You are on page 1of 5

Gigih Sari Alam 1

Web : www.indohotnews.com , www.gigihsarialam.blogspot.com


Email : gigih.sa@gmail.com

Penegasian Konstruksionisme terhadap Positivistisme

dalam Kajian Media

Secara umum berita —sebagai sebuah produk kerja wartawan— dipahami sebagai

sebuah realita yang “direpresentasikan” secara utuh dan dengan apa adanya, persis seperti

realita yang terjadi (an sich) di lapangan. Terkadang istilah fakta dijadikan pembenaran

untuk menutupi sisi subjektivitas dari para pekerja media.

Namun, pada kenyataannya ada hal yang mempengaruhi produksi berita sehingga

sampai kepada pembacanya, hal tersebut adalah subjektivitas wartawan, kebijakan

wartawan atau redaksi, ruang tampilan, rubrikasi dan orientasi institusi media.

Berbicara mengenai pemberitaan media berarti tidak terlepas dari pengertian

objektivitas, dalam pengertian di sini adalah bahwa berita dipandang sebagai sesuatu

yang tidak memihak, dua sisi dan netral. Sebangun dengan independensi, objektivitas

merupakan nilai prinsip dari media dalam menjaga kredibelitasnya.

Dalam kajian efek media, paradigma konstruksionis dan positivistis menjadi

perdebatan di antara para akademisi. Perdebatan ini dimulai pada perdebatan pakar

jurnalistik yang dibukukan pada tahun 1984, yaitu perdebatan antara John C Merill dan

Everette E Dennis. John C Merril berpendapat bahwa kerja wartawan dalam

memproduksi berita berupa pencarian berita, peliputan, penulisan, sampai dengan editing

berita merupakan tindakan subjektivitas wartawan. Sedangkan Everette E. Dennis

berpendapat bahwa bentuk dari objektivitas dari kerja wartawan adalah adanya
Gigih Sari Alam 2
Web : www.indohotnews.com , www.gigihsarialam.blogspot.com
Email : gigih.sa@gmail.com

pemisahan fakta dan opini serta peliputan dua sisi (cover both side) adalah merupakan

bentuk objektivitas dari kerja wartawan. Pada intinya, pandangan positivistis

menitikberatkan kajian pada pengaruh media terhadap audiens, sedangkan pandangan

konstruksionis memusatkan perhatian pada bagaimana seorang membuat gambaran

mengenai sebuah peristiwa politik, personalitas, pembentukan dan penggubahan sebagai

konstruksi realitas politik.

Peter L Berger mengatakan bahwa realitas terbentuk secara sosial, artinya sebagai

sebuah institusi media akan langsung mempengaruhi dan dipengaruhi oleh (society)

masyarakatnya. Media dipandang sebagai sebuah institusi yang tidak pernah lepas dari

pertarungan kekuatan sosial, politik dan ekonomi. Mereka saling berlomba mencari

otoritas untuk mendefinisikan realitas, sehingga realitas menjadi bagian dari kekuasaan.

Dengan kata lain media tidak pernah terlepas dari keseharian hidup masyarakat, mereka

selalu mengalami proses dialektis —yaitu eksternalisasi, objektivikasi dan internalisasi.

Pada proses eksternalisasi manusia mengeluarkan gagasan ketika berinteraksi

antara satu dengan lainnya. Pada proses objektivikasi gagasan tersebut menjadi realitas

objektif, sedangkan pada proses internalisasi realitas objektif tersebut tertanam kembali

kepada manusia, melalui sosialisasi yang dialami secara kolektif manusia

mentransformasikan struktur yang objektif tersebut ke dalam struktur kesadaran subjektif.

Konstruksionis melihat bahwa keberhasilan sosialisasi menurut kaca-mata masyarakat

terjadi ketika individu dapat hidup bersosialisasi dengan masyarakat, individu mengikuti

konstruksi yang dipandang objektif pada saat itu, dan konstruksionis juga melihat bahwa
Gigih Sari Alam 3
Web : www.indohotnews.com , www.gigihsarialam.blogspot.com
Email : gigih.sa@gmail.com

keberhasilan sosialisasi menurut individu adalah jika ia dapat menerima legitimasi dari

masyarakat.

Proses dialektis ini mempunyai implikasi bahwa pada proses internalisasi tidak

semua realitas terserap oleh kesadaran subjektif dengan baik sehingga konstruksi manusia

tentang realitas dunia itu tidak tunggal, melainkan berganda (multiple), sedangkan realitas

yang menonjol menjadi bahasa sehari-hari dianggap sebagai suatu yang normal, objektif

dan wajar.

Konstruktivisme pada batasan ini menganggap bahwa apa yang orang sebut

sebagai "kebenaran" dan "pengetahuan objektif" sesungguhnya merupakan sebuah

perspektif tersendiri. "Kebenaran" dan "pengetahuan objektif" itu bukan ditemukan,

melainkan diciptakan individu. Apa yang dilihat nyata, tidak lain merupakan konstruksi

pikiran individu, dan sebenarnya ia bersifat majemuk, bertentangan, terkonstruksi dan

bermakna tertentu. "Kebenaran" adalah persoalan banyaknya informasi dan konstruksi

yang secara mufakat dianggap yang terbaik, tercanggih dan disepakati pada saat tertentu.

Oleh karena itu konstruktivisme berpendapat bahwa "realitas objektif" hanya terdapat

pada kognitif manusia saja.

