You are on page 1of 11

IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT LANDSAT ETM+

OLEH: ZULHAM EFENDI IRFAN/ P0204210513

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR


PROGRAM STUDI PERENCANAAN PENGEMBANGAN WILAYAH
KONSENTRASI MANAJEMEN PERENCANAAN 2011

IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT LANDSAT ETM+ A. Pendahuluan Seiring dengan meningkatnya pengembangan wilayah di Indonesia dan disertai dengan laju pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi setiap tahunnya, telah mengakibatkan tingkat penggunaan lahan secara meluas. Padahal ketersediaan lahan sangat terbatas dari segi luas dan daya dukungnya terhadap kebutuhan manusia. Sehingga dengan keterbatasan lahan yang tersedia sering melahirkan konflik-konflik terhadap penggunaan lahan. Konflik penggunaan lahan ini terjadi dengan adanya benturan kepentingan antar sektoral dan pembangunan yang disebabkan oleh pertambahan penduduk. Konflik penggunaan lahan tersebut bisa dalam bentuk alih fungsi lahan, seperti perubahan lahan sawah, tegalan, hutan, menjadi daerah pemukiman, pertokoan, perkantoran, jalan dan sarana perhubungan. Selain melahirkan konflik penggunaan lahan, penggunaan lahan secara besarbesaran juga telah mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan hidup sebagai akibat dari pemanfaatan lahan tanpa memperdulikan keseimbangan ekologi. Suatu wilayah bisa jadi sukses dalam meningkatkan ekonomi daerahnya namun gagal dalam mempertahankan kelestarian lingkungan. Wujud dari terganggunya ekosistem tersebut dapat dilihat dengan terjadinya berbagai peristiwa bencana alam dan perubahan iklim secara ekstrim. Untuk mencegah semakin meluasnya konflik penggunaan lahan dan kerusakan ekologi maka diperlukan suatu upaya perencanaan yang terpadu, seperti rencana tataguna lahan. Rencana tataguna lahan sangat diperlukan untuk mewujudkan kondisi pemanfaatan lahan yang berkelanjutan. Pemanfaatan lahan yang berkelanjutan ini hanya dapat terjadi bila distribusi dan pemanfaatan berbagai jenis lahan masih mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan ekologi. Untuk mencapai upaya pembuatan rencana tataguna lahan tersebut maka sangat diperlukan data sumberdaya alam, teknik analisis dan pengolahan data yang tepat dan cepat serta model pendekatan perencanaan yang komprehensif. Salah satu data sumberdaya alam yang diperlukan dalam penyusunan rencana tataguna lahan adalah peta tutupan lahan. Peta tutupan lahan yaitu peta yang memberikan informasi mengenai jenis objek-objek yang tampak di permukaan bumi. Ketepatan informasi tutupan lahan akan memberikan kemudahan dalam melakukan analisa perencanaan tataguna lahan atau pengembangan suatu wilayah. Untuk mendapatkan tingkat akurasi yang tinggi dan mempersingkat waktu perencanaan, pembuatan peta tutupan lahan dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh yang dalam prosesnya menggunakan perangkat lunak pengolah citra. Pada tulisan ini akan dikemukakan proses pembuatan peta tutupan lahan (land cover) Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan yang merupakan sebagai hasil kegiatan pratikum dalam membuat peta tutupan lahan. B. Tujuan Kegiatan Tujuan kegiatan pratikum ini adalah untuk melatih mahasiswa agar mampu melakukan proses pengkayaan dan pembuatan klasifikasi citra tutupan lahan Kabupaten Maros dengan menggunakan software Idrisi 32 dan citra satelit Landsat ETM+.

