You are on page 1of 12

Q-FEVER 2.1. Pendahuluan Pada tahun 1935 terjadi wabah demam yang tidak diketahui etiologinya.

Wabah ini menyerang para pekerja rumah potong hewan di Brisbane, Australia. Orang pertama yang melakukan investigasi penyakit tersebut adalah Edward Holbrook Derrick. Derrick memberi nama penyakit demam itu Query Fever (QFever) karena penyebab utama dari penyakit tersebut belum diketahui (Baca & Paretsky 1983). Kemudian Macfarlane Burnet dan Mavis Freeman berhasil mengisolasi bakteri intraselluler pada hewan coba yang diinjeksi oleh darah atau urine dari pasien Edward H. Derrick dan menamainya Rickettsia burnetii (Maurin & Roult 1999). Pada tahun 1938, Cornelius B. Philip mengusulkan untuk menciptakan genus baru yang bemama Coxiella dan merubah nama agen etiologi Q-Fever menjadi Coxiella burnetii. Hal ini dikarenakan setelah diteliti secara filogenik berdasarkan analisis sekuen 16s rRNa temyata Rickettsia burnetii lebih dekat dengan pseudomonas, j?ancisella dan legionella dari sub divisi gamma Protobacteria. Akan tetapi C. burnetii tetap memiliki perbedaan dari ketiga kelompok tersebut sehingga akhirnya berdiri sendiri sebagai genus Coxiella (Maurin & Roult 1999). Pada tahun 1940 C. burnetii berhasil diisolasi dari hewan maupun manusia, selain itu C. burnetii dapat ditenlukan secara persisten pada hewan dan manusia yang pemah terinfeksi sampai dengan kira-kira 3 tahun sejak terjadi infeksi (Marmion et al. 2002). Setelah pertama kali ditemukan pada tahun 1935, Q-Fever telal~m enyebar hampir di semua belahan dunia. Q-Fever sangat berpotensi menjadi penyakit yang sangat berbd~ayad i semua regional di dunia (Maurin & Roult 1999). 2.2. Biologi Agen Penyebab Coxiella burnetii adalah bakteri yang bersifat obligat intraseluler, kecil dengan lebar sekitar 0.2-0.4 p, panjang 0.4-1 pm, dan bersifat gram negatif.

Bakteri ini memilih dinding sel yang kompleks. Lapisan membran luarnya terdiri dari peptodoglikan, fosfolipida, polisakarida dan protein yang membentuk stnrktur khas lipopolisakarida yang dapat menghasilkan endotoksin (Lay 2002). Lapisan ini bersifat impermeable terhadap molekul besar, tetapi dapat berperan sebagai jalan masuk molekul-molekul kecil seperti nukleosida, oligosakarida,

monosakarida, dan asam amino (Merchant &Packer 1961) Coxiella bzlrnetii hidup dan berkembang di phagolisosom dari sel inang yang terinfeksi pada pH 4,8 (Raoult 1993). Bakteri ini juga memiliki spore-like cycle yang membuat C. bumetii resisten terhadap panas dan desinfeksi (Raoult 1993). Sehingga bakteri ini bersifat tahan terhadap pH rendah (asam), pemanasan, kekeringan, bahan kimia, serta resisten terhadap pasteurisasi (60,5"C) selama 30 menit (Merchant & Packer 1961). Coxiella bumetii inemiliki klasifikasi sebagai berikut ( Anonim 2007a) Kingdom : Bacteria Filum : Proteobacteria Kelas : Gamma Proteobacteria Order : Legionellales Family : Coxiellaceae Genus : Coxiella Spesies : Coxiella bumetii

