You are on page 1of 18

DETEKSI DINI PADA PERKEMBANGAN MORAL

Minat psikologi pada perkembangan moral awalnya dipusatkan pada disiplin yaitu jenis disiplin yang terbaik untuk mendidik anak menjadi individu yang mematuhi hukum, dan pengaruh disiplin tersebut terhadap penyesuaian pribadi dan sosial. Secara bertahap minat psikologi begeser ke arah perkembangan moral ke pola yang normal untuk aspek perkembangan ini dan usia seorang anak dapat diharapkan bersikap sesuai dengan cara yang disetujui masyarakat. A. Perilaku Moral & Perkembangan Moral Perilaku moral berarti perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial. Moral berasal dari kata Latin mores, yang berarti tatacara, kebiasaan, dan adat. Perilaku moral dikendalikan konsep-konsep moralperaturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya dan yang menentukan pola perilaku yang diharapkan dari seluruh anggota kelompok (Hurlock, 1978). Perkembangan moral berkaitan dengan aturan dan konvensi tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain (Santrock, 1995). Anak-anak tidak dapat diharapkan untuk mengetahui seluruh kebiasaan kelompok, ataupun untuk berperilaku menurut cara yang benar-benar dikatakan bermoral. Meskipun demikian, pada waktu anak mencapai masa remaja, anggota kelompok sosial mengharapkan mereka bersikap sesuai dengan kebiasaan kelompok. Bila mereka gagal melakukannya, hal ini umumnya disebabkan mereka tidak ingin melakukannya dan bukannya karena mereka tidak mengetahui apa yang diharapkan kelompok. Perkembangan moral mempunyai aspek kecerdasan dan aspek impulsif. Anak harus belajar apa saja yang benar dan yang salah. Selanjutnya, segera setelah mereka cukup besar, mereka harus diberi penjelasan mengapa itu benar dan itu salah. Mereka juga harus mempunyai kesempatan untuk mengambil bagian dalam kegiatan kelompok sehingga mereka dapat belajar mengenai harapan kelompok. Lebih penting lagi, mereka harus mengembangkan keinginan untuk melakukan hal yang benar, bertindak untuk kebaikan bersama dan menghindari yang salah. Ini dapat dicapai dengan hasil dengan hasil yang paling

baik melalui pengaitan reaksi menyenangkan dengan hal yang benar dan reaksi yang tidak menyenangkan dengan hal yang salah. Untuk menjamin kemauan agar bertindak sesuai dengan cara yang diinginkan masyarakat, anak harus menerima persetujuan kelompok. Bagaimana Moralitas Dipelajari Belajar berperilaku dengan cara yang disetujui masyarakat merupakan proses yang panjang dan lama yang terus berlanjut hingga masa remaja. Pelajaran ini merupakan salah satu tugas perkembangan yang penting di masa kanak-kanak. Sebelum masa kanak-kanak berakhir, anak diharapkan mengembangkan skala nilai dan hati nurani untuk membimbing mereka bila harus mengambil keputusan moral. Dalam mempelajari sikap moral, terdapat empat pokok utama, yaitu: pokok pertama yang penting dalam mempelajari moral adalah belajar apa yang diharapkan kelompok dari anggotanya. Harapan tersebut diperinci bagi seluruh anggota kelompok dalam bentuk hukum, kebiasaan dan peraturan. Dalam kelompok sosial, tindakan tertentu dianggap benar atau salah karena tindakan itu dianggap menunjang atau tidak menunjang dalam kelompok tersebut. Kebiasaan yang paling penting dibakukan menjadi peraturan hukum, dengan hukuman tertentu bagi yang melanggarnya. Anak kecil tidak dituntut tunduk pada hukum dan kebiasaan seperti dituntut pada anak yang lebih besar. Tetapi setelah mereka mencapai usia sekolah, mereka secara bertahap diajari hukum yang berlaku misalnya, tidak mengambil sesuatu atau bahkan memegang-megangnya tanpa sepengetahuan dan izin si pemilik. Secara bertahap anak belajar peraturan yang ditentukan berbagai kelompok, yaitu kelompok tempat mereka mengidentifikasi diri. Ini membentuk dasar pengetahuan mereka tentang harapan berbagai kelompok. Mereka juga belajar bahwa mereka diharapkan untuk mematuhi peraturan ini dan kegagalan dalam melakukannya akan mendatangkan hukuman atau berkurangnya penerimaan sosial. Jadi, peraturan berfungsi sebagai pedoman perilaku anak dan sebagai sumber motivasi untuk bertindak sesuai dengan harapan sosial, sebagaimana hukum dan kebiasaan menjadi pedoman dan sumber motivasi bagi anak remaja dan orang dewasa. Pokok kedua adalah pengembangan hati nurani sebagai kendali internal bagi perilaku individu. Hati nurani dapat diterangkan sebagai tanggapan

