You are on page 1of 7

sejarah demokrasi indonesia

Perjalanan Demokrasi Indonesia Tahun-Tahun Menyongsong Bahaya Konstelasi Demokrasi Terpimpin diwarnai konflik antara dua kekuatan politik besar: PKI dan Angkatan Darat. Tapi, dalam perjalanannya, bandul keseimbangan yang dimainkan Soekarno condong ke kiri. (photo: Poster Bung Karno, Bung Karno dan Nasution, Bung Karno pada HUT PKI tahun 1965, Bung Karno saat melantik pengurus besar front nasional) Situasi menjelang Juli 1959 itu mendukung Soekarno sebagai pemimpin yang berdiri di atas krisis. Tanggal 29 Mei, sidang Konstituante menolak usul NU memasukkan Piagam Jakarta sebagai Mukadimah Undang-Undang Dasar. Lalu, digelarlah pemungutan suara untuk mengukuhkan Konstitusi 1945, sesuai dengan imbauan Soekarno. Tiga kali pemungutan suara, tapi yang mendukung UUD 1945 belum juga mencapai jumlah dua pertiga suara yang diperlukan. Macet. Maka, A.H. Nasution, sebagai penguasa perang tertinggi negara "dalam keadaan bahaya", SOB, mengontak Soekarno, yang kala itu sedang melawat ke Tokyo. Nasution usul, langkahi saja konstitusi dan mengumumkan UUD 45 dengan suatu dekrit presiden. Kenapa Nasution tidak mengambil alih saja kekuasaan yang sudah di pucuk jari itu? "Pikiran seperti itu sama sekali tidak pernah terlintas," kata Nasution beberapa waktu lalu. Bagi pengamat Deliar Noer, sikap Nasution itu ambigu, tidak jelas. Sebab, meski punya posisi menentukan, kata Deliar, pada saat yang menentukan dia tak muncul. Tak pelak lagi, kehadiran Soekarno bak ditunggu-tunggu. Slogan "Hidup Bung Karno" membentang, disusul seruan "Rakyat yang sudah lama menderita mendesak presiden bertindak tegas." Begitulah, seusai berapat dengan para menteri dan pembantunya di Dewan Nasional, Soekarno segera bertindak. Tanggal 5 Juli 1959, dalam suatu upacara singkat, hanya 15 menit, di Istana, keluarlah dekrit: membubarkan Konstituante dan mengumumkan berlakunya UUD 1945 kembali. Bagi Soekarno, tindakannya itu didasarkan pada staatsnoodrecht, hokum keselamatan negara dalam keadaan bahaya yang luar biasa. Yang terang, Angkatan Darat di bawah pimpinan Nasution berada di belakangnya. Ini bagai kafilah yang tetap saja berlalu meski banyak kalangan yang menilai bahwa dekrit itu inkonstitusional alias tidak berdasarkan konstitusi. Mestinya kekuasaan presiden memang tidak sampai sejauh itu: mengubah konstitusi dengan memakai konstitusi sebagai dasarnya. Namun, pagi-pagi Soekarno menyangkal keras punya keinginan berkuasa sebagai seorang diktator. Yang ia inginkan adalah Demokrasi Terpimpin. "Saya bukan presiden direktur dari Republik Indonesia dan saya tidak ingin jadi diktator, karena ini berlawanan dengan kesadaranku," ujarnya. Pembentukan Demokrasi Terpimpin itu kemudian bergantung pada kemampuan Soekarno memainkan perimbangan di antara kekuatan-kekuatan di sekitarnya. Partai Komunis Indonesia-- pengumpul suara nomor empat dalam Pemilu 1955 dan tampil luar biasa dalam pengumpulan suara di pedesaan Jawa--tampil sebagai pengimbang tentara, yang mendapat

