You are on page 1of 42

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Globalisasi perekonomian mengakibatkan batas ekonomi antar negara
semakin tak tampak. Sejalan dengan berkembangnya proses globalisasi
perekonomian, batasan-batasan dalam perdagangan internasional semakin
berkurang. Maka, volume dan nilai perdagangan Internasional akan semakin
meningkat akibat hal tersebut. Pada dasarnya, setiap negara didunia saling
membutuhkan untuk dapat melakukan perdagangan internasional. Faktor-faktor
penting yang menjadi pendorong untuk melakukan perdagangan internasional
adalah untuk memperoleh barang yang tidak dapat dihasilkan didalam negeri,
mengimpor teknologi yang lebih modern dari negara lain, memperluas pasar
produk-produk dalam negeri, dan memperoleh keuntungan spesialisasi. Setiap
negara mempunyai keunggulan masing-masing dalam menghasilkan barang
atau jasa. Meskipun dalam kenyataannya terdapat predikat negara maju dan
negara berkembang, hal tersebut tidak berarti bahwa negara yang mempunyai
predikat negara maju mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Seperti negara
Amerika Serikat, yang memerlukan karet, sedangkan dinegaranya tidak mampu
menghasilkan barang tersebut. Negara tersebut tentu akan mengimpor barang
tersebut dari negara berkembang seperti Indonesia. Sebaliknya negara
berkembang yang mempunyai kelimpahan sumberdaya alam, tapi belum
mempunyai teknologi yang maju untuk mengolahnya. Dengan begitu negara
berkembang juga harus mengimpor teknologi dari negara-negara maju. Oleh
karena itulah terjadi perdagangan nternasional.
Dalam melakukan transaksi perdagangan Internasional nilai suatu
komoditi dinyatakan dalam satuan mata uang baik mata uang dalam negeri
(domestik) maupun mata uang asing. Dalam perdagangan internasional tersebut
tentunya memelukan transfer uang dari negara satu kenegara yang lain. Dividen,
royalty dan laba dari investasi asing, kontribusi atas saham, dan berbagai jenis
pembiayaan semacam itu juga melibatkan transfer dana melewati batas-batas
negara. Hal tersebut dapat menimbulkan adanya kebutuhan untuk mengkonversi
mata uang yang satu menjadi mata uang yang lain dan hal tersebut menimbulkan
adanya permintaan akan valuta asing. Pasar valuta asing mempunyai fungsi
2

utama untuk mempermudah perdagangan dan investasi. Karena nilai tukar valuta
asing yang sering berfluktuatif, maka muncul permasalahan. (Wardita, 2008).
Pada dasarnya nilai tukar memang harus berfluktuatif, agar dapat mengirimkan
sinyal-sinyal harga yang benar, mereka harus senantiasa berubah dan
menyesuaikan diri terhadap berita-berita ekonomi yang beredar. Perubahan nilai
valuta asing tersebut disebabkan oleh beberapa hal, seperti perubahan tingkat
suku bunga, perubahan tingkat inflasi, perubahan tingkat pendapatan dan
seberapa besar intervensi pemerintah dalam kegiatan perekonomian. Nilai valuta
asing tersebut tampak pada variabel kurs.

Sumber: data sekunder diolah
Perbedaan nilai tukar mata uang (kurs) suatu negara pada prinsipnya
ditentukan oleh besarnya permintaan dan penawaran mata uang tersebut (Levi,
2001: 129). Perbedaan daya beli antara mata uang suatu negara dengan negara
yang lain akan memberikan kesempatan bagi pelaku ekonomi untuk mengambil
keuntungan melalui arbitrage.
Di Indonesia, ada tiga sistem yang digunakan dalam kebijakan nilai tukar
rupiah sejak tahun 1971 hingga sekarang. Antara tahun 1971 hingga 1978 dianut
sistem tukar tetap ( fixed exchange rate) dimana nilai rupiah secara langsung
dikaitkan dengan dollar Amerika Serikat ( USD). Sejak 15 November 1978 sistem
nilai tukar diubah menjadi mengambang terkendali (managed floating exchange
rate) dimana nilai rupiah tidak lagi semata-mata dikaitkan dengan USD, namun
terhadap sejumlah partner dagang utama. Maksud dari sistem nilai tukar tersebut
adalah bahwa meskipun diarahkan ke sistem nilai tukar mengambang namun
tetap menitikberatkan unsur pengendalian. Kemudian terjadi perubahan
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
Q1Q3Q1Q3Q1Q3Q1Q3Q1Q3Q1Q3Q1Q3Q1
2005 2006 2007 2008 2009 2010 20112012
k
u
r
s

Quartal dan Tahun
Grafik Fluktuasi Kurs
Series1
3

mendasar dalam kebijakan mengambang terkendali terjadi pada tanggal 14
Agustus 1997, dimana jika sebelumnya Bank Indonesia menggunakan band
sebagai guidance atas pergerakan nilai tukar maka sejak saat itu tidak ada lagi
band sebagai acuan nilai tukar. Purely free floating masih sulit diterapkan di
Indonesia mengingat kondisi dan struktur perekonomian Indonesia dengan
mengamati segala dampaknya. Bank Indonesia kemungkinan akan tetap
mempertahankan managed floating dengan melakukan intervensi secara
berkala, selektif, dan pada timing yang tetap (Supriadi, 2010).
Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap mata uang dolar Amerika setelah
diterapkannya kebijakan sistem nilai tukar mengambang bebas di Indonesia pada
tanggal 14 Agustus 1998 telah membawa dampak dalam perkembangan
perekonomian nasional baik dalam sektor moneter maupun sektor riil. Depresiasi
nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika menjadi sangat besar pada awal
penerapan sistem tersebut. Hal ini membuat meningkatnya derajat
ketidakpastian pada aktivitas bisnis dan ekonomi di Indonesia. Banyak faktor,
baik yang bersifat non ekonomi maupun ekonomi, yang dituduh menjadi
penyebab dari bergejolaknya nilai tukar tersebut. (Atmaja, 2008 : 69-78).
Faktor fundamental atau faktor ekonomi yang dapat mempengaruhi
antara lain adalah tingkat inflasi, tingkat suku bunga, laju pertumbuhan jumlah
uang beredar, aliran modal yang masuk maupun ke-luar serta kebijakan-
kebijakan moneter yang dijalankan oleh pemerintah. Selain itu juga ada faktor
non ekonomi yang dapat mempengaruhi kurs diantaranya adalah faktor
psikologis, faktor sosial politik dan keamanan negara (country risk) dan kegiatan
spekulasi mata uang yang semakin meningkat di era sistem nilai tukar
mengambang bebas. (Agustin, 2009). Disini variabel-variabel yang dipilih adalah
selisih tingkat bunga riil, jumlah uang beredar, inflasi dan cadangan devisa.
Penelitian ini difokuskan untuk menelaah lebih dalam tentang beberapa
faktor ekonomi di dua negara, Indonesia dan Amerika, yang dapat
mempengaruhi pergerakan nilai tukar mata uang rupiah terhadap dollar Amerika
Serikat, sehingga permasalahan utamanya adalah apakah perubahan nilai tukar
mata uang rupiah Indonesia terhadap dollar Amerika dipengaruhi oleh faktor-
faktor ekonomi yang terdiri dari selisih tingkat bunga riil, jumlah uang beredar,
inflasi dan cadangan devisa.


4

1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka yang menjadi masalah dalam penelitian
ini dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
Bagaimana pengaruh selisih tingkat bunga riil, jumlah uang beredar, inflasi
dan cadangan devisa pada fluktuasi nilai tukar mata uang rupiah-Indonesia
terhadap dollar-Amerika Serikat?

1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dirumuskan sebelumnya,
maka tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah:
Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana pengaruh selisih tingkat
bunga riil, jumlah uang beredar, inflasi dan cadangan devisa pada fluktuasi nilai
tukar mata uang rupiah-Indonesia terhadap dollar-Amerika Serikat.

1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, adapun kontribusi
penelitian yang ingin dicapai adalah:
1. Manfaat Akademis
a. Output dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sebuah
pemahaman mengenai pengaruh selisih tingkat bunga riil, jumlah uang
beredar, inflasi dan cadangan devisa pada fluktuasi nilai tukar mata
uang rupiah-Indonesia terhadap dollar-Amerika Serikat.
b. Sebagai bahan bacaan dan referensi bagi peneliti yang selanjutnya
dalam tema yang sama
2. Manfaat Praktis
a. Bagi peneliti: untuk menumbuh kembangkan sikap kritis peneliti
terhadap pemahaman mengenai variabel-variabel apa saja yang
mempengaruhi fluktuasi kurs.
b. Dapat memberikan informasi prediksi nilai tukar bagi pelaku ekonomi
untuk melakukan tindakan :
1) hedging, sehingga dapat diambil tindakan, sell atau buy, untuk
meminimalisasi kerugian akibat fluktuasi valuta asing,
2) financing/pembiayaan dengan memilih valuta yang memiliki
biaya efektif paling rendah,
5

3) investment yaitu memilih investasi pada valuta mana yang
memberikan tingkat return paling tinggi.


























6

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
Dalam era globalisasi ini kegiatan perdagangan internasional yang
meliputi ekspor dan impor terus meningkat. Berhubungan dengan perdagangan
internasional tersebut, konsep valuta asing sangat penting karena dalam
melakukan transaksi perdagangan setiap negara menggunakan mata uang yang
berbeda-beda. Oleh karena itu, muncul konsep nilai tukar atau kurs (exchanged
rate).
2.1.1 Kurs
Kurs (exchanged rate) adalah pertukaran antara dua mata uang yang
berbeda, yang merupakan perbandingan nilai atau harga antara kedua mata
uang tersebut. Perbandingan nilai inilah yang sering disebut dengan kurs
(exchanged rate) (Triyono, 2008: 156-167). Dalam pengertian lain kurs
(exchanged rate)diartikan sebagai daya beli antara mata uang negara satu
dengan mata uang negara lain. Nilai tukar biasanya berfluktuatif, secara tidak
langsung naik turunnya suatu nilai mata uang terhadap mata uang lain
tergantung pada penawaran dan permintaan mata uang asing. Perubahan kurs
dapat berupa depresiasi atau apresiasi. Depresiasi mata uang domestik berarti
turunnya nilai mata uang tersebut terhadap mata uang asing, sedangkan
apresiasi mata uang domestik berarti kenaikan nilai mata uang tersebut terhadap
mata uang asing. Depresiasi suatu mata uang negara mengakibatkan harga
barang-barang domestik menjadi lebih murah bagi pihak luar negeri. Sedangkan
apresiasi mengakibatkan harga barang-barang menjadi lebih mahal bagi pihak
asing. Ada dua macam kura berdasarkan waktu transaksinya yaitu kurs spot dan
kurs forward. Kurs Spot adalah kurs yang disepakati dengan membayar
secepatnya saat itu atau paling lambat dua hari setelah transaksi. (Triyono, 2008:
156-167). Sedangkan kurs forward adalah kurs yang disepakati saat ini untuk
pertukaran mata uang pada tanggal tertentu dimasa yang akan datang. (Levi,
2001: 57).


