You are on page 1of 17

Danuatmaja (2003) menyebutkan beberapa hal yang diduga menjadifaktor penyebab terjadinya autisme, yaitu antara lain:a.

Gangguan susunan saraf pusat. Ditemukan kelainanneuroanatomi (anatomi susunan saraf pusat) pada beberapa tempat didalamotak anak autis. Banyak anak autis mengalami pengecilan otak kecil, terutamapada lobus VI-VII. Seharusnya, dilobus VI-VII banyak terdapat sel purkinje .Namun, pada anak autis jumlah sel purkinje sangat kurang. Akibatnya, produksiserotonin kurang, menyebabkan kacaunya proses penyaluran informasi antar-otak. Selain itu, ditemukan kelainan struktur pada pusat emosi di dalam otak sehingga emosi anak autis sering terganggu. Penemuan ini membantu dokter menentukan obat yang lebih tepat. Obat-obatan yang banyak dipakai adalah dari jenis psikotropika yang bekerja pada susunan saraf pusat. Hasilnyamenggembirakan karena dengan mengkonsumsi obat-obatan ini pelaksanaanterapi lainnya lebih mudah. Anak lebih mudah untuk diajak bekerja

sama.a. Gangguan sistem pencernaan. Ada hubungan gangguanpencernaan dengan gejala autis. Tahun 1997, seorang pasien autis, Parker Beck, mengeluhkan gangguan pencernaan yang sangat buruk. Ternyata, iakekurangan enzim sekretin. Setelah mendapat suntikan sekretin, Beck sembuhdan mengalami kemajuan yang luar biasa (Budhiman, 2002). Kasus ini memicupenelitian-penelitian selanjutnya pada gangguan pencernaan.b. Peradangan dinding usus. Berdasarkan pemeriksaanendoskopi metabolism atau

peneropongan usus pada sejumlah anak autis yang memilikipencernaan buruk ditemukan adanya peradangan usus pada sebagian besar anak (Budhiman, 2002). Dr. Andrew ahli pencernaan asal Inggris, mendugaperadangan tersebut disebabkan virus, mungkin virus campak. Itu sebabnya,banyak orangtua yang kemudian menolak imunisasi MMR ( meas l es, mum p s,rube ll a ) karena diduga menjadi biang keladi autis pada anak. Temuan Wakefielddiperkuat sejumlah riset ahli medis lainnya.Namun teori ini hingga sekarang masih kontroversial mengenai vaksinasiMMR yang diberikan pada usia 15 bulan, juga teori penggunaan antibiotik, stres,merkuri dan berbagai

toksin yang ada di lingkungan. Tetapi semua mungkinhanya merupakan pemicu saja, yang bias terjadi pada anak yang sudahmempunyai riwayat genetik. Di antara berbagai teori tersebut, teori yang berhubungan dengan diet sampai sekarang masih

ramai dibicarakan (Sari,2009).c. Faktor genetika. Ditemukan 20 gen yang terkait denganautisme. Namun, gejala autisme baru muncul jika terjadi kombinasi banyak gen.bias saja autisme tidak muncul, meski anak membawa gen autisme. Jadi perlufaktor pemicu lain.Hasil penelitian terhadap keluarga dan anak kembar menunjukkanadanya faktor genetik yang berperan dalam perkembangan autisme. Pada anakkembar satu telur ditemukan sekitar 36 89 %, sedang pada anak kembar duatelur 0 %. Pada penelitian terhadap keluarga ditemukan 2,5 3 % autisme padasaudara kandung, yang berarti 50 - 100 kali lebih tinggi dibandingkan padapopulasi normal (Masra, 2002)d. Keracunan logam berat. Berdasarkan tes laboratorium yangdilakukan pada rambut dan darah ditemukan kandungan logam berat danberacun pada banyak anak autis. Diduga, kemampuan sekresi logam berat daritubuh terganggu secara genetik. Penelitian selanjutnya menemukan logam beratseperti arsenik (As), antimoni (Sb), kadmium (Cd), raksa (Hg), dan timbal (Pb)adalah racun otak yang sangat kuat. Tahun 2000, Sallie Bernard, ibu dari anakautis, menunjukan penelitiannya, gejala yang diperlihatkan anak-anak autis samadengan keracunan merkuri. Dugaan ini diperkuat dengan membaiknya gejalaautis setelah anak-anak mlakukan terapi kelasi (merkuri dikeluarkan dari otakdan tubuh mereka) (Budhiman, 2002)e. Alergi. Beberapa penelitian menunjukkan keluhan autismedipengaruhi dan diperberat oleh banyak hal, salah satunya karena manifestasi alergi. Dari penelitian yang pernah 2004).Penelitian dilakukan, lain dilaporkan bahwa autismeberkaitan setelah dilakukan eliminasi