Pewarnaan bakteri ini menggunakan pewarnaan Gimenez. Selain itu pewarnaan stamp's dengan pewarna 2% basic fuchsin dan cozrnlerslained nzethylen blue juga dapat digunakan sebagai alternatif (Maurin & Raoult 1999). Coxiella burnetii lnelnpunyai dua bentuk, yaitu fase satu dan fase dua. Fase satu dari C. burnetii umumnya dapat diisolasi dari bentuk infeksius pada hewan, manusia dan arthropoda serta mempunyai daya tahan terhadap lingkungan yang sangat tinggi. C. burnetii fase 2 umumnya diperoleh dari hasil passage berulang pada kultur sel di laboratorium (Maurin & Roult 1999). Kedua fase C. Burnetii memiliki susunan lipopolysaccharida (LPS) yang berbeda (Fournier et al. 1998). Menurut Hackstadt et a1 (1985), struktur LPS C. burnetii fase 1 lebih halus sedangkan LPS C. burnetii fase dua lebih kasar. Hal ini mengakibatkan Fase 1 lebih infeksius dibandingkan dengan fase 2 karena umumnya fase 2 diperoleh dari hasil passage berulang pada kultur sel di laboratorium (Maurin & Ro~11t 1999). Akan tetapi, meski memiliki susunan LPS yang berbeda, pada analisis Electrospray ioniztion-mass spectrometry melnperlihatkan bahwa lipid A yaug sama dapat diisolasi dari kedua fase. Hal ini merupakan fakta penting dalam infeksi C. Burnetii karena lipid A yang dimurnikan dari fase 1 dan 2 tidak mampu mengaktifkan Toll like receptor 2 (TRL-2) dan Toll like receptor 4 (TRL-4). Sedangkan molekul lipid A yang berasal dari LPS E. coli mampu mengintervensi sinyal TRL-4, sehingga diharapkan fakta ini dapat meinbatasi pertumbuhan agen di dalam sel inang (Coleman et 01.2004; Dario et al. 2004). Selain perbedaan LPS, terdapat perbedaan protein membran luar pada infeksi akut dan kronis. Berdasarkan penelitian yang diisolasi pada susu segar, caplak dan manusia penderita Q-fever akut dengan C. burnetii berbobot 28-kDa, diketahui bahwa protein membran luar bersifat imunodominan. Sedangkan pada kasus infeksi Qfever kronis, protein membran luar tidak bersifat imunodominan (Zhang et al. 2004). Coxiella burnetii dapat dikembangkan secara in vitro dan in vivo. Pada perkembangbiakan secara in vitro, dapat digunakan beberapa tipe sel seperti sel makrofag tikus (sel ~ 3 8 8 ~da1n J774), sel fibroblast (sel L929), dan sel vero. Sedangkan pada perkembangan secara in vivo, dapat digunakan media telur ayam

berembrio

atau

hewan

laboratorium

seperti

inencit

dan

babi

untuk

me~~~propagCa.s i bumetii (Baca & Paretsky 1983). Coxielln burnetii mengg~unakan reseptor eukaryotik yang spesifik seperti integrin untuk dapat masuk ke dalam sel inang. Coxiella burnetii fase I1 illemasuki sel monosit tnanusia dengan caa berikatan dengall reseptor CR3. Sedangkan C. burnetii fase I, terjadi penghambatan pada reseptor CR3 lalu berikatan dengan sel monosit manusia melalui kompleks LRI (leukocyte response integrin, a&) dan IAP (integrin-associated protein) sehingga C. burnetii fase I lebih bersifat infeksius daripada C. burnetii fase 11. Coxiella burnetii fase I hanya dapat dilemahkan oleh sel Makrofag dan sel monosit sedangkan sel yang lain tidak dapat melakukannya. Sedangkan C. burnetii fase I1 dapat dengan cepat dibunuh melalui phagolysosomal pathway (Maurin & Raoult 1999). 2.3. Epidemiologi Q-Fever merupakan penyakit endemik yang dapat terjadi di belahan dunia manapun selain antartika. Penyakit ini dapat menular melalui udara, kontak langsung ataupun dari materi yang terkontaminasi bakteri C. burnetii. Infeksi pada hewan dapat berlangsung beberapa tahun dan dapat juga berlangsung seumur hidup. Coxiella burnetii pada hewan biasanya terlokalisasi di kelenjar manae, limfonodus supramamae, uterus, plasenta, dan fetus. Hal ini mengakibatkan QFever dapat menyebar melalui feses, cairan amnion, plasenta, darah, air susu, kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi dan produksi hewan temak seperti susu, wol, daging. Bahkan pada sperma sapi jantan ditemukan C. burnetii. Hal ini memungkinkan transinisi Q-fever melalui kontak seksual dan ini telah dibuktikan pada mencit (Anonim 2003a; Foumier et al. 1998). Q-Fever juga dapat menular melalui plasenta, inokulasi intradernlal, melalui transfusi darah dan bangkai hewan. Salah satu kasus yang terjadi, seorang laboran terinfeksi C. burnetii setelah menekropsi hewan yang telah terinfeksi (Founlier et al. 1998). Hal ini memungkinkan hewan liar dapat terserang Q-Fever setelah memakan bangkai. Sedangkan penularan C. burnetii melalui saluran pencernaan, gigitan, maupun penularan antar manusia merupakan faktor kecil yang jarang terjadi (Maurin & Raoult 1999) Q-Fever memiliki reservoir yang bervariasi. Beberapa