terkondisikan terhadap kecemasan mengenai beberapa situasi dan tindakan tertentu, yang telah dikembangkan dengan mengasosiasikan tindakan agresif dengan hukum. Dengan kata lain, hati nurani merupakan standar internal yang mengendalikan perilaku individu. Membentuk standar ini terlalu rumit bagi anak kecil. Akibatnya perilaku mereka, terutama harus dikendalikan oleh batas-batas yang ditentukan oleh lingkungan. Tetapi terdapat pergeseran bertahap dari kendali lingkungan ke kendali internal. Pada waktu anak mendekati masa remaja, polisi internal harus mengambil alih sebagian besar pengendalian perilaku anak pada waktu anak dewasa di depan hukum, peralihan mestinya telah tuntas, tetapi hal tersebut tidak selalu terjadi demikian. Pokok ketiga adalah pengembangan perasaan bersalah dan rasa malu. Rasa bersalah dijelaskan sebagai bentuk evaluasi diri khusus yang negatif yang terjadi bila seorang individu mengakui bahwa perilakunya berbeda dengan nilai moral yang dirasakannya wajib untuk dipenuhi. Terdapat empat kondisi yang harus terpenuhi sebelum rasa bersalah dialami, yaitu: (a) anak-anak harus menerima standar tertentu mengenai hal yang benar dan salah atau yang baik atau buruk sebagai standar mereka; (b) mereka harus menerima kewajiban mengatur perilaku mereka agar sesuai dengan standar yang telah mereka terima; (c) mereka harus merasa bertanggung jawab atas setiap penyelewengan dari standar tersebut dan mengaku bahwa mereka, dan bukan orang lain yang harus disalahkan; dan (d) mereka harus memiliki kemampuan mengkritik diri yang cukup besar untuk menyadari bahwa suatu ketidaksesuaian antara perilaku mereka dengan standar internal perilaku telah terjadi (Hurlock, 1978). Rasa terhadap malu dirinya. diidentifikasikan Penilaian ini, sebagai yang reaksi emosional tentu yang tidak ada, menyenangkan yang timbul pada seseorang akibat adanya penilaian negatif belum benar-benar mengakibatkan rasa rendah diri terhadap kelompoknya. Rasa bersalah merupakan salah satu mekanisme psikologis yang paling penting dalam proses sosialisasi. Rasa bersalah merupakan penjaga yang paling efisien di dalam diri tiap individu, dan bertugas menjaga keselarasan perilaku individu dengan nilai moral masyarakatnya. Bila anak tidak merasa bersalah, ia tidak akan merasa terdorong untuk belajar apa yang diharapkan kelompok sosialnya atau untuk menyesuaikan perilakunya dengan harapan tersebut. Pokok keempat adalah mempunyai kesempatan melakukan interaksi dengan anggota kelompok sosial. Interaksi sosial memegang peran penting dalam

perkembangan moral; (i) dengan memberi standar perilaku yang disetujui kelompok sosialnya, dan (ii) dengan memberi mereka sumber motivasi untuk mengikuti standar tersebut melalui persetujuan dan ketidaksesuaian sosial. Tanpa interaksi dengan orang lain, anak tidak akan mengetahui perilaku yang disetujui secara sosial, maupun memiliki sumber motivasi yang mendorongnya untuk tidak berbuat sesuka hatinya. Melalui interaksi sosial, anak tidak saja mempunyai kesempatan untuk belajar kode moral, tetapi mereka juga mendapat kesempatan untuk belajar bagaimana orang lain mengevaluasi perilaku mereka. Jika evaluasinya menguntungkan, hal ini akan akan memberi anak motivasi kuat untuk menyesuaikan dengan standar moral yang telah membawa evaluasi sosial yang menguntungkan, hal ini akan memberi anak motivasi kuat untuk menyesuaikan dengan standar moral yang telah membawa evaluasi sosial yang menguntungkan itu. Sebaliknya bila evaluasinya merugikan, anak akan mengubah standar moralnya dan menerima standar yang menjamin persetujuan dan penerimaan yang diharapkannya. Pola Perkembangan Moral TAHAPAN PIAGET DALAM PERKEMBANGAN MORAL Piaget menyimpulkan bahwa anak-anak berpikir dengan dua cara yang jelas-jelas berbeda tentang moralitas, bergantung pada kedewasaan perkembangan mereka (Santrock, 1995). Heteronomous morality ialah tahap pertama perkembangan moral yang terjadi kira-kira pada usia 4 hingga 7 tahun. Keadilan dan aturan dibayangkan sebagai sifat-sifat dunia yang tidak boleh berubah, yang lepas dari kendali manusia. Autonomous morality ialah tahap kedua perkembangan moral kedua yang diperlihatkan oleh anak-anak yang lebih tua (sekitar 10 tahun lebih). Anak menjadi sadar bahwa aturan-aturan dan hukum-hukum diciptakan oleh manusia dan dalam menilai suatu tindakan, seseorang harus mempertimbangkan maksud-maksud pelaku dan juga akibat-akibatnya. Anak-anak berusia 7 hingga 10 tahun berada di dalam suatu transisi di antara dua tahap, menunjukkan beberapa ciri keduanya. Pemikir heteronomous yakin bahwa aturan tidak boleh diubah atau digugurkan oleh semua otoritas yang berkuasa. Ketika Piaget menyarankan bahwa aturan baru harus diperkenalkan ke dalam permainan kelereng, anak-anak

