You are on page 1of 8

BioSMART ISSN: 1411-321X

Volume 3, Nomor 2 Oktober 2001


Halaman: 28-35

Pengaruh Aflatoksin B1 terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan


Embryo dan Skeleton Fetus Mencit (Mus musculus L.)
Effects of Aflatoxin B1 on Growth and Development of Embryos and Skeletal
Fetuses of Mice (Mus musculus L.)

TETRI WIDIYANI 1 dan MAMMED SAGI2


1
Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
2
Fakultas Biologi UGM Yogyakarta

Diterima: 10 Juni 2001. Disetujui: 31 Agustus 2001

ABSTRACT

Aflatoxin B1 (AFB1) is a mycotoxin vastly contaminates in agriculture foodstuffs. AFB1 has teratogenic effects
because it can penetrate placental barrier easily from maternal to fetal tissues. AFB1 can be activated to become
epoxide compound. Epoxide is very dangerous, it can react with nucleic acid and form DNA or RNA adducts. The
aim of this research was to examine the effects of AFB1 on growth and development of embryos and skeletal fetuses
in pregnant mice during organogenesis period. Thirty pregnant mice were divided randomly into 5 groups with 6
replications. AFB1 was dissolved in propylene glycol and administrated orally on days 6-15 of gestation. The
treatment dosages were 0 (placebo), 2.25, 3, and 4.5 mg/kg body weight. Another group of animals was used as
control. At day 18 of gestation, all pregnant mice were sacrificed and caesarian sectioned to remove the fetuses.
Fetuses were examined for intrauterine mortality; growth retardation; morphological malformations; skeletal growth
and development (ossification); and skeletal malformations. AFB1 treatment with highest dosage (4.5 mg/kg body
weight) caused a significant increase in the number of intrauterine mortality; fetuses growth retardation; skeletal
growth retardation; and in the incidence of morphological and skeletal malformation such as hemorrhage, clubfoot,
curved body, intercostal fusion and vertebral flexion (lordosis and kyphosis). These results indicate that maternal
exposure to AFB1 during organogenesis period influences the growth and development of embryos and skeletal fetuses.

Key words: aflatoxin B1, mice, embryos, fetuses, skeletal.

PENDAHULUAN penyebab utama karsinoma hepatoseluler (Stuver,


1998). Selain itu AFB1 juga bersifat toksik,
Aflatoksin merupakan salah satu jenis mutagenik dan teratogenik sehingga sangat
mikotoksin yang dihasilkan terutama oleh jamur berbahaya bagi manusia dan hewan.
Aspergillus flavus. Jamur penghasil aflatoksin ini Di pasaran, bahan pangan dan pakan yang
biasanya tumbuh pada substrat berupa bahan terkontaminasi AFB1 masih banyak beredar bahkan
pangan dan pakan komoditas pertanian serta hasil dalam kadar yang relatif tinggi (Muhilal, 1986;
olahannya. Di negara-negara beriklim tropis, Wiryatun dkk., 1988; Rahayu & Sardjono, 1989).
kontaminasi bahan pangan dan pakan oleh jamur Di Indonesia, Pemerintah masih belum menetapkan
penghasil aflatoksin merupakan masalah kebijaksanaan mengenai batas kadar aman AFB1
lingkungan yang sering terjadi. dalam bahan pangan dan pakan. USFDA (United
Pada mulanya dikenal 4 jenis aflatoksin, yaitu States Food and Drug Administration) menetapkan
aflatoksin B1, B2, G1 dan G2, tetapi kemudian batas kadar aman AFB1 di bawah 20 ppb (Saad,
ditemukan sekitar 13 jenis aflatoksin (Banwart, 1998).
1979). Di antara aflatoksin itu, yang paling toksis Aflatoksin bersifat stabil terhadap pemanasan.
dan paling banyak terdapat di alam adalah Pada suhu pemasakan normal (sekitar 1000C)
aflatoksin B1 (AFB1). AFB1 sangat terkenal sebagai aflatoksin belum mengalami peruraian. Menurut
agensia karsinogenik yang merupakan salah satu Kapti (1986), titik lebur aflatoksin relatif cukup

