You are on page 1of 28

LAPORAN KELOMPOK PENGENDALIAN PENYAKIT RABIES DIAGNOSIS DAN VAKSINASI

OLEH

AGUSTINA D. FERNANDEZ (0808013555) NITA OCTAVIANUS (0808013582) ROMARIO V. LANGOWUYO(0808013593)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA KUPANG 2012

A. Definisi Rabies

Rabies atau dikenal juga dengan istilah penyakit anjing gila adalah penyakit infeksi yang bersifat akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies. Bersifat fatal viral encephalomyelitis akut yang menyerang carnivora dan kelelawar, meskipun dapat menginfeksi mamalia juga manusia Menurut cara penularannya rabies termasuk golongan zoonosis langsung (direct zoonosis) yaitu zoonosis yang hanya memerlukan satu jenis vertebrata saja untuk kelangsungan hidupnya, dan agen penyebab penyakit hanya sedikit berubah atau malahan tidak mengalami perubahan sama sekali selama penularan. Sedangkan menurut reservoir utamanya rabies digolongkan dalam antropozoonosis, yaitu penyakit yang secara bebas berkembang di alam di antara hewan-hewan liar maupun domestik. Manusia hanya kadang-kadang saja terinfeksi dan merupakan titik akhir dari infeksi. Menurut agen penyebabnya rabies merupakan zoonosis kausa viral. Rabies dapat ditularkan oleh satwa liar (wild life zoonosis), hewan piara (domesticated animal zoonosis) maupun hewan yang hidup dipemukiman manusia (domiciliated zoonosis). Faktor resiko yang menjadi hambatan dan peluang penyebaran dari rabies adalah: menyerang hewan liar (terutama skunk, raccon, kelelawar dan rubah), kurang cukupnya vaksinasi anti rabies dan luka gigitan/cakaran dari anjing, kucing atau hewan liar yang belum divaksin. B. Etiologi, Patofisiologi dan Gejala Klinis

Etiologi

Rabies merupakan penyakit zoonosis yang dapat menular melalui semua hewan berdarah panas dan hampir semua kejadian infeksinya akan berakhir dengan kematian. Penyakit ini disebabkan oleh Rhabdovirus Virus ini berbentuk peluru berkapsula dengan ukuran 70x170 nm. Kapsula yang menyelubungi nya tersusun atas peplomer glikoprotein, bahan protein (protein matrix) dan lipoprotein. Virus ini memiliki nukleo kapsid dengan simetri heliks, genom sRNA linear polaritas minus, 11-12 kb. Rhabdovirus mereplikasi diri dalam sitoplasma, transkiptrase virus mentranskripsi lima RNA subgenom yang ditranslasi menjadi lima protein yaitu transkriptase (150 K), Nukleoprotein (50-62 K), protein matrix (20-30 K), peplomer glikoprotein (70-80 K) dan protein tidak bersturktur (40-50 K). pendewasaan virus ini melalui penguncupan

menembus membrane. Rhabdovirus mempunyai masa inkubasi selama 10 hari 6 bulan namun, biasanya 3-8 minggu. Cara Penularan Virus Rabies

Penularan rabies biasanya terjadi melalui gigitan hewan yang telah terinfeksi, pencemaran luka segar atau selaput lendir dengan saliva atau otak hewan yang telah terinfeksi. Pada kasus tertentu penularan melalaui udara dapat juga terjadi. Virus ini berkembang biak dalam kelenjar ludah. Sangat peka terhadap pelarut yang bersifat alkalis seperti sabun, desinfektan, alkohol, dll. Sistem yang diserang adalah Sistem syaraf atau nervous system : clinical encephalitis yang dapat bersifat paralitik / furious dan glandula salivarius : mengandung sejumlah besar partikel virus yang berada di saliva.

Patofisiologi

Virus masuk ke tubuh melalui luka (biasanya dari gigitan hewan buas) atau lewat membrana mucosa, bereplikasi di mycosit; menyebar ke jaringan ikat neuromusculer dan spindle neurotendineal berjalan ke CNS lewat cairan intraaxonal dengan nervus perifer menyebar keseluruhan ke CNS akhirnya menyebar secara sentrifugal dengan motor perifer, sensori, dan neuron.

Transmisi Penyakit Rabies

Masa inkubasi rabies adalah 20-90 hari, sangat tergantung pada tingkat keparahan luka, lokasi dan jarak luka dari otak, dan jumlah dan strain virus yang masuk. Semakin dekat dengan otak, semakin berbahaya. Hewan yang terkena rabies biasanya dalam kurun waktu 14 hari akan mati. Rabies endemik pada populasi anjing pada kebanyakan negara berkembang, namun tidak selalu dilaporkan sehingga menyebabkan kurang akuratnya data.

Tahap Patogenesis Rabies Meskipun sangat jarang terjadi, rabies juga dapat menular melalui penghirupan udara

yang tercemar virus rabies. Dua pekerja laboratorium telah mengkonfirmasi hal ini setelah mereka terekspos udara yang mengandung virus rabies. Pada tahun 1950, dilaporkan dua kasus rabies terjadi pada penjelajah gua di Frio Cave, Texas yang menghirup udara di mana ada jutaan kelelawar hidup di tempat tersebut. Mereka diduga tertular lewat udara karena tidak ditemukan sama sekali adanya tanda-tanda bekas gigitan kelelawar.

Penularan Antar Manusia

Penularan dari orang ke orang secara teoritis dimungkinkan oleh karena liur orang yang terinfeksi dapat mengandung virus, namun hal ini belum pernah didokumentasikan. Transplantasi organ (cornea) orang yang meninggal karena penyakit sistem saraf pusat yang tidak terdiagnosa dapat menularkan rabies kepada penerima organ tadi. Penyebaran melalui udara telah dibuktikan, namun kejadiannya sangat jarang.

Gejala Klinis Pada Hewan

Anjing muda relatif lebih peka dibandingkan hewan dewasa. Masa inkubasi rata-rata 3 sampai dengan 6 minggu dengan variasi yang tinggi , bisa 10 hari atau 6 bulan, jarang kurang dari 2 minggu atau lebih dari 4 bulan. Virus rabies dijumpai pada air liur anjing segera setelah gejala klinis tampak. Ada tiga bentuk rabies pada hewan yaitu : a) Furious rabies (bentuk ganas) b) Dumb rabies (bentuk tenang) c) Asimtomatik rabies

Pada anjing dan kucing biasanya bersifat ganas. Masa inkubasi 10-60 hari namun bisa juga lebih lama. Air liur binatang sakit yang mengandung virus menularkan virus melalui gigitan atau cakaran. Gejala klinis dari tiga bentuk rabies pada hewan :

1. Bentuk ganas (Furious rabies)

Masa eksitasi panjang, kebanyakan akan mati dalam 2-5 hari setelah tanda-tanda terlihat. Tanda-tanda yang sering terlihat: Hewan menjadi penakut atau menjadi galak Senang bersembunyi di tempat-tempat yang dingin, gelap dan menyendiri tetapi dapat menjadi agresif

Tidak menurut perintah majikannya Nafsu makan hilang Air liur meleleh tak terkendali Hewan akan menyerang benda yang ada disekitarnya dan memakan barang, benda-benda asing seperti batu, kayu .

Menyerang dan menggigit barang bergerak apa saja yang dijumpai Kejang-kejang disusul dengan kelumpuhan ekor diantara 2 (dua) paha.

2. Bentuk diam (Dumb Rabies) Masa eksitasi pendek, paralisa cepat terjadi. Tanda- tanda yang sering terlihat : Bersembunyi di tempat yang gelap dan sejuk Kejang-kejang berlangsung sangat singkat, bahakan sering tidak terlihat. Lumpuh, tidak dapat menelan, mulut terbuka. Air liur keluar terus menerus (berlebihan). Mati.

3. Bentuk Asimtomatis Hewan tidak menunjukkan gejala sakit dan atau hewan tiba-tiba mati. Rabies pada kucing mempunyai gejala atau tanda-tanda yang hampir sama dengan gejala pada anjing, seperti : menyembunyikan diri, banyak mengeong, mencakar-cakar lantai dan menjadi agresif. Pada 2 - 4 hari setelah gejala pertama biasa terjadi kelumpuhan, terutama di bagian belakang. Berikut fase-fase yang dilalui saat hewan terpapar rabies bentuk ganas (furious rabies), yaitu :

o Fase prodormal (fase awal) : ditandai dengan bersikap tidak normal, bersembunyi di tempat yang gelap, gelisah, tidak dapat tidur, refleks keaktifan meningkat, anoreksia, nyeri pada gigitan, temperatur meningkat sedikit. o Fase eksitasi : setelah 1-3 hari, agresif, cenderung menggigit barang, hewan dan manusia termasuk pemiliknya sendiri. Bahkan kadang kadang menggigit dirinya sendiri. Hewan mengalami hipersalivasi karena hewan tidak bisa menelan salivanya sendiri akibat paralisa otot untuk menelan, gonggongannya berubah karena paralisa sebagaian syaraf vokal, hewan cenderung meninggalkan rumah dan lari jauh, seringkali menyerang anjing dan hewan lain. o Fase paralisis : konvulsi, diikuti inkoordinasi otot dan kelumpuhan. Selain bentuk ganas bisa juga dijumpai rabies bentuk diam dengan gejala kelumpuhan,fase eksitasi sangat pendek kadang kadang tidak ada, kelumpuhan mulai otot kepala dan leher. Hewan sulit menelan kemudian diikuti total dan berakhir dengan kematian.

