Professional Documents
Culture Documents
Dengan demikian Ester mengusulkan perlunya menggabungkan hukum (yang berorientasi pada penegakan keadilan) dengan psikologi (yang berorientasi pada kepedulian atau kemampuan mendengarkan orang lain dan diri sendiri). Setidaknya hal ini tercermin dari keempat permasalahan penelitian yang ia ajukan (h. 9-10). Tiada Keadilan Tanpa Kepedulian Untuk bisa mengungkap bagaimana para penegak hukum menetapkan siapa pelaku dan korban, memproses kasus-kasus mereka, dan membuat keputusan hukum; serta bagaimana tanggapan para perempuan yang menjadi korban KDRT tersebut terhadap segala proses hukum yang mereka lalui, Ester tekun mengumpulkan dan menelaah transkrip pertemuan, surat dan buku harian, jawaban di lembar kuesioner, dan bahkan mewawancari para korban, pendamping mereka, dan beberapa aparat penegak hukum (h. 13). Saya menganggap strategi (metode) pengumpulan dan analisa berbagai data tersebut berangkat dari etika kepedulian, yaitu kemauan untuk mendengarkan kisah orang lain yang dalam hal ini para perempuan korban KDRT. Ini adalah bentuk keterkaitan atau konsistensi antara teori dan praksis. Etika kepedulian ini, saya kira, telah memberinya kritisisme saat mempraktekkan psikologi feminis. Ia tak semata-mata menggunakan psikologi untuk mengkonstruksikan identitas perempuan, karena tetap berpeluang menyalahkan perempuan dan melestarikan budaya patriarki (h. 21-22). Tapi ia berorientasi pada pemahaman terhadap ketertindasan perempuan (h. 22). Maka, begitulah Ester berusaha mendengarkan para nara sumbernya (perempuan-perempuan korban KDRT). Ia berusaha mengetahui mengapa mereka walau telah berkali-kali menjadi korban KDRT tetap bertahan dalam perkawinannya tersebut? Ia menemukan berbagai alasannya yang ia sebut sebagai penyebab-penyebab struktural (h. 34). Ia mengetahui, bahwa kisah keenam perempuan korban itu tak hanya membenarkan teori sikuls kekerasan-bulan madu yang memberi kesan para perempuan korban itu tak berdaya dan pasif, tapi mereka juga aktif melakukan perlawanan seperti yang diteorikan oleh Gondolf yaitu dengan meninggalkan pelaku atau meminta atasan pelaku untuk menindaknya (h. 23 dan 35). Ester pun juga mendengarkan kisah para perempuan korban tersebut ketika mereka memproses kasusnya secara hukum. Dan ia mengetahui bagaimana perspektif bias gender para penegak hukum itu memengaruhi cara pandang mereka terhadap para perempuan tersebut. Ester pun dengan tekun mencatat berbagai kisah pendampingan para korban itu. Ia pun tahu, bahwa berbagai perspektif negatif para pendamping tentang pandangan Tuhan dan perceraian telah memengaruhi perempuan korban dalam melangkah (h. 105), jenis kelamin pendamping juga memengaruhi perspektif para perempuan korban tentang kasus yang mereka alami (h. 107). Dan akhirnya ia pun mencatat perspektif para pelaku tentang korbannya. Sesuatu yang luar biasa. Tak semua peneliti bisa dan tekun dalam mencatat perspektif pelaku (h. 119). Namun, pada akhirnya, tujuan Ester adalah menunjukkan faktor apa saja yang memengaruhi para penegak hukum dalam memeriksa kasus-kasus KDRT ini. Di sinilah Ester mengusulkan, bahwa
para pendamping korban dan para penegak hukum perlu memiliki etika kepedulian agar mereka dapat menangkap persoalan, kebutuhan, dan harapan korban (h. 177). * Sejauh saya membaca buku tersebut, saya tak menemukan perspektif Ester tentang penegakan hukum (keadilan) dan kepedulian. Saya hanya mendapat kesan, bahwa menurutnya apabila para penegak hukum punya etika kepedulian, maka mereka mampu mendengarkan segala persoalan, kebutuhan dan harapan korban, sehingga mereka bisa menegakkan hukum (keadilan) secara baik. Jadi apa yang ditulis oleh Ester adalah sebuah tafsir terhadap realisme hukum, yaitu menggabungkan hukum dan etika kepedulian. Tawaran Ester ini sebenarnya sama dan sebangun dengan tafsir Franz Magnis-Suseno tentang etika kepedulian Carol Gilligan.