You are on page 1of 22

Sindrom Koroner Akut I. PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Jantung memiliki peranan yang besar dalam mengatur siklus kehidupan manusia. Apabila adanya gangguan terhadap sirkulasi kerja jantung, maka akan mengganggu kehidupan manusia. Gejala yang ditimbulkan juga tidak semuanya dapat terlihat sehingga sulit untuk mendiagnosis. Angina pectoris merupakan salah satu gejala yang sering ditemui, dengan gejala nyeri dada di sebelah kiri yang menjalar hingga ke rahang dan lengan. B. Tujuan Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui kelainan yang ditimbulkan dari gejala angina pectoris stabil. II. PEMBAHASAN A. Anamnesis Pasien datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau luar jantung. Jika dicurigai nyeri dada yang berasal dari jantung perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat miokard infark sebelumnya, serta faktor risiko lain seperti hipertensi, DM, merokok, stress, dll. Pada hampir setengah kasus, terdapat beberapa faktor pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stres, emosi, atau penyakit medis atau bedah. Walaupun STEMI dapat terjadi pada sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur. Nyeri dada. Bila dijumpai pasien dengan nyeri dada akut, perlu dipastikan secara cepat dan tepat apakah pasien menderita IMA atau tidak. Diagnosis yang terlambat atau salah dapat memperburuk penyakit. Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala cardinal pasien IMA, dengan sifat nyeri sbb:1 1. Lokasi : substernal, retrosternal, dan prekordial.

2. 3. 4. 5. 6. 7.

Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, Penjalaaran : biasanya ke lengan kiri, leher, rahang bawah, gigi, punggung, Nyeri membaik atau mengjhilang setelah istirahat, atau obat nitrat. Faktor pencetus: latihan fisik, stress, udara dingin. Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, mengindikasikan disfungsi miokard iskemik berat sebagai akibat infark

seperti ditusuk. perut, dan dapat juga hingga ke lengan kanan.

cemas, dan lemas. sebelumnya. B. Pemeriksaan 1. Gejala Klinis a. Gejala umum (Sistemik) Tekanan atau nyeri substernum atau dada sesak dengan atau tanpa penyebaran ke leher, rahang, bahu kiri, atau lengan; dispneu; mual atau muntah; kepala pening; stress; nyeri berkurang dengan istirahat/berkepanjangan/menetap.2 b. Gejala khusus (khas) Angina pectoris stabil: nyeri dada episodik saat pasien berolahraga atau mengalami bentuk stress lainnya. Nyeri mereda dengan istirahat atau pemberian nitrogliserin. Angina Prinzmetal: angina yang terjadi saat pasien beristirahat bahkan saat tidur. Angina pectoris tidak stabil: nyeri angina yang frekuensinya meningkat dipicu oleh olahraga dan serangan menjadi lebih intens, dan lebih lama dari angina pectoris stabil.

2. Pemeriksaan Fisik Tidak ada hal yang spesifik dalam pemeriksaan fisik. Sering pemeriksaan fisik normal didapatkan pada pasien tersebut. Mungkin, pemeriksaan fisis yang dilakukan waktu nyeri dada dapat menemukan adanya aritmia, gallop bahkan murmur, split S2 paradoksal, rongki basah bagian basal paru, yang menghilang saat nyeri berhenti. Hal-

hal lain yang bisa didapat dari pemeriksaan fisik adalah tanda-tanda adanya faktor risiko, misalnya tekanan darah tinggi. Denyut nadi, sering normal pada pasien dengan angina stabil. Selama serangan akut, takikardia atau aritmia transien (misalnya fibrilasi atrium (AF), takikardia ventrikel) dapat terjadi. Takikardia saat istirahat atau pulsus alternans dapat mengindikasikan disfungsi miokard iskemik berat sebagai akibat infark sebelumnya. Selama episode iskemia akut, pasien akan mengalami cemas, takikardi, takipneu, kemungkinan ada rongki paru, S3, S4 atau murmur. Bila terjadi syok kardiogenik akan terjadi hipotensi dengan perfusi jaringan yang buruk .3 Sebagian besar, pasien cemas dan tidak dapat beristirahat. Seringkali ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal > 30 menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis dan hampir setengahnya adalah sebaliknya. Tanda fisis lain pada disfungsi ventrikuler adalah S4 dan S3 Gallop, penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung ke dua. Dapat ditemukan murmur midsistolik yang bersifat sementara karena disfungsi apartus katup mitral dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai 38o C dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca STEMI.1 3. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinine kinase (CK)MB dan cardiac specific troponin (cTn)T atau cTn 1 dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skelet, karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan segera mungkin dan tidak bergantung pada pemeriksaan biomarker. Peningkatan enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukan ada nekrosis jantung (infark miokard); 1 CKMB meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis, dan kardioversielektrik dapat meningkatkan CKMB.