contohnya adalah hewan liar, mamalia domestik, burung, dan arthropoda seperti kutu, tungau, dan beberapa lalat. Beberapa spesies kutu yang dapat menjadi vektor diantaranya Haemaphysalis humerosn, Dermacentor andersoni, Amblyonznia an7ericanum, Hnemciphysalis leporis-palustris, Dermacentor occidentalis, Ixodes dentatus, dun Ofobius megnini (Merchant & Packer 1961). Reservoir utama yang dapat menyebarkan Q-Fever kepada manusia adalah ruminansia yang

didomestikasi seperti sapi, kerbau, kambing dan domba. Hal ini karena tingginya tingkat kontak manusia dengan hewan tersebut baik secara langsung atallpun melalui produknya. Kasus Q-fever dapat pula dikaitkan dengan hewan kesayangan seperti kucing, anjing, kelinci, burung atau dengan hewan liar seperti ular (Anonim 2003a) Coxiella burnetii juga memiliki ketahanan yang baik pada kondisi yang tidak menguntungkan. Organisme ini dapat ditemukan sampai 30 hari pada air liur, 120 hari di debu, 49 hari di urine yang mengering (pada babi percobaan) dan 19 minggu pada feses kutu. Selain itu, pada suhu 4-6-~,o rganisme ini dapat bertahan selama 42 minggu dalam susu dan 12 bulan pada wol (Anonim 2003a). Q-fever telah inenjadi penyakit endemik di seluruh dunia kecuali Antartika dan New Zealand karena banyaknya variasi penyebarannya. Sebagai contoh di Benua Eropa, kasus Q-Fever akut banyak dilaporkan terjadi pada musim semi dan awal musim panas, selain itu penyakit ini juga dapat menyerang berbagai usia dan jenis kelarnin. Di Prancis selatan 5-8 % kasus endokarditis yang ditemukan mengacu pada C. burnetii. Menurut survei seroepidemiologi yang dilakukan, 18,3 % dari donor darah di Marocco, 26 % di Tunisia, 37 % di Zimbabwe, 44 % di Nigeria, 10- 37 % di Africa utara, dan 14,6- 36,6 % pada daerah berbeda di Kanada dilaporkan memiliki antibodi terhadap C. burnetii. Outbreak besar dari penyakit Q-fever selanjutnya juga telah dilaporkan di Spanyol, Switzerland, Berlin Jerman, Prancis dan Amerika serikat (Fo~~rnieetr 0 1. 1998; Anoni~n2 003a). 2.4. Patologi Pada Hewan Coxielln Burnetii dapat menginfeksi banyak spesies hewan, baik itu hewan domestikasi maupun hewan liar. Beberapa contoh spesies hewan yang telah diketahui dapat terinfeksi C. burnetii antara lain sapi, domba, kambing, babi,

