You are on page 1of 11

Perbatasan Indonesia Singapura A.

Pendahuluan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), merupakan negara kepulauan (Archipelago State), yang memiliki sekitar 13.600 Pulau Besar dan Kecil yang dikelilingi lautan dan terletak di antara dua buah Benua yaitu Asia dan Astralia, serta diapit oleh dua Samudera yaitu Pasifik dan Atlantik. Dengan posisi geografis tersebut Indonesia berbatasan langsung dengan 10 negara tetangga, dengan 3 daerah daratan seperti Malaysia, Papua New Gueane (PNG) dan Timor Leste, yang berbatasan dengan wilayah laut (territorial), Batas landas Kontinen dan Batas Zone Ekslusif (ZEE) dengan 10 Negara yakni India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, PNG, Timor Leste dan Australia. Masih segar dalam ingatan kita, dua pulau yakni Pulau Ligitan dan Sipadan- resmi menjadi milik Malaysia sesuai dengan keputusan PBB pada 2002. Kemenangan Malaysia tersebut ditentukan oleh adanya effective presence dari pemerintah Malaysia, sehingga dianggap bahwa yang melakukan pemeliharaan atas pulau tersebut adalah Malaysia.Belum lagi, ada 12 pulau terluar Indonesia yang memiliki potensi rawan konflik di bidang geografis, ekonomi, dan keamanan. Pulau tersebut diantaranya Pulau Rondo yang berbatasan dengan Samudera Hindia, Pulau Berhala yang berbatasan dengan Selat Malaka, dan Pulau Nipah yang berbatasan dengan Singapura. Ketiganya memiliki potensi kerawanan, baik secara geopolitik, ekonomi, maupun keamanan Ternyata tidak hanya Malaysia yang berusaha melakukan silent occupation terhadap wilayah RI yang berada di perbatasan. Hal serupa dilakukan oleh Singapura di bawah Lee Hsien Loong, dengan melakukan reklamasi pantai di Singapura untuk memperluas daratannya. Hal ini secara otomatis akan mengubah dan mengeser batas-batas Singapura dengan negara-negara tetangganya. Reklamasi yang dilakukan Singapura juga akan merugikan Indonesia, karena wilayah laut Indonesia akan bertambah sempit dengan semakin meluasnya wilayah darat Singapura. B. Wilayah Negara Sebelum membahas mengenai perbatasan Indonesia dengan Singapura maka alangkah baiknya jika kita memahami terlebih dahulu pengertian wilayah negara. Dalam pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 negara sebagai subjek hukum Internasional harus memiliki kualifikasi-kualifikasi yaitu penduduk yang tetap, wilayah yang jelas, pemerintah yang berdaulat dan pengakuan dari negara lainnya. Berdasarkan konvensi tersebut salah satu unsur yang harus dipenuhi agar suatu kelompok masyarakat dapat disebut negara adalah wilayah. Wilayah merupakan unsur yang mutlak harus dipenuhi, karena wilayah adalah merupakan suatu ruang dimana orang atau sekelompok orang yang menjadi warga negara atau penduduk negara yang bersangkutan hidup serta menjalankan aktivitasnya sehingga wilayah sering disebut sebagai landasan fisik atau landasan material dari suatu Negara. Bahkan menurut Jellinek pengertian wilayah Negara lebih merupakan suatu unsur konstitutif yang harus dipenuhi oleh negara. Wilayah dalam arti ini dimaksudkan bukan hanya wilayah dalam artian geografis atau wilayah dalam arti sempit melainkan wilayah dalam arti luas atau wilayah hukum. Wilayah dalam arti luas atau wilayah hukum merupakan wilayah dimana dilaksanakannya yurisdiksi negara. Dalam batas-batas wilayahnya dalam arti luas Negara menjalankan kedaulatan