erat dengan alergi (Judarwanto,

menyebutkan

makananbeberapa gejala autisme tampak membaik secara bermakna. Hal ini dapat jugadibuktikan dalam beberapa penelitian yang menunjukkan adanya perbaikangejala pada anak autisme yang menderita alergi, setelah dilakukan penangananeliminasi memburuk diet bila alergi. manifestasi Beberapa laporan lain

mengatakan bahwa gejala autismesemakin

alergi muncul (Judarwanto,

2004).f. Teori disfungsi metabolik. Amino phenolik banyak ditemukan diberbagai makanan, dan dilaporkan b ahwa komponen utamanya dapatmenyebabkan terjadinya gangguan tingkah laku pada pasien autis. Makananyang mengandung amino p heno l ic

itu adalah : terigu (gandum), jagung, gula,coklat, pisang, apel. Sebuah publikasi dari Lembaga Psikiatri Biologi menemukanbahwa anak autis mempunyai kapasitas rendah untuk menggunakan berbagaikomponen sulfat sehingga anak-anak tersebut tidak mampu memetabolismekomponen amino p heno l ic . Komponen amino p heno l ic merupakan bahan bakupembentukan neurotransmiter ; jika komponen tersebut tidak dimetabolisme baikakan terjadi akumulasi katekolamin yang toksik bagi saraf.g. Teori infeksi kandida. Ditemukan beberapa S traincandida disaluran pencernaan dalam jumlah sangat banyak saat menggunakan antibiotikyang nantinya akan menyebabkan terganggunya flora normal anak. Laporanmenyebutkan bahwa infeksi Candidaa l bicans berat bisa dijumpai pada anakyang banyak mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung yeast dankarbohidrat, karena pada makanan tersebut C andida dapat tumbuh subur.Makanan jenis ini dilaporkan menyebabkan anak menjadi autis. Penelitian sebelumnya menemukan adanya hubungan antara beratnya infeksi C andidaa l bicans dengan gejala-gejala menyerupai autis, seperti gangguan berbahasa,gangguan tingkah laku dan penurunan kontak mata. (Adams and Conn, 1997).Tetapi Dr Bernard Rimland, seorang peneliti terkemuka di bidang

autis,mengatakan bahwa sampai sekarang hubungan antara keduanyakemungkinannya masih sangat kecil.h. Teori kelebihan opiod dan hubungan gluten dan protein kasein.Teori ini mengatakan bahwa