C. Tinjauan Pustaka Land cover dan land use Land cover (tutupan lahan) dan land use (penggunaan lahan) merupakan dua istilah yang sering digunakan untuk kajian permukaan bumi. Beberapa sumber memisahkan dengan tegas batasan keduanya. Lillesand dan Kiefer (1979 dalam Ulfah, 2006) tutupan lahan berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi, sedangkan penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada obyek tersebut. Pendapat Townshend dan Justice (1981 dalam Ulfah,2006) mengenai penutupan lahan, yaitu penutupan lahan adalah perwujudan secara fisik (visual) dari vegetasi, benda alam, dan unsur-unsur budaya yang ada di permukaan bumi tanpa memperhatikan kegiatan manusia terhadap obyek tersebut. Barret dan Curtis (1982 dalam Ulfah,2006) mengatakan bahwa permukaan bumi sebagian terdiri dan kenampakan alamiah (penutupan lahan) seperti vegetasi, salju, dan lain sebagainya. Dan sebagian lagi berupa kenampakan hasil aktivitas manusia (penggunaan lahan). Adapun menurut Badan Pertanahan Nasional (BPN), penggunaan lahan (land use) adalah wujud dan kegiatan atau usaha penduduk untuk memanfaatkan tanah untuk memenuhi kebutuhan, baik materiil maupun spiritual, secara tetap atau berkala oleh instansi badan hukum atau perorangan (BPN, 2011). Penginderaan jauh (Remote Sensing) Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lilesand, 2004). Menurut Lindgren, penginderaan jauh merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh dan menganalisis informasi tentang bumi. Informasi itu berbentuk radiasi elektromagnetik yang dipantulkan atau dipancarkan dari permukaan bumi (1985 dalam Sutanto, 1994). Data spasial adalah data yang memiliki referensi ruang kebumian (georeference) dimana berbagai data atribut terletak dalam berbagai unit spasial (Wikipedia.org). Data spasial yang pada umumnya diwujudkan baik sebagai peta analog (dicetak di atas media kertas) maupun digital merupakan salah satu sumber daya yang termasuk langka dan mahal pada saat ini. Karena peta analog atau peta digital merupakan gambaran atau potret bentang alam yang sangat komprehensif, jujur, dan yang terdekat dengan realitas (Prahasta, 2008). Citra digital hasil penginderaan jauh antara lain citra Quickbird, IKONOS, Landsat TM, SPOT, NOAA dan lain-lain. Citra Landsat Landsat merupakan satelit sumber daya bumi yang pada awalnya bernama ERTS-1 (Earth Resources Technology Satellite) yang diluncurkan pertama kali tanggal 23 Juli 1972. Satelit ini mengorbit bumi selaras matahari (Sun Synchronous). Satelit Landsat 1-7 merupakan proyek dari NASA. Ada 7 satelit yang telah diluncurkan sejak tahun 1972, yaitu: 1. Landsat 1 1972-1978 MSS 2. Landsat 2 1975-1982 MSS 3. Landsat 3 1978-1983 MSS 4. Landsat 4 1982-1987 MSS, TM 5. Landsat 5 1985-present MSS, TM 6. Landsat 6 1993 hilang pada saat peluncuran 7. Landsat 7 1999-sekarang, ETM+

Sensor Landsat 1,2,dan 3 mempunyai lebar cakupan rekaman 185 Km dengan ketinggian orbit 920 Km. Landsat 1 dan 2 membawa sensor RBV (Return Beam Vidicon) dan MSS (Multispektral Scanner). Landsat 3 ditambah saluran termal sebesar 10.4- 12.6 m. Generasi selanjutnya Landsat 4 dan 5 disamping tersedia empat sensor MSS juga ditambah sensor TM (Thematic Mapper), dan untuk Landsat 6 ditambahkan ETM (Enhance Thematic Mapper) dengan penambahan saluran termal sebesar 10.4-12.6 m disertai dengan perubahan ketinggian orbit menjadi 705 Km. Landsat ETM+ memiliki panjang gelombang yag cakupannya luas, termasuk sinar tampak, sinar infrared, dan band thermal. Band thermal meliputi band 6A dan band 6B yang dapat mendeteksi suhu permukaan di bumi. Untuk jenis, panjang gelombang serta fungsi dari saluran/band yang terdapat pada landsat dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 1. Panjang Gelombang yang Digunakan pada Setiap Saluran Landsat
Saluran/ band Saluran 1 Saluran 2 Saluran 3 Saluran 4 Saluran 5 gelombang Gelombang biru Gelombang hijau Gelombang merah Gelombang inframerah dekat Gelombang inframerah pendek Gelombang inframerah termal Gelombang inframerah pendek Panjang gelombang (m) 0.45-0.52 0.52-0.60 0.63-0.69 0.76-0.90 1.55-1.75 Fungsi Membedakan kejernihan air dan membedakan antara tanah dengan tanaman. Mendeteksi tanaman. Membedakan tipe tanaman lebih dari band 1 dan 2. Meneliti biomas tanaman, dan membedakan batas tanahtanaman dan daratan-air. Menunjukan kandungan air tanaman dan tanah, berguna untuk membedakan tipe tanaman dan kesehatan tanaman, serta membedakan antara awan, salju, dan es. Bergunan untuk mencari lokasi kegiatan geothermal, mengukur tingkat stress tanaman, kebakaran, dan kelembaban tanah. Berhubungan dengan mineral, ratio antara band 5 dan 7 berguna untuk mendeteksi batuan dan deposit mineral.