7

Ada beberapa macam sistem nilai tukar, antara lain:
1. Sistem Nilai Tukar Tetap (fixed exchange rate)
Salah satu kondisi utama yang diperlukan agar arus perdagangan dan
investasi internasional atau antarnegara dapat berjalan lancar adalah sistem
nilai tukar atau foreign exchange rate yang tetap atau stabil. Sehingga akan
memberikan kepastian kepada kegiatan perdagangan dan investasi atau
dunia bisnis internasional pada umumnya.
2. Sistem Nilai Tukar Mengambang (floating exchange rate)
Dalam Sistem nilai tukar mengambang ini nilai tukar mata uang ditentukan
oleh kekuatan permintaan dan penawaran pada pasar valuta asing (valas).
Apabila penentuan nilai tukar valas di pasar valas tersebut terjadi tanpa
campur tangan pemerintah maka disebut sebagai sistem clean float atau
freely floating system atau sistem nilai tukar mengambang murni. Sebaliknya,
apabila pemerintah turut campur tangan mempengaruhi permintaan dan
penawaran terhadap valas di pasar valas maka disebut sebagai dirty float
atau managed floating system atau sistem nilai tukar mengambang
terkendali.
3. Sistem Nilai Tukar Terkait (Pegged Exchange Rate System)
Sistem nilai tukar ini dilakukan dengan mengaitkan nilai mata uang suatu
negara dengan nilai mata uang negara lain atau sejumlah mata uang
tertentui. Sistem ini antara lain dilakukan oleh beberapa negara Afrika yang
mengaitkan nilai mata uangnya dengan mata uang Prancis (rRF) dan
beberapa negara lain.
4. Target-Zone Arrangement
Banyak para ekonom dan pembuat kebijakan mengatakan bahwa negara-
negara industri bisa mengurangi pergerakan dari nilai tukar dan menciptakan
stabilitas ekonomi jika Amerika Serikat, Jerman Jepang menghubungkan
mata uang mereka dalam sistem zona target. Pada Target-Zone
Arrangement, negara-negara menyesuaikan kebijakan nasional ekonominya
untuk menjaga nilai tukar mereka pada suatu margin yang telah disepakati,
nilai tukar tetap central (Donieoniie, 2009).




8

2.1.2 Pasar Valuta Asing
Menurut Krugman (2000 : 45) pasar valuta asing adalah pasar untuk
memperdagangkan mata uang internasional karena transaksi jual-beli valas
diantara individu, perusahaan maupun lembaga keuangan. Pelaku-pelaku utama
dipasar valuta asing menurut Krugman (2000 : 45) adalah:
1. Bank and non bank foreign exchange dealer
Para dealer yang berupa lembaga keuangan bank maupun non bank
beroperasi di pasar internbank & client mendapatkan keuntungan spread
yang didapat dari selisih antara harga beli (bid price) dengan harga jual
(offer price)
2. Individuals and firms
Para Individuals and firms menggunakan mata uang asing untuk
memfasilitasi transaksi internasional berupa ekspor impor dan tourisme
untuk investasi. Untuk mengurangi resiko yang muncul seringkali melakukan
program lindung nilai (hedging).
3. Speculator and arbitragers
Para Speculator and arbitragers mencari keuntungan yang didapat dengan
cara keakuratan memprediksi nilai tukar yang terjadi. Untuk itu, data maupun
informasi yang dapat digunakan untuk menganalisis pasar menjasi suatu hal
yang sangat penting.
4. Central bank
Bank sentral menggunakan caranya untuk melakukan campur tangan dalam
hal penentuan nilai tukar. Hal ini disesuaikan dengan sistem nilai tukar yang
dianut oleh negara yang bersangkutan.
5. Foreign exchange rate
Mediator perantara yang membutuhkan mata uang dengan yang akan
melepas mata uangnya, yang mana keuntungan yang didapatkan berupa
komisi dari hasil jual beli tersebut.
Berbagai jenis transaksi bisa dilakukan di pasar valuta asing,
diantaranya seperti:
1. Transaksi spot
Pertukaran mata uang suatu negara terhadap mata uang asing dengan
penyelesaian secepatnya. Transaksi spot ini dilakukan dengan kurs yang
telah disetujui bersama dan penyelesaiannya paling lama dua hari kerja.
9

Dalam pasar valuta asing spot, kurs yang ada, disesuaikan dengan kurs
yang dikeluarkan bank sentral.
2. Transaksi forward
Persetujuan antara dua pihak untuk menyerahkan valuta asing dalam jumlah
tertentu dikemudian hari dengan kurs yang telah ditentukan atau disepakati
kedua belah pihak pada saat penandatanganan kontrak. Waktu kontrak
forward merupakan kelipatan 30 hari dengan kurs forward merupakan kurs
spot ditambah discount atau premi yang besarnya sesuai dengan suku
bunga pinjaman valuta lokal dan suku bunga deposito valas sesuai waktu
yang berlaku.
3. Transaksi swap
Sarana bagi otoritas moneter untuk mempertukarkan mata uang domestik
dengan valas. Dalam transaksi ini, disepakati waktu penyelesaian dan nilai
tukarnya yang dilakukan oleh dua bank sentral.

2.1.3 Variabel-variabel yang Mempengaruhi Kurs
Secara umum yang mempengaruhi nilai tukar adalah faktor fundamental
atau faktor ekonomi antara lain adalah tingkat inflasi, tingkat suku bunga, laju
pertumbuhan jumlah uang beredar, aliran modal yang masuk maupun ke-luar
serta kebijakan-kebijakan moneter yang dijalankan oleh pemerintah. Selain itu
juga ada yang dapat mempengaruhi kurs diantaranya adalah faktor psikologis,
faktor sosial politik dan keamanan negara (country risk) dan kegiatan spekulasi
mata uang (Agustin, Grivia, 2009, JESP Vol. 1 No.1).

1. Hubungan antara Kurs dengan Tingkat Suku Bunga
Perubahan tingkat suku bunga akan berdampak pada perubahan jumlah
investasi di suatu negara, baik yang berasal dari investor domestik maupun
investor asing, khususnya pada jenis-jenis investasi portofolio, yang
umumnya berjangka pendek. Perubahan tingkat suku bunga ini akan
berpengaruh pada perubahan jumlah permintaan dan penawaran uang di
pasar uang domestik. Dan, apabila suatu negara menganut rezim devisa
bebas, maka hal tersebut juga memungkinkan terjadinya peningkatan aliran
modal masuk (capital inflow) dari luar negeri. Hal ini akan menyebabkan
terjadinya perubahan nilai tukar mata uang negara tersebut terhadap mata
uang asing di pasar valuta asing. Dalam beberapa kasus, bahkan
10

perubahan nilai tukar mata uang antara dua negara dapat juga dipengaruhi
oleh perubahan tingkat suku bunga yang terjadi di negara ketiga.
Tingkat suku bunga riil umumnya lebih sering dibandingkan antar negara
guna mengukur pergerakan nilai tukar mata uang. Secara teoritis akan
terjadi korelasi yang signifikan antara perbedaan tingkat suku bunga di dua
negara dengan nilai tukar mata uangnya terhadap mata uang negara yang
lain. Dalam hal ini tingkat suku bunga nominal bukan merupakan alat ukur
yang akurat, karena masih terkandungnya unsur inflasi di dalamnya.
Berdasarkan pada prisip International Fishers Effect, maka dapat
dirumuskan bahwa:
R = [ ( 1 + i
d
) : ( 1 + i
f
) ] 1 . . . . . . (1)
Dimana R = kurs,
i
d
= tingkat suku bunga domestik, dan
i
f
= tingkat suku bunga di luar asing
Apabila kedua belah sisi persamaan tersebut menghasilkan nilai sama,
maka mengindikasikan bahwa investasi antar kedua negara akan
menghasilkan return yang sama pula.
2. Hubungan antara Kurs dengan Inflasi
Menurut AP Lehner adalah keadaan dimana terjadi kelebihan permintaan
(excess demand) terhadap barang dalam suatu perekonomian secara
keseluruhan.. FW Paish memberikan penjelasan mengenai inflasi sebagai
suatu kondisi dimana pendapatan nasional meningkat jauh lebih cepat bila
dibandingkan dengan peningkatan peningkatan barang dan jasa yang
dihasilkan dalam suatu perekonomian.
Dari beberapa pengertian di atas, perlu digaris bawahi bahwa definisi inflasi
mencakup aspek-aspek sebagai berikut :
1. Tendency, yaitu berupa kecenderungan harga-harga untuk
meningkat, artinya dalam suatu waktu tertentu dimungkinkan
terjadinya penurunan harga tetapi secara keseluruhan mempunyai
kecenderungan ( trend ) meningkat.
2. Sustained, kenaikan harga yang terjadi tidak hanya berlangsung
dalam waktu tertentu saja, melainkan secara terus menerus dalam
jangka waktu yang lama.
11

3. General level of price, harga dalam konteks inflasi dimaksudkan
sebagai harga barang-barang secara umum, bukan dalam artian satu
atau dua jenis barang saja. (Santoso, 2008)
Pengaruh tingkat inflasi terhadap kurs mata uang asing dapat dijelaskan
dengan Purchasing Power Parity Theory (PPP). Gustav Cassel, seorang
ekonom Swedia yang aktif di awal abad 20, mempopulerkan PPP dengan
rnenjadikannya sebagai intisari dari suatu teori kurs. PPP rnenyatakan
bahwa semua tingkat harga dari seluruh negara sama besarnya bila diukur
dalam satuan mata uang yang sama. Penjelasan teori PPP ini erat kai-
tannya dengan dalil satu harga (Law of One Price), yang menyatakan bahwa
dalam pasar kompetitif yang bebas dari biaya transportasi dan hambatan-
hambatan resmi perdagangan (misalnya tarif), barang-barang yang identik
(sama jenisnya) pasti dijual di berbagai negara dengan harga yang sama
(apabila harganya dinyatakan dalam satuan mata uang yang sama). Dalil
satu harga dapat dinyatakan dengan rumus sebagai berikut:
P
i
Rp
= (E
Rp/$
) x (Pi
$
)
Diumpamakan P
i
Rp
adalah harga rupiah barang i, bila dijual di Indonesia, dan
P
i
$
adalah harga dolar barang yang sama bila dijual di Amerika Serikat.
Berdasarkan rurnus di atas maka kurs Rp/$ merupakan nis-bah hasil harga
mata uang Indonesia dan uang Amerika atas barang i adalah:
E
Rp/$
= P
i
Rp
/P
i
$

Teori PPP ini dapat dibedakan menjadi dua versi yaitu: absolut dan relatif.
Versi Absolut
Untuk menyatakan PPP absolut, misal-nya P
i
Rp
adalah harga rupiah dari
serang-kaian komoditi yang dijual di Indonesia dan P
i
$
adalah harga dolar dari
serangkaian ko-moditi yang dijual di Amerika. Maka PPP memprediksikan
kurs Rp/$ senilai:
E
Rp/$
= P
i
Rp
/P
i
$

atau
12

P
i
Rp
= (E
Rp/$
) x (Pi
$
)

Sisi kiri persamaan itu melambangkan harga rupiah komoditi di lndonesia, se-
dangkan sisi kanan adalah harga dolar ko-moditi yang sama di Amerika
(yaitu hasil kali perkalian antara harga dolar dari ko-moditi yang
bersangkutan dan harga rupiah dari Amerika) sedangkan sisi kanan
persamaan di atas mengukur daya beli setiap unit rupiah terhadap dolar
maupun terhadap barang-barang yang dijual di Amerika. Dengan dernikian
PPP absolut rnenyatakan bahwa pada kurs yang tengah berlaku daya beli
domestik terhadap setiap mata uang selalu sama dengan daya beli mata
uang negara lain.