kecil menolak. Mereka bersikeras bahwa aturan-aturan harus selalu sama dan tidak boleh diubah. Sebaliknya, anak-anak yang lebih tuayang sudah mengembangkan pemikiran autonomousmenerima perubahan dan mengakui bahwa aturan hanyalah masalah keamanan, perjanjian-perjanjian yang sudah disetujui secara sosial, tunduk pada perubahan menurut kesepakatan. Pemikir heteronomous juga yakin akan keadilan yang immanen (immanent justice), yakni konsep bahwa bila suatu aturan dilanggar, hukuman akan dikenakan segera. Pemikir autonomous menyadari bahwa hukuman ditengahi secara sosial dan hanya terjadi bila seseorang yang relevan menyaksikan kesalahan dan bahwa hukuman juga tidak terelakkan. TEORI KOHLBERG Kohlberg menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap. Berdasarkan penalaranpenalaran yang diberikan oleh responden dalam merespon dilemma moral. Kohlberg membagi tiga tingkatan perkembangan moral, yang masing-masing ditandai oleh dua tahap. Konsep dalam teori Kohlberg adalah internalisasi, yaitu perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal. Tingkat satu : Penalaran Prakonvensional Penalaran Prakonvensional, adalah tingkat yang paling rendah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral-penalaran moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman eksternal. Tahap I.Orientasi hukuman dan ketaatan. Pada tahap ini, penalaran moral didasarkan atas hukuman. Anak-anak taat karena orang dewasa menuntut mereka untuk taat. Tahap 2. individualisme dan tujuan. Pada tahap ini, penalaran moral didasarkan atas imbalan (hadiah) dan kepentingan sendiri. Anak-anak taat bila mereka ingin taat dan bila yang paling baik untuk kepentingan terbaik adalah taat. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan apa yang dianggap menghasilkan hadiah.

Tingkat dua : penalaran konvensional Penalaran konvensional. Pada tingkat ini, internalisasi individu ialah menengah. Seseorang menaati standar-standar (internal) tertentu, tetapi mereka tidak menaati standar-standar orang lain (eksternal), seperti orang tua atau aturanaturan masyarakat. Tahap 3. norma-norma interpersonal. Pada tahap ini, seseorang menghargai kebenaran, kepedulian, dan kesetiaan kepada oarng lain sebagai landasan pertimbangan moral. Anak-anak mengadopsi standar-standar moral orang tuanya, sambil mengharapkan penghargaan dari orang tuanya sebagai seorang perempuan yang baik atau seorang laki-laki yang baik. Tahap 4. moralitas system social. Pada tahap ini, pertimbangan-pertimbangan didasarkan atas pemahaman aturan social, hukum-hukum, keadilan, dan kewajiban. Tingkat tiga : penalaran pascakonvensional Pemikiran pascakonvensional. Pada tingkat ini, moralitas benar-benar diinternalisasi dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain. Seseorang mengenal tindakan-tindakan moral alternative, menjajaki pilihan-pilihan, dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode moral pribadi. Tahap 5. hak-hak masyarakat versus hak0hak individual. Pada tahap ini, seseorang memahami bahwa nilai-nilai dan aturan-aturan adalah bersifat relative dan bahwa standar dapat berbeda dari satu orang ke orang lain. Seseorang menyadari bahwa hukum penting bagi masyarakat, tetapi juga mengetahui bahwa hukum dapat diubah. Seseorang percaya bahwa beberapa nilai, seperti kebebasan, lebih penting daripada hukum. Tahap 6. prinsip-prinsip etis universal. Pada tahap ini, seseorang telah mengembangkan suatu standar moral yang didasarkan pada hak-hak manusia yang universal. Bila menghadapi konflik antara hukum dan suara hati, seseorang akan mengikuti suara hati, walaupun keputusan itu mungkin melibatkan resiko pribadi. Ketiga tingkat dan keenam tahapan tersebut terjadi dalam suatu urutan dan berkaitan dengan usia : sebelum usia 9 tahun, kebanyakan anak-anak berpikir tentang dilemma moral dengan cara yang prakonvensional: pada awal