cTn ada 2 jenis, yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam

bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari sedangkan cTn I setelah 5-10 hari. Pemeriksaan enzim jantung yang lain, yaitu: mioglobin: dapat deteksi 12 jam setelah infark dan mencapai puncak dalam Kreatinin kinase atau CK : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark LDH : meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark miokard mencapai 4-8 jam. miokard dan mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari. puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari. 1. Pemeriksaan EKG Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak kedatangan di IGD. Pemeriksaan EKG di IGD merupakan landasan dalam menentukan keputusan terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sadapan secara kontinyu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan.

Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis miokard infark gelombang Q, sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi thrombus tidak total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST. Pasien tersebut biasanya mengalami angina pectoris tidak stabil atau non STEMI. Pada sebagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa menunjukan gelombang Q disebut infark non Q. Istilah infark miokard transmural digunakan jika EKG hanya menunjukan gelombang Q atau hilangnya gelombang R dan infark miokard non transmural jika EKG hanya menunjukkan perubahan sementara segmen ST dan gelombang T.

2. Ekokardiografi Pemeriksaan ini bermanfaat sekali pada pasien dengan murmur sistolik untuk memperlihatkan ada tidaknya stenosis aorta atau kardiomiopati hipertropik. Selain itu dapat pula menentukan luasnya iskemi bila dilakukan waktu nyeri dada sedang berlangsung. 4 C. Diagnosis 1. Working diagnosis Infark miokard akut merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di negara maju. IMA dengan elevasi ST merupakan bagian dari spectrum sindrom koroner akut yang

terdiri dari angina pectoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST dan IMA dengan elevasi ST. Infark miokard dengan elevasi ST merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut yang gejalanya dapat ditandai dengan adanya serangan angina pectoris. Angina pectoris adalah rasa nyeri yang timbul akibat dari iskemi miokardium. Diagnosis infark miokard dengan elevasi ST dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST 2 mm, minimal pada 2 sadapan prekordial yang berdampingan atau 1 mm pada 2 sadapan ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnostic. Namun, keputusan memberikan terapi revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim, mengingat dalam tatalaksana infark miokard. 2. Differential diagnosis Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST (Non ST Elevation Myokardia l Infarction = NSTEMI) Angina Pektoris Tak Stabil (unstable angina = UA) dan infark miokard akut tanpa elevasi ST ( non ST Elevation Myokardial Infarction = NSTEMI ) diketahui merupakan kesinambungan dengan kemiripan patofisiologi dan gambaran klinis, namun berbeda derajat berat ringannya ,sehingga pada prinsip penatalaksanaan keduanya tidak berbeda. Yang terutama berbeda apakah iskemi yang terjadi cukup berat untuk mengakibatkan kerusakan miokard dan petanda kerusakan otot yang dapat diperiksa secara kuantitatif; yang tersering troponin I (Tn I), troponin T (Tn T), atau creatine kinase-MB (CK-MB). Jika sudah terbukti tidak ada petanda biokmia nekrosis miokard yang dikeluarkan, maka pasien dikatakan mengalami UA. Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika pasien dengan manifestasi klinis UA menunjukkan adanya nekrosis miokard berupa peningkatan biomarker jantung. Pada keadaan tersebut dapat terjadi perubahan pada segmen T atau gelombang T. Pada pasien UA, hal ini bisa saja terjadi, namun biasanya tidak menetap. Petanda dari kerusakan miokard dapat terdeteksi di dalam darah beberapa jam setelah kejadian nyeri iskemik, yang memberikan petunjuk untuk membedakan UA dan NSTEMI. Tabel 2. Perbedaan antara Angina tidak stabil,NSTEMI dan STEMI.

GERD Pemeriksaan a. Fisik Gejala klinis GERD digolongkan menjadi 3 macam, yaitu gejala tipikal, gejala atipikal, dan gejala alarm. 1. Gejala tipikal (typical symptom) Adalah gejala yang umum diderita oleh pasien GERD, yaitu: heart burn, belching (sendawa), dan regurgitasi (muntah) 2. Gejala atipikal (atypical symptom) Adalah gejala yang terjadi di luar esophagus dan cenderung mirip dengan gejala penyakit lain. Contohnya separuh dari kelompok pasien yang sakit dada dengan elektrokardiogram normal ternyata mengidap GERD, dan separuh dari penderita asma ternyata mengidap GERD. Kadang hanya gejala ini yang muncul sehingga sulit untuk mendeteksi GERD dari gejala ini. Contoh gejala atipikal: asma nonalergi, batuk kronis, faringitis, sakit dada, dan erosi gigi. 3. Gejala alarm (alarm symptom) Adalah gejala yang menunjukkan GERD yang berkepanjangan dan kemungkinan sudah mengalami komplikasi. Pasien yang tidak ditangani