Versi Relatif
PPP relatif menyatakan bahwa per-ubahan persentase dalam kurs antara
dua mata uang selama periode tertentu sama dengan selisih antara
persentase perubahan atas tingkat-tingkat harga berbagai negara. Dengan
kalimat lain, PPP relatif mene-rangkan bahwa harga-harga dan kurs
mengalami perubahan sedemikian rupa sehingga nisbah daya beli domestik
dan luar negeri dari setiap negara tetap ber-tahan. Rumusan PPP relatif
antara Indo-nesia dan Amerika dapat dinyatakan seba-gai berikut:
(E
Rp/$
- E
Rp/$ t-1
)/E
Rp/$ t-1
=
Rp
-
$,
atau
(E
Rp/$
- E
Rp/$ t-1
) = (P
Rp
/P
Rp t-1
)/(P
$
/P
$ t-1
)
t menunjukkan tingkat inflasi (nilainya sama dengan perubahan persentase
suatu tingkat harga dalam periode antara t dan (t-1), secara simbolis dapat
dirumuskan bahwa:
= (P
Rp
/P
Rp t-1
)/(P
$
/P
$ t-1
)
PPP relatif ini penting karena ia dapat diterapkan sementara PPP absolut
tidak asalkan faktor-faktor penyebab deviasi PPP absolut dari waktu ke waktu
cukup stabil, perubahan-perubahan persentase tingkat-tingkat harga relatif
rnasih dapat mem-perkirakan perubahan persentase kurs. Se-lain itu, bentuk
relatif teori paritas daya beli ini merupakan versi alternatif yang mem-
perhitungkan kemungkinan ketidak-sempurnaan pasar seperti biaya
transportasi, tarif, dan kuota, sehingga produk yang sama di negara yang
berbeda tidak perlu menjadi sama bila diukur dengan mata uang yang sama.
13

Dengan dermikian, versi ini menyatakan bahwa tingkat perubahan da-lam
harga-harga produk seharusnya agak sama bila diukur dengan mata uang
yang sama (Madura, 2000:215).
Perubahan kurs valuta asing menurut versi relatif ini juga dapat
diformulasikan sebagai berikut:

( )
( )

Dimana:
Ef = persentase (%) perubahan kurs
Ih = tingkat inflasi domestik
If = tingkat inflasi luar negeri
Sehingga dai persamaan diatas, jika tingkat inflasi domestik (Ih) lebih besar
daripada tingkat inflasi luar negeri (If) maka Ef akan positif atau dengan kata
lain kurs valuta asing meningkat (mata uang domestik mengalami
depresiasi). Bila tingkat inflasi domestik (Ih) lebih kecil dari tingkat inflasi luar
negeri (If) maka Ef akan negatif atau dengan kata lain kurs valuta asing
menurun (mata uang domestik mengalami apresiasi). Perkiraan akan
apresiasi mata uang luar negeri (dolar AS) terhadap mata uang domestik
(rupiah Indonesia) dapat pula dipersingkat dengan cara menghitung selisih
tingka inflasi antara Indonesia dan Amerika dengan menggunakan rumus:
Ef= Ih If
Berdasarkan semua pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
menurut teori paritas daya beli, kurs antara dua mata uang akan berubahn
sebagai reaksi terhadap perbedaan inflasi antara dua negara. Akibatnya,
daya beli mata uang tersebut akan sama. Kurs valuta asing akan cenderung
bergerak menuju rasio daya beli antara dua mata uang dalam jangka
panjang.
Banyak hasil penelitian para ekonom yang menilai bahwa teori PPP kurang
cocok untuk menjelaskan hubungan kurs dengan tingkat harga dalam jangka
panjang, tetapi ada pula yang masih melihat relevansi berlakunya teori PPP,
pada kondisi tertentu, dalam jangka panjang.




14

3. Hubungan antara Kurs dengan Jumlah Uang Beredar
Peredaran reserve valuta asing (neraca pembayaran) timbul sebagai akibat
kelebihan permintaan atau penawaran uang. Apabila terdapat kelebihan
jumlah uang beredar maka, neraca pembayaran akan defisit dan sebaliknya
apabila terdapat kelebihan permintaan uang, maka neraca pembayaran
akan mengalami surplus. Kelebihan jumlah uang beredar akan
mengakibatkan mesyarakat membelanjakan kelebihan ini, misalnya untuk
transaksi impor atau membeli surat-surat berharga luar negeri sehingga
terjadi aliran modal keluar, yang berarti permintaan akan valas naik
sedangkan permintaan uang akan turun (Nopirin, 1997:222). Jika
pemerintah menambah uang beredar akan menurunkan tingkat bunga dan
merangsang investasi keluar negeri sehingga terjadi aliran modal keluar
sehingga kurs valuta asing naik (apresiasi) dan nilai mata uang domestik
akan mengalami depresiasi . Dengan naiknya penawaran uang atau jumlah
uang beredar akan menaikkan harga barang yang diukur dengan sekaligus
akan menaikkan harga valuta asing yang diukur dengan mata uang
domestik (Herlambang, dkk, 2001).
Jumlah uang beredar yang berlebihan dalam suatu negara akan
menyebabkan nilai tukar mata uangnya melemah (depresiasi), karena tidak
diimbangi dengan permintaan yang sesuai, sebaliknya jika permintaan akan
mata uang lebih besar daripada jumlah kenaikan penawaran uang, maka
nilai tukarnya akan menguat (apresiasi) (Salvatore, 1997: 333). Jika disuatu
negara pertumbuhan penawaran uang nya lebih rendah dibandingkan
dengan tingkat output riilnya, maka mata uang tersebut akan mengalami
apresiasi, hal itu disebabkan karena terjadinya kelebihan permintaan
dibandingkan penawaran.

4. Hubungan antara Kurs dengan Cadangan Devisa
Salah satu cara pemerintah dalam intervensi terhadap kurs yaitu dengan
menggunakan cadangan devisa. Cadangan devisa yang tinggi
mencerminkan kalau negara tersebut mampu menjaga kestabilan kursnya.
Cara pemerintah untuk menambah cadangan devisa dengan menaikan suku
bunga sehingga investasi akan naik. Untuk menaikan suku bunga
pemerintah melakukan operasi pasar terbuka dengan menjual SBI ke bank-
bank yang lebih tinggi. Dengan naiknya investasi maka aliran dana terjadi
15

tidak hanya dari dalam negeri tetapi juga dari luar negeri, seperti
penanaman modal asing dan investasi portofolio. Hal tersebut akan
menyebabkan permintaan akan mata uang domestik meningkat dan
akhirnya akan menyebabkan apresiasi mata uang domestik. Sebaliknya, jika
cadangan devisa suatu negara kecil maka akan sulit menarik investor asing
dalam berinvestasi didomestik. Sehinga, nilai tukar mata uang domestik
akan terdepresiasi.

2.2 Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi fluktuasi nilai
tukar ini telah dilakukan sebelumnya, antara lain:
1. Adwin Surja Atmaja, 2002 dalam ANALISA PERGERAKAN NILAI TUKAR
RUPIAH TERHADAP DOLAR AMERIKA SETELAH DITERAPKANNYA
KEBIJAKAN SISTEM NILAI TUKAR MENGAMBANG BEBAS DI
INDONESIA. Dalam penelitian tersebut menggunakan analisis regresi, dan
diperoleh hasil bahwa hanya variabel jumlah uang beredar yang memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap pergerakan nilai tukar rupiah terhadap
dollar Amerika, sedangkan variabel-variabel lainnya tidak. Dengan koefisien
determinasi sebesar 32,5% mengindikasikan, bahwa 67,5% dari variabel
terikatnya dipengaruhi oleh faktorfaktor selain faktor ekonomi yang dalam
penelitian ini menjadi variabel bebas. Faktorfaktor lain tersebut bisa
dikategorikan dalam faktor ekonomi lainnya maupun faktorfaktor non
ekonomi.
2. Tri Wibowo dan Hidayat Amir, 2005 dalam FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI NILAI TUKAR RUPIAH. Pengujiannya atas beberapa
model menghasilkan model terbaik bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
besaran nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat adalah selisih
pendapatan riil Indonesia dan Amerika Serikat, selisih inflasi Indonesia dan
Amerika Serikat, selisih tingkat suku bunga Indonesia dan Amerika Serikat,
serta nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat satu bulan
sebelumnya (lag-1).
3. Iqbal Abdillah, Ramli, Wahyu Aryo Pratomo, Jhon Tafbu Ritonga, 2007
dalam ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI FLUKTUASI
NILAI TUKAR RUPIAH. Penelitian tersebut menggunakan analisis metode
Ordinary Least Square (OLS), dan data yang digunakan adalah data
16

