You are on page 1of 3

KEBUDAYAAN BUGIS-MAKASSAR

Kebudayaan Bugis-Makassar adalah kebudayaan dari suku-suku BugisMakassar yang mendiami bagian terbesar dari jazirah selatan dari pulau Sulawesi. Penduduk propinsi Sulawesi Selatan terdiri atas empat suku bangsa ialah : Bugis, Makassar, Toraja dan Mandar. Orang Bugis menggunakan bahasa Ugi dan orang Makassar menggunakan bahasa Mangasara. Bahasa Ugi dan Mangasara merupakan bahasa Arbiter. Huruf yang dipakai dalam naskah-naskah Bugis-Makassar kuno adalah Aksara Lontara, sebuah sistem huruf yang asal dari huruf Sanskerta. Sejak permulaan abad ke-17 waktu agama islam dan kesusastraan Islam mulai mempengaruhi Sulawesi Selatan, maka kesusastraan Bugis dan Makassar ditulis dalam huruf Arab, yang disebut Aksara Serang. Adapun naskah-naskah kuno yang ditulis di daun lontar sekarang sudah sukar untuk didapat Sekarang naskah-naskah kuno dari orang Bugis dan Makassar hanya tinggal ada yang ditulis di atas kertas dengan pena atau lidi ijuk (kallang) dalam Aksara Lontara atau dalam Aksara Serang. Desa-desa di Sulawesi Selatan sekarang merupakan kesatuan-kesatuan administratif, gabungan-gabungan sejumlah kampung-kampung lama, yang disebut desa-desa yang baru. Suatu kampong lama, biasanya terdiri dari sejumlah keluarga yang mendiami di antara 10 sampai 200 rumah. Sebuah kampong lama dipimpin oleh seorang matowa atau jannang, lompo, toddo dengan kedua pembantunya yang disebut sariang atau parennung. Suatu gabungan kampung dalam dalam struktur asli disebut wanua dalam bahasa Bugis dan parasangan atau bori dalam bahasa Makassar. Pemimpin wanua dulu disebut arang palili atau sullewatang dalam bahasa Bugis dan gallarang atau karaeng dalam bahasa Makassar. Pada masa sekarang dalam struktur tata pemerintahan negara Republik Indonesia, wanua menjadi suatu kecamatan. Rumah dalam kebudayaan Bugis-Makassar, dibangun di atas tiang dan terdiri dari tiga bagian yang masing-masing mempunyai fungsinya yang khusus ialah : (a) Rakkeang dalam bahasa Bugis atau Pammakkang dalam bahasa Makassar, (b) Ale-bola dalam bahasa Bugis atau Kale-balla dalam bahasa

Makassar, dan (c) Awasao dalam bahasa Bugis atau Passiringan dalam bahasa Makassar. Rumah orang Bugis-Makassar juga digolong-golongkan menurut lapisan sosial dari penghuninya. Berdasarkan hal itu, maka ada tiga macam rumah ialah : (A) Sao-raja dalam bahasa Bugis atau Balla, Lompo dalam bahasa Makassar, (B) Sao-piti dalam bahasa Bugis atau Tarata dalam bahasa Makssar, (C) Bola dalam bahasa Bugis atau Balla dalam bahasa Makassar. Semua rumah adat BugisMakassar mempunyai suatu panggung di depan pintu di bagian atas dari tangga yang disebut tamping yang digunakan untuk tempat bagi para tamu untuk menunggu sebelum dipersilahkan oleh tuan rumah untuk masuk ke ruang tamu. Pada permulaan membangun rumah seorang ahli adat dalam hal membangun rumah , menentukan tanah tempat rumah akan dibangun. Beberapa macam ramuan diletakkan pada tempat tiang tenagh yang akan didirikan. Kadang-kadang ditanam kepala kerbau di tempat itu. Setelah kerangka rumah didirikan, maka di bagian atas dari tiang digantung juga ramuan-ramuan dan sajian untuk menolak malapetaka yang mungkin dapat menimpa rumah itu. Penduduk Sulawesi Selatan adalah pada umumnya petani seperti penduduk dari lain-lain daerah di Indonesia. Mereka menanam padi bergantian dengan palawija di sawah. Di berbagai tempat di pegunungan, di pedalaman dan tempat-tempat terpencil lainnya di Sulawesi Selatan, seperti di daerah orang Toraja, banyak penduduk masih melakukan bercocok tanam dengan teknik perladangan. Adapun pada orang Bugis-Makassar yang tinggal di desa-desa di daerah pantai, mencari ikan merupakan suatu mata pencaharian hidup yang amat penting. Dalam hal ini orang Bugis-Makassar menangkap ikan dengan perahu-perahu layar sampai jauh di laut. Adapun kerajinan rumah tangga yang khas dari Sulawesi Selatan adalah tenunan sarung sutra dari Mandar dan Wajo, dan tenunan sarung Samarinda dan Bulukumba. Dalam hal mencari jodoh dalam kalangan masyarakat Bugis-Makassar, adat Bugis-Makassar menetapkan sebagai perkawinan yang ideal : (1) Assialang marola dalam bahasa Bugis atau Passialleang bajina dalam bahasa Makassar ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat kesatu baik dari pihak ayah maupun ibu, (2) Assialanna memang dalam bahasa Bugis atau Passiallenna dalam bahasa Makassar ialah perkawinan

antara saudara sepupu derajat kedua, baik dari pihak ayah maupun ibu, (3) Ripaddeppe mabelae dalam bahasa Bugis atau Nikampabani bellaya dalam bahasa Makassar ialah perkawianan antara saudara sepupu derajat ketiga, baik dari pihak ayah maupun ibu. Adapun perkawinan-perkawinan yang dilarang dalam adat masyarakat Bugis-Makassar yang karena dianggap sumbang (salimara) adalah : (1) perkawinan antara anak dengan ibu atau ayah, (2) perkawinan antara saudarasaudara sekandung, (3) perkawinan antara menantu dan mertua, (4) perkawinan antara paman atau bibi dengan kemenakannya, (5) perkawinan antara kakek atau nenek dengan cucu. Dalam adat masyarakat Bugis-Makassar kawin lari biasa tidak terjadi karena Sompa (Bugis) atau Sunrang (Makassar) ialah maskawin yang tinggi, melainkan oleh belanja perkawinan yang tinggi. Saat agama Islam masuk ke Sulawesi Selatan pada permulaan abad ke-17, maka ajaran Tauhid dalam Islam, mudah dapat difahami oleh penduduk yang telah percaya kepada dewa yang tunggal dalam La Galigo. Demikian agama Islam dapat mudah diterima dan proses itu dipercepat dengan dan oleh kontak terus-menerus dengan pedagang-pedagang Melayu Islam yang sudahmenetap di Makassar, maupun dengan kunjungankunjungan orang Bugis-Makassar ke negeri-negeri lain yang sudah beragama Islam. Kira-kira 90% dari penduduk Sulawesi Selatan adalah pemeluk agama Islam, sedangkan hanya 10% memeluk agama Kristen Protestan atau Katolik. Umat Kristen atau Katolik umumnya terdiri dari pendatang-pendatang orang Maluku, Minahasa, dan lain-lain atau dari orang Toraja. Mereka ini tinggal di kota-kota, terutama Ujung Pandang.

You might also like