C. Diagnosis, Prognosis dan Diferensial Diagnosis

Diagnosis

Hewan yang terjangkit rabies dapat didiagnosis dengan immunoflourensi langsung dari jaringan otak. Dapat pula menggunakan reaksi rantai polymerase (PCR). Dari diagnosis antemortem dapat digunakan uji flourensease atau PCR pada biopsi kulit, sediaan sentuhan kornea atau sediaan air liur . Diagnosis pada hewan berdasar gejala klinis awal dan observasi atas perubahan perilaku hewan, terutama yang melakukan penyerangan tanpa inisiasi. Satu-satunya uji yang menghasilkan keakuratan 100% terhadap virus rabies adalah dengan uji antibody fluoresensi langsung (dFAT) pada jaringan otak hewan yang terinfeksi. Diagnosis secara ELISA juga direkomendasikan oleh OIE untuk menentukan tingkat imunitas post vaksinasi pada anjing dan kucing (bahan regulasi pergerakan dan perdagangan internasional) dan populasi anjing liar (monitoring program vaksinasi hewan liar) dengan specimen berupa serum anjing, kucing dan anjing liar (Platelia Rabies II). Beberapa prosedur diagnosis lainnya : FAT (Fluorescent

Antibody Technique) test, Isolasi kultur sel, Identifikasi dengan antibody monoclonal dan Intra vitam diagnosis.

Prognosis Fatal (menyebabkan kematian), semua anjing dan kucing dengan gejala klinis akan mati dalam 7-10 hari dari gejala klinis

Pemeriksaan Pathologik Perubahan makros: umumnya tidak ada, hanya ditemukan penyakit neurologik dramatik Perubahan histopatologi : akut sampai kronik polioencephalitis; peningkatan proses keradangan non suppuratif pada CNS sebagai kemajuan diagnosa, banyak syaraf dengan otak mengandung benda inklusi intrasitoplasmik klasik (Negri bodies).

Diferensial diagnosis Beberapa penyakit syaraf : tumor otak, viral encephalitis Luka kepala : Identifikasi lesi dari luka Paralisis laryngeal Tercekik

Pengobatan Tidak ada treatmen/pengobatan untuk hewan positif rabies, sekali diagnosa positif, diindikasikan euthanasia

D. Program Pengendalian dan Pemberantasan Rabies pada Hewan

1. Secara

umum

pengendalian

rabies

pada

hewan

dilakukan

dengan

Pencegahan keterpaparan pada hewan dengan vaksinasi dan cara pemeliharaan hewan yang baik 2. Pemberantasan (eliminasi) hewan tak bertuan, terutama anjing. Dilakukan dengan

peracunan menggunakan strychnine terhadap anjing liar yang berkeliaran di tempattempat tertentu misalnya pasar dan tempat pembuangan sampah. Dengan adanya kesadaran tentang kesejahteraan hewan (animal welfare), tindakan peracunan ini harus ipertimbangkan lagi. Program lokal vaksinasi anjing dan kucing, pembatasan gerakan (pengandangan), dan penghapusan binatang liar atau yang tidak diinginkan adalah cara/metode yang sangat efektif untuk kontrol penyakit rabies. Hewan tersangka rabies atau menderita rabies, petugas berwenang (Dinas setempat) harus melakukan penangkapan dan melakukan eliminasi pada hewan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku (jika terinfeksi Rabies). E. Antibodi Hewan terhadap Rabies Usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah infeksi rabies dapat dilakukan dengan vaksinasi. Tingkat keberhasilan vaksinasi sangat tergantung pada beberapa hal kemampuan ketrampilan tenaga kesehatan yang melakukan vaksinasi, proses penyimpanan, pengangkutan vaksin serta hal-hal teknis yang berkaitan dengan pemberian vaksin rabies tersebut kepada anjing. Tingkat kesehatan anjing sangat mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Apabila anjing yang akan divaksin kondisi tubuhnya tidak benarbenar sehat, antibodi terhadap vaksin tersebut tidak akan terbentuk sempurna. Sehingga vaksinasi yang diberikan tidak akan memberi pengaruh pada kondisi kesehatan anjing. Vaksin rabies hewan dibuat pada biakan sel sebagai vaksin inaktif. Namun dibeberapa negara juga digunakan vaksin virus-hidup yang diatenuasi. Apabila ditinjau dari cara pembentukan zat antibodi pada anjing terdapat dua sistem kekebalan yaitu, sistem kekebalan pasif dan system kekebalan aktif. Sistem kekebalan pasif adalah kekebalan yang didapatkan dari anjing lain baik yang diperoleh dari induk cairan limfosit dan cairan antibodi yang disuntikkan serta vaksinasi. Mekanisme Specific Defenses dapat berupa hummoral immunity atau cell-mediated immunity. hummoral immunity adalah sistem imun yang terbentuk karena sel Limfosit B mengalami kontak dengan antigen lalu berkembang menjadi sel plasma dan memproduksi antibodi. Sedangkan cell-mediated immunity terjadi karena sel Limfosit T terinfeksi bakteri, virus, sel kanker, atau jaringan transplantasi. Limfosit T akan menstimulasi limfosit B untuk memproduksi antibodi. Limfosit B dan Limfosit T dibedakan berdasarkan tempat deferensiasi dan adanya reseptor khusus pada membrannya. Pada Limfosit B reseptor ini berupa immunoglobulin, sedangkan pada Limfosit T reseptor ini adalah molekul khusus yang disebut reseptor sel T (TCR).

REFERENSI Anonimus. 2010. Anjing Gila, Pengertian, Sejarah, Penyebab, Cara Mengatasi; http://ridwanaz.com/kesehatan/anjing-gila-pengertian-sejarah-penyebab-cara-mengatasi/

Rabies ; http://id.wikipedia.org/wiki/Rabies/

Pengobatan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan; http://www.civas.net/content/pengobatan-pencegahan-pengendalian-dan-pemberantasan

Toxoplasmosis

KASUS I Tn. Awu, Usia 32 Tahun, baru kawin dua bulan. Suatu hari mendadak penglihatannya kabur sebelah. Kalau memandang ke samping ada bagian dari penglihatannya yang hilang. Mungkinkah katarak? Istrinya bilang mungkin kurang vitamin A, sebab Tuan Awu tidak begitu suka sayur dan cuma sesekali makan buah. Belakangan diketahui, retina matanya ada yang rusak. Hasil tes darah menunjukan ia pernah kena toxoplasmosis. Ternyata Penyakit ini juga menyerang retina mata selain otak.

KASUS II Ny. Ran mempunyai seorang anak yang ukuran kepalanya dua kali lebih besar dibanding anak normal. Di duga terkena toxoplasmosis selagi hamil. Nyonya Ran, tidak suka memelihara kucing tapi waktu masa kehamilannya Ny. Ran hobi makan sate dan sate selalu di bakar setengah matang.

