You are on page 1of 5

MAHARDIKA APRILIA IFLAHAH 0908105018 20 MARET 2012

Question : Sebutkan dan Jelaskan mengenai metode identifikasi forensik mengingat banyaknya kasus yang terjadi baru-baru ini yang membutuhkan identifikasi forensik. Jelaskan metode apa yang paling potensial untuk digunakan identifikasi identitas seseorang baik korban maupun pelaku pada kejadian bom bunuh diri yang mana pelaku peledakan juga menjadi korban di dalamnya. Answer : Identifikasi forensik pada dasarnya terdiri dari 2 (dua) metode utama, yaitu :
1. Identifikasi komparatif, yaitu apabila tersedia data post-mortem (pemeriksaan jenazah)

dan ante-mortem (data sebelum meninggal, mengenai ciri-ciri fisik, pakaian, identitas khusus berupa tahi lalat, bekas luka/operasi, dll), dalam suatu komunitas yang terbatas.
2. Identifikasi rekonstruktif, yaitu apabila tidak tersedia data ante-mortem dan dalam

komunitas yang tidak terbatas/plural.

Identitas seseorang dapat dipastikan apabila paling sedikit 2 (dua) metode yang digunakan memberikan hasil yang positif (tidak meragukan), dari 9 (sembilan) metode berikut ini:
1. Metode Identifikasi Visual; Metode ini dilakukan dengan cara memperlihatkan jenazah

pada orang-orang yang merasa kehilangan anggota keluarga atau temannya. Cara ini hanya efektif pada jenazah yang belum membusuk sehingga masih memungkinkan untuk dikenali wajahnya dan bentuk tubuhnya oleh lebih dari satu orang. Hal ini perlu diperhatikan mengingat adanya kemungkinan faktor emosi yang turut berperan untuk membenarkan atau sebaliknya menyangkal identitas jenazah tersebut.
2. Metode Identifikasi Dokumen; Dokumen seperti kartu identitas/KITAS, baik berupa SIM,

KTP, paspor, dsb. yang kebetulan dijumpai dalam saku pakaian yang dikenakan jenazah akan sangat membantu mengenali jenazah tersebut. Namun demikian, perlu diingat bahwa pada kasus-kasus kecelakaan massal gempa Padang 2009 contohnya dokumen yang terdapat dalam tas atau dompet yang berada di dekat jenazah belum tentu adalah milik jenazah yang bersangkutan. Oleh sebab itu, tim SAR ataupun tim 1|UTS KIMIA FORENSIK SEMESTER VI 2012

pencari jenazah lainnya hendaknya berhati-hati dalam mengeluarkan pernyataan, karena di lapangan umumnya masyarakat langsung bertanya perihal identitas jenazah yang ditemukan. Dalam kasus-kasus bencana massal, kita hendaknya mengikuti prosedur DVI (Disaster Victim Identification) yang berlaku secara internasional, yang mana hal ini diterapkan pada kasus Bom Bali I dan II.
3. Metode Identifikasi Properti; Properti berupa pakaian dan perhiasan yang dikenakan

jenazah mungkin dapat diketahui merk atau nama pembuat, ukuran, inisial nama pemilik, badge, ataupun hal lainnya, yang dapat membantu identifikasi walaupun telah terjadi pembusukan pada jenazah tersebut. Khusus anggota TNI, masalah identifikasi dipermudah dengan adanya nama serta NRP yang tertera pada kalung logam yang dipakainya. Data mengenai properti ini juga hendaknya digali dari pihak keluarga yang merasa kehilangan anggota keluarganya yang lain pada kasus-kasus bencana massal, sehingga nantinya proses identifikasi komparatif dapat dilaksanakan.
4. Metode Identifikasi Medik; Metode ini menggunakan parameter berupa tinggi badan,

berat badan, warna rambut, warna mata, cacat/kelainan khusus, tato/rajah, dll. Secara singkat, bisa dikatakan bahwa ciri-ciri fisik korban yang diperhatikan. Metode ini mempunyai nilai yang tinggi, karena selain dilakukan oleh tenaga ahli dengan menggunakan berbagai cara atau modifikasi (termasuk pemeriksaan dengan sinar X, USG, CT-scan, laparoskopi, dll. bila diperlukan), sehingga ketepatannya cukup tinggi. Bahkan pada kasus penemuan tengkorak/kerangka pun masih dapat dilakukan metode identifikasi ini. Melalui metode ini, dapat diperoleh data tentang jenis kelamin, ras, perkiraan umur, tinggi badan, kelainan pada tulang, dan data-data lainnya dari korban yang ditemukan.
5. Metode Identifikasi Serologik; Pemeriksaan serologik bertujuan untuk menentukan

