You are on page 1of 12

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang

Indonesia memiliki 70 % wilayah lautan yang memiliki potensi perikanan sangat besar, hal ini dibuktikan dengan tingginya keragaman jenis sumberdaya perikanan yang terkandung di dalamnya (Nontji, 1987). Tersedianya lahan yang luas dan memadai dapat menunjang kegiatan perikanan baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Potensi perikanan Indonesia tersebar pada hampir semua bagian laut Indonesia seperti pada perairan laut teritorial, perairan laut nusantara dan perairan laut Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Luas lautnya diperkirakan mencapai 5,8 juta km2 dengan garis pantai terpanjang di dunia sebesar 81.000 km dan gugusan pulau-pulau sebanyak 17.508, potensi ikan yang dimiliki diperkirakan mencapai 6,26 juta ton pertahun yang dapat dikelola secara lestari dengan rincian sebanyak 4,4 juta ton ditangkap dari perairan Indonesia dan 1,86 dapat diperoleh dari perairan ZEEI. Untuk perikanan tangkap sendiri kesuksesan dari hasil yang didapatkan juga bergantung dari daerah penangkapan ikan (fishing ground). Daerah penangkapan ikan (fishing ground) adalah daerah perairan yang terdapat banyak ikan sehingga hasil penangkapan maksimal dan alat penangkap dapat dioperasikan. Dalam melakukan usaha penangkapan , mengenal daerah penangkapan adalah hal penting yang harus dilakukan. Mengoperasikan alat penangkap di suatu daerah penangkapan tanpa mengetahui sifat dan keadaan perairannya akan menjadi usaha yang sia-sia dengan resiko tidak mendapat ikan atau jaring tersangkut di batu dan karang. Daerah penangkapan ikan harus

memiliki kondisi dimana ikan dapat datang dengan mudah bersama-sama dengan kelompoknya dan merupakan habitat yang baik untuk hidup ikan. Daerah tersebut juga harus merupakan tempat yang mudah dalam mengoperasikan alat tangkap karena terkadang kondisi perairan dengan arus yang menghanyutkan dan perbedaan pasang surut yang besar menyebabkan alat tangkap terutama jaring sulit digunakan. Fishing ground sendiri dipengaruhi kondisi lingkungan yang

meliputi suhu air, salinitas, pH, kecerahan, gerakan air, kedalaman perairan, topografi dasar perairan, bentuk bangunan dasar perairan (bottom properties), kandungan oksigen terlarut dan makanan. Daerah penangkapan memiliki karakteristik tersendiri salah satunya dari suhu permukaan air laut yang dijadikan indikator daerah penangkapan ikan. Suhu permukaan air laut ini nantinya juga akan berhubungan dengan ATPL ( Anomali Tinggi Permukaan Laut ) yaitu beda tinggi muka laut sesaat terhadap muka laut rata-rata. Menurut Bray dkk.,( 1996 ), daerah termoklin yaitu daerah yang mengalami perubahan suhu yang cukup tinggi memiliki korelasi cukup kuat dan signifikan terhadap tinggi muka laut. Pada saat tinggi muka laut rendah ( anomali negatif ) lapisan termoklin akan mendekati permukaan laut. Sebaliknya, pada saat tinggi muka laut (anomali positif) kedalaman termoklin akan lebih dalam. Hal inilah yang akan menjadi parameter utama dalam menganalisis pengaruh perubahan iklim terhadap distribusi ikan. Data dari Suhu Permukaan Laut ( SPL ) dapat digunakan untuk mengidentifikasi Zona Potensi Penangkapan Ikan (ZPPI) bulanan untuk menentukan lokasi yang prospektif untuk penangkapan ikan. Penelitian ZPPI di Selat Madura dan sekitarnya menunjukkan bahwa sebaran Suhu Permukaan Laut ( SPL ) menjadi salah satu penyebab peningkatan atau penurunan ZPPI. Pola arus permukaan dapat diamati dengan melihat kecenderungan pergerakan massa air yang tergambar pada pola sebaran SPL. Sebaran SPL juga dapat digunakan untuk mendeteksi upwelling atau thermal front sebagai indikator lokasi kelimpahan plankton yang tinggi ( Dahuri, 2003 ). Kelimpahan plankton yang tinggi menjadi indikasi tingginya nutrien di suatu perairan dan merupakan tempat yang disukai oleh ikan. Secara umum, hasil analisis menunjukkan bahwa penentuan wilayah tangkapan yang memiliki potensi besar belum dilakukan secara optimal. Salah satu kendala yang dihadapi oleh nelayan-nelayan Indonesia adalah keterbatasan pengetahuan dalam penentuan lokasi penangkapan yang efisien dan potensial. Penentuan lokasi penangkapan masih dilakukan secara empiris dan berdasarkan pengalaman, belum menggunakan dasar-dasar ilmiah. Hasil analisis data sangat dibutuhkan untuk menentukan lokasi penangkapan ikan secara spasial dan temporal agar kegiatan penangkapan dapat dilakukan secara efisien.Untuk