sekunder selama 60 bulan dari bulan januari 2000 sampai dengan desember
2004, dengan alat bantu program SPPS. Menganalisis besarnya pengaruh
variabel-variabel ekonomi yang mempnegaruhi fluktuasi nilai tukar rupiah.
Variabel yang digunakan jumlah uang beredar, inflasi dan suku bunga
Indonesia. Hasil estimasi yang memperlibatkan bahwa jumlah uang beredar,
inflasi, dan suku bunga Indonesia mempunyai pengaruh yang signifikan
secara statistik terhadap fluktuasi nilai tukar rupiah.
4. I Wayan Wardita, 2008 dalam PENGARUH SUKU BUNGA BANK
INDONESIA DENGAN SUKU BUNGA INTERNASIONAL, INFLASI DAN
CADANGAN EMAS TERHADAP KURS US DOLLAR . Faktor yang diduga
sangat mempengaruhi kurs valuta asing adalah variabel ekonomi makro
seperti perbedaan suku bunga, inflasi dan cadangan emas. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa semua variabel bebas (selisih suku bunga Bank
Indonesia dengan suku bunga internasional, inflasi dan cadangan emas)
secara bersamaan mempunyai hubungan yang signifikan dengan variabel
terikat (kurs US $ / Y).
5. Grisvia Agustin, 2009 dalam ANALISIS PARITAS DAYA BELI PADA KURS
RUPIAH TERHADAP DOLLAR AMERIKA SERIKAT PERIODE
SEPTEMBER 1997 DESEMBER 2007 DENGAN MENGGUNAKAN
METODE ERROR CORECTION MODEL. Penelitiannya menggunakan
error correction model untuk menguji kevalidan teori Purchasing Power Parity
dalam menjelaskan variabel yang mempengaruhi nilai tukar rupiah- Indonesia
terhadap Dollar- Amerika Serikat. Variabel bebas yang digunakan dalam teori yaitu,
rasio dari tingkat harga di Indonesia dan AS, selisih tingkat bunga di Indonesia dan
AS, jumlah uang beredar (M2) Indonesia, cadangan devisa di Indonesia, total nilai
ekspor Indonesia, total nilai impor Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
semua variabel memiliki pengaruh terhadap perubahan nilai tukar rupiah terhadap
dollar Amerika serikat.
6. Yunika Murdayanti, 2012 dalam PENGARUH GROSS DOMESTIC PRODUCT,
INFLASI, SUKU BUNGA, MONEY SUPPLY, CURRENT ACCOUNT, DAN CAPITAL
ACCOUNT TERHADAP NILAI KURS RUPIAH INDONESIA DOLLAR AMERIKA .
Hasil penenlitian menunjukkan bahwa variabel GDP, Inflasi, suku bunga, dan
capital account berpengaruh secara negatif signifikan secara parsial terhadap
Rp/USD. Sedangkan variabel current account secara parsial tidak berpengaruh
signifikan pada nilai tukar Rp/USD. Nilai determinasi sebesar 0,844 menunjukkan
bahwa kelima variabel tersebut sangat kuat mempengaruhi kurs.
17

7. Apip Supriadi, 2010 dalam ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
NILAI TUKAR DI INDONESIA PERIODE 1990 2008. Data yang digunakan
adalah data sekunder. Teknik analisis menggunakan analisis regresi berganda.
Variabel yang digunakan pendapatan nasional, inflasi, dan tingkat bunga. Hasil
penelitiannya diperoleh bahwa pendapatan nasional, inflasi, dan tingkat suku bunga
secara simultan berpengaruh terhadap nilai tukar di Indonesia periode 1990-2008.
8. Agus Budi Santoso, 2008 dalam KEMAMPUAN INFLASI PADA MODEL
PURCHASING POWER PARITY DALAM MENJELASKAN NILAI TUKAR RUPIAH
TERHADAP DOLLAR AMERIKA SERIKAT . Penelitian ini menggunakan metode
Error Correction Model (ECM) dan memperoleh hasil bahwa dalam jangka pendek
variabel inflasi tidak signifikan dalam mempengaruhi fluktuasi nilai tukar rRupiah
dengan Dollar Amerika Serikat. Variabel pendapatan nasional dan tingkat suku
bunga berpengaruh signifikan terhadap nilai tukar Rupiah dengan Dollar Amerika
Serikat.
9. Triyono,2008 dalam ANALISIS PERUBAHAN KURS RUPIAH TERHADAP
DOLLAR AMERIKA. Dalam penelitian ini menggunakan metode Error Correction
Model (ECM). Penelitiannya menganalisis pengaruh jumlah uang beredar, inflasi,
suku bunga SBI, dan total nilai impor terhadap nilai tukar Rupiah dengan Dollar
Amerika Serikat. Hasil yang diperoleh dari regresi ECM dalam analisis jangka
panjang mengindikasikan variabel inflasi, suku bunga SBI, dan total nilai impor
berpengaruh positif signifikan terhadap nilai tukar Rupiah dengan Dollar Amerika
Serikat. Sedangkan variabel jumlah uang beredar berpengaruh negatif terhadap
nilai tukar Rupiah dengan Dollar Amerika Serikat.
10. Doni, 2009 dalam DAMPAK TINGKAT INFLASI, SUKU BUNGA, DAN
JUMLAH UANG BEREDAR TERHADAP NILAI TUKAR DOLLAR AMERIKA
PADA EMITEN DI BURSA EFEK INDONESIA. Ada tiga faktor ekonomi
yang digunakan yaitu: tingkat inflasi, suku bunga dan jumlah uang beredar.
Hasil yang diperoleh hasil dimana ketika ketiga faktor yang digunakan
secara bersama ditambah faktor perubahan nilai tukar pada periode atau
kurun waktu sebelumnya, akan memberikan pengaruh kepada perubahan
nilai tukar sebesar 0,140 % jika terjadi kenaikan sebesar 1 % pada
perubahan nilai tukar periode sebelumnya. Sedangkan jika terjadi kenaikan
sebesar 1 % pada selisih perubahan money supply antara Indonesia dan
Amerika akan menyebabkan perubahan nilai tukar sebesar 1,942 %. Lalu,
jika terjadi kenaikan sebesar 1 % pada selisih tingkat suku bunga antara
Indonesia dan Amerika akan menyebabkan perubahan nilai tukarsebesar
0,008% . Dan jika terjadi kenaikkan sebesar 1% pada selisih tingkat inflasi
18

antara Indonesia dan Amerika akan menyebabkan perubahan nilai tukar
sebesar 0,344%.

2.3 Hipotesis
Hipotesis pada dasarnya merupakan suatu kesimpulan yang bersifat
sementara tentang perilaku variabel-variabel dalam model yang digunakan, yang
akan dibuktikan melalui uji statistik. Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan
dan penelitian terdahulu, maka hipotesis penelitian ini sebagai berikut :
1. Variabel tingkat inflasi, tingkat suku bunga, jumlah uang beredar dan
cadangan devisa dapat menjelaskan perilaku nilai tukar Rupiah terhadap
Dollar Amerika Serikat.
2. Terdapat hubungan yang signifikan antara melemahnya nilai tukar rupiah
terhadap dolar Amerika Serikat dengan semakin tingginya tingkat inflasi di
Indonesia dibandingkan dengan tingkat inflasi di Amerika Serikat. Nilai tukar
rupiah akan terdepresiasi dengan meningkatnya inflasi di Indonesia.
3. Terdapat hubungan yang signifikan antara melemahnya nilai tukar rupiah
terhadap dolar Amerika Serikat dengan semakin besarnya jumlah uang
beredar di Indonesia. Jumlah uang beredar yang semakin banyak
menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat akan
depresiasi.
4. Terdapat hubungan yang signifikan antara menguatnya nilai tukar rupiah
terhadap dolar Amerika Serikat dengan semakin tingginya tingkat suku
bunga riil di Indonesia dibandingkan dengan tingkat suku bunga riil di
Amerika Serikat. Semakin tinggi tingkat suku bunga riil di Indonesia
dibandingkan dengan tingkat suku bunga riil di Amerika Serikat
menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat akan
apresiasi.
5. Terdapat hubungan yang signifikan antara menguatnya nilai tukar rupiah
terhadap dolar Amerika Serikat dengan semakin besarnya cadangan devisa
di Indonesia. Semakin besar nilai cadangan devisa di Indonesia
menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat akan
apresiasi.



19

2.4 Kerangka pikir
Sifat dari kurs valuta asing tergantung dari sifat pasar apabila
transaksi jual-beli valuta asing dapat dilakukan secara bebas di pasar, maka kurs
valuta asing akan berubah-ubah sesuai dengan perubahan permintaan dan
penawaran. Semua kegiatan ekonomi dan kebijakan pemerintah (fiskal dan
moneter) yang mempengaruhi inflasi, tingkat suku bunga, jumlah uang beredar,
dan cadangan devisa secara tidak langsung akan mempengaruhi kurs secara
sistematis hubungan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :






















Kegiatan
ekonomi
dan
kebijakan
pemerintah
Jumlah uang
beredar
Tingkat
suku bunga
Inflasi
Cadangan
devisa
Permintaan
dan
Penawaran
Valuta
asing
Kurs valuta
asing
20

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Obyek Penelitian
Obyek dari penelitian ini adalah nilai tukar Rupiah terhadap Dollar
Amerika Serikat, inflasi, tingkat suku bunga, dan cadangan devisa pada periode
Triwulan 1 tahun 2005 sampai dengan Triwulan 1 tahun 2012. Digunakannya
dollar Amerika Serikat karena mata uang tersebut merupakan mata uang yang
kuat dan Amerika Serikat merupakan partner dagang yang dominan di Indonesia.
Data yang dipilih digunakan dalam penelitian ini merupakan data
triwulanan., tahun 2005 sampai dengan tahun 2012, Pemilihan tahun 2005-2012
sebagai sampel dalam penelitian ini didasari oleh alasan karena diantara tahun
tersebut terjadi krisis finansial di Eropa. Krisis ekonomi global 2008 akhirnya
terjadi juga dan dampaknya mulai terasa di Indonesia juga di seluruh dunia.
Pasar modal di AS, Eropa, Asia dan seluruh bagian dunia lainnya hancur luluh
diterpa badai krisis. Struktur keuangan global sudah hampir melting down,
begitu kata beberapa sumber terpercaya dunia.
Para ahli keuangan, seperti pemenang nobel Joseph Stigliz menyatakan
rasa pesimisme akan masa depan ekonomi AS dalam waktu dekat, begitu pula
Allan Greenspan. Gayung bersambut, Ben Bernanke yang menjabat Chairman
Federal Reserve AS juga menyakan bahwa AS sedang menghadapi big threat
yang serius dan kompleks. Injeksi dana bail-out yang sedemikian besarnya
(sekitar USD 1,6 triliun), ternyata masih belum mampu memulihkan kepercayaan
pasar terhadap masa depan ekonomi AS dan dunia. Krisis ini dimulai dari hal
yang sebenarnya tidak perlu terjadi yaitu Subprime Mortgage yaitu semacam
kredit KPR bagi orang-orang yang sebenarnya tidak layak mendapat kredit. Di
AS, setiap orang yang akan mendapatkan kredit dari bank harus mempunyai
credit score dengan jejak rekam baik yang dikeluarkan oleh semacam lembaga
independen.
Dampak krisis financial ini begitu cepat menyebar didunia karena
1. Wall Street menjadi barometer pasar keuangan dunia, sehingga
jatuhnya Wall Street akan merusak struktur finansial global.
2. Lalu, ternyata surat berharga subprime dengan segala teknik "mix
and match" nya itu juga sangat diminati oleh sebagian besar investor
dunia. Banyak lembaga keuangan AS, Eropa dan Asia terpandang
21