© 2001 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta


WIDIYANI dan SAGI - Aflatoksin B1 pada Mus musculus 29

tinggi yaitu di atas 2500C oleh karena itu bahan glikol, sedang sisanya sebagai kelompok kontrol.
pangan yang terkontaminasi aflatoksin masih tetap Perlakuan diberikan pada mencit bunting hari ke-6
berbahaya untuk dikonsumsi meskipun telah diolah sampai dengan hari ke-15.
dengan jalan pemanasan/pemasakan. Pada hari ke-18 umur kebuntingan, mencit
Efek teratogenesis AFB1 dimungkinkan terjadi dikorbankan dan dilakukan bedah cesar untuk
karena AFB1 mempunyai berat molekul relatif mengambil fetus dari uterus. Fetus diamati,
rendah yaitu 312 dalton. Senyawa dengan berat meliputi pengamatan morfometri fetus dan
molekul kurang dari 600 dalton dapat melewati pengamatan histologis - histokimia skeleton.
barrier plasenta sehingga akan kontak dengan Pengamatan morfometri terdiri dari penghitungan
jaringan fetus (Davis, 1977; Denning et al. 1990). jumlah kematian intrauterus, pengukuran berat
Di dalam tubuh, AFB1 mengalami metabolisme badan dan panjang fetus dan pengamatan terhadap
yang meliputi mekanisme aktivasi dan deaktivasi kelainan morfologi (malformasi). Pertumbuhan dan
(detoksifikasi). Organ yang berperan dalam fungsi perkembangan skeleton fetus secara umum dapat
metabolisme dan ekskresi pada fetus masih belum diamati setelah diwarnai dengan Alizarin Red S
berkembang secara sempurna sehingga masuknya menurut metode C. Arnott (Kaufman, 1992).
senyawa asing dalam tubuh akan membahayakan Jumlah kematian intrauterus, jumlah fetus yang
bagi fetus tersebut. mengalami malformasi, dan jumlah fetus yang
Jaringan konseptal intrauterus justru terdapat skeletonnya mengalami kelainan perkembangan
enzim lipoksigenase yang diketahui berperan dalam dianalisis dengan uji Chi-square. Rerata berat badan
bioaktivasi AFB1 menjadi senyawa epoksida AFB1. dan panjang fetus serta rerata jumlah komponen
Terbentuknya senyawa epoksida ini menimbulkan tulang yang mengalami osifikasi dianalisis varian
dampak yang luas berkaitan dengan efek toksik, (ANAVA) pola satu arah menggunakan Rancangan
karsinogenik, mutagenik, dan teratogenik dari Acak Lengkap (RAL). Jika ANAVA menunjukkan
AFB1. Senyawa epoksida mempunyai kemampuan hasil yang signifikan dilanjutkan uji DMRT
bereaksi dengan asam nukleat membentuk DNA/ (Duncan’s Multiple Range Test).
RNA-adduct yang menyebabkan terganggunya
proses pengekspresian gen. Selain itu senyawa
epoksida juga dapat berikatan dengan komponen HASIL DAN PEMBAHASAN
protein sel yang akan menyebabkan terganggunya
fungsi fisiologis sel dan selanjutnya berakibat pada Pertumbuhan dan Perkembangan Fetus
terjadinya kematian sel (Datta & Kulkarni, 1994; Hasil penelitian yang diperoleh tentang
Eaton & Gallagher, 1994; Heish & Heish, 1993). pengamatan morfometri fetus dari mencit bunting
Berdasarkan pada pernyataan bahwa AFB1 yang diberi AFB1 disajikan pada Tabel 1. Dari
mempunyai efek teratogenesis, maka perlu dilaku- Tabel tersebut dapat diketahui mengenai jumlah
kan penelitian untuk mengkaji pengaruh pemberian induk, jumlah fetus total, rerata jumlah fetus dari
AFB1 pada mencit (Mus musculus L.) bunting tiap induk, jumlah dan frekuensi fetus hidup, serta
selama masa organogenesis terhadap pertumbuhan jumlah dan frekuensi kematian intrauterus. Pada
dan perkembangan embrio dan skeleton fetus. penelitian ini kematian intrauterus yang terjadi
terdiri dari resorpsi dan kematian fetus. Selain itu
dalam Tabel 1 tersebut juga disajikan rerata berat
BAHAN DAN METODE badan fetus, rerata panjang fetus serta jumlah dan
frekuensi fetus yang mengalami malformasi.
Tiga puluh ekor mencit betina dewasa yang Dari Tabel 1 terlihat bahwa pemberian AFB1
berada dalam stadium proestrus dikelompokkan cenderung menyebabkan penurunan jumlah fetus
secara acak menjadi 5. Masing-masing kelompok yang hidup dan peningkatan jumlah kematian
yang terdiri dari 6 ekor mencit sebagai ulangan, intrauterus. Pada kelompok kontrol dan plasebo
dikandangkan bersama seekor pejantan fertil untuk 100% fetus dalam keadaan hidup. Kematian
dikawinkan. Pada hari berikutnya mencit-mencit intrauterus mulai terjadi pada dosis terendah (2,25
betina diperiksa apakah terdapat vaginal plug, jika mg/kg BB). Seiring dengan peningkatan dosis
hasilnya positif maka pada hari itu ditentukan AFB1 yang diberikan maka kematian intrauterus
sebagai hari ke-1 kebuntingan. cenderung mengalami peningkatan pula. Pada dosis
AFB1 murni buatan SIGMA dilarutkan dalam tertinggi (4,5 mg/kg BB), terjadi kematian fetus
propilen glikol dan diberikan pada hewan uji secara yang relatif cukup tinggi (di atas 10%).
oral. Peringkat dosis AFB1 adalah 0 (plasebo);
2,25; 3; dan 4,5 mg/kg BB dalam 0,2 ml propilen
BioSMART ISSN: 1411-321X
Volume 3, Nomor 2 Oktober 2001
Halaman: 28-35
Tabel 1. Pengamatan morfometri fetus hari ke-18 kebuntingan dari induk mencit yang diberi AFB1 pada dosis
berbeda.

