You are on page 1of 24

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pada zaman yang semakin modern ini, kemajuan teknologi dan taraf hidup manusia mau tidak mau diikuti pula oleh perubahan perilaku dan gaya hidup masyarakat itu sendiri, termasuk perilaku yang menyangkut kriminal. Salah satu perilaku kriminal yang semakin marak terjadi di masyarakat adalah kejahatan seksual. Kejahatan seksual merupakan salah satu bentuk kejahatan yang menyangkut tubuh, kesehatan dan jiwa manusia1. Anak-anak dan perempuan merupakan kelompok yang paling rentan menjadi korban tindak kejahatan ini. Menurut Ceci dan Friedman dalam penelitiannya pada tahun 2000 yang dikutip oleh London et al, walaupun kekerasan seksual pada anak (Child Sexual Abuse/ CSA) merupakan masalah sosial yang besar di Amerika, namun jumlah korban kekerasan seksual pada anak-anak tidak diketahui dengan pasti karena keterbatasan data2. Keterbatasan data ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, estimasi insidensi kekerasan seksual pada anak ini terutama hanya berdasarkan pada laporan yang diterima dan divalidasi oleh Komisi Perlindungan Anak. Oleh karena itu hal ini tidak dapat menggambarkan jumlah kasus lain yang tidak terlapor. Alasan kedua adalah kesulitan akurasi diagnosis CSA yang disebabkan oleh keterbatasan bukti pemeriksaan fisik atau karena banyaknya kasus-kasus yang meragukan serta akibat ketiadaan standar baku spesifik mengenai gejala psikologi terhadap kekerasan seksual itu sendiri. Karena keterbatasan bukti medis dan psikologis, maka keterangan yang diberikan korban dapat menjadi bukti utama bagi kasus tersebut2. Sebagian besar kasus kejahatan seksual merupakan akibat dari perbuatan impulsif yang tidak terkontrol, 71% dari semua kasus kejahatan seksual dilaporkan merupakan kasus yang telah direncanakan sebelumnya. Satu dari lima wanita di dunia telah menjadi korban perkosaan atau kekerasan seksual. Sekitar 700.000 wanita usia produktif telah menjadi korban kekerasan seksual di AmerikaSerikat dan 25.000 wanita menjadi korban perkosaan per tahun di negara Prancis. Sayangnya hanya 16% kasus pemerkosaan yang dilaporkan ke
1

polisi,

dimana

50%

dari

korban

pemerkosaan

bersedia

untuk

menyampaikan laporannya setelah mendapat jaminan kerahasiaan mengenai identitas mereka. Ternyata, dari penelitian di lapangan didapatkan angka kejadian kasus kejahatan seksual baik terhadap anak-anak maupun orang dewasa yang lebih banyak dibandingkan dengan data pada literatur3. The violence against woman act mengatakan dari total 11047 kasus yang tercatat di Amerika antara bulan Januari 2006 sampai dengan bulan Desember 2006 untuk pemeriksaan forensik dan 162 diantaranya (1,47%) merupakan kasus kekerasan seksual. 141 kasus merupakan kasus di bawah umur 18 tahun, dan 129 kasus (79,63%) adalah wanita dan sisanya (20,37%) adalah laki-laki. Wanita memang lebih sering menjadi korban kejahatan seksual dibanding laki-laki. Penelitian mengungkapkan bahwa 54% wanita korban perkosaan berusia di bawah 18 tahun4. Di Indonesia sendiri kasus-kasus kejahatan seksual yang diantaranya ialah perkosaan dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini meningkat. Di Jakarta angka perkosaan pada tahun 2002 sebesar 20,22%, Surabaya 165 kasus1. Kejahatan seksual, sebagai salah satu bentuk dari kejahatan yang menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa manusia, mempunyai kaitan yang erat dengan Ilmu Kedokteran khususnya Ilmu Kedokteran Forensik, yaitu di dalam upaya pembuktian bahwasannya kejahatan tersebut memang telah terjadi. Adanya kaitan antara Ilmu Kedokteran Forensik dengan kejahatan seksual dapat dipandang sebagai konsekuensi dari pasal-pasal di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang memuat ancaman hukuman serta tata cara pembuktian pada setiap kasus yang termasuk di dalam pengertian kasus kejahatan seksual5. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah peranan dokter pada pemeriksaan korban kejahatan seksual?

