You are on page 1of 20
ARGUMENTUM, Vol. 5 No. 2, Juni 2008 PEMBERDAYAAN HAK-HAK MASYARAKAT ADAT DALAM USAHA PERTAMBANGAN (Kajian Kritis Terhadap UU No. 11 Tahun 1967) Oleh : BUSYRA AZHERI" ABSTRAK Sejak diberlakukannya Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan, telah melahirkan berbagai konflik secara struktural ditengah-tengah masyarakat (adal). Berdasarkan peta konflik yang ada dapat diklasifikasikan atas tiga, yaitu pertama; tindakan birokrasi yang tidak perduli tentang keberadaan orang-orang yang dapat dikategorikan sebagai “orang-orang kecil/masyarakat lokal (adat)”. Pihak birokrat memposisikan dirinya sebagai pihak yang paling tahu dan paling menentukan arah mana yang akan dituju dalam pembangunan. Kedua; lemahnya kedudukan masyarakat adat dalam peraturan perundangan nasional. Ketiga; lemahnya sistem pengorganisasian sosial dalam masing-masing komunitas masyarakat lokal/adat sebagai akibat kebijakan pemerintah. |. PENDAHULUAN Kegiatan pertambangan sudah lama dikenal oleh masyarakat di kepulauan Nusantara. Hal ini dapat kita lihat dari fakta sejarah yang membuktikan bahwa masyarakat di pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan telah melakukan kegiatan pertambangan sejak ribuan tahun yang lalu. Namun pada saat pemerintahan Hindia Belanda berkuasa di Indonesia, sektor pertambangan baru dikembangakan pada akhir abad 19. Sedangkan pada masa pendudukan Jepang sektor pertambangan tidak berkembang, karena orientasinya untuk memenuhi kebutuhan perang saja.' Pada masa pemerintah Pasca Kemerdekaan dan Orde Lama, perkembangan sektor pertambangan mengalami pasang surut sesuai dengan kondisi sosial politik pada waktu itu. Kemudian ditengah pergolakan politik yang berdarah dan kondisi ekonomi yang makin parah _ befdirilah pemerintahan Orde Baru. Masa pemerintahan Orde Baru ini ditandai dengan * Busyra Azheri, SH., MH adalah staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang * Soetaryo Sigit, 1992, Pengantar Pertambangan Indonesia, API, Bandung, hal .40. ARGUMENTUM, Vol. No. 2, Jui 2006 perubahan besar dalam tata kehidupan masyarakat, yaity dengan menekankan paradigma pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi yang didukung dengan pendekatan stabilitas nasional., Sejalan dengan paradigma’ pembangunan yang diterapkan pemerintahan Orde Baru, di mana konsep kebijaksanaan pertambangan yang diterapkan berorientasi pada pengembangan sektor industri sebagai pendukung utama pembangunan. Hal ini terlihat dari parameter yang digunakan sebagai tolak ukurnya, yaitu berkisar pada besaran-besaran investasi, penerimaan negara, volume dan nilai ekspor atau devisa yang dihasilkan, dan sumbangan sektor pertambangan tethadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional2. Kebijaksanaan ini merupakan implementasi dari Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijakan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan. Lebih lanjut implementasi dari Tap MPRS itu adalah dikeluarkaninya Undang-undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UUPMA) jo Undang-undang No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (UUPMDN). Kemudian pemerintah mengeluarkan Undang- undang No. 1% Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (selanjutnya disebut UUKPP 1967). UUKPP 1967 ini khusus pada sektor perfambangan non-migas (mineral). Yang perlu kita catat dari ketiga produk peraturan perundang- undangan tersebut, adalah adanya jaminan keamanan berusaha dan kemudahan serta insentif bagi investor baik asing maupun domestik yang Mau melakukan investasi. Knusus