Kelompok Perlakuan
No. Parameter yang Diamati
Kontrol Plasebo 2,25 mg/kg BB 3 mg/kg BB 4,5 mg/kg BB
1 Jumlah Induk 6 6 6 6 6
2 Jumlah Fetus Total 67 66 60 57 55
3 Jumlah Fetus dari Tiap Induk 11,17 11 10 9,5 9,17
(Rerata ± SD) ± 0,98 ± 1,1 ± 0,89 ± 0,84 ± 0,75
4 Jumlah dan Frekuensi Fetus Hidup 67 (100%) 66 (100%) 56 (93,33%) 51 (89,47) 44 (80%)
5 Jumlah dan Frekuensi Kematian Intrauterus 0 (0%) 0 (0%) 4 (6,67%) 6 (10,53%) 11 (19,99%)
a. Jumlah dan Frekuensi Resorpsi 0 (0%) 0 (0%) 1 (1,67%) 2 (3,51%) 3 (5,45%)
b. Jumlah dan Frekuensi Kematian Fetus 0 (0%) 0 (0%) 3 (5%) 4 (7,02%) 8 (14,54%)
6 Berat Badan Fetus (g) 1,64 a 1,57 a 1,44 b 1,39 b 1,37 b
(Rerata ± SD) ± 0,12 ± 0,1 ± 0,05 ± 0,12 0,07
7 Panjang Fetus (mm) 25,24 a 24,42 ab 23,9 b 23,54 b 20,98 c
(Rerata ± SD) ± 0,81 ± 0,75 ± 1,04 ± 0,96 ± 0,8
8 Jumlah dan Frekuensi M alformasi 0 (0%) 0 (0%) 7 (11,67%) 12 (21,06%) 20 (36,36%)
Keterangan: Huruf yang sama di belakang angka dalam satu baris menunjukkan tidak ada beda nyata di antaranya.