pencernaan anak autis terhadap kasein dan glutentidak sempurna. Kedua protein ini hanya terpecah sampai polipeptida.Polipeptida dari kedua protein tersebut terserap ke dalam aliran darah danmenimbulkan efek morfin di otak anak. Di membran saluran cerna kebanyakanpasien autis ditemukan pori-pori yang tidak lazim, yang diikuti dengan masuknyapeptida ke dalam darah. Hasil metabolisme gluten adalah protein gliadin. Gliadinakan berikatan dengan reseptor opioid C dan D. Reseptor tersebut berhubungandengan mood dan tingkah laku. Diet sangat ketat bebas gluten dan kaseinmenurunkan kadar peptida opioid serta dapat mempengaruhi gejala autis padabeberapa anak. Dengan demikian implementasi diet merupakan terobosan yangbaik untuk memperoleh kesembuhan pasien.Protein gluten terdapat pada terigu, sereal, gandum yang biasa dipakaidalam pembuatan bir serta gandum hitam sedangkan protein kasein ditemukanmempunyai aktivitas opiod saat protein tidak dapat dipecah.Dari penelitian Whiteley, Rodgers, Savery dan Shattock (1999), 22 anakautis mendapat diet bebas gluten selama 5 bulan dibandingkan dengan 5 anakautis yang tetap diberi diet mengandung gluten dan 6 pasien autis yangdigunakan sebagai kelompok kontrol. Setelah 3 bulan, pada diet bebas gluten terjadi perbaikan verbal dan komunikasi non verbal, pendekatan afektif, motorik,dan kemampuan anak untuk perhatian serta tidur jadi lebih baik. Sedangkanpada kelompok makanan yang masih mengandung gluten justru semuanyamemburuk. Meskipun penelitian ini masih menggunakan jumlah pasien yangsangat kecil, tapi cukup bisa diterima sampai sekarang.Pentingnya penanganan diet pada pasien autis tak kalah pentingnya darifarmakoterapi dan fisioterapi, untuk itulah masalah alergi makanan pada anakdengan gangguan spektrum autisme harus dilakukan secara holistik. 4. Epidemiologi Prevalensi atau peluang timbulnya penyakit autisme semakin tinggi. Duapuluh tahun yang lalu hanya 2 sekitar 1 dari 10.000 anak kena autis. Lima tahunyang lalu 1 dari 1000, satu tahun yang lalu 1 dari 166 anak, dan saat ini 1 dari150 anak atau setiap tahun timbul sekitar 9000 anak autis baru (Dwinoto, 2008).Di Indonesia yang berpenduduk 200 juta, hingga saat ini belum diketahuipersis jumlah anak autis namun diperkirakan dapat mencapai 150 -200 ribuorang. Perbandingan laki dan perempuan 4 : 1, namun pasien anak perempuanakan menunjukkan gejala yang lebih berat.Sebagai sindrom, autisme dapat disandang oleh semua anak dariberbagai tingkat sosial dan kultur. Hasil survai dari beberapa Negaramenunjukkan bahwa 2 - 4 anak per 10.000 anak berpeluang menyandang autisdengan rasio 3 : 1 untuk anak laki-laki dan perempuan; anak laki-laki lebih rentanmenyandang sindrom autisme dibandingkan anak perempuan (Sari, 2009). Anak laki-laki memiliki

hormon testosteron yang mempunyai efek yangbertolak belakang dengan hormon estrogen pada perempuan, hormontestosteron menghambat kerja ROR A ( retinoic acid-re l atedor p hanrece p tora lp ha ) yang berfungsi mengatur fungsi otak, sedangkan estrogen meningkatkankinerja ROR A (Darmawan, 2009). 5. Gejala Secara umum ada beberapa gejala autisme, yang akan tampak semakin jelas saat anak mencapai usia 3 tahun, yaitu:a. Gangguan dalam komunikasi verbal maupun non verbal sepertiterhambat bicara, mengeluarkan kata-kata dalam bahasanya sendiriyang tidak dapat dimengerti, echo l a l ia , dan ssering meniru danmengulang kata tanpa ia mengerti maknanya.b. Gangguan dalam interaksi sosial, seperti menghindar kontak mata,tidak melihat jika dipanggil, menolak untuk dipeluk, dan lebih sukabermain sendiri.c. Gangguan pada bidang perilakuyang terlihat dan adanya perilakuyang berlebih (excesive) dan kekurangan (deficient), sepertiimpulsive, hiperaktif, repetitive, namun dilain waktu terkesanpandangan yang sama dan monoton. Kadang-kadang ada kelekatanpada benda tertentu, seperti gambar, karet, dan lain-lain, yangdibawanya kemana-mana.d. Gangguan pada bidang perasaan/emosi, seperti kurangnya