dengan baik dapat mengalami komplikasi. Hal ini disebabkan oleh refluks berulang yang berkepanjangan. Contoh gejala alarm: sakit berkelanjutan, disfagia (kehilangan nafsu makan), penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan, tersedak. Penting untuk diperhatikan bahwa keparahan gejala tidak selalu berkaitan dengan keparahan esofagitis, tetapi berkaitan dengan durasi reflux. Pasien dengan penyakit yang nonerosif dapat menunjukkan gejala yang sama dengan pasien yang secara endoskopi menunjukkan adanya erosi esophagus.

b. Penunjang Endoskopi dilakukan pada pasien yang tidak merespon terapi, pasien yang mengalami gejala alarm, atau pasien yang mengalami gejala GERD terus menerus o Endoskopi saluran cerna bagian atas, untuk menemukan kerusakan esophagus. Pemeriksaan ini dapat didukung dengan pemeriksaan histopatologi. o Esofagografi dengan barium, akan tetapi pemeriksaan ini kurang sensitive. Etiologi1 Inflamasi esophagus bagian distal terjadi ketika cairan lambung dan duedonum termasuk asam lambung, pepsin, tripsin, dan asam empedu mengalami regurgitasi dalam esophagus. Penurunan tonus spingter esophagus bagian bawah dan gangguan motilitas meningkatkan waktu pengosongan dan terjadinya relaksasi transien spingter esophagus bawah secara berulang. Faktor yang meningkatkan waktu pengosongan esophagus termasuk didalamnya interaksi antara postur dan gravitasi, ukuran dan isi makanan yang dimakan, pengosongan lambung abnormal, dan kelainan peristalsis esophagus.

Epidemiologi Di USA, dilaporkan prevalensi GERD adalah 1139 pasien berusia 3-17 tahun. Di UK pada tahun 2000-2005 ditemukan 1700 anak dengan diagnosis awal GERD. Insiden ini menurun pada anak umur 1-12 tahun dan meningkat kejadiannya hingga berumur 16-17 tahun. GERD terdapat hampir lebih dari 75% pada anak dengan kelainan neurologi. Hal ini dihubungkan dengan kurangnya koordinasi antara peristaltik esophagus dan peningkatan tekanan intra abdominal yang berasal dari hipertonus otot yang dihubungkan dengan spastisitas. Di Indonesia sendiri insidens GERD sampai saat ini belum diketahui, tetapi menurut beberapa ahli, GERD terjadi pada 50% bayi baru lahir dan merupakan suatu keadaan yang normal.

Patofisiologi Gastroesophageal reflux adalah suatu proses fisiologis normal yang mucul beberapa kali sehari pada bayi, anak dan dewasa yang sehat. Pada umumnya berlangsung kurang dari 3 menit, terjadi setelah makan, dan menyebabkan beberapa gejala atau tanpa gejala. Hal ini disebabkan oleh relaksasi sementara pada sfingter esofagus bawah atau inadekuatnya adaptasi tonus sfingter terhadap perubahan tekanan abdominal. Kekuatan sfingter esofagus bawah, sebagai barier antirefluks primer, normal pada kebanyakan anak dengan gastroesophageal reflux. Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) terjadi jika isi lambung refluks ke esofafus atau orofaring dan menimbulkan gejala. Patogenesis GERD ini multifaktorial dan kompleks, melibatkan frekuensi refluks, asiditas lambung, pengosongan lambung, mekanisme klirens

esofagus, barier mukosa esofagus, hipersensitivitas visceral, dan respon jalan napas. Refluks paling sering terjadi saat relaksasi sementara dari sfingter esofagus bawah tidak bersamaan dengan menelan, yang memungkinkan isi lambung mengalir ke esofagus. Terjadi ketidakseimbangan antara factor defensive dan factor ofensif. Dimana factor defensive adalah : o LES (Lower Esophageal Sphincter) Menurunnya tonus LES dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograde pada saat terjadinya peningkatan tekanan intraabdomen. Factor yang dapat menurunkan tonus LES: hiatus hernia, makin pendek LES makin rendah tonusnya, obat-obatan seperti antikolinergik, theofilin, beta adrenergic dan factor hormonal kaena selama kehamilan peningkatan kadar progesterone dapat menurunkan tonus LES. o Bersihan asam dari lumen esophagus; Factor yang berperan adalah gravitasi, peristaltic, eksresi air liur dan bikoarbonat. Sering terjadi refluks pada malam hari karena selama tidur bersihan esophagus tidak aktif sehingga berpotensi menimbulkan kerusakan esophagus o Ketahanan epitel esophagus Esophagus tidak memiliki lapisan mukus yang melindungi mukosa esophagus. Mekanisme ketahanan tersebut terdiri dari : membrane basal, batas intraseluler yang membatasi difuse H+ ke jaringan esophagus, aliran darah esophagus yang mensuplai nutrient, oksigen dan bikarbonat, serta mengeluarkan H+ dan CO2, dan sel-sel esophagus mempunyai kemampuan untuk mentransport ion H+ dan Cl- intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat ekstraseluler. Faktor ofensifnya adalah asam lambung, dilatasi lambung, obstruksi gastric outlet , delayed gastric emptying. Penatalaksanaan o Modifikasi gaya hidup dengan memposisikan kepala lebih tinggi saat tidur, tidak makan sebelum tidur, berhenti merokok karena rokok menurunkan tonus LES, mengurangi konsumsi lemak, serta menghindari konsumsi alkohol dan minuman bersoda.