Hasil analisis statistik dengan uji Chi-square (p<0.01) di antara kelima kelompok uji tersebut.
adalah X2hitung > X2tabel, berarti ada hubungan antara Analisis lanjutan antar kelompok dengan uji
pemberian AFB1 dengan jumlah terjadinya kematian DMRT menunjukkan bahwa kelompok kontrol
intrauterus. Maka terbukti bahwa AFB1 yang diberikan tidak berbeda dengan kelompok plasebo tetapi
pada mencit bunting selama masa organogenesis kelompok kontrol dan plasebo berbeda secara
menyebabkan terjadinya kematian intrauterus. Hal bermakna dengan kelompok perlakuan AFB1.
ini menunjukkan bahwa AFB1 bersifat toksik Meskipun pada kelompok perlakuan AFB1
terhadap embrio dan fetus sehingga dikatakan mengalami penurunan berat badan seiring dengan
AFB1 mempunyai efek embriotoksik dan fetotoksik. peningkatan dosis yang diberikan, tetapi di antara
Pada tahap embrional, sel secara intensif kelompok perlakuan yang diberi AFB1 tersebut
mengalami diferensiasi, gerakan morfogenesis dan tidak berbeda nyata (ditunjukkan dengan huruf
organisasi. Selama periode ini terjadi proses yang sama pada Tabel 1). Hal ini menunjukkan
organogenesis sebagian besar organ tubuh. Embrio bahwa berapapun besar dosis AFB1 yang diberikan
sangat rentan terhadap efek teratogen sehingga (dalam kisaran 2,25- 4,5 mg/kg BB) tidak
setiap gangguan dalam diferensiasi sel selalu menimbulkan efek yang berbeda.
mengakibatkan kelainan bawaan. Kelainan ini Untuk parameter panjang fetus hasil analisis
bervariasi mulai dari kecacatan struktural statistik dengan ANAVA sama seperti pada
(malformasi), hambatan pertumbuhan, penurunan parameter berat badan, yaitu ada perbedaan yang
fungsi organ sampai kematian. Pada manusia dapat sangat bermakna (p<0.01) di antara kelima
juga menimbulkan keguguran sedang pada kelompok uji tersebut. Hasil analisis lanjutan
Rodensia menimbulkan resorpsi (Wilson, 1973). dengan uji DMRT menunjukkan bahwa pada
Pada penelitian ini dilakukan pengukuran berat kelompok perlakuan AFB1 dosis 2,25 mg/kg BB
badan dan panjang fetus karena kedua parameter dan 3 mg/kg BB telah mulai terjadi penurunan
ini cukup sensitif. Secara umum, dari data panjang fetus jika dibandingkan dengan kelompok
pengamatan di Tabel 1 menunjukkan bahwa sejalan kontrol. Akan tetapi penurunan panjang fetus
dengan peningkatan dosis AFB1 yang diberikan, tersebut kurang bermakna karena kelompok
maka cenderung mengalami penurunan baik untuk tersebut tidak berbeda dengan kelompok plasebo.
ukuran berat badan maupun ukuran panjang fetus Pada kelompok dosis perlakuan tertinggi (4,5
(Gambar 1). Analisis statistik dengan ANAVA mg/kg BB) barulah terjadi penurunan panjang fetus
untuk parameter berat badan fetus menunjukkan yang cukup bermakna. Dengan demikian dapat
hasil bahwa ada perbedaan yang sangat bermakna

© 2001 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta


WIDIYANI dan SAGI - Aflatoksin B1 pada Mus musculus 31

dikatakan bahwa pemberian AFB1 pada dosis 4,5


mg/kg BB dapat mempengaruhi panjang fetus.

Gambar 1. Morfologi Fetus Normal dan Fetus yang Terhambat Pertumbuhannya: (A) Fetus normal dari kelompok
kontrol, (B) Fetus yang terhambat pertumbuhannya dari kelompok perlakuan AFB1 dosis 2,25 mg/kg BB, (C) Fetus
yang terhambat pertumbuhannya dari kelompok perlakuan AFB1 dosis 3 mg/kg BB, (D) Fetus yang terhambat
pertumbuhannya dari kelompok perlakuan AFB1 dosis 4,5 mg/kg BB.

