You are on page 1of 7

PENGANTAR METODOLOGI KAJIAN SEJARAH ISLAM KLASIK Oleh: Asep Sobari, Lc.

Urgensi Sejarah Sejarah merupakan salah satu materi utama yang mengiringi perkembangan Islam. AlQuran memuat banyak sekali ayat tentang kisah atau sejarah umat-umat terdahulu. Hampir setiap surah Al-Quran mengungkap perjalanan para pelaku sejarah di masa lalu berikut perilaku mereka dengan berbagai coraknya. Hal ini sudah cukup untuk membuktikan pentingnya sejarah dalam Islam, tapi nyatanya lebih dari itu, Al-Quran menegaskan urgensi sejarah dengan memerintahkan umat agar berusaha keras meneliti dan menguasai aturan-aturan Allah (sunnatullah) dalam sejarah, lalu menjadikannya sebagai pelajaran dan bekal yang sangat berharga guna memahami kondisi kekinian dan merumuskan masa depan. Katakanlah, Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu." (al-An`am: 11). Katakanlah, Berjalanlah di muka bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah memulai penciptaan.. (al-`Ankabut: 29). Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah. Karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). (Ali `Imran: 137). Tahapan-tahapan dakwah Rasulullah saw. pun selalu diiringi materi sejarah. AlMubarakfuri mencatat, fase dakwah terbuka dimulai Rasulullah saw. setelah turunnya surah al-Hasyr.1 Surah ini mengungkapkan tahapan-tahapan detil perjalanan dakwah Musa kepada Bani Israil yang mendapat penentangan keras dari Fir`aun hingga Allah swt. menenggelamkan pengusa tiran tersebut dan menghancurkan peradabannya. Tampaknya, Allah swt. sengaja menunjukkan sebuah model kepada Rasulullah saw. dan para sahabatnya agar lebih siap untuk menghadapi penentangan dan intimidasi para pemuka Quraisy. Generasi salaf memahami betul urgensi sejarah dalam membentuk karakter umat. Karenanya, mereka mengajarkan sejarah kepada anak-anak dengan sangat serius, selayaknya mengajarkan Al-Quran. Muhammad bin al-Hasan menuturkan, Kami diajari Maghazi (sejarah peperangan) Nabi saw. sebagaimana diajari sebuah surah dalam Al-

Al-Rahiq al-Makhtum, Shafi al-Rahman al-Mubarakfuri, Dar al-Salam-Riyadh, cet.1 hal. 77.