golongan darah jenazah. Penentuan golongan darah pada jenazah yang telah membusuk dapat dilakukan dengan memeriksa rambut, kuku, dan tulang.
6. Metode Identifikasi Gigi; Pemeriksaan ini meliputi pencatatan data gigi (odontogram)

dan rahang yang dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan secara manual, sinar X, dan pencetakan gigi serta rahang. Odontogram tersebut memuat data tentang jumlah, bentuk, susunan, tambalan, protesa (gigi palsu), dan lain sebagainya. Seperti halnya dengan sidik jari, maka setiap individu memiliki susunan gigi yang khas. Dengan demikian, dapat dilakukan identifikasi komparatif dengan cara membandingkan data temuan post-mortem dengan data ante-mortem korban. Akan tetapi, di Indonesia, hal ini belum sepenuhnya dapat diterapkan, karena data gigi ante-mortem hanya bisa diperoleh dari dokter gigi yang pernah menangani korban semasa hidup saja, belum ada sistim pencatatan wajib secara nasional bagi setiap warga negaranya pada periode tertentu. 2|UTS KIMIA FORENSIK SEMESTER VI 2012

7. Metode Identifikasi Sidik Jari; Metode ini membandingkan gambaran sidik jari jenazah

dengan data sidik jari ante-mortem orang tersebut. Pemeriksaan sidik jari merupakan salah satu dari 3 (tiga) metode primer identifikasi forensik, di samping metode identifikasi DNA dan gigi. Oleh sebab itu, penanganan terhadap jari-jari tangan jenazah harus dilakukan sebaik dan sehati-hati mungkin, misalnya dengan melakukan pembungkusan kedua tangan jenazah dengan kantong plastik. Sistim sidik jari yang sekarang dipakai dikenal dengan sistim Henry. Menurut Henry, pada tiap jari terdapat suatu gambar sentral yang terbagi menjadi 4 (empat) macam, yaitu busur (arc), tented arc, gelung (loop), ikal (whorl), serta bisa pula merupakan campuran/majemuk (composite). Selanjutnya, garis-garis tersebut dapat membentuk berbagai maxam konfigurasi (ciri), seperti delta, tripod, kait, anastomose, dll. Identifikasi sidik jari dinyatakan positif bila terdapat minimal 16 (enam belas) ciri yang sama, di mana secara matematis untuk memperoleh sidik jari yang persis sama (dengan 16 ciri yang sama tersebut) kemungkinannya adalah 1:64.000.000.000 (satu berbanding enam puluh empat milyar).
8. Metode Identifikasi DNA; Metode ini merupakan salah satu dari 3 metode primer

identifikasi forensik. Metode ini menjadi semakin luas dikenal dan semakin banyak digunakan akhir-akhir ini, khususnya pada beberapa kasus bencana alam dan kasuskasus terorisme di Indonesia, misalnya kasus Bom Bali I dan II, Bom JW Marriott, Bom Kuningan, kasus tenggelamnya KMP Levina, dll. Kasus bom bunuh diri di GBIS Solo pun menggunakan metode ini. Pemeriksaan sidik DNA diperkenalkan pertama kali oleh Jeffreys pada tahun 1985. Metode ini umumnya membutuhkan sampel darah dari korban yang hendak diperiksa, namun demikian dalam keadaan tertentu di mana sampel darah tidak dapat diambil, maka dapat pula diambil dari tulang, kuku, dan rambut meskipun jumlah DNA-nya tidak sebanyak jumlah DNA dari sampel darah. DNA dapat ditemukan pada inti sel tubuh (DNA inti) ataupun pada mitokondria (organ dalam sel yang berperan untuk pernafasan sel-sel tubuh) yang biasa disebut DNA mitokondria. Untuk penentuan identitas seseorang berdasarkan DNA inti, dibutuhkan sampel dari keluarga terdekatnya. Misalnya, pada kasus Bom GBIS Solo, sampel DNA yang didapat dari korban tersangka pelaku bom bunuh diri akan dicocokkan dengan sampel DNA yang didapat dari istri dan anaknya. DNA inti anak pasti berasal setengah dari ayah dan setengah dari ibunya. Namun demikian, pada kasus-kasus tertentu, bila tidak dijumpai anak-istri korban, maka dicari sampel dari orang tua korban. Bila tidak ada juga, dicari saudara kandung seibu, dan diperiksakan DNA mitokondrialnya karena DNA mitokondrial diturunkan secara maternalistik (garis ibu).
9. Metode Eksklusi; Metode ini digunakan pada kasus kecelakaan massal yang melibatkan

