You are on page 1of 9

KRISIS HIPERTENSI

Dr. IGN. PUTRA GUNADHI, SpJP, FIHA

Krisis hipertensi merupakan suatu kedaruratan kardiovaskuler, di mana terjadi peninggian tekanan darah secara tiba-tiba dan cepat, yang dapat mengganggu fungsi beberapa organ vital sehingga mengancam jiwa penderitanya. Keadaan ini tentu memerlukan penanganan yang segera dan intensif, mengingat tanpa pengobatan harapan hidup dalam 1 tahun (one year survival) berkisar 10 - 20%, sedang dengan pengobatan harapan hidup dalam 5 tahun (five year survival) berkisar 60 - 82%. Pada dekade terakhir ini angka kejadian krisis hipertensi cenderung menurun, sejalan dengan pesatnya perkembangan obat-obat antihipertensi baru dan dipakainya berbagai paduan obat dalam penatalaksanaan hipertensi. Dari 60 juta penderita hipertensi di Amerika Serikat diperkirakan kurang dari 1% yang mengalami krisis hipertensi, sedangkan di Indonesia belum ada yang melaporkan angka kejadiannya. Krisis hipertensi lebih sering terjadi pada hipertensi primer, dengan insidens terbanyak pada usia 40 - 50 tahun di mana laki-laki lebih banyak dari wanita. Penderita tanpa riwayat hipertensi, usia kurang dari 30 tahun atau lebih dari 60 tahun diduga penyebab krisis hipertensi adalah hipertensi sekunder dan umumnya komplikasi lebih sering terjadi. Batasan dan klasifikasi. Batasan krisis hipertensi yang banyak dipakai para ahli adalah : Peninggian tekanan darah yang berat umumnya tekanan darah diastole di atas 120 mmHg yang terjadi secara tiba-tiba dan cepat. Berdasarkan aspek klinis dan prioritas pengobatan, dibedakan atas 2 dolongan. 1. Hipertensi Gawat (Emergencies) yaitu peninggian tekanan darah yang dihubungkan dengan disfungsi atau kerusakan organ target dan terjadi dalam beberapa jam. Keadaan yang termasuk golongan hipertensi gawat yaitu; hipertensif ensefalopati, hipertensi akibat perdarahan intrakranial, diseksi aorta akut, edema paru akut, sindroma insufisiensi miokard (angina tak stabil, infark miokard akut), insufisiensi ginjal akut, eklamsia, feokromositoma, hipertensi retinopati derajat III-IV Keith-Wagener, sindroma kelebihan katekolamin, sindroma putus obat antihipertensi, luka bakar dan interaksi obat. 2. Hipertensi Darurat (Urgencies) yaitu peninggian tekanan darah yang secara potensial membahayakan, dengan atau tanpa disertai disfungsi atau kerusakan minimal dri organ target dan terjadi dalam beberapa hari/minggu. Keadaan yang dapat dimasukan sebagai hipertensi darurat yaitu; hipertensi retinopati derajat I-II (Keith-Wagener), hipertensi yang tidak terkontrol sebelum atau pasca-pembedahan. Patofisiologi.