[2] Franz Magnis mengatakan, bahwa etika kepedulian berbeda dari etika keadilan. Etika keadilan berorientasi pada sesuatu yang abstrak, yaitu hak, otonomi individu (sebuah otonomi yang dibentuk oleh hak) dan penegakan hak. Sebaliknya etika kepedulian berangkat dari sesuatu yang nyata, yaitu anggapan bahwa setiap manusia adalah makhluk yang lemah dan karenanya saling membutuhkan. Penindasan dan dominasi berasal dari pengabaian diri sebagai makhluk yang lemah. Karena itu etika kepedulian menawarkan kepedulian atau kesadaran tentang anggapan bahwa setiap orang mudah tersakiti perasaannya dan tak terabaikannya relasi antar individu.[3] Berdasarkan kedua perspektif itu, Franz Magnis-Suseno yang mendasarkan diri pada perkembangan pemikiran Gilligan dan Frankena bahwa etika kepedulian mengandaikan etika keadilan dan begitu sebaliknya. Argumentasi Magnis adalah seseorang hanya akan mampu bertindak adil, bila ia terlebih dulu peduli pada orang lain. Orang yang tidak peduli pada orang lain, secara a-priori tertutup pada kemungkinan bertindak secara moral (adil).[4] Penggabungan etika keadilan dan kepedulian yang memang canggih dan meyakinkan ini, menunjukkan bahwa etika kepedulian tak bisa menyelesaikan masalah bila tak disertai etika keadilan, dan sebaliknya etika keadilan menjadi tak mungkin tanpa etika kepedulian. Sebuah anggapan yang muncul dari refleksi penuh terhadap teori komunikasi Habermas. Bagi Habermas, dalam sebuah masyarakat majemuk, keadilan tak dapat dirumuskan sendirian oleh filsuf atau negarawan tertentu, tapi secara komunikatif oleh orang-orang yang tengah menghadapi persoalan. Sebab komunikasi akan bisa menjamin kemajemukan pandangan hidup dan sekaligus merumuskan apa yang adil dan tak adil dalam waktu dan tempat tertentu. Komunikasi, dengan kata lain, adalah cara untuk bersikap peduli pada orang lain yang berbeda dari kita. Ester memang tak secara eksplisit menguraikan argumentasinya seperti Franz Magnis tersebut, tapi saya yakin ia tak keberatan dengan argumentasi Franz Magnis tersebut. Etika Kepedulian dan Keadilan Sebagai Yang-Tak-Mungkin Tapi justru itulah persoalannya, mungkinkah keadilan dirumuskan? Bagaimana mungkin pelaku dan korban yang memiliki relasi kuasa (bahasa) yang berbeda bisa merumuskan apa yang adil
dan tidak adil? Bagaimana mungkin penindas dan tertindas bisa merumuskan apa yang adil dan tak adil bagi mereka? Apakah keadilan juga bisa ditetapkan oleh pihak ketiga penegak hukum setelah berdasarkan etika kepedulian mendengarkan persoalan, kebutuhan dan harapan korban seperti yang disampaikan oleh Kristi Purwandari di Pengantar Buku?[5] Tapi persoalan berikutnya adalah bagaimana mengidentifikasi korban, pelaku, dan bukan korban? Ester tak menguraikan hal ini. Mungkin di sini sudah waktunya kita menelaah pemahaman Jacques Derrida tentang keadilan. Derrida menganggap keadilan adalah penting, tapi tak mungkin dirumuskan dan diwadahi dalam institusi apapun, termasuk tak mungkin diwadahi oleh hukum. Karena mewujudkan dan menjamin keadilan dalam hukum bukan hanya akan mereduksi pengalaman seseorang terhadap keadilan, tapi juga merupakan tindakan yang kontradiktoris. Sebab baginya proses pembentukan dan penegakan hukum merupakan proses yang mengkaitkan kekuasaan negara (yang baginya tak pernah didirikan berdasarkan hukum tertentu, tapi revolusi, karena itu setiap norma hukum yang dibuat oleh negara selalu ada dalam posisi ambigu, yaitu tidak sah dan sah sekaligus) berbagai kekuasaan non-negara dan kekerasan (yang antara lain berupa praktek pendefinisian yang dianggapnya sebagai bentuk kekerasan, karena mereduksi identitas seseorang atau sesuatu yang didefinisikan). Jadi, bagaimana mungkin keadilan yang anti kekerasan bisa dirumuskan oleh kekerasan? Kata Derrida tentang hal ini: How are we to distinguish between the force of law of a legitimate power and the supposedly originary violence that must have established this authority and that could not itself have been authorized by any anterior legitimacy, so that, in this initial moment, it is neither legal nor legal or, others would quickly say, neither just nor unjust?