masa remaja, mereka berpikir dengan cara-cara yang lebih konvensional: dan pada awal masa dewasa, sejumlah kecil orang berpikir dengan car-cara yang pasca-konvensional. Pada suatu investigasi longitudinal 20 tahun, penggunaan tahap 1 dan tahap 2 berkurang. Tahap 4, yang tidak muncul sama sekali dalam penalaran moral anak berusia 10 tahun, tercermin dalam 62 persen penalaran moral berusia 36 tahun. Tahap 5 tidak muncul sampai usia 20 hingga 22 tahun dan tidak pernah dialami lebih dari 10 persen individu. GILLIGANS ETHIC OF CARING Suatu penemuan mengindikasikan bahwa tidaklah bersifat universal, namun diaplikasikan utamanya dalam wilayah tradisi agama dan filosofi Barat. Carol Gilligan mengajukan suatu teori untuk menjawab masalah ini (Kayle, -). Teori yang diajukannya membagi tahapan perkembangan dimana individu memperoleh pemahaman yang lebih mengenai kasih sayang dan tanggung jawab. Pada tahap pertama, anak hanya memperhatikan kebutuhan mereka. Pada tahap kedua, anak mulai peduli terhadap orang lain, khususnya bagi mereka yang tidak atau kurang mampu mengurus diri mereka sendiri seperti bayi dan orang yang sudah tua. Tahap ketiga merupakan penggabungan antara peduli terhadap orang lain dengan diri sendiri dengan menekankan kasih sayang dalam seluruh hubungan manusia. Seperti Kohlberg, Gilligan juga percaya bahwa pemikiran moral meningkat secara kualitatif seiring dengan perkembangan individu, menunjukkan kemajuan melalui sejumlah tahap yang berbeda. Namun, Gilligan lebih menekankan pada kasih sayang (membantu orang lain) dibandingkan dengan keadilan (memperlakukan orang secara adil). Mengapa keadilan dan kasih sayang merupakan hal yang pending dalam perilaku dan pemikiran moral seseorang? Smetana (Kayle, -) menjawab melalui penelitiannya bahwa, baik pria maupun wanita sering memikirkan isu moral dalam bentuk kasih sayang dan hubungan interpersonal. Keadilan dan kasih sayang dapat menjadi dasar bagi seseorang dalam pemikiran moral. EISENBERGS LEVELS OF PROSOCIAL REASONING Nancy Eisenberg (Kayle, -) meyakini bahwa, dalam kehidupan nyata ehampir semua anak menghadapi dilema moral antara kebutuhan diri dengan membantu

orang lain. Eisenberg berfokus pada bagaimana anak menjelaskan pilihannya. Hampir sebagaian besar murid pra-sekolah dan banyak anak sekolah dasar memiliki hedonistic orientation; mereka menekankan pada kepuasan mereka sendiri. Anak seperti ini akan menolong anak yang terluka karena mereka berharap bahwa suatu saat nanti mereka juga akan ditolong, atau karena mereka akan mendapatkan imbalan. Dalam kasus lain, kebutuhan diri juga merupakan dasar dalam keputusan mereka. Beberapa murid pra-sekolah dan banyak anak sekolah dasar memiliki needsoriented orientation; mereka peduli terhadap kebutuhan orang lain dan ingin menolong. Anak pada tahap ini telah mempelajari aturan sederhana, yaitu menolong orang. Mereka bahkan seringkali mengatakan langsung keinginan mereka untuk membantu, Dia membutuhkan bantuan saya. Keinginan mereka tidak didasarkan pada bagaimana perasaan orang lain yang terluka atau pada kode moral personal. Tahap berikutnya adalah stereotyped, approval-focused orientation, bertindak karena berpikir bahwa masyarakat mengharapkan orang baik untuk bertindak. Tahap yang terakhir adalah emphatic orientation; mempertimbangkan untuk menolong orang lain melalui perspektif orang tersebut. Orang dengan orientasi ini akan berkata Dia akan terluka, sehingga saya akan merasa buruk bila tidak membantunya. B. Kontrol Diri Kontrol diri adalah salah satu dari langkah pertama dalam perilaku moral, karena anak harus belajar bahwa mereka tidak dapat terus-menerus melakukan apa saja yang mereka inginkan. Masyarakat memiliki aturan terhadap perilaku dalam berbagai situasi dan anak harus belajar untuk menahan diri mereka. Kontrol diri merupakan kemampuan untuk bangkit dengan segera menghadapi tekanan dan tidak menyerah terhadap impuls yang ada (Kayle, -). Claire Kopp (Kayle, -) percaya bahwa kontrol diri berkembang dalam tiga fase, yaitu: Pada saat sekitar tahun pertama setelah kelahiran, bayi mulai menyadari bahwa orang lain menunjukkan tuntutan pada mereka dan mereka harus bertindak dengan tepat. Mereka belajar bahwa mereka tidak sepenuhnya bebas untuk melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan mereka; bahkan, orang lain membatasi mereka. Batasan ini merefleksikan baik