angin dari Soekarno. Dalam pengamatan Herbert Feith, Soekarno menggunakan PKI untuk mendapatkan konsesi dari pihak Angkatan Darat. Soekarno sendiri membantah menyeret kabinetnya ke aliran kiri. "Buat saya, tidak ada istilah kiri, tidak ada istilah kanan. Saya sekadar menghendaki bangsa Indonesia utuh kembali," katanya. Namun, ini ironis. Nyatanya Soekarno menyingkirkan mereka yang tidak sejalan dengannya. Pengumpul suara terbanyak Pemilu 1955, Masyumi, tersingkir. Meski masih ada NU, golongan Islam jelas mundur sebagai kekuatan politik. Kekuatan partai politik pudar begitu tahun 1960 Soekarno melarang kegiatan partai. Beberapa pemimpin politik dijebloskan ke penjara. Ini mengingatkan orang pada pidatonya beberapa tahun sebelumnya: "Mimpiku ialah supaya pemimpin-pemimpin partai bersama-sama bermusyawarah untuk mengambil satu keputusan. Mari kita bersama-sama bersatu padu untuk mengubur semua partai." Berkibarnya Demokrasi Terpimpin dengan kekuasaan puncak di tangan Soekarno berarti juga menyingkirkan saingan politik lamanya: Hatta dan Syahrir, walaupun sebenarnya Syahrir tak pernah lagi menjadi tokoh resmi sejak 1949, dan Hatta mengundurkan diri dari jabatannya sejak 1956. Soekarno makin melenggang dengan obsesinya, karena ia menolak tuntutan berbagai kalangan agar dwitunggal--Soekarno-Hatta--dipulihkan kembali. Untuk menjalankan praktek kenegaraan, lembaga-lembaga tinggi negara segera diisi. MPR, DPR, DPA, dibentuk sementara menunggu pemilihan umum (yang akhirnya tak juga berlangsung selama era ini). Di samping lembaga yang tercantum dalam konstitusi, Soekarno juga menyusun badan-badan yang punya tujuan khusus. Yang terpenting adalah Dewan Perancang Nasional, yang dipimpin Profesor M. Yamin. Sebagai tambahan lembaga perwakilan, berdiri pula Front Nasional, untuk menggantikan Front Pembebasan Irian Barat yang dikuasai tentara. Front Nasional ini gagasan lama Soekarno, yang diharapkan menjadi organisasi yang dapat mengerahkan dan menyalurkan aspirasi masyarakat, dan memberi akses langsung ke rakyat melampaui partai politik. Sementara, katanya, menunggu terbentuknya Undang-Undang Pemilu, anggota MPR, DPR, DPA itu semuanya diisi lewat pengangkatan presiden. Sistem ketatanegaraan jadi membingungkan. Mestinya presiden bertanggung jawab kepada MPR sesuai dengan UUD 1945, namun kenyataannya MPRS (Sementara) justru diangkat presiden. Lalu, bagaimana mengharapkan lembaga itu berfungsi mengawasi jalannya eksekutif? Toh, DPRS sempat menunjukkan kemandirian lembaganya, yakni ketika (1960) mereka menolak rencana anggaran belanja yang diajukan pemerintah. Mereka cuma menyetujui separuh rencana anggaran. Akibatnya, Soekarno turun tangan, menelurkan keputusan presiden me-recall DPRS. Lalu ia membentuk DPR baru dengan nama DPRGR (Gotong Royong). Anggotanya diangkat berdasarkan perimbangan kekuatan: PNI, NU, PKI, golongan kekaryaan, ABRI, buruh, tani, dan sebagainya. Seiring dengan itu, MPRS makin melambungkan Soekarno dengan berbagai gelar agung, bagai kebulatan tekad: "Presiden Seumur Hidup", "Pemimpin Besar Revolusi", "Pengemban Amanat Penderitaan Rakyat". Dan makin lazim pula panggilan kepada Bung Karno diawali dengan "Paduka yang Mulia".