1.3 Tujuan Penulisan 1.3.1. Untuk mengetahui peranan dokter pada pemeriksaan korban kejahatan seksual
2

1.4 Manfaat Penulisan 1.4.1. Dapat menambah pengetahuan penulis mengenai kasus kejahatan seksual 1.4.2. Dapat menambah informasi dan sebagai sumber referensi pembelajaran di bidang ilmu kedokteran forensik.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Prosedur Medikolegal

Dalam tugas sehari-hari, selain melakukan pemeriksaan diagnostik, memberi pengobatan dan perawatan kepada pasien, dokter juga mempunyai tugas melakukan pemeriksaan medik untuk tujuan membantu penegak hukum, baik untuk korban hidup maupun korban mati6. Menurut KUHAP pasal 133 ayat (1), yang berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli adalah penyidik. Sesuai dengan pasal 1 butir 28 KUHAP, pengertian mengenai keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Keterangan Ahli ini akan dijadikan sebagai alat bukti yang sah di depan sidang pengadilan berdasarkan pasal 184 KUHAP6. Permintaan Keterangan ahli oleh penyidik harus dilakukan secara tertulis yang secara tegas telah diatur dalam KUHAP pasal 133 ayat (2). Pada korban yang masih hidup, sebaiknya diantar oleh petugas kepolisian guna pemastian identitas. Surat permintaan keterangan ahli tersebut ditujukan kepada instansi kesehatan atau instansi khusus untuk itu, bukan kepada individu dokter yang bekerja di dalam instansi tersebut6. Sementara penyidik memenuhi wewenang mereka dalam mengirimkan surat permintaan keterangan ahli, maka dokter yang dalam hal ini berperan sebagai pihak yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter ahli lainnya, wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan. Hal ini telah diatur dalam KUHP pasal 179 ayat (1) dan (2)5. Di dalam upaya pembuktian secara kedokteran forensik, faktor keterbatasan di dalam ilmu kedokteran itu sendiri dapat sangat berperan, demikian halnya dengan

faktor waktu serta faktor keaslian dari barang bukti (korban), maupun faktor-faktor dari si pelaku kejahatan seksual itu sendiri5. Dengan demikian upaya pembuktian secara kedokteran forensik pada setiap kasus kejahatan seksual sebenarnya terbatas di dalam upaya pembuktian ada tidaknya tandatanda persetubuhan, ada tidaknya tanda-tanda kekerasan, perkiraan umur serta pembuktian apakah seseorang itu memang sudah pantas atau sudah mampu untuk dikawini atau tidak5. 1.2.Definisi Kejahatan seksual dideskripsikan sebagai perilaku motivasi seksual dengan paksaan yang melanggar privasi walaupun terdapat perlawanan. Selanjutnya, segala motivasi perilaku seksual yang dilakukan pada anak di bawah umur atau pada seseorang dengan retardasi mental termasuk dalam lingkup terminologi kejahatan seksual3. Anak dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan7.
1.3. Pemeriksaan Medis Forensik pada Korban Kejahatan Seksual

Keberhasilan pengumpulan bukti salama pemeriksaan medikal forensik memiliki korelasi langsung terhadap keberhasilan penuntutan kasus. Pemeriksaan forensik medis, yang dikenal juga dengan pemeriksaan SAFE (Sexual Assault Forensic Examinations) untuk mempertinggi kemungkinan penuntutan terhadap kasus kejahatan seksual telah banyak didemonstrasikan. Pemeriksaan forensik medis dapat mendokumentasikan bukti kejahatan seksual dan pada beberapa contoh bukti dapat ditemukan kontak seksual, termasuk penetrasi (bila memungkinkan), identifikasi luka pada kontak seksual dengan kekerasan, dan atau dokumentasi luka yang sesuai dengan keterangan yang diberikan korban. Meskipun jam diharapkan akan lebih bermanfaat4. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mungkin dapat dilakukan pada korban yang di duga mendapatkankan kekerasan fisik antara lain8,9 : 1. Ambil data-data Polisi, korban dokter dan perawat terkait.
5

bukti forensik dapat

dikumpulkan dalam waktu 96 jam atau lebih, mengumpulkan bukti dalam waktu 24

2. Anamnesis :

Umur. Urutan kejadiaan. Jenis penderaan. Oleh siapa, kapan, dimana, dengan apa, berapa kali. Akibat pada anak. Orang yang ada disekitar. Waktu jeda antara kejadian dan kedatangan ke RS. Kesehatan sebelumnya. Trauma serupa waktu lampau. Riwayat penyakit lampau. Pertumbuhan fisik dan psikis. Siapa yang mengawasi sehari-hari.

3. Pemeriksaan fisik :

Gizi, higiene, tumbuh kembang anak. Keadaan umum, fungsi vital. Keadaan fisik umum. Daftar dan plot pada diagram topografi jenis luka yang ada. Perhatikan daerah luka terselubung : mata, telinga,mulut dan kelamin. Kasus berat bisa dipotret. Raba dan periksa semua tulang.