empati,simpati dan toleransi. Kadang-kadang tertawa dan marah sendiritanpa sebab yang nyata dan sering mengamuk tanpa kendali bilatidak mendapatkan apa yang ia inginkan.e. Gangguan dalam persepsi sensoris seperti mencium-cium danmenggigit mainan atau benda, bila mendengar suara tertentu langsung menutup telinga, tidak menyukai rabaan dan pelukan, danseterusnya.Gejala-gejala tersebut di atas tidak harus ada semua pada setiap anakautisme, tergantung dari berat ringannya gangguan yang diderita anak(Wardhani, 2008)Handojo (2008) menyebutkan dari kelainan anatomis dan fungsi daribagian otak, maka timbulah gejala yang dapat kita amati. Baik ICD 10 1993( I nternationa l C l assification of Diseases ) dari WHO maupun DSM IV( Diagnosticand S tatistica l Manua l ) 1995, dari grup Psikiatri Amerika, keduanyamenetapkan kriteria yang sama untuk autisme anak

a. Harus ada sedikitnya 6 gejala dari (1), (2) dan (3) dengan minimal 2 gejala dari (1)dan masing-masing satu gejala dari (2) dan (3)1) Gangguan kualitatif dalam interaksi social yang timbal balik. Minimal harus adadua gejala dari gejala gejala dibawah ini:a) Tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai: kontak matasangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak gerik kurang tertuju.b) Tak bias bermain dengan teman sebaya.c) Tak ada empatid) Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional yang timbalbalik.2) Gangguan kuantitatif dalam bidang komunikasi, minimal harus ada satu gejaladari gejala dibawah ini :a) Perkembangan bicara terlambat atau sama sekali tak berkembang. Anaktidak berusaha untuk berkomunikasi secara nonverbalb) Bila anak bicara maka bicaranya tidak dipakai untuk komunikasic) Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulangd) Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang dapat meniru.3) Adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam prilaku, minatdan kegiatan, minimal harus ada satu gejala dari gejala dibawah ini :a) Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang khas danberlebihanb) Terpaku pada satu kegiatan yang ritualistic atau rutinitas yang tak adagunanya c) Ada gerakan-gerakan

aneh yang khas dan diulang-ulangd) Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian bendab. Sebelum umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalambidang:a). Interaksi sosialb). bicara dan berbahasac). cara bermain yang monoton dan kurang variatif c. Bukan disebabkan oleh R ett S yndrome atau gangguan Disintegrasi Masa Kanak S umber: APA ( A merican P sychiatry A ssociation ), 1995 B. Penatalaksanaan Autisme 1. Terapi Perilaku Terapi perilaku yang dikenal di seluruh dunia adalah Appl iedBehaviora l A na l ysis yang diciptakan oleh O.Ivar Lovaas PhD dari University of California Los Angeles (UCLA) (Rudy, 2007).Dalam terapi perilaku, fokus penanganan terletak pada pemberianreinforcement positif setiap kali anak berespons benar sesuai instruksi yangdiberikan. Tidak ada hukuman ( p unishment ) dalam terapi ini, akan tetapi bilaanak berespons negatif (salah/tidak tepat) atau tidak berespons sama sekalimaka ia tidak mendapatkan reinforcement positif yang ia sukai tersebut.Perlakuan ini diharapkan meningkatkan kemungkinan anak untuk beresponspositif dan mengurangi kemungkinan ia berespons negatif (atau tidak berespons)terhadap instruksi yang diberikan (Muhardi, 2009)Dalam suatu penelitian dikatakan dengan terapi yang intensif selama 1-2tahun, anak yang masih muda ini dapat berhasil meningkatkan IQ dan fungsiadaptasinya lebih tinggi dibanding kelompok anak yang tidak memperoleh terapiintensif. Bahkan pada akhir terapi sekitar 42% dapat masuk ke sekolah umum(Gamayanti, 2003).Menurut Sutadi (2003), walaupun tidak bisa disembuhkan 100 persen,autis dapat dilatih melalui terapi sedini mungkin