Presiden Soekarno sendiri memang menyukai--dan semakin mementingkan--lambang. Yang tersohor waktu itu adalah Ajaran Pemimpin Besar Revolusi. Ini bisa disarikan dari berbagai pemikirannya seperti yang tertuang dalam buku Sarinah, Di Bawah Bendera Revolusi, Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi (Tubapi), serta pidato Bung Karno di PBB dan setiap peringatan 17 Agustus, yang diberi judul macam-macam: Tavip (Tahun Vivere Pericoloso), Takem (Tahun Kemenangan), Gesuri (Genta Suara Revolusi), dan sebagainya. Pangkal ajaran itu bisa ditarik dari pidato peringatan Kemerdekaan RI, 1959, yang berjudul "Penemuan Kembali Revolusi Kita". Menurut Bung Karno, revolusi Indonesia berlangsung dua tahap, yakni dimulai dengan tahap revolusi nasional-demokratis untuk mengikis sisa-sisa imperialisme dan feodalisme, misalnya dengan menjalankan Dekon (deklarasi ekonomi) dan Berdikari (berdiri di atas kaki sendiri). Lalu dilanjutkan dengan tahapan sosialisme Indonesia. Panjang lebar Soekarno mengecam keras pada free fight liberalism, "reformisme" dan "kompromi". Soekarno berpendapat, semua kekecewaan selama sepuluh tahun, pada zaman Demokrasi Parlementer, bersumber dari kesediaan sebagian pemimpin meninggalkan rel revolusi. Tiga bulan setelah pidato kenegaraannya, Soekarno menyatakan naskah pidato kenegaraannya itu sebagai "Manifesto Politik Republik Indonesia", disingkat "Manipol". "Aku sekadar menggalinya dari buminya Ibu Pertiwi. Manipol lahir dari kandungannya Ibu Sejarah," tutur Bung Karno dengan tegas. Dalam pidatonya di awal 1960, Presiden Soekarno selalu mengungkapkan bahwa revolusi Indonesia mengandung lima gagasan penting. Pertama, Undang-Undang Dasar 1945. Kedua, Sosialisme ala Indonesia. Ketiga, Demokrasi Terpimpin. Keempat, Ekonomi Terpimpin. Dan kelima, Kepribadian Indonesia. Kelima gagasan itu disingkat "Usdek". Jadilah ajaran yang bernama "Manipol- Usdek". Ajaran Bung Karno yang tertuang dalam berbagai pidatonya itu kemudian menjadi Ketetapan MPRS. Ini menjadi pedoman pelaksanaan Manipol-Usdek. Tokoh penting yang menjabarkan luas ajaran-ajaran Soekarno itu adalah Sayuti Melik dan Roeslan Abdulgani, yang juga menjadi Ketua Panitia Pembina Jiwa Revolusi dan kesohor dengan gelar "Jubir Usman". Ideologi Manipol-Usdek ini disebarluaskan, namun terasa dipaksakan. Apalagi, ManipolUsdek merumuskan pers begini: "Pers harus berperan sebagai alat perjuangan untuk penyelesaian revolusi". Redaksi surat kabar diharuskan berjanji setia kepada ideologi negara. Maka, pembredelan menjadi kelaziman dalam era Demokrasi Terpimpin. Koran-koran yang bersimpati pada Masyumi dan PSI dibungkam selama-lamanya, dan wartawannya dijebloskan ke bui. Wartawan pun mulai masuk program indoktrinasi. Tapi, di sisi lain, segera oplah surat kabar merosot. Dari sejuta eksemplar lebih pada 1959 ke angka 700.000 eksemplar pada 1961. Para pimpinan PKI makin masuk dalam inner-circle Soekarno. Gejalanya tampak mulai Agustus 1960, tatkala Soekarno mengangkat Aidit dan Nyoto dalam pengurus Front Nasional. Sebulan setelah diangkat, Aidit masuk dalam rombongan Soekarno di Sidang Umum PBB. Soekarno, dalam pidatonya, juga melancarkan serangan terhadap para pemimpin politik yang menderita penyakit communisto phobia. Gagasan itu berlanjut dengan niatnya memasukkan PKI dalam kabinet, yang menurut Soekarno mewakili aliran pokok yang terdapat dalam revolusi Indonesia: Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. Lambang persatuan versi Soekarno ini dikenal dengan singkatan Nasakom. Ide ini sebenarnya pernah dilontarkan Bung Karno pada 1926, bahwa kepentingan kaum nasionalis, Islam, dan Marxis dapat sama dan cocok satu sama lain.