mengetahui data SPL dapat menggunakan data satelit penginderaan jauh NOAAAVHRR (National Oceanic and Atmospheric Administration Advanced Very High Resoltion Radiometer) yang diterima dan direkam oleh Setasiun Bumi Satelit Penginderaan Jauh LAPAN.

1.2 Tujuan Tujuan karya tulis ini membahas mengenai pengaruh suhu permukaan laut sebagai salah satu indikator penentuan daerah penangkapan ikan dimana dengan mengetahui daerah potensi penangkapan maka hasil tangkapan ikan dapat mencapai maksimal. 1.3 Manfaat

1.3.1

Mengetahui pengaruh suhu permukaan laut terhadap penentuan daerah potensi penangkapan ikan

1.3.2

Mendapatkan gambaran dalam menentukan daerah potensi penangkapan ikan berdasarkan sebaran suhu permukaan laut sehingga hasil tangkapan mencapai maksimal.

1.4 Rumusan Masalah

1.4.1

Bagaimana

suhu

permukaan

laut

mempengaruhi

daerah

potensi

penangkapan ikan? 1.4.2 Bagaimana penyebaran suhu permukaan laut dan pengaruhnya terhadap habitat ikan? 1.4.3 Bagaimana cara menganalisis suhu permukaan laut untuk mengetahui pengaruh SPL terhadap hasil tangkapan?

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Suhu merupakan faktor penting dalam kehidupan ikan yang merupakan hewan poikilotermik dimana suhu tubuh ikan menyesuaikan dengan suhu lingkungan di sekitarnya. Suhu mempengaruhi metabolisme dan

perkembangbiakan ikan yang hidup di lautan. Setiap spesies ikan memiliki kisaran suhu tertentu yang sesuai dengan kebiasaan hidupnya dan dapat ditoleransi oleh tubuhnya sehingga dapat mempengaruhi penyebaran ikan di suatu perairan. Salah satu contohnya adalah spesies ikan cakalang dimana berdasarkan hasil penelitian yang ditulis Limbong, ikan cakalang mampu mentolerir suhu permukaan laut dingin 200 C dan suhu panas sampai 310 C dengan suhu permukaan laut saat penelitian berkisar antara 200 C 310 C. Suhu permukaan laut juga mempengaruhi jenis ikan yang tersebar di suatu perairan. Suhu menjadi parameter utama atau parameter dasar untuk mengetahui faktor-faktor lain yang mempengaruhi perairan. Suhu permukaan laut sangat penting untuk diketahui karena sebaran suhu permukaan laut dapat memberikan informasi mengenai thermal front, upwelling, arus, cuaca atau iklim, pencemaran minyak dan pencemaran panas (Susilo,2000). Suhu juga dipengaruhi oleh fenomena El Nino dan dan La Nina dimana keduanya menggambarkan suhu permukaan laut yang memiliki dampak terhadap lingkungan global. Di Indonesia fenomena El Nino menyebabkan menyebabkan musim kemarau yang kering dan panjang sedangkan peristiwa sebaliknya yaitu fenomena La Nina , terjadi pemanasan di wilayah tropis Pasifik Barat sehingga wilayah Indonesia mengalami musim hujan di atas normal. Fenomena ini memiliki dampak terhadap variabilitas karakteristik oseanografi yang akan mempengaruhi distribusi , kelimpahan dan komunitas ikan. Itulah sebabnya kenapa suhu menjadi parameter utama dalam menentukan daerah penangkapan ikan. Secara tidak langsung suhu permukaan laut berkaitan erat dengan faktor-faktor lainnya dalam penentuan daerah yang berpotensi untuk perikanan.