DEFINISI Toxoplasmosis is a disease caused by a single-celled parasite called Toxoplasma gondii (T. gondii). Toxoplasmosis is one of the most common parasitic diseases and has been found in nearly all warm-blooded animals, including pets and humans. Despite the high prevalence of T. gondii infection, the parasite rarely causes significant clinical disease in cats-or any species. ETIOLOGI Toxoplasma gondii (T. gondii) adalah organisme parasit bersel satu yang dapat menginfeksi banyak hewan dan unggas. Biasanya terdapat pada kucing baik itu kucing liar maupun peliharaan. Kucing dapat terinfeksi jika mereka makan bangkai, daging yang terkontaminasi atau memakan tanah yang terinfeksi. Domba, babi, rusa dan hewan lainnya juga dapat terinfeksi parasit ini. Apabila organisme menginfeksi manusia, parasit akan membentu kista yang dapat berefek pada hampir semua bagian tubuh, tetapi seringkali efeknya terjadi pada otak dan otot, termasuk jantung. Jika anda secara umum sehat, sistem imun anda akan menjaga parasit tetap tidak aktif di dalam tubuh. Akan tetapi hal ini bergantung pada kondisi tubuh, jika ketahanan tubuh anda melemah karena penyakit atau obat, infeksi dapat aktif kembali dan menyebabkan komplikasi serius. PATOFISIOLOGI Banyak kasus toksoplasmosis pada manusia di dapat dari masuknya jaringan kista pada daging yang terinfeksi atau ookista pada makanan yang tercemar kotoran kucing. Bradyzoite dari jaringan kista atau sporozoite yang terlepas dari ookista masuk ke sel-sel epitel di usus dan bermultiplikasi di usus. Toxoplasma gondii dapat menyebar, baik secara lokal ke nodus limfe mesentrik maupun ke organ-organ yang cukup jauh dengan menyerang kelenjar-kelenjar limfe dan darah. Nekrosis pada usus dan nodus limfe mesentrik dapat muncul sebelum organ-organ lain menjadi rusak parah. Gambaran klinis akan tampak setelah beberapa waktu dari rusaknya jaringan dari beberapa organ yang terinfeksi, khususnya yang vital dan penting seperti mata, jantung, dan kelenjar adrenal. Toxoplasma gondii tidak memproduksi toksin. Nekrosis pada jaringan biasanya disebabkan oleh multiplikasi intraselular dari tachyzoite. Toksoplasmosis oportunistik pada pasien AIDS biasanya terjadi karena reaktivasi dari infeksi kronik. Lesi predominan dari toksoplasmosis - ensefalitis pada pasien-pasien ini adalah nekrosis yang terkadang menghasilkan abses multiganda. Beberapa di antaranya dapat berbentuk sebesar bola tenis. Daya Tahan Tubuh Infeksi T. gondii pada penjamu (host) dapat berakhir dengan kematian, tetapi lebih sering ditemukan kasus yang mengalami perbaikan dan mendapat kekebalan tubuh. Inflamasi biasanya menyertai nekrosis. Kurang lebih tiga minggu setelah infeksi, tachyzoite Toxoplasma gondii mulai menghilang dari jaringan viseral dan mulai terlokalisir menjadi jaringan kista di sistem saraf dan jaringan otot. Tachyzoite toksoplasma dapat bertahan lebih lama di sumsum tulang belakang dan otak karena respons imun pada umumnya kurang efektif pada organ tersebut. Infeksi kronis dapat teraktivasi berulang secara lokal (misalnya pada mata). Aktivasi berulang terjadi akibat ruptur dari jaringan kista. Kemungkinan ruptur jaringan kista dapat terjadi selama hidup penjamu. Bradyzoite yang terlepas secara normal akan dihancurkan oleh respons imun dari si penjamu. Reaksi ini dapat mengakibatkan nekrosis lokal yang disebabkan oleh proses inflamasi.

Hipersensitivitas dikatakan juga mempunyai peranan yang penting pada reaksi tersebut. Tetapi, pada penjamu imunokompeten umumnya infeksi dapat reda sendiri, dengan tanpa terjadinya multiplikasi toksoplasma. Pada pasien imunosupresif, ruptur dari jaringan kista dapat terjadi pada saat terjadinya multiplikasi dari bradyzoite menjadi tachyzoite. Penjamu dapat meninggal oleh toksoplasmosis. Penyebab dari ruptur kista tersebut tidak diketahui. Bahaya laten T. gondii yang kronik secara eksperimen dapat diaktivasi oleh dosis eksesif dari kortikosteroid, serum anti-limfosit, dan berbagai terapi lain immunosupresan 4. Infeksi Toksoplasma Kongenital Secara umum telah disetujui sejak dulu bahwa transmisi toksoplasmosis kongenital muncul hanya ketika infeksi Toxoplasma gondii didapat selama masa gestasi. Ada suatu korelasi positif yang sangat bermakna antara isolasi toksoplasma dari jaringan plasenta dan infeksi pada neonatus. Sebagai suatu standar, isolasi positif menandakan adanya infeksi dan isolasi negatif menandakan tidak adanya infeksi pada neonatus. Korelasi ini merupakan hasil penelitian dari otopsi neonatus dengan toksoplasmosis kongenital dan mengindikasikan bahwa infeksi tersebut didapat oleh fetus melalui uterus via pembuluh darah. Hal ini membentuk konsep bahwa plasenta adalah suatu organ yang sangat penting dalam menghubungkan infeksi maternal dan fetus dimana organisme tersebut mencapai plasenta selama periode parasitemia pada ibu yang terinfeksi. Frekuensi dari infeksi toksoplasmosis kongenital diteliti oleh Desmonts dan Couvreur. Sebanyak 542 wanita yang terjangkit infeksi toksoplasma selama kehamilan. Anak-anak yang terlahir dari ibu yang terjangkit infeksi ini diklasifikasikan menjadi 5 kelompok: 1. Tidak ada infeksi kongenital (jika tes pada bayi menunjukkan titer negatif). 2. Infeksi kongenital subklinis (jika titer positif, tetapi asimtomatis). 3. Infeksi toksoplasmosis kongenital ringan (jika bayi tampaknya normal dan berkembang secara normal juga pada penelitian selanjutnya tidak dijumpai adanya retardasi mental maupun kerusakan neurologik, akan tetapi pada pemeriksaan selanjutnya dijumpai adanya luka parut pada retina/pemeriksaan pada fundus). Atau, dalam satu kasus dijumpai adanya kalsifikasi intrakranial pada pemeriksaan X-ray. 4. Infeksi toksoplasmosis kongenital berat, tetapi masih lahir (jika didapatkan korioretinitis dan kalsifikasi intrakranial pada bayi). 5. Meninggal segera setelah dilahirkan. Risiko infeksi toksoplasma terhadap fetus sangat berhubungan dengan waktu/kapan infeksi maternalnya muncul. Jika infeksi toksoplasma terjadi pada bulan-bulan terakhir dari kehamilan, umumnya parasit tersebut akan ditularkan ke fetus, tetapi infeksi yang terjadi umumnya subklinis pada saat kelahiran. Jika ibu hamil terjangkit lebih awal, sebagai contoh, pada bulan ketiga kehamilan, transmisi ke fetus umumnya lebih jarang. Di lain pihak, bila terjadi umumnya menghasilkan penyakit yang berat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat di tabel 2. FAKTOR RISIKO Terinfeksi HIV/AIDS. Menjalani chemotherapy. Menggunakan steroid atau obat immunosuppressant yang menekan sistem imun anda.

Sedang hamil. GEJALA Tanda dan gejala flu serupa dengan toxoplasmosis, antara lain: Tidak enak badan Pembengkakan kelenjar getah bening Sakit kepala Demam Radang tenggorokan Jika anda memiliki HIV/AIDS dan menerima chemotherapy atau memiliki transplantasi organ, maka tidak menutup kemungkinan untuk mengalami tanda dan gejala infeksi toxoplasmosis yang lebih parah, antara lain : Sakit kepala Kebingungan Lemah koordinasi Kejang Masalah pada paru-paru Pandangan kabur yang disebabkan pembengkakan pada retina

Tanda pada bayi Kebanyakan ibu hamil dengan toxoplasmosis tidak memiliki tanda atau gejala penyakit ini, tetapi jika anda terinfeksi untuk pertama kali sesaat sebelum kehamilan anda, anda memiliki 30 persen peluang menularkannya pada bayi anda (congenital toxoplasmosis), bahkan jika anda tidak memiliki tanda atau gejala pada diri anda. Risiko dan tingkat keparahan infeksi pada bayi anda sering didasarkan pada kapan anda terinfeksi. Bayi anda paling berisiko terkena toxoplasmosis jika anda terinfeksi pada tiga bulan terakhir dan kurang berisiko saat tiga bulan pertama.Infeksi yang terjadi dapat menyebabkan keguguran. Pada bayi yang terinfeksi apabila mampu bertahan sampai dilahirkan, maka akan lahir dengan masalah serius, seperti: Kejang Pembesaran hati dan limpa Kulit atau mata menguning (jaundice) Infeksi mata yang parah Hanya sebagian kecil bayi yang memiliki toxoplasmosis menunjukkan tanda kondisi ini pada saat lahir. Disamping itu, banyak bayi yang lahir tidak memiliki tanda dan gejala kondisi ini sampai mereka remaja. Tanda dan gejala, antara lain: Pendengaran hilang Perlambatan perkembangan mental Infeksi mata serius yang dapat menyebabkan kebutaan DIAGNOSIS Diagnosis dari infeksi akut toksoplasma dapat dilakukan melalui isolasi T. gondii dari darah atau cairan-cairan tubuh, menemukan kista pada plasenta atau jaringan fetus atau bayi yang baru lahir,