pada sektor pertambangan kemudahan dan insentif yang diberikan terutama menyangkut upaya penyediaan dan pembebasan lahan usaha (baca : lokasi pertambangan}. Namun pada sisi lain, kebijaksanaan tersebut justru melahirkan konflik yang bersifat struktural ditengah-tengah masyarakat (adat), seperti pemberian ganti rugi dalam pembebasan lokasi pertambangan, penutupan tambang-tambang rakyat, pengusiran masyarakat adat dari ulayat mereka yang termasuk dalam wilayah kuasa pertambangan dan lain sebagainya. Sampai pada tahun 2005 sudah tercatat + 43 (empat puluh Belas) konflik pertambangan, baik antara Masyarakat dengan pihak perusahaan maupun dengan pihak pemerintah yang tersebar diseluruh Indonesia’. ? Roziq B. Soetjipto, 1997, Sejarah Munculnya Pemikiran Pengusakaan Pertambangan yang berorientasi Kerakyatan, dalam Mencari Model Pemecahan Masalah Hubungan Industri Pertambangan dengan Masyarakat Sckitar, Lockman Soetrisno, Mochamad Maksum, Susetiawan dan Dyah Ismoyowati (Eds), P3PK UGM, Yogyakarta, hal. 13. > www jatam,com 2005 ARGUMENTUM, Vol. § No. 2, Juni 2006 Berdasarkan peta konflik yang ada dapat diklasifikasikan tiga latar belakang utama pemicu terjadinya konflik, yaitu pertama; tindakan birokrasi yang tidak perduli tentang keberadaan orang-orang yang dapat dikategorikan sebagai “orang-orang kecil/masyarakat lokal (adat)”. Dalam hal ini birokrasi memposisikan dirinya sebagai pihak yang paling tahu dan paling menentukan afah mana yang akan dituju oleh kegiatan yang disebut pembangunan, sehingga berbagai mekanisme penaklukan sosial menjadi sah-sah saja. Kedua; lemahnya kedudukan masyarakat adat dalam peraturan perundangan nasional. Aspek ini sekaligus diperkuat dengan rendahnya pengetahuan masyarakat lokal/adat tentang posisi hak-hak mereka dalam kerangka peraturan perundang-undangan nasional. Ketiga; femahnya sistem pengorganisasian sosial dalam masing-masing komunitas masyarakat lokal/adat sebagai akibat kebijakan pemerintah. Pada hal pengorganisasian sosial ini merupakan basis materiil dari eksistensi dan atau dasar keabsahan hak-hak masyarakat adat.4 Melihat dampak negatif dati kebijaksanaan pemerintah dalam pengembangan sektor pertambangan terhadap masyarakat adat, maka tugas kita sekarang ini adalah berusaha memikirkan dan sekaligus mencoba ‘mencari solusi bagaimana menciptakan pengelolaan usaha pertambangan yang berbasiskan kerakyatan, yang pada akhimya tidak ada lagi proses pemarginalisasian hak-hak masyarakat (adat). Sehingga terwujudiah suatu suasana yang kondusif dalam industri pertambangan di Indonesia. Il. PEMBAHASAN A. Ideologi Penguasaan dan Pengelolaan Pertambangan Terhitung sejak tahun 1960, Agrarische Wet 1870 beserta segala peraturan pelaksananya dicabut dan diganti dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya ditulis UUPA). UUPA ini dipandang sebagai titik balik dari perkembangan Politik agraria di Indonesia yang menempatkan “Hukum Adat” sebagai dasar hukum agraria nasional (Pasal 5 UUPA). Pada sisi lain UUPA merupakan implementasi dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi sebegai berikut; bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya * dikuasai oleh negara dan dipergunkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran takyat. Jadi dapat disimpulkan bahwa sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besamya bagi kemakmuran rakyat. * yando. R Zakaria, 1997, Peluang dan Hambatan Pengakuan Hak-hak Masyarakat Adat dalam Sistem Pengelolaan Sumber Daya Alam di Indonesia, dalam majalah INDISCA, Edisi III, Sept. hal. 3.

You might also like