10

o o o

PPI, seperti Omeprazol, Lansoprazol, pantoprazol yang berperan dalam menghilangkan keluhan dan penyembuhan lesi esophagus. Antasida, dapat memperkuat tekanan sfingter esophagus bagian bawah. Dosisnya 4x1 sendok makan. Antagonis reseptor H2 Simetidin, Ranitidin, Famotidin, Nizatidin.

Obat prokinetik, seperti domperidon (meningkatkan tonus LES dan mempercepat pengosongan lambung), cisapride (menghilangkan gejala dan menyembuhkan lesi esophagus).

Komplikasi o Penyempitan kerongkongan (striktur esofagus). Kerusakan sel-sel di kerongkongan yang lebih rendah dari paparan asam menyebabkan pembentukan jaringan parut. Jaringan parut mempersempit jalur makanan, menyebabkan kesulitan menelan. o Luka terbuka di dalam kerongkongan (esofagus ulkus) Asam lambung sangat dapat mengikis jaringan di kerongkongan, menyebabkan luka terbuka untuk membentuk.. Ulkus esofagus mungkin berdarah, menyebabkan nyeri dan membuat menelan sulit. o Perubahan prakanker kerongkongan (esofagus Barrett). Dalam esofagus Barrett, warna dan komposisi jaringan lapisan perubahan esofagus bagian bawah. Perubahan ini dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker esophagus. Risiko kanker rendah, tetapi dokter anda mungkin akan merekomendasikan ujian reguler endoskopi untuk mencari tanda-tanda peringatan awal kanker esophagus.

Pencegahan Untuk mencegah penyakit, yang mulai dikenal luas sejak 2002 ini, masyarakat harus mengubah pola hidup dengan perbaikan konsumsi asupan yang seimbang. Perbanyak makan sayuran dan buah-buahan merupakan langkah

11

awal pencegahan GERD. Selain itu, banyak berolahraga. Manajemen stres juga sangat membantu.

Prognosis Baik. Kebanyakan orang menanggapi tindakan nonsurgical, dengan perubahan gaya hidup dan obat-obatan. Namun, banyak pasien perlu terus menggunakan obat untuk mengontrol gejala mereka.

D. Etiologi Penyakit jantung iskemik adalah sekelompok sindrom yang berkaitan erat yang disebabkan olehn ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen miokardium dan aliran darah. Penyakit jantung iskemik juga merupakan salah satu penyakit kardiovaskular yang timbul dengan keluhan dada seperti diikat atau nyeri seperti ditekan di bagian tengah dada yaitu angina atau infark miokard. Penyebab tersering PJI adalah menyempitnya lumen arteria koronaria oleh aterosklerosis, sehingga sering disebut penyakit jantung koroner. C. Epidemiologi Merupakan pembunuh nomor satu pada pria maupun wanita di Amerika Serikat. Lebih dari satu juta infark miokard terjadi pertahun di AS. Kematian akibat kardiovaskuler telah menurun 50% pada 3 dekade terakhir (angka penurunan ini tertinggi terjadi pada pria kulit putih dan terendah pada wanita kulit hitam). Diperkirakan bahwa lebih dari 2 juta warga AS menderita iskemia miokard silent dengan peningkatan risiko menderiota MI dan kematian mendadak. Bahkan dari tahun 2000-an dapat dipastikan kecenderungan penyebab kematian di Indonesia bergeser dari penyakit infeksi ke penyakit kardiovaskuler. Penyakit ini dapat timbul pada semua usia, tetapi paling sering pada usia lanjut, dengan insiden lebih dari 60 tahun pada laki-laki dan 70 tahun pada perempuan. D. Faktor risiko 1. Dapat Diubah (dimodifikasi) Hiperkolesterolemia Kolesterol, lemak dan substansi lainnya dapat menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah arteri, sehingga lumen dari pembuluh derah tersebut menyempit dan proses ini disebut aterosklerosis. Penyempitan pembuluh darah ini akan menyebabkan aliran darah menjadi lambat bahkan dapat tersumbat sehingga aliran derah