sehingga ia bisa tumbuh normal. Alasannya karena hasil penatalaksanaan terapi setelah usia lima tahun akanberjalan lebih lambat. 2. Terapi Biomedik Terapi biomedik merupakan penanganan secara biomedis melaluiperbaikan metabolism tubuh serta pemberian obat-obatan oleh dokter yang berwenang, vitamin dan obat yang dianjurkan adalah vitamin B6, ris p eridone, dll(Veskarisyanti, 2008).Sedangkan menurut Handojo (2008), obat- obatan yang dipakai terutamauntuk penyandang autisme, sifatnya sangat individual dan perlu berhati-hati.Dosis dan jenisnya sebaiknya diserahkan kepada Dokter Spesialis yangmemahami dan mempelajari autisme (biasanya Dokter Spesialis Jiwa Anak).Baik obat maupun vitamin hendaknya diberikan secara sangat berhatihati,karena baik obat maupun vitamin dapat memberikan yang tidak diinginkan.Vitamin banyak dicampurkan pada nutrisi khusus, karena itu telitilah lebih dahulusebelum membeli dan memberikannya kepada penyandang autisme.Terapi biomedik tidak menggantikan terapi terapi yang telah ada, sepertiterapi perilaku, wicara, okupasi dan integrasi sensoris. Terapi biomedikmelengkapi terapi yang telah ada dengan memperbaiki dari dalam. Dengandemikian diharapkan bahwa perbaikan akan lebih cepat terjadi (Muhardi, 2009). 3. Terapi Integrasi Sensori Integrasi sensoris berarti kemampuan untuk mengolah dan mengartikanseluruh rangsang sensoris yang diterima dari tubuh maupun lingkungan, dankemudian menghasilkan respons yang terarah.Disfungsi dari integrasi sensoris atau disebut juga disintegrasi sensorisberarti ketidak mampuan untuk mengolah rangsang sensoris yang diterima.Gejala adanya disintegrasi sensoris bisa tampak dari : pengendalian sikap tubuh,motorik halus, dan motorik kasar. Adanya gangguan dalam ketrampilan persepsi, kognitif, psikososial, dan mengolah rangsang. Namun semua gejala ini ada jugapada anak dengan diagnosa yang berbeda (Handojo, 2008).

22 4. Terapi Okupasi Hampir semua anak autistik mempunyai keterlambatan dalamperkembangan motorik halus. Gerak geriknya kaku dan kasar, mereka kesulitanuntuk memegang pinsil dengan cara yang benar, kesulitan untuk memegangsendok dan menyuap makanan kemulutnya, dan lain sebagainya. Dalam hal initerapi okupasi sangat penting untuk melatih mempergunakan otot otot halusnyadengan benar (Muhardi, 2009). 5. Psikoterapi Psikoterapi merupakan terapi khusus bagi anak autisme yang dalampelaksanaannya harus meibatkan peran aktif dari orang tua. Psikoterapimenggunakan teknik bermain kreatif verbal dan non verbal yang memungkinkanorang tua lebih mendekatkan diri kepada anak autisme mereka dan lebihmengenal lagi berbagai kondisi anak secara mendetail guna membantu prosespenyembuhan anak. 6. Terapi Diet a. Diet bebas gluten dan bebas kasein. Pada umumnya, orangtuamulai dengan diet tanpa gluten dan kasein, yang berarti menghindari makanandan minuman yang mengandung gluten dan kasein. Gluten adalah protein yangsecara alami terdapat dalam keluarga rumput seperti gandung/terigu, havermuth/oat