perhatian terhadap keamanan mereka (Jangan sentuh! Itu panas!) dan juga merupakan usaha awal bersosialisasi (Jangan ambil mainan Hiri). Sekitar 2 tahun, anak telah menginternalisasi beberapa kontrol yang diajukan oleh orang lain dan sudah mampu dalam beberapa bentuk kontrol diri ketika orang tua tidak hadir di sekitarnya. Sekitar 3 tahun, anak mulai mampu dalam mengatur diri yang melibatkan proses kontrol yang adaptif dan fleksibel serta dapat segera memenuhi tuntutan perubahan situasional. Anak dapat mencari jalan untuk menyalurkan perilaku mereka. Dalam berbagai usia, setiap individu memiliki kontrol diri yang berbeda satu sama lainnya. Pada kenyataannya, individu memiliki kemampuan yang berbeda dalam menahan godaan, dan karakteristik ini biasanya stabil sepanjang waktu. Keluarga dan temperamen sangat mempengaruhi perkembangan kontrol diri seorang anak. Penggunaan aturan dalam keluarga, bentuk disiplin, pemberian hukuman dan lainnya, mengarahkan anak dalam membangun kontrol dirinya. Anak mengidentifikasi perlakuan maupun tuntutan yang diberikan oleh orang tuanya. Tuntutan yang terus diajukan akan membentuk kontrol diri dalam anak terhadap perilakunya yang berhubungan dengan tuntutan tersebut. Bandura dan Mischel (Kayle, -) dengan teori belajar sosialnya menjelaskan mengenai hal tersebut, bahwa yang membentuk kontrol diri dalam si anak adalah kontrol diri si model. Anak bisa menahan diri terhadap impuls tertentu, apabila model yang dilihatnya juga menunjukkan atau mengajarkan hal tersebut. Memiliki seseorang model untuk identifikasi diri akan mengisi kesenjangan dan memberi pegangan yang diperlukan bagi perkembangan perilaku moral. Hal ini sangat mudah dilakukan terlebih lagi dalam setting orang tua dan anak. Selain keluarga, temperamen juga sangat mempengaruhi kontrol diri anak. Anak yang emosional cenderung kurang mampu mengontrol diri mereka sendiri (Kayle, -). Temperamen mempengaruhi bagaimana anak merespon terhadap usaha orang tua mereka dalam mengajarkan kontrol diri. Aspek temperamen paling penting dalam kontrol diri anak adalah kecemasan dan ketakutan. Beberapa anak yang cemas dan takut akan menjadi tegang ketika menyadari adanya kemungkinan kesalahan yang terjadi. Karena itu, bentuk didikan orang tua sangat mempengaruhi perilaku kontrol diri anak. C. Disiplin

Disiplin merupakan cara masyarakat mengajar anak perilaku moral yang disetujui kelompok (Hurlock, 1978). Tujuan seluruh disiplin adalah membentuk perilaku sedemikian rupa hingga ia akan sesuai dengan peran-peran yang diterapkan kelompok budaya, tempat individu itu diidentifikasikan. Disiplin perlu untuk perkembangan anak, karena memenuhi beberapa kebutuhan tertentu. Dengan demikian disiplin memperbesar kebahagiaan dan penyesuaian pribadi dan sosial anak. Beberapa kebutuhan masa kanak-kanak yang dapat diisi oleh disiplin (Hurlock, 1978), yaitu: Disiplin memberi anak rasa aman dengan memberitahukan apa Dengan membantu anak menghindari perasaan bersalah dan rasa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. malu akibat perilaku yang salah, disiplin memungkinkan anak hidup menurut standar yang disetujui kelompok sosial dan dengan demikian memperoleh persetujuan sosial. Dengan disiplin, anak belajar bersikap menurut cara yang akan mendatangkan pujian yang akan ditafsirkan anak sebagai tanda kasih sayang dan penerimaan. Hal ini esensial bagi penyesuaian yang berhasil dan kebahagiaan. darinya. Disiplin membantu anak mengembangkan hati nurani, pembimbing dalam pengambilan keputusan dan pengendalian perilaku. Unsur-Unsur Disiplin Bila disiplin diharapkan mampu mendidik anak untuk berperilaku sesuai dengan standar yang diterapkan kelompok sosial mereka, ia harus mempunyai 4 unsur pokok, apapun cara mendisiplin yang digunakan (Hurlock, 1978), yaitu; peraturan sebagai pedoman perilaku, konsistensi dalam peraturan tersebut dan dalam cara yang digunakan, hukuman untuk pelanggaran peraturan, dan penghargaan untuk perilaku yang baik yang sejalan dengan peraturan yang berlaku. PERATURAN. Pokok pertama disiplin adalah peraturan. Peraturan, sebagaimana diterangkan sebelumnya, adalah pola yang ditetapkan untuk tingkah laku. Pola tersebut mungkin diterapkan oleh orang tua, guru maupun Disiplin yang sesuai dengan perkembangan berfungsi sebagai motivasi pendorong ego yang mendorong anak mencapai apa yang diharapkan

