You are on page 1of 7

HUKUM BAYI TABUNG DALAM ISLAM A.

Latar Belakang Masalah

Sudah menjadi fitrah manusia memiliki keinginan untuk menikah dan juga memiliki keturunan. Allah Subhanahu Wa Taala berfirman (yang artinya) : Dijadikan indah pada (pandangan ) manusia, kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu ; wanita-wanita, anak-anak,?(Q.S Ali-Imran -14)

Hampir semua pasangan suami-istri menginginkan adanya anak dalam kehidupan perkawinan mereka. Sayangnya, tak semua pasangan bisa segera mewujudkan impian tersebut. Ada yang setelah sekian tahun menikah baru bisa punya anak, namun ada pula yang masih terus berada dalam penantian tanpa kepastian. Kekhawatiran tidak memiliki keturunan dalam pernikahan inilah yang mendorong mereka untuk mencari alternatif cara untuk memperoleh keturunan, yang salah satunya melalui program bayi tabung.

Lalu, yang jadi pertanyaan bagaimanakah hukum bayi tabung di dalam agama islam ? bagaimanakah hukum waris bagi bayi tabung ? dan bahaimana pula status perwaliannya ?

B. Pengertian Bayi Tabung

Bayi tabung dalam istilah kedokteran dikenal dengan istilah pembuahan in vitro atau dalam bahasa Inggris dikenal sebagai in vitro fertilisation yang ditemukan oleh Dr Steptoe dari Inggris. In vitro vertilization (IVF) merupakan proses pembuahan sel telur dan sperma di luar tubuh wanita. In vitro adalah bahasa latin yang berarti

dalam gelas/tabung gelas dan vertilization berasal dari bahasa Inggris yang artinya pembuahan. Maka dari itu disebut bayi tabung.

Proses pembuatan Bayi Tabung dilakukan dengan mempertemukan sel telur dan sperma dalam sebuah cawan petri yang bermedia. Selanjutnya, sel telur diletakkan di cawan tersebut dan disemprotkan sperma berjumlah ratusan. Usai itu, cawan dimasukkan dalam inkubator, yaitu lemari elektronik yang mempunyai suhu, kelembaban, dan gas-gas lainnya, layaknya rahim. Dua sampai tiga hari kemudian, terjadi pembuahan berupa embrio (semacam telur). Dengan menggunakan pipet, embrio tersebut ditransferkan atau dikembalikan ke rahim ibu lewat vagina. Jumlah yang dimasukkan rata-rata 3-4 embrio. Tingkat keberhasilannya, dari 100 wanita yang dilakukan transfer, sekitar 30-40 persen terjadi kehamilan.

C. Hukum Bayi Tabung Dalam Islam

Sebelum membahas mengenai hukum bayi tabung dalam islam, kiranya perlu terlebih dahulu kita ketahui berbagai alternatif proses yang dilakukan dalam program bayi tabung, yaitu sebagai berikut :

1. Sperma seorang suami dan sel telur istrinya, diambil lalu diletakkan pada sebuah tabung sehingga sperma tadi bisa membuahi sel telur istrinya dalam tabung tersebut. Kemudian pada saat yang tepat, sperma dan sel telur yang sudah berproses itu (zigote) dipindahkan ke rahim sang istri, pemilik sel telur, supaya bisa berkembang sebagaimana layaknya janin-janin yang lain.

2. Sperma berasal dari laki-laki lain lalu diinjeksikan pada rahim istri orang lain. sehingga terjadi pembuahan di dalam rahim, kemudian selanjutnya menempel pada

dinding rahim sebagaimana pada cara pertama. Metode digunakan karena sang suami mandul, sehingga sperma diambilkan dari lelaki lain.

3. Sperma berasal dari seorang suami dan sel telur diambil dari sel telur wanita lain yang bukan istrinya, dikenal dengan sebutan donatur. Kemudian setelah terjadi pembuahan baru dimasukkan ke rahim istri pemilik sperma. Cara ini dilakukan ketika sel telur sang istri terhalang atau tidak berfungsi, akan tetapi rahimnya masih bisa berfungsi untuk tempat perkembangan janin.

4. Sperma berasal dari suami dan sel telur dari wanita bukan istrinya. Kemudian setelah pembuahan terjadi, baru ditanam pada rahim wanita lain yang sudah berkeluarga. Cara ini dilakukan ketika ada pasangan suami-istri yang sama-sama mandul, tetapi ingin punya anak sedangkan rahim sang istri tidak bisa berfungsi sebagai tempat pertumbuhan janin.

5. Pembuahan berasal dari benih pasangan suami istri. Kemudian setelah pembuahan itu berhasil, baru ditanamkan pada rahim wanita lain (bukan istrinya) yang bersedia mengandung janin pasangan suami istri tersebut. Cara ini dilakukan ketika sang istri tidak mampu mengandung, karena ada kelainan pada rahimnya, sementara organnya masih mampu memproduksi sel telur dengan baik.

6. Sperma dan sel telur diambil dari pasangan suami istri, lalu setelah mengalami proses pembuahan pada tabung, sel telur yang sudah dibuahi itu dimasukkan ke dalam rahim istri lain (kedua misalnya) dari pemilik sperma. Istri yang lain ini telah menyatakan kesediaannya untuk mengandung janin madunya yang (misalnya) telah diangkat rahimnya.

