You are on page 1of 8

1. Hyperkalemia pada pasien yang menerima transfusi darah.

Pemberian sel darah merah pekat (PRC), diberikan pada pasien dengan anemia kronik, anemia yang disertai penyakit jantung, hati dan ginjal. Jika berdasarkan Hb, dilakukan apabila kadar Hb kurang dari 6 gr% sebagai indikasi mutlak, dan hampir tidak diperlukan bila Hb lebih dari 10 gr% dan kalau kadar Hb antara 6-10gr%, maka transfusi sel darah merah diberikan atas indikasi keadaan oksigenasi pasien. Keuntungannya dapat meningkatkan daya angkut oksigen tanpa menambah beban volume darah.

Selama penyimpanan, eritrosit akan mengalami serangkaian perubahan-perubahan biokimiawi dan struktural yang akan mempengaruhi viabilitas dan fungsinya setelah transfusi. Perubahan seperti itu dikenal sebagai storage lesion. Kebutuhan energi eritrosit disediakan oleh jalur metabolik glikolitik dan heksosemonofosfat. Produk akhir dari metabolisme glikolisis adalah asam laktat yang akan menurunkan pH. Disamping itu, penumpukan CO2 yang terbentuk akibat proses metabolisme eritrosit yang tidak dapat keluar dari kantong darah juga dapat menurunkan PH. Karena terbentuk suasana asam maka dapat terjadi perubahan keseimbangan elektrolit yang menyebabkan pergesern kalium intrasel ke ekstrasel. Penurunan pH 0,1 kira-kira menyebabkan peningkatan 1 mmol/L kalium pada serum. Kalium dalam darah simpan 21 hari dapat naik setinggi 32 mEq/L, sedangkan batas dosis infus kalium adalah 20 mEq/jam. Selain PH sel-sel darah merah yang lisis juga dapat menyebabkan hyperkalemia. Pada keadaan lisis, kalium intra sel darah merah akan menumpuk pada serum. Hiperkalemia dapat menyebabkan kelemahan pada otot, aritmia sampai fibrilasi ventrikel/cardiac arrest.

2. Rumus ABL (Allowed Blood Loss) berdasarkan hematokrit ABL= 3xEBVx (Ht preoperative-Ht terkecil) 100 Berdasarkan Hemoglobin : ABL= EBVx (Hb preoperative-Hb terkecil) Rerata Hb preoperative dan Hb terkecil 3. Vitamin K

Vitamin yang tergolong ke dalam kelompok vitamin K adalah naftokuinon tersubsitusi poliisoprenoid. Penyerapan vitamin K memerlukan penyerapan lemak yang normal. Malabsorbsi lemak merupakan penyebab paling sering timbulnya defisiensi vitamin K. derivat vitamin K dalam bentuk alami hanya diserap bila ada garam-garam empedu, seperti lipid lainnya, dan didistribusikan dalam aliran darah lewat system limfatik dalam kilomikron. Menadion, yang larut dalam air , diserap bahkan dalam keadaan tanpa adanya garam-garam empedu, dengan melintas langsung ke dalam vena porta hati . Vitamin K berguna untuk meningkatkan biosintesa beberapa factor pembekuan darah yaitu protrombin, factor VII (prokonvertin), factor IX (factor christmas), dan factor X (factor stuart) yang berlangsung di hati. Vitamin K merupakan suatu kofaktor enzim mikrosom hati yang penting untuk mengaktivasi precursor factor pembekuan darah., dan mengubah residu asam glutamate dekat amino terminal tiap precursor menjadi residu karboksiglutamat. Pembentukan asam amino baru yaitu karboksiglutamat, memungkinkan protein tersebut mengikat kalsium dan selanjutnya dapat terikat pada permukaan fosfolipid. Perubahan tersebut diperlukan untuk rangkaian tahapan selanjutnya untuk pembekuan darah. Vitamin K hidrokuinon adalah bentuk aktif vitamin K. Defisiensi atau kekurangan vitamin K dapat menyebabkan hipoprotrombinemia dan menurunnya kadar beberapa factor pembekuan darah, sehingga waktu pembekuan darah memanjang dan dapat terjadi perdarahan spontan seperti : ekimosis, epitaksis, hematuria, perdarahan saluran cerna, perdarahan intracranial, perdarahan pascabedah, Vitamin K tersebar luas dalam jaringan tanaman dan hewan yang digunakan sebagai bahan makanan dan produksi vitamin K oleh mikroflora intestinal pada hakekatnya menjamin tidak terjadinya defisiensi vitamin K. Defisiensi vitamin K dapat terjadi oleh malabsorbsi lemak yang mungkin menyertai disfungsi pancreas, penyakit biliaris, atrofi mukosa intestinal atau penyebab steatore lainnya.Di samping itu, sterilisasi usus besar oleh antibiotik juga dapat mengakibatkan defisiensi vitamin K.