Suhu dan kedalaman termoklin merupakan faktor lingkungan utama yang mendorong penyebaran jenis ikan baik secara vertikal maupun horizontal. Namun, sesuai dengan sifat laut yang dinamis kondisi oseanografi ini cepat berubah berhubungan dengan ruang dan waktu. Lapisan termoklin adalah lapisan yang mengalami penurunan suhu yang relatif besar. Lapisan termoklin ini memiliki korelasi yang cukup kuat dan signifikan terhadap tinggi muka laut. Pada saat tinggi muka laut rendah terhadap rendah (anomali negatif) lapisan termoklin akan mendekati permukaan laut. Sebaliknya pada saat tinggi muka laut tinggi (anomali positif) maka kedalaman lapisan termoklin akan lebih dalam. Hal ini akan mempengaruhi perubahan iklim regional terhadap distribusi ikan. 2.2 Penyebaran Suhu Permukaan Laut Penyebaran suhu permukaan laut terjadi secara horizontal dan vertikal. Suhu permukaan berkisar antara 280C-290C, dimana suhu permukaan daerah pantai cenderung lebih hangat dibandingklan dengan suhu permukaan di daerah laut. Garis isotherm 290C terlihat membentuk lidah yang memanjang ke arah laut hingga kedalaman 16 m dan mengindikasikan adanya massa air dari daerah pantai yang cenderung hangat bergerak ke arah laut hingga kedalaman tersebut. Namun mulai pada kedalaman 12 m terlihat adanya garis isotherm 28.60C yang bergerak dari arah laut menuju pantai. Gambaran tersebut menunjukkan adanya stratifikasi massa air yang masuk dari daratan (melalui sungai) berada pada lapisan permukaan sedangkan massa air bersalinitas lebih tinggi yang berasal dari laut berada pada lapisan yang lebih dalam. Hal ini dimungkinkan karena SPL juga dipengaruhi oleh pencampuran massa air di sekitarnya. Distribusi vertikal suhu dapat dibedakan menjadi lapisan homogen dan lapisan termoklin. Pada lapisan homogen suhu air umumnya sama mulai dari permukaan laut hingga kedalaman 100 m. Keadaan yang homogen dicapai karena adanya pengaruh angin, gelombang dan turbulensi yang mengaduk massa air di lapisan ini sehingga suhunya menjadi homogen. Di daerah tropik seperti Indonesia suhu di lapisan ini berkisar sekitar 28-290 C. Sedangkan pada lapisan termoklin ditandai dengan penurunan suhu yang sangat cepat yaitu dari 280 C pada kedalaman 100 menjadi sekitar 40 C pada kedalaman 600 m (Illahude ,1999).

Berdasarkan penelitian tentang pengaruh perubahan iklim regional terhadap puncak hasil tangkapan ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) di Perairan Selatan Jawa dan bali menunjukkan bahwa saat berlangsungnya El Nino hasil tangkapan ikan tuna lebih optimal dibandingkan pada kondisi La Nina. Hal ini berkaitan dengan suhu permukaan laut yang juga dipengaruhi fenomena El Nino dan La Nina dimana pada saat El Nino Indonesia mengalami musim timur (musim kemarau). Musim kemarau yang terjadi sekitar bulan Juni Agustus ini mengindikasikan cuaca panas dan permukaan laut didominasi suhu yang hangat. Kondisi yang hangat menjadi tempat yang disukai bagi ikan karena makanan seperti fitoplankton serta nutrien lainnya akan berkumpul di tempat yang banyak terdapat sinar matahari. Sementara pada saat berlangsungmya La Nina, Indonesia mengalami musim hujan sekitar bulan Desember Februari dan suhu di permukaan laut cenderung lebih dingin karena curah hujan tinggi dan pemanasan matahari yang menurun. Hasil tangkapan menurun karena ikan akan cenderung bersembunyi di dasar periaran atau diantara sela-sela karang. Pada saat musim peralihan dari musim timur ke musim barat yang terjadi sekitar bulan SeptemberNovember suhu permukaan laut cenderung berfluktuasi dari panas ke dingin. Suhu bukanlah satu-satunya faktor yang berpengaruh terhadap penentuan daerah penangkapan ikan (fishing ground). Suhu berkaitan erat dengan parameter lainnya seperti anomali tinggi permukaan laut (ATPL) yaitu beda tinggi muka laut sesaat terhadap muka laut rata-rata. Pada saat tinggi muka laut rendah ( anomali negatif ) lapisan termoklin akan mendekati permukaan laut dan hasil tangkapan ikan meningkat karena mata pancing mampu mencapai lapisan ini yang merupakan lapisan renang bagi ikan-ikan terutama ikan pelagis. Sebaliknya, pada saat tinggi muka laut tinggi (anomali positif) kedalaman termoklin akan lebih dalam dan hasil tangkapan menurun karena mata pancing tidak mampu mencapai lapisan ini. Sebaran SPL secara spasial bervariasi dari suhu dingin hingga panas. Suhu dingin yang ditemukan di permukaan perairan mungkin saja terjadi karena pengaruh adanya upwelling. Dengan adanya upwelling, maka massa air dingin dari lapisan bawah akan terangkat ke lapisan atas sehingga massa air di permukaan akan lebih dingin dibandingkan massa air di perairan sekitarnya.