Quran.2 Imam al-Zuhri, pemuka generasi tabi`in, menyatakan, Ilmu al-Maghazi mengandung ilmu akhirat dan dunia.3 Penulisan Sejarah Islam Sejarah Islam bukan sekedar sejarah peristiwa, melainkan juga sejarah agama dan penerapan ajaran-ajarannya. Karenanya, penulisan sejarah Islam dimulai sejak dini, beriringan dengan penulisan hadits Nabi saw. Hadits sendiri banyak mengandung materi sejarah, sehingga dapat dikatakan, materi-materi dasar sejarah terdapat dalam hadits. Namun tidak hanya sebatas itu, kitab-kitab hadits bahkan sering mencantumkan materimateri sejarah dalam bab-bab tersendiri, seperti al-Maghazi wa al-Siyar, Fadhail alShahabah, al-Manaqib dan lain-lain. Dengan demikian, para sejarawan muslim pertama adalah ulama-ulama hadits. Sebut saja Aban ibn Usman, `Urwah ibn Zubair ibn `Awwam, `Ashim ibn Umar ibn Qatadah, Muhammad ibn Muslim al-Zuhri, Musa ibn `Uqbah, Muhammad ibn Ishaq, Sulaiman ibn Tharkhan al-Taimi, Walid ibn Muslim al-Dimasyqi, Muhamad ibn `Aidz al-Dimasyqi dan Abu Mi`syar al-Sindi.4 Meraka semua adalah ahli hadits terkemuka dari generasi tabi`in dan sesudahnya. Pada fase ini karakteristik penulisan sejarah Islam tidak lepas karakteristik penulisan hadits. Para sejarawan ahli hadits5, umumnya, lebih menonjolkan aspek hukum dan kejelasan sumber berita atau sanad ketimbang kronologi dan keutuhan peristiwa sejarah. Akibatnya, meskipun bobot berita beritanya cenderung kuat, namun pembaca sejarah akan kesulitan mendapatkan gambaran utuh tentang suatu peristiwa, apalagi kaitannya dengan peristiwa-peristiwa lain. Sejak masuk abad kedua hijriyah, muncul corak baru penulisan sejarah Islam. Beberapa sejarawan periode ini, dan berikutnya, lebih menonjolkan kronologi dan kelengkapan berita tentang peristiwa sejarah, terutama sejak periode Khulafa Rasyidun. Dengan sistematika penulisan ini, pembaca akan dimanja dengan melimpahnya berita yang tersusun dengan rapi dan detil. Namun jika sedikit saja dibandingkan dengan karya sejarawan lain, pembaca akan kebingungan karena banyaknya kontradiksi yang sulit dikompromikan. Sejarawan yang menggunakan sistematika penulisan ini disebut Akhbari. Para sejarawan terkemuka kelompok ini antara lain, Muhammad ibn Sa'ib al-Kalbi (146H), `Awanah ibn Hakam (147H), Abu Mikhnaf Luth ibn Yahya (157H), Saif ibn Umar al-Tamimi (180H), Abu al-Yaqzhan al-Nassabah (190H), Haitsam ibn `Adi (206H), al-Waqidi (207), Abu
Al-Bidayah wa al-Nihayah, Ibn Katsir al-Dimasyqi, vol. 3 hal. 297. Ibid. Lihat juga, al-Sirah al-Nabawiyyah, Dr. Ali Muhammad al-Shallabi, Dar Ibn Katsir-Damaskus, cet.1 vol. 1 hal. 7. 4 Marwiyyat al-Sirah al-Nabawiyyah baina Qawa`id al-Muhadditsin wa riwayat al-Akhbariyyin, Dr. Akram Dhiya' al-`Umari, Mujamma` al-Malik Fahd- Madinah, t.th. hal. 1. 5 Kecuali al-Sirah al-Nabawiyyah karya Ibn Ishaq. Buku ini dapat dikatakan sebagai rujukan terlengkap pertama untuk periode sirah Nabi saw. yang disusun secara sistematis sesuai kronologi peristiwaperistiwanya.
3 2

`Ubaidah Ma`mar ibn Mutsanna (209H), Muhammad al-Mada'ini (212H).