, dan bar l ey . Gluten memberi kekuatan dan kekenyalan padatepung terigu dan tepung bahan sejenis. Sedangkan jenis bahan makanansumber kasein adalah susu sapi segar (mengandung 80% kasein), susu skim,tepung susu, dan produk olahan susu seperti, keju, mentega, margarine , krim, yoghurt , es krim (Hariyadi, 2009) Meskipun masih kontroversial namun teori adanya kelainan peptida diotak yaitu ditemukannya g l iodor p hin dan casomor p hin, adanya zat tersebut padapenderita dapat dideteksi dengan pemeriksaan tes peptida urin dimanaditemukan zat sejenis opioid yang merupakan hasil pencernaan yang tidaksempurna dari gluten dan kasein (Prabaningrum & Wardhani, 2008). Hal ini yangmendasari diet bebas gluten dan kasein bagi penyandang autisme karena glutendan kasein dapat menjadi racun / toksik bila dikonsumsi (Veskarisyanti, 2008)Pada orang sehat, mengonsumsi gluten dan kasein tidak akanmenyebabkan masalah yang serius/memicu timbulnya gejala. Pada umumnya,diet ini tidak sulit dilaksanakan karena makanan pokok orang Indonesia adalahnasi yang tidak mengandung gluten.Perbaikan/penurunan gejala autisme dengan diet khusus biasanya dapatdilihat dalam waktu antara 1 3 minggu. Menghindari makanan sumber gluten dankasein meningkatkan perbaikan 65% anak autis. Apabila setelah beberapa bulanmenjalankan diet tersebut tidak ada kemajuan, berarti diet tersebut tidak cocokdan anak dapat diberi makanan seperti sebelumnya (Muhardi, 2009).Hasil penelitian oleh Ishak (2008), menyebutkan bahwa terdapatpengaruh pemberian diet terhadap perkembangan anak autisme. Sedangkanmenurut Hyman (2010), tidak ada efek khusus pada perkembangan prilakudengan terapi diet bebas gluten dan kasein dikatakan juga diet gluten dan caseintidak berkaitan dengan sifat agresif penderita autisme dan kinerja usus mereka,dikarenakan banyak faktor yang mempengaruhinya, sehingga harus diketahuiterapi mana yang paling sesuai dan efektif pada masing-masing anakDidalam penelitan Hyman (2010), responden penelitian tidak mengalamiperubahan dalam pola aktivitas dan frekuensi tidur. Anak-anak menunjukkan peningkatan kecil dalam sosial, bahasa dan minat setelah diberikan terapi glutendan kasein dan diukur gejala yang timbul dengan R itvoFreeman R ea l Life R

ating S ca l e namun tidak mencapai signifikansi statistiki. Diet bebas zat aditif. Zat aditif terdiri dari pewarna, penambahrasa sintetis, aspartam, nitrat pada makanan, dan pestisida yang mungkin adadalam makanan dapat memperparah keadaan anak autis (Hariyadi, 2009).Contoh bahan makanan yang mengandung zat aditif adalah sosis, kornet, chickennugget dan lain-lain. Beberapa zat pewarna merusak DN A yangmenyebabkan mutasi genetik. Sedangkan zat penambah rasa seperti M S G dapatmempengaruhi saraf otak (Sunartini, 2003). j. Diet bebas feno l dan salisilat. Sejak T heFeingo l dDiet (salah satu jenis pengaturan pola makan) diperkenalkan banyak orang melihat bahwasalisilat mempunyai efek buruk bagi penyandang autisme. Bahan makanan yangharus dihindari adalah a l mond , apel, tomat, mangga muda dan alpokat. Efekyang dimungkinkan dari bahan makanan yang mengandung salisilat dapatmemperberat kebocoran usus (Budhiman, 2002).Diet bebas feno l dimaksudkan untuk menghindari jenis bahan makananyang memerlukan ion sulfat untuk metabolisme karena dapat memperburuksistem pencernaan. Khusus bagi anak autisme, bahan makanan ini berupa jusapel, jus jeruk, coklat, dan anggur merah (Hariyadi, 2009).k. Pemberian suplemen makanan. Selain pengaturan pola makan,disarankan juga untuk mengkonsumsi berbagai suplemen bagi anak autisme.Suplemen-suplemen tersebut adalah vitamin C, mineral Zn, enzim, me l atonin (semacam hormone untuk memperbaiki jam biologis tubuh) dan kalsium(Budhiman, 2002)

DAFTAR PUSTAKA Anonim. (n.d.). K a p an T era p i A nak A utisDa p atDisebutMenga l ami K emajuan .Retrieved November 5, 2010, from Putra Kembara.org:http://puterakembara.org/archives3/00000021.shtml Association, A. P. (1995). D S M IV ,Diagnosticdan S tatisca l Manua l ofMenta l Disorder,FourthEdition. Washington DC.Budhiman, M. P. (2002). Langkah A wa l Menanggu l ang i A utismedenganMem p erbaikiMetabo l isme