teritorialnya. Sekelompok negara dalam menjalankan pemerintahannya tidak dapat menciptakan negara tanpa wilayah karena tanpa wilayah maka lenyaplah negara itu. Dalam sejarah kehidupan umat manusia maupun Negara-negara, kadangkala terjadi konflik-konflik yang bersumber pada masalah wilayah. Konflik ini disebabkan oleh keinginan melakukan perluasan wilayah maupun ketidakjelasan batas-batas wilayah antar negara satu dengan yang lain. Tetapi dengan meningkatnya penghormatan terhadap kedaulatan teritorial negara-negara, terutama setelah Perang Dunia II, kini usaha untuk melakukan perluasan wilayah menjadi berkurang. Wilayah negara meliputi juga dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di bawah wilayah perairan. Hal ini berarti bahwa negara itu memiliki kedaulatan atas dasar laut dan tanah dibawahnya. Segala sumber daya alam yang terkandung di dalamnya adalah menjadi hak dan kedaulatan sepenuhnya dari negara yang bersangkutan. Dengan demikian maka wilayah dan kedaulatan negara itu menyatu dalam wilayah daratan dan tanah di bawahnya serta wilayah perairan serta dasar laut dan tanahdi bawahnya yang terletak di bawah wilayah perairan tersebut.Hal ini seperti yang diutarakan dalam Pasal 2 ayat 2 UNLOS 1982 yang mengatur mengenai: Kedaulatan negara meliputi ruang udara di atas laut teritorial serta dasar laut dan tanah di bawahnya. Kedaulatan negara terhadap wilayah dasar laut dan tanah di dalamnya, dalam hal ini menikuti besarnya yurisdiksi negara terhadap laut mereka seperti yang diatur dalam UNCLOS. C. UU Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai negara maritim telah mendapatkan pengukuhan statusnya dengan Hukum Laut Internasional 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS 1982). Dengan demikian NKRI telah mendapat jaminan atas hak-haknya sebagai negara maritim, namun juga dituntut untuk melaksanakan kewajiban dan tanggungjawabnya di laut terhadap dunia (pelayaran) Internasional. UNCLOS 1982 merupakan Hukum dasar/pokok di bidang kelautan telah mengatur hukum laut yang selama 25 tahun diperjuangkan Indonesia, yaitu ketentuanketentuan tentang : perairan pedalaman (inland waters), perairan kepulauan (Archipelagic waters), laut wilayah/teritorial (Territorial waters), landas kontinen (Continental Shelf), zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan zona tambahan. Seperti yang telah disebutkan diatas, sebagai negara maritim Indonesia berbatasan laut dengan beberapa negara. Salah satu negara yang berbatasan laut dengan Indonesia adalah Singapura. Indonesia berbatasan laut dengan Singapura di 3 (tiga) segmen, yaitu sebelah barat (di sebelah utara Pulau Karimun), tengah (middle segment), dan sebelah timur (di sebelah utara Pulau Bintan). Namun sampai saat ini baru setengahnya saja batas-batas yang telah disepakati dua negara, yaitu di bagian tengah saja. Perundingan yang dilakukan Indonesia dengan Singapura diadakan dari tanggal 7 Mei sampai dengan tanggal 8 Mei 1973, dan disepakati tanggal melakukan kesepakatan pada tanggal 25 Mei 1973 di bawah Hasjim Djalal. Perundingan tersebut telah menghasilkan Perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Singapura tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah kedua Negara di Selat Singapura.

Isi Pokok Perjanjian tersebut adalah bahwa garis batas laut wilayah Indonesia dan laut wilayah Singapura di Selat Singapura yang sempit, yaitu di Selat yang lebarnya antara garis dasar kedua belah pihak kurang dari 15 mil laut, adalah suatu garis yang terdiri dari garisgaris lurus yang ditarik antara titiktitik yang koordinatkoordinatnya tercantum pada Perjanjian termaksud. Pemerintah Indonesia kemudian meratifikasi kesepakatan tersebut pada 3 Desember 1973 ke dalam Undang-Undang no. 7 tahun 1973 tentang Perjanjian Antara Republik Indonesia Dan Laut Wilayah Kedua Negara Di Selat Singapura. Sedangkan pemerintah Singapura baru meratifikasi pada tanggal 29 Agustus 1974. Dalam penentuan batas di bagian tengah tersebut menggunakan metode median line (garis tengah) antar kedua negara tersebut. Setelah kesepakatan 1973, terjadi jeda yang cukup lama dalam pembahasan untuk menentukan batas di sebelah barat dan timur. Kedua negara baru mengadakan pertemuan kembali pada 28 Februari 2005. Pada kesempatan itupun tidak dibahas secara intensif tentang batas laut teritorial antara RI-singapura, tetapi mengenai ekstradisi. Kedua negara sepakat untuk membicarakan perbatasan laut teritorial antar kedua negara pada pertemuan-pertemuan berikutnya. Garis batas laut wilayah Republik Indonesia dan Republik Singapura menurut UU no 7 th 1973 Pasal I di Selat Singapura adalah suatu garis yang terdiri dari garisgaris lurus yang ditarik antara titiktitik yang koordinatkoordinatnya adalah sebagai berikut: Titik-titik Lintang Utara Bujur Timur 1 11046.0 1034014.6 2 10749.8 1034426.5 3 11017.2 1034818.0 4 11145.5 1035135.4 5 11226.1 1035250.7 6 11610.2 1040200.0 Hukum Laut Internasional, UNCLOS 1982 merupakan satu-satunya rujukan bagi negara Negara yang memiliki masalah dengan wilayah laut. Indonesia berharap permasalahan mengenai batas laut antara Indonesia dengan Singapura yang berkenaan dengan reklamasi yang dilakukan oleh Singapura dapat diselesaikan dengan merujuk pada hukum UNCLOS 1982. Walaupun sebetulnya UNCLOS 1982 tidak mengatur secara spesifik mengenai masalah reklamasi, tetapi interpretasi dalam pasal -pasal UNCLOS tetap digunakan sebagai rujukan. Permasalahan reklamasi Singapura menimbulkaan berbagai macam interpretasi dalam kaitannya dengan ketetuan UNCLOS 1982. Penyebabnya, belum ada aturan atau pasal yang spesifik dari UNCLOS yang mengatur mengenai reklamasi. Meskipun begitu, ada beberapa pasal dalam UNCLOS yang dapat diinterpretasikan dalam proses reklamasi, yaitu: 1. Pasal 60 ayat 8 dalam UNCLOS Pasal ini menyebutkan antara lain bahwa pulau buatan, instalasi, dan bangunan tidak mempunyai status pulau, sehingga tidak merniliki laut teritorialnya sendir i. Kehadirannya juga tidak memengaruhi penetapan batas laut teritorial, zona ekonomi eksklusif atau landas kontinen. (UNCLOS 1982, pasal 60, ayat 8). Itu berarti batas wilayah dua negara ditentukan dengan batas -batas alamiah. Artinya, penambahan wilayah darat melalui proyek reklamasi darat tidak mengubah batas wilayah kedua negara. Pasal tersebut juga menyebut mengenai struktur, reklamasi, ataupun pulau buatan tak akan mengubah delimitasi (garis batas) laut teritorial, landas kontinen, dan zona ekonomi eksklusif (ZEE). Sehingga, dapat