12

pada pembuluh derah koroner yang fungsinya memberi 02 ke jantung menjadi berkurang. Kurangnya 02 akan menyebabkan otot jantung menjadi lemah, sakit dada, serangan jantung bahkan kematian. Rokok Efek rokok adalah menyebabkan beban miokard bertambah karena rangsangan oleh katekolamin dan menurunnya konsumsi 02 akibat inhalasi CO. Katekolamin juga dapat menambah reaksi trombosis dan juga menyebabkan kerusakan dinding arteri, sedangkan glikoprotein tembakau dapat menimbulkan reaksi hipersensitif dinding arteri. Di samping itu rokok dapat menurunkan kadar HDL kolesterol tetapi mekanismenya belum jelas. Makin banyak jumlah rokok yang diisap, kadar HDL kolesterol makin menurun. Hipertensi Peningkatan tekanan darah merupakan beban yang berat untuk jantung, sehingga menyebabkan hipertropi ventrikel kiri atau pembesaran ventrikel kiri (faktor miokard). Keadaan ini tergantung dari berat dan lamanya hipertensi. Serta tekanan darah yang tinggi dan menetap akan menimbulkan trauma langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria, sehingga memudahkan terjadinya aterosklerosis koroner (faktor koroner). Hal ini menyebabkan angina pektoris, insufisiensi koroner dan miokard infark lebih sering didapatkan pada penderita hipertensi dibandingkan orang normal. Stress Obesitas Obesitas juga dapat meningkatkan kadar kolesterol total dan LDL kolesterol. Kurang aktifitas Diabetes Mellitus Intoleransi terhadap glukosa sejak dulu telah diketahui sebagai predisposisi penyakit pembuluh darah. Mekanismenya belum jelas, akan tetapi terjadi peningkatan tipe IV hiperlipidemi dan hipertrigliserid, pembentukan platelet yang abnormal dan DM yang disertai obesitas dan hipertensi. Tidak dapat diubah Usia Meningkatnya usia akan menyebabkan meningkat pula penderita PJK pembuluh darah mengalami perubahan progresif dan berlangsung lama dari lahir sampai mati. Tiap arteri menghambat bentuk ketuanya sendiri. Arteri yang berubah paling dini mulai pada usia 20 tahun adalah pembuluhcoroner. Arteri lain mulai bermodifikasi hanya setelah usia 40 tahun. terjadi pada laki-laki umur 35-44 tahun dan meningkat dengan bertambahnya umur. Juga diadapatkan hubungan antara umur

13

dan kadar kolesterol yaitu kadar kolesterol total akan meningkat dengan bertambahnya umur. Jenis KelaminMerupakan kenyataan bahwa wanita lebih sedikit mengalami serangan jantung di bandingkan pria. Rata-rata kematian akibat serangan jantung pada wanita terjadi 10 ma dari pria. Secara umum faktor resiko lebih sedikit menyebabkan kelainan jantung PJK .namun ketahanan wanita berubah setelah menopause. Hal ini diduga faktor hormonal seperti estrigen melindungi wanita. Ras Herediter

E. Patofisiologi STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat, yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika thrombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskular, di mana injuri ini dicetuskan oleh faktor seperti merokok, huioertensi, dan akumulasi lipid. Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, rupture, atau ulserasi, dan jika kondisi lokal atau iskemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi thrombus mural pada lokasi rupture yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitianm histologist menunjukkan plak koroner cenderung mengalami rupture jika mempunyai fibrous cap yang tipis dan inti kaya akan lipid. Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri Dario fibrin rich red thrombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respon terhadap terapi trombolitik. Selanjutnya pada lokasi rupture plak, berbagai agonis (kiolagen, ADP, epinefrin)memicu aktivasi trombosit yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan A2. Selain itu, aktivitas trombosit akan memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor memiliki afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut dan fibrinogen, di mana keduanya adalah molekul multivalent yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi. Koagulasi diaktivasi oleh pada pajanan faktor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protombin menjadi thrombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin.

