You are on page 1of 5

http://www.scribd.com/doc/28956671/FEMINISME.

Dalam terminologi sastra teori semiotik sangat penting karena sistem bahasa dalam sastra merupakan sistem bahasa kedua, sisana terdapat penanda dan petanda, sistem bahasa adalah lambang/tanda, sehingga dalam sastra , bahasa yang di konsumsi bukan bahasa biasa terutama bahasa puitika. untuk lebih jelasnya kita akan melihat teori semiotik ini meliputi; historitas, pendekatan, teori, prosedur (metode), asumsi tentang tentang karya sastra dan kelibihan juga kekurangannya.

a. Dilihat dari aspek historisnya kemunculan teori dan pendekatan semiotik ini, muncul dari ketidak puasan terhadap pendekatan struktural yang hanya terbatas pada aspek kajiaan interistik saja. Padahal sastra dipandang mempunyai sistem sendiri tidak terlepas dari masalah penciptaan, ekspresi penulis, dan masalah penerimaan karya sastra oleh pembaca. Tokoh yang paling berpengaruh dalam perkembangan semiotik ialah Ferdinand Sauser (1857-1913) seorang ahli linguistic dari Francis dan seorang ahli filsafat bermadhab Anglo Amerika yang bernama Charles Sander Priece (1839-1913). Sausere menyebut ilmu tersebut dengan istilah semiologi, sedangkan Priece menyebutnya dengan istiah semiotika. Belum lagi ada refatie yang kajian semiotiknya sangat relefan untuk menganalisis bahasa dalam puisi.

b. Pendekatan semiotik merupakan sebuah pendekatan yang memiliki sistem sendiri, berupa sistem tanda atau kode. Tanda dan kode itu dalam sastra dapat disebut estetis, yang secara potensial diberikan dalam suatu komunikasi, baik yang terdapat di dalam struktur teks maupun luar strukturnya teks karya tersebut. Kode yang bersifat tanda itu mempunyai banyak interpretasi makna dan memiliki pluralitas makna yang luas tergantung tingkat repertoa sipembaca ketika memberi penilaian terhadap teks karya yang dikaji. Setiap pembaca sastra mesti menyadari bahwa ia sedang berhadapan denga teks yang berbeda dengan teks yang lain. Secara spesifikanya dalam penelitiaan sastra pendekatan semiotik khusus meneliti sastra yang dipandang memiliki sistem sendiri, sedangkan sistem itu berurusan dengan masalah tekhnik, mekanisme penciptaan, masalah ekspresi dan komunikasi. Dan bila kajiannya sudah dikaitkan dengan masalah ekspresi dan manusia, bahasa, situasi, isyarat, stalistika, style dan sebagainya, Hal itu sudah mencapai kajiaan semiotik menyangkut aspek eksteristik dan interistik karya sastra.

c. Teori semiotik yang akan saya paparkan adalah teori yang dirumuskan oleh dua

tokoh yang hidup sezaman, namun mereka tidak pernah bertemu, bekerja secara terpisah (tidak saling mempengaruhi). yakni seorang ahli linguistic yaitu Ferdinand Sauser (1857-1913) dan seorang ahli filsafat bermadhab Anglo Amerika yang bernama Charles Sander Priece (1839-1913). Sausere menyebut ilmu tersebut dengan istilah semiologi dan Prieece menyebutnya semiotik. Tapi yang lebih spesipik adalah punyanya Charles Sander Priece (1839-1913) menyebutkan tiga jenis antara tanda dan apa yang ditandakan sebagai berikut:

Icon yaitu tanda yang secara inheren mempunya kesamaan dalam ari yang di tunjuk, yakni hubungan tanda dengan objek karena serupa misalnya foto.

Indeks yaitu tanda yang memilki hubungan kausal dengan apa yang di tandakan, yakni hubungan tanda dengan objek karena ada hubungan sebab akibat missal: ada asap ada api.

Symbol (sigh proper) yaitu suatu tanda yang memiliki hubungan makna dengan yang di tandakan bersifat arbiter, sesuai denga konvensi sebuah lingkungan sasial tertentu, yakni hubungan tanda dan objek karena ada kesepakatan missal bahasa, bendera dll.

d. Metode atau prosedur langkah kerjanya yang pertama; peneliti harus memiliki pemahaman tentang karya sastra secara menyeluruh. Tentang wawasan karya sastra yang akan diteliti, memiliki pandangan yang tajam terhadap meneliti karya tersebut, dan harus memiliki sensitifitas tinggi, yang merupakan senjata paling ampuh utama dalam memedah suatu karya dengan menggunakan metode semiotik ini. Kedua; setelah tahap pertama dilakukan barulah dilakukan penelitiaan atau analisis yang lebih rinci dan mendalam menyangkut tehnik, style, stalistika, serta kekuatankekuatan atau keistimewaan lain yang menyebabkan karya itu memiliki system sendiri. Ketiga mengaitkan hal-hal yang berada dalam tubuh struktur karya tersebut dengan system yang berada diluar tubuh struktur tersebut, dan sistem yang berada diluarnnya (mengaitkan aspek interistik dan ekterinsik).