Pemeriksaan secara medis pada korban kejahatan seksual, baik pada anak-anak maupun dewasa pada dasarnya sama dengan pada pasien lain, yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang : 1. Anamnesis :

Umur
6

Status perkawinan Haid : siklus dan hari pertama haid terakhir Penyakit kelamin dan kandungan Penyakit lain seperti ayan dan lain-lain Riwayat persetubuhan sebelumnya, waktu persetubuhan terakhir dan penggunaan kondom

Waktu kejadian Tempat kejadian Ada tidaknya perlawanan korban Apakah korban pingsan Ada tidaknya penetrasi Ada tidaknya ejakulasi

3. Periksa pakaian :

Robekan lama / baru / memanjang / melintang Kancing putus Bercak darah, sperma, lumpur dll. Pakaian dalam rapih atau tidak Benda-benda yang menempel sebagai trace evidence

4. Pemeriksaan badan : Umum :


Rambut atau wajah rapi atau kusut. Emosi tenang atau gelisah Tanda bekas pingsan, alkohol, narkotik. Ambil contoh darah Tanda kekerasan : Mulut, leher, pergelangan tangan, lengan, paha Trace evidence yang menempel pada tubuh Perkembangan seks sekunder
7

Tinggi dan berat badan Pemeriksaan rutin lainnya

Genitalia : Pada pemeriksaan fisik anak, temuan tidak spesifik yaitu temuan yang mungkin sebagai akibat dari seksual abuse, tergantung pada jarak saat pemeriksaan dan saat abuse, tetapi mungkin juga akibat sebab lain atau merupakan varian yang normal. Eritema (kemerahan) vestibulum atau jaringan sekitar anus(dapat akibat zat iritan, infeksi atau iritan) Adesi labia ( mungkin akibat iritasi atau rabaan)
Friabilitas (retak) daerah posterior fourchette (akibat iritasi, infeksi atau karena

traksi labia mayor pada pemeriksaan) Penebalan selaput dara (mungkin akibat estrogen, terlipatnya tepi selaput, bengkak karena infeksi ataun trauma) Kulit genital semu (mungkin jumbai kulit atau kulit bukan genital mungkin condyloma acuminata yang didapat bukan dari seksual) Fisura ani (biasanya akibat konstipasi atau iritasi perianal) Pendataran lipat anus (akibat relaksasi sfingter eksterna) Pelebaran anus dengan adanya tinja (refleks normal)
Kongesti vena atau pooling vena (biasanya akibat posisi anak, juga ditemuka pada

konstipasi)
Perdarahan pervaginam (mungkin berasal dari sumber lain, seperti uretra, atau

mungkin akibat infeksi vagina, benda asing atau trauma yang aksidental). Temuan pada anak yang telah memiliki riwayat abuse, mungkin ada abuse, tetapi tidak cukup data yang menunujukkan bahwa abuse adalah satu-satunya penyebab. Riwayat sangat krusial dalam menentukan makna keseluruhannya8,10 :

Pelebaran anus (notch atau cleft) selaput dara di daerah posterior, mencapai dekat dasar (sering merupakan artefak pada posisi pemeriksaan tertentu, tetapi bila konsisten pada beberapa posisi, maka mungkin akibat kekerasan tumpul atau penetrasi sebelumnya)

Lecet akut, laserasi atau memar labia, jaringan sekitar selaput dara atau perineum (mungkin akibat trauma aksidental, keadaan dermatologis seperti lichen sclerosus atau hemangioma)

Jejak gigitan atau hisapan di genitalia atau paha bagian dalam Jaringan parut atau laserasi baru daerah posterior fourchette tanpa mengenai selaput dara (dapat akibat trauma aksidental) Jaringan parut perianal (jarang, mungkin akibat keadaan medis lain seperti chrons disease atau akibat tindakan medis sebelumnya)

Pemeriksaan ekstra genital


Pemeriksaan terhadap pakaian dan benda-benda yang melekat pada tubuh Deskripsikan luka Pemeriksaan rongga mulut pada kasus oral sex Scrapping pada kulit yang memiliki noda sperma Pemeriksaan kuku jari korban untuk mencari material dari tubuh pelaku Pemeriksaan anal

5. Deskripsikan mengenai adanya robekan, iregularitas, keadaan fissura. Apabila terjadi hubungan seksual secara anal, maka dapat terjadi perlukaan pada anus. 6. Pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan seperti :

Pemeriksaan darah Pemeriksaan cairan mani (semen) Pemeriksaan kehamilan Pemeriksaan VDRL Pemerikaan serologis Hepatitis
9