Nashr ibn Muzahim (212H) dan Ali ibn

Selain tidak jarang menyampaikan berita dari sumber yang tidak jelas6, kredibilitas periwayatan kebanyakan sejarawan Akhbari dinilai lemah dan terbukti mempunyai kecenderungan-kecenderungan subjektif yang sangat mempengaruhi bobot beritanya. kecenderungan negatif ini cukup beragam, seperti fanatik golongan, aliran dan kesukuan. Tampaknya, perselisihan internal umat Islam di akhir masa Khulafa Rasyidun menjadi momentum penting kelahiran aliran-aliran ideologis dan kesukuan yang telah dipersiapkan dengan matang. Alhasil, mereka pun berusaha mencari pembenarannya dalam sejarah dengan mengembangkan berita-berita lemah bahkan palsu. Bentuk kecenderungan negatif tersebut dapat dilihat seperti berikut. Muhammad al-Kalbi misalnya, dinilai Ibn Abu Hatim, al-Bukhari, Ibn Hajar dan lainnya, sebagai pengikut setia Syi`ah, haditsnya diabaikan (matruk) dan tidak terpercaya (tsiqah); `Awanah ibn Hakam dinilai Ibn Hajar sebagai pro Usman dan biasa memalsukan riwayat untuk mendukung Bani Umayyah; Saif ibn Umar banyak mendapat kritikan pedas dari para ahli hadits, sekalipun kekayaan riwayat sejarahnya diakui, namun teks-teks riwayatnya tetap harus ditakar dengan metode kritik teks yang dikembangkan para kritikus hadits; Abu alYaqzhan dinilai pro Bani Umayyah, benci aliran Syu`ubiyah dan menentang kelompok Syi`ah ekstrim; Haitsam ibn `Adi dinilai lemah oleh Ibn Ma`in, al-Bukhari dan Abu Dawud; Ma`mar ibn Mutsanna dinilai Ibn Qutaibah sebagai penganut Syu`ubiyah yang membenci etnik Arab; Nashr ibn Muzahim dinilai al-Dzahabi sebagi penganut Syi`ah sangat fanatik, dan Abu Khaitsamah menilainya pendusta.7 Abu Mikhnaf disepakati sebagai penganut syi`ah sangat fanatik. Uniknya, tidak hanya kredibilitas periwayatan haditsnya yang mendapat kritik keras, melainkan juga bobot riwayat sejarahnya. Al-Darquthni menilainya sebagai, Akhbari yang lemah.8 alDzahabi menyatakan, Dia adalah akhbari yang rusak dan tidak dapat dipercaya.9 Ibn Hajar juga memberi penilaian yang sama, Seorang akhbari yang rusak dan tidak dapat dipercaya.10 Buku-buku Induk Sejarah Islam Klasik Mulai abad ketiga hijriyah, muncullah karya-karya besar sejarah Islam yang berupaya menghimpun seluruh riwayat sejarah sejak masa pra-Islam hingga waktu buku tersebut ditulis. Sejarawan-sejarawan fase ini, dan berikutnya, antara lain, Muhammad ibn Sa`ad (230H) [al-Thabaqat al-Kubra], Khalifah ibn Khayyath (240H) [al-Tarikh], Ibn Qutaibah
Al-Waqidi dikritik karena menyampaikan berita dari sumber yang tidak jelas identitasnya (majhul), lihat, al-Waqidi wa Kitabuh al-Maghazi, Dr. Abdul Aziz ibn Sulaiman al-Salumi, vol. 1 hal. 131. Kritik yang sama diarahkan kepada Abu Mikhnaf, lihat, Marwiyyat Abi Mikhnaf fi Tarikh al-Thabari, Dr. Yahya ibn Ibrahim al-Yahya, Dar al-`Ashimah-Riyadh, hal. 45. 7 Silakan baca penilaian lengkap para ahli kritik hadits terhadap sejarawan-sejarawan akhbari tersebut dalam buku Marwiyyat al-Sirah al-Nabawiyyah, karya DR Akram al-`Umari, hlm. 3-6. 8 Al-Dhu`afa wa al-Matrukin, al-Darqutni, hal. 333. 9 Mizan al-I`tidal, al-Dzahabi, vol. 3 hal. 299. 10 Lisan al-Mizan, Ibn Hajar vol. 7 hal. 301.
6