Asam tranexamat Merupakan obat hemostatik yang merupakan penghambat bersaing dari aktivator plasminogen dan penghambat plasmin. Oleh karena itu dapat membantu mengatasi perdarahan berat akibat fibrinolisis yang berlebihan.

4. PONV Mual (nausea) adalah sensasi subyektif yang tidak menyenangkandengan perasaan ingin muntah atau retching. Mual biasanya diikuti dengan muntah tetapi tidak selalu akan menjadimuntah, walaupun mual dan muntah terjadi melalui jalur saraf yangsama. Mual sering disertai dengan keringat dingin, pucat, hipersalivasi, hilangnya tonus gaster, kontraksi duodenum, dan refluks isi intestinal ke dalam gaster meskipun tidak selalu disertai muntah. Muntah ( emesis / vomiting) adalah suatu gerakan ekspulsi yangkuat dari isi lambung dan gastrointestinal melalui mulut. Muntah merupakan hasil dari sebuah refleks yang kompleks dan kombinasi dari sistem saraf otonom (simpatis dan parasimpatis) dan sistem saraf motorik dengan eferen berasal dari pusat muntah yang diteruskan ke nervus vagus dan neuron motorik yang mempersarafi otot-otot intraabdominal. Proses muntah dimulai dengan inspirasi dalam, laluterjadi gerakan retroperistaltik yang mendorong isi usus kecil kebagian atas ke dalam gaster dan terjadi peningkatan salivasi. Glottis menutup untuk memproteksi jalan nafas, terjadi tahan nafas dan sfinkter gaster dan esophagus akan relaksasi. Otot-otot dinding abdomen dan toraks berkontraksi dan diafragma akan turun dengan cepat sehingga meningkatkan tekanan intra abdominal dan isi gaster akan diejeksikan ke dalam esophagus dan akhirnya keluar melaluimulut. Pada umumnya disepakati bahwa pusat muntah yang terletak dilateral formasio retikuler medulla, bertanggung jawab terhadapkontrol dan koordinasi mual dan muntah. Di pusat muntah ini terjadi interaksi yang kompleks antara formasio retikuler, nukleus

traktussolitarius, dan beberapa nukleus otonom tertentu khususnya nervusvagus. Pusat muntah ini juga menerima input aferen dari beberapa tempat yaitu dari reseptor di traktus gastrointestinal, reseptor nyeriperifer (bertanggung jawab terhadap mual yang menyertai trauma),nukleus solitarius (terlibat dalam gagrefleks), sistem vestibuler(terlibat dalam prosesmotion sickness), korteks serebral dan Chemoreceptor Ttrigger Zone (CTZ). Neurokimia dari pusat muntah sangat rumit dengan kurang lebih 40 neurotransmitter ikut terlibat,namun hanya dua yang diyakini memegang peranan penting, yaituasetilkolin dan histamin, sehingga obat-obat yang dapat mengantagoniszat-zat ini mempunyai efek sentral terhadap PONV. CTZ adalah suatu kelompok sel yang terletak dekat dengan areapostrema di dasar ventrikel