anjing, kelinci, kuda, unta, banteng, rusa dan beberapa burung seperti ltakaktua, gagak, merpati dan walet. Selain itu dilaporkan juga bahwa C. burnetii dapat menginfeksi ular dan ikan. Dari semua spesies yang dapat terinfeksi C. burnetii, hewan domestikasi merupakan reservoir utarna yang dapat menyebarkan Q-fever kepada manusia. Hewan dolnestifikasi yang inenjadi reservoir utama adalah sapi, domba dan kambing (Anonim 2003a). Periode inkubasi pada hewan berbeda-beda dan tidak diketahui secara pasti berapa lama periode inkubasi pada hewan. Hal ini disebabkan karena Qfever pada hewan tidak memiliki gejala klinis yang jelas. Q-fever merupakan penyakit yang mudah menginfeksi hewan, akan tetapi hewan yang terinfeksi tidak memiliki gejala klinis yang jelas. Abortus, retensi placenta, endometritis dapat terjadi pada domba, kambing dan sapi. Selain gejala penyakit reproduksi, hewan terinfeksi tidak memiliki gejala klinis yang jelas. Kambing terkadang memiliki nafsu ~nakany ang rendah dan depresi selama satu atau dua hari sebelum aborsi. Dan dilaporkan juga kadang terjadi retensi plasenta sampai lima hari sebelum aborsi. Gejala klinis yang lain juga antara lain deinam, anorexia, batuk, rhinitis dan peningkatan respirasi terjadi pada hewan coba tetapi belurn pemah dilaporkan pada infeksi alami. Placentitis adalah bentuk patologis yang khas pada ruminansia. Plasenta terasa kasar dan tebal, berisi cairan benvama putih kekuningan, eksudat benvarna krem pada tepi-tepi cotyledon dan di area intercotyledon. Pada beberapa kasus eksudat benvanla coklat kemerahan dan memiliki konsistensi yang cair. Vaskulitis keras adalah sesuatu yang luar biasa, tetapi pembekuan darah dan vaskular inflamasi pantas menjadi catatan. Fetal pneumonia kadang ditemukan pada kambing dan sapi.' 2.5. Patologi pada manusia Infeksi asimptomatis Q-fever pada manusia dapat bersifat sii~lptoinatis dan

Infeksi yang bersifat simptomatis dibagi menjadi Q-fever akut dan Q-fever kronis (Anonim 2003a). Gejala klinis Q-fever akut menyernpai gejala penyakit flu disertai dengan delllam tinggi, sakit kepala, kelelahan, kedinginan, sakit pada tenggorokan, nyeri pada dada, myalgia dan malaise. Gejala ini berlangsung satu sampai tiga minggu, tetapi terkadang berlangsung sampai tiga bulan apabila terjadi atypical pneumonia Pada beberapa kasus akan terjadi hepatitis dan atypical pneumonia yang kejadiannya terga~ltungd engan regional geografis. Komplikasi Q-fever akut adalah pericarditis, myocarditis, aseptis meningitis, encephalitis, polyneuropathy, hemolytic anemia, optic neuritis, transient hypoplastic anemia, thyroiditis, gastroenteritis, pankreatitis, lymphadenopathy, erythrma nodosum, necrosis sumsum tulang, hemolytic uremic syndrome, splenic sindrome dan lainlain. Selain komplikasi-komplikasi tersebut, kadang terjadi infeksi sistemik serius dan biasa terjadi pada pasien Q-fever setelah transplantasi. Q-fever kronis merupakan perkembangan dari Q-fever akut dalanl durasi waktu yang lama setelah adanya sindrome Q-fever akut. Gejala klinis Q-fever kronis yang sering dilaporkan adalah endocarditis. Gejala endocarditis biasanya terjadi pada orang yang menderita immunosupressan atau memiliki kerusakan jantung. Selain endocarditis, gejala lain pada Q-fever kronis adalah infeksi osteoarticular, pneumonia fibrosis, osteoarthritis, osteomyelitis, tenosynovitis, spondyloiditis, paravertebral abses, psoas abses dan hepatitis. Q-fever yang bersifat asimptomatis memiliki persentase sampai 60% dan biasanya menyerang wanita harnil dengan persentase sekitar 98%. Pada wanita hamil, Q-fever dapat mei~gakibatkan kelahiran preinatur, abortus, plasentitis dan penurunan berat badan bayi yang dilahirkan. Q-fever akut pada manusia memiliki periode inlcubasi 2 sanlpai 48 hari dan rata-rata periode inkubasinya dua sampai tiga minggu. Sedangkan periode inkubasi Q-fever kronis lebih lanla yakni berbulan-bulan sai~~ptaahi unan dan belum ada angka periode secara pasti. Q-fever menyebar ke manusia secara langsung melalui udara (aerosol) dan kontak langsung dengan hewan dan produk asal hewan. Selain itu konsumsi produk hewan yang tidak diproses secara higiene pangan juga dapat menjadi salah satu cara penyebaran Q-fever. Penyebaran Q-