Krisis hipertensi dapat merupakan bentuk dari suatu sindroma hipertensi akselerasi (accelerated) atau hipertensi maligna, dapat pula sebagai perburukan hipertensi kronis atau timbul pada penderita yang sebelumnya normotensi seperti pada glomerulonefritis akut, preeklamsia dan beberapa keadaan lainnya. Terjadinya krisis hipertensi umumnya berawal dari serangkaian perubahan patologik dari vaskular yang berlangsung lama. Pada fase hipertensi benigna akan tampak proliferasi miointima pembuluh darah, di mana kerusakan ini berjalan paralel dengan berat dan lamanya hipertensi. Selanjutnya proses tersebut meluas ke tunika media, berupa hipertrofi otot polos dan penumpukan jaringan kolagen yang membuat tunika media menjadi tebal. Keadaan ini biasanya terlihat pada hipertensi berat. Fase hipertensi akselerasi ditandai adanya gambaran nekrosis, maka akan terjadi spasme pada beberapa segmen pembuluh darah kecil sebagai fenomena otoregulasi, kemudian diikuti dilatasi segemen pembuluh darah lainnya. Dilatasi ini seringkali menimbulkan peregangan (overstretched) yang mengakibatkan terjadinya kerusakan endotel, diikuti masuknya fibrin dan komponen plasma lainnya ke ruang interselular akhirnya terbentuk suatu trombus. Salah satu perubahan ini dapat dilihat pada pemeriksaan funduskopi, berupa gambaran eksudat dan bercak hemoragik pada retina dan kejadian ini akan tampak lebih menonjol pada pembuluh darah ginjal. Di samping itu, adanya tekanan darah yang meninggi dan bertambahnya reaktifitas vaskular akan memberikan efek setempat (local effects) pada pembuluh darah arteri, berupa pengeluaran zat-zat seperti prostaglandine, oksigen radikal bebas dan sebagainya yang juga menyebabkan kerusakan pada endotel. Sedangkan efek sistemik (systemic effects) berupa meningkatnya pengeluaran zat-zat vasoaktif dan vaskulotoksik seperti angiotensin II, katekolamin dan vasopresin yang mengakibatkan bertambahnya pengeluaran air dan garam karena perbedaan tekanan di arteriole afferen dan efferen di ginjal (presure natriuresis). Pada akhirnya kedua efek tersebut mengakibatkan tekanan darah menjadi lebih tinggi dan kerusakan vaskular menjadi lebih hebat. Sampai saat ini yang masih belum dapat diterangkan, mengapa pada beberapa penderita krisis hipertensi terjadi serangkaian proses tersebut di atas, sedangkan penderita lain yang sebelumnya normotensi tidak mengalaminya. Secara eksperimental maupun uji klinis menunjukkan berbagai faktor ikut berperanan dalam terjadinya perubahan bentuk dari hipertensi asimptomatik, stabil atau benigna ke bentuk hipertensi maligna.

Hipertensi
Efek sistemik (Renin-angiotensin, katekolamin, vasopresin.

Efek setempat (prostaglandin, oksigen radikal bebas, dll) Kerusakan endotel Pengeluaran cairan dan garam

Penumpukkan trombosit

Hipovolemia

Migrasi fibrin, trombosit dan Faktor-faktor mitogenik

Merangsang vasopresor

Proliferasi mointima

Tekanan darah menjadi lebih tinggi dan kerusakan pembuluh darah menjadi lebih berat Skema patofisiologi hipertensi maligna akselerasi.

Faktor-faktor yang berhubungan dengan perkembangan hipertensi maligna. Faktor imunologi Genetik Merokok Kontrasepsi oral Angiotensi II Hormon Antidiuresis Katekolamin Defisiensi kininogen dan kinin Defisiensi prostasiklin

Gambaran klinis. Krisis hipertensi akan memberikan gambaran klinis sesuai dengan organ target yang terkena, di samping gejala-gejala umum seperti keluhan menurunnya berat badan, rasa lelah, lesu, serta gejala gangguan pencernaan berupa mual dan muntah. Gejala klinis pada susunan saraf pusat dikenal dengan hipertensi ensefalopati, dapat berupa sakit kepala yang hebat, biasanya pada daerah oksipital dan bagian depan yang menghebat terutama pada pagi hari.