sejumlah orang yang dapat diketahui identitasnya, misalnya penumpang pesawat 3|UTS KIMIA FORENSIK SEMESTER VI 2012

udara, kapal laut, kereta api, dll. Bila sebagian besar korban telah dapat dipastikan identitasnya dengan menggunakan metode-metode tersebut di atas, sedangkan identitas sisa korban tidak dapat ditentukan, maka sisa korban diidentifikasi menurut daftar penumpang. Untuk kasus bom bunuh diri metode yang paling potensial untuk digunakan identifikasi identitas seseorang baik korban dan pelaku adalah dengan analisis DNA fingerprint. Sistematika analisis DNA fingerprint sama dengan metode analisis ilmiah yang biasa dilakukan di laboratorium kimia. Sistematika ini dimulai dari proses pengambilan sampel sampai ke analisis dengan PCR. Pada pengambilan sampel dibutuhkan kehatihatian dan kesterilan peralatan yang digunakan. Setelah didapat sampel dari bagian tubuh tertentu, maka dilakukan isolasi untuk mendapatkan sampel DNA. Bahan kimia yang digunakan untuk isolasi adalah Phenolchloroform dan Chilex. Phenolchloroform biasa digunakan untuk isolasi darah yang berbentuk cairan sedangkan Chilex digunakan untuk mengisolasi barang bukti berupa rambut. Lama waktu proses tergantung dari kemudahan suatu sampel di isolasi, bisa saja hanya beberapa hari atau bahkan bisa berbulan-bulan. Tahapan selanjutnya adalah sampel DNA dimasukkan kedalam mesin PCR. Langkah dasar penyusunan DNA fingerprint dengan PCR yaitu dengan amplifikasi (pembesaran) sebuah set potongan DNA yang urutannya belum diketahui. Prosedur ini dimulai dengan mencampur sebuah primer amplifikasi dengan sampel genomik DNA. Satu nanogram DNA sudah cukup untuk membuat plate reaksi. Jumlah sebesar itu dapat diperoleh dari isolasi satu tetes darah kering, dari sel-sel yang melekat pada pangkal rambut atau dari sampel jaringan apa saja yang ditemukan di TKP. Kemudian primer amplifikasi tersebut digunakan untuk penjiplakan pada sampel DNA yang mempunyai urutan basa yang cocok. Hasil akhirnya berupa kopi urutan DNA lengkap hasil amplifikasi dari DNA Sampel. Selanjutnya kopi urutan DNA akan dikarakterisasi dengan elektroforesis untuk melihat pola pitanya. Karena urutan DNA setiap orang berbeda maka jumlah dan lokasi pita DNA (pola elektroforesis) setiap individu juga berbeda. Pola pita inilah yang dimaksud DNA fingerprint. Adanya kesalahan bahwa kemiripan pola pita bisa terjadi secara random (kebetulan) sangat kecil kemungkinannya, mungkin satu diantara satu juta. Finishing dari metode ini adalah mencocokkan tipe-tipe DNA fingerprint dengan pemilik sampel jaringan (baik tersangka pelaku pengeboman maupun korban). Untuk mengetahui jati diri pelaku bom bunuh diri, harus dilakukan olah TKP dengan mengumpulkan bebrapa fragmen yang tercecer dari lokasi kejadian. Ciri-ciri fisik, sampel darah, rambut, dan gigi menjadi alat bukti yang harus segera disosokan. Prinsip identifikasi pelaku juga menggunakan pendekatan faktor keturunan. Oleh karena itu, dibutuhkan 4|UTS KIMIA FORENSIK SEMESTER VI 2012

referensi kerabat terdekat tersangka kejahatan dengan mengonfirmasi keluarga-keluarga yang dicurigai, misalnya dengan cara memastikan apakah jumlah anggota keluarga tersangka lengkap saat atau pascakejadian.

5|UTS KIMIA FORENSIK SEMESTER VI 2012

You might also like