2.3 Pengaruh Suhu Permukaan Laut terhadap Daerah Penangkapan Ikan (Fishing Ground). Daerah penangkapan ikan adalah suatu daerah perairan dimana ikan yang menjadi sasaran penangkapan tertangkap dalam jumlah yang maksimal dan alat tangkap dapat dioperasikan secara ekonomis. Suatu wilayah perairan laut dapat dikatakan sebagai daerah penangkapan ikan apabila terjadi interaksi antara sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapan dengan teknologi

penangkapan ikan yang digunakan untuk menangkap ikan. Hal ini dapat dikatakan bahwa walaupun pada suatu areal perairan terdapat sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapan tetapi alat tangkap tidak dapat dioperasikan yang dikarenakan berbagai faktor seperti keadaan cuaca, maka kawasan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai daerah penangkapan ikan. Ada beberapa faktor yang mendorong ikan berkumpul di suatu daerah perairan antara lain ikan-ikan tersebut mencari perairan yang cocok untuk hidupnya, mencari makanan dan mencari tempat yang sesuai untuk pemijahannya maupun untuk perkembangan larva. Halhal tersebut tidak terlepas dari suhu sebagai faktor fisika yang mendukung kehidupan organisme perairan. Setiap jenis ikan memiliki suhu optimum yang berbeda-beda. Suhu optimum untuk penangkapan ikan cakalang di perairan Indonesia berkisar antara 280C-290C, walaupun suhu optimum tersebut terkadang bervariasi sesuai perubahan temporal dan spasial (Gunarso,1985). Ketersediaan ikan berhubungan dengan proses dinamika di suatu wilayah. Pada proses konvergensi yaitu pertemuan arus yang berbeda, wilayah dengan suhu yang tinggi (tekanan rendah) dikelilingi oleh suhu rendah (tekanan tinggi) akan menyebabkan arus yang berputar dan menyebabkan konsentrasi fitoplankton meningkat di sana. Demikian juga proses berpisahnya arus akan menyebabkan zat hara yang kaya nutrien di kedalaman akan naik ke permukaan dan mengundang fitoplankton kemudian juvenile ikan dan selanjutnya ikan-ikan besar (Syamsudin, 1992). Daerah berkumpulnya ikan-ikan inilah yang menjadi sasaran untuk penangkapan. Pergerakan arus ada yang menunjukkan kelokan (meandering) dan pola pusaran (eddy). Kelokan arus menyebabkan kelimpahan ikan karena dalam kondisi demikian adakalanya ikan terkurung pada kantong-kantong air (water

pockets) yang bersuhu panas. Jika operasi penangkapan dilakukan pada daerah water pockets tersebut maka hasil tangkapan akan lebih banyak karena ikan sulit meloloskan diri atau menerobos batas dari water pockets tersebut. Selain itu pola pusaran juga merupakan daerah yang baik untuk penangkapan dimana ikan biasanya lebih terkonsentrasi pada daerah tersebut karena kaya akan zat hara (Simbolon,1991). 2.4 Analisa Suhu Permukaan Laut Pengamatan kondisi SPL dengan metode konvensional membutuhkan biaya yang cukup besar dan waktu yang cukup lama. Hal ini menjadi pendorong untuk memanfaatkan teknologi satelit dalam pengamatan SPL. Dengan mengetahui pengaruh SPL terhadap keberadaan ikan maka nelayan dapat memprediksi daerah penangkapan sehingga dapat menghemat biaya, waktu, dan tenaga dalam operasi penangkapan. Data SPL dapat diperoleh dari satelit penginderaan jauh National Oceanic and Atmospheric Administration Advanced Very High Resolution Radiometer (NOAA-AVHRR) atau menggunakan citra satelit AQUA MODIS. Selain dapat digunakan untuk mengamati SPL , dari citra satelit tersebut dapat diamati pola arus permukaan dengan melihat kecenderungan pergerakan massa air yang tergambar pada pola sebaran SPL. Untuk mengetahui besarnya nilai SPL dan pola perubahannya maka data dari citra satelit tersebut harus diolah terlebih dahulu. Data suhu permukaan laut dianalisis secara digital dan visual. CITRA MODIS yang telah terkoreksi diolah secara digital dan ditampilkan dalam bentuk format JPEG. Proses pengolahan ini diawali dengan mengimport data satelit yang telah diekstrak. Untuk memperoleh data yang lebih spesifik maka dilakukan pembatasan wilayah pada citra agar citra hanya memuat daerah penelitian. Pada citra SPL terdapat color bar yang digunakan untuk membedakan nilai SPL pada lokasi penelitian. Pembuatan layout dilakukan dengan menambhakan legenda, skala dan arah utara. Kisaran nilai SPL, SPL dominan dan rata-rata SPL pada setiap posisi setting operasi penangkapan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Citra SPL juga dianalisa secara visual dan diinterpretasikan dengan melihat pola sebaran SPL. Data suhu permukaan laut ini dapat digunakan untuk memprediksi terjadinya dan adanya kandungan