keempat. Daerah ini sangat banyak vaskularisasinya dan terletak di luar sawar darah otak sehingga membuat daerah ini sangat rentan terhadap obat-obat dan toksin yang bersirkulasi sehingga memberikan efek yang sangat besar terhadapaktifitas pusat muntah. CTZ juga sensitif terhadap stimulus sistemik dan berkaitan dengan kontrol tekanan darah, asupan makanan dantidur. Dua neurotransmitter penting yang terletak di CTZ adalahdopamin dan 5HT (hydroxytryptamine) sehingga setiap obat yangdapat mengantagonis neurotransmitter ini akan memberikan efek secara tidak langsung terhadap pusat muntah untuk mengurangi mualdan muntah. Antagonis terhadap keempat neurotransmitter ini (asetilkolin, histamin, dopamin dan 5-HT) menjadi perhatian utamadalam perkembangan terapi farmakologi mual dan muntah dan kebanyakan dari obat-obat antiemetik yang digunakan saat ini bersifat antagonis terhadap salah satu reseptor ini. Etiologi muntah pada PONV merupakan multifaktorial. Faktor faktornya bisa diklasifikasi berdasarkan frekuensi keterpaparan pasien yaitu : 1. Faktor faktor pasien a. Umur : insidensi PONV 5% pada bayi, 25% pada usia dibawah 5 tahun, 42 51% pada umur 6 16 tahun dan 14 40% pada dewasa. b. Gender : wanita dewasa akan mengalami PONV 2 4 kali lebih mungkin dibandingkan laki laki, kemungkinan karena hormon perempuan. c. Obesitas : dilaporkan bahwa pada pasien tersebut lebih mudah terjadi PONV baik karena adiposa yang berlebihan sehingga penyimpanan obat obat anestesi atau produksi estrogen yang berlebihan oleh jaringan adiposa. d. Motion sickness : pasien yang mengalami motion sickness lebih mungkin terkena PONV e. Perpanjangan waktu pengosongan lambung : pasien dengan kondisi ini akan menambah resiko terjadinya PONV f. Perokok : bukan perokok akan lebih cenderung mengalami PONV 2. Faktor faktor preoperative: a. Makanan : waktu puasa yang panjang atau baru saja makan akan meningkatkan insiden PONV

b. Ansietas : stress dan ansietas bisa menyebabkan muntah c. Penyebab operasi : operasi dengan peningkatan tekanan intra kranial, obstruksi saluran pencernaan, kehamilan, aborsi atau pasien dengan kemoterapi. d. Pre medikasi : atropine memperpanjang pengosongan lambung dan mengurangi tonus esofageal, opioid meningkatkan sekresi gaster, dan menurunkan motilitas pencernaan. Hal ini menstimulasi CTZ dan menambah keluarnya 5-HT dari sel sel chromaffin dan terlepasnya ADH. 3. Faktor faktor intraoperatif a. Faktor anestesii. Intubasi : stimulasi mekanoreseptor faringeal bisa menyebabkan muntah. kedalaman anestesi atau inflasi gaster pada saat ventilasi dengan masker bisa menyebabkan muntah perubahan posisi kepala setelah bangun akan merangsang vestibular Obat obat anestesi : opioid adalah opat penting yang berhubungan dengan PONV. Etomidate dan methohexital juga berhubungan dengan kejadian PONV yang tinggi. Agen inhalasi : eter dan cyclopropane menyebabkan insiden PONV yang tinggi karena katekolamin. Pada sevoflurane, enflurane, desflurane dan halothane dijumpai angka kejadian PONV yang lebih rendah. N2O mempunyai peranan yang penting dalam terjadinya PONV. Mekanisme terjadinya muntah karena N2O karena kerjanya pada reseptor opioid pusat, perubahan pada tekanan telinga tengah, stimulasi saraf simpatis dan distensi gaster. b. Teknik anestesi Insiden PONV diprediksi lebih rendah dengan spinal anestesi bila dibandingkan dengan general anestesi. Pada regional anestesi dijumpai insiden yang lebih rendah pada emesis intra dan postoperatif. c. Faktor pembedahan : Kejadian PONV juga berhubungan dengan tingginya insiden dan keparahan PONV. Seperti pada laparaskopi, bedah payudara, laparatomi, bedah plastik, bedah optalmik, bedah THT, bedah ginekologi meningkatkan resiko.