(270H) [al-Ma`arif dan `Uyun al-Akhbar], al-Baladzuri (279H) [Ansab al-Asyraf dan Futuh al-Buldan], al-Ya`qubi (284H) [al-Tarikh dan al-Buldan], Ibn Jarir al-Thabari (310H) [Tarikh al-Rusul wa al-Muluk] dan al-Mas`udi (346H) [Muruj al-Dzahab wa Ma`adin al-Jauhar]. Keberadaan buku-buku ini begitu penting, karena selain sebagian besar pengarangnya adalah ulama-ulama terkemuka, seperti Ibn Sa`ad, Khalifah ibn Khayyath, Ibn Qutaibah dan al-Thabari, juga menghimpun sejumlah karya sejarah sebelumnya yang hilang. Tarikh al-Khulafa karya Ibn Ishaq misalnya. Karya ini dinyatakan hilang dan beberapa bagiannya hanya ada dalam Tarikh al-Thabari.11 Bahkan, karya-karya akhbari secara umum tidak lagi dapat ditemukan kecuali dalam buku-buku di atas, terutama Tarikh alThabari. Persoalan Kajian Sejarah Islam Klasik Banyaknya karya sejarah klasik tidak serta merta dapat menampilkan wajah sejarah Islam sebenarnya. Terlebih lagi bagi umat Islam sekarang. Buku-buku sejarah Islam yang banyak beredar saat ini menjadi buktinya. Aspek perselisihan diberi porsi yang lebih besar dari semestinya, bahkan cenderung mengesankan sejarah Islam penuh dengan intrik-intrik politik dan kekuasaan yang berkuak darah. Padahal, jika dilihat dari cakrawala yang lebih luas, sejarah Islam merupakan implementasi utuh dari nilai-nilai Islam dan pengejawantahan ajaran-ajaran wahyu. Dan, periode Rasulullah saw. dan para sahabat adalah priode paling ideal yang mencerminkan nilai-nilai agung tersebut. Karena itu, dapat disimpulkan secara sederhana bahwa penulisan sejarah Islam saat ini tidak komprehansif, bahkan data-data yang digunakannya pun lebih banyak yang tidak valid. Mengapa Terjadi Kekeliruan dalam Menampilkan Sejarah Islam? Ada tiga faktor yang sangat menentukan kajian sejarah Islam. Jika faktor-faktor ini, atau salah satunya, tidak terpenuhi maka kekeliruan dalam menampilkan sejarah tidak mungkin terelakkan. 1. Cara Pandangan Islam Islam memandang sejarah sebagai satu kesatuan penciptaan (al-khalq) sebagai ruang ujian (al-ibtila) untuk mengusung risalah Allah swt. (taklif). Karenanya, kedatangan Islam adalah rangkaian tak terpisahkan dari dakwah para nabi dan rasul sepanjang masa. Lahirnya generasi sahabat merupakan bukti keberhasilan penerapan nilai-nilai wahyu dalam tatanan kehidupan nyata. Al-Quran tidak jarang memuji dan menyanjung para sahabat, bahkan Allah swt. menyatakan langsung keridhaan-Nya kepada mereka. Karenanya, apa pun yang terjadi pada mereka, termasuk perselisihan yang memicu peperangan, dan lain sebagainya, tidak mengeluarkan para sahabat dari garis keridhaan Allah swt. Mereka tetap mendapat ridha, dan tentu saja, surga-Nya.

11

`Ashr al-Khilafah al-Rasyidah, Dr. Akram al-`Umari, Maktabat al-`Ubaikan-Riyadh, cet.5 hal. 13.

Dan kalau ada dua golongan dari orang-orang yang beriman itu berperang, hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (al-Hujurat: 9). Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (al-Taubah: 100). Dalam catatan sejarah, dua golongan (kubu) yang pertama kali berhadapan dan terlibat peperangan adalah kubu `Aisyah dan kubu Ali dalam perang Jamal, lalu kubu Mu`awiyah yang juga berhadapan dengan kubu Ali dalam perang Shiffin. Dengan demikian, meskipun mereka bentrok dan perang, tidak satu pun keluar dari garis keimanan, karena Al-Quran menyebut kedua kelompok tersebut sebagai orang yang beriman. Karena itulah, pandangan kelompok Khawarij dan Syi`ah ekstrem yang mengkafirkan mereka gara-gara perang tersebut tidak dapat dibenarkan. 2. Kritik Berita (Riwayat) Sejarah Sebelum masuk tahap kritik riwayat sejarah, sumber-sumber (rujukan) kajian sejarah Islam mesti lebih dulu menjadi perhatian. Sumber-sumber yang dimaksud terbagi dua kategori; 1). Sumber yang digunakan untuk menimbang bobot berita atau riwayat sejarah; 2). Sumber yang digunakan untuk menafsirkan sejarah. Termasuk kategori pertama adalah buku-buku Musthalah al-Hadits, kritik sumber berita (al-Jarah wa alTa`dil), dan biografi sumber berita (al-Thabaqat dan al-Rijal). Sedangkan untuk membangun penafsiran sejarah, maka sumber-sumbernya sama dengan sumber pandangan hidup Islam,12 yaitu Al-Quran dan hadits-hadits shahih yang tersebar dalam sekian banyak karya hadits; al-Shahih, al-Sunan, al-Jami`, al-Musnad, alMushannaf, al-Mu`jam dan lain-lain. Juga, karya-karya yang menjelaskannya (alSyuruh). Buku-buku tersebut harus menjadi framework kajian sejarah Islam. Sedangkan bukubuku yang memuat materi-materi sejarah, seperti al-Sirah al-Nabawiyyah karya Ibn Ishaq, al-Maghazi karya al-Waqidi, Futuh al-Buldan karya al-Baladzuri, al-Thabaqat al-Kubra karya Ibn Sa`ad, al-Akhbar al-Thiwal karya al-Dinawari, Tarikh al-Thabari, Jamharat al-Ansab karya al-Kalbi, Nasab Quraisy karya al-Zubairi dan lain-lain, tidak dapat dijadikan acuan kajian sejarah. Buku-buku tersebut memuat berita-berita yang masih harus dikritisi dan diteliti kebenarannya.13