Keadaan yang lebih berat dapat terjadi penurunan kesadarank, mulai somnolen sampai koma, kejang-kejang dan hemoragik stroke. Pada mata akan memberikan gambaran hipertensif retinopati dengan contoh klasik adanya necrotizing arteriolitis. Pandangan kabur merupakan gejala yang sering pada mata dengan penurunan visus sampai terjadi kebutaan. Pada pemeriksaan funduskopi dapat ditemukan adanya flame-shaped hemorrhages di sekitar diskus optikus akibat kerusakan endotel kapiler. Perdarahan ini akan membaik dengan tekanan darah yang terkontrol dalam 2 - 8 minggu tanpa gejala sisa pada visus. Soft exudates disebabkan adanya agregasi dari organel neuronal dan protein akibat sumbatan pada arteiole dan kapiler. Sedangkan papil edema merupakan akibat perluasan dari meningkatnya tekanan intrakranial di sekitar diskus optikus yang mengakibatkan terganggunya aliran (drainase) vena. Bila tekanan darah terkontrol baik edema papil ini akan membaik dalam 2 - 3 minggu. Kelainan pada ginjal biasanya berupa gangguan fungsi ginjal yang ditandai adanya oligouria dan azotemia. Banyak penderita pertama kali terdeteksi hipertensi maligna setelah timbulnya kelainan ginjal yang bermakna, hal ini mempunyai prognosis yang buruk. Kelainan pada jantung dapat terlihat dari gambaran elektrokardiografi yang menunjukkan adanya hipertrofi ventrikel kiri-HVK, beban tekanan (strain) dan iskemia lateral. Sedangkan pada pemeriksaan ekokardiografi menunjukkan disfungsi diastolik ventrikel kiri dan pembukaan katup mitral yang terlambat. Secara klinis umumnya memberikan gambaran gagal jantung kiri dan edema paru. Penatalaksanaan. Prinsip pengobatan yang optimal pada suatu krisis hipertensi, berupa usaha mengatur keseimbangan antara keuntungan menurunkan tekanan darah ke tingkat yang aman dengan segera, untuk mencegah progresifitas dan ireversibilitas kerusakkan organ target, dengan risiko berkurangnya perfusi dan aliran darah yang bermakna ke organ vital, khususnya otak, ginjal dan jantung. Sebagai contoh, perfusi dan aliran darah ke otak pada orang normal akan konstan, meskipun terjadi fluktuasi tekanan darah karena adanya mekanisme otoregulasi. Namun demikian otoregulasi ini akan berbeda antara penderita krisis hipertensi yang sebelumnya normotensi dengan hipertensi kronis, di mana tekanan darah rata-rata (mean arterial pressure - MAP) penderita normotensi berkisar 60 - 120 mmHg, sedangkan hipertensi kronis berkisar 120 - 160 mmHg. Hal ini perlu diketahui agar dalam menurunkan tekanan darah penderita hipertensi kronik janganlah terlalu rendah dan cepat.

Tatalaksana hipertensi gawat. Prinsip umum. 1. Penderita dirawat pada unit perawatan intensif, pemasangan monitor, intra-arterial line dan pulmonary arterial line jika ada indikasi untuk menilai fungsi jantung, paru dan status cairan.