14

Arteri koroner yang terlibat kemudian akan mengalami oklusi oleh thrombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin. Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas congenital, spasme koroner, dll. Sindrome iskemia koroner transien7 o Angina stabil Lesi aterosklerotik mengobstruksi aliran secara parsial. Stenosis pembuluh darah saluran proksimal menyebabkan autoregulasi pembuluh balik distal untuk mempertahankan aliran; bila stenosis melebihi resistensi jaringan distal, autoregfulasi tidak mampu lagi mengkompensasi. o Obstruksi aterosklerosis koroner yang berkembang secara perlahan memungkinkan perfusi kolateral sehingga risiko mengalami infark lebih kecil dan prognosis cukup baik, tetapi risiko MI dan kematian meningkat sesuai jumlah pembuluh darah yang terkena dan beratnya obstruksi. o Iskemia transien terjadi bila terdapat peningkatan kebutuhan miokard Metabolisme anaerob menyebabkan stimulasi laktat pada reseptor nyeri dan penghambatan kontraktilitas miokard mengakibatkan penurunan transien dalam fraksi ejeksi dengan kongesti paru dan perfusi jaringan perifer yang buruk. o Meskipun tidak ada infark akut dalam jaringan miokard pada angina stabil, iskemia yang berulang menyebabkan remodeling miokard iskemik dan mengakibatkan risiko gagal jantung. o Semakin banyak bukti mengenai prakondisi iskenmik yang menunjukkan bahwa iskemia episode singkat yang terjadi berulang kali dapat menginduksi mekanisme adaptif pada jaringan miokard yang bersifat melindungi selama kejadian iskemik berkepanjangan. Hasil metabolisme anaerob oleh miosit akan menghasilkan asam laktat yang menyebabkan stimulasi saraf simpatis aferen lainnya menyerbabkan nyeri di daerah substernum; stimulasi silang pada saraf simpatis aferen lainnya menyenankan nyeri menyebar ke leher, rahang, bahu kiri, atau lengan kiri. terhadap aliran koroner.

15

Sindrom koroner akut Terjadi apabila ada obstruksi koroner mendadak akibat pembentukan thrombus pada plak aterosklerosis. Komite Jantung Amerika menetapkan landasan bahwa beberapa lesi aterosklerotik stabil dan berkembang secara bertahap sehingga menyumbat lumen pembuluh darah, sementara lesi lain yang tidak stabil rentan terhadap rupture plak mendadak dan pembentukan thrombus mengakibatkan sindrom koroner akut pada angina tidak stabil, mengakibatkan miokard infark dan kematian. Plak yang tidak stabil dan rentan terhadap rupture adalah plak yang intinya kjaya akan LDL. Pecahnya plak terjadi akibat aliran tekanan darah, infalamasi dengan pelepasan berbagai mediator inflamasi , dan apoptosis sel pada tepi lesi. 8Dengan adanya plak, maka akan mengaktifkan rangkaian peristiwa pembekuan dan aktivitas trombosit yang menyebabkan pelepasan koagulan sehingga terjadi agregasi dan perlengketan trombosit. Trombus yang terbentuk akan menyumbat dengan cepat. Trombus ini akan menyumbat pembuluh darah tidak lebih dari 10-20 menit dengan kembalinya perfusi sebelum terjadinya nekrosis miokard yang bermakna. Angina tidak stabil terjadi sebagai angina awitan baru, angina yang terjadi saat istirahat. Pasien mungkin mengalami dispneu dan kecemasan yang semakin berat saat angina memburuk F. Penatalaksanaan Medika STEMI 1. Antitrombotik1 Tujuan primer pengobatan adalah untuk memantapkan dan mempertahankan patensi arteri koroner yang terkait infark. Tujuan sekunder adalah menurunkan ntendensi pasien menjadi thrombosis. Aspirin merupakan anti platelet standar pada STEMI. Klopidogrel harus diberikan sesegera mungkin pada semua pasien STEMI yang mengalami PCI. Pada pasien yang mengalami PCI, dianjurkan dosing loading 600 mg. Sedangkan yang tidak mengalami PCI dosis loading 300 mg dilanjutkan dosis pemulihan 75 mg per hari. Inhibitor glikoprotein menunjukan manfaat untuk mencegah komplikasi thrombosis pada pasien STEMI yang menjalani PCI. Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal jantung kongestif, riwayat emboli, trombusmural pada echocardiografi 2 dimensi atau fibrtilasi atriakl merupakan risiko tinggi tromboemboli paru siostemik. Pada keadaan