fever dari manusia ke manusia sangat jarang terjadi, sehingga isolasi biasanya tidak dibutuhkan. Q-fever merupakan penyakit zoonosis yang bersifat global karena hampir terjadi pada semua tempat di belahan dunia kecuali New Zealand dan Antartika. Beberapa negara yang telah melaporkan terjadinya Q-fever adalah Jerman, Prancis dan Amerika Serikat. Rasio kejadian Q-fever di Jerman adalah 0,1:3,1 per 1.000.000 orang dan sifatnya masih berva~iasi pada setiap regional. Di Prancis, prevalensi Q-fever akut dilaporkan 50 kasus per 100.000 penduduk. Kasus Q-fever di Australia dalam kurun waktu 1990 - 2001 telah terjadi 171 kasus Q-fever dengan fakta bahwa 87,6 % penderita adalah laki-laki, 83,l % penderita be~usia2 0 - 49 tahun, 50,s % penderita merupakan pekerja di tempat pengoldlan daging, 32,l % penderita inelakukan kontak dengan hewan dm 9,6 % pedagang adalah pedagang daging. Berdasarkan data tersebut, umumnya para penderita Q-fever adalah orangorang yang sering melakukan kontak langsung dengan hewan dan produk asal hewan serta orang-orang yang berkecimpung di industri produk asal hewan. Pada daerah endemis, dapat terjadi wabah dan terjangkitnya Q-fever secara sporadis. Beberapa wabah Q fever yang dilaporkan adalah pada tahun 1935 di Brisbane, Australia. Lalu pada tahun 1954 di Jerman terjadi wabah Q-fever dimana sekitar 500 orang terinfeksi (Maurin & Raoult 1999). Q-fever akut biasanya bersifat se2f-limiting dimana penderita dapat sembuh secara spontan dalam beberapa minggu. Sekitar 2% kasus akan berlangsung menjadi endocaditis dengan Case Fatality Rate 35-55%. Q-fever akut biasanya bersifat subklinis dengan persentase sekitar 60%. Sen~entara itu sekitar 2-5% penderita Qfever per tingkat penyakitnya lceras dan n~embutuhkan perawatan di rumah sakit. Dan sekitar 1-2 % penderita Q-fever akut tidak dapat disembuhkan. Sedangkan nlortalitas pasien dengan Aiypicol Pneumonia 0,5-1,5% (Anonim 2003a). Q-fever kronis umumnya terjadi pada penderita Q fever dengan faktor predisposisi seperti immuilosuppressi dan memiliki gangguan ltesehatan sepei-ti

cardiac valvular disease atau vascular gra$s. Insiden Q-fever lcronis memiliki persentase sekitar 1% yang disebabkan ole11 satu sumber penyakit dan sekitar 5% oleh sumber lain. Estimasi rasio mortalitas dari Q-fever kronis sangat luas, dengan persentase 1-11 % yang disebabkan satu sumber infeksi dan sekitar 65% yang disebabkan oleh sumber penyakit lain. 2.6. Pengobatan Pengobatan Q-fever sampai saat ini masih menggunakan antibiotik karena merupakan metode terbaik pada infeksi C. bznnetii. Akan tetapi, antibiotik lebih bersifat menekan infeksi daripada mengeliminasi infeksi (Raoult 1993). Pengujian antibiotik dilakukan pada tiga media yang berbeda yakni hewan coba, telur berembrio, dan kultur sel (Raoult 1993).Hewan coba yang digunakan antara lain adalah babi, tikus dan mencit. Media lain yaitu telur berembrio, merupakan suatu media yang sangat baik untuk mengetahui efek bakteriostatik dari antibiotik. Media terakhir yang digunakan adalal~k ultur sel. Pada kultur sel ada dua model yang digunakan. Pengembangan dua model ini bertujuan untuk menentukan efek bakteriostatik dan bakterisidal dari antibiotik. Hal ini disebabkan karena perbedaan tujuan terapi pada Q-fever akut dan Q-fever kronis. Pengobatan Q fever dibagi menjadi dua metode, yaitu metode pengobatan untuk Q-fever kronis dan metode pengobatan untuk Q-fever akut. Perbedaan metode pengobatan ini karena pada Q-fever akut, antibiotik dengan efek bakteriostatik sudah cukup untuk membantu proses persembuhan Q-fever. Sedangkan pada Q-fever kronis, efek bakteriostatik dari antibiotik tidak cukup dalam proses persembuhan. Oleh sebab itu efelc bakterisidal lebih memungkinlcan uutuk persembuhan Q-fever kronis (Raoult 1993). Pengobatan Q-fever akut dilakukan dengan pemberian antibiotik golongan tetrasikin terutama klortetrasiklin dan doksisiklin. Golongan tetrasiltlin dapat menghambat sintesis protein bakteri dengan cara inemasukkan autibiotik ke dalam ribosom. Antibiotik akan menghanlbat masuknya kompleks t-RNA asam amino