teman bermain. Tujuannya adalah membekali anak dengan pedoman perilaku yang disetujui dalam situasi tertentu. Peraturan mempunyai dua fungsi yang sangat penting dalam membantu anak menjadi makhluk bermoral. Pertama, peraturan mempunyai nilai pendidikan, sebab peraturan memperkenalkan pada anak perilaku yang disetujui anggota kelompok tersebut. Kedua, peraturan membantu mengekang perilaku yang tidak diinginkan. Agar peraturan dapat memenuhi kedua fungsi penting tersebut, peraturan itu harus dimengerti, diingat dan diterima oleh si anak. Peraturan bertindak sebagai dasar konsep moral yang dapat bertindak sebagai kode moral. Dari peraturan anak belajar apa yang dianggap salah dan benar oleh kelompok sosial. Pertama-tama pengetahuan ini berfungsi sebagai dasar konsep moral spesifik di lingkungan anak berkembang. Berangsurangsur, dengan peningkatan kemampuan kecerdasan anak, mereka mulai melihat unsur serupa dalam berbagai konsep spesifik yang telah mereka pelajari. Konsep inilah yang akan menjadi konsep moral umum atau nilai moral. Semakin serupa peraturan untuk berbagai situasi, semakin mudah bagi anak untuk belajar konsep moral secara umum dan selanjutnya juga kode moral. HUKUMAN. Hukuman memiliki tiga peran penting dalam

perkembangan moral anak. Fungsi pertama adalah menghalangi. Hukuman menghalangi pengulangan tindakan yang tidak diinginkan oleh masyarakat. Fungsi kedua dari hukuman adalah mendidik. Sebelum anak mengerti peraturan, mereka dapat belajar bahwa tindakan tertentu benar dan yang lain salah dengan mendapat hukuman karena melakukan tindakan yang salah dan tidak menerima hukuman bila mereka melakukan tindakan yang diperbolehkan. Aspek edukatif lain dari hukuman yang sering kurang diperhatikan adalah mengajar anak membedakan besar-kecilnya kesalahan yang diperbuat mereka. Kriteria yang diterapkan adalah frekuensi dan beratnya hukuman. Jika hukuman itu konsisten, mereka akan selalu dihukum untuk setiap tindakan yang salah. Beratnya hukuman membuat mereka mampu membedakan kesalahan yang serius dan yang kurang serius. Fungsi hukuman yang ketiga adalah memberi motivasi untuk menghindari perilaku yang tidak diterima masyarakat. Pengetahuan tentang akibat-akibat tindakan

yang salah perlu sebagai motivasi untuk menghindari kesalahan tersebut (Hurlock, 1978). Pokok-pokok hukuman yang baik adalah; (a) hukuman harus disesuaikan dengan pelanggaran, dan harus mengikuti pelanggaran sedini mungkin sehingga anak akan mengasosiasikan keduanya, (b) hukuman yang diberikan harus konsisten sehingga anak itu mengetahui bahwa kapan saja suatu peraturan dilanggar, hukuman itu tidak dapat dihindarkan, (c) apa pun bentuk hukuman yang diberikan, sifatnya harus impersonal sehingga anak itu tidak akan menginterpretasikannya sebagai kejahatan si pemberi hukuman, (d) hukuman harus konstruksif sehingga memberi motivasi untuk yang disetujui secara sosial di masa mendatang, (e) suatu penjelasan mengenai alasan mengapa hukuman diberikan harus menyertai hukuman agar anak itu akan melihatnya sebagai adil dan benar, (f) hukuman harus mengarah ke pembentukan hati nurani untuk menjamin pengendalian perilaku dari dalam di masa mendatang, dan (g) hukuman tidak boleh membuat anak merasa terhina atau menimbulkan rasa permusuhan (Santrock, 1995). PENGHARGAAN. Penghargaan memiliki peranan dalam

membentuk konsep moral dalam diri anak. Penghargaan mempunyai nilai mendidik, juga berfungsi sebagai motivasi untuk mengulangi perilaku yang disetujui secara sosial. Selain itu, penghargaan dapat memperkuat perilaku yang disetujui secara sosial, dan tiadanya penghargaan melemahkan keinginan untuk mengulang perilaku ini. Penghargaan yang paling efektif dan sederhana adalah penerimaan sosial. Dengan meningkatnya usia, penghargaan bertindak sebagai sumber motivasi yang kuat bagi anak untuk melanjutkan usahanya agar berperilaku sesuai dengan harapan. Bila usahanya tidak diperhatikan atau tidak dihargai, mereka mempunyai sedikit motivasi, dan motivasi tersebut dapat terus berkurang apabila yang sering diterimanya adalah kritikan keras maupun perkataan marah dari orang disekitarnya (Lerner& Hultsch, 1983). KONSISTENSI. Konsistensi berarti tingkat keseragaman atau