e. Asumsi tentang teori semiotic ini adalah merupakan sebuah teori yang relevan pembedahannya untuk menganalisis sebuah karya dalam bahasa kedua pada dunia sastra. Dimana disana terdapat bahasa simbolik yang pemaknaannya hanya bisa di pahami dan dibedah oleh teori ini, bukan hanya itu semiotic merupakan bahasa yang mencerminkan bahasa sastra yang estetis, sistematis, dan memiliki pluralitas makna

ketika dibaca oleh pembaca dalam memberi pemahaman terhadap teks karya sastra.

f. Pendekatan, metode dan teori semiotik mempunyai kekuatan dan kelebihan utama dalam membedah karya sastra secara mendalam karena lebih menyempurnakan teori-teori lain seperti structural, stilistika, sosiologi dll. Terus analisisnnya lebih sepesifik dan komprehensif. Memberikan pemahaman makna dan simbolik baru dalam membaca karya sastra. Kita pembaca akan mengetahui minimal dua makna yaitu makna bahasa secara literleg dan makna kedua yakni makna simbolik yang memiliki global, (pluralitas makna) yang mungkin akan tejadi perbedaan asumsi ketika membaca symbol antara pengarang dan pembaca dalam suatu karya tergantung dari prespektif mana ia menilai.

- kekurangannya ialah pendekatan ini memerlukan banyak dukungan ilmu bantu yang lain seperti linguistic, sosiologi, psikologi dll, terus yang paling penting diperlukan kematangan konseptual tentang sastra, wawasan luas dan teorinya. Peranan peneliti sangat penting, ia harus jeli, teliti dan menguasai materi yang akan diteliti secara totalitas karena kalau itu tidak terpenuhi, makna yang ada dalam teks akan kurang tereksplor diketahui oleh pembaca, malahan cendrung menggunakan subjektifitasnya yang menapikan itu semua dan itu sangat riskan sekali untuk meneliti dengan teori ini.

Kritik sastra feminis muncul sebagai studi yang amat penting dalam ilmu sastra sejak dekade 60an. Kritik sastra feminis bersumber dari suatu gerakan politik, yang disebut feminisme. Secara leksikal feminisme berarti gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria (Moeliono, 198:241). Feminisme ialah teori tentang persamaan hak antara lakilaki dan wanita di bidang politik, ekonomi, dan sosial; atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan wanita (Goefe, 1986:837). Dalam ilmu sastra, feminisme ini berhubungan dengan konsep kritik sastra feminis, yaitu studi sastra yang mengarahkan fokuis analisis kepada wanita. Jika selama ini dianggap dengan sendirinya bahwa yang mewakili pembaca dan pencipta dalam sastra Barat adalah laki-laki, kritik sastra feminis menunjukkan bahwa pembaca wanita membawa persepsi dan harapan ke dalam pengalaman sastranya (Showalter, 1985:3; Humm, 1986:15-16). Tugas kritik sastra feminis adalah untuk membongkar hegemoni patriarkhi yang dalam situasi sehari-hari merupakan kebiasaan anggapan umum. Melalui kritik sastra feminis dapat dilakukan desentralisasi konstruk menuju harkat manusia yang universal, bebas separasi gender, bersuasana objektif dan netral (Hellwig, 1970). Dewasa ini dikenal konsep reading as a woman (Culler, 1983:43-46) yang sekiranya pantas dipakai untuk membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang androsentris atau patriarkal, yang sampai sekarang diasumsikan menguasai penulisan dan pembacaan sastra. Lebih