mendeteksi antigen dan/atau organisme pada bagian atau preparat jaringan dan cairan-cairan tubuh, melihat dari antigenemia dan antigen di serum serta cairan-cairan tubuh, atau dengan tes serologi1.Standar baku yang biasa dilakukan di Eropa: Skrining awal untuk diagnosis infeksi maternal umumnya dilakukan tes serologi menggunakan spesimen darah untuk melihat keberadaan IgG dan IgM spesifik terhadap toksoplasma. Jika IgM spesifik terhadap toksoplasma terdeteksi dan/atau pada kajian berikutnya dijumpai IgG spesifik terhadap toksoplasma (hasil positif titer 6 IU/ml), spesimen dianalisa dengan tes tambahan yang lebih spesifik. Direct agglutination assay for IgG (Toxo-Screen DA IgG [hasil dianggap positif bila titer 40]), Immunosorbent agglutination assay for IgM (Toxo-ISAGA IgM, hasil dianggap positif bila indeks 9), dan tes pewarnaan (hasil positif, 6 IU/ml)2. Diagnosis segera dari infeksi fetus dapat ditegakkan bila infeksi T. gondii maternal sudah dipastikan. Penderita tersebut biasanya dijelaskan secara terperinci mengenai infeksi toksoplasmosis dan segala risiko yang dapat terjadi. Pemeriksaan USG untuk melihat fetus segera dilakukan, dan wanita tersebut akan dianjurkan untuk melakukan amniosentesis sesegera mungkin sebelum 12 minggu masa gestasi. Cairan amnion 10 hingga 20 ml akan disentrifuge, dan pelet diendapkan ulang lalu diinokulasi secara intraperitoneal pada tikus untuk deteksi viabel. Cairan amnion (1,5 ml) juga diperiksa dengan PCR (Polymerase Chain Reaction) untuk mendeteksi adanya DNA (gen B1) toksoplasma. Dalam menginterprestasikan hasil dari tes anti-toksoplasma IgM haruslah berhati-hati. Dianjurkan oleh FDA (Food and Drug Administration) di Amerika agar tidak bergantung terhadap hasil tes tunggal, karena dijumpai pada beberapa tes dapat terjadi hasil positif palsu (false-positive). Hal ini dapat menghasilkan diagnosis yang keliru dan menghasilkan pengobatan yang sebenarnya tidak diperlukan atau bahkan terminasi dari kehamilan. PENGOBATAN TOKSOPLASMOSIS Sulfonamida19 . Sulfonamida diklasifikasikan menjadi 5 kelompok berdasarkan waktu paruh dan absorbsinya sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Sulfonamida dengan masa kerja pendek: Sulphaurea (tidak ada di Indonesia). Sulfonamida dengan masa kerja medium: Sulphadiazine, sulphamethoxazole. Sulfonamida dengan masa kerja panjang: Sulphamethoxydiazine (tidak ada di Indonesia). Sulfonamida dengan masa kerja sangat panjang: Sulphadoxine. Sulfonamida yang sulit diabsorbsi: Sulfaguanidine. Mekanisme kerja: bakteriostatik dengan menghambat sintesa asam folat memblokade enzim yang membentuk asam folat dari PABA (para-aminobenzoic acid). Sebagian menginaktivasi enzimenzim lain bakteri seperti dehydrogenase atau carboxylase yang berperanan pada respirasi bakteri. Karena beberapa bakteri mempunyai cara tertentu untuk menyuplai asam folat, biasanya mula kerja dari sulfonamida akan selalu lambat. Golongan sulfonamida adalah obat antiparasit yang sangat lemah, tetapi mempunyai efek antiparasit sinergistik yang cukup baik dengan pyrimethamine.

Efek samping yang paling sering adalah reaksi alergi, kerusakan ginjal karena deposit dari kristal sulfonamida yang sukar larut dalam air, gangguan gastrointestinal, risiko hiperbilirubinaemia pada kelahiran prematur, abnormalitas jumlah darah, cyanosis, dan cholestatic jaundice (jarang). Pyrimethamine20

Pyrimethamine merupakan antiparasit yang secara kimiawi dan farmakologi menyerupai trimetropim. Mekanisme kerja: pyrimethamine mengganggu metabolisme parasit seperti sulfonamida. Untuk terapi infeksi toksoplasma, dosis oral untuk dewasa secara umum 50--75 mg per oral sekali sehari, dikombinasi dengan 1--4 gram per hari sulfonamida, selama 1 hingga 3 minggu. Kemudian kurangi dosis setiap obat setengah dosis dari yang sebelumnya dan terapi dilanjutkan selama 4 hingga 5 minggu. Efek samping yang paling sering adalah kerusakan sel-sel darah, khususnya jika diberikan dalam dosis tinggi. Kekurangan asam folat akan memicu agranulocytosis. Urtikaria dapat timbul selama terapi dengan pyrimethamine dan dapat menjadi tanda awal dari efek samping yang lebih serius yaitu, Sindroma Stevens-Johnson. Pyrimethamine harus digunakan sangat hati-hati pada kehamilan (katagori kehamilan tipe C). Pada hewan percobaan, dijumpai adanya efek teratogenik dan mutagenik. Pyrimethamine dapat menurunkan derajat fertilitas. Spiramycin (RovamycineR) Spiramycin merupakan antibiotika makrolida yang paling aktif terhadap toksoplasmosis di antara antibiotika lainnya yang mempunyai mekanisme kerja yang serupa, seperti Clindamycin, Midecamycin, dan Josamycin21. Mekanisme kerja Spiramycin menghambat pergerakan mRNA pada bakteri/parasit dengan cara memblokade 50s Ribosome. Dengan begitu, sintesa protein bakteri/parasit akan terhenti dan kemudian mati. Spiramycin merupakan antibiotika yang paling banyak digunakan untuk menangani kasus toksoplasmosis di Eropa karena: 1. Aktivitas intraselularnya yang sangat tinggi. 2. Konsentrasi di plasenta yang sangat tinggi (6.2 mg/L), sehingga dapat mencegah infeksi maternal infiltrasi ke janin. 3. Aman bagi fetus. Spiramycin sedikit sekali kadarnya yang dapat masuk ke janin. Oleh sebab itu, pada janin yang sudah terinfeksi toksoplasma, efek terapi Spiramycin tidak akan maksimal. Spiramycin tidak dapat mencegah kerusakan yang sudah terjadi pada janin sebelum terapi Spiramycin dimulai. 4. Ditoleransi dengan baik oleh ibu hamil. 5. Studi-studi pendukung yang sangat banyak sebagai evidence based medicine22. Dosis Spiramycin untuk profilaksis toksoplasmosis kongenital 3 kali sehari 3 juta Internasional Unit (3 MIU) selama 3 minggu, lalu diulang setelah interval 2 minggu hingga saat partus. Pengobatan harus terus dilakukan sepanjang kehamilan untuk mencegah terjadinya infeksi primer Toxoplasma gondii pada congenital. PENCEGAHAN Cara pencegahan yang dapat di lakukan untuk memperkecil peluang terinfeksi toxoplasmosis antara lain: Jaga kucing anda agar tetap terlindungi dan terjaga kesehatannya dengan memberikan makanan kucing yang terjamin kesehatannya dan bukan daging mentah. Jangan mengadopsi kucing liar. Gunakan sarung tangan ketika membersihkan kandang kucing dan cuci tangan setelahnya dengan sabun dan air hangat.

TAENIA SAGINATA ( CACING PITA) Gambaran Taenia solium

1. Sejarah Cacing pita terdapat pada daging babi diketahui sejak zaman Hippocrates atau mungkin sudah sejak zaman para Nabi walaupun pada waktu itu belum dapat dibedakan antara cacing pita daging sapi dengan cacing pita daging babi sampai pada karya Geoze (1782)Aristophane dan Aristoteles melukiskan stadium larva atau sistiserkus sellulose pada lidah babi hutan. Gessner (1558) dan Kumier (1855) melaporkan stadium larva pada mannusia . Kuchen meister (1855) dan Leukart (1856) adalah sarjana sarjana yang pertama kali mengadakan penelitian daur hidup cacing tersebut dan membuktikan bahwa cacing gelembung yang didapatkan pada daging babi adalah stadium larva cacing Taenia solium. Infeksi ini ternyata sudah dikenal sejak zaman Masehi, sedang siklus hidupnya digambarkan pada pertengahan tahun 1850 (Beaver dkk, 1984) . Cacing pita ini ditemukan diberbagai tempat di dunia dan diperkirakan merupakan parasit manusia yang penting terutama dimana daging babi mentah atau setengah matang dimakan Infeksi sistiserkosis dengan (larva) Taenia solium relatif umum di tempat-tempat tertentu di dunia , tetapi jarang di Amerika Serikat (jung dkk, 1981; Keane 1980) . Bentuk infeksi ekstraintestinal tersebut lebih serius daripada terdapatnya cacing dewasa di dalam usus. Taenia saginata sudah dapat dibedakan dengan Taenia solium pada akhir tahun 1700-an tetapi sapi tidak dikenal sebagai hospes perantaranya sampai tahun 1863 (Leukart, 1863). Infeksi ini distribusinya kosmopolit dan umumnya lebih sering terjadi dari pada Taenia solium terutama di amerika Serikat (tabel 13.1). Secara umum, pengaruh pada kesehatan manusia lebih ringan dibanding dengan Taenia solium karena sistiserkosis dengan Taenia saginata jarang sekali terjadi 2. Klasifikasi Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Platyhelminthes : Cestoda : Cyclophyllidae : Taniidae : Taenia : Taenia solium