memborong surat berharga yang beracun itu. Karena subprime
mortgage merupakan sarana investasi yang menjanjikan saat
fundamental ekonomi AS mulai slow down.
Krisis ini terjadi karena Persoalan yang sebenarnya sederhana saja,
mengapa orang yang tak layak diberi kredit di beri pinjaman dengan persyaratan
begitu mudah? Sudah tentu resikonya tinggi karena probabilitas terjadinya
default pasti tinggi. Backed securities model subprime ini hanya dapat selamat
jika harga rumah terus naik atau setidaknya stagnan, namun yang terjadi justru
sebaliknya dimana harga properti terus melemah dipicu oversupply. Bagaimana
dengan penerapan manajemen resiko yang canggih di AS, hal seperti ini bisa
terjadi?. Kuncinya pada moral hazard berupa ketamakan tanpa batas yang
memicu overconfidence sehingga harga saham dan sekuritas derivatif menjadi
overvalued yang menciptakan bubble index. Berapa besarnya resiko
keuangan, dan mantapnya manajemen resiko tampaknya sudah tidak
dipedulikan lagi. Bahkan peringatan dari begawan ekonomi dunia Allan
Greenspan dan pemenang nobel ekonomi Joseph Stigliz pun dianggap angin
lalu.
Oleh karena sebab-sebab tersebut krisis ini menjalar menjadi sangat
cepat merambat keseluruh penjuru dunia, termasuk pasar modal Eropa dan Asia
yang babak belur dibuatnya. Kejatuhan Wall Street tentu akan mengubur pasar
modal global, tidak peduli seberapa kuatnya pasar modal Eropa dan Jepang dan
lainnya di dunia. Ditambah lagi perilaku transaksi short selling (transaksi semu)
yang dilakukan pelaku pasar bermoral rendah, menambah situasi pasar
bertambah runyam. Maka hampir semua pemerintah di seluruh dunia melakukan
intervensi pada pasar modal dan pengendalian nilai tukar yang terus menurun,
termasuk Indonesia.

3.2 Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat kuantitatif. Penelitian kuantitatif adalah penelitian
yang menekankan pada pengujian teori melalui pengukuran variabel dengan
angka dan melakukan anaslisis data dengan menggunakan uji statistik.


22

3.3 Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data
sekunder adalah data yang sudah berupa publikasi yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia dan instansi-instansi yang terkait. Data yang dipergunakan bersumber
dari Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik, dan Federal Reserve. Metode
pengumpulan data berupa metode kepustakaan yaitu dengan membaca literatur-
literatur yang berkaitan dan menunjang baik secara langsung maupun tidak
langsung dengan penelitian ini.
3.4 Populasi Dan Sampel
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek
yang mempunyai jumlah dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dikaji dan kemudian ditarik kesimpulannya (jumlahnya bisa hanya satu
orang atau instansi atau perusahaan dengan beberapa karakteristiknya). Dalam
penelitian ini populasi terdiri dari seluruh indikator atau variabel makro
perekonomian di Indonesia dan Amerika serikat yang mempengaruhi fluktuasi
kurs.
Tetapi dalam penelitian ini hanya menggunakan beberapa variabel dari
keseluruhan variabel makro yang mempengaruhi kurs tersebut yang disebut
sampel. Sampel adalah bagian dari jumlah dan dari karakteristik populasi (apa
yang dikaji dari sampel, kesimpulannya diberlakukan terhadap populasi).
Variabel yang digunakan yaitu inflasi, tingkat suku bunga, jumlah uang beredar
dan cadangan devisa. Sedangkan periode yang digunakan dalam penelitian ini
mulai tahun 2005 sampai tahun 2012 dengan menggunakan data triwulanan.
3.5 Definisi Operasional Variabel
Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini digolongkan menjadi
dua variabel yaitu variabel terikat dan variabel bebas :
1. Variabel terikat
Dalam penelitian ini variabel terikatnya adalah kurs. Kurs yaitu nilai tukar
Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat. Diukur dengan berapa rupiah yang
diperlukan untuk mendapatkan satu DOllar Amerika Serikat. Data diperoleh
dari Bank Indonesia

23

2. Variabel bebas
Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari:
a. Inflasi triwulanan
Inflasi adalah kenaikan harga-harga barang kebutuhan umum yang
terjadi secara terus menerus. Inflasi diukur dalam satuan persen (%).
Data yang dipergunakan diperoleh dari Badan Pusat Statistik dan
Federal Reserve.
b. Selisih tingkat suku bunga
Data yang digunakan yaitu selisih tingkat suku bunga riil antara
Indonesia dengan Amerika Serikat. Di Indonesia menggunakan BI Rate
sedangkan di Amerika menggunakan suku bunga internasional. BI Rate
adalah suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap atau stance
kebijakan moneter yang ditetapkan oleh bank Indonesia dan diumumkan
kepada publik. Kemudian masing-masing suku bunga tersebut dikurangi
inflasi, sebagaimana ditunjukakan dalam formula dibawah ini:


Dimana:



Data tersebut diukur dalam satuan persen dan diperoleh dari Badan
Pusat Statistik dan Federal Reserve.
c. Cadangan devisa di Indonesia
Cadangan devisa simpanan mata uang asing oleh bank sentral dan
otoritas moneter. Simpanan ini merupakan asset bank sentral yang
tersimpan dalam beberapa mata uang cadangan (reserve currency)
seperti dolar, euro, atau yen, dan digunakan untuk menjamin
kewajibannya, yaitu mata uang lokal yang diterbitkan, dan cadangan
berbagai bank yang disimpan di bank sentral oleh pemerintah atau
lembaga keuangan. Cadangan devisa diukur dalam satuan rupiah, dan
diperoleh dari Bank Indonesia.
d. Jumlah uang beredar (M1)
Jumlah uang beredar adalah uang dalam arti sempit yang terjadi dari
uang kartal dan uang giral yang dipegang oleh masyarakat. Data jumlah
24

uang beredar yang digunakan diperoleh dari Bank Indonesia dan diukur
dalam satuan rupiah.

3.6 Metode Analisis Data
Berdasarkan landasan teori dan sesuai dengan tujuan penelitian ini,
metode analisis yang akan digunakan adalah regresi linear berganda, dan
diformulasikan dalam suatu model persamaan fungsional sebagai berikut:


Dimana:
Y = Nilai tukar Rupiah Indonesia terhadap Dollar Amerika Serikat
X
1
= Inflasi di Indonesia
X
2
= Selisih suku bunga riil di Indonesia dengan Amerika Serikat
X
3
= Cadangan devisa di Indonesia
X
4
= Jumlah uang beredar di Indonesia


|
1
, |
2
, |
3
, |
4
= masing-masing koefisien dari X
1
, X
2
, X
3
, dan X
4

e = residual
3.7 Uji asumsi Klasik
Di dalam model regresi klasik, untuk memperoleh nilai pemerkira yang
tidak bias dan efisien dari persamaan regresi linear berganda dengan metode
kuadrat terkecil biasa (Ordinary Least Square, OLS), maka dalam menganalisis
data haruslah dipenuhi asumsi-asumsi klasik. Asumsi klasik tersebut diantaranya
adalah :
1. Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi
ditemukan adanya korelasi linear yang sempurna antara variabel-variabel
bebas (Gujarati, 2010). Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi
25

korelasi diantara variabel bebas. Untuk mengetahui ada tidaknya
multikolinearitas didalam model regresi adalah sebagai berikut :
1. Uji korelasi parsial. Pedoman untuk mengetahui ada tidaknya
multikolinearitas adalah jika nilai R2 regresi model awal lebih
besar daripada R2 regresi parsial, maka dalam model empiris
tidak ditemukan adanya multikolinearitas.
2. Menganalisis matrik korelasi variabel-variabel bebas. Jika antar
variabel bebas ada korelasi yang cukup tinggi (umumnya diatas
0,90), maka hal ini merupakan indikasi adanya multikolinearitas.
Tidak adanya korelasi yang tinggi antar variabel bebas tidak
berarti bebas dari multikolinearitas. Multikolinearitas dapat
disebabkan karena adanya efek kombinasi dua atau lebih variabel
bebas.
3. Multikolinearitas dapat juga dilihat dari (1) nilai tolerance dan
lawannya (2) variance inflation factor (VIF). Tolerance mengukur
variabilitas variabel bebas yang terpilih yang tidak dapat dijelaskan
oleh variabel bebas lainnya. Jadi nilai tolerance yang rendah sama
dengan nilai VIF tinggi dan menunjukkan adanya kolonieritas yang
tinggi. Nilai cutoff yang umum dipakai adalah nilai tolerance 0,10
atau sama dengan nilai VIF diatas 10.
Tidakan perbaikan bila terdapat multikolinearitas adalah sebagai
berikut :
1. Menggunakan informasi sebelumnya.
2. Mengkombinasikan data crossection dan data time series.
3. Meninggalkan variabel yang sangat berkorelasi
4. Mendapatkan tambahan atau data baru.

2. Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model
regresi terjadi ketidak samaan variance dari residual atau
pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika varian dari residual satu
pengamatan atau pengamatan yang lain tetap, maka disebut
homoskedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas.
Model regresi yang baik adalah yang homoskedastisitas. Kebanyakan
data crossection mengandung situasi heteroskedastisitas karena data
26

ini menghimpun data mewakili sebagai ukuran (kecil, sedang, dan
besar). Berikut ini cara untuk mendeteksi ada atau tidaknya
heteroskedastisitas (Gujarati, 2010) : Uji Park, Uji White, dan Uji
Glejser.
Dasar analisanya adalah :
a. Uji Park : Berdasarkan hasil estimasi model jika diketahui bahwa
variabel x1,x2,x3,x4, dan x5 tidak signifikan pada tingkat 5%.
Dengan demikian, berdasar uji park dapat disimpulkan bahwa
model empiris yang digunakan (y=f(x1,x2,x3,x4,x5)) tidak terkena
masalah heteros.
b. Uji White : dasar analisisnya dilihat dari nilai Obs*R-squared, jika
nilai Probability Obs*R-squared lebih kecil 5%, maka ada
heterokesdatisitas
c. Uji Glejser : Jika koefisien variabel independen tidak signifikan
(>5%) maka dapat disimpulkan ada heterokesdatisitas.

3. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi,
variabel terikat dan variabel bebas, keduanya mempunyai distribusi
normal ataukah tidak. Gujarati (2010) untuk uji model regresi yang
baik adalah memiliki distribusi data yang normal atau tidak, dapat
dilakukan dengan cara :
Setelah dilakukan regresi dilihat dari nilai Jarque Bera Test. Jika nilai
prob. Jarque Bera Test lebih besar 5%, maka distribusi error adalah
normal. (Lolos uji normalitas)

4. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam suatu model
regresi linear ada korelasi antara kesalahan penganggu pada periode
t dengan kesalahan pada periode t-1 (sebelumnya) (Gujarati, 2010).
Autokorelasi muncul karena observasi yang berurutan sepanjang
waktu berkaitan satu sama lain. Ada beberapa cara yang digunakan
untuk mendeteksi ada atau tidaknya korelasi, salah satunya yaitu
dengan uji Durbin-Watson (DW-test).
Sedangkan pengambilan keputusan ada tidaknya autokorelasi :
27

a. Dw kurang dari 1,10 ada auto korelasi
b. 1,10 sampai 1,54 tanpa kesimpulan
c. 1,55 sampai 2,46 tidak ada korelasi
d. 2,46 sampai 2,90 tanpa kesimpulan
e. Lebih dari 2,90 ada autokorelasi

3.8 Uji statistik
Uji statistik ini dilakukan dengan tujuan untuk membuktikan ada tidaknya
korelasi antara variabel bebas dengan variabel terikat. Dari hasil regresi
berganda akan diketahui besarnya koefisien masing-masing variabel. Dari
besarnya koefisien akan dilihat adanya hubungan dari variabel-variabel bebas,
baik secara terpisah maupun bersama-sama terhadap variabel terikat. Untuk
melakukan uji atas hipotesis, dilakukan dengan cara :
1. Uji Statistik Parsial (T-TEST)
Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu
variabel bebas secara individual terhadap variabel terikat. Hipotesis nol dan
hipotesis alternatif yang akan diuji pada uji statistik t adalah sebagai berikut
(Gujarati, 2010) :
H
0
= Variabel bebas secara individual berpengaruh signifikan terhadap
variabel terikat.
H
1
= Variabel bebas secara individual tidak berpengaruh signifikan terhadap
variabel terikat.
Sedangkan hipotesis diterima atau ditolak dengan cara membandingkan
nilai t hitung dengan nilai t tabel. Nilai t hitung dapat diperoleh dengan
rumus sebagai berikut
t hit =
b
S
B b

Nilai t tabel dapat dilihat dengan mengetahui tingkat signifikansi (o) dan
derajat bebas sebesar n-k-1 (dimana n = jumlah observasi, k = jumlah
variabel bebas). Adapun ketentuan dari uji ini adalah :
H
0
akan ditolak jika nilai t-hitung > t-tabel
H
0
akan diterima jika nilai t-hitung < t-tabel



28

2. Koefisien Determinan
Koefisien determinasi (R
2
) pada intinya mengukur seberapa jauh
kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel terikat. Nilai
koefisien determinasi adalah diantara nol dan satu. Nilai R
2
yang kecil berarti
kemampuan variabel-variabel bebas dalam menjelaskan variasi variabel
terikat amat terbatas. Nilai yang mendekati satu berarti variabel-variabel
bebas memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk
memprediksi variasi variabel terikat. Secara umum koefisien determinasi
untuk data silang (crossection) relatif rendah karena adanya variasi yang
besar antara masing-masing pengamatan, sedangkan untuk data runtun
waktu (time series) biasanya mempunyai nilai koefisien determinasi yang
tinggi (Gujarati, 2010).

3. Uji Statistik Simultan (F-TEST)
Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel bebas
yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama
terhadap variabel terikat (Gujarati, 2010). Hipotesis nol dan hipotesis
alternatif yang akan diuji pada uji statistik F adalah sebagai berikut:
H
0
= Variabel bebas secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap
variabel terikat.
H
1
= Variabel bebas secara bersama-sama tidak berpengaruh signifikan
terhadap variabel terikat.
Sedangkan hipotesis diterima atau ditolak dengan cara membandingkan
nilai F hitung dengan nilai F tabel. Nilai F hitung dapat diperoleh dengan
rumus sebagai berikut :
F
hit
=
( )
( ) ( ) k n R
k R


2
2
1
1

Nilai F tabel dapat dilihat dengan mengetahui tingkat signifikansi (o) dan
derajat bebas sebesar n-k-1 (dimana n = jumlah observasi, k = jumlah
variabel bebas). Adapun ketentuan untuk menerima atau menolak adalah
sebagai berikut :
H
0
akan ditolak jika nilai F hitung > F tabel
H
0
akan diterima jika nilai F hitung < F tabel
29


3.9 Tahapan Analisis Data
Tahap-tahap analisis data dimulai dari pengumpulan data dengan
searching di Bank Indonesia, Badan Pusat Statistika, dan federal Reserve. Data
yang diperoleh tadi masih berupa data mentah yang harus diolah kemudian bisa
dianalisis. Data kurs diperoleh secara harian sehingga harus diolah menjadi data
kuartalan/triwulanan, begitu juga dengan data jumlah uang beredar dan tingkat
suku bunga data yang diperoleh berupa data bulanan yang kemudian diolah
menjadi kuartalan. Sedangkan data cadangan devisa data yang diperoleh berupa
data kuartalan. Tingkat suku bunga setelah diolah menjadi data kuartalan lalu
dihitung selisih antara tingkat suku bunga di Indonesia dengan di Amerika
Serikat. Kemudian semua data diregresi dengan menggunakan bantuan software
Eviews 6. Setelah mendapatkan hasilnya, lalu diuji kevalidannya dengan
beberapa uji. Pertama dilakukan uji asumsi klasik. Uji asumsi klasik, terdiri dari uji
multikolinearitas, uji normalitas, uji heteroskedastisitas dan uji auto korelasi.
Sedangkan uji selanjutnya yaitu uji statistik yang terdiri dari uji t-statisti, uji F, dan
koefisien determinasi. Kemudian yang terakhir hasil uji tersebut dianalisis dan
disimpulkan.












30

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini diselesaikan dengan
menggunakan analisis regresi linear berganda, dengan bantuan program Eviews
6. Pada analisis ini akan dihasilkan sebuah persamaan regresi yang diharapkan
akan dapat menjelaskan pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat.
Kemudian tingkat pengaruh dari hasil setiap variabel bebas yang ada pada
model akan diuji secara parsial.

Tabel 1 Hasil Regresi



Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.


X1 246.1854 233.3562 1.054977 0.3019
X2 -191.0603 92.00124 2.076714 0.0487
X3 -4.098768 1.674524 2.447721 0.0221
X4 6.732742 2.372433 -2.837906 0.0091
C 8228.599 906.1050 9.081286 0.0000


R-squared 0.765494
Adjusted R-squared 0.641409
F-statistic 4.628759 Durbin-Watson stat 0.828705
Prob(F-statistic) 0.006520


Sumber : data sekunder diolah di Eviews


4.2 Analisis Hasil
Dari hasil regresi dengan menggunakan Eviews 6 tersebut diperoleh
persamaan linier sebagai berikut:
Y = 8228,59 + 246,18X
1
- 191,06X
2
- 4,09X
3
+ 6,73X
4

Dimana:
Y = Nilai tukar Rupiah Indonesia terhadap Dollar Amerika Serikat
X
1
= Inflasi di Indonesia
X
2
= Selisih suku bunga riil di Indonesia dengan Amerika Serikat
31

X
3
= Cadangan devisa di Indonesia
X
4
= Jumlah uang beredar di Indonesia
Hasil tersebut signifikan pada tingkat kepercayaan () 5%. Kemudian hasil
tersebut diuji dengan uji asumsi klasik dan uji statistik

4.2.1 Uji Asumsi Klasik
Di dalam model regresi linear berganda dengan metode Ordinary Least
Square (OLS), maka dalam menganalisis data haruslah dipenuhi asumsi-asumsi
klasik. Uji asumsi klasik yang digunakan dalam mengalisi hasil regresi tersebut :
1. Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi
ditemukan adanya korelasi linear yang sempurna antara variabel-variabel
bebas (Gujarati, 2010). Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi
korelasi diantara variabel bebas. Untuk mengetahui ada tidaknya
multikolinearitas didalam model regresi adalah sebagai berikut : Dengan
melakukan uji korelasi parsial. Pedoman untuk mengetahui ada tidaknya
multikolinearitas adalah jika nilai R
2
regresi model awal lebih besar daripada
R
2
regresi parsial, maka dalam model empiris tidak ditemukan adanya
multikolinearitas. Regresi jenis ini dapat digunakan untuk mengetahui
hubungan antara dua atau lebih variabel bebas yang secara bersama-sama
(misalnya X
2
dan X
3
) mempengaruhi satu variabel bebas yang lain (misalnya
variabel X
1
). Kita harus menjalankan beberapa regresi, masing-masing
dengan memberlakukan satu variabel bebas misalnya X
1
sebagai variabel
terikat dan variabel bebas lainnya tetap diperlakukan sebagai variabel
bebas. Regresi parsial yang pertama dilakukan yaitu variabel Inflasi di
Indonesia menjadi variabel terikat dan varabel bebas yang lain (selisih suku
bunga di Indonesia dengan di Amerika Serikat, jumlah uang beredar di
Indonesia dan cadangan devisa di Indonesia). Tetap menjadi variabel
bebas.