klorofil-a yang merupakan sumber makanan ikan sehingga dapat dibuat prakiraan daerah penagkapan ikan.

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Setiap spesies ikan memiliki suhu optimum berbeda yang mempengaruhi aktivitas dalam kehidupan mereka seperti memijah, mencari makan dan mencari tempat yang sesuai untuk hidupnya sehingga dalam menentukan daerah sebaran ikan, suhu merupakan faktor penting yang harus diketahui. Data dari analisa suhu permukaan laut dapat memberikan informasi mengenai sebaran klorofil-a yang merupakan sumber makanan bagi ikan sehingga dapat dibuat prakiraan daerah penangkapan ikan. Suhu permukaan laut juga dapat memberikan informasi mengenai pergerakan massa air, arus dan upwelling yang semuanya berkaitan dengan penyebaran spesies ikan. Suhu permukaan laut dapat dipengaruhi oleh musim barat dan musim timur akibat perbedaan tekanan udara dan penerimaan panas matahari. Pengukuran SPL dapat dilakukan dengan menggunakan satelit

penginderaan jauh yang lebih mudah dengan data yang lebih akurat.

10

Daftar Pustaka Amri, K ., Suwarso.2007. Penampakan Dinamika SPL dan Klorofil-a Teluk Tomini pada Musim Timur dari Analisis Citra Satelit dan Data In-Situ. Jurnal Kelautan Nasional.Vol. 2. No.3 Tahun 2007. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Hal.: 122-136. Anggreyni, D. A. R., 2011.Studi Perubahan Suhu Permukaan Laut ( SPL ) Menggunakan Satelit AQUA MODIS. Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan. Institut Teknologi Sepuluh November : Surabaya. Hakim, R. R. Daerah Penangkapan Ikan ( Fishing Ground ). Fisheries Department UMM. http://rizarahman.staff.umm.ac.id/files/2010/01/M_3_Daerah_Penangkapa n_Ikan_2011.pdf Hasyim, B., dkk. 2009. Identifikasi Zona Penangkapan Ikan di Selat Madura dan Perairan Sekitarnya Berdasarkan Data Penginderaan Jauh bagi Nelayan Kabupaten Situbondo. Jurnal Kelautan Nasional. Vol. 1 Edisi Januari Tahun 2009.Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Hal.: 165-181. Simbolon,D. 2010. Eksplorasi Daerah Penangkapan Ikan Cakalang Melalui Analisi Suhu Permukaan Laut dan Hasil Tangkapan di Perairan Teluk Pelabuhan Ratu. Jurnal Mangrove dan Pesisir X (1) Februari Tahun 2010. Hal .: 42-49. fpik.bunghatta.ac.id/request.php?202 Suhu Permukaan Laut dan Hubungannya dengan Hasil Tangkapan Madidihang (Thunnus albacares ) di Perairan Selatan Sulawesi Tenggara.

http://jurnal.unhalu.ac.id/download/naslina-alimina/.pdf Suryati, 2008. Bab I Pendahuluan Kebiasaan Makan Ikan. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

www.digilib.ui.ac.id/file?file=digital/122649-S-5335...pdf Syamsuddin, M. L., Syamsudin, F. 2009. Pengaruh Perubahan Iklim Regional Terhadap Puncak Hasil Tangkapan Ikan Tuna Mata Besar ( Thunnus

11

obesus ) Di Perairan Selatan Jawa dan Bali. Jurnal Kelautan Nasional. Vol. 2 Edisi Januari Tahun 2009. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Hal : 18-29.

12

You might also like