Cestoda, atau cacing pita, merupakan subfilum lain di dalam filum Platyhelminthes. Mereka tidak mempunyai rongga badan dan semua organ organ tersimpan di dalam jaringan parenkim. Semua cacing pita bersifat parasit, dan telah bermodifikasi secara besar-besaran untuk eksistensi parasit tersebut. Taenia solium adalah salah satu jenis cacing pita yang berparasit di dalam usus halus manusia. Dalam klasifikisai taksonomi cacing ini termasuk kelas Eucestoda, ordo Taenidae, dan genus Taenia. Tergolong dalam satu jenis genus dengan Taenia solium adalah Taenia saginata dan Taenia asiatica yang juga bersifat zoonosis (Rajshekkhar et al.2003) 3. Hospes dan Nama penyakit Hospes definitif cacing Taenia solium adalah manusia, sedangkan hospes perantaranya adalah manusia dan babi . Manusia yang dihinggapai cacing Dewasa Taenia solium juga menjadi hospes perantara cacing ini. Nama penyakit yang disebabkan oleh cacing Taenia solium adalah taeniasis dan sistiserkosis. Taeniasis adalah penyakit akibat parasit berupa cacing yang tergolong dalam genus taenia yang dapat menular dari hewan ke manusia, maupun sebaliknya. Sistiserkosis ialah infeksi jaringan oleh bentuk larva Taenia solium (sistiserkus sellulosa) pada manusia akibat termakan telur cacing Taenia solium pada daging babi.

Sedangkan istilah Neurosistiserkosis digunakan untuk infeksi oleh larva yang mengenai sistem saraf pusat (SSP). Cacing pita babi diberi nama khusus solium karena biasanya hanya ditemukan cacing pita tunggal pada satu induk semang. Sistiserkusnya dikenal sebagai Cysticercus cellulosae, ditemukan pada urat daging babi, anjing dan kadang kadang manusia. Kemungkinan sistiserkus tersebut sebesar 20 x 10 mm, tetapi biasanya jauh lebih kecil. Sistiserkus ini menyebabkan suatu kondisi yang dikenal sebagai bintil daging. 4. Morfologi Taenia solium merupakan Cacing pita babi pada manusia. Cacing dewasa terdapat pada usus halus mannusia, dan dapat mencapai 2 sampai 7 m dan dapat bertahan hidup selama 25 tahun atau lebih. Organ pelekat atau skoleks, mempunyai empat batil isap yang besar serta rostelum yang bundar dengan dua baris kait berjumlah 22-32 kait. Kait besar (dalam satu baris) mempunyai panjang 140 180 mikron dan bagian yang kecil (dalam baris yang lain) panjangnya 110-140 mikron. Bagian lehernya pendek dan kira kira setengah dari lebar skoleks. Jumlah keseluruhan dari proglotid kurang dari 1000, proglotid imatur bentuknya lebih melebar daripada memanjang, yang matur berbentuk mirip segi empat dengan lubang kelamin terletak di bagian lateral secara berselang seling di bagian kiri dan kanan proglotid berikutnya, sedang segmen gravid bentuknya lebih memanjang daripada melebar. Proglotid gravid panjangnya 10-12 x 5-6 mm, dan uterus mempunyai cabang pada masing masing sisi sebanyak 7 12 pasang. Segmen yang gravid biasanya dilepas secara berkelompok 5-6 segmen tetapi tidak aktif keluar dari anus. Proglotid gravid dapat mengeluarkan telur 30.000 50.000 butir telur. Telurnya berbentuk bulat atau sedikit oval (31 -43 mikro meter),mempunyai dinding yang tebal, bergaris garis, dan berisi embrio heksakan berkait enam atau onkosfer. Telur telur ini dapat tetap bertahan hidup di dalam tanah untuk berminggu minggu.

EPIDEMIOLOGI Infeksi cacing pita Taenia tertinggi di Indonesia terdapat di daerah Papua.Di Kabupaten Jayawijaya Papua, Indonesia ditemukan 66,3% (106 orang dari 160 responden) positif menderita taeniasis solium/sistiserkosis selulosae dari babi. Sementara 28,3% orang adalah penderita sistiserkosis yang dapat dilihat dan diraba benjolannya di bawah kulit. Sebanyak 18,6% (30 orang) di antaranya adalah penderita sistiserkosis selulosae yang menunjukkan gejala epilepsi. Dari 257 pasien yang menderita luka bakar di Papua, sebanyak 82,8% menderita epilepsi akibat adanya sistiserkosis pada otak. Prevalensi sistiserkosis pada manusia berdasarkan pemeriksaan serologis pada masyarakat Bali sangat tinggi yaitu 5,2% sampai 21%, sedangkan prevalensi taeniasis di provinsi yang sama berkisar antara 0,4%-23%. Sebanyak 13,5% (10 dari 74 orang) pasien yang mengalami epilepsi di Bali didiagnosa menderita sistiserkosis di otak. Prevalensi taeniasis T. asiatica di Sumatera Utara berkisar 1,9%-20,7%. Kasus T. asiatica di Provinsi ini umumnya disebabkan oleh konsumsi daging babi hutan setengah matang.

PATOFISIOLOGI Siklus hidup Taenia sp. Sebuah proglotid gravid berisi kira-kira 100.000 buah telur. Pada saat proglotid terlepas dari rangkaiannya dan menjadi koyak, terdapat cairan putih susu yang mengandung banyak telur mengalir keluar dari sisi anterior proglotid tersebut, terutama jika proglotid berkontraksi pada saat bergerak. Telurtelur ini akan melekat pada rumput bersama dengan tinja, bila orang berdefekasi di padang rumput atau karena tinja yang hanyut dari sungai pada saat banjir. Ternak yang makan rumput ini akan terkontaminasi dan dihinggapi cacing gelembung, karena telur yang tertelan bersama rumput tersebut akan dicerna dan embrio heksakan akan menetas di dalam tubuh ternak. Embrio heksakan yang menetas di saluran pencernaan ternak akan menembus dinding usus, masuk ke saluran getah bening atau darah dan ikut dengan aliran darah ke jaringan ikat di sela-sela otot untuk tumbuh menjadi cacing gelembung yang disebut sistiserkus bovis, yaitu larva Taenia saginata yang terbentuk setelah 12 s.d. 15 minggu. Bila cacing gelembung yang ada di otot hewan ini termakan oleh manusia, karena proses pemasakan yang tidak atau kurang matang, maka skolexnya akan keluar dari cacing gelembung dengan cara evaginasi. Skolex akan melekat pada mukosa usus halus seperti jejunum. Cacing Taenia saginata dalam waktu 8 s.d. 10 minggu akan menjadi dewasa.Telur dilepaskan bersama proglotid atau tersendiri melalui lubang uterus. Embrio di dalam telur disebut onkosfer berupa embrio heksakan yang tumbuh menjadi bentuk infektif dalam hospes perantara. Infeksi terjadi jika menelan larva bentuk infektif atau menelan telur. Pada Cestoda dikenal dua ordo, yang pertama Pseudophyllidea dan yang kedua adalah Cyclopyllidea. Cara Penularan Cysticercus cellulosa yang terdapat dalam daging babi yang mentah atau tidak dimasak kurang sempurna , termakan oleh manusia dan akan menimbulkan penyakit Taeniasis. Bila menelan telur Taenia sp atau proglotid gravid yang terdapat pada makanan atau minuman yang terkontaminasi akan teradi Cysticercosis. Infeksi terhadap dirinya sendiri yang berasal dari keberadaan cacing dewasanya di dalam usus dan mungkin terjadi autoinfeksi internal dimana telurnya akan bercampur dengan asam lambung sehingga menetas dan larvanya masuk kedalam jaringan. GEJALA KLINIK 1. Taeniasis Cacing dewasa yang biasanya berjumlah seekor, tidak menyebabkan gejala klinis yang berarti kecuali iritasi ringan pada tempat perlekatan atau gejala gejala abdominal yang tersamar. Bila ada dapat berupa nyeri ulu hati ,mencret,mual, obstipasi dan sakit kepala. Dapat dijumpai eosinofilia ringan, biasanya dibawah 15 %. (Gandahusada et al 2000) Kondisi acut dan komplikasi dapat terjadi jika ada migrasi cacing dewasa pada tempat yang tidak umum misalnya, appendix, pankreas dan saluran empedu. Secara psikiologis penderita dapat merasa cemas karena adanya segmen atau proglotid pada tinja. Penderita akan merasa gatal sekitar anus dan dapat menemukan segmen pada pakaian dalam (celana) atau tempat tidur. Segmen ini mempunyai istilah yang berbeda- beda pada setiap daerah, misalnya di Bali dikenal dengan istilah ampas nangka, di Toraja