T ubuh. Jakarta: Penerbit Majalah Nirmala.Danuatmaja, B. (2004). Menu A utis. Jakarta: Pustaka Pembangunan SwadayaNusantara.Dwinoto, W. (2008). P enyandang A utisme Bisa " S embuh". Rumah Autis.Endy, P. P. (2003). Nutrisi dan Autistic Spectrum Disorder. T emu I l miah P enata l aksanaanGizi P ada A nak A utis, A S D I . Yogyakarta.Gamayanti, I. (2003). Aspek Psikologis pada Anak Autis. T emu I l miahDietetik VI . Yogyakarta.Handojo, Y. (2008). A utismea. Jakarta: PT Buana Ilmu Populer KelompokGramedia.Hariyadi, D. (2009). P edoman S ingkatMenghitung

K ebutuhan Gizi A utis Untuk Mahasiswa Gizi. Pontianak: DPD Persagi Kal-Bar.Hembing. (2003). A utismea. T i p sdan K iatMengatasi A nak A utismea. Jakarta.Hembing, M. (2004). P sikotera p i A nak A utismea. Jakarta: Pustaka Populer Obor.Hyman, S. (2010). Popular Autisme Diet Does Not Demonstrate BehavioralImprovement. T he I nternationa l Meetingfor A utisme R esearch. Philadelpia: University of Rochester.Ishak. (2008). HubunganDiet A nak A utismedengan P erkembangan A nak A utismediLembaga

P endidikandan P e l atihanBina A nakBangsa P ontianak. Yogyakarta: Universitas Gajahmada.Judarwanto, W. (2004). Al ergiMakanandan A utisme . Retrieved November 3,2010, from Putra Kembara: http://putrakembara.org/fajarid.shtmlMashabi, N. A., & Tajuddin, N. R. (2009). Hubungan Antara Pengetahuan Ibudengan Pola Makan Anak Autis. Makara K esehatan , 84-86.Masra, F. (2002). A utisme:Gangguan P erkembangan A nak. Jakarta: Horison.Edisi Juli. 50Muhardi, A. (2009, November). A utisme. Retrieved November 4, 2010, from Autis.info: http://www.autis.info/Prabaningrum, V., & Wardhani, Y. F. (2008). Terapi Medikasi Untuk Penyandang Autisme. In Ap adanBagaimana A utisme; T era p i Medis Al ternatif (pp. 39-53). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.Rahmayanti, S. (2008). Gambaran P enerimaan O

rang T ua T erhada p A nak A utisme. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.Rudy, L. J. (2007). WhatistheDifferenceBetween A B A , Discrete T ria l s, dan" T he Lovaas Method?" . Retrieved November 5, 2010, fromhttp://autisme.about.com/od/treatmentoptions/f/WhatisABA.htmSari, I. D. (2009). Nutrisi Pada Pasien Autis. CD K (CerminDunia K edokteran) ,89-93.Soetjiningsih. (2005). T umbuh K embang A nak. Surabaya: Penerbit BukuKedokteran ECG.Sunartini. (2003). Aspek Medis Autisme Pada Anak. T emu I l miahDietetik VI . Yogyakarta.Supariasa, I. D. (2001). P eni l aian

S tatus Gizi. Jakarta: Penerbit Buku KedokteranECG.Sutadi, R. (2003). Autisme. K onferensiNasiona l A utisme I ndonesia. Jakarta.Tiel, J. M. (2006, Januari 30). Ciri-Ciri A utisme. Retrieved Oktober 3, 2010, from Autisme: http://lita.inirumahku.comVeskarisyanti, G. A. (2008). 12 T era p i A utis. Yogyakarta: Pustaka Anggrek.Wardhani, Y. F. (2008). Apa dan Bagaimana Autisme itu. In Ap adanBagaimana A utisme; T era p iMedis Al ternatif (pp. 1-37). Jakarta: Lembaga PenerbitFakultas Ekonomi Universitas Indonesia.Waring, R. (1999). da l am P ene l itianHubungan P o l a K onsumsi A nak

A utisme di S LB K husus A utistik Fajar Nugraha dan S LB A utisme Dian A manahYogyakartao l ehFitriaNur R ahmi. Yogyakarta.Widyawati, I. (2002). Autisme Masa Kanak. T emu I l miah A kbar2002 (pp. 394-420). Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu PenyakitDalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

You might also like