diinterpretasikan bahwa base point hanya bisa diukur dari pulau terluar yang alamiah, bukan dari dara tan hash reklamasi. Dengan kata lain, meski daratan Singapura bertambah, wilayah perairannya tidak serta merta ikut maju dan berpengaruh pada kedaulatan wilayah perairan Indonesia (Juwana, 2007). Pihak pemerintah Indonesia dapat menggunakan argumen penafsiran pasal ini, sehingga kedaulatan wilayah Indonesia tidak akan terganggu, meski Singapura melakukan proyek perluasan wilayah melalui reklamasi, sepanjang tidak melanggar garis perbatasan yang telah di sepakati kedua belah pihak melalui perjanjian perbatasan wilayah.
2. Pasal 4/11??? dalam UNCLOS

Pasal 4 antara lain menyebutkan bahwa: "Untuk tujuan delimitasi laut territorial, bagian terluar instalasi pelabuhan yang merupakan bagian integral dari pelabuhan dapat diperlakukan sebagai bagian dari pantai." Pasal ini juga menjelaskan jauh secara teknis dalam Petunjuk Aspek Teknis UNCLOS (TALOS) yang menyatakan instalasi pelabuhan tersebut meliputi struktur permanen buatan manusia di sepanjang pantai dan merupakan bagian integral dari system pelabuhan seperti pelindung pantai, dermaga, fasilitas pelabuhan lain, terminal pantai, dinding laut. Instalasi pelabuhan semacam itu bias digunakan sebagai bagian dari garis pangkal untuk delimitasi laut territorial dan yurisdiksi maritim lainnya. Seandainya reklamasi pantai yang dilakukan Singapura bertujuan untuk membangun struktur seperti yang dimaksud oleh Pasal 4 UNCLOS, maka jelas instalasi semacam itu bisa digunakan sebagai garis pangkal. Akibatnya, garis pangkal yang berubah berpotensi mengubah klaim maritim Singapura menjadi lebih ke selatan mendekati Indonesia (Warsana, 2007). Berdasarkan interpretasi terhadap pasal ini, maka reklamasi yang dilakukan Singapura untuk keperluan fasilitas -fasilitas pelabuhan akan dapat diukur sebagai titik pangkal penarikan garis perbatasan. Indonesia harus mewaspadai terhadap klaim interpretasi dari pasal ini.
3. Pasal 15 dalam UNCLOS

Pasal 15 antara lain menyebutkan mengenai penetapan garis batas taut teritorial antara negara-negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan. Bahwa untuk dapat menetapkan batas laut teritoialnva, maka tidak satupun diantaranya berhak, kecuali ada persetujuan yang sebaliknya diantara mereka, untuk menetapkan batas laut teritorialnya melebihi batas tengah yang titik -titiknya sama jaraknya dari titik titik terdekat pada garis garis pangkal darimana lebar laut territorial masing-masing negara diukur. Tetapi, ketentuan tersebut tidak berlaku jika terdapat Masalah hak historis atau keadaan khusus lainnya. Hal ini berarti wilayah perairan Indonesia-Singapura haruslah diselesaikan dengan perundingan di antara kedua belah pihak, dimana negara tidak berhak untuk melebihi batas tengah perairan. Dalam proses perundingan tersebut, masingmasing negara akan menggunakan berbagai argumen dan pasal pasal yang tertera claim UNCLOS 1982. Berdasarkan interpretasi terhadap ketentuan-ketentuan UNCLOS mengenai reklamasi tersebut, maka ada celah -celah dari masing-masing negara, baik Indonesia maupun Singapura, untuk mengajukan argumen masing-masing terkait perrnasalahan reklamasi Singapura dan dampak delimitasi batas wilayah. D. Perbatasan Laut Indonesia berbatasan laut dengan Singapura di 3 (tiga) segmen, yaitu sebelah barat (di sebelah utara Pulau Karimun), tengah (middle segment), dan sebelah timur (di sebelah utara Pulau Bintan). Namun sampai saat ini baru setengahnya saja batas-batas yang telah disepakati dua negara, yaitu di bagian tengah saja. Perbatasan bagian barat dan timur sampai saat ini masih dalam tahap perundingan. Meski begitu, Indonesia harus tetap waspada terhadap