Pemeriksaan Gonorrhea Pemeriksaan HIV Pemeriksaan rambut, air liur, dan pemeriksaan pria tersangka Menurut Idries (2008), terdapat beberapa hal penting yang harus ditentukan dan dievaluasi pada korban kejahatan seksual, yaitu6,8:

1. Menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan Persetubuhan adalah suatu peristiwa dimana alat kelamin laki-laki masuk ke dalam alat kelamin perempuan, sebagian atau seluruhnya dan dengan atau tanpa terjadinya pancaran air mani, sehingga besarnya zakar dengan ketegangannya, sampai seberapa jauh zakar masuk, keadaan selaput dara serta posisi persetubuhan mempengaruhi hasil pemeriksaan. Tidak terdapatnya robekan pada hymen, tidak dapat dipastikan bahwa pada wanita tidak terjadi penetrasi, sebaliknya adanya robekan pada hymen hanya merupakan pertanda adanya sesuatu benda (penis atau benda lain), yang masuk ke dalam vagina. Apabila pada persetubuhan tersebut disertai dengan ejakulasi dan ejakulat tersebut mengandung sperma, maka adanya sperma di dalam liang vagina merupakan tanda pasti adanya persetubuhan. Apabila ejakulat tidak mengandung sperma maka pembuktian adanya persetubuhan dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan terhadap ejakulat tersebut. Komponen yang terdapat di dalam ejakulat dan dapat diperiksa adalah enzym asam fosfatase, kholin dan spermin. Ketiganya bila dibandingkan dengan sperma, nilai untuk pembuktian lebih rendah oleh karena ketiga komponen tersebut tidak spesifik. Walaupun demikian enzym fosfatase masih dapat diandalkan, oleh karena kadar asam fosfatase yang normalnya juga terdapat dalam vagina, kadarnya jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan asam fosfatase yang berasal dari kelenjar prostat. Dengan demikian, apabila pada kejahatan seksual yang disertai dengan persetubuhan itu tidak sampai berakhir dengan ejakulasi, dengan sendirinya pembuktian adanya persetubuhan secara kedokteran forensik tidak mungkin dapat dilakukan secara pasti. Sebagai konsekuensinya dokter tidak dapat secara pasti pula menentukan bahwa pada wanita tidak terjadi persetubuhan. Maksimal dokter harus mengatakan bahwa pada diri wanita yang diperiksa itu tidak ditemukan
10

tanda-tanda persetubuhan, yang mencakup dua kemungkinan: pertama, memang tidak ada persetubuhan, dan kedua, persetubuhan ada tetapi tanda-tandanya tidak dapat ditemukan. Apabila persetubuhan telah dapat dibuktikan secara pasti, maka perkiraan saat terjadinya persetubuhan harus pula ditentukan. Hal ini menyangkut masalah alibi yang sangat penting di dalam proses penyidikan. Sperma di dalam liang vagina masih dapat bergerak dalam waktu 4-5 jam post coital. Sperma masih dapat ditemukan tidak bergerak sampai sekitar 24-36 jam post-coital pada korban yang hidup. Perkiraan saat terjadinya persetubuhan juga dapat ditentukan dari proses penyembuhan selaput dara yang robek, yang pada umumnya penyembuhan akan dicapai dalam waktu 7-10 hari post-coital (Idries, 1997). Tabel 1. Hasil pemeriksaan yang diharapkan pada korban kejahatan seksual Penyebab Penetrasi zakar Hasil pemeriksaaan yang diharapkan Robekan pada selaput dara 2. Luka-luka pada bibir kemaluan Pancaran air mani (ejakulasi) dan dinding vagina 1. Sperma di dalam vagina 2.Asam fostase, kholin dan sperma di dalam vagina Penyakit kelamin 3.Kehamilan 1.G.O. (kencing nanah) 2.Lues (sifilis) 2. Menentukan adanya tanda-tanda kekerasan Pembuktian adanya kekerasan pada tubuh wanita korban tidaklah sulit. Dalam hal ini perlu diketahui lokasi luka-luka yang sering ditemukan yaitu pada daerah mulut dan bibir, leher, puting susu, pergelangan tangan, pangkal paha serta di sekitar dan pada alat genital. Luka-luka akibat kekerasan pada kejahatan seksual biasanya berbentuk luka-luka lecet bekas kuku, gigitan serta luka memar5,8. Di dalam hal pembuktian adanya kekerasan, tidak selamanya kekerasan tersebut meninggalkan jejak atau bekas berbentuk luka. Oleh karena itu tidak ditemukannya luka tidak berarti bahwa tidak terjadi kekerasan, sehingga penting bagi dokter untuk berhati-hati mengggunakan kalimat tanda-tanda kekerasan
11

