setelah ekstensif pra-tes konseling, dan ditemukan bahwa mereka juga mengidap HIV.

Pertanyaan etik lebih lanjut muncul: 1. Apakah itu tepat untuk melakukan tes HIV pada pasien itu tanpa terlebih dahulu mendidik dia? Jawab: Menurut kelompok kami , hal tersebut tidak tepat. Sebaiknya, sebelum melakukan tes HIV , kita sebagai petugas medis, memberikan pendidikan terlebih dahulu mengenai HIV itu sendiri. Agar pasien dapat mengerti dan dapat mencari solusi yang baik untuk pasien. Dan selanjutnya, keputusannya kembali ke pasien itu, akan melakukan tes atau tidak. Dan kalau terbukti positif, pasien dapat menerimanya dengan sikap yang positif.

2. Mengingat biaya obat anti-retroviral , apa yang bisa ditawarkan pada pasien setelah diagnosis? Jawab: Mengingat biaya obatnya mahal, kita sebagai tim medis menjelaskan kepada pasien manfaat dari obat itu, bukan menyembuhkan, tapi hanya mencegah penyebaran virus HIV. Karena belum ditemukan obat untuk menyembuhkan HIV. Dan biaya obat itu mahal, dan obat itu akan digunakan seumur hidup. Selanjutnya, kita kembalikan pada pasien, bagaimana keputusannya.

3. Berapa banyak dermatologis atau bahkan dokter di bidang lain dapat dengan jujur mengatakan bahwa kami merekomendasikan tes HIV setelah konseling yang memadai pre-test dan berapa banyak yang dapat mengklaim telah memainkan peran dalam menyampaikan pendidikan kesehatan publik terhadap HIV? Jawab: Menurut kelompok kami, kita harus mengatakan sejujurnya pada pasien bahwa ia positif HIV, karena pasien mempunyai hak untuk mengetahui penyakit apa yang dideritanya. Dan kita juga harus mencegah agar tidak terjadi mata rantai pembunuhan karena HIV yang dapat ditularkan pasien kepada orang lain karena ketidaktahuannya akan penyakit itu.

4. Apakah kita tidak etis diwajibkan untuk melakukannya mengingat bahwa pencegahan adalah satu-satunya pilihan kami pada saat ini? Jawab: Menurut kelompok kami, justru ini sangat etis. Karena ini merupakan kewajiban kita untuk memberitahukan dan hak pasien untuk mengetahuinya.

DAFTAR PUSTAKA
http://www.issuesinmedicalethics.org/084lt118.html

You might also like