Saluran 6 Saluran 7

10.40-12.50 2.08-2.35

(Sumber: Purwadhi, 2001) Klasifikasi citra Klasifikasi citra digital merupakan suatu proses penyusunan, pengurutan, atau pengelompokkan semua piksel kedalam beberapa kelas (kelompok) berdasarkan suatu kriteria atau kategori objek yang bertujuan untuk menghasilkan peta tematik (Prahasta, 2008). Setiap piksel yang terdapat di dalam setiap kelas hasil klasifikasi diasumsikan memiliki karakteristik yang homogen. Tujuan proses ini adalah untuk mengekstrak pola-pola respon spektral (terutama yang dominan) yang terdapat didalam citra itu sendiri, pada umumnya berupa kelas-kelas penutup lahan (land cover) dan tata guna lahan (land use). Didalam proses pengklasifikasian citra digital ini, secara umum dikenal dua kelompok metode yaitu klasifikasi tidak terawasi (unsupervised classification) dan klasifikasi terawasi (supervised classification). Pada metode klasifikasi tidak terawasi proses klasifikasi digunakan untuk mengelompokkan piksel-piksel citra berdasarkan aspek statistik (matematis) semata, tanpa ada kelas-kelas yang didefinisikan sendiri oleh pengguna (training sites/areas). Sedangkan klasifikasi terawasi merujuk pada keberadaan kelas-kelas yang didefinisikan oleh pengguna (Prahasta, 2008). Penggunaan istilah terawasi disini mempunyai arti berdasarkan suatu referensi

penunjang, dimana kategori objek-objek yang terkandung pada citra telah dapat diidentifikasi. Klasifikasi ini memasukkan setiap piksel citra tersebut kedalam suatu kategori objek yang sudah diketahui. Proses klasifikasi disebut tidak terawasi, bila dalam prosesnya tidak menggunakan suatu referensi penunjang apapun. Hal ini berarti bahwa proses tersebut hanya dilakukan berdasarkan perbedaan tingkat keabuan setiap piksel pada citra. Klasifikasi citra tak terawasi mencari kelompok-kelompok (cluster) piksel-piksel, kemudian menandai setiap piksel kedalam sebuah kelas berdasarkan parameter-parameter pengelompokkan awal yang didefinisikan oleh penggunanya. D. Metode Pelaksanaan Pada kegiatan pratikum ini akan dilalui empat tahapan proses pengolahan data, yaitu tahap pembuatan citra komposit, klasifikasi citra menggunakan metode Supervised, klasifikasi citra menggunakan metode Unsupervised, dan deliniasi luas Kabupaten Maros. Diagram alir untuk pratikum ini dapat dilihat pada Gambar 1. Data yang akan diolah merupakan data yang bersumber dari Citra satelit Landsat ETM+ yang diakuisisi tahun 2002 dan mencakup wilayah Kabupaten Maros dan sekitarnya. Proses pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software Idrisi vesi 32 . Diagram Alir Klasifikasi Tutupan Lahan
CITRA LANDSAT ETM+

COMPOSITE BAND 1,2,3.

KLASIFIKASI UNSUPERVISED

KLASIFIKASI SUPERVISED

PETA KLASIFIKASI TUTUPAN LAHAN DELINIASI LUAS KABUPATEN MAROS

PETA TEMATIK TUTUPAN LAHAN

Gambar 1 : Diagram Alir Klasifikasi Tutupan Lahan E. Hasil dan Pembahasan Pada pratikum ini, citra yang digunakan adalah citra landsat ETM+ meliputi wilayah Kabupaten Maros dan sekitarnya. Luas cakupan citra tersebut adalah 76.217 x 57.933 m = 4415.479,461 km2 atau 441.547,9 Ha. Citra tersebut telah teregistrasi koordinatnya dalam bentuk koordinat UTM (universal Transverse Mercator) dengan koordinat sudut kiri bawah (x,y) 761678 mT, 9421809 mU dan sudut kanan atas (x,y) 837895 mT, 9479742 mU. Citra yang digunakan terdiri dari tiga band saja, yaitu band 1 (biru), band 2 (hijau) dan