Singapura, terutama menyangkut upaya reklamasi oleh Singapura untuk menambah luas daratannya. Reklamasi adalah proses perluasan wilayah yang dilakukan secara sengaja oleh negara bersangkutan dengan cara melakukan pengerukan wilayah. Bagi Singapura, reklamasi merupakan kebijakan nasional yang ditujukan bagi kepentingan nasionalnya. Hal ini sejalan dengan kebijakan pembangunan fisik Singapura dalam Concept Plan 2001 yang didasari atas visi Singapura 40 -50 tahun mendatang dengan proyeksi penduduk 5,5 juta orang dengan peningkaian kebutuhan wilayah bagi perumahan, industri, rekreasi, infrastruktur, penampungan air, keperluan militer, dan kebutuhan -kebutuhan teknis pendukung operasional Bandara Changi. Sejalan dengan itu, Concept Plan 2001 menargetkan reklamasi lanjutan Singapura untuk meningkatkan 15% luas wilayah Singapura tahun 2006 (KIIRI Singapura, 2004: 31-32). Sejak Singapura melakukan reklamasi pada 1966, luas wilayah Negara ini bertambah hingga meneapai 697,2 km 2 dari luas wilayahnya pada 1960, yaitu 581,5 kin2. Singapura juga memiliki masterplan reklamasi hingga luas wilayahnya mencapai 774 km pada tahun 2010. Proses reklamasi yang masili berjalan di Singapura antara lain reklamasi pembangunan terminal III Bandara Changi, Pulau Tekong, Tuas View Extention, dan Jurong Island tahap IV. Apabila proyek reklamasi ini bisa diselesaikan, maka wilayah Singapura akan bertambah menjadi seluas 15.214 hekta (KBRI Singapura, 2004: 35). Hal ini berarti wilayah Singapura akan bertambah hingga 160 km (Laporan Akhir Departemen Kelantan dan Perikanan, 2003). Berikut adalah tabel dari Year Book of Statistic Singapore up to 2006 yang menunjukkan bertambahnya wilayah Singapura pasca reklamasi: Tahun Luas Wilayah (km) 580 581.5 596.8 620.5 647.5 699 setelah 760 Penambahan Lahan (km) 0 1.5 15.3 39 66 117.5 180

1960 1966 1975 1985 1995 2005 Perkiraan luas reklamasi Sumber:Mertlaga Pasir Demi Kedaulatan, dalam kompas, 17 Maret 2007 Reklamasi Singapura tidak dapat dilepaskan dari keberadaan Indonesia sebagai penyuplai utama pasir laut dan pasir darat. Perusahaan-perusahaan Singapura melakukan impor kebutuhan pasir untuk reklamasi tersebut dari Indonesia karena alasan ekonomis, yaitu efisiensi dan efektifitas biaya yang dikeluarkan (Tempo, 26 Februari -4 Maret 2007). Salah satu pulau Indonesia yang menjadi korban reklamasi singapura adalah pulau Nipah. Pulau ini terletak di barat laut Pulau Batam, pada koordinat 1 derajat 93 menit 13 detik LU dan 103 derajat 39 menit 11 detik BT. Masalah yang dihadapi pulau adalah risiko tenggelam karena pengerukan pasir laut untuk dijual ke Singapura. RI menuduh ini bukan reklamasi tetapi pengurugan laut untuk perluasan permukiman.

Faktor lain yang mengaitkan reklamasi Singapura dengan Indonesia adalah posisi reklamasi yang berhadapan langsung dengan wilayah kedaulatan Indonesia, sehingga dikhawatirkan garis batas Singapura semakin maju mendekati wilayah RI. Di Kepulauan Mau, perbatasan Indonesia - Singapura ini berjarak tidak lebih dari 24 mil. Jarak terjauh perbatasan antara Indonesia dengan Singapura pascareklamasi adalah 14,33 km di perbatasan Pulau Nongsa (Indonesia) dengan Chan gi Airport (Singapura), sedangkan jarak terdekat adalah 4,54 km di perbatasan pulau Batu Berhanti (Indonesia) dengan Pulau Sakijang Pelepah (Singapura) (Kompas, 17 Maret 2007). Itulah sebabnya, kedua Negara tidak memungkinkan untuk memiliki laut teritorial sejauh 12 mil. Oleh karena itu, diperlukan pembiearaan antara kedua negara untuk menentukan penetapan garis teritorial seperti diatur dalarn pasal 15 UNCLOS 1982. Batas sebelah barat sebenarnya berada di sebelah utara Pulau Karimun yang panjangnya 5 mil. Sedangkan untuk sebelah Timur berada di sebelah utara pulau Bintan yang panjang kurang lebih hampir sama dengan yang ada di sebelah barat. Namun dalam penentuan batas wilayah laut antara RI Singapura tidak dapat lagi dilakukan dengan menggunakan median line, karena Singapura telah keburu melakukan reklamasi pantainya, sehingga luas daratannya bertambah. Jika penentuan batas tersebut masih menggunakan median line, maka akan merugikan Indonesia, karena wilayahnya akan lebih sempit akibat dari perluasan daratan Singapura dan semakin majunya garis pantai Singapura. Penentuan batas wilayah laut antara RI-Singapura ini harus segera diselesaikan, karena jika tertundatunda potensial dapat mengakibatkan sengketa. Dan jika dibiarkan berlarut-larut, maka Indonesia sendiri yang akan semakin dirugikan karena Singapura masih terus melakukan reklamasi terhadap pantainya.