16

ini harus mendapat terapi anti thrombin kadar terapeutik penuh atau (UFH atau LMWH) selama dirawat, dilanjutkan terapi Warfarin sekurang-kurangnya 3 bulan. Pada pasca STEMI, dengan onset <12 jam yang tidak diberikan terapi reperfusi, atau pasien STEMI dengan onset >12 jam aspirin, klopidogren dan obat anti thrombin (heparin, enoksapirin atau fondaparinux) harus diberikan segera mungkin. 2. Penyekat beta Manfaat penyekat beta terhadap pasien STEMI, dapat dibagi menjadi: yang terjadi segera jika diberikan obat secara kuat dan diberikan dalam jangka panjang jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah infark. Pemberian penyekat beta akut IV memperbaiki keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark, dan menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius. Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk : sebagian besar pasien yang mendapat terapi inhibitor ACE. Kecuali pada pasien dengan kontraindikasi atau (pasien dengan gagal jantung atu fungis sistolik ventrikel kiri sangat menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik atau riwayat asma). 3. Inhibitor ACE Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap mortalitas bertambah dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Mekanisme yang melibatkan penurunan remodeling ventrikel pasca infark dengan penurunan risiko gagal jantung. Kejadian infark berulang juga lebih rendah pada pasien yang mendapat inhibitor ACE menahun pasca infark. Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pasien STEMI. Pemberian inhibitor ACE ahrus diberikan tanpa batas pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung. Pada pasien dengan pemeriksaan imaging menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global atau terdapat abnormalitas dinding global. Penelitian klinis dalam tatalaksana pasien gagal jantung trermasuk data dari penelitian klinis pada pasien STEMI menunjukkan bahwa angiotensin receptor bloker (ARB) bermanfaat pada pasien dengan fungsi ventrikel kiri menurun atau gagal jantung klinis yang tak toleran terhadap inhibitor ACE. 4. Aspirin Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada spectrum sindrom koroner akut. Inhibise cepat siklooksigenase trombosit yang

17

dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325 mg diruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.

ANGINA STABIL: 1. Nitrat sublingual atau spray : untuk episode nyeri atau profilaksis terhadap aktivitas yang diketahui mencetuskan angina; nitrat topical atau oral bila angina terjadi lebih dari 3-4 kali perminggu. 2. Penyekat beta terutama pada pasien takikardi atau hipertensi, hindari pada lansia dan gangguan PPOK. 3. Calcium channel blokers harus ditambahkan pada penyekat beta bila nyeri tidak hilang. Non medika STEMI Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventricular yang aritmia. Sasaran terapi reperfusi pada psien STEMI adalah door-to-needle ( atau medical contact-toneedle) time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau doorto-balloon (atau medical contact-to-balloon) time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit. Percutaneus Coronary Intervention (PCI), biasanya angiplasti dan/atau stenting tanpa didahului fibrinolisis disebut PCI primer. PCI ini efektif dalam mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan dalam beberapa jam pertama infark miokard. PCI primer lebih efektif dari fibrinolisis dalam membuka arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka panjang dan jangka pendek yang lebih baik.

18

ANGINA STABIL: 1. Perubahan gaya hidup 2. Bila dari hasil pemeriksaan non invasive mennunjukkan adanya gangguan pada 3 pembuluh darah atau penyakit utama koroner kiri, maka indikasikan PTCA atau CABG. 3. Bila nyeri menetap atau memberat, dilaksanakan katerisasi dan kemungkinan PTCA dengan atau tanpa stenting atau CABG. Bila angina tidak teratasi, pertimbangkan revaskularisasi miokardium perkutan (PMR). G. Pencegahan Olahraga dapat mengurangi risiko sebanyak 45%, penurunan berat badan sebanyak 55%. Pengontrolan tekanan darah dengan gaya hidup, diet, dan obat-obatan dapat menurunkan risiko secara bermakna. Diet: mengurangi lemak dan kolesterol diet menurunkan risiko jantung Berhenti merokok

H. Komplikasi Disfungsi ventricular1 Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan sereal dalam bentuk, ukuran, dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut remodeling ventricular dan umumnya mendahului perkembangannya gagal jantung secara kilnis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark. Setelah infark ventrikel kiri mengalami dilatasi secara akut, hasil ini berasal dari ekspansi infark al: slippage serat otot, disrupsi sel miokardial normal dan hilangnya jaringan dalam zona nekrotik. Selanjutnmya, terjadi pula

19

pemanjangan segmen non infark, mengakibatkan penipisan yang disproporsional dan elongasi zona infark. Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apex ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lenih sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk. Progresivitas dilatasi dan konsekuensi klinisnya dapat dihambat dengan terapi inhibor ACE dan vasodilator. Pada pasien dengan fraksi ejeksi <40% tanpa melihat ada tidaknya gagal jantung, inhibitor ACE harus diberikan.

