You are on page 1of 4

BAB III PEMBAHASAN 3.1 Apa saja perbandingan produksi kelapa sawit antara Indonesia dengan Malaysia?

Indonesia adalah produsen utama minyak sawit (Crude Palm Oil-CPO) di dunia. Indon dan Malaysia menguasai 85 % produksi minyak sawit dunia. Dari produksi CPO dunia tahun 2008 sebanyak 42.904 ribu ton, Indonesia mensuplai 19.100 ribu ton sedang Malaysia mensuplai sejumlah 17.735 ribu ton. Areal kelapa sawit di Indonesia terluas di dunia yakni lebih dari 7 juta hektar dengan produksi 18 juta ton, dan menghidupi lebih dari 4,5 juta petani dan tenaga kerja. Ekspor CPO (dan turunannya) Indon di tahun 2008 sejumlah 14,3 juta ton, senilai USD 12,4 milyar atau menyumbang 4,5 % total ekspor nasional. Target Indonesia di tahun 2020 adalah perkebunan sawit seluas 20-23 juta hektar, dengan produksi 50 juta ton minyak sawit. Berikut perbandingan produksi kelapa sawit antara Indonesia dengan Malaysia :

Luas areal kelapa sawit Pertumbuhan produksi Jumlah produksi per hektar Produktivitas tandan buah segar (TBS) Jumlah pabrik Ekspor produk

Indonesia 7 hektar 10,40% 3,21 ton CPO/hektar 15 ton 323 pabrik 40%

Malaysia 6,00% 2,51 ton CPO/hektar 25 ton 422 pabrik 70%

Dari tabel di atas diketahui bahwa areal sawit Indonesia lebih luas dari Malaysia, juga persen pertumbuhan produksinya lebih tinggi yaitu Indonesia 10,4%, sedangkan Malaysia 6,0%. Tetapi Indonesia kalah efisien. Dengan areal kelapa sawit yang lebih sempit, Malaysia mampu menghasilkan 3,21 ton CPO/hektar, Indonesia hanya mampu menghasilkan 2,51 ton CPO/hektar atau diukur dari rata-rata produktivitas tandan buah segar (TBS) per ha, yakni Indonesia 15 ton dibanding dengan Malaysia yang sudah mencapai 25 ton. Tidak hanya kalah dalam produktivitas, Indonesia hanya memiliki 323 pabrik CPO (dengan areal lebih luas) padahal Malaysia mengelola 422 pabrik. Tidak hanya itu, ekspor produk sawit Indonesia (terbesar) hanyalah bahan mentah (CPO saja) padahal Malaysia mengekspor produk turunan sawit. Ekspor produk hilir CPO Indonesia hanya 40%, sedangkan Malaysia mencapai 70% dari CPO yang dihasilkan.

3.2 Apa saja penyebab kekalahan produktifitas kelapa sawit di Indonesia dibandingkan dengan Malaysia?

Minimnya jumlah dan pemanfaatan hasil riset minyak sawit dan turunannya oleh pengusaha. Kecilnya industri hilir terjadi karena alasan tersebut, meski Indonesia mampu memproduksi 47% minyak sawit dunia, industri hilir CPO di Indonesia masih kalah dari Malaysia. Kebijakan penetapan bea keluar CPO dan turunannya tidak efektif mendorong pertumbuhan industri hilir CPO. Pengusaha lebih tertarik investasi di perkebunan sawit karena hasilnya dapat diperoleh jangka pendek. Informasi untuk mengokohkan strategi pengembangan industri sawit dari hulu hingga hilir belum banyak digali. Akibatnya, industri sawit nasional rentan terhadap gejolak harga CPO internasional. Harga CPO di Indonesia, sebagai produsen terbesar dunia, tergantung bursa komoditas CPO di Rotterdam (Belanda), yang bukan penghasil CPO. Industri sawit nasional juga terdera isu lingkungan. Konversi hutan dan lahan gambut menjadi kebun sawit diduga mengakibatkan kerusakan hutan, erosi, dan biodiversitas. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan, seperti Greenpeace gencar menuntut perkebunan kelapa sawit lestari. Akibatnya, beberapa konsumen CPO menunda kontrak atau memutus pembelian. Lembaga keuangan internasional pun membatasi atau menghentikan pembiayaansawitdiIndonesia. Di sisi lain, kinerja perkebunan sawit rakyat memprihatinkan. Kurang tepatnya kultur teknis pemilihan lahan, penanaman, pemeliharaan, pemupukan, panen, dan pascapanen, mengakibatkan rata-rata produktivitas sawit rakyat kurang dari 3,2 ton per ha per tahun. Secara nasional produktivitas sawit per ha per tahun baru mencapai 3,2 ton, sedangkan Malaysia mencapai sekitar 5-6 ton. Hal ini dipicu rendahnya adopsi teknologi pemeliharaan tanaman oleh petani. Kondisi ini tentu berpengaruh pada kinerja sawit nasional, karena 40% tanaman sawit dikelola petani. Dukungan kebijakan pemerintah dan program pendampingan petani sawit kalah populer dengan program hilirisasi industri sawit. Disadari hilirisasi industri sawit sangat penting, namun seringkali program ini kurang menyentuh kesejahteraan petani. Petani sering diposisikan sebagai pemasok tandan buah segar (TBS) berharga murah yang digantungkan harga CPO internasional. Di sisi lain, kenaikan harga minyak goreng dan produk turunan relatif tidak tertransformasi pada harga TBS sawit rakyat. Kondisi di atas mempertaruhkan pendapatan dan kesejahteraan petani sawit. 3.3 Bagaimana langkah-langkah meningkatkan produktifitas kelapa sawit di Indonesia?