[6] Karena itu dengan mendasarkan diri pada dekonstruksi sebagai sebuah strategi untuk menunjukkan ambiguitas, ketidakpastian, the other (the difference) dan paradoks sebuah teks Derrida menunjukkan bahwa dekonstruksi tak berakhir pada nihilisme, tapi pada kemungkinan manusia mengetahui atau tepatnya mengalami yang tak mungkin (the impossible), yakni sesuatu yang tak bisa dirumuskan secara tekstual. Jadi, baginya keadilan adalah pengalaman tentang yang tak mungkin, sebuah pengalaman yang kira-kira sama dengan situasi ketika seseorang mengalami dilema atau makan buah simalakama (bila buah itu dimakan ibu akan mati, bila tidak ayah yang mati, dan bila dikulum saja ayah dan ibu akan sekarat). Dalam situasi dilematis ini semua keputusan yang diambil atau akan diambil akan sama kelirunya: The sufference of deconstruction, what makes it suffer and what makes those it torments suffers, is perhaps the absence of rules, of norms, and definitive criteria that would allow one to distinguish unequivocally between droit and justice. That is the choice of either/or, yes or no [...]. Needless to say, from this point on I can offer no response, at least no reassuring response, to any questions put in this way (either/or, yes or no), to either party or to either partys expectations formalized in this way.[7] Maka penegakan hukum adalah wujud relasi kuasa yang jauh dari keadilan. Ia adalah penegakan tafsir-tafsir tertentu tentang hukum dan relasi para pihak yang berperkara. Tapi bukan berarti keadilan tak penting lagi. Keadilan memang penting, tapi selalu tertunda ketika
mau diwujudkan. Ia ibarat horison yang memberi wawasan geografis tentang sebuah wilayah, tapi selalu menjauh ketika didekati. Dengan demikian semua teori keadilan atau upaya mewujudkan keadilan melalui keputusan hukum tak lain dari praktek kekuasaan tertentu. Ia merupakan bentuk kekerasan, bukan keadilan yang anti dan mau mengakhiri kekerasan itu sendiri. Hukum dan pengadilan memang penting, tapi di kedua institusi itu keadilan selalu tertunda. Kedua institusi itu hanya mampu mempraktekkan relasi kuasa. Dampak negatif relasi kuasa hanya bisa dikurangi oleh etika kepedulian (keinginan untuk membahagiakan orang lain, musuh dan diri sendiri). Tulisan ini adalah karya Donny Danardono, pengajar filsafat hukum dan Ketua PMLP (Program Magister Lingkungan dan Perkotaan) Unika Soegijapranata, Semarang. Tulisan ini disampaikan dalam bedah buku Tiada Keadilan Tanpa Kepedulian: KDRT, Perspektif Psikologi Feminis di Auditorium Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta, 11 Maret 2010. Terima kasih untuk Mas Donny, untuk semua masukannya yang sangat berguna, untuk diskusidiskusinya yang selalu mencerahkan, untuk dekonstruksi-dekonstruksi yg mengagumkan, untuk semua kiriman artikel-artikelnya, dan untuk terus menyemangati saya untuk menulis, dan tentunya untuk mengizinkan saya memuat tulisan ini
[1] Carol Gilligan,1982, In Different Voice: Psychological Theory and Womens Development, Cambridge, Harvard University Press, h. 2. [2] Frans Magnis-Suseno, 2005, Etika Kepedulian, Etika, dan Laki-Laki dalam Franz MagnisSuseno (ed.) Pijar-Pijar Filsafat: dari Gatoloco ke filsafat Perempuan, dari Adam Mller ke Postmodernism, h. 236-244. [3] Ibid. hal. 237-238. [4] Ibid. hal. 243. [5] h. xv. [6] Jacques Derrida, 1992, Force of Law: the Mystical Foundation of Authority dalam Drucilla Cornell, Michel Resenfeld, David G. Carlson (eds.), Deconstruction and the Possibility of Justice, New York, Routledge, h. 6 [7] Ibid., h. 4. Like One blogger likes this post.