Permasalahan Perbatasan Proyek reklamasi menimbulkan ketegangan antara pihak Indonesia dengan Singapura. Dari pihak Indonesia, reklamasi dikhawatirkan mengganggu kedaulatan teritorial Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan adanya reaksi keras dari berbagai elemen, seperti pernyataan Ketua DPR Agung Laksono, yang mengatakan bahwa Perneri ntah Indonesia sebaiknya menarik Duta Besar Indonesia untuk Singapura, Ashok Kumar Mirpuri, sebagai bentuk protes terhadap sikap Pernerintah Singapura yang tents menambah daratan negaranya hingga 12 mil laut menjorok he wilayah daratan Indonesia (Suara Karya, 22 Februari 2007). Hal serupa juga dikemukakan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Widodo A.S., yang mengingatkan bahwa ekspor pasir dari Kepulauan Riau untuk Singapura bias menggeser garis perbatasan laut Indonesia -Singapura. Senada dengan Widodo, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono bereneana melayangkan nota protes keberatan jika reklamasi Singapura memengaruhi pertahanan dan keamanan di Tanah Air (Kompas, 17 Maret 2007). Sejunalah pernyataan para pejabat Indonesia di atas menunjukkan adanya kekhawatiran bahwa reklamasi Singapura akan mengganggu kedaulatan bangsa Indonesi a. Lebih spesifik, dikhawatirkan reklamasi akan menggeser garis perbatasan Indonesia Singapura. Hal ini juga didasarkan pada fakta bahwa reklamasi telah menyebabkan daratan Singapura maju sejauh 12 km dari original base line perjanjian perbatasan Indonesia Singapura pada tahun 1973 (Departemen Luar Negeri, 2006).

Patut diperhatikan, perjanjian tersebut ternyata belum menyelesaikan delimitasi Batas maritim untuk keseluruhan kawasan maritim yang seharusnya didelimitasi. Perjanjian perbatasan tahun 1973 hanya menyepakati 6 titik seperti disebutkan di atas. Sementara itu, masih ada segmen di sebelah barat dan timur yang harus diselesaikan. Sedangkan, Singapura sendiri sangat aktif melakukan reklamasi dan konstruksi pelabuhan, yang berakibat pada perubahan bentuk pantainya. Reklamasi secara signifikan telah menggeser garis pantai Singapura ke arah selatan atau ke arah kedaulatan wilayah Indonesia. Berikut adalah gambar peta kawasan yang harus didelimitasi oleh Pemerintah Indonesia terkait dengan perkembangan proyek reklamasi. Gambar tersebut menunjukkan bahwa perjanjian perbatasan Indonesia-Singapura pada 1973 hanya menyelesaikan wilayah selatansementara itu, w-ilayah segmen barat sepanjang 14 mil yang berbatasan dengan Jurong Island dan segmen timur sepanjang 28 mil yang berbatasan dengan Changi Airport belum ada perjanjian perbatasan antara Indonesia dengan Singapura. Dari berbagai proyek reklamasi yang dilakukan Singapura mengakibatkan daratan Singapura maju sejauh 12 km pada wilayah yang belum didelimitasi batas wilayahnya di wilayah segmen barat. Singapura juga memiliki masterplan pengembangan proyek reklamasi hingga 2010. Sementara itu, perjanjian perbatasan Indonesia - Singapura tahun 1973 hanya menyepakati 6 titik (v-line). Oleh karena itu, dengan belum disepakatinya keseluruhan wilayah perbatasan Indonesia-Singapura, hal tersebut menjadi ancaman potensi konflik delimitasi wilayah perbatasan Indonesia -Singapura.