Menurut Wilson (1973), penurunan berat badan malformasi sudah terjadi pada perlakuan AFB1
dan panjang tubuh fetus merupakan bentuk dosis terendah (2,25 mg/kg BB) dan frekuensinya
teringan dari efek suatu senyawa yang bersifat relatif tinggi karena lebih dari 10%. Fetus yang
teratogenik. Penurunan berat badan dan panjang ini mengalami malformasi terus meningkat jumlahnya
merupakan indikator terjadinya hambatan seiring dengan peningkatan dosis AFB1 yang
pertumbuhan akibat gangguan terhadap proses- diberikan. Pada dosis tertinggi (4,5 mg/kg BB)
proses yang mendasari pertumbuhan (pembelahan bahkan jumlahnya relatif sangat tinggi mencapai
sel, metabolisme dan sintesis). 36,36%. Hasil analisis statistik dengan uji Chi-
Gangguan pertumbuhan yang terjadi akibat square adalah X2hitung > X2tabel, berarti ada
pemberian AFB1 kemungkinan diawali oleh hubungan antara pemberian AFB1 terhadap
terbentuknya ikatan antara epoksida hasil terjadinya malformasi.
bioaktivasi AFB1 dengan asam nukleat membentuk Jenis malformasi yang banyak terjadi pada
DNA atau RNA adduct. Hal ini menyebabkan penelitian ini adalah hemoragi. Hemoragi atau
proses replikasi dan transkripsi DNA menjadi perdarahan sebenarnya adalah suatu peristiwa
terganggu. Proses pertumbuhan berkaitan erat keluarnya darah dari sistem kardiovaskuler yang
dengan pembelahan sel (mitosis dan meiosis). disertai dengan penimbunan di dalam ruangan
Pembelahan sel selalu didahului oleh replikasi dan tubuh atau di dalam jaringan tubuh (Price &
transkripsi DNA. Jika DNA terganggu, maka Wilson, 1984). Ada beberapa mekanisme yang
proses replikasi dan transkripsi akan terganggu memungkinkan untuk terjadinya perdarahan. Salah
pula dan sebagai akibatnya terjadi hambatan satu di antaranya adalah akibat ketidakseimbangan
pertumbuhan. osmotik karena adanya gangguan tekanan dan
Pengamatan terhadap morfologi fetus viskositas cairan pada bagian fetus yang berbeda
membuktikan bahwa AFB1 bersifat teratogenik yaitu antara plasma darah dan ruang ekstrakapiler
karena dapat menimbulkan malformasi. Suatu atau antara cairan ekstraembrionik dan
penelitian yang dilakukan oleh Ryan et al. (1990) intraembrionik. Menurut Wilson (1973), pada
menyimpulkan bahwa terjadinya penurunan berat keadaan normal embrio berkembang dalam cairan
badan karena pengaruh teratogen akan selau diikuti amnion yang isotonis terhadap cairan tubuh.
oleh terjadinya malformasi. Hal tersebut juga Adanya senyawa-senyawa asing dalam jaringan
berlaku dalam penelitian ini. Malformasi yang dapat mengganggu keseimbangan osmotik tersebut.
terjadi adalah hemoragi atau perdarahan bawah Jenis malformasi yang lain adalah tungkai
kulit, tungkai bengkok dan tubuh bongkok (fleksi). bengkok. Malformasi ini berkaitan erat dengan
Data jumlah fetus yang mengalami malformasi proses pertumbuhan dan perkembangan tulang
yang terdapat pada Tabel 1 menunjukkan bahwa panjang penyusun tungkai yang kurang sempurna.
32 BioSMART Vol. 3, No. 2, Oktober 2001, hal. 28-35

Tungkai bengkok dapat terjadi karena ada Pertumbuhan tulang pada salah satu sisi lebih
perbedaan kecepatan pertumbuhan tulang tersebut.

Gambar 2. Fotomikrograf Cranium Fetus: (A) Fetus kelompok kontrol, (B) Fetus kelompok perlakuan AFB1 dosis
4,5 mg/kg BB. Keterangan: 1. Os frontal, 2. Os Parietal, 3. Os Interparietal, 4. Os Supraoccipital, 5. Os frontal, os
parietal dan os supraoccipital belum mengalami osifikasi. Pewarna: Alizarin Red S. Warna merah (gelap): tulang;
warna transparan: kartilago.