from Psikologi dan hukum Perubahan? Hadapi dan Nikmati Saja Dampak Psikis Kekerasan dalam Rumah Tangga 6 Comments leave one
1. Batavusqu permalink May 5, 2011 4:27 am Kangen euy dengan warnanya Reply
Ester Lianawati permalink* May 7, 2011 8:13 am warna apa, mas ^^ pa kbr, mas? mksh dah mampir ya Reply
2. Didin Septa Rahmadi permalink October 21, 2011 10:06 pm haiiiii. suatu hal yang masih membuat saya bingung sampe sekarang!!! perbedaan tingkat sexsualitas antara pria dan wanita apakah ada kaitannya feminisme? sehingga adanya tuntutan kesetaraan gender?!!! dan terima kasih atas tulisannya untuk menambah refrensi!!! Reply
Ester Lianawati permalink* October 22, 2011 10:06 am mas Donny, tlg bantu jelasin ya. makasih Reply
3. Donny Danardono permalink October 23, 2011 6:32 am Saya kira tak ada perbedaan tingkat seksualitas antara pria dan wanita. Tak ada data yang mengatakan tingkat seksualitas pria lebih besar daripada wanita. Kalau pada zaman dulu, dan mungkin sekarang, pria mereasa lebih bebas membicarakan dan mengumbar hasrat seksnya, itu karena didasarkan pada anggapan yang bias gender tentang seksualitas pria yang lebih besar daripada wanita. Banyak sudah buku yang mengulas ini. Reply
Ester Lianawati permalink* October 23, 2011 8:13 am mksh mas Donny. nah kaitannya dgn feminisme, krn bias gender ttg seksualitas perempuan laki2 ini jg menjadi penyebab penindasan perempuan (misalnya memaksakan hub seksual pd pacar/istri dgn alasan bhw perempuan hrs memenuhi hasrat seksualnya yg lbh besar sbg laki2, melegitimasi perselingkuhan laki2, pemuasan kebutuhan seksual dari sudut pandang laki2-laki smntr laki2 tdk merasa wajib memahami seksualitas perempuan, menjadikan perempuan sbg objek seksual yg slh satunya bs kita liat dlm pencitraan iklan2 di media dsb). perlu dicatat jg kesetaraan gender yg dimksd dlm perjuangan feminisme bukan untuk membalik situasi, misalnya kl laki2
memaksakan hub seksual maka perempuan pun bisa, atau perempuan pun berselingkuh atas dsr kebutuhan seksual yg besar. tp kesetaraan dlm arti tidak ada lg opresi thd perempuan khususnya yg berakar pd mslh seksualitas ini tdk pula menciptakan opresi baru thd laki2, dan jg dlm relasi dgn pasangan bs lbh menghargai seksualitas masing2. Ini versi sederhana nya ,ya Didin, spt kata mas Donny, kl km tertarik dgn topik ini bisa cari-cari bukunya salam Reply
Leave a Reply
Ester Lianawati
Bagi yang memerlukan buku ini, dapat menghubungi Program Studi Kajian Wanita (Kajian Gender) UI Jl Salemba Raya No. 4, Jakarta Pusat di 021-3160788
Recent Posts
o o o o o o o
Psychological & subjective well-being, apa bedanya? Date of Death : Dua puluh lima februari Mengungkap Preferensi Pasien, Merangkul Model-model Relasi Dokter-Pasien Robert Zajonc dan Israel Waynbaum, Kerendahan hati untuk yang Terlupakan Menyambut Tahun Baru dengan Tersenyum Kita Layak Dicintai dengan benar Kematian Cinta Dampak Psikis Kekerasan dalam Rumah Tangga Anda Perfeksionis ? Memahami Komitmen Perkawinan : Bersama Hingga Ujung Umur Memahami Psikologi Korban KDRT: Mengapa Perempuan Bertahan? Psychological & subjective well-being, apa bedanya? Psikologi dalam Ranah Hukum Perjalanan Psikologi Feminis Perempuan Jawa, Konco Wingking atau Sigaraning Nyawa? Dapatkah Bunuh Diri Dicegah? Kekerasan Terhadap Perempuan Di Seluruh Dunia
Top Posts
o o o o o o o o o o
type and pr
Recent Comments
Ester Lianawati on CONSULTATION Ester Lianawati on Mengungkap Preferensi Pasien,
Ester Lianawati on Memahami Komitmen Perkawinan : Riri on CONSULTATION Cahya on Mengungkap Preferensi Pasien, Cahya on Memahami Komitmen Perkawinan : Ester Lianawati on Memahami Lebih Jauh Teori Ester Lianawati on CONSULTATION
Flickr Photos
More Photos
Blogroll
o o o o o o
o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o
Kajian Gender Laki-laki Baru LBH APIK Parlez Francais POPsy Pulih Punya Taufik Neh Riza- Jiwitlah Daku Kau Kutabok ;) Sandy Vidia Paramita WordPress.com WordPress.org Kehidupan sehari-hari Psikologi dan hukum Psikologi perempuan dan gender Psikologi positif Puisi Relasi personal Tentang feminisme Tentang psikologi Uncategorized
Categories
Powered by WordPress.com