Masalah inseminasi buatan ini menurut pandangan Islam termasuk masalah kontemporer ijtihadiah, karena tidak terdapat hukumnya seara spesifik di dalam AlQuran dan As-Sunnah bahkan dalam kajian fiqih klasik sekalipun. Karena itu, kalau masalah ini hendak dikaji menurut Hukum Islam, maka harus dikaji dengan memakai metode ijtihad yang lazimnya dipakai oleh para ahli ijtihad (mujtahidin), agar dapat ditemukan hukumnya yang sesuai dengan prinsip dan jiwa Al-Quran dan As-Sunnah yang merupakan sumber pokok hukum Islam. Namun, kajian masalah inseminasi buatan ini seyogyanya menggunakan pendekatan multi disipliner oleh para ulama dan cendikiawan muslim dari berbagai disiplin ilmu yang relevan, agar dapat diperoleh kesimpulan hukum yang benar-benar proporsional dan mendasar. Misalnya ahli kedokteran, peternakan, biologi, hukum, agama dan etika. Masalah inseminasi buatan ini sejak tahun 1980-an telah banyak dibicarakan di kalangan Islam, baik di tingkat nasional maupun internasional. Misalnya Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam

Muktamarnya tahun 1980, mengharamkan bayi tabung dengan sperma donor sebagaimana diangkat oleh Panji Masyarakat edisi nomor 514 tanggal 1 September 1986. Lembaga Fiqih Islam Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam sidangnya di Amman tahun 1986 mengharamkan bayi tabung dengan sperma donor atau ovum, dan membolehkan pembuahan buatan dengan sel sperma suami dan ovum dari isteri sendiri.

Dengan demikian, mengenai hukum inseminasi buatan dan bayi tabung pada manusia harus diklasifikasikan persoalannya secara jelas. Bila dilakukan dengan sperma atau ovum suami isteri sendiri, baik dengan cara mengambil sperma suami kemudian disuntikkan ke dalam vagina, tuba palupi atau uterus isteri, maupun dengan cara pembuahannya di luar rahim, kemudian buahnya (vertilized ovum) ditanam di dalam rahim istri, maka hal ini dibolehkan, asal keadaan suami isteri tersebut benar-

benar memerlukan inseminasi buatan untuk membantu pasangan suami isteri tersebut memperoleh keturunan. Hal ini sesuai dengan kaidah al hajatu tanzilu manzilah al dharurat (hajat atau kebutuhan yang sangat mendesak diperlakukan seperti keadaan darurat).

Sebaliknya, kalau inseminasi buatan itu dilakukan dengan bantuan donor sperma dan ovum, maka diharamkan dan hukumnya sama dengan zina. Sebagai akibat hukumnya, anak hasil inseminasi itu tidak sah dan nasabnya hanya berhubungan dengan ibu yang melahirkannya.

Adapun dalil-dalil yang dapat digunakan untuk menguatkan pendapat ini diantaranya :

Pertama, firman Allah SWT dalam surat al-Isra: 70 dan At-Tin: 4. Kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan/keistimewaan sehingga melebihi makhluk-makhluk Tuhan lainnya. Dan Tuhan sendiri berkenan memuliakan manusia, maka sudah seharusnya manusia bisa menghormati martabatnya sendiri serta menghormati martabat sesama manusia. Dalam hal ini inseminasi buatan dengan donor itu pada hakikatnya dapat merendahkan harkat manusia sejajar dengan tumbuh-tumbuhan dan hewan yang diinseminasi. Kedua, hadits Nabi Saw yang mengatakan, tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman orang lain (istri orang lain). (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan dipandang Shahih oleh Ibnu Hibban).

Ketiga, Dalil lain untuk syarat kehalalan inseminasi buatan bagi manusia harus berasal dari sperma dan ovum pasangan yang sah menurut syariah adalah kaidah hukum fiqih yang mengatakan darul mafasadah muqaddam ala jalbil mashlahah (menghindari mafsadah atau mudharat) harus didahulukan daripada mencari atau menarik maslahah/kebaikan. Sebagaimana kita ketahui bahwa inseminasi buatan

pada manusia dengan donor sperma dan/atau ovum lebih banyak mendatangkan mudharat daripada maslahah. Maslahah yang dibawa inseminasi buatan ialah membantu suami-isteri yang mandul, baik keduanya maupun salah satunya, untuk mendapatkan keturunan atau yang mengalami gangguan pembuahan normal. Namun mudharat dan mafsadahnya jauh lebih besar, antara lain:

1. Percampuran nasab, padahal Islam sangat menjaga kesucian/kehormatan kelamin dan kemurnian nasab, karena nasab itu ada kaitannya dengan kemahraman dan kewarisan.

2. Bertentangan dengan sunnatullah atau hukum alam.

3. Inseminasi pada hakikatnya sama dengan prostitusi, karena terjadi percampuran sperma pria dengan ovum wanita tanpa perkawinan yang sah.

4. Kehadiran anak dari hasil bayi tabung dapat menimbulkan konflik, terutama dalam hal waris dan masalah perwalian.

5. Secara psikoligis dikhawatirkan tidak adanya hubungan yang erat antara anak dengan ibunya, karena proses yang dilalui tidak melalui proses kasih sayang seperti seharusnya.

D. Kesimpulan

Berdasarkan keterangan di atas maka dapat disimpulkan bahwa hukum bayi tabung yang berasal dari sel sperma dan sel ovum suami istri yang sah dan proses kehamilannya di rahim istrinya, maka itu dibolehkan. Sedangkan bila sel sperma atau ovum berasal dari pasangan yang bukan suami atau istri yang sah, atau meskipun berasal dari suami istri yang sah namun dititipkan pada rahim orang lain maka hukumnya haram.

You might also like