dengan istilah banasan dan di Sumatera Utara dengan istilah manisan (Sutisna, 19998 : 158 : Ditjen P2M & PLP, 1986 : 6) 2. Cystiserkosis Sistiserkosis menimbulkan gejala dan efek yang beragam sesuai dengan lokasi parasit dalam tubuh manusia. Manusia dapat terjangkit satu atau sampai ratusan sistiserkus di jaringan tubuh yang berbeda beda. Sistiserkus pada manusia paling sering ditemukan di otak (disebut neurosistiserkosis) mata,otot, dan lapisan bawah kulit. Gejala klinis biasanya ditemukan pada penderita sistiserkosis. Gejala tersebut biasanya muncul beberapa minggu sampai dengan 10 tahun atau lebih setelah seseorang terinfeksi (Chin dan Khadun 2000;Gandahusada et al.2000). Pada manusia, sistiserkus sering ditemukan pada jaringan subkutis, mata, jaringan otak, otot jantung, hati, paru, dan rongga perut. Klasifikasi (perkapuran) yang sering dijumpai pada sistiserkus biasanya tidak menimbulkan gejala,namun sewaktu waktu dapat menyebabkan pseoduhipertrofi otot, disertai gejala miositis, demam tinggi dan eosinofilia (Gandahusada et al.2000). Pada jaringan otak atau medulla spinalis, sistiserkus jarang mengalami klasifikasi. Keadaan ini sering menimbulkan reaksi jaringan dan dapat mengakibatkan serangan ayan (epilepsi), meningo ensefalitis, gejala yang disebabkan oleh tekanan intrakranial yang tinggi seperti nyeri kepala dan kadang kadang kelainan jiwa. Hidrosefalus Internus dapat terjadi, bila timbul sumbatan aliran cairan serebrospinal. Sebuah laporan menyatakan, bahwa sebuah sistiserkus tunggal yang ditemukan dalam ventrikel IV dari otak , dapat menyebabkan kematian (Gandahusada et al.2000)

DIAGNOSA Taeniasis Dapat ditegakkan dengan 2 cara : 1. Menanyakan riwayat penyakit (anamnesa) Didalam anamnesis perlu ditanyakan antara lain apakah penderita pernah mengeluarkan proglotid (segmen) dari cacing pita baik pada waktu buang air besar maupun secara spontan. 2. Pemeriksaan Tinja Tinja yang diperiksa adalah tinja sewaktu berasal dari deteksi spontan. Sebaiknya diperiksa dalam keadaan segar. Bila tidak memungkinkan untuk diperiksa segera, tinja tersebut diberi formalin 5-10% atau spirtus sebagai pengawet. Pemeriksaan tinja secara mikroskopis dilakukan antara lain dengan metode langsung (secara relatif) bahan pengencer yang dipakai NaCl 0,9 % atau Lugol. Dari satu spesimen tinja dapat digunakan menjadi empat sediaan. Bilamana ditemukan telur cacing Taenia sp, maka pemeriksaan menunjukkan hasil positif taeniasis. Pada pemeriksaan tinja secara makroskopis dapat ditemukan proglotid. Pemeriksaan dengan metode langsung ini kurang sensitif dan spesifik. Terutama telur yang tidak selalu ada dalam tinja dan secara morfologi sulit diidentifikasi. Metode pemeriksaan lain yang lebih sensitif dan spesifik misalnya teknis sedimentasi eter; anal swab; dan coproantigen (paling spesifik dan sensitif). Diagnosa ditegakkan dengan ditemukannya proglotid gravid atau telur dalam tinja atau daerah perianal dengan cara swab. Telur sukar dibedakan dengan telur taenia solium. Proglotid gravidnya kemudian dapat diidentifikasi dengan merendamnya dalam cairan laktofenol sampai jernih sehingga dengan mudah dibedakan berdasarkan jumlah cabang lateral uterus atau scolexnya yang tidak mempunyai kait-kait. Sistiserkosis

Diagnosa sistiserkosis biasanya tergantung pada pembedahan untuk mengeluarkan parasitnya dan pemeriksaan mikroskopik atas adanya batil isap dan kait pada skoleks. Seringkali terdapat larva multipel dan adanya sistiserkus dalam jaringan subkutan atau otot menunjukkan bahwa otak mungkin juga terkena. Larva yang mengalami perkapuran dapat langsung terlihat pada sinar-X . CT Scan dapat memperlihatkan adanya lesi dalam otak.CT scan tidak dapat membedakan lesi dengan tumor tumor yang disebabkan oleh penyebab lainnya. Sistiserkosis mata biasanya dapat didiagnosis melalui identifikasi visual dari gerakan dan morfologi dari larvanya. Meskipun test serologis dapat membanbtu pada beberapa kasus, dapat dijumpai reaksi silang di antara sistiserkosis dan infeksi hidatid (Schantz dkk, 1980) Dinyatakan tersangka sistiserkosis apabila pada : 1. Anamnesis : a. Berasal dari / berdomisili di daerah endemis taeniasis/ sistiserkosis b. Gejala Taeniasis c. Riwayat mengeluarkan proglotid d. Benjolan (nodul subkutan) pada salah satu atau lebih bagian tubuh e. Gejala pada mata dan gejala sistiserkosis lainnya f. Riwayat / gejala epilepsi g. Gejala peninggian tekanan intra kranial h. Gejala neurologis lainnya

2. Pemeriksaan fisik : a. Teraba benjolan / nodul sub kutan atau intra muskular satu atau lebih b. Kelainan mata (oscular cysticercosis) dan kelainan lainnya yang disebabkan oleh sistiserkosis c. Kelainan neurologis 3. Pemeriksaan penunjang : a. Pemeriksaan tinja secara makroskopis : proglotid b. Pemeriksaan tinja secara mikroskopis : Telur Taenia Sp c. Pemeriksaan serologis : sistiserkosis d. Pemeriksaan biopsi pada nodul subkutan gambaran menunjukkan patologi anatomi yang khas untuk sistiserkosis PENGOBATAN Cacing dewasa dianjurkan penggunaan praziquantel atau niklosamid (Sotelo dkk, 1985). Karena kemungkinan sistiserkosis dapat terjadi melalui autoinfeksi, pasien harus segera diobati setelah diagnosis ditegakkan. Sistiserkosis apabila memungkinkan dianjurkan tindakan bedah. Pada kasus sistiserkosis mata, lebih dianjurkan pengambilan kista daripada enukleasi. Untuk mencegah hilangnya bola mata, dianjurkan untuk mengambil sistiserkusnya ketika masih hidup (Junior, 1949). Beberapa obat telah dicoba dengan derajat keberhasilan yang berbeda beda dalam memberantas sistiserkus; praziquantel, yang mungkin membutuhkan pengobatan ulang (Rim dkk, 1980; Botero dan Castano, 1981); dan metrifonat untuk sistiserkosis kutan (Tschen dkk, 1981). Prognosis pada pasien sangat baik bila terdapat cacing dewasanya, baik bila sistiserkus dapat diambil dengan tindakan bedah, dan buruk bila terdapat parasit dalam bentuk rasemosa, terutama dalam otak. Beberapa regimen obat baru juga terbukti sangat efektif untuk membunuh sistiserkus. PENGENDALIAN DAN UPAYA PENCEGAHAN