Perbedaan yang amat mendasar dari konstruksionisme dengan positivisme, adalah

jika pandangan konstruksionis melihat bahwasanya realitas adalah berganda (multiple)

dan bagaimana itu didefinisikan, bergantung pada subjektif individu masing-masing.

Konstruktivisme mementingkan keunikan konteks dan makna-makna dalam memahami

realitas, sehingga pada umumnya tidak mengutamakan pertanyaan objektif, dan

konsekuensi logisnya adalah penjelasannya pun bisa bermacam-macam.


Gigih Sari Alam 4
Web : www.indohotnews.com , www.gigihsarialam.blogspot.com
Email : gigih.sa@gmail.com

Konstruksionisme mempunyai dua kriteria dalam menilai kualitas penelitiannya.

Pertama, (terpengaruh oleh positivisme) adalah trustworthiness, terdiri dari credibility

(paralel dengan validitas internal), transferability (paralel dengan validitas eksternal),

confimability (paralel dengan objektivitas). Yang kedua, authenticity, meliputi

ontological authenticity (memperbesar konstruksi personal), educative authenticity

(merangsang aksi) dan tactical authenticity (memberdayakan aksi).

Karena terjadi dengan positivisme, Guba dan Lincoln berpendapat bahwa

sesungguhnya kritik terhadap kriteria penilaian terhadap kualitas penelitian pada

konstruktivisme masih dibutuhkan. Namun, authenticity —sejauh mana temuan

merupakan refleksi autentik realitas dihayati oleh pelaku para sosial— disepakati sebagai

kriteria umum. Penelitian ini tidak membuat batasan yang ketat antara pengumpulan data,

pun tidak memberikan kriteria yang kaku mengenai tolok-ukur objektivitas. Namun dari

segi authenticity, kelemahan studi ini adalah bahwa reflektivitas hanya tertangkap

sepotong saja, mengingat peneliti tidak mengerjakan partisipasi observasi dengan subjek

secara langsung, melainkan hanya dengan wawancara.

============================================

Catatan

Fakta adalah perihal mengenai keadaan, peristiwa yang merupakan kenyataan, sesuatu yang benar-benar
ada atau terjadi.

Pendekatan konsruksionis tumbuh berkat dorongan kaum interaksi simbolik dari karya-karya Schutz,
Berger, dan Luckman. Pendekatan ini terutama memandang bahwa kehidupan sehari-hari terutama adalah
kehidupan melalui dan dengan bahasa. Bahasa tidak hanya mampu membangun simbol-simbol yang
diabstraksikan dari pengalaman sehari-hari, melainkan juga “mengembalikan” simbol-simbol itu dan
menghadirkannya sebagai unsur yang objektif dalam kehidupan sehari-hari. Ada empat asumsi yang
melekat pada pendekatan konstruksionis. Pertama, dunia ini tidaklah tampak nyata secara objektif pada
Gigih Sari Alam 5
Web : www.indohotnews.com , www.gigihsarialam.blogspot.com
Email : gigih.sa@gmail.com

pengamat, ttapi diketahui melali pengalaman yang umumnya dipengaruhi oleh bahasa. Kedua, kategori
linguistik yang dipergunakan untuk memahami realitas bersifat situasional, karena kategori ini muncul dari
interaksi social dalam kelompok orang pada waktu dan tempat tertentu. Ketiga, bagaimana realitas tertentu
dipahami pada waktu tertentu dan ditentukan oleh kovensi komunikasi yang berlaku pada waktu itu, karena
itu, stbilitas dan instabilitas pengetahuan banyak bergantung pada perubahan social ketimbang reaitas
objektif di luar pengalaman. Keempat, pemahaman realitas yang terbentuk secara social membentuk
bnanyak aspek kehidupan lain yang penting. Bagaimana kita berpikir dan berprilaku dalam kehidupan
sehari-hari ditentukan oleh bagaimana kita memahami realitas.

Dalam pandangan positivistis, pesan adalah apa yang pengirim lemparkan kepada khalayak, apa pun
artinya. Dalam paradigma Positivistis fakta itu ada secara riil dan berada diluar diri subjektivitas peneliti
(wartawan), menurut Francis Bacon lewat pengamatan yang sistematis peneliti (wartawan) sebagai sebuah
proses induksi: pengamatan atas suatu objek dan kebenaran ilmiah itu ada di luar diri manusia.

Literatur

Dennis Mc. Quail, Mass Communication Theory, diterjemahkan oleh Agus Dharma dan Aminuddin Ram,
Teori Komunikasi, Suatu Pengantar, Penerbit: Erlangga, Jakarta, 1996.

Eriyanto, “Objektivitas Media: Pandangan Konstruksionis dan Positivistik”, Majalah Pantau, Edisi 08 /
Maret-April 2000.

Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, penerbit: LKIS, Yogyakarta, 2002.

Margaretha Poloma, Sosiologi Kontemporer, Penerbit: Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994.

Peter L. Berger, Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial (terjemahan), Penerbit: LP3ES, Jakarta, 1991.

Egon G. Guba (ed), The Paradigm Dialog, California: Sage Publications, 1990.

Stephen P. Littlejohn, Theories of Human Communication, Fifth Edition, California: Wadsworth Publishing
Company, 1996.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Balai Pustaka, Edisi Kedua, 1999.

You might also like