jauh, konsep yang ditawarkan Culler itu pada dasarnya dapat dimasukkan ke dalam kritik sastra feminis. Kritik sastra feminis bukan berarti pengkritik wanita atau kritik tentang wanita, atau kritik tentang pengarang wanita. Arti sederhana yang dikandungnya adalah pengkritik memandang sastra dengan kesadaran khusus; kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan. Membaca sebagai wanita berarti membaca dengan kesadaran membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang androsentris atau patriarkal, yang sampai sekarang masih menguasai penulisan dan pembacaan sastra. Perbedaan jenis kelamin pada diri penyair, pembaca, unsur karya, dann faktor luar itulah yang mempengaruhi situasi sistem komunikasi sastra. Teori feminis pada prinsipnya merupakan teori sosial karena didasarkan pada asumsi mengenai pengelompokan sosial, laki-laki dan wanita. Dalam perkembangannya, teori Feminis itu memperlihatkan tiga kecenderungan. Pertama, kecenderungan melihat kontinuitas antara pengalaman sosial seorang wanita sebagai wanita dengan proses pemahaman sastranya (Culler, 1983:46, 51). Teori ini menyiratkan anggapan bahwa wanita mempunyai persepsi yang berbeda dari laki-laki dalam melihat dunia. Kedua, kecenderungan menganggap sejajar pembacaan lakilaki dengan wanita. Dalam kerangka teori ini wanita dianggap berusaha menunjukkan bahwa diri mereka mampu bekerja lebih baik daripada laki-laki meskipun kriteria objektif yang digunakan sama (Culler, 1983:58). Ketiga, kecenderungan melihat usaha subversif dari wanita untuk menumbangkan struktur yang dibangun oleh laki-laki (Culler, 1983:58). Teori ini disebut juga dengan teori dekonstruktif. Dalam mengkonkretkan citra wanita dalam karya sastra, citra wanita itu tidak hanya cukup dipandang dalam kedudukannya sebagai unsur dalam struktur karya sastra saja, tetapi juga perlu dipertimbangkan faktor pembacanya. Pembaca wanita yang membaca sebagai wanita mempengaruhi konkretisasi karya, karena makna teks, di antaranya, ditentukan oleh peran pembaca. Sebuah teks hanya dapat bermakna setelah teks tersebut dibaca (Iser, 1978:20). Dalam mengkonkretisasi karya ini, ada kemungkinan satu karya sastra memperoleh makna yang bermacam-macam dari berbagai kelompok pembaca (Soeratno, 1988:36). Dengan demikian, pembaca wanita pun dianggap berpengaruh dalam pemahamannya atas karya sastra, dalam hal ini jenis kelamin dipertimbangkan. Pertimbangan jenis kelamin yang melahirkan sikap membaca sebagai wanita dicakup dalam kritik sastra feminis. Dapat dimengerti bahwa kritik sastra feminis dengan demikian berkaitan dengan teori resepsi sastra, yang mempertimbangkan peran pembaca dan proses pembacaan. Membaca sebagai wanita (reading as a woman) bertalian dengan faktor sosial budaya pembacanya. Dalam hal ini sikap baca menjadi faktor penting. Peran pembaca dengan sendirinya tidak dapat dilepaskan dari sikap bacanya. Citra wanita dalam karya itu terkonkretkan dan mendapat makna penuh dengan latar belakang keseluruhan sistem komunikasi sastra, yaitu penyair, teks dan pembaca. Pembaca yang membaca sebagai wanita dipertimbangkan dalam kritik sastra feminis. Faham kritik sastra feminis ini menyangkut soal politik dalam sistem komunikasi sastra (Millet, 1969), maksudnya sebuah politik yang langsung mengubah hubungan kekuatan kehidupan antara wanita dan pria dalam sistem komunikasi sastra. Arti kritik sastra feminis secara sederhana adalah sebuah kritik yang memandang sastra dengan kesadaran khusus akan adanya jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan manusia. Jenis kelamin membuat banyak perbedaan di anatra semuanya, perbedaan di antara diri pencipta, pembaca dan f aktor luar yang mempengaruhi situasi penciptaan. Ada asumsi bahwa wanita memiliki persepsi yang berbeda dari laki-laki dalam melihat dunia.

Pengertian di atas sebenarnya bertalian dengan konsep siapakah pembaca itu. Dalam proses pembacaan, dikenal istilah pembaca implisit, pembaca sebagai pembaca yang dimaksudkan; yaitu sebuah jaringan struktur pembacaan yang intensif, yang mendorong pembaca dapat memahami teks. Konsep ini menggambarkan struktur teks yang proses perubahannya bermula dari aktivitas ideasional ke pengalaman individu (Iser, 1978:34, 38). Pengalaman individu yang dimaksud adalah pengalaman individu pembaca, (termasuk pembaca wanita), misalnya, pengalaman emosi, pengalaman sosiobudaya, dan pengalaman psikologi komunikasi (Junus, 1985:75). Dengan mempertimbangkan hal ini, maka seperti dikatakan oleh Soeratno (1988:37) bahwa perwujudanperwujudan karya sastra tersebut didasarkan pada suatu horizon penerimaan atau horizon harapan pembaca yang dengan partisipasi aktifnya, suatu karya sastra dapat hidup. Dalam kritik sastra feminis, banyak hal yang berkaitan dengan teori resepsi sastra dimungkinkan tercakup di dalamnya. Dengan mengingat bahwa dalam kritik sastra feminis berbagai metode dapat diterapkan, maka hal itu dapat diterapkan sebagai alat bantu dalam analisis semiotik. Dalam kritik sastra feminis, selain konsep komunikasi sastra dan pengaruh gender dalam komunikasi itu dipertimbangkan, juga berbagai konsep mengenai siapa pembaca diperhatikan.

You might also like