Pulau Nipah merupakan salah satu pulau terluar Indonesia. Pulau Nipah terletak di Provinsi Kepulauan Riau, tepatnya berada di barat laut Pulau Batam dan menjadi titik perbatasan antara Indonesia dengan Singapura. Posisi koordinat pulau Nipah adalah 01 0 93" 13' Lli dan 103 39" if BT (www.dfa-deplu.go.id, 20034 Pulau Nipah juga terletak di Selat Philips dan Selat Singapura yang merupakan selat internasional dengan volume pelayaran sangat padat. Pulau Nipah berada di tengah alur pelayaran internasional dengan frekuensi pelayaran yang cukup tinggi sekitar 100 kapal/hari ya ng terdiri dari kapal tanker, kargo, dan kapal tongkang (Retraubun, 2004: 31). Pulau Nipah jelas memiliki nilai sangat strategis bagi Indonesia. Sebab, posisi Pulau Nipah sebagai pulau terluar yang menjadi titik perbatasan antara Indonesia dengan Singapura . Di Pulau Nipah juga terdapat 2 titik dasar (base point) menurut PP No. 38/2002, yaitu TD No. 190 dan No. 190A. Dapat kita lihat dari peta tersebut, bahwa keberadaan Pulau Nipah sangat strategis bagi Indonesia. Oleh karena itu, keberadaan Pulau Nipah akhir -akhir ini menjadi perhatian banyak pihak karena kondisinya yang memprihatinkan. Pulai ini terancam tenggelam akibat abrasi karena reklamasi yang dilakukan Singapura. Kehidupan biota laut di sekitar Pulau Nipah juga rusak parah akibat penambangan pasir laut yang dilakukan untuk keperluan reklamasi. Pulau Nipah saat ini menghadapi ancaman resiko tenggelam karena abrasi akibat penambangan pasir yang dilakukan di sekitar perairan di Kepulauan Riau untuk keperluan proyek reldamasi Singapura. Luas Pulau Nipah bahkan hanya sekitar 6 hektar ketika posisi ai r surut pada 2003 sebelum pemerintah memutuskan untuk melakukan reklamasi di Pulau Nipah (Kompas, 26 November 2005). Berdasarkan wawancara penulis dengan Domus Dumoli Agusman (Direktur Perjanjian Ekonomi Sosial Budaya Departemen Luar Negeri RI), ancaman hilangnya Pulau Nipah tidak berarti akan menggeser garis perbatasan wilayah Indonesia -Singapura yang telah disepakati pada 1973. Sebab, perjanjian itu sudah bersifat mengikat mengenai perbatasan kedua negara dan sudah didaftarkan di PBB. Selain itu, garis

batas laut wilayah yang disetujui oleh Indonesia dan Singapura menggunakan titik koordinat yang bukan dari hasil konstruksi titik dasar dan garis pangkal yang menyangkut Pulau Nipah menurut No.4/Prp/196o tentang Perairan Indonesia. Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional juga mengatur bahwa batas antarnegara be rsifat final dan tidak tunduk pada ketentuan tentang perubahan fundamental bagi tuntutan pembatalan perjanjian internasional (Pasal 62). Karena itu, meskipun Pulau Nipah hilang sekalipun, tidak berarti ikut menggeser perjanjian perbatasan Indonesia-Singapura 1973 Akan tetapi, yang perlu diperhatikan dari ancaman hilangnya Pulau Nipah dengan permasalahan delimitasi perbatasan wilayah Indonesia dengan Singapura adalah pengaruhnya terhadap posisi Indonesia dalam perundingan batas maritim yang belum ditetapk an dengan Singapura, yaitu di sehelah barat Selat Singapura (wilayah segmen barat). Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, perjanjian perbatasan Indonesia - Singapura hanya menyepakati 6 titik wilayah di segmen selatan (vline), sedarmkan wilayah timur sepanja ng 28 mil dan wilayah barat sepanjang 14 mil belum terselesaikan. Sementara itu, Palau Nipah terletak di wilayah segmen barat, sehingga jika Pulau Nipah tenggelam, jelas akan memengaruhi posisi Indonesia dalam perundingan bilateral yang sedang dibicarakan sejak tahun 2005 oleh Indonesia dan Singapura. Pencurian kekayaan alam kita dari laut khususnya ikan yang bernilai puluhan trilyun rupiah pertahun cenderung semakin meningkat. Hal ini disebabkan para pencuri itu semakin meningkat jumlahnya, mereka menggunakan wahana dan sarana penangkapan ikan yang semakin canggih dan modern. Disisi lain aparat Kamla kita tidak mengalami kemajuan yang signifikan. Untuk itu diperlukan strategi penanggulangan kejahatan perairan perbatasan yang efektif, sistematis dan handal. Dalam strategi penanggulangan ini meliputi : pencegahan, penangkalan dan pemberantasan.Sehubungan dengan itu, upaya-upaya yang disarankan untuk dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Menambah jumlah dan meningkatkan kemampuan serta pemberdayaan aparat keamanan yang ditempatkan di wilayah perbatasan darat dan laut. Untuk kesatuan TNI misalnya melalui TMMD, Karya Bhakti dan Operasi Bhakti untuk membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat guna menumbuhkan kesadaran bela negara serta rasa kebangsaan. 2. Menuntaskan penyelesaian masalah penetapan garis perbatasan dan masalahmasalah krusial lainnya yang sering terjadi di kawasan perbatasan darat seperti para pelintas batas tradisional dari kedua negara, kolaborasi antara penduduk perbatasan dengan cukong-cukong dari negara tetangga untuk perbuatan jahat seperti illegal logging, illegal mining, human trafficking, smugling, dan lain-lain. Untuk perbatasan laut, melanjutkan kembali pertemuan bilateral guna menyelesaikan atau mencapai kesepakatan perbatasan laut kedua negara dan meningkatkan kegiatan patroli terkoordinasi dengan negara-negara tetangga. 3. Menambah jumlah penduduk perbatasan terutama pada lokasi strategis, wilayah rawan kejahatan dan pulau-pulau terpencil. Penambahan ini dapat dilakukan melalui program transmigrasi atau relokasi penduduk dari wilayah perbatasan yang padat ke wilayah yang kosong namun cukup potensial untuk berkembang. Program transmigrasi yang disarankan adalah program transmigrasi pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat) dan atau pola NIR (Nelayan Inti Rakyat) untuk daerah perbatasan pantai dan pulau-pulau terpencil. Dengan demikian, bersama-an dengan itu harus dibangun perusahaan inti perkebunan dan nelayan yang melibatkan perusahaan BUMN, BUMD dan Swasta nasional. 4. Mengubah paradigma dan pandangan yang selama ini memandang dan memperlakukan wilayah perbatasan sebagai daerah belakang (periphery areas) menjadi daerah depan (frontier areas). Dengan paradigma baru tersebut diharap-kan daerah perbatasan mendapat kesempatan/prioritas dalam pembangunan dan pembinaan khusus di segala bidang. Dampak dari pembangunan dan pembinaan wiltas ini akan dapat meningkatkan kesejahteraan