Gangguan hemodinamik Gagal pemompaan atau pump failure merupakan penyebab utama kematian di RS pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda klinis yang tersering dijumpai adalah ronki basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4 Gallop. Pada pemeriksaan rontgen sering ditemukan kongesti paru. Gagal Jantung Gagal jantung (Heart Failure) umumnya didefinisikan sebagai ketidakmampuan jantung untuk memasok aliran darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Ini memiliki berbagai kriteria diagnostik, dan istilah gagal jantung sering salah digunakan untuk menjelaskan penyakit jantung terkait lainnya, seperti infark miokard (serangan jantung) atau serangan jantung. Penyebab gagal jantung (Heart Failure) termasuk infark miokard (serangan jantung) dan bentuk lain dari penyakit jantung iskemik, hipertensi, penyakit jantung katup, dan cardiomyopathy. Gagal jantung dapat menyebabkan sejumlah gejala termasuk sesak nafas (biasanya lebih buruk ketika berbaring datar, yang disebut ortopnea), batuk, kongesti vena kronis, pergelangan kaki bengkak, dan intoleransi latihan. Gagal jantung sering tidak terdiagnosa karena kurangnya definisi universal yang disepakati dan tantangan dalam diagnosis definitif. Pengobatan umumnya terdiri dari langkah-langkah gaya hidup (seperti berhenti merokok, cahaya latihan termasuk protokol pernapasan, penurunan asupan garam dan perubahan pola makan lainnya) dan obat-obatan, dan kadang-kadang peralatan atau bahkan operasi.8 Gagal jantung adalah kondisi umum, mahal, menonaktifkan, dan berpotensi mematikan. Gagal jantung berhubungan dengan kesehatan fisik dan mental secara signifikan berkurang, sehingga kualitas hidup menurun tajam. Dengan pengecualian gagal jantung disebabkan oleh kondisi reversibel, kondisi biasanya memburuk dengan waktu. Meskipun

20

beberapa orang yang bertahan hidup bertahun-tahun, penyakit progresif dikaitkan dengan tingkat kematian secara keseluruhan tahunan sebesar 10%. I. Prognosis Indikator prognosis penting pada pasien dengan angina pektoris meliputi fungsi LV, respon gejala pada perawatan medis, umur, luasnya penyakit arteri koroner,beratnya gejala dan yang terpenting adalah jumlah otot jantung yang masih berfungsi normal. Makin luas arteri koroner yang terkena atau makin buruk penyumbatannya, maka prognosisnya makin jelek. J. Pencegahan Pencegahan terbaik untuk menurunkan resiko penyakit jantung koroner seperti: 9 a. Mengkonsumsi nitroglycerin sebelum melakukan aktivitas yang memicu terjadinya angina. b. Berusaha untuk mencegah stress berlebih, mengkontrol tekanan darah, diabetes, dan kolesterol, berhenti merokok c. Memakan makanan sehat rendah lemak dan kolesterol, serta buah-buahan dan sayuran, olahraga teratur, menurunkan berat badan jika kelebihan berat badan. d. Vitamin E atau C, antioksidan, asam folat dapat menjadi terapi pencegahan untuk resiko penyakit jantung. e. Konsumsi alcohol dapat menurunkan resiko masalah penyakit jantung (1 gelas/hari untuk wanita, 2 gelas/hari untuk pria). Tetapi, mengkonsumsi alcohol berlebih dapat membangkitkan penyakit jantung. III. PENUTUP Adanya gejala seperti nyeri dada sebelah kiri yang timbul saat beraktivitas dan membaik saat beristirahat merupakan salah satu gejala dari angina pectoris yang stabil juga disertai elevasi ST yang merupakan STEMI (ST Elevasi Miocard Infark). Untuk itu, pasien harus diperiksa secara menyeluruh untuk mendapatkan diagnosis yang pasti.

21

DAFTAR PUSTAKA 1. Idrus Alwi. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 2. Edisi V. Jakarta: interna publishing; 2010, hal 1741-1756. 2. Davey P. At a glance medicine. Dalam Nyeri dada. Editor: Amalia Safitri. Jakarta: Erlangga; 2007, hal 10. 3. H Huon, Dawkins KD, Simpson LA, Morgan JM. Lecture notes: kardiologi. Dalam sindrom koroner akut. Editor Azwar Agus, Asri Dwi R, Hamed Oemar. Edisi 4. Jakarta: Erlangga, 2005, hal 108-116. 4. Harijanto PN, Setiawan B, Zulkarnain I. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Dalam Infark miokard akut dengan elevasi ST oleh Idrus Alwi. Sudoyo WA, Setiyohadi B, Alwi I, penyunting. Edisi 5 (II). Jakarta: Interna Publishing; 2009, hal 718-20. 5. Robbins, Cortan, Mitchell RN. Buku saku dasar patologi penyakit. Edisi 7. Jakarta: EGC, 2008, hal 331. 6. Valentina L. Brashers. Aplikasi klinis patofisiologi. Jilid 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2008, hal 35-42. 7. Kumar, Cotran, Robbins. Buku ajar patologi. Edisi 7. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran ECG; 2007, hal 409.

22

You might also like