Secara langsung atau tidak langsung, keberlanjutan industri sawit nasional dipengaruhi kinerja kebun sawit rakyat. Karena itu, upaya meningkatkan kesejahteraan petani sawit perlu dipertegas dengan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Perlu gerakan intensifikasi dan peningkatan produktivitas kelapa sawit, terutama kebun sawit rakyat. Adopsi teknologi tepat guna terkini, kebijakan anggaran pemerintah, dan pendampingan perlu lebih serius dilakukan. Standarisasi perkebunan sawit lestari, semacam Indonesian Suistainabe Palm Oil (ISPO) yang akan diwajibkan bagi pengelola kelapa sawit paling lambat pada 2014, sedini mungkin disosialisasikan pada petani. Keberhasilan program ini dirasakan langsung petani tanpa menunggu keberhasilan industri hilir sawit yang diusahakan pengusaha besar. 2. Perubahan paradigma posisi petani sawit dalam struktur industri sawit. Posisi petani sebagai pemasok TBS murah perlu digeser menuju pemberian harga tertinggi pada petani, dengan tetap menjaga daya saing dan kelayakan keuntungan bagi pengusaha industri hilir. Pengusaha industri hilir dapat menyangga harga TBS agar petani pemasok tidak merugi, bahkan untung secara layak. Keuntungan petani akan meningkatkan pemeliharaan, produktivitas, mutu TBS, dan kelestarian lingkungan. Meski tak mudah diimplementasikan, paradigma ini perlu terus dipromosikan untuk menopang keberlanjutan industri sawit nasional. 3. Model profit sharing dari pengusaha pengolah TBS dan industri hiliri CPO ke petani sawit. Hal ini perlu terus dikembangkan dan dicari titik temunya. Bonus pada TBS sawit rakyat bermutu baik, bahkan pembagian sebagian keuntungan pengusaha pengolah TBS dan industri hilir ke petani merupakan etika yang layak dikembangkan. Pendekatan win win solution harus dikedepankan.

3.4 Bagaimanakah sistem pertanian yang dapat digunakan Indonesia untuk mengembangkan hasil pertanian kelapa sawit?

KASUS Produktifitas Sawit Indonesia Kalah Lagi Dengan Malaysia Medan(suarakomunitas.net-30 Maret 2011), produktifitas sawit Indonesia ternyata belum mampu mengimbangi Malaysia yang lahan sawitnya lebih kecil dari Indonesia. Produksi negara jiran itu diperkirakan 36 ton Tandan Buah Segar (TBS) perhektar (Ha), sementara Indonesia hanya 28 ton TBS/hektar. Belum mampunya sawit Indonesia menyaingi Malaysia merupakan tamparan bagi kita. Tapi percayalah, kita pasti bisa melewatinya, kata GM Marketing and R&D PT.Visi Karya Agritama, Ir.Rijono Heru Setijawan, MM, saat ditanya harapannya tentang sawit di Indonesia di stand Agri Vision pada pameran sawit 100 tahun industri Indonesia, di halaman Hotel Tiara Medan, Selasa (29/3). Tingginya produktifitas sawit Malaysia karena pemerintahnya memberikan anggaran yang sangat besar guna meningkatkan hasil panen. Di Indonesia, hal itu terkendala dengan minimnya anggaran pemupukan. Makanya tak usah heran kenapa sawit Malaysia tetap berada di atas, ujarnya. Rijono, alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 1991, menyebutkan, Agri Vision, bukan anak perusahaan Asian Agri, tapi merupakan perusahaan anak bangsa yang memproduksi sejumlah pupuk Humic Plus untuk perkebunan sawit, kakao dan pupuk Humate untuk tanaman holtikultura dengan merek Pertitani. Rijono mengakui, sebelumnya perusahaan ini memasarkan produk pupuk tanpa merek tahun 2008 dan baru dua tahun lalu pupuk sawit diproduksi dengan memacu kepada peningkatan produktifitas tanaman tersebut. Sejauh ini produk pupuk sawit Agri Vision banyak dipakai Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Sementara di Jawa Barat, dominan memakai pupuk Humate untuk tanaman holtikultura, kata Rijono.Yang penting, lanjut Rijono, Agri Vision berkeinginan memberikan solusi (jalan keluar) terbaik kepada perusahaan perkebunan di Indonesia melalui pupuk cair untuk peningkatan produksifitas kelapa sawit, kakao karet dan tanaman holtikultura. (kristin)

You might also like