dalam VeR yang dibuat. Oleh karena tindakan pembiusan dikategorikan pula sebagai tindakan kekerasan maka diperlukan pemeriksaan toksikologi pada korban untuk menentukan ada tidaknya obat atau racun yang kiranya dapat membuat wanita menjadi pingsan8. 3. Memperkirakan umur Tujuan pemeriksaan untuk memperkirakan umur korban salah satunya mengacu pada pasal 287 KUHP bahwa barang siapa yang bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Tindak pidana ini merupakan persetubuhan dengan wanita yang menurut undang-undang belum cukup umur. Jika umur korban belum cukup 15 tahun tetapi sudah di atas 12 tahun, penuntutan baru dilakukan bila ada pengaduan dari yang bersangkutan (delik aduan)5,6. Selain itu, pentingnya memperkirakan umur korban juga didasarkan pada pasal 81 Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, bahwa: (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Pada kasus dimana umur korban belum jelas, maka memperkirakan umur merupakan pekerjaan yang paling sulit, karena tidak ada satu metodepun yang dapat memastikan umur seseorang dengan tepat. Walaupun pemeriksaannya sendiri memerlukan berbagai sarana serta keahlian seperti pemeriksaan keadaan pertumbuhan gigi atau tulang dengan menggunakan rontgen8.
12

Salah satu cara memperkirakan umur pada korban kejahatan seksual adalah dengan memperhatika ciri-ciri seks sekunder. Dalam hal ini termasuk perubahan pada genitalia, payudara dan tumbuhnya rambut-rambut seksual yang pertama tumbuh hampir selalu di daerah pubis11. Sexual Maturation Rate (SMR) atau dikenal juga dengan Tanner Staging merupakan penilaian ciri seks sekunder. SMR didasarkan pada penampakan rambut pubis, perkembangan payudara dan terjadinya menarke pada perempuan. SMR stadium 1 menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan prapubertal, sedangkan stadium 2-5 menunjukkan pubertas progress. SMR stadium 5 pematangan seksual sudah sempurna. Pematangan seksual berhubungan dengan pertumbuhan liniar, perubahan berat badan dan komposisi tubuh, dan perubahan hormonal12.

Sexual Maturating Rate (SMR) pada Perempuan

13

Gambar1. Sexual Maturating Rate (SMR) meliputi perubahan rambut pubis pada perempuan13.

(Sumber: Behrman & Kliegman, 2000)

14

Gambar 2. Sexual Maturating Rate (SMR) meliputi perkembangan payudara pada perempuan13 Tabel 2. Sexual Maturating Rate (SMR) pada perempuan13 Tahap SMR 1 2 Rambut Pubis Preremaja Jarang, kurang berpigmen, lurus, tepi medial labia Payudara Preremaja Payudara dan papilla menonjol seperti bukit kecil, diameter areola bertambah 3 Lebih gelap, mulai keriting, makin lebat 4 Kasar, keriting, lebat, tetapi kurang lebat dibandingkan dengan orang dewasa 5 Segitiga peminim dewasa, menyebar ke permukaan medial paha Matur, putting menonjol, areola merupakan bagian dari kontur payudara keseluruhan Payudara dan areola membesar, tidak ada pemisahan kontur Areola dan papilla membentuk bukit kecil sekunder

4. Menentukan pantas tidaknya korban buat dikawin Menentukan pantas tidaknya korban buat dikawin diperlukan untuk menentukan pasal mana yang paling tepat dikenakan bagi si pelaku. Sebab, bila korban dikawin disaat ia belum memenuhi syarat secara hukum dan undangundang yang berlaku, maka si pelaku harus dipidana. Terlebih lagi apabila korban masih di bawah umur, maka pelaku dapat dikenakan sanksi sesuai pasal dalam KUHP maupun Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Penentuan pantas tidaknya seseorang untuk dikawin sangat tergantung dari banyak hal, salah satunya dari segi mana seseorang tersebut ingin dilihat, apakah dari segi biologis, sosial atau sebagai manusia seutuhnya serta berdasarkan undang-undang yang berlaku8. Secara biologis jika persetubuhan dilakukan untuk mendapatkan keturunan, pengertian pantas tidaknya buat kawin tergantung dari apakah korban telah siap
15

untuk dibuahi yang dimanifestasikan dengan sudah pernah mengalami menstruasi atau belum. Bila dilihat dari segi perundang-undangan, yaitu undang-undang perkawinan pada Bab II (Syarat-syarat perkawinan) pada pasal 7 ayat (1) berbunyi: perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Dengan demikian terbentur lagi pada masalah penentuan umur korban8.