32

Dari hasil regresi parsial tersebut diperoleh R
2
sebesar 0,49 pada lampiran
tabel 2 Hasil regresi parsial Inflasi di Indonesia sebagai variabel bebas . Nilai
R
2
tersebut lebih kecil dari R
2
regresi model awal yang nilainya sebesar
0,76, maka dalam model empiris tidak ditemukan adanya multikolinearitas.
Kedua melakukan regresi parsial dengan variabel selisih suku bunga di
Indonesia dengan di Amerika Serikat menjadi variabel terikat dan varabel
bebas yang lain (inflasi di Indonesia, jumlah uang beredar di Indonesia dan
cadangan devisa di Indonesia). Tetap menjadi variabel bebas. Dari hasil
regresi parsial tersebut pada tabel 3 diperoleh R
2
sebesar 0,43 Nilai R
2

tersebut lebih kecil dari R
2
regresi model awal yang nilainya sebesar 0,76,
maka dalam model empiris tidak ditemukan adanya multikolinearitas. Ketiga
melakukan regresi parsial dengan variabel cadangan devisa di Indonesia
menjadi variabel terikat dan varabel bebas yang lain (inflasi di Indonesia,
jumlah uang beredar di Indonesia dan selisih suku bunga di Indonesia
dengan Amerika Serikat). Tetap menjadi variabel bebas. Dari hasil regresi
parsial tersebut diperoleh R
2
sebesar 0,43 pada tabel 4. Nilai R
2
tersebut
lebih kecil dari R
2
regresi model awal yang nilainya sebesar 0,76, maka
dalam model empiris tidak ditemukan adanya multikolinearitas. Dan yang
terakhir melakukan regresi parsial dengan variabel jumlah uang beredar di
Indonesia menjadi variabel terikat dan varabel bebas yang lain (inflasi di
Indonesia, cadangan devisa di Indonesia dan selisih suku bunga di
Indonesia dengan Amerika Serikat). Tetap menjadi variabel bebas. Dari hasil
regresi parsial tersebut diperoleh R
2
sebesar 0,42 pada tabel 5. Nilai R
2

tersebut lebih kecil dari R
2
regresi model awal yang nilainya sebesar 0,76,
maka dalam model empiris tidak ditemukan adanya multikolinearitas.
Dari hasil keseluruhan dapat disimpulkan bahwa multikolinearitas tidak
terdapat dalam model.

2. Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi
terjadi ketidak samaan variance dari residual atau pengamatan ke
pengamatan yang lain. Jika varian dari residual satu pengamatan atau
pengamatan yang lain tetap, maka disebut homoskedastisitas dan jika
berbeda disebut heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah yang
homoskedastisitas. Cara untuk mendeteksi adanya hetero dengan
33

menggunakan uji park. Berdasarkan hasil estimasi model jika diketahui
bahwa variabel X1, X
2
, X
3
dan X
4
, dan tidak signifikan pada tingkat 5%.
Dengan demikian, berdasar uji park dapat disimpulkan bahwa model empiris
yang digunakan (y=f(X1, X
2
, X
3,
X
4
) tidak terkena masalah heteros.
Berdasarkan hasil estimasi model variabel X1, X
2
, X
3
dan X
4
, tidak signifikan
pada tingkat 5% pada tabel 6. Dengan demikian, berdasar uji park dapat
disimpulkan bahwa model empiris yang digunakan (y=f(X1, X
2
, X
3,
X
4
) tidak
terkena masalah heteros.

3. Uji Normalits
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel
terikat dan variabel bebas, keduanya mempunyai distribusi normal ataukah
tidak. Gujarati (2010) untuk uji model regresi yang baik adalah memiliki
distribusi data yang normal atau tidak, dapat dilakukan dengan cara :
Setelah dilakukan regresi dilihat dari nilai Jarque Bera Test. Jika nilai
probabilitas Jarque Bera Test lebih besar 5%, maka distribusi error adalah
normal. (Lolos uji normalitas).
Grafik 1. Hasil Uji Heteroskedastisitas

Sumber : data sekunder diolah di Eviews
Dari hasil uji tersebut nilai probabilitas Jarque Bera Test lebih besar 5%,
maka distribusi error adalah normal.





34

4. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam suatu model regresi
linear ada korelasi antara kesalahan penganggu pada periode t dengan
kesalahan pada periode t-1 (sebelumnya) (Gujarati, 2010). salah satunya
yaitu dengan uji Durbin-Watson (DW-test).
Sedangkan pengambilan keputusan ada tidaknya autokorelasi :
f. Dw kurang dari 1,10 ada auto korelasi
g. 1,10 sampai 1,54 tanpa kesimpulan
h. 1,55 sampai 2,46 tidak ada korelasi
i. 2,46 sampai 2,90 tanpa kesimpulan
j. Lebih dari 2,90 ada autokorelasi
Dari hasil uji autokorelasi tersebut nilai Durbin-Watson sebesar 0.828, maka
model tersebut ada masalah autokorelasi. Dalam hal ini autokorelasi biasa
terjadi pada penelitian yang menggunakan data time series, gangguan ini
tidak memiliki arti yang signifikan terhadap hail penelitian ini, sehingga tidak
akan membiaskan hasil.
4.2.2 Uji Statistik
Uji statistik ini dilakukan dengan tujuan untuk membuktikan ada tidaknya
korelasi antara variabel bebas dengan variabel terikat. Dari hasil regresi
berganda akan diketahui besarnya koefisien masing-masing variabel. Dari
besarnya koefisien akan dilihat adanya hubungan dari variabel-variabel bebas,
baik secara terpisah maupun bersama-sama terhadap variabel terikat. Untuk
melakukan uji atas hipotesis, dilakukan dengan cara :

1. Uji Statistik Parsial (T-TEST)
Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu
variabel bebas secara individual terhadap variabel terikat. Hipotesis nol dan
hipotesis alternatif yang akan diuji pada uji statistik t adalah sebagai berikut
(Gujarati, 2010) :
H
0
= Variabel bebas secara individual tidak berpengaruh signifikan
terhadap variabel terikat.
H
1
= Variabel bebas secara individual berpengaruh signifikan terhadap
variabel terikat.
Dan H
0
akan ditolak jika nilai t-hitung > t-tabel
35

H
0
akan diterima jika nilai t-hitung < t-tabel
Dari hasil perhitungan diperoleh nilai nilai t-hitung > t-tabel sebesar 2,797
Tabel 8. Perbandingan t-hitung dengan t-tabel
Variabel t-hitung t-tabel
Inflasi di Indonesia 2,054 2,797
Selisih suku bunga 2,576 2,797
Cadangan devisa 2,447 2,797
Jumlah uang beredar 2,537 2,797
Sumber: data diolah
Dari hasil perbandingan tersebut diperoleh bahwa t-hitung lebih kecil dari t-
tabel jadi kesimpulannya model tersebut lolos uji t, dan H
0
diterima,
sehingga Variabel bebas secara individual berpengaruh signifikan terhadap
variabel terikat.

2. Koefisien Determinasi
Koefisien determinasi (R
2
) pada intinya mengukur seberapa jauh
kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel terikat. Nilai
koefisien determinasi adalah diantara nol dan satu. Dari hasil regresi pada
tabel 1, variabel bebas secara keseluruhan memberikan pengaruh sebesar
76,5% terhadap variabel terikatnya, sehingga 23,5% dari perubahan
variabel terikat ditentukan oleh berbagai faktor diluar faktor-faktor yang
dikategorikan sebagai variabel bebas dalam penelitian ini.

3. Uji F
Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel bebas
yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-
sama terhadap variabel terikat (Gujarati, 2010). Hipotesis nol dan hipotesis
alternatif yang akan diuji pada uji statistik F adalah sebagai berikut:
H
0
= Variabel bebas secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap
variabel terikat.
H
1
= Variabel bebas secara bersama-sama tidak berpengaruh signifikan
terhadap variabel terikat.
Adapun ketentuan untuk menerima atau menolak adalah sebagai berikut :
H
0
akan ditolak jika nilai F hitung > F tabel
36

H
0
akan diterima jika nilai F hitung < F tabel
Dari hasil perhitungan didapat nilai F

hitung sebesar 22,193. Nilai tersebut
lebih kecil dari nilai F tabel sebesar 35,415. Jadi kesimpulannya, H
0
akan
diterima karena nilai F hitung < F tabel.

4.3 Pembahasan Dan Implikasi Penelitian
Dari hasil regresi linear berganda dengan bantuan Eviews pada tabel 1,
variabel bebas secara keseluruhan memberikan pengaruh sebesar 76,5%
terhadap variabel terikatnya, sehingga 23,5% dari perubahan variabel terikat
ditentukan oleh berbagai faktor diluar faktor-faktor yang dikategorikan sebagai
variabel bebas dalam penelitian ini.
1. Inflasi di Indonesia
Hasil estimai dengan menggunakan = 5% menunjukkan bahwa, variabel
Inflasi di Indonesia mempunyai nilai t lebih besar dari 0,05 (5%) yaitu
0,3019, jadi variabel inflasi di Indonesia tidak berpengaruh secara positif
signifikan (dilihat dari koefisiennya yaitu 246,18) pada nilai kurs. Artinya,
tingkat inflasi di Indonesia tidak menunjukkan adanya pengaruh terhadap
nilai tukar kurs. Hal ini dapat disebabkan karena nilai tingkat inflasi yang
digunakan hanya tingkat inflasi di Indonesia saja tidak disertai dengan inflasi
di Amerika Serikat. Selain itu, mungkin pada prakteknya para investor
dalam menanamkan modalnya disuatu negara tidak hanya memperhatikan
ekspektasi inflasi, namun juga memperhatikan keadaan perekonomian yang
sedang terjadi dinegara tersebut terutama sektor riil, sehingga kepercayaan
investor menjadi hal yang lebih penting dalam menanamkan modalnya.
Teori Purchasing power parity yang menjelaskan bahwa inflasi dapat
menjelaskan perilaku nilai tukar (kurs) tidak terbukti, karena dalam jangka
pendek inflasi tidak berpengaruh terhadap kurs.
2. Selisih suku bunga riil di Indonesia dengan Amerika Serikat
Hasil estimai dengan menggunakan = 5% menunjukkan bahwa, variabel
selisih suku bunga riil di Indonesia dengan Amerika Serikat mempunyai nilai
t lebih kecil dari 0,05 (5%) yaitu 0,0487, jadi variabel selisih suku bunga riil di
Indonesia dengan Amerika Serikat berpengaruh secara negatif signifikan
(dilihat dari koefisiennya yaitu -191,06) pada nilai kurs. Artinya, jika tingkat
selisih suku bunga riil di Indonesia dengan Amerika Serikat lebih besar maka
nilai kurs rupiah akan mengalami apresiasi.
37

Variabel selisih suku bunga riil di Indonesia dengan Amerika Serikat memiliki
koefisien sebesar -191,06. Hal ini berarti hubungan antara selisih suku
bunga riil di Indonesia dengan Amerika Serikat terhadap nilai tukar rupiah
terhadap Dollar Amerika Serikat adalah negative atau berlawanan arah,
artinya jika selisih suku bunga naik 1% maka akan mengakibatkan nilai tukar
rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat terapresiasi sebesar 191,06%
dengan asumsi variabel yang lain tetap. Tanda negatif tersebut sesuai
dengan teori. Jika suku bunga negara suatu negara lebih tinggi dari negara
lain (tingkat suku bunga internasional), maka mata uang negara tersebut
akan terapresiasi).
Upaya Bank Indonesia untuk menstabilkan kembali nilai tukar dan laju inflasi
dilakukan dengan tetap menjaga agar kenaikan suku bunga yang terlalu
drastis dan berlebihan dapat dihindarkan.
3. Cadangan Devisa di Iindonesia
Hasil estimai dengan menggunakan = 5% menunjukkan bahwa, variabel
cadangan devisa di Indonesia mempunyai nilai t lebih kecil dari 0,05 (5%)
yaitu 0,0221, jadi variabel cadangan devisa di Indonesia berpengaruh
secara negatif signifikan (dilihat dari koefisiennya yaitu -4,09) pada nilai kurs.
Artinya, jika cadangan devisa di Indonesia meningkat maka nilai kurs rupiah
akan mengalami apresiasi.
Hubungan antara cadangan devisa dengan nilai tukar adalah negatif.
Artinya, jika variabel cadangan devisa meningkat Rp. 1 miliar maka, nilai
tukar rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat akan naik sebesar 4,09%
(apresiasi). Kondisi ini sesuai dengan teori dimana antara cadangan devisa
dan nilai tukar mempunyai hubungan negatif.
Makin besar jumlah cadangan devisa yang dimiliki maka kepercayaan luar
negeri atas kemampuan negara kita untuk mengatasi external shocks akan
meningkat sehingga dapat menekan ber-spekulasi atas mata uang domestik
sehingga nilai tukar akan menguat.
Walaupun Indonesia telah menganut sistem nilai tukar mengambang bebas,
otoritas moneter masih melakukan intervensi dengan melepas cadangan
devisa di pasar valas. Kegiatan intervensi valas ini masih tetap dilakukan
dengan maksud untuk menghilangkan distorsi-distorsi di pasar valuta asing
meng-ingat pasar ini belum sempurna dan belum rasional.