pada lokasi asam amino. Proses pemasukan antibiotik dapat terjadi dalam dua cara, yaitu dengan difusi pasif melalui kana1 hidrofilik dan dengan sistem transport aktif (Ganiswarna et 01. 1995). Kelebihan lain tetrasiklin adalah bekerja pada bakteri gram negatif dan rickettsia, sehingga antibiotik golongan ini efektif dalarn pengobatan Qfever (Mutschler 1991). Selain doksisiklin, antibiotika kelompok makrolida juga dapat digunakan seperti chloramphenicol, cotrinzoxuzole, dun ceftriaxone sebagai alternatif pengobatan untuk Q-fever akut, nanlun penggunaan makrolida sebagai pengobatan penyakit Q-fever masih beluin jelas (Gikas et al. 2001). Tetapi sampai saat ini, doksisiklin merupakan antibiotik yang direkomei~dasilcan untuk mengobati Q-fever akut. Biasanya ditetapkan 200 mg doksisiklin untuk 15 ssunpai 20 hari. Selain pemberian senyawa tetrasiklin, erythronzycin juga diberikan untuk mengobati gejala pneumonia pada Q-fever akut. Pada Q-fever me~lingochepalitis, dapat pula diberikan senyawa Quinolone karena efeknya yang dapat mempenetrasi cairan cerebrospinal (Raoult 1993). Q-fever endocarditis (Q-fever kronis) adalah komplikasi C. burnetii yang paling serius. Dilaporkan telah ada 200 kasus dengan angka mortalitas di atas 65% (Raoult 1993). Pengobatan tetap dari Q-fever endokarditis adalah penggunaan antibiotik tetrasiklin. Akan tetapi waktu persembuhan dengan penggunaan tetrasiklin khususnya doksisiklin membutuhkan waktu yang lama yakni sekitar empat tahun untuk persen~buhan katup jantung. Umumnya pengobatan Q-fever kronis dengan antibiotik tetrasiklin akan dikombinasikan dengan pemberian antibiotik lain ataupun antibiotik lain yang dikombinasikan dengan pembeiian tetrasiklin. Beberapa contoh adalah pemberian antibiotik lincomycin dan tetrasiklin, cotrixomazole dan tetrasiklin, beta-laktam danomonoglikosida, tetapi hasil kolnbinasi antibiotilc ini tidak lebih baik dari pemberian tetrasiklin. Kombinasi rifampin dan dosisiklin atau co-trimazole juga digunakan untuk pengobatan Qfever dan kombinasi ini rnenunjukkan efek kesembuhan yang nyata, tetapi

kombinasi ini dihentikan lcarena seringnya terjadi interaksi dengan antikoagulan (Raoult 1993).