stabilitas. Konsistensi tidak sama dengan ketetapan, yang berarti tidak adanya perubahan. Sebaliknya, artinya ialah suatu kecenderungan menuju kesamaan. Anak yang mendapat disiplin yang konsisten mempunyai motivasi yang lebih kuat untuk berperilaku menurut standar yang disetujui secara

sosial daripada mereka yang diberikan disiplin secara tidak konsisten. Mereka merasa bahwa berperilaku dengan cara yang disetujui menguntungkan karena penghargaan untuk perilaku yang baik melampaui setiap kesenangan sementara yang dihasilkan oleh perilaku yang salah. D. Bahaya Dalam Perkembangan Moral Kesulitan dalam Belajar Konsep Moral Belajar meresapi nilai-nilai moral kelompok sosial membutuhkan waktu, seperti halnya belajar konsep moral tertentu. Apabila anak mengalami masalah dalam mempelajari konsep moral, maka: 1. Mereka akan bingung mengenai konsep moral itu sendiri dan akan terus mempertanyakan mengenai keadilannya. Bila hal ini terjadi, maka akan melemahkan motivasi anak dalam menerima konsep moral secara seutuhnya. Mereka akan melakukan pemberontakan dan pengingkaran terhadap beberapa konsep moral, hanya karena merasa bahwa konsep moral itu tidak adil bagi mereka atau konsep moral itu dapat mengekang kebebasan mereka. Biasanya keyakinan seperti ini terus berkembang dan mencapai puncaknya ketika anak telah menginjak usia remaja dan membentuk kelompok atau genk sendiri. 2. Keputusan moral anak akan terganggu. Jika misalnya suatu konflik timbul antara satu kelompok sosial dengan kelompok lain, anak-anak harus memutuskan kode moral mana yang harus diikuti dan selanjutnya bersedia untuk menerima hukuman dan penolakan dari kelompok sosial lain yang kodenya telah mereka langgar. Semakin besar kecemasan anak mengenai penerimaan sosial, semakin kuat mereka akan terikat pada kelompok. Untuk mempertahankan status mereka dalam kelompok banyak anak-anak melakukan hal-hal yang diperintakan dalam kelompok, dan seringkali perbuatan tersebut melanggar kode moral kelompok sosial sebenarnya, namun mereka tetap melakukannya karena takut akan kelompoknya sendiri. Apabila anak tidak mendapatkan pengertian sedini mungkin, maka perilaku ini akan terus berkembang dan akan menetap hingga anak dewasa (Hurlock, 1978). Pelanggaran

Masalah yang sering timbul akibat ketidakmampuan anak belajar dengan baik mengenai konsep moral dalam lingkungannya dapat menghasilkan berbagai bentuk pelanggaran. Pelanggaran adalah kenakalan, ketidakpatuhan atau bentuk perilaku buruk yang sengaja dilakukan oleh seseorang, dalam hal ini adalah anak. Kebanyakan anak kecil beranggapan bahwa mereka akan lebih diperhatikan jika mereka berbuat nakal. Oleh sebab itu, mereka seringkali nakal dengan sengaja apabila mereka merasa kurang diperhatikan. Walaupun mereka dihukum, kesenangan yang diperoleh karena menjadi pusat perhatian jauh melebihi tidak enaknya hukuman itu (Lerner & Hultsch, 1983). Bentuk pelanggaran yang umum dilakukan pada masa kanak-kanak, adalah: 1. Berbohong. Anak kecil yang berbohong biasanya tidak bermaksud menipu orang lain, melainkan sedang mengkhayal. Bohong terjadi terkadang karena anak memiliki kebiasaan membesar-besarkan sesuatu, tidak akurat maupun meniru ketidakjujuran orang lain. Kebohongan juga dapat disebabkan oleh hasrat anak anak untuk menghindari hukuman atau ancaman hukuman. Pada anak yang lebih besar berbohong umumnya disebabkan oleh rasa takut akan hukuman terutama hukuman dalam bentuk fisik, ketidaksetujuan ataupun ejekan. Apabila perilaku ini terus dikembangkan oleh si anak, maka anak akan terbiasa berbohong dalam hidupnya dan dapat menimbulkan masalah seperti tindak kriminal. 2. Kecurangan. Kecurangan ini biasanya ditemukan pada anak semua usia di dalam permainan, karena kemenangan mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi. Kecurangan di sekolah umumnya terjadi bila tekanan diletakkan pada peringkat di kelas. 3. Mencuri. Perilaku ini dilakukan oleh anak, apabila anak merasa perbuatannya tersebut tidak akan ditemukan oleh orang lain. Perilaku ini akan bertahan apabila terjadi ketidakkonsistenan dalam pemberian disiplin kepada anak. 4. Merusak. Pada anak kecil, merusak biasanya tidak disengaja, kecuali jika dilakukan sebagai pembalasan. Anak yang lebih besar kurang merusak dibandingkan yang lebih kecil karena mereka merasa takut dihukum. Namun, perilaku ini sering muncul apabila anak tidak mampu mempelajari dan membedakan dengan baik konsep moral apa yang dapat diterapkannya. Mereka biasanya bingung akibat banyaknya konsep moral yang berbeda yang harus diterapkan olehnya, ditambah lagi tidak adanya orang yang dapat