Durasi operasi (setiap 30 menit penambahan waktu resiko PONV meningkat sampai 60%). 4. Faktor faktor post operatif Nyeri, pusing, ambulasi, makan yang terlalu cepat

Profilaksis atau Terapi PONV Sampai saat ini masih menjadi perdebatan antara memberikan profilaksis atau terapi PONV, namun akhirnya para ahli membuatkesepakatan berdasarkan decision tree dimana pasien diklasifikasikan dalam 4 kelompok tergantung pada faktor resiko PONV, yaitu pasien dengan faktor resiko rendah (< 10%), factor resiko ringansedang (10-30%), faktor resiko tinggi (3060%), dan faktor resiko sangat tinggi (> 60%) dan tergantung pada klasifikasi ini maka dapat diberikan profilaksis dan atau terapi antiemetik. Dengan melihat betapa kompleksnya PONV dan banyak faktor predisposisi, maka banyak rumah sakit yangmemperkenalkan protokol atau prosedur tetap untuk standardisasi penilaian dan tatalaksana PONV. Gan et al(2003) membuat protokol profilaksis PONV berdasarkan factor resiko (faktor pasien, pembedahan, anestesi, dan post operasi) sebagai berikut :

Resiko ringan <3, resiko sedang 4-5, resiko berat >5

Deksamethasone Deksametason adalah derivate fluorinated prednisolon dan isomerdengan betametason. Deksametason merupakan derivat steroid yangmemiliki durasi panjang. Memiliki efek seperti glukokortikoid yangmemiliki efek utama terhadap penyimpanan glikogen hepar, antiinflamasi dan sedikit berpengaruh terhadap keseimbangan air danelektrolit.

Deksametason dilaporkan pertama kali efektif sebagai antiemetik dan terbukti aman pada pasien yang menjalanikemoterapi kanker tahun 1981. Penelitian yang dilakukan saat ini menunjukkan bahwa deksametason terbukti efektif sebagai profilaksis PONV, paling sedikit sama efektifnya dengan droperidol dan antagonis serotonin jika digunakan sebagai agen tunggal. Mekanisme kerja deksametason dengan inhibisi pelepasan asam arachidonat, modulasi substansi yang berasal dari metabolisme asam arachidonat, dan pengurangan jumlah 5-HT. Deksametason mempunyai efek antiemetik, diduga melalui mekanisme menghambat pelepasan prostaglandin (inhibisi pelepasan asam asam arachidonat dan modulasi substansi yang berasal dari metabolisme asam arachidonat) secara sentral sehingga

terjadi penurunan kadar 5-HT di sistem saraf pusat, menghambat pelepasan serotonin di saluran cerna sehingga tidak terjadi ikatan antara serotonin dengan reseptor 5-HT, pelepasan endorfin, dan antiinflamasi yang kuat di daerah pembedahan dan diduga glukokortikoid mempunyai efek yang bervariasi pada susunan saraf pusat dan akan mempengaruhi regulasi dari neurotransmitter, densitas reseptor, transduksi sinyal dan konfigurasi neuron. Reseptor glokokortikoid juga ditemukan pada nukleus traktus solitarius, nukleus raphe, dan area postrema, dimana init-inti tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap aktivitas mual dam muntah. Efek antiemetik deksametason juga dihubungkan dengan supresi dari adrenokortikotropin yang telah diteliti responnya terhadap stimulasi gerakan. Hal ini menyebabkan deksametason paling efektif untuk mencegah PONV pada pasien yang mengalami mabuk perjalanan (motion sickness).

Dipenhidramine Merupakan antihistamine (AH1) golongan etanolamin yang digunakan untuk mencegah PONV, selain PONV efek samping lainnya yaitu hipnotik.

You might also like