Pengobatan dengan kombinasi doksisiklin dan hidroksiklorin

atau

doksisiklin dengan fluorokuinolon jangka panjang sangat dianjurkan (Welch 2007). Penggunaan ini didasari efisiensi fluorokuinolon terhadap C. burnetii. Angka mortalitas pada pemberian kombinasi antibiotik ini jauh lebih rendah dibandingkan dengall angka mortalitas pada pemberian kombinasi antibiotik yang lain (Raoult 1993) Selain pemberian antibiotik, ada metode pembedahan pada pengobatan Q-fever endocarditis. Operasi jantung biasanya dilakukan pada pasien dengan kegagalan hemodynamic. Pada operasi ini juga dilakukan kultur jaringan katup jantung. Metode pembedahan juga dikombinasikan dengan pemberian antibiotik doksisiklin dan jluoroquinolene selama tiga tahun. Karena apabila setelah tiga tahun level imunoglobulin G (IgG) terhadap C. burnetii fase satu di bawah 400 dan tidak ada immunoglobulin A (IgA) yang terdeteksi maka pemberian kombinasi antibiotik dapat dihentikan. 2.7. Pencegahan Tindakan pencegahan Q-fever pada hewan temak seperti sapi, kambing dan domba bertujuan untuk meminimalkan jumlah infeksi Q-fever dan mempersempit area infeksinya. Tindakan pencegahan Q-fever dapat dilakukan dengan meminimalkan masuknya hewan baru ke dalam kawanan domba, sapi dan kambing. Selain itu hindari dan kurangi kontak dengan hewan liar. Pada kawanan yang terinfeksi, lakukan isolasi pada hewan yang bunting. Lakukan pembakaran serta penguburan membran reproduksi dan plasenta sehingga transmisi via organ reproduksi dapat dicegah. Jumlah C. burnetii dapat direduksi dengan pembersihan lingkungan secara rutin. pembersihan dapat dilakukan dengan desinfektan. Selain itu, pemberian antibiotik pi.ophylatic dapat juga mencegah infeksi C bumelii pada anakan (Anonim 2003a). Tindakan pencegahan Q-fever pada manusia dapat dilakultan dengan cara melakukan vaksinasi pada orang-orang yang bekerja di bidang industri pangan asal hewan da11 orang-orang yang sering melakukan kontak langsung dengan hewan seperti dokter hewau, pekerja laboratorium, pekerja rumah potong hewan

dan sebagainya. Vaksinasi terhadap Q-fever merupakan salah satu upaya yang telah dilakukan di Australia sejak tahun 1989 (Garner et 01.. 1997). Vaksin yang biasanya digunakan adalah Q-vax vaccine. Vaksin ini berasal dari C. burnetii fase I yang telah dilemahkan (Dorko & Cislakova 2005). Vaksin ini diberikan sebanyak 30 mikogram dosis tunggal dan diberikan secara sub-cutan. Vaksin ini memiliki jangka waktu selama lima tahun dan harus dilakukan vaksinasi ulang setelah habisnya jangka waktu vaksin (Soejodono 2004). Sebelum dilakukan vaksinasi, perlu dilakukan tes kulit terlebih dahulu untuk mengetahui tinglcat alergi pasien terhadap Vaksin. Pasien yang sebelumnya pernah terpapar C. burnetii tidak dapat diberikan vaksin karena dapat mengakibatkan lokalisasi vaksin pada daerah yang disuntikkan ( Anonim 2003a) Pencegahan Q-fever dapat dilakukan dengan tindakan biosekuriti. Biosekuriti adalah tindakan perlindungan dari efek yang merugikan dari organisme seperti agen penyakit dan hama yang dapat membahayakan manusia, hewan dan lingkungan (Suseno 2007). Biosekuriti memiliki tiga komponen utama, yaitu berupa tindakan isolasi, pengawasan lalu lintas (manusia dan hewan) serta sanitasi (Anonim 2007~). Tindakan biosekuruti yang dapat dilakukan adalah pemberian penyuluhan dan edukasi tentang individu atau kelompok yang beresiko tinggi terhadap Qfever. Pada produk hewan seperti susu, dapat dilakukan pasteurisasi dengan suhu 65C selama 30 menit atau dengan suhu 75" C selama 15 detik. Pencegahan Qfever di bidang peternakan dapat dilakukan dengan melakukan good farming practice seperti pembersihan kandang teratur dengan menggunakan outoklaf atau desinfeksi peralatan laboratoriutn menggunakan desinfektan yang dapat membunuh C. burnetii seperti 0,05% hipoklorit, 5% peroxida atau 1:100 lisol (Anoniin 2003a). Selain it11 penanganan kelahirail fetus dan sisa proses melahirkan seperti disposal plasenta atau sisa abortus secara baik dan higiene dapat nlellcegah penyebaran Q fever. Pada bidang transportasi hewan ternak, pencegahan Q-fever dapat dilakukan dengan inelakukan karantina bagi hewanhewan )rang diimpor dari negaya lain.

You might also like