2. Anamnesis riwayat penyakit dan pemeriksaan fisis untuk : a. Menentukan penyebab. b. Menyingkirkan penyakit lain yang memperberat. c. Menilai seberapa kerusakan organ target. d. Menentukan apakah hipertensi gawat atau darurat. 3. Menentukan target penurunan tekanan darah berdasarkan : a. Sudah berapa lama menderita hipertensi. b. Seberapa cepat tekanan darahnya naik. c. Problem klinis yang menyertai. d. Jenis kelamin dan usia penderita. 4. Memilih obat-obat antihipertensi parenteral yang diperlukan berdasarkan keadaan klinis penderita. a. Hindari obat antihipertensi yang mempunyai efek sedasi untuk penderita hipertensif ensefalopati, penyakit pembuluh darah otak (CVD) atau gangguan saraf pusat lainnya, di mana status mental penderita perlu dinilai. b. Hindari obat antihipertensi yang mempunyai efek vasodilatasi langsung, karena akan menimbulkan refleks takikardia dan meningkatnya curah jantung yang akan merangsang timbulnya angina, infark miokard atau diseksi aneurisma aorta. c. Status cairan dinilai cermat, hindari pemakaian diuretik dan restriksi garam pada awal pengobatan kecuali adanya gambaran klinis yang jelas dan merupakan indikasi untuk pemakaian obat tersebut, misalnya pada payah jantung dan edema paru. d. Hindari pemberian lebih dari satu macam obat parenteral atau kombinasi obat oral secara bersamaan. e. Pilihlah obat-obatan yang tidak mempunyai pengaruh buruk terhadap fungsi ginjal. 5. Setelah tekanan darah stabil. a. Turunkan obat secara bertahap, kemudian dilanjutkan dengan obat-obat oral untuk mempertahankan tekanan darah yang sesuai dengan tujuan. b. Refleks retensi cairan (pseudotolerance) dapat terjadi pada kebanyakan obat-obat antihipertensi nondiuretik, akan tetapi keputusan penambahan diuretik hendaknya dibuat selama pemantauan bukan pada awal penatalaksanaan. Tujuan pengobatan. Tujuan pengobatan pada hipertensi gawat adalah menghentikan progresifitas kerusakan organ target dengan segera, tapi penurunan tekanan darah mesti perlahan-lahan. Untuk itu yang dipakai sebagai patokan adalah penurunan tekanan arteri rata-rata berkisar 25% atau penurunan tekanan darah diastole sampai 100 - 110 mmHg dalam beberapa menitjam, tergantung keadaan klinis. Pemilihan obat. Pada dekade belakangan ini begitu banyak obat antihipertensi ditemukan, baik oral maupun parenteral, kesemuanya memberikan prosfek yang baik, namun tidak semua obat yang telah dipasarkan dapat ditemukan di Indonesia. Menurut Houston obat antihipertensi yang ideal untuk tata laksana krisis hipertensi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : a. Bekerja cepat. b. Menurunkan tahanan pembuluh darah sistemik tanpa mempengaruhi curah jantung. c. Reversibilitas yang cepat.

d. Mempunyai efek yang minimal terhadap sistem saraf pusat maupun otonom. e. Tidak takifilaksis (mempercepat denyut jantung). f. Toksisitasnya rendah. Beberapa obat-obat yang sering digunakan pada hipertensi gawat. Nitroprusid. Nitroprusid merupakan vasodilator poten yang bekerja langsung pada arteri dan vena, dengan efek berimbang pada beban awal (preload) maupun beban akhir (afterload). Pemberiannya secara infus IV dengan dosis awal 0,3 mikrogram/kg/menit, kemudian dosis dinaikkan secara titrasi tiap 3-5 menit sampai tekanan darah yang diinginkan tercapai. Penghentian pemakaian obat ini harus perlahan-lahan (tappering off) untuk menghindari terjadinya rebound hypertension. Pemakaian dosis tinggi dalam waktu yang lama dapat menyebabkan akumulasi sianida yang selanjutnya di dalam hati akan diubah menjadi tiosianat, untuk itu perlu monitor ketat kadar tiosianat dalam darah (tingkat toksisitas 100 mikrogram/ml). Kehamilan, anemia berat dan gangguan fungsi hati yang berat merupakan kontraindikasi untuk pemberian nitroprusid. Secara teknis 1 vial Nitroprudis dilarutkan dengan 500 - 1000 ml D5W dan hindari pemaparan cahaya langsung, karena akan menurunkan kemampuan kerja obat.
Obat-Obat Parenteral untuk Pengobatan Hipertensi Gawat Obat-obat Vasodilator : Nitroprusid Dosis 0,25-10 ug/kg/ menit sebagai IV drip Mulai kerja segera Lama kerja 1-2 mnt Efek sampingan Mual, kejang otot, keringat banyak, keracunan tiosianat dan sianida. Sakit kepala, muntah toleransi pada pemakaian lama. Takikardia, sakit kepala, flushing, flebitis lokal. Takikardia, flushing, sakit kepala, muntah memperberat angina. Indikasi khusus Hampir semua hipertensi gawat, hati-hati pd tekanan intrakranial yang tinggi atau azotemia Iskemia koroner.