12

Lihat, Manhaj Kitabat al-Tarikh al-Islami wa Tadrisih; al-Fashl al-Tsani, Mashadir Manhaj Kitabat alTarikh al-Islami, Muhammad ibn Shamil al-Sulami, Dar al-Wafa-Mesir, hal. 93-102. 13 Ibid, hal. 97.

Dengan mengenal sumber-sumber tersebut maka proses verifikasi dan kritik riwayat sejarah dapat dilakukan dengan tepat. Meskipun kaedah yang akan digunakan untuk mengkiritik riwayat sejarah adalah kaedah kritik hadits, namun penerapannya mesti lebih fleksibel. Penerapan metode kritik riwayat hadits sendiri menjaga aspek fleksibelitas ini. Ulama hadits menyeleksi riwayat-riwayat tentang hukum dan aqidah dengan kaedah yang sangat ketat, tapi riwayat-riwayat tentang al-Raqaq, al-Targhib wa al-Tarhib, sejarah dan sastera diseleksi dengan kaedah yang lebih longgar.14 Penerapan metode kritik ini tampaknya sulit diwujudkan, karena harus melibatkan sekian disiplin ilmu dan rujukan yang tidak lagi populer dalam kajian kontemporer, terlebih lagi di Indonesia. Tapi pada kenyataannya, hingga kini telah lahir puluhan karya sejarah yang menerapkan metode tersebut.15 Memang, dibutuhkan kesungguhan yang luar biasa untuk dapat melahirkan satu karya yang menerapkan metode ini. Tapi hasilnya sangat efektif dalam menampilkan wajah sejarah Islam yang ideal. Misalnya karya Dr. Muhammad al-Ghabban, Fitnat Maqtal `Utsman ibn `Affan ra. Buku yang mulanya adalah tesis master di Universitas Islam Madinah ini dapat dirampungkan al-Ghabban setelah meneliti lebih dari 2000 riwayat dari puluhan sumber yang mencantumkannya.16 Seluruh riwayat tersebut diverifikasi dan diklasifakasikan sesuai tingkat kualitasnya; shahih, dha`if (lemah) dan maudhu` (palsu). Hasilnya cukup mencengangkan, fitnah (kekacauan) yang berakhir dengan pembunuhan Usman ra. ternyata terlalu dibesar-besarkan hingga melebihi proporsinya, banyak riwayat palsu yang memperburuk gambarannya, banyak distorsi dan penafsiran miring atas riwayat-riwayat yang benar. Kuatnya pemberitaan fitnah tersebut menutup sekian banyak nilai-nilai luhur yang ditunjukkan Usman ra. dan para sahabat, sehingga kebanyakan orang hanya mengenal masa pemerintahan Usman ra. sebagai masa fitnah.17 3. Penafsiran Sejarah Setelah memastikan kebenaran fakta sejarah, penafsiran baru dapat dilakukan. Artinya, penafsiran mesti berdasarkan fakta yang benar. Penafsiran sejarah Islam mesti dibingkai pandangan hidup Islam, karena pandangan hidup tersebutlah yang mendorong perilaku orang-orang yang meyakininya. Gerakan futuhat (perluasan wilayah Islam) yang berkembang pesat sejak akhir masa pemerintahan Abu Bakar
14 15