band 3 (merah). Secara berurutan proses dan hasil pratikum pembuatan peta klasifikasi tutupan lahan Kabupaten Maros dapat diperhatikan pada uraian berikut ini. Langkah pertama yang dilakukan adalah membuat komposit citra, komposit ini dibuat dengan cara melakukan paduan citra band 1, band 2 dan band 3 yang telah tersedia dengan menggunakan software Idrsi32. Komposit ini dibuat untuk mempertajam kontras citra, sehingga perpaduan dari band citra tersebut dapat memperjelas penampakan objek-objek dalam citra yang dipresentasikan dalam bentuk warna dan nilai digit yang berbeda-beda (DN) dari masing-masing band yang telah dikomposit. Hasil komposit band 1,2 dan 3 dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

BAND 1 (BIRU)

BAND 2 (HIJAU)

(Composite Band 3,2,1)

BAND 3 (MERAH)

Gambar 2: Proses Pembuatan Citra Composite Dengan hasil komposit yang telah dibuat, identifikasi terhadap tutupan lahan sudah bisa dilakukan dengan cara menginterpretasikan warna-warna yang tampak di dalam citra komposit tersebut. Selain pemahaman warna, pengetahuan terhadap lokasi juga diperlukan dalam menginterpretasi jenis penampakan yang terdapat di dalam citra komposit. Hal tersebut diperlukan agar hasil yang diperoleh dari interpretasi citra benar-benar sesuai dengan kenyataan di lapangan, meskipun setelah itu pengujian atau verifikasi di lapangan tetap dilakukan. Dari interpretasi citra komposit di atas diperoleh hasil sebagai berikut: Warna hitam/gelap sebagai presentasi air sungai/laut warna Kelabu Tua sebagai presentasi kebun/ladang Warna Merah-Keunguan sebagai presentasi sawah Warna Hijau Cerah sebagai presentasi semak/hutan jarang Warna Putih Cerah sebagai presentasi awan

Warna Hijau Tua sebagai presentasi Hutan lebat dan Warna Merah Spot-spot sebagai presentasi pemukiman/kawasan industri Setelah proses pembuatan dan interpretasi terhadap citra komposit dilakukan, proses berikutnya adalah membuat klasifikasi citra. Pembuatan klasifikasi citra dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu metode terbimbing (supervised method) dan metode tidak terbimbing (unsupervised method). Pada metode terbimbing, teknik klasifikasi citra yang dipakai adalah teknik pemisahan nilai digit (DN) berdasarkan nilai batas tertentu (gray-level thresholding). Dalam hal ini akan dilakukan klasifikasi air dan daratan dari citra yang memiliki tingkat kontras warna yang lebih baik. Berdasarkan proses pengamatan, maka citra band 2 memiliki kontras yang sangat baik dibanding citra band 1 dan 3. Perbedaan kontras ini terjadi karena masing-masing band citra memiliki panjang gelombang dan tingkat rekfletansi yang berbeda atas hasil pemotretan objek-objek bumi. Dengan menggunakan citra band 2, dilakukan identifikasi batas nilai digit (DN) citra yang akan digunakan sebagai batas pemisah antara air dan daratan. Untuk mempermudah identifikasi batas nilai tersebut maka dapat digunakan tools histogram yang terdapat pada software idrisi32. Histogram akan mempresentasikan seluruh nilai-nilai digit yang terdapat dalam sel citra kedalam bentuk grafik batang. Nilai-nilai digit tersebut merupakan presentasi dari penampakan objek-objek bumi yang ada di dalam citra. Berdasarkan pengamatan dari hasil histogram, diperoleh batas nilai digit pemisah antara air dan daratan adalah 15. Dengan demikian semua nilai digit mulai dari 0 hingga dibawah 15 dikategorikan kedalam kelas air, sedangkan nilai digit mulai dari 15 hingga dibawah 256 dikategorikan kedalam kelas daratan. Dengan menggunakan tool reclass pada Idrisi32 maka hasil klasifikasi air dan daratan untuk citra band 2 dapat dilihat pada gambar berikut ini:

LEGENDA
CITRA BAND2

Air Darat

Peta Air_Darat

HISTOGRAM CITRA BAND2

Gambar 3: Proses Pembuatan Peta Klasifikasi Air_Darat

Adapun klasifikasi citra menggunakan metode tidak terbimbing dilakukan dengan membuat beberapa cluster yang diwakilkan oleh warna tertentu dari citra komposit yang telah dibuat sebelumnya. Hasil pembuatan cluster dari citra komposit dapat dilihat di bawah ini:

(Composite Band 3,2,1)

Peta cluster

Gambar 4: Proses Pembuatan Peta Cluster Dari hasil cluster di atas dapat diperhatikan bahwa cluster yang dibuat hanya ditentukan sebanyak lima buah kategori cluster dengan tampilan warna yang berbeda yaitu cluster1, cluste2, cluste3, cluste4 dan cluste5. Kategori cluster yang telah ada tersebut belum memberikan makna apa-apa terhadap peta klasifikasi tutupan lahan yang akan dibuat. Oleh karena itu harus dilakukan interpretasi terlebih dahulu terhadap kategori cluster yang telah dibuat dengan cara menyesuaikan pemahaman lokasi di peta dan menggunakan hasil interpretasi citra komposit yang telah dibuat di atas. Adapun hasil interpretasi terhadap kategori cluster tersebut adalah sebagai berikut: Cluster1 mewakili : laut/tambak Cluster2 mewakili : semak Cluster3 mewakili : kebun Cluster4 mewakili : hutan Cluster5 mewakili : sawah Hingga tahap ini, peta yang telah dihasilkan adalah peta klasifikasi air_darat dan peta cluster. Peta cluster yang telah ada belum mencerminkan peta klasifikasi tutupan lahan, sebab pada peta tersebut laut dan tambak masih diklasifikasikan dalam satu kelas. Untuk menjadikan keduanya berbeda kelas dalam peta klasifikasi tutupan lahan yang akan dibuat, maka perlu dilakukan overlay antara peta cluster dengan peta klasifikasi air_darat yang telah dibuat sebelumnya. Sehingga hasil overlay dari kedua peta inilah yang disebut sebagai peta klasifikasi tutupan lahan sebagaimana tampak di bawah ini:

Gambar 5: Peta Tutupan Lahan

Peta klasifikasi tutupan lahan di atas masih mencakup area Kabupaten Maros dan sekitarnya. Untuk mendapatkan luas masing-masing jenis tutupan lahan Kabupaten Maros maka perlu dilakukan delineasi peta yang mencakup Kabupaten Maros saja. Delineasi tersebut dilakukan dengan cara melakukan overlay peta klasifikasi tutupan lahan dengan peta administrasi Kabupaten Maros yang telah disediakan dalam pratikum ini. Dari hasil overlay yang telah dibuat, kemudian dihitung luas masing-masing jenis tutupan lahan yang mencakup Kabupaten Maros dengan menggunakan perintah menu Analysis>Database Query>Area pada Idrisi32. Akhir dari proses ini telah menghasilkan sebuah peta tematik tutupan lahan Kabupaten Maros sebagaimana dapat dilihat dibawah ini:

PETA TUTUPAN LAHAN KABUPATEN MAROS

Jenis Tutupan Lahan Kabupaten Maros


Luas (Ha) Laut 191347.3089014 Tambak 10187.3993870 Semak 43498.9778785 Kebun 33852.5607918 Hutan 28911.7191355 Sawah 27683.3689422

Gambar 6: Peta Tematik Tutupan Lahan Kabupaten Maros

F. Implikasi Berdasarkan uraian di atas, dapat diperhatikan bahwa peta tematik tutupan lahan Kabupaten Maros dengan secara cepat bisa dibuat dengan menggunakan teknologi informasi geospasial. Dari sisi perencanaan, teknologi ini sangat perlu digunakan dan dijadikan sebagai salah satu alat untuk menganalisis segala hal yang menyangkut dengan kebutuhan informasi spasial terutama pada saat menyusun rencana tata ruang suatu wilayah. Selain informasi yang dihasilkan dengan tingkat akurasi yang kuat, penggunaan teknologi informasi geospasial juga bisa mempersingkat waktu perencanaan dan mengurangi sejumlah biaya yang tidak diperlukan lagi dalam perencanaan.