Meski ketiga aliran ini kontradiktif, tidak demikian bagi Bung Karno. Adalah kenyataan bahwa hasil pemilu pada zaman Demokrasi Liberal itu mencuatkan tiga aliran besar tersebut. Apalagi, Soekarno melihat ada unsur persamaan: sama-sama melawan penjajahan, keserakahan, dan penindasan. "Mereka mempunyai musuh bersama untuk dapat bersatu, yakni Nekolim (Neokolonialisme-Imperialisme)," katanya. Perjalanan selanjutnya, ada tanda-tanda semakin berkurangnya kekuatan tentara ketimbang PKI. Pada 1962, Soekarno memasukkan pentolan PKI Aidit dan Lukman ke dalam Badan Penasihat Kepemimpinan Nasional, yang punya posisi sederajat dengan kabinet. Kaum komunis makin mendapat angin ketika Soekarno menendang ke atas Nasution menjadi Kepala Staf Angkatan Bersenjata, sehingga Nasution tak punya lagi jalur komando ke pasukan. Sedangkan jabatan Kepala Staf Angkatan Darat yang ditinggalkan Nasution diserahkan kepada Achmad Yani. Menurut Profesor John D. Legge, langkah Soekarno ini bermaksud memperbesar perpecahan di tubuh Angkatan Darat dan mempertajam persaingan antarangkatan. Di samping itu, sejalan dengan gagasan terus mengobarkan semangat revolusi, 1962, suatu badan baru dibentuk: Komando Tertinggi Operasi Irian Barat (KOTI). Badan ini dipimpin Bung Karno untuk memperjuangkan kembalinya Irian Barat ke dalam pangkuan republik. Lalu pasukan di bawah komando wilayah Mayor Jenderal Soeharto menginfiltrasi wilayah yang diduduki Belanda itu. Di panggung diplomasi, langkah Indonesia rupanya didukung AS. Persoalan Irian Barat selesai, akhir tahun 1962. Soekarno kontan menyerukan "Tahun Kemenangan Indonesia", begitu judul pidato 17 Agustus tahun itu. Namun, di mata Soekarno, masih juga muncul "musuh baru": Federasi Malaysia. "Suatu bangsa selalu memerlukan musuh," bunyi sebuah pidatonya. Bermula dari meletusnya pemberontakan di Brunei pada Desember 1962. A.M. Azahari, ketua Partai Rakyat, partai terbesar di wilayah itu, berniat membentuk negara merdeka Kalimantan Utara, yang meliputi ketiga wilayah bekas jajahan Inggris itu. Meski pemberontakan ini tak berumur panjang, peristiwa itu membangkitkan kecurigaan Soekarno terhadap federasi Malaysia: pembentukan Malaysia adalah suatu tindakan kekuatan-kekuatan neokolonialisme yang menjadi bagian dari gerakan mengepung Indonesia. Pada 8 Januari 1963, Wakil Perdana Menteri I Subandrio mengumumkan "konfrontasi" terhadap federasi baru itu. "Ganyang Malaysia," teriak Soekarno dalam resepsi di Istana. Seruan itu menjadi perintah perang. Konfrontasi meningkat, pasukan Indonesia melakukan penyusupan dan pendaratan pasukan payung. Belakangan, KOTI diganti badan baru: Kogam atau Komando Ganyang Malaysia. Di pentas politik internasional, terutama di kalangan Asia-Afrika, politik konfrontasi banyak merusak kepemimpinan Indonesia. Di PBB, rekan-rekan Indonesia sesama Nefo alias New Emerging Forces dari kedua benua ternyata tidak mendukung langkah Indone sia. Pada Konferensi Nonblok tahun 1964 di Kairo, yang dihadiri negara yang biasanya menyokong Indonesia, ternyata negara-negara tersebut malah melancarkan kritik tajam. Bahkan santer terdengar Malaysia bakal diundang dalam Konferensi Asia-Afrika II yang akan diselenggarakan di Aljazair--konferensi ini kemudian tak jadi dilaksanakan karena jatuhnya pemerintahan Ben Bella di Aljazair. Puncak kemerosotan citra Indonesia di mata internasional adalah sewaktu meninggalkan keanggotaan PBB, 1965. Ini gara- gara badan dunia itu mendudukkan Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Makin jelaslah tanda-tanda Indonesia semakin