Marwiyyat al-Sirah al-Nabawiyyah, hal. 33. Prof. Dr. Akram al-`Umari setidaknya telah melahirkan tiga buku yaitu al-Mujtama` al-Madani, al-Sirah al-Nabawiyyah al-Shahihah, dan `Ashr al-Khilafah al-Rasyidah, dan belasan tesis dan desertasi yang dibimbingnya. Buku-buku lainnya antara lain, Marwiyyat Abi Mikhnaf fi Tarikh al-Thabari karya Dr. Yahya al-Yahya, Fitnat Maqtal `Utsman karya Dr. Muhammad al-Ghabban, Tahqiq Mawaqif al-Shahabah fi al-Fitnah karya Dr. Muhammad Amhazun, Daur al-Marah al-Siyasi karya Asma Ziyadah, Khilafat Abi Bakr; Dirasah Naqdiyyah li al-Riwayat karya Abdul Aziz al-Muqbil, al-Nawahi al-Maliyyah fi Khilafat Umar ibn al-Khaththab; Dirasah Naqdiyyah li al-Asanid karya Abdussalam Musin Aal `Isa, Khilafat Ali ibn Abi Thalib; Dirasah Naqdiyyah li al-Riwayat karya Abdul Hamid Ali Faqih, dan lain-lain. 16 Fitnat Maqtal `Utsman ibn `Affan ra., Dr. Muhammad al-Ghabban, Maktabat al-`Ubaikan-Riyadh, cet.1 vol. 1 hal. 14. 17 Ibid, vol. 1 hal. 8.

dan dilanjutkan Umar ra. tidak dapat ditafsirkan sebagai perluasan imperialisme ala Eropa. Futuhat adalah upaya perluasan pengaruh dakwah untuk menyebarkan nilainilai tauhid, menghapus kezaliman dan membangun dunia yang berkeadilan. Buktinya jelas, tidak ada pemiskinan daerah untuk memperkaya pusat (Madinah). Jizyah (pajak) hanya dibebankan kepada warga non muslim laki-laki yang produktif dan besarannya disesuaikan tingkat kemakmuran ekonomi setempat.18 Penutup Penampilan sejarah Islam yang tidak komprehensif dan lebih menonjolkan salah satu aspek tertentu tidak sekedar merusak kebenaran sejarah, melainkan juga materi-materi yang dikandungnya, yaitu penerapan nilai-nilai Islam dalam kehidupan nyata oleh generasi pertama Islam. Akibatnya sangat fatal, umat Islam masa kini akan kehilangan model penerapan Islam yang paling ideal dan pada gilirannya akan mengidap amnesia sejarah. Inilah tahapan yang paling menakutkan, karena jika terjadi, umat akan kehilangan identitas dan tidak memiliki karakter yang jelas. Jika keberadaan riwayat-riwayat sejarah yang merusak citra Islam di abad-abad pertama tidak begitu berpengaruh terhadap masyarakat muslim, itu lebih karena pandangan hidup Islam mereka kala itu masih cukup kuat dan peradaban Islam begitu dominan. Tapi kini, seiring memudarnya peradaban Islam dan merosotnya kualitas keilmuan yang membentuk pandangan hidup Islam, masyarakat muslim tidak lagi dapat mengukur sejarah kebenaran sejarah. Bahkan, tidak jarang menghakimi sejarahnya sendiri, yang dipahaminya dengan salah, sebagai kambing hitam kemundurannya. Karena itulah, harus ada upaya kuat untuk mengkaji ulang warisan sejarah dan menampilkannya dalam konstruksi yang lebih utuh, agar setidaknya, umat melihat model penerapan nilai-nilai Islam dalam kehidupan nyata. Upaya ini semakin mendesak, mengingat inilah satu-satunya cara yang paling memungkinkan saat ini, untuk menunjukkan kuatnya pengaruh nilai-nilai Islam dalam membangun peradaban. Karena kenyataan pahit yang harus diakui saat ini, seperti yang diungkapkan oleh Abu al-Hasan Ali al-Nadawi, umat kehilangan model sebuah masyarakat yang mencerminkan nilai-nilai islami.

18

`Ashr al-Khilafah al-Rasyidah, hal. 186.

You might also like