lambat daripada sisi yang lain akibatnya ukuran caudalis, sternum, metacarpal, dan metatarsal
tulang penyusun tungkai tersebut menjadi tidak fetus dari induk yang diberi perlakuan AFB1.
sama dan akan membelok ke arah yang lebih Keterlambatan osifikasi dapat diketahui dengan
pendek. menghitung jumlah komponen tulang penyusunnya
Malformasi berupa tubuh bongkok juga setelah diwarnai Alizarin Red S. Komponen tulang
berkaitan dengan proses pertumbuhan dan akan menghasilkan warna merah, sedangkan jika
perkembangan tulang. Kemungkinan penyebabnya masih bersifat kartilago akan berwarna transparan.
adalah terjadi fleksi lordosis atau kifosis pada Pada kelompok perlakuan dosis 4,5 mg/kg BB
columna vertebralis terutama pada vertebrae beberapa fetus mengalami keterlambatan osifikasi
thoracalis, vertebrae lumbalis atau vertebrae cranium. Komponen tulang yang mengalami
sacralis. keterlambatan osifikasi meliputi os frontal, os
parietal, os interparietal, dan os supraoccipital
Pertumbuhan dan Perkembangan Skeleton (Gambar 2). Keterlambatan osifikasi tulang
Terjadinya malformasi berupa tungkai bengkok penyusun cranium akan membahayakan bagi
dan badan bongkok sebenarnya berkaitan dengan kehidupan fetus selanjutnya. Hal ini berkaitan
proses pertumbuhan dan perkembangan tulang. Hal dengan fungsi cranium sebagai pelindung organ
ini menunjukkan bahwa AFB1 secara khusus juga syaraf terbesar yaitu otak. Apabila pembentukan
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan cranium tidak sempurna dimungkinkan terjadinya
sistem skeletal fetus. Menurut Anderson & kecacatan berupa exencephaly yang menyebabkan
Conning (1988), pengamatan pertumbuhan dan otak terdedah keluar.
perkembangan skeleton dapat menggunakan tolok Rerata jumlah komponen tulang penyusun
ukur berupa (1) jumlah komponen skeleton dan vertebrae caudalis, sternum, metacarpal, dan
tingkat osifikasinya, (2) ada tidaknya atau metatarsal disajikan pada Tabel 2. Dari tabel
sempurna tidaknya osifikasi dan (3) ada tidaknya tersebut dapat diketahui bahwa sejalan dengan
kelainan dalam pembentukan skeleton. peningkatan dosis AFB1 yang diberikan, maka
Pada penelitian ini dilakukan pengamatan jumlah komponen tulang cenderung menurun.
meliputi skeleton aksial (cranium, vertebrae, Analisis statistik dengan ANAVA untuk rerata
sternum, dan costae) dan skeleton appendicular jumlah komponen tulang penyusun metatarsal dan
(cingulum pectorales, cingulum pelvicales dan vertebrae caudalis menunjukkan perbedaan yang
ekstremitas). Ditinjau dari tingkat osifikasinya bermakna (p<0,05), untuk metacarpal
maka terjadi keterlambatan osifikasi pada menunjukkan perbedaan yang sangat bermakna
komponen tulang penyusun cranium, vertebrae
WIDIYANI dan SAGI - Aflatoksin B1 pada Mus musculus 33

(p<0,01) sedangkan untuk sternum tidak ada


perbedaan yang bermakna (p>0,05).
Tabel 2. Rerata jumlah komponen tulang sternum, metacarpal, metatarsal, dan vertebrae caudalis fetus dari induk
yang diberi AFB1.

Dosis Jumlah Komponen Tulang (Rerata ± SD)


Perlakuan Sternum Metacarpal Metatarsal Vertebrae
(mg/kg BB) (ruas) (ruas) (ruas) Caudalis (ruas)
Kontrol 6±0a 2,73 ± 0,46 a 2,33 ± 0,82 a 6,2 ± 1,37 a
Plasebo 6±0a 2,73 ± 0,46 a 2,27 ± 0,59 a 6,2 ± 1,42 a
2,25 6±0a 2,47 ± 0,74 a 2,07 ± 0,7 ab 5,13 ± 1,46 ab
3 6±0a 2,27 ± 0,8 ab 1,73 ± 0,88 ab 4,87 ± 1,55 b
4,5 5,87 ± 0,35 b 1,73 ± 1,1 b 1,53 ± 0,92 b 4,4 ± 1,4 b

Keterangan: Huruf yang sama di belakang angka dalam satu kolom menunjuk kan tidak ada beda nyata di antaranya.

Analisis statistik lanjutan dengan DMRT pada vertebrae cervicales dan vertebrae
menunjukkan bahwa pengaruh AFB1 terhadap thoracales. Kelainan vertebrae ini mewujudkan
osifikasi umumnya tampak nyata pada pemberian malformasi eksternal berupa tubuh bongkok
AFB1 dosis tertinggi (4,5 mg/kg BB) yaitu untuk (Gambar 3).
sternum, metacarpal dan metatarsal (pada Tabel 2 Pertumbuhan dan perkembangan costae dan
ditunjukkan oleh huruf yang berbeda terhadap vertebrae terjadi secara bersamaan sehingga
kelompok kontrol dan plasebo). Sedangkan untuk gangguan terhadap perkembangan awal vertebrae
vertebrae caudalis efek yang nyata sudah seringkali diikuti dengan kelainan pada costae.
ditunjukkan pada dosis yang lebih rendah (3 mg/kg Kelainan vertebrae dapat disebabkan oleh 3
BB). kemungkinan yaitu gangguan terhadap somit,
Kelainan perkembangan skeleton juga dapat gangguan terhadap chorda dorsalis atau gangguan
diamati pada fetus dari kelompok perlakuan dosis terhadap diferensiasi sklerotom (Theiler, 1988).
tertinggi (4,5 mg/kg BB). Kelainan skeleton yang Gangguan terhadap migrasi sel-sel mesenkim pada
terjadi berupa fusi costae. Pada penelitian ini ada 2 waktu pembentukan vertebrae juga menyebabkan
jenis fusi yaitu fusi terjadi pada costae nomor 12- kelainan terutama terhadap struktur centrum
13, sedang lainnya terjadi pada costae nomor 11- vertebrae (Stazi et al., 1992). Sternum berkembang
12. Fusi costae nomor 12-13 hanya terjadi di paling akhir di antara skeleton aksial yang lain. Hal
bagian pangkal (proksimal), sedangkan pada costae ini disebabkan karena diduga sternum merupakan
nomor 11-12 fusi meluas sampai ke bagian distal penggabungan bagian ventral dari costae kanan dan
(ujung). Di samping fusi costae terjadi pula kiri (Carlson, 1988).
kelainan skeleton berupa fleksi lordosis dan kifosis
34 BioSMART Vol. 3, No. 2, Oktober 2001, hal. 28-35