Pengendalian cacing pita Taenia dapat dilakukan dengan memutuskan siklus hidupnya. Pemutusan siklus hidup cacing Taenia sebagai agen penyebab penyakit dapat dilakukan melalui diagnosa dini dan pengobatan terhadap penderita yang terinfeksi. Beberapa obat cacing yang dapat digunakan yaitu : Atabrin, Librax dan niklosamida dan Prazikuantel. Sedangkan untuk mengobati sistiserkosis dapat digunakan Albendazola dan dexametason. Untuk mengurangi kemungkinan infeksi oleh Taenia ke manusia, diperlukan peningkatan daya tahan tubuh inang. Hal ini dapat dilakukan melalui vaksinasi pada ternak, terutama pada babi didaerah endemik Taeniasis dan cysticercosis serta peningkatan kualitas dan kecukupan gizi pada manusia. Lingkungan yang bersih sangat diperlukan untuk memutuskan siklus hidup Taenia, karena lingkungan yang kotor dapat menyebabkan menjadi sumber penyebaran penyakit. Pelepasan telur Taenia dalam feces ke lingkungan menjadi sumber penyebaran taeniasis ,sistiserkosis. Faktor fresiko utama transmisi telur Taenia ke babi yaitu pemeliharaan babi secara ekstensif, defikasi manusia didekat pemeliharaan babi sehingga babi memakan feces manusia dan pemeliharaan babi dekat manusia. Hal yang sama juga berlaku pada taenia ke sapi. Telur cacing ini dapat terbawa oleh air ke tempat tempat lembab sehingga telur cacing lebih lama bertahan hidup dan penyebarannya semakin luas. Kontrol penyakit akibat Taenia dilingkungan dapat dilakukan melalui peningkatan sarana sanitasi dan pencegahan konsumsi daging yang terkontaminasi, pencegahan kontaminasi tanah dan tinja pada makanan dan minuman. Pembangunan sarana sanitasi misalnya kaskus dan septic tank serta penyediaan sumber air bersih sangat diperlukan. Pencegahan konsumsi daging yang terkontaminasi dapat dilakukan melalui pemusatan pemotongan ternak di rumah pemotongan hewan (RPH) yang diawasi oleh dokter Hewan. Pencegahan Taeniasis yang utama adalah menghilangkan sumber infeksi dengan mengobati semua penderita Taeniasis disuatu daerah. Pencegahan juga dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan diri dan lingkungan, salah satunya dengan menyediakan jamban keluarga. Penyediaan jamban keluarga bertujuan untuk mencegah agar tinja manusia tidak dimakan oleh babi dan tidak mencemari tanah / rumput peternak. Pemelihara sapi atau babi juga harus dijaga agar hewan peliharaannya tidak berkeliaran sehingga tidak mencemari lingkungan. Pemeriksaan daging oleh dokter hewan pun harus dilakukan sehingga masyarakat tidak mengkonsumsi daging yang mengandung kista selain itu perlu dilakukan penyuluhan mengenai bahaya mengkonsumsi daging yang mengandung kista, oleh karena itu masyarakat juga harus mengetahui bentuk kista dalam daging. Hal tersebut penting dilakukan di daerah yang banyak memotong babi untuk upacara adat seperti di Sumatera Utara, Bali, dan Irian Jaya. Di beberapa daerah di tanah air yang memiliki kebiasaan memakan daging setengah matang atau mentahpun perlu dilakukan penyuluhan untuk menghilangkan kebiasaan tersebut. Masyarakat perlu diberi pemahaman tentang resiko yang akan diperoleh apabila memakan daging mentah / setengah matang. Penting pula bagi masyarakat untuk mengetahui manfaat memasak daging sampai matang (> 57 o C dalam waktu cukup lama) atau membekukan (< 10o C selama 5 hari). Pendekatan tersebut biasanya tidak selalu dapat diterima oleh masyarakat setempat karena keputusan akhir yang diambil harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah yang bersangkutan (Primz sumber www.depkes.org.maret 2007 Cara untuk mencegah agar tidak menderita gangguan yang disebabkan oleh Taenia saginata antara lain sebagai berikut : Tidak makan makanan mentah (sayuran,daging babi, daging sapi dan dagiikan), buah dan melon dikonsumsi setelah dicuci bersih dengan air. Minum air yang sudah dimasak mendidih baru aman. Menjaga kebersihan diri, sering gunting kuku, membiasakan cuci tangan menjelang makan atau sesudah buang air besar.

Tidak boleh buang air kecil/besar di sembarang tempat, tidak menjadikan tinja segar sebagai pupuk; tinja harus dikelola dengan tangki septik, agar tidak mencemari sumber air.

LARANTUKA, Timex-Penyakit malaria ternyata sangat berbahaya. Penyakit infeksi yang disebabkan parasit plasmodium yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia itu berisiko tiga kali lipat menyebabkan keguguran ibu hamil. Malaria membahayakan karena menyebabkan anemia atau kekurangan darah. Plasmodium malaria membuat sel-sel darah merah banyak yang hancur. Hal itu membuat efek malaria sangat berbahaya pada 3 bulan pertama kehamilan. Karena itu, deteksi dini pada wanita hamil serta pengobatan yang efektif sangat penting untuk mengurangi risiko itu. Demikian diungkapkan spesialis penyakit dalam di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tc. Hillers Maumere, dr. Asep Purnama di kepada anggota DPRD Flores Timur dalam workshop yang diselenggarakan LSM Yayasan Sosial Pembangunan Masyarakat (Yaspem) Maumere, bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Flores Timur, Jumat (22/6). Dikatakan mantan Direktur RSUD Tc. Hilers Maumere ini, anemia akibat malaria juga dapat menyebabkan pertumbuhan janin kurang baik. Selain itu, malaria menjadi penyumbang risiko kematian bayi, ibu dan balita. Setengah dari jumlah kematian bayi, ibu dan balita, kata dia, disebabkan oleh malaria. "Penyakit mematikan ini memang telah lama diketahui menyebabkan kelahiran prematur dan berat lahir rendah," katanya. Berdasarkan data yang ada, sebutnya, pada tahun 2009 jumlah kematian bayi, ibu dan balita di NTT mencapai angka 1.400 orang. Jika dibagikan, maka setiap bulannya ada 100 kasus kematian bayi, ibu dan balita. Sementara itu, anak yang berhasil hidup 17 ribu orang menderita kurang gizi. "Ini masalah kita bersama. Jika kita bertekad agar revolusi KIA berhasil, maka harus beri perhatian pada pemberantasan malaria," katanya. Selain risiko kematian, malaria juga menyebabkan 'economic lost' atau kerugian ekonomi yang besar. Data di RSUD Tc Hilers Maumere, jelasnya, total biaya yang harus dibayar oleh negara melalui program jamkesmas untuk masyarakat yang sakit karena malaria sebesar Rp 2 miliar lebih. Di Flores Timur, pada tahun 2006, kerugian yang diderita akibat malaria sebesar Rp 3,6 miliar. Angka tersebut meningkat di tahun 2007. Pada tahun itu, kerugian akibat malaria menjadi Rp 5,5 miliar. Sementara di tahun 2010 sebesar Rp 4,4 miliar.

Jumlah kerugian tersebut dihitung setelah membuat total biaya berobat, transportasi untuk berobat dan biaya perawatan. "Malaria juga membuat produktivitas menjadi menurun. Kalau tidak kerja, berapa kerugian ekonomi yang diderita?" ujarnya. Karena itu, ia berharap, semua pihak sudah seharusnya bekerja keras secara bersama untuk memberantas penyakit malaria. Di NTT sendiri, sudah sejak tahun 2005 pemberantasan malaria diatur melalui peraturan daerah. Akan tetapi, Perda Nomor 3 itu kurang terasa dalam implementasinya. "Tidak pake helm yang risikonya hanya untuk pribadi saja pemerintah melakukan penegakan aturan, apalagi malaria yang diidap satu orang risikonya pada banyak orang. Pemerintah tidak boleh diam," tandasnya. MALARIA A. Definisi Adalah penyakit yang disebabkan oleh karena infeksi parasit plasmodium. Jenis plasmodium yang menyerang manusia ada 4, 1. Plasmodium vivax Hospes definitif : Nyamuk Anopheles betina Hospes perantara : Manusia 2. Plasmodium falciparum Hospes definitif : Nyamuk Anopheles betina Hospes perantara : Manusia 3. Plasmodium malariae/Kuartana Hospes definitif : Nyamuk Anopheles betina Hospes perantara : Manusia 4. Plasmodium ovale Hospes definitif : Nyamuk Anopheles betina Hospes perantara : Manusia B. Cara Penularan Cara infeksi/penularan : 1. Alami : Tusukan vektor ( Anopheles betina) 2. Induksi : Transfusi darah, Trnsplasenter, Suntikan, Sengaja C. Gejala Klinik a. Demam (secara periodik) b. Menggigil (1/4 1 jam) c. Demam tinggi (2 6 jam) d. Berkeringat (2 4 jam) e. P. vivax & P. ovale demam timbul setiap 48 jam f. P. malariae demam timbul setiap 72 jam g. P. falciparum demam timbul setiap < 48 jam h. Anemia anemia normositik normokrom i. Splenomegali (limpa membesar)

D. Diagnosis Gejala klinik dan Pemeriksaan laboratorium i. Parasitologis (menemukan parasitnya dalam darah) ii. Serologis E. Terapi a. Klorokuin b. Primakuin c. Kina d. Sulfadoksin + pirimetamin F. Prognosis Pada infeksi ringan umumnya baik. Pada infeksi berat kurang baik (Infeksi berat hanya dapat terjadi pada malaria falciparum)