BAB III LAPORAN KASUS


16

3.1

Prosedur Medikolegal Korban berinisial WM seorang perempuan, umur empat belas tahun,

kewarganegaraan Indonesia, agama Hindu, diantar oleh polisi bersama dengan SPV yang bernomor polisi B/18/I/2012 ke Instalasi kedokteran Forensik Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar pada tanggal 29 Januari 2012 pukul 18.30 WITA. Korban datang bersama dua orang temannya mengaku telah menjadi korban pencabulan dan disetubuhi dengan cara melakukan hubungan seksual yang terjadi pada tanggal 27 Januari 2012 dini hari. Korban kemudian diantar ke bagian obstetri dan ginekologi IRD RSUP Sanglah untuk dilakukan anamnesis, pemeriksaan luar dan dalam. Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 29 Januari 2012 pukul 19.00 WITA. 3.2. Pemeriksaan Korban Pada autoanamnesis diketahui bahwa korban mengaku mengenal pelaku sejak kurang lebih seminggu yang lalu. Pelaku mengaku sebagai donatur panti asuhan tempat korban tinggal, yang akan mengadakan acara pemberian donasi pada tanggal 28 Januari 2012. Korban bersama dua temannya dipilih oleh pelaku sebagai pengisi acara. Pada tanggal 27 Januari 2012 sekitar pukul 00.30 WITA korban bersama dua temannya diajak menginap oleh pelaku di Hotel Osela, jalan Pidada, Ubung, Denpasar setelah selesai berlatih menyanyi, dengan alasan waktu yang sudah lewat larut malam untuk pulang. Di perjalanan pelaku memberitahu korban bahwa dalam tubuhnya terdapat suatu penyakit yang harus segera dikeluarkan dengan melakukan ritual yang akan dilaksanakan oleh pelaku di Hotel. Korban dan teman-temannya kemudian ditempatkan di kamar nomor 14, bersebelahan dengan kamar pelaku. Pukul 01.00 korban disuruh mandi dan kemudian dipanggil bergiliran ke kamar pelaku. Korban mendapat giliran ke tiga untuk dipanggil yaitu pukul 03.00 WITA. Setiba di kamar, korban diminta untuk melepas seluruh pakaian kecuali celana dalam dan diganti dengan kain. Korban disuruh berbaring, sementara pelaku mengunci pintu dan emadamkan lampu kamar. Setelah itu sambil mengatakan akan mengeluarkan penyakit korban, pelaku mulai melepaskan celana dalam korban. Setelah itu korban mengaku merasa pelaku memasukkan sesuatu ke kelaminnya. Hal ini berlangsung kurang lebih 20 menit. Sekitar pukul 04.00 WITA korban diminta kembali ke kamarnya. Namun pukul 05.30 WITA korban dipanggil kembali ke kamar pelaku dan
17

mengaku diperlakukan sama seperti sebelumnya, kurang lebih selama 10 menit. Setelah itu korban disuruh mandi sebelum diantar pulang ke panti asuhan pukul 10.00 WITA. Pada anamnesis korban mengaku belum menikah. Korban menarche saat berumur 13 tahun dengan siklus yang tidak teratur (>35 hari), lamanya menstruasi kurang lebih 3 hari. Korban mengaku hari pertama haid terakhir tanggal 7 Januari 2012. Korban membantah adanya riwayat masturbasi dan koitus sebelumnya. Selain itu korban juga membantah adanya riwayat pengobatan , operasi maupun penyalahgunaan obat dan alkohol. Dugaan adanya tindakan kekerasan fisik seperti korban melawan, adanya ancaman kekerasan maupun penggunaan senjata disangkal oleh korban. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, GCS E4V5M6, tekanan darah 110/70 mmHg, Nadi 84x/menit, frekwensi pernafasan 20x/menit, suhu aksila 36,8C. Tinggi badan 154 cm, berat badan 57 kg, keadaan umum baik, sikap tenang. Korban datang tidak menggunakan pakaian yang sama dengan pakaian saat kejadian. Cara berjalan normal. Pada pemeriksaan ciri seksual sekunder berdasarkan TANNER STAGE didapatkan hasil: Buah dada termasuk stadium B4, dimana areola menonjol pada saat buah dada istirahat (rata-rata usia 13-15 tahun). Rambut pubis termasuk stradium Pu4, dimana rambut menyebar ke lateral tapi tidak sampai ke paha atas (rata-rata usia 13-15 tahun). Pada pemeriksaan gigi geligi didapatkan hasil jumlah gigi geligi sebanyak 28 buah. Gigi ke delapan / molar ke-3 belum tumbuh. Pemeriksaan status generalis. didapatkan: Mata, hidung, mulut dan telinga dalam batas normal. Thorax: o Inspeksi: bentuk dada simetris, tidak nampak adanya jejas, luka maupun tanda-tanda kekerasan fisik lainnya o Palpasi: Tidak nampak massa, nyeri tekan (-) o Perkusi: Sonor pada seluruh lapang paru. Nyeri ketok (-) Abdomen: o Inspeksi: bentuk normal, tidak nampak adanya jejas, luka maupun tandatanda kekerasan fisik lainnya
18