Gambar 3. Struktur morfologi dan skeleton fetus yang mengalami malformasi tubuh bongkok: (A) Fetus normal
dari kelompok kontrol, (B) Fetus bertubuh bongkok dari kelompok perlakuan AFB1 dosis 4,5 mg/kg BB. Tanda
panah (→) menunjukkan fleksi vertebrae (lordosis-kifosis).
Tabel 3. Jumlah fetus yang mengalami kelainan skeleton dari induk mencit yang diberi AFB1.

Dosis Jumlah Fetus Jumlah Fetus yang Mengalami Frekuensi Fetus


Perlakuan yang Mengalami Kelainan
yang Diamati Kelainan Skeleton
(mg/kg BB) Skeleton (%)
Kontrol 15 0 0
Plasebo 15 0 0
2,25 15 4 26,67
3 15 6 40
4,5 15 10 66,67

Pertumbuhan dan perkembangan vertebrae bongkok. AFB1 dosis 4,5 mg/kg BB juga
kemungkinan berkaitan dengan pengekspresian gen menghambat pertumbuhan dan perkembangan
Hoxc8+. Gen ini berfungsi mengendalikan ciri skeleton yang ditandai oleh terhambatnya osifikasi
segmental embrio. Wilayah kerja protein HOXC8+ komponen tulang cranium, metacarpal, metatarsal,
adalah sepanjang sumbu anterioposterior vertebrae sternum dan vertebrae caudalis fetus, dan
thoracalis dan vertebrae lumbalis (Le Mouellic, terjadinya kelainan skeleton fetus berupa fusi
1992 in Kalthoff, 1996). Sedangkan pertumbuhan costae dan fleksi lordosis-kifosis vertebrae
dan perkembangan tulang penyusun ekstremitas cervicales dan vertebrae thoracales.
berkaitan dengan pengekspresian gen Wnt-1, Hoxd-
13 dan Msx-1 (Zakany et al., 1994). Diduga
aktivitas pengekspresian gen tersebut terganggu UCAPAN TERIMA KASIH
oleh adanya senyawa epoksida AFB1 yang
membentuk DNA-adduct sehingga pertumbuhan Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada
dan perkembangan sistem skeletal terhambat atau Dr. Wiryatun Lestariana, Apt. yang telah berkenan
mengalami kelainan. memberikan bantuan bahan aflatoksin dan telah
Fetus-fetus yang mengalami kelainan skeleton memberikan banyak masukan dalam pelaksanaan
akibat pemberian AFB1 relatif cukup tinggi penelitian ini. Demikian juga kepada Kepala dan
jumlahnya (di atas 20%). Data mengenai jumlah Staf Laboratorium Histologi – Embriologi Hewan
dan frekuensi fetus yang mengalami kelainan Fakultas Biologi UGM (Sdr. Nur Chasanah dan
skeleton disajikan pada Tabel 3. Dari Tabel Bp. Abadi) serta Kepala dan Staf UPHP UGM
tersebut dapat diketahui bahwa jumlah dan (terutama Bp. Suroso) atas penyediaan fasilitas dan
frekuensi fetus yang mengalami kelainan skeleton kerjasama yang baik selama berlangsungnya
cenderung meningkat sejalan dengan peningkatan penelitian ini.
dosis AFB1 yang diberikan. Analisis statistik
dengan uji Chi-square membuktikan bahwa ada
hubungan antara pemberian AFB1 dengan terjadinya DAFTAR PUSTAKA
kelainan skeleton.
Anderson, D. & D.M. Conning. 1988. Experimental
Toxicology The Basic Principles. London: Royal
KESIMPULAN Society of Chemistry.
Banwart, G.J. 1979. Basic Food Microbiology. Westport
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat Connecticut: AVI Publishing Company, Inc.
Carlson, B.M. 1988. Patten’s Foundation of
disimpulkan bahwa AFB1 dosis 4,5 mg/kg BB yang
Embryology. 4th ed. New Delhi: Tata McGraw-Hill
diberikan pada mencit bunting selama masa Publishing Company LTD.
organogenesis dapat menghambat pertumbuhan Datta, K. & A.P. Kulkarni. 1994. Oxidatif metabolism
dan perkembangan fetus mencit, menyebabkan of aflatoxin B1 lipoxygenase purified from human
kematian intrauterus dan menimbulkan malformasi term placenta and intrauterine conceptal tissues. J.
berupa hemoragi, tungkai bengkok dan tubuh Teratol. 50 (4): 311-317.
WIDIYANI dan SAGI - Aflatoksin B1 pada Mus musculus 35