Nitrogliserin

5-100 ug/mnt sebagai IV drip. 2-10 mg/jam IV 10-20 mg IV 10-50 mg IM

2-5 menit

3-5 menit

Nikardipin

5-10 menit

1-4 jam

Hidralazin

10-20 menit 20-30 menit

3-8 jam

Hampir semua hipertensi gawat kecuali gagal jantung. Eklamsia.

Enalapril

1,25-5 mg IV tiap 6 jam.

15 menit

6 jam

Memacu turunnya Gagal jantung kir tekanan darah akut. dengan cepat pada kadar renin yang tinggi.

Penghambat adrenergik : Fentolamin 5-15 mg IV 1-2 mnt. 5-10 mnt. Takikardia, flushing sakit kepala. Mual-mual. Kelebihan katekolamin. Diseksi aorta pasca operasi.

Esmolol

200-500 ug/kg/ mnt selama 4 mnt, kemudian 50-300 ug/kg/ mnt IV. 20-80 mg IV bolus tiap 10 mnt, 2 mg/mnt

1-2 mnt.

10-20 mnt.

Labetalol

5-10 jam

3-6 jam

Mual-mual, rasa terbakar pada tenggorokan, blok jantung kerusakan hepar.

Semua hipertensi kecuali terdapat gagal jantung akut.

Semua obat dapat menyebabkan hipotensi. Nitrogliserin. Preparat ini sering digunakan pada hipertensi darurat yang dihubungkan dengan angina, infark miokard akut dan gagal jantung kongestif. Pada dosis rendah nitrogliserin terutama menyebabkan dilatasi vena, tetapi pada dosis tinggi terjadi dilatasi vena maupun arteri. Dosis pemberiannya berkisar 5-100 mikrogram/menit secara IV. Nitrogliserin pada penyakit jantung iskemia mempunyai efek yang sangat baik, karena akan menurunkan kebutuhan oksigen miokard melalui penurunan beban awal maupun beban akhir ventrikel kiri dan sekaligus meningkatkan suplai oksigen ke miokard melalui dilatasi arteri koroner, menghambat vasospasme dan meningkatkan aliran kelateral. Nikardipin. Preparat antagonis kalsium ini telah pula diformulasi untuk IV di samping yang tersedia dalam bentuk oral. Cara pemberiannya adalah melalui drip infus terus-menerus. Preparat ini aman karena penurunan tekanan darah sistemik secara bertahap dan sedikit kecendrungannya untuk turun mendadak. Tapi obat ini belum disetujui oleh FDA (Food and Drug Administration-USA) untuk kasus krisis hipertensi. Labetalol. Merupakan golongan penyekat adrenergik dan nonselektif yang tersedia dalam bentuk injeksi maupun oral. Pada hipertensi darurat diberikan sebagai injeksi IV secara single rapid bolus injection, mini-bolus method atau sebagai constan IV infusion. Ketiga cara tersebut memberikan hasil yang sama dalam menurunkan tekanan darah, hanya pemberian IV secara konstan merupakan cara yang paling aman (lebih sedikit efek hipotensi dan bradikardia, meskipun lebih memerlukan monitoring invasif yang intensif. Dosis pemberiannya adalah 0.5-4 mg/menit diberikan per infus. Preparat ini dianjurkan untuk kasus feokromositoma dan hindari pemberian pada penderita dengan aritmia, bradikardi, gagal jantung, syok kardiogenik, asma bronkiale dan sindroma long QT. Tatalaksana hipertensi darurat.

