You are on page 1of 2

Emerich de Vattel

Oleh: Afifah Ramadinda K (09/288933/SP/23801) Emerich de Vattel adalah seorang diplomat yang lahir di Swiss pada tahun 1714. Vattel adalah salah satu tokoh yang tidak mendasarkan teorinya atas prinsipprinsip moral kristiani, melainkan universal natural right of self-perfection dan selfpreservation. Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah Droit des gens; ou, Principes de la loi naturelle appliqus la conduite et aux affaires des nations et des souverains, atau yang dalam bahasa Inggris diartikan The Principles of Natural Law Applied to the Conduct and to the Affairs of Nations and of Sovereigns. Buku yang lebih populer dengan nama The Law of Nations ini pada dasarnya menjelaskan bagaimana penerapan natural law dalam pemerintahan. Vattel sendiri memandang natural law manusia sebagai makhluk sosial, karena secara alamiah kita tidak dapat memenuhi semua kebutuhan kita tanpa bantuan orang lain. Kita membutuhkan manusia lain untuk perlindungan diri dan meningkatkan kesejahteraan. Law of Nation sendiri didefinisikan sebagai the science which teaches the rights subsisting between nations or states, and the obligations correspondent to thse rights. Menurut Vattel, Law of Nations adalah sebuah kebutuhan karena Vattel yakin bahwa negara (nation) sama rentannya dengan individu, namun negara memiliki kemampuan lebih baik dalam memenuhi kebutuhannya sendiri. Dengan kata lain negara tidak terlalu membutuhkan negara lain untuk memenuhi kebutuhannya. Sehingga hubungan sosial antar negara akan lebih anarki. Hubungan antar negara tanpa adanya komitmen untuk saling membantu dan menghormati hanyalah sebuah vast system of robbery. Law of nations yang tersusun dengan baik akan sangat membantu untuk menghindarkan konflik dalam hubungan antar negara. Terkait dengan perang, Vattel memahaminya sebagai dampak dari hak negara untuk memelihara dan mengembangkan kekuatan militernya demi melindungi diri dari serangan pihak lain. Menurut Vattel, setiap negara memiliki kewajiban untuk menempatkan kepentingannya di atas kepentingan negara lain, dan melakukan apapun untuk mencapai kebahagiaan bagi bangsanya sendiri. Namun hal ini tidak merujuk pada penggunaan kekerasan, sebagaimana yang diungkapkannya: I say whatever it can do, not meaning physically only, but morally also, what it can do lawfully, justly, and

honestly. Dengan kata lain, Vattel menganjurkan negara untuk lebih mengutamakan diplomasi dalam berhubungan dengan negara lain. Emerich de Vattel memahami jika suatu negara pada akhirnya memutuskan untuk berperang. Namun Vattel sangat menekankan penghormatan pada nilai-nilai kemanusiaan dalam kegiatan perang tersebut. Dari sinilah kemudian muncul konsep Just War. Konsep Just War yang diungkapkan Vattel adalah berupa pelarangan penghancuran bangunan-bangunan penting serta peninggalan sejarah, dan pelarangan penyerangan terhadap noncombatants atau orang-orang yang tidak terlibat perang. Noncombatants yang ditekankan Vattel adalah para pendeta, guru, wanita, anak-anak, dan orang-orang lanjut usia. Dalam pandangan Vattel, setiap negara memiliki moral equality. Tidak ada negara yang benar-benar salah dan tidak ada negara yang sangat benar, terutama dalam konflik. Negara besar tidak boleh menyerang negara kecil, namun negara kecil juga tidak dibenarakan ketika menyerang negara besar. Sebagai tokoh yang eksis pada masa kolonialisasi, Vattel memiliki justifikasi sendiri atas kolonialisme. Vattel mengungkapkan bahwa Nations have a right to occupy such territory so far as they can make use of it. Justifikasi Vattel ini didasarkan atas keyakinan bahwa secara alamiah populasi manusia terus meningkat, dan peningkatan ini tidak sama di setiap wilayah. Vattel juga yakin bahwa Lands of such people are the common property of mankind, dan setiap bangsa memiliki hak yang sama untuk mengklaim sebuah wilayah jika mereka menemukannya sebelum bangsa lain. Sehingga jika ada wilayah yang tidak digunakan secara maksimal oleh sebuah bangsa, maka bangsa yang lebih maju memiliki justifikasi untuk memanfaatkan lahan tersebut. Dan selama mereka mampu memanfaatkannya dengan lebih baik, bangsa yang lebih dulu menempati wilayah tersebut tidak memiliki dasar untuk menolaknya.

Referensi: Boucher, David. 1998. Political Theories of International Relations: From Thucydides to the Present. Oxford: Oxford University Press.

You might also like