terpencil di kalangan sesama Dunia Ketiga, makin merosot dari kepemimpinan Asia-Afrika. Buktinya, perayaan satu dasawarsa Konferensi Bandung, di Jakarta, hanya dihadiri separuh dari 60 negara yang diundang. Itu pun didominasi oleh negara-negara kiri. Makin santerlah poros Jakarta-Hanoi-PekingPyongyang. Dalam kondisi seperti itu, Soekarno tetap membayangkan barlangsungnya pertemuan Conefo, Conference of the New Emerging Forces. Harapan Soekarno, lembaga itu bakal menjadi perkumpulan negara-negara yang menyaingi PBB. Ia masih mengangankan kepemimpinan Indonesia yang telah memprakarsai Konferensi Asia- Afrika di Bandung. Obsesinya adalah suara revolusi Indonesia "mengumandang ke seluruh penjuru dunia". Untuk mendukung hasratnya, Soekarno menggarap berbagai proyek mercu suar, sehingga menyingkirkan persoalan ekonomi dalam negeri. Misalnya saja, Soekarno membangun stadion megah di Senayan sebagai sarana penyelenggaraan Asian Games IV. Tahun berikutnya, Soekarno menggelar Ganefo, soalnya Indonesia dikeluarkan dari Komite Olimpiade Internasional. Lalu bertumbuhanlah tugu peringatan, gedung bertingkat, toko serba ada Sarinah, juga tugu Monumen Nasional, sebagai etalase kemakmuran negara. Tapi cerita ekonomi Demokrasi Terpimpin adalah satu cerita tentang kemandulan pemerintah menghadapi ekspor yang merosot dan inflasi yang membubung tinggi. Bisa dicatat, sebulan setelah Dekrit Presiden 1959, Soekarno secara mendadak melakukan sanering terhadap nilai tukar mata uang. Uang kertas Rp 1.000 dan Rp 500 cuma bernilai sepersepuluhnya. Deposito di bank yang lebih dari Rp 25.000 dibekukan sampai tinggal 10% dari harga simpanan, lalu nilai tukar rupiah dipotong sampai hampir seperempat nilai tukar resmi sebelumnya. Kebijakan itu cuma mengulur waktu sedikit datangnya defisit anggaran belanja negara. Jatuhnya ekspor bersambung dengan inflasi yang berkepanjangan. Harga-harga melonjak tinggi. Uang beredar, yang sebelum tahun 1960 sebanyak Rp 47,8 biliun, berlipat tiga kali pada 1962. Dewan Perancang Nasional sebetulnya sudah mengumumkan "Rencana Pembangunan Semesta Berencana Delapan Tahun" untuk mengembangkan ekonomi. Namun, kehidupan ekonomi tidak memberikan peluang pada swasta. Pemerintah terlalu turut campur mengatur ekonomi. Sedangkan penyitaan perusahaan Belanda pada tahun 1957--kebanyakan manajemennya diserahkan ke perwira tentaracenderung memperparah ekonomi. Bukan Soekarno namanya kalau tidak punya pembelaan. "Terus terang, saya bukan ahli ekonomi... Saya seorang revolusioner. Perasaan dan pikiran saya mengenai ekonomi adalah sederhana. Kalau bangsa-bangsa yang hidup di padang pasir yang kering dan tandus bisa memecahkan persoalan ekonomi, kenapa kita tidak?" ujarnya. Tahun 1963, lewat pidatonya, Soekarno meluncurkan "Deklarasi Ekonomi", Dekon. Tugas pada tingkat revolusi kita sekarang, kata Soekarno, adalah menghancurkan sisa-sisa ekonomi imperialisme dan feodalisme, dan memobilisasi seluruh kemampuan nasional untuk menciptakan ekonomi nasional. Arahnya menjurus ke ekonomi sosialis Indonesia. Pengumuman Dekon disusul dengan sejumlah peraturan, pada 26 Mei 1963. Kelihatannya, pemerintah tetap menunjukkan perhatiannya terhadap keadaan ekonomi. Keluarnya peraturan menyangkut devaluasi, meningkatnya harga, debirokratisasi, stabilisasi harga, itu sejalan dengan saran Dana Moneter Internasional dan konsorsium "Panitia Bantuan Pembangunan". Namun, itulah, politik konfrontasi terhadap Malaysia membuyarkan program Dekon. Utang

luar negeri Indonesia mencapai jumlah US$ 2,4 miliar. Inflasi tak terkendali lagi, meruyak 600 persen lebih. Bagaimanapun, Soekarno ternyata lebih mementingkan gejolak yang terus-menerus, dengan jalan terus meningkatkan revolusi, mengguncangkan adapt kebiasaan lembaga tua, dan mempersiapkan diri melawan musuh-musuh yang tidak kelihatan. Karenanya, tak mengherankan bila Soekarno terus menekankan pentingnya semua perumusan revolusinya. Jadilah Soekarno berkutat dengan slogan-slogan yang ia ciptakan dan senantiasa ia ulangi bagai jampi-jampi: Manipol, Usdek, Ampera (amanat penderitaan rakyat), Nefo, Oldefo, Nekolim, Berdikari, Tavip (tahun vivere pericoloso), Resopim (revolusi, sosialisme, pimpinan nasional). "Revolusi adalah proses dialektik yang dinamis atau proses