Flu Burung di Flores Timur Senin, 24 Oktober 2011 | 04:23 WIB Kupang, Kompas - Provinsi Nusa Tenggara Timur tak lagi bebas flu burung. Belum lama ini ditemukan kasus flu burung di Kecamatan Witihama, Pulau Adonara, Flores Timur. Spesimen sudah dikirim ke Balai Besar Veteriner Denpasar dan hasilnya positif daerah itu terjangkit flu burung yang menyerang ayam. Namun, sejauh ini belum ada kasus flu burung yang menyerang manusia, kata Kepala Dinas Peternakan NTT Samuel Rebo, Minggu (23/10). Kasus itu terjadi pada pertengahan September 2011 setelah sekitar 20.000 ayam mati mendadak di Witihama. Ribuan ayam itu jenis ayam buras. Menurut Samuel, Pemerintah Kabupaten Flores Timur memusnahkan semua ayam yang sakit dan sehat pada daerah tertular, radius 1 kilometer. Kejadian itu disayangkan karena Pemerintah Provinsi NTT berupaya ketat melalui instruksi Gubernur dan Kepala Dinas Peternakan NTT tahun 2010 dengan menunjuk perusahaan pemasok telur dan anak ayam dari Jawa Timur. Produk unggas dari luar yang akan masuk ke NTT dikontrol ketat. Hanya perusahaan tertentu yang boleh memasok, yang dinilai mempunyai biosecurity yang baik. Tapi, kali ini bisa kecolongan di Flores Timur, ujar Samuel. Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Flores Timur Antonius Wukak Sogen membenarkan temuan kasus flu burung itu. Stamping out (pemusnahan massal) sudah dilakukan. Petugas kami terlebih dulu memberi pemahaman ke masyarakat. Dengan kesadaran sendiri, mereka memusnahkan ternaknya, kata Antonius. (SEM)

FLU BURUNG A. Sejarah dan Definisis Pada th 1997 Flu burung pertama kali melewati "halangan spesies dari unggas ke manusia. Pertama kali muncul di Hongkong dengan 18 orang dirawat di rumah sakit dan enam orang diantaranya meninggal dunia, kemudian menyebar ke Vietnam dan Korea. Di Indonesia pada bulan Januari 2004 di laporkan adanya kasus kematian ayam ternak yang luar biasa (terutama di Bali, Botabek, Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan Barat dan Jawa Barat). Pada bulan Juli 2005, penyakit flu burung telah merenggut tiga orang nyawa warga Tangerang Banten. Hal ini didasarkan pada hasil pemeriksaan laboratorium Badan Penelitian dan Pengembangan Depkes Jakarta dan laboratorium rujukan WHO di Hongkong. B. Penyebab Penyebab flu burung adalah virus influenza tipe A. Virus influenza termasuk famili Orthomyxoviridae. Virus influenza tipe A dapat berubah-ubah bentuk (Drift, Shift), dan dapat menyebabkan epidemi dan pandemi. Virus influenza tipe A terdiri dari Hemaglutinin (H) dan Neuramidase (N), kedua huruf ini digunakan sebagai identifikasi kode subtipe flu burung yang banyak jenisnya. C. Gejala Klinis Gejala Flu Burung dapat dibedakan pada unggas dan manusia. Gejala pada unggas : 1. Jengger berwarna biru 2. Borok dikaki 3. Kematian mendadak Gejala pada manusia 1. Demam (suhu badan diatas 38o C) 2. Batuk dan nyeri tenggorokan 3. Radang saluran pernapasan atas 4. Pneumonia 5. infeksi mata 6. Nyeri otot 7. Diare atau gangguan saluran cerna 8. Fatique (lemas) D. Definisi Kasus Masa Inkubasi a. Pada unggas : 1 minggu b. Pada manusia : 1-3 hari,masa infeksi 1 hari sebelum sampai 3-5 hari sesudah timbul gejala,pada anak sampai 21 hari. Cara Penularan Flu burung menular dari unggas ke unggas dan dari unggas ke manusia melalui udara yang tercemar virus H5N1 yang berasal dari kotoran atau sekreta unggas yang menderita flu burung E. Definisi Kasus Kasus Flu Burung ditetapkan dalam 4 jenis

a. Seseorang dalam penyelidikan yaitu seseorang atau sekelompok orang yang diputuskan oleh pejabat kesehatan yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan epidemiologi tehadap kemungkinan terinfeksi H5N1. b. Kasus Suspek c. Kasus Probabel d. Kasus Konfirmasi F. Pencegahan Pada Unggas: a. Pemusnahan unggas/burung yang terinfeksi flu burung b. Vaksinasi pada unggas yang sehat Pada Manusia : a. Kelompok berisiko tinggi ( pekerja peternakan dan pedagang) b. Masyarakat umum G. Pengobatan Pengobatan bagi penderita flu burung adalah: a. Oksigenasi bila terdapat sesak napas b. Hidrasi dengan pemberian cairan parenteral (infus). c. Pemberian obat anti virus oseltamivir 75 mg dosis tunggal selama 7 hari. d. Amantadin diberikan pada awal infeksi , sedapat mungkin dalam waktu 48 jam pertama selama 3-5 hari dengan dosis 5 mg/kg BB perhari dibagi dalam 2 dosis. Bila berat badan lebih dari 45 kg diberikan 100 mg 2 kali sehari.

BRUCELLOSIS
Penyakit brucellosis atau gugur kandungan ternak sapi masih mengancam ternak di Pulau Timor, khususnya di wilayah Kabupaten Belu dan Timor Tengah Utara (TTU), namun wilayah peternakan sapi di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dan Kupang perlu juga waspada. "Untuk TTS dan Kupang sedikit sekali jumlahnya, namun perlu terus diwaspada dengan pemberian vaksinasi secara teratur agar tidak tertular seperti peternakan sapi di Belu dan TTU," kata Kepala Laboratorium Kesehatan Hewan wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT), Drh Artaty Lousana di Kupang, Jumat. Selain penyakit tersebut, penyakit hewani lainnya seperti Antrax juga masih eksis yang perlu terus dicegah dengan pemberian vaksinasi secara teratur oleh Dinas Pertenakan di masing-masing kabupaten. Daratan Pulau Timor dan Sumba merupakan wilayah pengembangan ternak besar dan sedang di NTT sehingga perlu diwaspadai dengan masuknya ternak-ternak sapi dari luar yang kemungkinan membawa hama penyakit yang tidak terdeteksi sebelumnya. "Lalu lintas penyebaran ternak perlu juga diwaspadai oleh masing-masing dinas di wilayah kerjanya karena penyakit tersebut mudah menyebar dan cepat menular," katanya.

Gubernur dan Wakil Gubernur NTT terpilih periode 2008-2013, Frans Lebu Raya dan Esthon L Fonay dalam program kerjanya untuk lima tahun ke depan telah memberi prioritas khusus bagi pengembangan ternak di daratan Pulau Timor dan Sumba. Kedua wilayah ini, dalam pencermatan dan analisa mereka, cocok untuk pengembangan ternak besar dan sedang, sedang wilayah Flores dan Alor serta Rote bagi pengembangan pertanian dan hortikultura. Pengembangan pertanian di daratan Pulau Timor dan Sumba kurang memberikan hasil yang maksimal karena wilayahnya kurang cocok untuk pengembangan potensi dimaksud. Demikian pun halnya dengan Flores, Alor dan Rote. Prioritas pengembangan ternak tersebut untuk mengembalikan kejayaan NTT sebagai salah satu gudang ternak di Indonesia yang kini mulai surut karena "pemaksaan" program kerja yang tidak tepat sasaran dengan potensi daerah. Brucellosis disebabkan oleh : bakteri Family Brucellaceae dari genus Brucella. Penyebab brucellosis di NTT disebabkan oleh Brucella abortus Sifat bakteri Brucella: Di alam : bertahan hidup untuk waktu yang cukup lama bila kondisi lembab temperatur yang dingin antara 10 15Cdan tidak tertimpa sinar matahari langsung Di dalam tubuh : semua jaringan kelenjar limfe bersifat latent infeksi, dikenal sebagai parasit intracellular dan di luar tubuh hewan Sumber Infeksi : Hewan penderita dan semua material yang dihasilkan pada saat terjadinya keguguran maupun kelahiran normal Hewan rentan : semua hewan berdarah panas terjadi pada semua umur Transmisi : Pada hewan : kontak langsung melalui selaput lendir saluran pencernaan dan pernafasan bagian atas, selaput lendir mata, selaput lendir alat kelamin betina (cervix) dan kulit yang terluka Penularan ke manusia : Konsumsi susu mentah dan produk susu yang tidak dimasak atau dipasteurisasi, kontak langsung Hewan yang rentan terhadap Brucelllosis : Semua hewan mamalia. Masa inkubasi : kurang dari 2 bulan pada anak sapi yang rentan dan tidak divaksinasi. Namun masa inkubasi sekitar delapan bulan atau tahunan Akibat Brucellosis Pada hewan : Abortus atau stillbirth, Retensi placenta , steril

orchitis (radang pada scrotum) dan epididymitis (jantan) Hygroma Pada manusia : Demam undulan (malta fever), lemah, letih, lesu, sakit kepala yang hebat Gejala seperti Flu atau Malaria.

You might also like