Davies, D.M. 1977. Textbook of Adverse Drug Reaction. Ryan, L.M., P.J. Catalano, C.A. Kimmel, & G.L.
New York: Oxford University Press. Kimmel. 1990. Relationship between fetal weight
Denning, D.W., R. Allen, A.P. Wilkinson, & M.R.A. and malformation in developmental studies. Teratol.
Morgan. 1990. Transplacental transfer of aflatoxins 44:215-223.
in humans. Carcinogenesis 11: 1033-1035. Saad, N. 1998. Aflatoxins: Occurrence and Health Risk.
Eaton, L.D. & E.P. Gallagher. 1994. Mechanism of CU Toxic Plant Pages,
carcinogenesis. Annual Review Pharmacology www.usda.gov/gipsa/newsinfo/back/b-aflatox.htm.
Toxicology 34: 135-172. Stazi, A.V., C. Macri, C. Ricciardi, & A. Mantovani.
Heish, L.L. & T.T. Heish. 1993. Detection of aflatoxin 1992. Significance of the minor alteration of the
B1-DNA adduct in human placenta and cord blood. axial skeleton in rat foetuses. A Short Review.
Cancer Res. 53: 1278-1280. Conggres Anatomy 23: 91-104.
Kalthoff, K. 1996. Analysis of Biological Development. Stuver, S.O. 1998. Toward global control of liver
New York: McGraw-Hill Inc. cancer. Seminars in Cancer Biology 8 (4): 299-306.
Kapti, R.K. 1986. Toksin dalam Mikrobia Pangan. Theiler, K. 1988. Vertebral Malformation. Berlin:
Lanjuran (Proceedings) Seminar Keamanan Pangan Springer-Verlag.
dalam Pengolahan dan Penyajian. PAU Pangan dan Wilson, J.G. 1973. Environment and Birth Defects. New
Gizi UGM, Yogyakarta. hal: 197-203. York: Academic Press.
Kaufman, M.H. 1992. The Atlas of Mouse Development. Wiryatun, L., S. Anggraheni, Maliyah M., & P. Hastuti.
San Diego: Academic Press Harcourt Brace and 1988. Cemaran Aflatoksin pada Bahan Makanan
Company. yang Beredar di Yogyakarta. Laporan Penelitian
Muhilal. 1986. Cemaran Aflatoksin pada Hasil Olahan Proyek Peningkatan Pengembangan Perguruan
Kacang Tanah dan Kedelai. Lanjuran (Proceedings) Tinggi UGM 5(9).
Seminar Keamanan Pangan dalam Pengolahan dan Zakany, J., M. Lemaistre & D. Duboule. 1994. Ectopic
Penyajian. PAU Pangan dan Gizi UGM, expression of Wnt-1 induces abnormalities in growth
Yogyakarta. hal: 204-209. and skeletal patterning of the limbs. In: Zagris, N.,
Price, S.A. & L.M. Wilson. 1984. Clinical Concepts of A.M. Duprat & A. Durston (ed.). Organization of
Diseases Processes. New York: McGraw-Hill Inc. The Early Vertebrate Embryo. New York: Plenum
Rahayu, K. & Sardjono. 1989. Deteksi Mikotoksin pada Press-NATO Scientific Affairs Division.
Produk Kecap Komersial. Yogyakarta: PAU Pangan
dan Gizi UGM.

You might also like