penduduk, yang pada gilirannya dapat meningkatkan rasa kebangsaan, cinta tanah air dan kesiapan bela negara serta kepercayaan diri dan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. 5. Menambah porsi pelajaran geografi nasional, termasuk grografi maritim Indonesia pada kurikulum pendidikan mulai tingkat dasar (SD) dan lanjutan (SMP dan SMU). Tujuannya agar semua WNI sejak dini sudah mengenal wilayah tanah airnya yang luas dengan lokasinya strategis dalam konstelasi/interelasi hubungan Barat dan Timur, sehingga karenanya memiliki nilai geopolitik yang tinggi. 6. Mengembangkan produk hukum, peraturan dan perundang-undangan yang mengenai problematika daerah perbatasan, baik darat maupun laut serta perjanjian perbatasan antara RI dengan negara tetangga dalam menangani kejahatan lintas Negara (transborder crimes) seperti smugling (penyelundupan), human trafficking dan terrorism. Untuk perbatasan wilayah perairan banyak produk hukum yang dapat dibuat dengan cara mengelaborasi dan menjabarkan pasal-pasal dan kaidah hukum yang bersumber dari Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982). 7. Pelibatan berbagai pihak (stokeholders) dari kalangan pemerintah dan masyarakat guna membangun kebersamaan dan kesatuan dalam menghadapi segala bentuk ancaman dan gangguan keamanan dan kejahatan bersenjata maupun non bersenjata. Kegiatannya dapat dilakukan dalam bentuk penyuluhan- penyuluhan di bidang hukum, keamanan ketertiban dan ketahanan masyarakat. E. Perbatasan Udara Selain masalah perbatasan laut, Indonesia juga mengalami persoalan wilayah udara dengan Singapura tentang Flight Information Region (FIR). Selama ini pengelolaan FIR yang mencakup sebagian wilayah Indonesia (wilayah udara Palembang) dilakukan oleh Singapura untuk latihan militer dan juga Malaysia. Wilayah ruang udara di atas Indonesia hingga saat ini belum memiliki batas meskipun Undang-Undang Dasar 1945 telah mengaturnya. Dengan begitu, kita belum memiliki kedaulatan pada wilayah udara dan tidak ada kekuatan hukum untuk mengklaim bila ada pesawat terbang asing yang melintasi wilayah udara Indonesia. Sebagian besar orang Indonesia mengenal terminologi tanah airku Indonesia sebagai pengganti jika orang hendak mengatakan bahwa ia adalah warga negara Indonesia. Mungkin agak aneh apabila mendengar orang mengatakan tanah air dan udaraku Indonesia. Itulah sebabnya, antara lain, yang menjadikan udara kadang- kadang luput dari perhatian kita semua, termasuk di dalamnya pemahaman tentang kedaulatan negara di udara. Membicarakan batas kedaulatan negara di udara, terutama batas atasnya, menjadi semakin menarik akhir-akhir ini karena perkembangan teknologi bidang kedirgantaraan sudah begitu pesat sekali. Sejak zaman dulu sebenarnya sudah banyak upaya manusia untuk mengatur hal yang agak rumit tentang udara. Dalam hukum Romawi dikenal suatu prinsip yang berbunyi Cujus est solum, Ejus est usque coelum, yang berarti bahwa barang siapa memiliki sebidang tanah, ia juga memiliki apa yang berada di dalam tanah dan juga ruang yang berada di atasnya tanpa batas (ad infinitum; up to the sky). Hukum Romawi menolak prinsip open sky. (Priyatna Abdurrasyid dalam bukunya, Prinsip-prinsip Hukum Angkasa). Pengaruh dari hukum Romawi tentang hak kepemilikan di udara terdapat di dalam hukum Indonesia, yakni dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 571, yang