dinamika yang dialektis," ujarnya. Dengan begitu, Soekarno mendorong rakyatnya ke arah tugas nation building, membangun satu bangsa yang bersatu. Hanya saja, tampaknya Soekarno sulit mengatasi perpecahan besar di antara kekuatan-kekuatan besar yang makin menyeruak. Di pihak lain, gerakan "pro-demokrasi" bukannya tidak ada upaya perlawanan sama sekali. Didorong kekhawatiran terhadap dominasi kaum komunis, pada 1960 sekelompok tokoh Masyumi, PSI, NU, IPKI, dan partai antikomunis lainnya mendirikan "Liga Demokrasi". Tujuan yang mereka ungkapkan keluar adalah memprotes pembubaran partai dan menuntut dipertahankannya system parlementer. Tapi, gerakan ini tak berumur panjang karena Soekarno kontan memberangusnya. Kemudian, pada tahun 1963, segolongan pengarang dan sastrawan menandatangani "Manfesto Kebudayaan", yang menekankan pentingnya kebebasan mencipta dan kebebasan menyatakan pikiran, dan menganggap seni tidak boleh diperalat untuk tujuan politik. Tapi PKI, dengan Lekranya, menyerang gerakan yang disebutnya Manikebu itu. "Politik adalah panglima" menjadi seruan popular kelompok Lekra. Dan April 1964, Soekarno melarang Manifesto Kebudayaan. Akhir tahun 1964, sebuah organisasi baru lahir, mencoba bermanuver untuk mengerahkan perasaan anti-PKI: Badan Pendukung Soekarno (BPS). Di antara pendukungnya adalah Menteri Perdagangan Adam Malik dengan Partai Murbanya, Duta Besar B.M. Diah, dibacking tokoh-tokoh Angkatan Darat. Namun nasib BPS sama seperti gerakan sebelumnya, dilarang Soekarno dengan alasan bersifat memecah belah. Pasangan Dwitunggal Bung Karno, Bung Hatta, pernah menulis dalam buku saku Demokrasi Kita, terbit pada 1960. Di situ ia menyebut Bung Karno sebagai seorang patriot, yang ingin melihat Indonesia adil dan makmur "selekas-lekasnya". Tapi, Bung Hatta memperingatkan, Bung Karno hanya suka "memandang garis besarnya saja". Sebab itu, "Soekarno sering mencapai yang sebaliknya dari yang ditujunya," tulis Bung Hatta. Bung Hatta benar. Bandul keseimbangan itu telah bergoyang ke kiri. Pada perayaan ulang tahun PKI ke-45 di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 24 Mei 1965, Ketua CC PKI Aidit tampak akrab dengan Presiden Soekarno. Mereka melambai-lambaikan tangan ke hadapan lautan merah pendukung PKI. Jakarta marak dengan umbul- umbul dan bendera palu arit. Aidit memamerkan kekuatan PKI sebagai partai politik terkuat di Indonesia. Katanya, anggota PKI mencapai tiga juta orang dengan simpatisan 20 juta.

Kondisi negara makin kritis dan penuh kekalutan ketika PKI berupaya keras mengegolkan gagasan "angkatan kelima". Gagasan tani bersenjata ini didukung kuat RRC. Soekarno akhirnya berada dalam bahaya kehilangan kontrol atas permainannya: terjerumus dalam perangkap sendiri. Hingga, di tengah kabar mengenai penyakit Soekarno, meletuslah upaya kudeta Gerakan 30 September. Toh, sampai akhirnya ia diturunkan dari jabatannya dalam Sidang Istimewa MPRS, Soekarno tetap bersikukuh pada gagasannya mengenai Nasakom. Ia malah menyatakan, kendati kup itu dilakukan "ekstremisme komunis", ia menambahkan, "Jangan menjurus begitu saja kepada pengutukan terhadap ideologi komunisme." Bagi Bung Karno, peristiwa Gerakan 30 September, yang disebutnya Gestok (Gerakan Satu Oktober) itu, datang "sebagai kejutan besar". Ia menyalahkan peristiwa itu pada tiga sebab: keblinger-nya pimpinan PKI, kelicikan kekuatan-kekuatan Nekolim, dan "kenyataan adanya orang-orang yang aneh". Mengenai kemerosotan ekonomi, Bung Karno balik bertanya, "Apakah adil saya saja yang harus mempertanggungjawabkannya?" Jawaban pidato "Nawaksara" tidak memuaskan MPRS, yang dipimpin Nasution. Pada Sidang MPRS 7 Maret 1967, mandat Soekarno ditarik dan dialihkan ke Soeharto. Bung Karno, Sang Proklamator, Putra Sang Fajar--dan berbagai gelar laintak bisa diselamatkan dalam arus besar Orde Baru. Ia terpuruk dalam akhir hayatnya yang sepi dan tragis.

You might also like