o Palpasi: Tidak nampak massa, nyeri tekan (-) o Perkusi: Timpani. Ekstremitas: akral hangat, tidak ada edema pada ke-4 ekstrimitas Pemeriksaan luka: Tidak ditemukan luka-luka pada anggota tubuh bagian lain. Pada pemeriksaan genitalia didapatkan laserasi pada fourchette posterior. Didapatkan robekan pada hymen sampai ke dasar pada daerah sesuai arah jam 7, disertai hiperemi disekitarnya. Tidak terdapat perdarahan aktif/ darah kering/ granulasi. Pada pemeriksaan bimanual didapatkan tinggi fundus uteri tak teraba, servik licin dan utuh. Pada korban dilakukan pemeriksaan swab vagina dan bilasan vagina dengan hasil spermatozoa negatif. Selain itu dilakukan pula tes kehamilan dan didapatkan hasil negatif. Setelah dilakukan pemeriksaan, korban diberikan terapi oleh dokter spesialis kandungan berupa postinor tablet 2 kali sehari. Korban dipulangkan dalam keadaan baik.

BAB IV PEMBAHASAN

4.1.Prosedur Medikolegal

19

Pada kasus ini, permintaan surat Keterangan Ahli berupa surat permintaan visum korban kejahatan seksual telah dikirimkan oleh penyidik kepada instansi kesehatan, dalam hal ini Rumah Sakit, dimana prosedur tersebut telah sesuai dengan wewenang penyidik serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, menjadi kewajiban dokter untuk melakukan pemeriksaan terhadap korban sesuai dengan keperluan penyidikan. Dalam hal ini dokter ahli kandungan dan kebidanan dianggap merupakan pihak yang paling kredibel untuk melakukan pemeriksaan terhadap korban. Selanjutnya dokter sesuai dengan bidang keilmuannya dalam hal ini ahli kedokteran kehakiman wajib pula membuat surat Keterangan Ahli berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan terhadap korban. Surat Keterangan Ahli berupa Visum et Repertum ini yang nantinya akan berfungsi sebagai alat bukti yang sah sesuai dengan KUHAP pasal 184 ayat (1).
4.2. Tanda Kekerasan

Pada pemeriksaan telah ditentukan ada atau tidaknya tanda kekerasan. Kekerasan tidak selamanya meninggalkan luka/ bekas luka tergantung antara lain dari penampang benda, daerah yang terkena kekerasan serta kekuatan dari kekerasan itu sendiri. Selain itu perlu diingat pula peranan dari faktor waktu. Berlalunya waktu dapat menyebabkan luka menyembuh atau tidak dapat ditemukan. Pada kasus ini korban mengaku tidak mengalami kekerasan selama kejadian sehingga hal ini didukung pula oleh hasil pemeriksaan yang tidak menunjukkan adanya sisa-sisa kekerasan fisik.

4.3. Tanda Persetubuhan Persetubuhan adalah suatu peristiwa dimana alat kelamin laki-laki masuk ke dalam alat kelamin perempuan, sebagian atau seluruhnya dan dengan atau tanpa terjadinya pancaran air mani, sehingga besarnya zakar dengan ketegangannya, sampai seberapa jauh zakar masuk, keadaan selaput dara serta posisi persetubuhan
20

mempengaruhi hasil pemeriksaan. Sebagaimana pengakuan korban bahwa ia tidak dapat memastikan apakah penetrasi yang terjadi merupakan penis atau benda lain dikarenakan kondisi kamar yang gelap. Pada pemeriksaan ditemukan adanya robekan pada selaput dara. Namun menurut Idries (2008), robekan selaput dara hanya akan menunjukkan adanya benda (padat/ kenyal) yang masuk, dengan demikian bukan merupakan tanda pasti dari adanya persetubuhan. Meskipun tanda pasti dari persetubuhan adalah adanya pancaran air mani atau ejakulasi pada pemeriksaan, namun tidak ditemukan pada pemeriksaan korban. Akan tetapi tidak didapatkan sperma tidak boleh diartikan bahwa pada korban tidak terjadi persetubuhan. Pada korban juga ditemukan adanya robekan pada selaput dara. Walaupun bukan merupakan tanda pasti dari terjadinya persetubuhan, namun adanya hiperemi disekitar hymen serta laserasi pada fourcette posterior dapat menunjukkan adanya penetrasi tumpul yang baru terjadi. 4.4. Perkiraan Umur Hal lain yang harus diperhatikan adalah umur korban. Pada kasus ini selain melalui prosedur pemeriksaan perkiraan umur melalui Tanner stage, umur korban sudah dapat ditentukan melalui keterangan yang diberikan oleh korban sendiri, yaitu 14 tahun sehingga korban masih tergolong anak-anak dibawah umur. Masalah umur ini selanjutnya digunakan untuk menentukan apakah korban sudah pantas dikawin atau belum, terutama berdasarkan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Hal ini sesuai dengan pasal 81 Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, bahwa7: (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian
21

kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. 4.5. Menentukan pantas tidaknya korban untuk dikawin Hal ini berhubungan pula dengan perkiraan umur korban. Umur korban yang mencapai 14 tahun (lebih dari 12 tahun) menyebabkan kasusnya tergolong delik aduan. Dalam kasus ini korban telah melakukan pengaduan pada pihak kepolisian. Selain itu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku korban dapat ditentukan sebagai individu yang belum pantas dikawin, yaitu sesuai dengan Undang-undang Perkawinan, Bab II (Syarat-syarat perkawinan) pada pasal 7 ayat (1) berbunyi: perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun, serta Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.

BAB V PENUTUP

5.1. Simpulan
1. Keberhasilan pengumpulan bukti salama pemeriksaan medikal forensik memiliki

korelasi langsung terhadap keberhasilan penuntutan kasus. Beberapa hal penting yang
22

harus ditentukan dan dievaluasi pada korban kejahatan seksual, yaitu menetukan adanya tanda-tanda persetubuhan, adanya tanda-tanda kekerasan, memperkirakan umur dan menentukan pantas tidaknya korban buat dikawin.
2. Pada korban perempuan berusia empat belas tahun ini tidak ditemukan tanda-

tanda kekerasan fisik. Robekan selaput dara dan lecet pada bibir kemaluan disebabkan penetrasi tumpul yang baru terjadi. Tidak ditemukan adanya sel-sel mani. 5.2. Saran
1.

Bagi instansi kesehatan, khususnya rumah sakit agar lebih meningkatkan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana pemeriksaan penunjang, khususnya bagi korban kejahatan seksual, sehingga diharapkan dapat semakin membantu lancarnya proses peradilan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kusuma, S.E dan Yudianto, A. Kejahatan Seksual. Dalam:

Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal. 2007. Surabaya: Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Universitas Airlangga Surabaya
2. London et al. 2005. Disclosure of Child Sexual Abuse. Psychology, Public

Policy, and Law 2005, Vol. 11, No. 1, 194226


23

3. Kar, Hakan et al. 2010. Sexual Assault in Childhood and Adolescence; a

Survey Study. European Journal of Social Sciences Volume 13, Number 4 p549-55.
4. The Violence Against Women Act (VAWA) Forensic Compliance Project.

2008. Ensuring Forensic Medical Exams for All Sexual Assault Victims: A Toolkit for States and Territories. U.S. Department of Justice Office on Violence Against Women Maryland Coalition Against Sexual Assault, Inc.
5. Idries, AM. Kejahatan Seksual. Dalam: Idries, AM, Pedoman Ilmu

Kedokteran Forensik. 1997. jakarta: Bina Rupa Aksara. p 216-27


6. Budiyanto, A,dkk. Ilmu Kedokteran Forensik. 1997. Jakarta: Bagian

Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p1-5 7. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
8. Idries, AM. Sistematika Pemeriksaan Ilmu Kedokteran Forensik Khusus

Pada Korban Kejahatan Seksual. Dalam: Idries AM dan Tjiptomartono, AL. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan. 2008. Jakarta: Sagung Seto
9. Saanin, S. Aspek-Aspek Fisik/ Medis Serta Peran Pusat Krisis dan

Trauma dalam Penanganan Korban Tindak Kekerasan. Available from: www. angelfire.com (Accessed: February, 8 2012. Last update: January, 2007
10. Stark MM. Medical Forensic Medicine A Physicians Guide. 2ndEdition.

New Jersey : Humana Press Inc. 2005.


11. Narendra et al, 2002. Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Jakarta : Ikatan

Dokter Anak Indonesia.


12. Stang, J., Story, M., 2005. Pubertal Growth and Development. Available

from: http:// www.epi.umn.edu/let/pubs/img/adol_ch1.pdf. (Accesed: 2012, January 8).


13. Behrman, RE., Kliegman, RM., Arvin AM., 2000. Ilmu Kesehatan Anak

Nelson ed 15. Jakarta: EGC.

24

You might also like