berbunyi, Hak milik atas sebidang tanah mengandung di dalamnya, kepemilikan atas segala yang ada di atasnya dan di dalam tanah. Menjelang berakhirnya Perang Dunia II, yaitu tahun 1944, telah terbentuk Convention on International Civil Aviation, Chicago, 7 Desember 1944. Dalam pasal 1-nya disebutkan bahwa Setiap negara memiliki kedaulatan yang lengkap dan eksklusif terhadap ruang udara di atas wilayahnya. Selanjutnya disebutkan juga bahwa hak lintas damai di ruang udara nasional suatu negara, seperti halnya pada hukum laut, ditiadakan. Jadi tidak satu pun pesawat udara asing diperbolehkan melalui ruang udara nasional suatu negara tanpa izin negara yang bersangkutan. Landasan hukum lain yang mengatur tentang wilayah udara adalah konvensi Geneva. Sebagian besar negara di dunia, termasuk Indonesia, telah meratifikasi Konvensi Geneva 1944 sehingga kita menganut pemahaman bahwa setiap negara memiliki kedaulatan yang lengkap dan eksklusif terhadap ruang udara di atas wilayahnya, dan tidak dikenal adanya hak lintas damai. Dengan demikian dapat dibayangkan betapa berat tugas dan tanggung jawab TNI Angkatan Udara, yang harus menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia di udara. Menjadi lebih rumit lagi tugas ini karena ada sebagian wilayah udara kedaulatan Republik Indonesia yang berstatus sebagai wilayah yang Indonesia tidak memiliki kedaulatan yang lengkap dan eksklusif, yaitu wilayah udara yang berada di bawah pengaturan Flight Information Region (FIR) Singapura. Di wilayah udara kedaulatan RI inilah semua pengaturan penerbangan berada di bawah otoritas Singapura. Sungguh merupakan kondisi yang sangat memprihatinkan. Ditambah lagi karena sudah berlangsung puluhan tahun, sering kali otoritas pengatur lalu lintas udara Singapura bertindak berlebihan dalam mengatur pesawat Indonesia di atas wilayah Indonesia sendiri dengan mengatasnamakan keselamatan penerbangan (yang sebenarnya adalah bisnis penerbangan) di Bandara Changi untuk kepentingan Singapura sendiri. Semua penerbang Indonesia yang pernah atau sering melaksanakan tugasnya di wilayah ini pasti merasakan kejanggalan yang sangat tidak mengenakkan ini. Bergerak di rumah sendiri, tetapi harus mendapat izin dan diatur mutlak oleh tetangganya, dengan rumah yang jauh lebih kecil atau dari paviliunnya. Transportasi udara Batam-Natuna terganggu perjanjian militer antara Indonesia dengan Singapura yang membolehkan negara jiran itu menggunakan perairan Kepulauan Riau sebagai daerah latihan perang. Pesawat Indonesia harus memutar arah karena tidak bisa lewat daerah itu. Akibat pemutaran jalur terbang, maka jarak tempuh pesawat menjadi dua kali lipat semestinya. Biaya bahan bakar pun menjadi dua kali lipat. Jika memaksa melewati daerah itu, maka tentara Singapura akan menembak pesawat. Tidak bisa dibantah, atas nama keselamatan penerbangan dan atas nama kemajuan teknologi kita yang tertinggal, hal ini terjadi. Memang seluruh kolom udara telah dibagi habis dalam pengorganisasian pengaturan lalu lintas udara bagi negara-negara anggota International Civil Aviation Organization yang telah diatur dalam Civil Air Safety Regulation (CASR). Namun, membiarkan hal ini berlangsung terus-menerus tanpa ada upaya sama sekali untuk mengoreksinya adalah suatu hal yang sangat merendahkan harga diri dan kehormatan bangsa. Hal ini juga menyimpang dari sikap kita yang telah meratifikasi Konvensi Geneva 1944 tentang kedaulatan negara di udara yang lengkap dan eksklusif.

Banyak cara yang dapat ditempuh dan banyak pula upaya yang dapat dilakukan secara bertahap menuju kepada penyelesaian yang proporsional agar kedaulatan negara di wilayah udara kedaulatan Republik Indonesia dapat benar-benar dikelola dengan berdasarkan hak berdaulat yang lengkap dan eksklusif sesuai dengan apa yang tercantum dalam Konvensi Geneva 1944. Sudah sepatutnya kita dapat terbang di wilayah kedaulatan negara sendiri dengan nyaman dan dihargai sesuai dengan harkat dan martabat sebagai pemilik yang sah dari wilayah udara tersebut. Kita optimistis, dengan langkah-langkah yang telah diambil pemerintah selama ini, masalah FIR pastilah akan menjadi agenda berikutnya yang akan dibicarakan.

A. Solusi

You might also like