Penderita hipertensi darurat umumnya tidak memerlukan perawatan di rumah sakit. Jika tekanan darah belum dapat diturunkan seperti yang diharapkan, penderita diobservasi sampai hari berikutnya di ruang gawat darurat. Pada kasus ini biasanya tidak memerlukan antihipertensi parenteral dan untuk mencegah hipoperfusi organ target pemberian obat oral sebaiknya dititrasi meskipun secara teknik lebih sulit dibandingkan pemberian parenteral. Sampai saat ini telah dikenal 3 macam obat yang efektif terhadap hipertensi darurat yaitu nifedipin, kaptopril dan klonidin.
Obat-obat Oral untuk Pengobatan Hipertensi Darurat Obat-obat Nifedipin Cara pemberian Sublingual bukkal oral Sublingual oral Dosis 10-20 mg Mulai kerja 5-10 menit Lama kerja 3-6 jam Efek sampingan Sakit kepala, flushing, dizziness, takikardia. Edema angioneuratik, kemerahan kulit, gagal ginjal akut karena stenosis arteri renalis. Mengantuk, mulut kering, hindari pemberian pada penderita dengan blok jantung, bradikardia atau sick sinus syndrome.

Kaptopril

6.25-50 mg

15-20 menit

4-6 jam

Klonidin

Oral

0.1-0.2 mg kemudian 0.05-0.1 mg/ jam sampai total 0.8 mg.

0.5-2 jam

6-8 jam

Tujuan pengobatan. Adalah menurunkan tekanan darah arteri rata-rata berkisar 20% dari tekanan darah arteri rata-rata awal, atau tekanan darah diastole tidak kurang dari 100 mmHg dalam waktu 24 jam. Setelah tekanan darah turun sesuai yang diharapkan, penderita hendaknya diobservasi minimal 6 jam guna melihat efek yang tidak diinginkan dari pengobatan termasuk ortostatik yang berat. Idealnya penderita dipulangkan dengan obat yang sama dengan pengobatan awal. Pemilihan obat. Nifedipin. Nifedipin adalah antagonis kalsium yang dapat menurunkan tekanan darah dengan segera, baik sistole maupun diastole melalui penurunan tahanan vaskular sistemik. Refleks takikardia dapat terjadi dengan kenaikan denyut jantung berkisar 15%. Untuk penderita dengan riwayat penyakit serebrovaskular terlebih usia lanjut dengan dehidrasi, nifedipin merupakan pilihan yang baik. Tetapi hindari pemberian pada kasus perdarahan intraserebral akut dan iskemia miokard akut karena penurunan tekanan darah yang cepat akan memperberat iskemia serebral dan miokard. Menurut Friedman dengan dosis 5-10 mg di

bawah lidah, biasanya memberikan hasil yang baik dan hipotensi simptomatik jarang terjadi jika dosis awal pemberian tidak melebihi 10 mg. Kaptopril. Kaptopril merupakan golongan penghambat ensim konversi angiotensin yang paling cepat kerjanya dibanding enalapril dan lisinopril dan dapat diberikan di bawah lidah di samping oral. Kaptopril khususnya sangat efektif pada penderita dengan aktifitas plasma renin yang meningkat dan merupakan drug of choice untuk krisis hipertensi dengan skleroderma dan vaskulitis ginjal. Problem utama dalam pemberian kaptopril baik oral maupun sublingual pada hipertensi darurat adalah first dose hypotension. Meskipun hal ini lebih sering terjadi pada penderita dengan pemberian diuretik secara agresif, yang dihubungkan dengan berkurangnya volume cairan intravaskular. Golongan ini dalam menurunkan tekanan darah bekerja melalui lima mekanisme. a. Menghambat konversi angiotensin I menjadi angiotensi II. b. Menurunkan sekresi aldosteron. c. Vasodilatasi ginjal secara spesifik. d. Mengurangi inaktifitas bradikinin. e. Secara lokal menghambat pembentukan angiotensi II di pembuluh darah dan miokard. Klonidin. Termasuk golongan central alpha-agonist, yang menurunkan tekanan darah dengan mengurangi tahanan vaskular sistemik. Berbeda dengan nifedipin preparat ini justru menyebabkan penurunan denyut jantung berkisar 10%, karena itu hindari pemberian pada penderita dengan bradikardia, sick sinus syndrome atau atrioventricular block. Demikian pula penderita dengan gangguan susunan saraf pusat, di mana kesadaran penderita terganggu, jadi pemberian klonidin perlu dipertimbangkan karena adanya efek sedasi.

You might also like