memberikan panutan dengan baik, atau orang tua tidak mampu menunjukkan disiplin yang baik pada anaknya. 5. Membolos. Pada anak kecil, membolos biasanya diakibatkan rasa takut ke sekolah. Pada anak yang lebih besar, membolos biasanya disebabkan karena tidak menyukai sekolah. Umumnya karena nilai-nilai yang buruk, kurangnya penerimaan teman sebaya, tidak naik kelas atau merasa peraturan sekolah tidak adil baginya, termasuk hukuman karena perilakunya. Bentuk-bentuk pelanggaran ini seringkali muncul apabila anak tidak dapat mengembangkan kontrol diri dengan baik ditambah dengan ketidakmampuan memahami konsep disiplin dengan baik akibat keluarga tidak mampu menerapkannya dengan benar. Masalah Psikologis yang Dapat Muncul Konsep moral mengajarkan anak apa yang benar dan apa yang salah. Namun apabila terjadi masalah dalam pemahaman anak mengenai konsep moral itu sendiri, anak tidak akan dapat membedakan nilai mana yang dapat dibenarkan dan nilai mana yang dapat disalahkan. Sehingga anak acapkali ditolak oleh lingkungannya. Anak seperti ini tidak mampu mengerti mengapa hal itu terjadi padanya, karena anak merasa telah berusaha sebaik mungkin namun lingkungannya tidak menerima. Akibatnya, mereka bisa menarik diri dari lingkungan. Bahkan, berbagai gangguan psikologis dapat muncul akibat masalah pengembangan konsep moral dalam diri. Ada beberapa gangguan psikologis yang memiliki potensi besar untuk muncul apabila penanaman konsep moral yang baik sejak dini tidak dilakukan termasuk ketidakkonsistenan dalam pemberian disiplin (Alloy & Acocella, 1996), antara lain:

Conduct disorder; merupakan gangguan psikologis dimana anak

menunjukkan pola perilaku yang bertahan dan berulang-ulang, pola perilaku tersebut berebntuk pelanggaran terhadap hak-hak orang lain maupun norma atau peraturan sosial seusianya. Perilaku ini terbagi atas 4 kategori utama, yaitu; perilaku agresif yang menyerang secara fisik terhadap hewan atau orang lain, perilaku nonagresif yang menyebabkan kerusakan pada barang, bohong atau mencuri dan pelanggaran peraturan yang serius. Gangguan perilaku ini menyebabkan masalah yang secara klinis sangat mengganggu fungsi kehidupan si anak dalam kehidupannya sehari-hari.

Oppositional Defiant Disorder; merupakan gangguan psikologis

dimana anak menunjukkan pola perilaku negativistik, menyimpang, tidak patuh dan melawan figur autoritas yang ditunjukkan berulang-ulang. Gangguan psikologis ini sering muncul dalam keluarga yang membesarkan anaknya dengan keras, tidak konsisten dalam menunjukkan disiplin, maupun berbeda-beda orang yang membesarkannya (APA, 1994).

Juvenile Delinquency; kejahatan atau kenakalan yang seringkali oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka

ditemukan pada masa remaja, merupakan gejala patologis secara sosial yang disebabkan mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang. Gangguan ini merupakan produk sampingan dari (Alloy & Acocella, 1996): 1. 2. 3. anak remaja. Pendidikan massal yang tidak menekankan pendidikan Kurangnya usaha orang tua dan orang dewasa menanamkan Kurang ditumbuhkannya tanggung jawab sosial pada anakwatak dan kepribadian anak. moralitas dan keyakinan beragama pada anak-anak muda.

Antisocial Personality Disorder; gangguan ini merupakan pola dalam bentuk pelanggaran terhadap hak-hak orang lain

perilaku pervasif

yang dapat berkembang dimulai sejak anak-anak atau awal masa remaja dan berlanjut hingga masa dewasa. Manipulasi dan kebohongan merupakan gambaran pusat dari gangguan ini.

DAFTAR PUSTAKA America Psychiatric Association. 1994. Diagnostic and Statistical manual of Mental Disorder, Fourth Edition. Washington DC: APA. Hurlock, E. B. 1978. Child Development. New York: McGraw Hill, Inc. Kayle. Tanpa tahun Lerner, R. M., & Hultsch, D. F. 1983. Human Development: a Life-span Perspectives. New york: McGraw-Hill, Inc. Santrock, J. W. 1995. Life-Span Communications, Inc. Development. USA: Wm. C. Brown

You might also like