38

4. Jumlah uang beredar di Indonesia
Hasil estimai dengan menggunakan = 5% menunjukkan bahwa, variabel
jumlah uang beredar di Indonesia mempunyai nilai t lebih kecil dari 0,05
(5%) yaitu 0.0091, jadi variabel jumlah uang beredar di Indonesia
berpengaruh secara positif signifikan (dilihat dari koefisiennya yaitu 6,73)
pada nilai kurs. Artinya, jika jumlah uang beredar di Indonesia tinggi maka
nilai kurs rupiah akan mengalami depresiasi. Hubungan antara jumlah uang
beredar dan nilai tukar adalah searah, artinya jika variabel jumlah uang
beredar meningkat Rp.1 miliar maka, nilai tukar rupiah terhadap Dollar
Amerika Serikat akan turun sebesar 6,73% (depresiasi). Kondisi ini sesuai
dengan teori penawaran uang karena antara uang beredar dan nilai tukar
mempunyai hubungan positif (searah), bahwa kenaikan dalam penawaran
uang domestik menga-kibatkan mata uang domestik, mengalami depresiasi.
Pertumbuhan uang beredar selama masa krisis banyak dipengaruhi oleh
faktor psikologis masyarakat, dimana krisis kepercayaan kepada perbankan
nasional yang dipengaruhi oleh ketidakstabilan sosial politik telah
mendorong peningkatan penarikan dana secara besar-besaran (bank runs).
Akibatnya, banyak bank gagal memenuhi kewajiban pembayaran baik
kepada nasabah maupun kepada bank-bank lain sehingga harus tergantung
sepenuhnya kepada bantuan likuiditas darurat dari Bank Indonesia (BLBI).
Pemberian BLBI tersebut selain dalam rangka fungsi Bank Indonesia
sebagai lender of the last resort juga dilakukan untuk mencegah rusaknya
sistem pembayaran dan sistem keuangan secara keseluruhan (systemic
failure).








39

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pada hasil analisis dalam penelitian ini maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Seluruh variabel yang meliputi variabel inflasi di Indonesia, selisih suku
bunga riil di Indonesia dengan Amerika Serikat, cadangan devisa dan
jumlah uang beredar di Indonesia secara bersama-sama berpengaruh
pada nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat.
2. Variabel Inflasi di Indonesia tidak berpengaruh secara positif signifikan
pada nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat. Dalam
prakteknya para investor tidak hanya memperhatikan ekspektasi
inflasi, namun juga memperhatikan keadaan perekonomian yang
sedang terjadi dinegara tersebut terutama sektor riil, sehingga
kepercayaan investor menjadi hal yang lebih penting dalam
menanamkan modalnya.
3. Variabel selisih suku bunga riil di Indonesia dengan Amerika Serikat
berpengaruh secara negatif signifikan pada nilai tukar Rupiah terhadap
Dollar Amerika Serikat. Peningkatan pada selisih siku bunga riil di
Indonesia menyebabkan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika
Serikat apresiasi. Hal ini mengindikasikan bahwa suku bunga masih
relevan dijadikan sebagai piranti kebijakan moneter untuk
mempengaruhi fluktuasi nilai tukar dan juga investasi asing.
4. Variabel cadangan devisa di Indonesia berpengaruh secara negatif
signifikan pada nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat.
Peningkatan cadangan devisa sutu negara menyebabkan nilai tukar
negara tersebut apresiasi. Intervensi pemerintah sangat diperlukan
untuk mengurangi gejolak nilai tukar yang berlebihan. Intervensi
tersebut dengan melakukan kecukupan cadangan devisa.
5. Variabel jumlah uang beredar di Indonesia berpengaruh secara positif
signifikan pada nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat.
Dengan meningkatnya jumlah uang beredar disuatu negara maka akan
menyebabkan nilai tukar mata uang negara tersebut terdepresiasi.
40

Kelebihan likuiditas yang terjadi di pasar uang, belum pulihnya fungsi
intermediasi perbankan, dan semakin majunya instrumen derivatif telah
mendorong peningkatan kegiatan spekulasi terhadap rupiah yang
selanjutnya mempengaruhi fluktuasi nilai tukar. Penggunaan kebijakan
Operasi Pasar Terbuka, dan intervensi pemerintah masih perlu
dilakukan untuk menyerap kelebihan likuiditas dan mengurangi
depresiasi nilai tukar yang berlebihan.
5.2 Saran
Dari hasil kesimpulan, dapat diberikan masukan untuk penelitian
selanjutnya dengan topik yang sama:
1. Diharapkan penelitian selanjutnya akan lebih bisa memberikan
gambaran yang lebih nyata apabila periode waktu penelitian
diperpanjang, dan menambah variabel ekonomi lainnya, sehingga
dapat terlihat perilaku nilai tukar yang lebih nyata.
2. Pemerintah seharusnya menerapkan kebijakan-kebijakan yang tepat
agar nilai tukar tetap terkendali. Dengan memperkuat cadangan devisa
melalui peningkatan ekspor dan mengurangi impor. Selain itu dengan
cara pengetatan dalam pengendalian jumlah uang beredar oleh Bank
Indonesia, sebagai otoritas moneter di Indonesia, karena faktor ini
memiliki pengaruh yang signifikan pada fluktuasi nilai tukar.










41

DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Iqbal dkk, (Vol. 2 No.1, Januari 2007), Analisis Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah, MEPA Ekonomi, LIPI.
Agustin, Grisvia, (Vol. 1 No. 1, 2009), Analisis Paritas Daya Beli Pada Kurs
Rupiah Terhadap Dollar Amerika Serikat Periode September 1997-
Desember 2007 Dengan Menggunakan Metode Error Correction
Model, JESP, Jurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi :
Universitas Negeri Malang.
Atmadja, Adwin Surja, (Vol. 4, No.1, Mei 2002: 69-78), Analisa PergerakanNilai
Tukar Rupiah Terhadap Dollar Amerika Setelah Diterapkannya Sistem
Nilai Tukar Mengambang Bebas di Indonesia, Jurnal Akuntansi &
Keuangan, Fakultas Ekonomi : Universitas Kristen Petra
Bank Indonesia http://www.bi.go.id/ diakses pada tanggal 1 Juni 2012
Data Inflasi BPS
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=
03&notab=6 diakses pada tanggal 1 Juni 2012
Doni, 2009, Dampak Tingkat Inflasi, Suku Bunga, dan Jumlah Uang Beredar
Terhadap Nilai Tukar Dollar Amerika Pada Emiten Di Bursa Efek
Indonesia.
Gujarati, Damodar N. Basic Econometrics. Fourth Edition. New York : The Mc
Graw-Hill Companies, 2001
Krugman, Paul R dan Maurice Obstfeld, Ekonomi Internasional, Jilid 1, Edisi
Kelima, Jakarta : PT Indeks Kelompok Gramedia, 2001
Kurs Bank Indonesia
http://www.ortax.org/ortax/?mod=kursbi&page=neg&id=SGD&jenis=_&
search=2005-6-4&search_2=2012-6-29 diakses pada tanggal 1 Juni
2012
Levi, Maurice D, 2001, Keuangan Internasional. Yogyakarta : Andi
Murdayanti, Yunika, (Vol. X No. 1, Maret 2012), Pengaruh Gross Domestic
Product, Inflai, Suku Bunga, Money Supply, Current Acount dan
Capital Account Terhadap Nilai Kurs Rupiah Indonesia-Dollar Amerika,
Ecosains, Dosen Fakultas Ekonomi : Universitas Negeri Jakarta.
Santoso, Agus Budi, (Vol. 15 No. 1, Maret 2008), Kemampuan Inflasi Pada
Model Purchasing Power Parity Dalam Menjelaskan Nilai Tukar Rupiah
Terhadap Dollar Amerika Serikat, Jurnal Bisnis Dan Ekonomi, Fakultas
Ekonomi : Universitas Stikubank Semarang.
Sugiyono, Prof. Dr, 2008, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D,
Bandung : Alfabeta

42

Supriadi, Apip, (Vol. 2 No. 1, Juni 2010), Analisis Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Nilai Tukar Di Indonesia Periode 1990-2008, Magister
Manajemen, Dosen Fakultas Ekonomi : Universitas Siliwangi
Tasikmalaya
The Federal Reserve Bank http://www.federalreserve.gov/releases/h15/data.htm
diakses pada tanggal 3 Juni 2012
Triyono, (Vol. 9, No. 2, Desember 2008), Analisis Perubahan Kurs Rupiah
Terhadap Dollar Amerika, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Fakultas
Ekonomi : Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Wardita, I Wayan, (Vol. 6 No.2, 2008), Pengaruh Selisih Suku Bunga Bank
Indonesia Dengan Suku Bunga Internasional, Inflasi, Dan Cadangan
Emas Terhadap Kurs US Dollar, Forum Manajemen, Dosen STIMI
Handayani : Denpasar
Wibowo, Tri dan Hidayat Amir, (Vol. 9 No. 4, Desember 2005), Faktor-Faktor
Ynang Mempengaruhi Nilai Tukar Rupiah, Jurnal Kajian Ekonomi dan
Keuangan, Jakarta : Departemen Keuangan RI.

You might also like