Ada beberapa implikasi yang muncul bila teknologi informasi geospasial ini hendak dijadikan sebagai salah satu referensi informasi dalam pengambilan kebijakan perencanaan atau pengembangan wilayah, yaitu: 1. Membentuk infrastruktur dan sistem informasi geospasial terpadu. Agar tidak terbentuk ego sektoral dalam pengembangan data dan informasi spasial maka perlu disediakan infrastruktur dan sistem informasi geospasial terpadu. Dengan demikian data dan informasi geospasial hanya dikembangkan oleh satu badan/pihak saja, sedangkan pihak-pihak lain diberikan hak untuk mengakses data dan informasi geospasial yang telah dikembangkan tersebut. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari timbulnya inkonsistensi data dan informasi geospasial antar pihak-pihak yang melakukan perencanaan atau pengembangan wilayah. 2. Pengembangan sumberdaya manusia. Selain infrastruktur yang harus disiapkan, pemakaian teknologi sistem informasi geospasial juga memerlukan sumberdaya manusia yang handal. Dengan ketersediaan sumberdaya manusia yang handal maka data-data spasial yang dikelola dan diolah akan menjadi suatu informasi yang benar-benar mengandung subtansi informasi yang terkandung di dalam data spasial tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan pengembangan sumberdaya manusia dengan cara memberikan pelatihan dan pendidikan yang berhubungan dengan teknologi dan ilmu sistem informasi geospasial. 3. Ketersediaan dana. Tahap awal pengembangan sistem informasi geospasial tentu membutuhkan dana yang relatif besar. Dana tersebut digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan kelengkapannya, pelatihan dan pendidikan sumberdaya manusia, serta biaya operasional bagi staf yang melakukan pengolahan data. Namun setelah tahap awal berjalan, dana yang dibutuhkan untuk periode berikutnya semakin mengecil. Sebab dana pada periode berikutnya hanya digunakan untuk membiayai biaya operasional saja, seperti honor staf pengelola dan pengolah data, biaya pembelian citra satelit, biaya percetakan, biaya survey lapangan, biaya perawatan, serta biaya lainnya yang mendukung untuk operasional sistem informasi geospasial. G. Penutup Berdasarkan hasil pratikum pembuatan peta klasifikasi tutupan lahan Kabupaten Maros, dapat disimpulkan bahwa peran teknologi penginderaan jauh atau sistem informasi geospasial sangat diperlukan dalam proses analisis spasial. Selain menghemat biaya dan waktu, pemanfaatan teknologi penginderaan jauh atau sistem informasi geospasial bisa menghasilkan data dan informasi yang sangat akurat dan relevan. Sehingga dapat dijadikan sebagai acuan dalam membuat kebijakan atau perencanaan pengembangan suatu wilayah.

10

DAFTAR PUSTAKA

Al-Tamini, Salam dan Al-Bakri, J. T. 2005. Comparison Between Supervised and Unsupervised Classifications for Mapping Land Use/Cover in Ajloun Area. Jourdan Journal of Agricultural Sciences,Volume , No 1, 2005. Howard, J. A., 1996. Penginderaan Jauh Untuk Sumberdaya Hutan (teori dan Aplikasi). Gadjah Mada University Press. Bulaksumur, Yogyakarta. http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_informasi_geografis, diakses pada tanggal 04 September 2011. http://www.bpn.go.id/artikel, diakses pada tanggal 04 September 2011. Kiefer T. M. dan Lillesand R. W., 2004. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra (terj). Gadjah Mada University Press. Bulaksumur, Yogyakarta. Prahasta, Eddy, 2008. REMOTE SENSING Praktis Penginderaan Jauh & Pengolahan Citra Digital dengan Perangkat Lunak ER Mapper, Bandung: Penerbit INFORMATIKA. Sutanto, Penginderaan Jauh Jilid II, Edisi 2, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1994. Ulfah, Latifa, 2006. Skripsi: Analysis Quickbird Imagery Using Supervised and Unsupervised Classification, www.gunadarma.ac.id. Didownload pada tanggal 02 September 2011. Purwadhi, F. S. H., 2001. Interpretasi Citra Digital. Penerbit PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.

You might also like